Pajak Kontemporer
Pokok Bahasan
Corporate Social Responsibility dan
Pajak
Program Tatap
Fakultas Kode MK Disusun Oleh
Studi Muka
Pasca Sarjana Magister 3 Dr.Harnovinsah,Ak., CA
Akuntansi
Abstract Kompetensi
1
sosial perusahaan dari sisi kajian
paradigma stakeholder approach
PENDAHULUAN
CSR merujuk pada semua hubungan yang terjadi antara sebuah perusahaan dengan
semua stakeholders, termasuk didalamnya adalah pelanggan, pegawai, masyarakat,
pemilik atau investor, Pemerintah, supplier, bahkan juga pesaing. Menurut Kotler
dan Lee (2005) pengertian CSR adalah: “Corporate social responsibility is a
commitment to improve community well-being through discretionary business
practices and contribution of corporate resources”. CSR secara umum merupakan
keputusan perusahaan untuk mengembankan nilai etika bisnis, kepatuhan kepada
undang-undang, dan penghormatan kepada masyarakat sekitar.
4
peningkatan perilaku untuk perubahan kesehatan masyarakat dan lingkungan
Konsep yang dikenal juga sebagai people, planet, dan profit merupakan tiga pilar
5
untuk mengukur pencapaian suatu organisasi atas nilai-nilai ekonomi, lingkungan dan
sosial. Fokus utama perusahaan tidak semata-mata untuk meningkatkan nilai ekonomi
perusahaan tetapi juga nilai-nilai lingkungan dan sosial.
Perusahaan perlu mengadopsi praktik bisnis yang mengedepankan peranan
karyawan, masyarakat dan lingkungan dimana perusahaan berada. Perbaikan
lingkungan yang rusak melalui program CSR perusahaan akan membantu pemulihan
planet dari kerusakan yang semakin parah. Melalui penciptaan nilai ekonomis yang
diakumulasikan dalam bentuk profit maka perusahaan semakin mampu melaksanakan
program CSR yang berkelanjutan.
Perusahaan tidak semata-mata bertanggung jawab ke pemegang saham saja
tetapi juga untuk kepentingan stakeholder. Secara luas stakeholder perusahaan
meliputi: pegawai, pelanggan, rekanan, investor, suplier, Pemerintah, dan masyarakat.
Pada dasarnya setiap perusahaan menghadapi tiga kelompok stakeholder yaitu:
1. Economic Stakeholders, yaitu : pelanggan, kreditur, distributor, dan supplier.
2. Organizational stakeholders, yaitu: karyawan, manajer, dan serikat pekerja.
3. Societal stakeholders, yaitu: masyarakat sekitar, Pemerintah dan lembaga
pengawas usaha, serta Lembaga Swadaya Masyarakat.
Lebih lanjut pegelompokan para stakeholder perusahaan dibagi dalam
internal stakeholder dan external stakeholder. Menurut Hill dan Jones (2001:43),
pemegang saham (shareholder) dan pegawai termasuk manajemen, dewan direksi
merupakan bagian dari internal stakeholder. Sedangkan individu dan kelompok yang
memiliki klaim terhadap perusahaan seperti pelanggan, supplier, Pemerintah, serikat
buruh, masyarakat lokal sekitar perusahaan dan badan-badan layanan publik adalah
kelompok external stakeholder.
6
Sebagaimana dikemukakan oleh Chandler, David (2003), pelaksanaan
CSR melalui pendekatan stakeholder akan menjadikan perusahaan semakin
dipercaya oleh pihak- pihak yang berkepentingan. Konsumen yang ingin
membeli produk perusahaan yang dipercayai, supplier hanya mau bekerja
sama denga perusahaan yang dapat dipercaya, karyawan hanya mau bekerja
pada perusahaan yang memberikan respek kepada mereka, LSM mau bekerja
sama dengan perusahaan yang memberikan solusi dan inovasi dalam berbagai
area yang mendapat perhatian khusus. Dengan memuaskan kepentingan tiap
stakeholder maka perusahaan akan mampu meningkatkan komitmen kepada
kelompok kepentingan seperti investor.
tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) akan paling berperan, sedangkan bagi 40%
citra perusahaan dan brand image yang akan paling mempengaruhi kesan mereka.
Hanya 1/3 yang mendasari opininya atas faktor-faktor bisnis fundamental seperti
faktor finansial, ukuran perusahaan, strategi perusahaan, atau manajemen.
Berbagai kejadian yang menyedihkan dialami oleh masyarakat disekitar
perusahan pertambangan di Indonesia menjadi pemicu betapa semakin pentingnya
tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat. Seperti bencana lumpur
Lapindo yang menenggelamkan lebih dari 10.000 rumah penduduk, 600 ha sawah,
dan belasan pabrik memaksa PT Lapindo Brantas harus menanggung kerugian
material yang diderita masyarakat tersebut. Demikian juga kerusakan lingkungan
yang diakibatkan penambangan emas di Teluk Buyat oleh PT Newmont Minahasa,
dampak lingkungan di sungai Aikwa akibat penambangan emas PT Freeport, dan
kerusakan lingkungan sekitar Danau Toba akibat industri pulp PT Toba Pulp Lestari.
Dampak kerugian tersebut seyogianya menjadi pemikiran bagi pengelolan perusahan
untuk memperhatikan kepentingan masyarakat yang merupakan bagian stakeholder
perusahaan.
Sebagaimana menurut World Business Council for Sustainable Development
(2002), dalam rangka mencapai pelaksanaan CSR yang berkelanjutan sebaiknya
perusahaan mengintegrasikan program CSR dalam business strategy. Langkah-
langkah strategi perusahaan dapat ditempuh dengan beberapa alternatif yaitu:
- Terfokus pada individu, manajer dan penduduk di sekitar perusahaan.
- Menetapkan dasar hukum bagi perusahaan melalui penerapan kode etik dalam
pembelajaran karyawan.
- Memperlakukan karyawan sebagai aset terbaik perusahaan dan memperhatikan
juga lingkungan masyarakat dan budaya masyarakat sekitarnya.
- Menetapkan sistem untuk menerapkan program CSR secara transparan dan
berkesinambungan.
- Menerapkan kerjasama tidak semata-mata untuk tujuan publisitas tetapi juga
8
untuk mencapai realisasi tujuan CSR perusahaan.
perusahaan untuk melaksanakan CSR akan menurunkan daya saing global perusahaan
dan membebani perusahaan.
9
Padahal apabila ditelisik lebih dalam pelaksanaan CSR maka masyarakat di
sekitar perusahaan akan lebih sejahtera dan akan menjamin keamanan dan
kelangsungan usaha dengan langgeng. Biaya CSR tidak semata-mata sebagai
pengeluaran biaya yang menjadi pusat biaya (cost centre) namun dapat diarahkan
menjadi sentra laba (profit centre). CSR dapat meningkatkan image perusahaan
sehingga dunia usaha tidak memandang CSR sebagai suatu tuntutan represif dari
masyarakat, melainkan sebagai kebutuhan dunia usaha.
Sesuai hasil telaah yang dilakukan oleh Susiloadi, Priyanto (2008) bahwa
adanya komitmen perusahaan untuk memberikan kontribusi secara langsung kepada
masyarakat dengan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat itu sendiri dan
memperbaiki kualitas lingkungan sekitar perusahaan. Penyelenggaraan program CSR
yang berkelanjutan dapat memberdayakan masyarakat dan membina sinergi antara
dunia usaha, masyarakat dan pemerintah untuk mendukung pembangunan yang
berkelanjutan.
2008. Namun atas pembayaran biaya honor dan jasa dan pembebanan material
tetap terutang PPh Pasal 21/23/26 dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai
UU No 42 Th 2009 tentang PPN dan PPn BM.
2. Program CSR berupa iklan layanan masyarakat dan pemberian produk secara
10
cuma- cuma kepada masyarakat, baik pada situasi normal maupun ketika terjadi
bencana alam. Perusahaan yang melakukan promosi dengan membagi-bagikan
produknya sebagai sampel pada masyarakat; dalam aspek Pajak Penghasilan,
biaya yang dikeluarkan bukan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto karena merupakan pemberian kenikmatan atau natura seperti yang diatur
dalam UU PPh No 36 Tahun 2008 pasal 9 ayat 1 huruf e. Dari aspek PPN,
perusahaan juga terutang PPN atas produk yang diberikan secara cuma-cuma
dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar harga jual dikurangi laba kotor.
Penempatan pos biaya CSR seyogianya dibedakan dengan pos biaya
sumbangan yang merupakan negative list sebagai unsur pengurang yang bukan
objek pajak baik dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf l serta pasal 9 ayat (1)
huruf g UU PPh tahun 2008. Pengeluaran yang berkaitan dengan CSR supaya
dapat dibebankan sebagai biaya usaha dapat dimasukkan dalam kategori
pemberian pos sumbangan yang diperbolehkan dalam pasal 6 ayat (1) huruf i
sampai dengan huruf m UU PPh tahun 2008 yaitu:
(a) sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana alam nasional,
(b) sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan di Indonesia,
(c) biaya pembangunan infrastruktur sosial,
(d) sumbangan dalam rangka fasilitas pendidikan, dan
(e) sumbangan dalam rangka pembinaan olah raga.
Adanya alokasi pembebanan biaya CSR dalam Laporan Laba Rugi yang
diperbolehkan oleh UU PPh, berarti akan mengurangi Pajak Penghasilan perusahaan.
Pengeluaran CSR yang fully deductable secara nyata menjadi tanggungjawab
bersama antara Pemerintah dan perusahaan. Walaupun 100% dikeluarkan oleh
perusahaan, namun karena Pajak Penghasilan berkurang maka pengeluaran CSR
sebagian yaitu sebesar tarif PPh sebesar 75% ditanggung perusahaan dan sisanya 25%
ditanggung Pemerintah.
Dengan memperjelas aturan pelaksanaan UU PPh yang membolehkan
pembebanan CSR sebagai biaya usaha maka secara nyata Pemerintah telah
mendorong pembangunan ekonomi melalui dorongan kepada perusahaan mengambil
sebagian dari hak Negara untuk disalurkan kepada masyarakat melalui program CSR
11
perusahaan. Sebagaimana disyaratkan oleh Gunadi (2007), program CSR perusahaan
merupakan program pembangunan ekonomi yang tidak semata-mata didorong oleh
Pemerintah melainkan ikut dibantu oleh sektor swasta.
Adanya kepastian pembebanan CSR dalam UU PPh akan menjadikan investor
yang akan menanamkan modalnya secara langsung di Indonesia semakin yakin
bahwa kepastian berusaha dapat dicapai tanpa khawatir melanggar UU PT dan UU
Penanaman Modal. Perlu disadari oleh semua pihak bahwa beban CSR bukan semata-
mata sedekah perusahaan kepada masyarakat sekitarnya, tetapi dijadikan sebagai
unsur penggerak perekonomian masyarakat. Mekanisme penyaluran CSR yang
diutamakan dan diwajibkan kepada Wajib Pajak yang telah memperoleh laba usaha
kena pajak akan menaikkan daya saing ekonomi di mata investor global yang akan
masuk ke Indonesia.
Peraturan Pemerintah yang mengatur kewajiban perusahaan untuk
menyisihkan sebagian dari pendapatannya untuk biaya tanggung jawab perusahaan
untuk memenuhi pasal 74 UU PT lebih menekankan program kemitraan yang saling
menguntungkan sehingga tidak merugikan pihak yang terlibat dalam program CSR
perusahaan. Apabila ketentuan pelaksanaan dari kedua UU yaitu UU PPh dan UU
PT yang menyangkut CSR perusahaan sinkron maka program CSR dapat membantu
meningkatkan taraf hidup masyarakat dan kemajuan perusahaan sekaligus
meringankan beban Pemerintah dalam menyediakan fasilitas sosial masyarakat tanpa
kehilangan porsi kewajiban perpajakan yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak.
Kewajiban CSR tidak mudah didefinisikan dalam beban usaha yang boleh
mengurangi penghasilan bruto. Ketidak sinkronan aturan yang ada menjadi kendala
12
bahwa pengeluaran tersebut memenuhi kriteria-kriteria yaitu:
(1) Ordinary expense, bahwa komponen biaya secara umum dapat menjadi
pengurang penghasilan bruto bagi semua Wajib Pajak.
(2) Necesssary, bahwa biaya yang dikeluarkan dianggap mampu untuk memberi
kontribusi menghasilkan pendapatan perusahaan.
(3) Trade or business, bahwa biaya usaha adalah berhubungan dengan kegiatan
lini usaha perusahaan.
(4) Reasonable in amount, bahwa biaya yang dikeluarkan merupakan jumlah
yang wajar sesuai kepentingan usaha.
Wajib Pajak senantiasa berupaya memaksimalkan pengurangan biaya-biaya
usaha termasuk biaya CSR untuk meminimalkan Penghasilan Kena Pajak dan pajak
terutang sebagaimana ditegaskan oleh Williams, David F, (2007) bahwa wajib pajak
berupaya secara legal untuk melakukan peghindaran pajak. Pengaturan dasar yang
menjadi acuan dalam menetapkan pengeluaran CSR sebagai sebagai pengurang
penghasilan bruto usaha sebagaimana telah diatur dalam pasal 6 ayat (1) UU PPh
tahun 2008 yaitu prinsip 3M (mendapatkan, menagih dan memelihara) penghasilan
seharusnya mengurangi perbedaan interpretasi antara aparat pajak dan Wajib Pajak.
Adanya kepastian pembebanan CSR dalam UU PPh akan menjadikan investor
yang akan menanamkan modalnya secara langsung di Indonesia semakin yakin
bahwa kepastian berusaha dapat dicapai tanpa rasa khawatir melanggar UU PT dan
UU Penanaman Modal. Perlu disadari oleh semua pihak bahwa beban CSR bukan
13
kepada masyarakat tanpa melalui kas Negara sebagai wadah menampung pajak yang
terutang.
Bagi perusahaan yang belum mendapatkan laba kena pajak namun terdorong
secara sukarela untuk melaksanakan CSR boleh saja namun konsekuensi tidak
mendapat pengurangan biaya dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak. Perusahaan
tentu akan memikirkan dampak sosial dan ekonomi jangka panjang pasca penyaluran
biaya CSR yang akan meningkatkan citra perusahaan dimata publik dan para stake
holder lainnya.
Mekanisme pembebanan dan pengurangan dari Penghasilan Kena Pajak
supaya tidak menimbulkan perdebatan yang panjang dikemudian hari, maka perlu
mempertimbangkan bentuk penyaluran perusahan seperti pola penyaluran CSR yang
umum dilakukan oleh beberapa perusahaan. Permasalahan yang akan muncul adalah
mekanisme pengawasan dalam penyaluran CSR perusahaan yang terkait dengan
sistem pemungutan pajak Indonesia berdasarkan sistem self assesment. Aparat pajak
tidak mungkin mengawasi secara detil masing-masing Wajib Pajak yang
melaksanakan CSR, walau sudah dipilah khusus yang mendapatkan laba kena pajak.
Bentuk pembebanan biaya CSR perusahaan yang tidak bertentangan dengan
prinsip dasar dalam UU PPh dapat dilakukan dalam bentuk nyata seperti :
1. Program bea siswa kepada anak berprestasi melalui institusi lembaga pendidikan
atau melakukan sendiri program pendidikan dengan merekrut peserta dari luar
perusahaan untuk dididik dan disalurkan menjadi calon karyawan handal tanpa
embel-embel ikatan dinas. Perusahaan akan mendapat tenaga kerja yang unggul
dan dapat ditingkatkan melalui pelatihan berkelanjutan. Semua pengeluaran ini
akan menjadi pengurang penghasilan bruto sesuai pasal 4 ayat (3) huruf i tahun
2008.
Bentuk lain CSR di bidang pendidikan adalah memberikan bantuan fasilitas
sekolah seperti ruang kelas/kuliah, dan alat praktikum. Pemberian sumbangan
bentuk infrastruktur bisa dikelompokkan sebagai deductable sesuai pasal 6 ayat
(1) huruf k UU PPh tahun 2008.
2. Program kemitraan dengan masyarakat sekitar perusahaan dan lembaga
masyarakat dalam rangka perbaikan lingkungan berbentuk penolahan limbah
14
perusahaan. Disamping beban pengeluaran limbah yang dapat dikurangkan
sebagai biaya usaha sesuai pasal 6 ayat (1a) huruf 5 sekaligus juga dihasilkan
limbah yang bernilai jual ekonomis, seperti barang-barang alat rumah tangga dari
limbah plastik yang diolah dengan teknologi yang dibiayai oleh perusahaan dan
dikerjakan oleh masyarakat dalam program CSR perusahaan.
3. Pengaturan yang dibuat melalui Peraturan Pemerintah seperti PP No 18 tahun
2009 baru menyentuh pengaturan mengenai sumbangan yang dikecualikan
sebagai objek PPh apabila disalurkan sebagai kewajiban keagamaan dengan
syarat tidak ada hubungan dengan usaha diantara pihak yang bersangkutan. Sudah
tiba saatnya pengaturan mengenai pengeluaran CSR yang dikemas dalam bentuk
sumbangan yang dikeluarkan oleh perusahaan dan bersifat produktif seperti
kemitraan dengan masyarakat sekitar sebagai wujud tanggung jawab sosial
perusahaan kepada stakeholdernya.
Apabila tidak diatur dengan jelas maka perusahaan yang melaksanakan CSR
akan cenderung berusaha membebankan biaya CSR dalam pengurang penghasilan
bruto yang dikemas dalam aspek perencanaan pajak (tax planning) yang
15
pemegang saham untuk dihibahkan dalam donasi lembaga sosial perusahaan.
Diharapkan lembaga ini menjadi pemicu bagi peningkataan pemberdayaan
masyarakat lewat CSR yang mampu memajukan masyarakat seperti yang dilakukan
oleh beberapa perusahaan terkenal yaitu Ford Foundation di Amerika Serikat dan
Sampurna Foundation di Indonesia.
Pilihan lain yang lebih moderat adalah dengan mengalokasikan sebagian
penghasilan dalam satu pos neraca yang disalurkan dalam bentuk dana bergulir ke
masyarakat yang berinteraksi dengan perusahaan. Penyaluran dana ini dapat
dikategorikan sebagai pinjaman tanpa bunga yang diharapkan menguntungkan
perusahaan dan penerima bantuan seperti bentuk kemitraan usaha kecil dan
menengah. Solusi seperti ini merupakan pengejawantahan tanggungjawab perusahaan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders responsibility) dalam bentuk
simbiosis yang saling menguntungkan. Negara juga tidak dibebani adanya potensi
pengurangan pajak dari pengeluaran CSR perusahaan.
16
komponen CSR perusahaan. Demikian juga sebaiknya mensinkronkan perlakuan
Pajak Penghasilan atas biaya CSR dengan ketentuan yang sudah diatur dalam UU PT
dan UU Penanaman Modal. Permasalahan yang dihadapi masing-masing Wajib Pajak
dalam menyalurkan biaya CSR tidaklah sama.
Lebih lanjut menurut Yonah (2006), permasalahan yang timbul bagi
perusahaan dari aktivitas CSR akan bertentangan dengan upaya maksimisasi profit
bagi pemegang saham. Namun apabila proses kegiatan CSR disandingkan dengan
upaya publikasi kegiatan perusahaan maka keuntungan ganda akan didapat yaitu
pengurangan beban pajak yang berasal dari pos biaya CSR dan aspek promosi
kegiatan perusahaan di tengah masyarakat yang merasakan langsung dampak
pelaksanaan CSR perusahaan.
18
tingkat kepercayaan masyarakat kepada perusahaan dan mampu mengatasi konflik
yang terjadi. Melalui penerapan ketentuan pembebanan CSR yang diatur di UU No
36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, semakin memperjelas manfaat CSR di
Indonesia sehingga diharapkan memberikan keberhasilan yang nyata. Beberapa
manfaat yang dapat dicapai adalah sebagai berikut:
19
porsi saldo laba setelah pajak. Seperti langkah yang ditempuh PT Telekomunikasi
Indonesia Tbk tahun buku 2008 yang mengalokasikan dana CSR (dana program
kemitraan) sebesar 0,5% dari saldo laba setelah pajak sebesar Rp 53 miliar.
Pilihan sulit yang harus ditempuh oleh pengelola perusahaan yang diwajibkan
mengalokasikan anggaran untuk disalurkan sebagai tanggung jawab sosial dan
pertanggung jawaban kepada pemegang saham atas pengelolaan perusahaan.
Tanggung jawab utama perusahaan adalah kepada pemegang saham (shareholder)
bukan kepada masyarakat secara keseluruhan. Namun perlu disadari bahwa
perusahaan juga wajib menaati Undang-undang yang berlaku di Indonesia yang
mewajibkan kepada perusahaan mengalokasikan dana CSR. Supaya perusahaan
berhasil maksimisasi keuntungan bagi pemegang saham maka selayaknya perusahaan
juga memperhatikan tanggung jawab sosial kepada masyarakat yang merupakan
bagian dari stakeholder.
Diyakini bahwa keberhasilan kegiatan CSR akan mampu meningkatkan
tingkat kepercayaan masyarakat kepada perusahaan dan mampu mengatasi konflik
yang terjadi. Melalui penerapan ketentuan pembebanan CSR yang diatur pada UU No
36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan semakin memperjelas manfaat CSR di
Indonesia sehingga diharapkan memberikan keberhasilan nyata. Beberapa manfaat
yang dapat dicapai adalah:
(1) mampu memfasilitasi peningkatan mutu pendidikan melalui dukungan perusahaan
untuk penemuan metode-metode pengajaran yang penting bagi masyarakat dan
peningkatan infrastruktur pendidikan,
(2) memfasilitasi penelitian dan pengembangan untuk menemukan teknologi
sederhana bagi peningkatan mutu dan produktivitas nelayan, petani, penduduk
miskin perkotaan
(3) mendorong upaya perbaikan sarana dan fasilitas sosial masyarakat yang juga
memberi manfaat kepada perusahan
(4) mendorong perbaikan tata kelola perusahaan melalui kerja sama dengan
universitas, LSM dan golongan masyarakat.
Dari sisi pengaturan dalam UU Pajak Penghasilan sebaiknya aturan
pelaksanaan yang merupakan turunan Peraturan Pemerintah yang menjadi acuan bagi
20
perusahan untuk membebankan CSR sebagai pengurang penghasilan bruto
21
PENUTUP
REFERENSI
Caroll, Archie B.1979. A Three Dimensional Conceptual Model of Corporate
Performance. Academy of Management Review, October 1979, p 499.
Chambers, Eleanor; Chapple, Wendy; Moon, Jeremy and Sullivan, Michael. 2003.
CSR in Asia: A Seven Country Study of CSR Website Reporting.
International Centre for Corporate Social Responsibility Research Paper
Series.
22
of Miami website
http://www6.miami.edu/ethics2/pdf_files/csr_guide.pdf, diunduh tgl 19
Nopember 2009
Eklington, John. 2000. Cannibal with Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century
Business. Journal of Business Ethics, Vol 23, No. 2, Jan 2000.
Gunadi. 2007. Bagaimana Perlakuan Pajak atas CSR? Harian Bisnis Indonesia, 3
September 2007.
Kotler, Philip and Lee, Nancy. 2005. Corporate Social Responsibility, Doing the
Most Good for Your Company and Your Cause. John Wiley & Sons, Inc.
Marcel Van Marrewijk. 2003. Concepts and Definitions of CSR and Corporate
Sustainability: between Agency and Communion. Journal of Business
Ethics, May 2003; 44,2/3 pg 95-105.
23
. 2007. Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
Sacconi, Lorenzo. 2006. A Social Contract Account for CSR as an Extended Model
of Corporate Governance. Journal of Business Ethics, 68, pp 259-281.
The World Business Council for Sustainable Development. 2009. Business Role,
Corporate Social Responsibility (CSR). www.wbcsd.org, diunduh tanggal
3 Nopember 2009.
Werthey, JR; William B and Chandler, David. 2006. Strategic Corporate Social
Responsibility, Stakeholder in Global Environment. Sage Publication.
Wheeelen, Thomas L and Hunger, David J.2004. Strategic Management and Business
Policy,Ninth edition. Pearson Eduction International.
24
Indonesia. UPT Perpustakaan UNS, www.pustaka.uns.ac.id, diunduh tgl 3
Nopember 2009
World Business Council for Sustainable Development. 2002. The Business Case for
Sustainable Development. WBCSD,www.wbcsd.org, diunduh tanggal 3
Nopember 2009
Daftar Pustaka
https://id.wikipedia.org/wiki/Standar_Pelaporan_Keuangan_Internasional
https://id.wikipedia.org/wiki/Standar_Pelaporan_Keuangan_Internasional#Struktur_IFRS
https://id.wikipedia.org/wiki/Standar_Pelaporan_Keuangan_Internasional#Kerangka_kerja