Anda di halaman 1dari 25

MODUL PERKULIAHAN

Pajak Kontemporer

Pokok Bahasan
Corporate Social Responsibility dan
Pajak

Program Tatap
Fakultas Kode MK Disusun Oleh
Studi Muka
Pasca Sarjana Magister 3 Dr.Harnovinsah,Ak., CA
Akuntansi

Abstract Kompetensi

Materi ini menjelaskan Materi ini Memahami dan mampu menjelaskan


mencoba menguraikan antisipasi serta menganalisis konsep CSR dan
kebijakan perpajakan yang dapat Dampaknya terhadap perpajakkan.
menjadi alternatif solusi dari
permasalahan yang timbul akibat
perdebatan kewajiban tanggung jawab

1
sosial perusahaan dari sisi kajian
paradigma stakeholder approach

PENDAHULUAN

Corporate Social Responsibility (CSR) yang diterjemahkan dengan istilah


tanggung jawab sosial perusahaan menjadi hal yang semakin populer sejak
disahkannya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan
Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 74 UU PT
mewajibkan perusahaan melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang
melekat pada setiap perseroan dan yang tidak melaksanakan akan dikenai sanksi
hukum. Pasal 15 (b) UU Penanaman Modal juga mewajibkan setiap penanam modal
berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahan.
Ketentuan tentang CSR tersebut merupakan momok baru bagi investor yang
akan menanamkan modal secara langsung di Indonesia. Perusahaan akan
menganggarkan kewajiban tersebut sebagai biaya perseroan, yang akan
membebankannya dalam biaya pengurang penghasilan bruto dan berpotensi
mengurangi kewajiban perpajakan yang terutang dikemudian hari.
Kamar Dagang dan Industri (KADIN) menilai pasal tersebut menimbulkan
ketidakpastian hukum yang mengatur CSR sebagai kewajiban, padahal menurut
aturan sektoral CSR merupakan aktivitas sukarela. Sehingga KADIN meminta
Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut Pasal 74 UU PT yang mengatur CSR melalui
pengajuan pengujian kembali (judicial review) secara formil dan material (Suara
Pembaruan 16 April 2009). Namun putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 15 April
2009 ternyata menolak gugatan KADIN sehingga Tanggung Jawab Sosial dalam
Lingkungan (TJSL) atau yang lebih dikenal dengan Corporate Social Responsibility
(CSR) tetap menjadi kewajiban bagi perseroan terbatas (PT) walaupun masih
menunggu petunjuk pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah.
2
Indonesia belum memiliki konsep pelaksanaan tentang tanggung jawab
perusahaan sehingga perusahaan menafsirkannya sendiri sesuai dengan
kepentingannya seperti dalam bentuk sumbangan ke masyarakat sekitar perusahaan,
bantuan beasiswa, dan program pemberdayaan masyarakat. Berbagai konsep CSR
dari Pemerintah, perusahaan, LSM yang berbeda mengakibatkan hanya sekitar 20%
perusahaan besar yang melaksanakan CSR. Sesuai penelitian dan survei yang
dilakukan oleh Public Interest research and Advocacy atau PIRAC sebagaimanan di
ringkas oleh Saidi,Zaim,dkk. (2003) menunjukkan bahwa bentuk CSR perusahaan di
Indonesia adalah berupa bantuan modal usaha (59%), pelatihan manajemen usaha
(34%), ruang usaha dan pameran (21%), bantuan teknologi (13%) dan bantuan lain-
lain (7%) yang dialokasikan berbentuk hibah,
joint promotion, special event, payroll giving dan zakat perusahaan.

Materi ini mencoba menguraikan antisipasi kebijakan perpajakan yang dapat


menjadi alternatif solusi dari permasalahan yang timbul akibat perdebatan kewajiban
tanggung jawab sosial perusahaan dari sisi kajian paradigma stakeholder approach.
Peran masyarakat sangat diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan dan
perkembangan perusahaan. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat
maka perusahaan perlu berkomitmen untuk memberi dampak bagi masyarakat yang
berkepentingan dengan perusahaan baik internal maupun eksternal.
Pendekatan tanggung jawab perusahaan menurut pendekatan stakeholder
approach merupakan antitesis dari paradigma eksistensi perusahaan dengan
pendekatan shareholder approach. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Marcel van Marrewijk (2003) menunjukkan secara historis bahwa perusahaan
tidak semata-mata akuntabel terhadap pemegang saham melainkan harus
mengakomodir secara seimbang atas kepentingan stakeholder yang mempengaruhi
eksistensi perusahaan.

Perspektif pendekatan stakeholder dalam penyaluran CSR perusahaan

Permasalahan utama dalam konteks kehidupan perusahaan ditengah


masyarakat dewasa ini adalah sulitnya membuat suatu definisi mengenai tanggung
jawab sosial perusahaan terhadap lingkungannya. Ada beberapa definisi dan
3
terminologi yang dikemukakan kalangan dunia usaha sebagaimana dijelaskan oleh
Werthey, JR,William B and Chandler, David (2006) yaitu:

- Corporate responsibility atau business responsibility


- Corporate citizenship
- Copporate community engagement
- Community relations
- Corporate stewardship
- Sosial responsibility
Pengertian CSR sendiri, menurut The World Business Council for
Sustainable Development atau WBCSD (2002), "Corporate social responibility is the
continuing commitment by business to contribute to economic development while
improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the
community and society at large”.

CSR merujuk pada semua hubungan yang terjadi antara sebuah perusahaan dengan
semua stakeholders, termasuk didalamnya adalah pelanggan, pegawai, masyarakat,
pemilik atau investor, Pemerintah, supplier, bahkan juga pesaing. Menurut Kotler
dan Lee (2005) pengertian CSR adalah: “Corporate social responsibility is a
commitment to improve community well-being through discretionary business
practices and contribution of corporate resources”. CSR secara umum merupakan
keputusan perusahaan untuk mengembankan nilai etika bisnis, kepatuhan kepada
undang-undang, dan penghormatan kepada masyarakat sekitar.

Terdapat 6 (enam) bentuk insiatif yang dapat dikembangkan oleh perusahaan


sebagai wujud penerapan tanggungjawab perusahaan yaitu:
1. Cause Promotions: Perusahaan mengalokasikan dana untuk mendukung
partisipasi atau tindakan secara sukarela atas kegiatan sosial sekaligus
mempromosikan produk perusahaan.
2. Cause-related Marketing: Perusahan berkomitmen untuk memberikan kontribusi
atau menyumbang sebesar persentasi tertentu dari omset atas kegiatan sosial
sekaligus mempromosikan produk perusahaan.
3. Corporate Social marketing: Perusahaan mendukung upaya pengembangan dan

4
peningkatan perilaku untuk perubahan kesehatan masyarakat dan lingkungan

4. Corporate Philanthropy: Perusahaan memberikan donasi kepada amal sosial


secara langsung.
5. Community Volunteering: Perusahaan mendukung pegawai, pengecer, anggota
waralaba sebagai mitra sukarela untuk mendukung pengorganisasian masyarakat
lokal untuk menyelenggarakan kegiatan sosial dalam satu wadah organisasi
nirlaba.
6. Social Responsibility Business Practices: Perusahaan mengadopsi dan melakukan
praktik bisnis yang tidak lazim untuk mendukung kegiatan sosial masyarakat
dengan meningkatkan kehidupan masyarakat itu sendiri.
Tanggung jawab utama sebuah perusahaan secara historis adalah untuk
menghasilkan uang sebanyak-banyaknya dan meningkatkan nilai pemegang saham
(maximize shareholders value). Sesuai pendapat yang dikemukakan oleh Friedman
dalam Baron (2003:647) bahwa tanggung jawab perusahaan adalah menjalankan
perusahaan sesuai dengan keinginan pemilik untuk menghasilkan keuntungan
sebanyak mungkin sepanjang tidak melanggar hukum masyarakat dan etika
kebiasaan.
Menurut Sacconi (2006) pelasakaan CSR perusahaan merupakan perluasan
dari tugas tata kelola perusahaan (corporate governance). Pengelola perusahaan yaitu
dewan direksi bertanggung jawab untuk memenuhi amanah pemilik perusahaan
secara fiduciary duties dan kepada semua stakeholder perusahaan. Tanggung jawab
pengelolaan perusahaan merupakan wujud kepercayaan yang diberikan oleh pemilik
kepada dewan direksi untuk mengemban tugas dengan baik .
Namun seiring perubahan adanya tren globalisasi maka tanggung jawab
perusahaan juga untuk lingkungan, penduduk sekitar, kondisi lingkungan kerja, dan
praktik etika. Perusahaan disamping mencapai target profitisasi maka harus
mencakup pencapaian aspek kesejahteraan masyarakat dan berkontribusi
menyeimbangkan kelestarian lingkungan.
Pilar yang dikemukakan oleh Elkingkton (2000) dengan istilah triple bottom
line yaitu: (1) economic prosperity, (2) environmental quality, dan (3) social justice.

Konsep yang dikenal juga sebagai people, planet, dan profit merupakan tiga pilar
5
untuk mengukur pencapaian suatu organisasi atas nilai-nilai ekonomi, lingkungan dan
sosial. Fokus utama perusahaan tidak semata-mata untuk meningkatkan nilai ekonomi
perusahaan tetapi juga nilai-nilai lingkungan dan sosial.
Perusahaan perlu mengadopsi praktik bisnis yang mengedepankan peranan
karyawan, masyarakat dan lingkungan dimana perusahaan berada. Perbaikan
lingkungan yang rusak melalui program CSR perusahaan akan membantu pemulihan
planet dari kerusakan yang semakin parah. Melalui penciptaan nilai ekonomis yang
diakumulasikan dalam bentuk profit maka perusahaan semakin mampu melaksanakan
program CSR yang berkelanjutan.
Perusahaan tidak semata-mata bertanggung jawab ke pemegang saham saja
tetapi juga untuk kepentingan stakeholder. Secara luas stakeholder perusahaan
meliputi: pegawai, pelanggan, rekanan, investor, suplier, Pemerintah, dan masyarakat.
Pada dasarnya setiap perusahaan menghadapi tiga kelompok stakeholder yaitu:
1. Economic Stakeholders, yaitu : pelanggan, kreditur, distributor, dan supplier.
2. Organizational stakeholders, yaitu: karyawan, manajer, dan serikat pekerja.
3. Societal stakeholders, yaitu: masyarakat sekitar, Pemerintah dan lembaga
pengawas usaha, serta Lembaga Swadaya Masyarakat.
Lebih lanjut pegelompokan para stakeholder perusahaan dibagi dalam
internal stakeholder dan external stakeholder. Menurut Hill dan Jones (2001:43),
pemegang saham (shareholder) dan pegawai termasuk manajemen, dewan direksi
merupakan bagian dari internal stakeholder. Sedangkan individu dan kelompok yang
memiliki klaim terhadap perusahaan seperti pelanggan, supplier, Pemerintah, serikat
buruh, masyarakat lokal sekitar perusahaan dan badan-badan layanan publik adalah
kelompok external stakeholder.

Pendekatan tanggung jawab perusahaan menurut pendekatan stakeholder


approach merupakan antitesis dari paradigma eksistensi perusahaan dengan
pendekatan shareholder approach. Aktivitas perusahaan tidak semata-mata
hanya untuk memenuhi target yang diharuskan oleh pemegang saham,
melainkan harus menjaga kesinambungan pemenuhan keinginan dari para
stakeholder.

6
Sebagaimana dikemukakan oleh Chandler, David (2003), pelaksanaan
CSR melalui pendekatan stakeholder akan menjadikan perusahaan semakin
dipercaya oleh pihak- pihak yang berkepentingan. Konsumen yang ingin
membeli produk perusahaan yang dipercayai, supplier hanya mau bekerja
sama denga perusahaan yang dapat dipercaya, karyawan hanya mau bekerja
pada perusahaan yang memberikan respek kepada mereka, LSM mau bekerja
sama dengan perusahaan yang memberikan solusi dan inovasi dalam berbagai
area yang mendapat perhatian khusus. Dengan memuaskan kepentingan tiap
stakeholder maka perusahaan akan mampu meningkatkan komitmen kepada
kelompok kepentingan seperti investor.

Upaya pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) atau corporate


citizenship dimaksudkan untuk mendorong dunia usaha lebih etis dalam menjalankan
aktivitasnya agar tidak berpengaruh atau berdampak buruk pada masyarakat dan
lingkungan hidupnya, sehingga pada akhirnya dunia usaha akan dapat bertahan secara
berkelanjutan untuk memperoleh manfaat ekonomi yang menjadi tujuan dibentuknya
dunia usaha.

Secara global telah terjadi perubahan paradigma fenomena praktik


pelaksanaan CSR terutama dimotori perusahaan publik yang terdaftar di bursa saham.
Sudah suatu keharusan seperti di New York Stock Exchange yang menerapkan Dow
Jones Sustainability Index (DJSI) bagi emiten perusahaan yang melaksanakan praktik
CSR berupa Corporate Sustainability sejak tahun 1999. Hal yang sama diadopsi oleh
London Stock Exchange dengan Social Responsibility Investment (SRI) Index sejak
tahun 2001. Bagi perusahan publik tersebut CSR sudah merupakan komitmen
perusahaan untuk berkontribusi mengembangkan ekonomi berkelanjutan melalui
bekerjasama dengan pegawai, keluarga pegawai, dan masyarakat sekitar untuk
memperbaiki kondisi kehidupan yang lebih baik bagi perusahan dan pembangunan
negara dimana perusahaan berdiri.
Hasil survai "The Millenium Poll on CSR" (1999) yang dilakukan oleh
Environics International (Toronto), Conference Board (New York) dan Prince of
7
Wales Business Leader Forum (London) terhadap 25.000 responden di 23 negara
menunjukkan bahwa dalam membentuk opini tentang perusahaan, 60% mengatakan
bahwa etika bisnis, praktek terhadap karyawan, dampak terhadap lingkungan,

tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) akan paling berperan, sedangkan bagi 40%
citra perusahaan dan brand image yang akan paling mempengaruhi kesan mereka.
Hanya 1/3 yang mendasari opininya atas faktor-faktor bisnis fundamental seperti
faktor finansial, ukuran perusahaan, strategi perusahaan, atau manajemen.
Berbagai kejadian yang menyedihkan dialami oleh masyarakat disekitar
perusahan pertambangan di Indonesia menjadi pemicu betapa semakin pentingnya
tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat. Seperti bencana lumpur
Lapindo yang menenggelamkan lebih dari 10.000 rumah penduduk, 600 ha sawah,
dan belasan pabrik memaksa PT Lapindo Brantas harus menanggung kerugian
material yang diderita masyarakat tersebut. Demikian juga kerusakan lingkungan
yang diakibatkan penambangan emas di Teluk Buyat oleh PT Newmont Minahasa,
dampak lingkungan di sungai Aikwa akibat penambangan emas PT Freeport, dan
kerusakan lingkungan sekitar Danau Toba akibat industri pulp PT Toba Pulp Lestari.
Dampak kerugian tersebut seyogianya menjadi pemikiran bagi pengelolan perusahan
untuk memperhatikan kepentingan masyarakat yang merupakan bagian stakeholder
perusahaan.
Sebagaimana menurut World Business Council for Sustainable Development
(2002), dalam rangka mencapai pelaksanaan CSR yang berkelanjutan sebaiknya
perusahaan mengintegrasikan program CSR dalam business strategy. Langkah-
langkah strategi perusahaan dapat ditempuh dengan beberapa alternatif yaitu:
- Terfokus pada individu, manajer dan penduduk di sekitar perusahaan.
- Menetapkan dasar hukum bagi perusahaan melalui penerapan kode etik dalam
pembelajaran karyawan.
- Memperlakukan karyawan sebagai aset terbaik perusahaan dan memperhatikan
juga lingkungan masyarakat dan budaya masyarakat sekitarnya.
- Menetapkan sistem untuk menerapkan program CSR secara transparan dan
berkesinambungan.
- Menerapkan kerjasama tidak semata-mata untuk tujuan publisitas tetapi juga

8
untuk mencapai realisasi tujuan CSR perusahaan.

- Mengukur dan menghitung hal-hal yang telah dikerjakan karyawan.


- Melaporkan secara konsisten kepada pihak-pihak stakeholder perusahaan perihal
program yang telah dicapai dalam penyaluran CSR perusahaan.
Pelaksanaan CSR di Indonesia belum berjalan secara sistematis oleh seluruh
perusahaan yang ada. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Chambers,et.al (2003) atas
50 perusahaan pada masing-masing negara Asia (India, Korea Selatan, Thailand,
Singapura, Malaysia, Filipina dan Indonesia) menunjukkan bahwa perusahaan di
Indonesia termasuk paling rendah dalam pelaksanaan CSR. Hanya ada beberapa
perusahaan yang telah menunjukkan aksi nyata dalam keberhasilan pelaksanaan CSR
seperti PT HM Sampoerna, PT Petrokimia Gresik, PT Semen Gresik , PT Nike, dan
PT Riau Andalan Pulp & Paper. Berbagai aksi implementasi kegiatan CSR yang
dilakukan oleh perusahaan besar di Indonesia dewasa ini adalah dalam bentuk
community development, charity, atau kegiatan-kegiatan filantropi.
Berbagai model penyaluran CSR yang dilakukan oleh beberapa perusahaan
besar di Indonesia dilaksanakan dengan bentuk seperti :
(1) Secara langsung menjalankan program CSR dengan menugaskan manajer senior
menyelenggarakan kegiatan sosial atau pemberian sumbangan ke masyarakat.
(2) Mendirikan yayasan yang berafiliasi ke perusahaan dan mendapatkan dana
operasi dari perusahaan atau dari pemegang saham.
(3) Melakukan mitra kerja sama dengan pihak lain seperti perguruan tinggi dan
organisasi LSM untuk melaksanakan kegiatan sosial perusahaan.
(4) Bergabung dengan konsorsium dari beberapa perusahaan melakukan kegiatan
bersama membantu masyarakat dalam proyek bantuan sosial perusahaan.
Menurut pendapat Tanudjaja,Bing Bedjo (2006), pelaksanaan CSR oleh
perusahaan di Indonesia yang dikemas dalam bentuk proyek-proyek sosial ditengarai
adalah untuk sasaran keuntungan komersial. Perusahaan akan mendapat peningkatan
reputasi dimata publik dan Pemerintah sehingga tujuan untuk memaksimisasi
keuntungan akan tercapai. Oleh karena itu peraturan UU yang mewajibkan

perusahaan untuk melaksanakan CSR akan menurunkan daya saing global perusahaan
dan membebani perusahaan.
9
Padahal apabila ditelisik lebih dalam pelaksanaan CSR maka masyarakat di
sekitar perusahaan akan lebih sejahtera dan akan menjamin keamanan dan
kelangsungan usaha dengan langgeng. Biaya CSR tidak semata-mata sebagai
pengeluaran biaya yang menjadi pusat biaya (cost centre) namun dapat diarahkan
menjadi sentra laba (profit centre). CSR dapat meningkatkan image perusahaan
sehingga dunia usaha tidak memandang CSR sebagai suatu tuntutan represif dari
masyarakat, melainkan sebagai kebutuhan dunia usaha.
Sesuai hasil telaah yang dilakukan oleh Susiloadi, Priyanto (2008) bahwa
adanya komitmen perusahaan untuk memberikan kontribusi secara langsung kepada
masyarakat dengan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat itu sendiri dan
memperbaiki kualitas lingkungan sekitar perusahaan. Penyelenggaraan program CSR
yang berkelanjutan dapat memberdayakan masyarakat dan membina sinergi antara
dunia usaha, masyarakat dan pemerintah untuk mendukung pembangunan yang
berkelanjutan.

Antisipasi Kebijakan Perpajakan terhadap tuntutan stakeholder dalam CSR


perusahaan

Pelaksanaan program CSR perusahan merupakan kegiatan yang erat dengan


berbagai ketentuan dalam Undang-undang Perpajakan di Indonesia. Sebagaimana
diuraikan oleh Wiwoho, Jamal (2009) maka aspek perpajakan dalam pelaksanaan
CSR perusahaan dapat diidentifikasikan dari berbagai kegiatan yang dilaksanakan:
1. Kegiatan yang menyangkut lingkungan hidup.
Proses pengolahan limbah dan pengendalian polusi serta operasi bisnis dalam
rangka perbaikan kerusakan lingkungan dapat dibebankan sebagai biaya
pengolahan limbah yang dibebankan sebagai biaya pengurang penghasilan bruto
sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat 1 huruf a butir 5 UU PPh No 36 tahun

2008. Namun atas pembayaran biaya honor dan jasa dan pembebanan material
tetap terutang PPh Pasal 21/23/26 dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai
UU No 42 Th 2009 tentang PPN dan PPn BM.
2. Program CSR berupa iklan layanan masyarakat dan pemberian produk secara
10
cuma- cuma kepada masyarakat, baik pada situasi normal maupun ketika terjadi
bencana alam. Perusahaan yang melakukan promosi dengan membagi-bagikan
produknya sebagai sampel pada masyarakat; dalam aspek Pajak Penghasilan,
biaya yang dikeluarkan bukan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto karena merupakan pemberian kenikmatan atau natura seperti yang diatur
dalam UU PPh No 36 Tahun 2008 pasal 9 ayat 1 huruf e. Dari aspek PPN,
perusahaan juga terutang PPN atas produk yang diberikan secara cuma-cuma
dengan Dasar Pengenaan Pajak sebesar harga jual dikurangi laba kotor.
Penempatan pos biaya CSR seyogianya dibedakan dengan pos biaya
sumbangan yang merupakan negative list sebagai unsur pengurang yang bukan
objek pajak baik dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf l serta pasal 9 ayat (1)
huruf g UU PPh tahun 2008. Pengeluaran yang berkaitan dengan CSR supaya
dapat dibebankan sebagai biaya usaha dapat dimasukkan dalam kategori
pemberian pos sumbangan yang diperbolehkan dalam pasal 6 ayat (1) huruf i
sampai dengan huruf m UU PPh tahun 2008 yaitu:
(a) sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana alam nasional,
(b) sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan di Indonesia,
(c) biaya pembangunan infrastruktur sosial,
(d) sumbangan dalam rangka fasilitas pendidikan, dan
(e) sumbangan dalam rangka pembinaan olah raga.
Adanya alokasi pembebanan biaya CSR dalam Laporan Laba Rugi yang
diperbolehkan oleh UU PPh, berarti akan mengurangi Pajak Penghasilan perusahaan.
Pengeluaran CSR yang fully deductable secara nyata menjadi tanggungjawab
bersama antara Pemerintah dan perusahaan. Walaupun 100% dikeluarkan oleh
perusahaan, namun karena Pajak Penghasilan berkurang maka pengeluaran CSR

sebagian yaitu sebesar tarif PPh sebesar 75% ditanggung perusahaan dan sisanya 25%
ditanggung Pemerintah.
Dengan memperjelas aturan pelaksanaan UU PPh yang membolehkan
pembebanan CSR sebagai biaya usaha maka secara nyata Pemerintah telah
mendorong pembangunan ekonomi melalui dorongan kepada perusahaan mengambil
sebagian dari hak Negara untuk disalurkan kepada masyarakat melalui program CSR

11
perusahaan. Sebagaimana disyaratkan oleh Gunadi (2007), program CSR perusahaan
merupakan program pembangunan ekonomi yang tidak semata-mata didorong oleh
Pemerintah melainkan ikut dibantu oleh sektor swasta.
Adanya kepastian pembebanan CSR dalam UU PPh akan menjadikan investor
yang akan menanamkan modalnya secara langsung di Indonesia semakin yakin
bahwa kepastian berusaha dapat dicapai tanpa khawatir melanggar UU PT dan UU
Penanaman Modal. Perlu disadari oleh semua pihak bahwa beban CSR bukan semata-
mata sedekah perusahaan kepada masyarakat sekitarnya, tetapi dijadikan sebagai
unsur penggerak perekonomian masyarakat. Mekanisme penyaluran CSR yang
diutamakan dan diwajibkan kepada Wajib Pajak yang telah memperoleh laba usaha
kena pajak akan menaikkan daya saing ekonomi di mata investor global yang akan
masuk ke Indonesia.
Peraturan Pemerintah yang mengatur kewajiban perusahaan untuk
menyisihkan sebagian dari pendapatannya untuk biaya tanggung jawab perusahaan
untuk memenuhi pasal 74 UU PT lebih menekankan program kemitraan yang saling
menguntungkan sehingga tidak merugikan pihak yang terlibat dalam program CSR
perusahaan. Apabila ketentuan pelaksanaan dari kedua UU yaitu UU PPh dan UU
PT yang menyangkut CSR perusahaan sinkron maka program CSR dapat membantu
meningkatkan taraf hidup masyarakat dan kemajuan perusahaan sekaligus
meringankan beban Pemerintah dalam menyediakan fasilitas sosial masyarakat tanpa
kehilangan porsi kewajiban perpajakan yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak.
Kewajiban CSR tidak mudah didefinisikan dalam beban usaha yang boleh
mengurangi penghasilan bruto. Ketidak sinkronan aturan yang ada menjadi kendala

bagi Pemerintah dalam menjaring investor baru untuk menanamkan modal di


Indonesia secara langsung. Investor tidak mempunyai pijakan kemana pos-pos biaya
CSR akan dibebankan supaya dapat mengurangi beban pajak perusahaan. Secara
kasat mata terlihat bahwa beban CSR tidak ada bedanya dengan pengeluaran
sumbangan (charity) yang dilarang oleh Undang-undang Pajak sebagai biaya usaha
pengurang penghasilan bruto.
Konsep teoretis mengenai jenis-jenis biaya yang menjadi pengurang
penghasilan bruto sebagaimana dikemukakan oleh Sommerfeld.et.al, (1969:145-146)

12
bahwa pengeluaran tersebut memenuhi kriteria-kriteria yaitu:
(1) Ordinary expense, bahwa komponen biaya secara umum dapat menjadi
pengurang penghasilan bruto bagi semua Wajib Pajak.
(2) Necesssary, bahwa biaya yang dikeluarkan dianggap mampu untuk memberi
kontribusi menghasilkan pendapatan perusahaan.
(3) Trade or business, bahwa biaya usaha adalah berhubungan dengan kegiatan
lini usaha perusahaan.
(4) Reasonable in amount, bahwa biaya yang dikeluarkan merupakan jumlah
yang wajar sesuai kepentingan usaha.
Wajib Pajak senantiasa berupaya memaksimalkan pengurangan biaya-biaya
usaha termasuk biaya CSR untuk meminimalkan Penghasilan Kena Pajak dan pajak
terutang sebagaimana ditegaskan oleh Williams, David F, (2007) bahwa wajib pajak
berupaya secara legal untuk melakukan peghindaran pajak. Pengaturan dasar yang
menjadi acuan dalam menetapkan pengeluaran CSR sebagai sebagai pengurang
penghasilan bruto usaha sebagaimana telah diatur dalam pasal 6 ayat (1) UU PPh
tahun 2008 yaitu prinsip 3M (mendapatkan, menagih dan memelihara) penghasilan
seharusnya mengurangi perbedaan interpretasi antara aparat pajak dan Wajib Pajak.
Adanya kepastian pembebanan CSR dalam UU PPh akan menjadikan investor
yang akan menanamkan modalnya secara langsung di Indonesia semakin yakin
bahwa kepastian berusaha dapat dicapai tanpa rasa khawatir melanggar UU PT dan
UU Penanaman Modal. Perlu disadari oleh semua pihak bahwa beban CSR bukan

semata-mata sedekah perusahaan kepada masyarakat sekitarnya, tetapi dijadikan


sebagai unsur penggerak perekonomian masyarakat. Mekanisme penyaluran CSR
yang diutamakan dan diwajibkan kepada Wajib Pajak yang telah memperoleh laba
usaha kena pajak akan menaikkan daya saing ekonomi di mata investor global yang
akan masuk ke Indonesia.
Lebih lanjut menurut Williams, David F (2007) area program CSR
perusahaan merupakan wujud tanggung jawab perusahaan kepada Negara yang telah
memberikan fasilitas pengurangan beban pajak melalui pengurangan biaya dari
penyaluran CSR setiap tahun. Seyogianya perusahaan sebagai Wajib Pajak dapat
mempertanggungjawabkan berkurangnya beban pajak akibat pengalokasian CSR

13
kepada masyarakat tanpa melalui kas Negara sebagai wadah menampung pajak yang
terutang.
Bagi perusahaan yang belum mendapatkan laba kena pajak namun terdorong
secara sukarela untuk melaksanakan CSR boleh saja namun konsekuensi tidak
mendapat pengurangan biaya dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak. Perusahaan
tentu akan memikirkan dampak sosial dan ekonomi jangka panjang pasca penyaluran
biaya CSR yang akan meningkatkan citra perusahaan dimata publik dan para stake
holder lainnya.
Mekanisme pembebanan dan pengurangan dari Penghasilan Kena Pajak
supaya tidak menimbulkan perdebatan yang panjang dikemudian hari, maka perlu
mempertimbangkan bentuk penyaluran perusahan seperti pola penyaluran CSR yang
umum dilakukan oleh beberapa perusahaan. Permasalahan yang akan muncul adalah
mekanisme pengawasan dalam penyaluran CSR perusahaan yang terkait dengan
sistem pemungutan pajak Indonesia berdasarkan sistem self assesment. Aparat pajak
tidak mungkin mengawasi secara detil masing-masing Wajib Pajak yang
melaksanakan CSR, walau sudah dipilah khusus yang mendapatkan laba kena pajak.
Bentuk pembebanan biaya CSR perusahaan yang tidak bertentangan dengan
prinsip dasar dalam UU PPh dapat dilakukan dalam bentuk nyata seperti :

1. Program bea siswa kepada anak berprestasi melalui institusi lembaga pendidikan
atau melakukan sendiri program pendidikan dengan merekrut peserta dari luar
perusahaan untuk dididik dan disalurkan menjadi calon karyawan handal tanpa
embel-embel ikatan dinas. Perusahaan akan mendapat tenaga kerja yang unggul
dan dapat ditingkatkan melalui pelatihan berkelanjutan. Semua pengeluaran ini
akan menjadi pengurang penghasilan bruto sesuai pasal 4 ayat (3) huruf i tahun
2008.
Bentuk lain CSR di bidang pendidikan adalah memberikan bantuan fasilitas
sekolah seperti ruang kelas/kuliah, dan alat praktikum. Pemberian sumbangan
bentuk infrastruktur bisa dikelompokkan sebagai deductable sesuai pasal 6 ayat
(1) huruf k UU PPh tahun 2008.
2. Program kemitraan dengan masyarakat sekitar perusahaan dan lembaga
masyarakat dalam rangka perbaikan lingkungan berbentuk penolahan limbah

14
perusahaan. Disamping beban pengeluaran limbah yang dapat dikurangkan
sebagai biaya usaha sesuai pasal 6 ayat (1a) huruf 5 sekaligus juga dihasilkan
limbah yang bernilai jual ekonomis, seperti barang-barang alat rumah tangga dari
limbah plastik yang diolah dengan teknologi yang dibiayai oleh perusahaan dan
dikerjakan oleh masyarakat dalam program CSR perusahaan.
3. Pengaturan yang dibuat melalui Peraturan Pemerintah seperti PP No 18 tahun
2009 baru menyentuh pengaturan mengenai sumbangan yang dikecualikan
sebagai objek PPh apabila disalurkan sebagai kewajiban keagamaan dengan
syarat tidak ada hubungan dengan usaha diantara pihak yang bersangkutan. Sudah
tiba saatnya pengaturan mengenai pengeluaran CSR yang dikemas dalam bentuk
sumbangan yang dikeluarkan oleh perusahaan dan bersifat produktif seperti
kemitraan dengan masyarakat sekitar sebagai wujud tanggung jawab sosial
perusahaan kepada stakeholdernya.
Apabila tidak diatur dengan jelas maka perusahaan yang melaksanakan CSR
akan cenderung berusaha membebankan biaya CSR dalam pengurang penghasilan
bruto yang dikemas dalam aspek perencanaan pajak (tax planning) yang

diperbolehkan Undang-undang Pajak. Sesuai pergeseran implementasi pembebanan


CSR untuk pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (community development)
maka perusahaan dapat mengalokasikan biaya CSR ke komponen biaya pendidikan,
biaya pengembangan usaha, biaya public relation, biaya kemitraan perusahaan dan
masyarakat. Sejalan dengan semarak peningkatan program CSR yang telah
menglobal dan meluas seyogianya Pemerintah dan dunia usaha menyatukan persepsi
yang dapat menciptakan sistem yang menjamin terlaksananya penyaluran CSR secara
akuntabel dan transparan.
Alternatif penyaluran program CSR yang tidak membebani perusahaan adalah
dengan membentuk lembaga dana sosial pemegang saham diluar mekanisme struktur
perusahaan. Sumber pendanaannya dialokasikan dari bagian saldo laba perusahaan
setelah dipotong pajak sehingga tidak perlu menambah biaya usaha yang menjadi
pengurangan penghasilan bruto. Pemegang saham selaku insan ekonomi sekaligus
insane sosial yang telah mendapat hasil investasi dari pendirian perusahaan sudah
selayaknya menyisihkan sebagian dari saldo laba yang merupakan porsi dividen

15
pemegang saham untuk dihibahkan dalam donasi lembaga sosial perusahaan.
Diharapkan lembaga ini menjadi pemicu bagi peningkataan pemberdayaan
masyarakat lewat CSR yang mampu memajukan masyarakat seperti yang dilakukan
oleh beberapa perusahaan terkenal yaitu Ford Foundation di Amerika Serikat dan
Sampurna Foundation di Indonesia.
Pilihan lain yang lebih moderat adalah dengan mengalokasikan sebagian
penghasilan dalam satu pos neraca yang disalurkan dalam bentuk dana bergulir ke
masyarakat yang berinteraksi dengan perusahaan. Penyaluran dana ini dapat
dikategorikan sebagai pinjaman tanpa bunga yang diharapkan menguntungkan
perusahaan dan penerima bantuan seperti bentuk kemitraan usaha kecil dan
menengah. Solusi seperti ini merupakan pengejawantahan tanggungjawab perusahaan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders responsibility) dalam bentuk
simbiosis yang saling menguntungkan. Negara juga tidak dibebani adanya potensi
pengurangan pajak dari pengeluaran CSR perusahaan.

Cara lain dengan menyamakan perlakuan sebagai pengecualian objek pajak


seperti bantuan atau sumbangan sebagaimana dimaksud dengan pasal 4 ayat (3) butir
a (1) UU PPh tahun 2008. Permasalahannya adalah pihak mana yang dianggap
sebagai lembaga diluar perusahaan yang bisa menyalurkan secara objektif dana CSR
kepada masyarakat atau pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan.
Siasat yang perlu diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam membuat
aturan pelaksanaan mengenai pembebanan biaya CSR perusahaan adalah
mewajibkan kepada pihak yang mengeluarkan biaya membuat daftar nominatif
penerima CSR seperti kewajiban daftar nominatif beban representatif/entertainment.
Sebaiknya cukup diatur pihak yang menjadi sasaran penerima CSR dan jumlah yang
disalurkan tanpa pembatasan nilai. Hal ini dapat menjadi alat kontrol bagi fiskus
apakah terdapat hubungan istimewa antara pihak perusahaan dan penerima CSR. Sisi
positif bagi perusahaan menjadi wujud pertanggungjawaban sesuai tujuan perusahaan
kepada pihak stakeholder dan tidak semata-mata memaksimisasi profit yang
diinginkan shareholder (pemegang saham).
Aturan pelaksanaan penyaluran CSR akan memberikan peluang bagi
perusahaan dengan rincian jenis-jenis biaya apa saja yang boleh masuk dalam

16
komponen CSR perusahaan. Demikian juga sebaiknya mensinkronkan perlakuan
Pajak Penghasilan atas biaya CSR dengan ketentuan yang sudah diatur dalam UU PT
dan UU Penanaman Modal. Permasalahan yang dihadapi masing-masing Wajib Pajak
dalam menyalurkan biaya CSR tidaklah sama.
Lebih lanjut menurut Yonah (2006), permasalahan yang timbul bagi
perusahaan dari aktivitas CSR akan bertentangan dengan upaya maksimisasi profit
bagi pemegang saham. Namun apabila proses kegiatan CSR disandingkan dengan
upaya publikasi kegiatan perusahaan maka keuntungan ganda akan didapat yaitu
pengurangan beban pajak yang berasal dari pos biaya CSR dan aspek promosi
kegiatan perusahaan di tengah masyarakat yang merasakan langsung dampak
pelaksanaan CSR perusahaan.

Demikian juga Peraturan Pemerintah yang mengatur kewajiban perusahaan


untuk mennyisihkan sebagian dari pendapatannya untuk biaya tanggung jawab
perusahaan untuk memenuhi pasal 74 UU PT lebih menekankan pada program
kemitraan yang saling menguntungkan sehingga tidak merugikan pihak yang terlibat
dalam program CSR perusahaan. Apabila ketentuan pelaksanaan dari kedua UU
yaitu UU PPh dan UU PT yang menyangkut CSR perusahaan sinkron maka program
CSR dapat membantu meningkatkan taraf hidup masyarakat dan kemajuan
perusahaan sekaligus meringankan beban Pemerintah dalam menyediakan fasilitas
sosial masyarakat tanpa kehilangan porsi kewajiban pajak yang harus dilunasi oleh
Wajib Pajak

CSR dan Strategi pengembangan Perusahaan

Bersamaan dengan pengembangan perusahaan yang bertujuan untuk mencapai


keuntungan yang maksimal bagi pemegang saham maka tanggung jawab terhadap
masyarakat harus tetap diakomodir. Menurut Caroll (1979), perusahan bertanggung
jawab secara sosial dalam empat bidang yaitu:
1) Tanggung jawab ekonomis: manajemen mengelola perusahaan untuk
menghasilkan barang dan jasa yang bernilai kepada masyarakat sehingga
perusahaan mampu melunasi kewajiban kepada kreditur dan pemegang saham.
2) Tanggung jawab hukum: pengelola perusahaan harus bertanggung jawab terhadap
17
Undang-Undang.
3) Tanggung jawab etika: pengelolaan perusahaan harus mengikuti nilai-nilai yang
ada di masyarakat.
4) Tanggung jawab diskresi: perusahaan harus secara sukarela mematuhi peraturan
yang dibuatnya sendiri.
Apabila perusahaan secara konsisten mematuhi aturan yang dibuat untuk
memenuhi realisasi tanggung jawab sosial maka beberapa keuntungan yang dapat
diperoleh sesuai dengan Wheelen dan Hunger (2004) antara lain:

a. Perhatian kapada lingkungan akan menghasilkan keuntungan bagi perusahaan


dengan kenaikan harga barang dan keuntungan yang didapat serta tercapainya
penggunaan merk secara loyal.
b. Hubungan baik yang terjalin dengan supplier dan distributor akan meringankan
perusahaan untuk kebijakan kontrak.
c. Kondisi yang kondusif akan menarik pegawai dari luar untuk bekerja di
perusahaan.
d. Perusahan akan bersahabat secara terbuka dengan kelompok usaha yang
mengganggu kinerja perusahaan.
e. Perusahaan akan memberikan goodwil kepada masyarakat.
f. Perusahaan akan mampu menarik investor baru untuk menanamkan investasinya
pada perusahaan.
Pilihan sulit yang harus ditempuh oleh pengelola perusahaan yang diwajibkan
mengalokasikan anggarannya untuk disalurkan sebagai tanggung jawab sosial dan
pertanggung jawaban kepada pemegang saham atas pengelolaan perusahaan.
Tanggung jawab utama perusahaan adalah kepada pemegang saham (shareholder)
bukan kepada masyarakat secara keseluruhan. Namun perlu disadari bahwa
perusahaan juga wajib menaati Undang-undang yang berlaku di Indonesia yang
mewajibkan kepada perusahaan mengalokasikan dana CSR. Supaya perusahaan
berhasil memaksimisasi keuntungan bagi pemegang saham maka selayaknya
perusahaan juga memperhatikan tanggung jawab sosial kepada masyarakat yang
merupakan bagian dari stakeholder.
Diyakini bahwa keberhasilan kegiatan CSR akan mampu meningkatkan

18
tingkat kepercayaan masyarakat kepada perusahaan dan mampu mengatasi konflik
yang terjadi. Melalui penerapan ketentuan pembebanan CSR yang diatur di UU No
36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, semakin memperjelas manfaat CSR di
Indonesia sehingga diharapkan memberikan keberhasilan yang nyata. Beberapa
manfaat yang dapat dicapai adalah sebagai berikut:

(1) mampu memfasilitasi peningkatan mutu pendidikan melalui dukungan


perusahaan untuk penemuan metode-metode pengajaran yang penting bagi
masyarakat dan peningkatan infrastruktur pendidikan;
(2) memfasilitasi penelitian dan pengembangan untuk menemukan teknologi
sederhana untuk peningkatan mutu dan produktivitas nelayan, petani, penduduk
miskin di perkotaan;
(3) mendorong upaya perbaikan sarana dan fasilitas sosial masyarakat yang juga
memberi manfaat kepada perusahaan; dan
(4) mendorong perbaikan tata kelola perusahaan melalui kerja sama dengan
Perguruan Tinggi, LSM dan golongan masyarakat.
Dalam konteks ekonomis keberadaan perusahaan yang tidak bisa lepas dari
peran stakeholder baik internal maupun eksternal maka kewajiban hukum pelaksanan
CSR sebagaimana telah diatur dalam pasal 74 UU Perseroan Terbatas merupakan
wujud tanggung jawab perusahaan sebagai warga negara. Dalam kehidupan
usahanya perusahaan senantiasa berkaitan dengan masyarakat yang merupakan mitra
dalam kegiatan usaha.
Sehubungan dengan mandat yang diamanatkan oleh pasal 6 ayat (1) huruf i
sampai dengan huruf m UU PPh tahun 2008 kepada Pemerintah untuk mengatur tata
cara pembebanan CSR menurut ketentuan perpajakan maka seyogianya dilakukan
koordinasi dengan instansi Pemerintah yang berwenang membuat Peraturan
Pemerintah sebagai pelaksanaan pasal 74 UU No 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas dan pasal 15 (b) UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
Pemerintah diharapkan bertindak dengan bijak untuk mengakomodir keinginan dunia
usaha sehingga dengan sukarela mau mengalokasikan biaya CSR. Pilihan yang
menguntungkan dari sisi UU Pajak Penghasilan bagi dunia usaha bisa memilih untuk
mengalokasikan biaya CSR dari biaya operasional perusahaan dan mengambil dari

19
porsi saldo laba setelah pajak. Seperti langkah yang ditempuh PT Telekomunikasi
Indonesia Tbk tahun buku 2008 yang mengalokasikan dana CSR (dana program
kemitraan) sebesar 0,5% dari saldo laba setelah pajak sebesar Rp 53 miliar.

Pilihan sulit yang harus ditempuh oleh pengelola perusahaan yang diwajibkan
mengalokasikan anggaran untuk disalurkan sebagai tanggung jawab sosial dan
pertanggung jawaban kepada pemegang saham atas pengelolaan perusahaan.
Tanggung jawab utama perusahaan adalah kepada pemegang saham (shareholder)
bukan kepada masyarakat secara keseluruhan. Namun perlu disadari bahwa
perusahaan juga wajib menaati Undang-undang yang berlaku di Indonesia yang
mewajibkan kepada perusahaan mengalokasikan dana CSR. Supaya perusahaan
berhasil maksimisasi keuntungan bagi pemegang saham maka selayaknya perusahaan
juga memperhatikan tanggung jawab sosial kepada masyarakat yang merupakan
bagian dari stakeholder.
Diyakini bahwa keberhasilan kegiatan CSR akan mampu meningkatkan
tingkat kepercayaan masyarakat kepada perusahaan dan mampu mengatasi konflik
yang terjadi. Melalui penerapan ketentuan pembebanan CSR yang diatur pada UU No
36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan semakin memperjelas manfaat CSR di
Indonesia sehingga diharapkan memberikan keberhasilan nyata. Beberapa manfaat
yang dapat dicapai adalah:
(1) mampu memfasilitasi peningkatan mutu pendidikan melalui dukungan perusahaan
untuk penemuan metode-metode pengajaran yang penting bagi masyarakat dan
peningkatan infrastruktur pendidikan,
(2) memfasilitasi penelitian dan pengembangan untuk menemukan teknologi
sederhana bagi peningkatan mutu dan produktivitas nelayan, petani, penduduk
miskin perkotaan
(3) mendorong upaya perbaikan sarana dan fasilitas sosial masyarakat yang juga
memberi manfaat kepada perusahan
(4) mendorong perbaikan tata kelola perusahaan melalui kerja sama dengan
universitas, LSM dan golongan masyarakat.
Dari sisi pengaturan dalam UU Pajak Penghasilan sebaiknya aturan
pelaksanaan yang merupakan turunan Peraturan Pemerintah yang menjadi acuan bagi

20
perusahan untuk membebankan CSR sebagai pengurang penghasilan bruto

mengakomodir biaya-biaya tanggung jawab sosial yang diamanatkan pasal 74 UU


No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Komponen biaya yang timbul bagi
perusahaan diarahkan sekaligus untuk memenuhi standar ISO 26000 yang
dikeluarkan oleh International Organization for Standardization tentang standar
social responsilbility yang meliputi aspek: lingkungan, Hak Azasi Manusia (HAM)
dan perburuhan, tata kelola perusahaan dan praktik yang wajar, isu keterlibatan
masyarakat sekitar perusahaan.
Penyelarasan pengaturan lebih lanjut dengan ketentuan pasal 15 (b) UU No 25
tahun 2007 tentang Penanaman Modal diarahkan untuk memberi dorongan dan daya
tarik bagi investor yang akan melakukan investasi langsung di Indonesia. Walaupun
Indonesia tidak memberikan lagi fasilitas bebas pajak (tax holiday) namun beban
CSR yang tetap diwajibkan bagi investor baru bisa diarahkan menjadi semacam
fasilitas pengurang pajak (deductable) yang telah dijamin oleh UU Pajak Penghasilan.
Kesan yang timbul adalah adanya pemaksaan CSR yang menjadikan sebagai momok
bagi investor asing untuk masuk ke Indonesia. Melalui aturan yang memberikan
insentif pengurang pajak dari pembangunan prasarana awal oleh perusahaan yang
berkaitan dengan masyarakat sebagai wujud yang diklasifikasikan menjadi CSR
akan mampu mendorong peningkatan investasi asing di Indonesia.
Penurunan penerimaan pajak dalam jangka pendek akibat berbagai bentuk
pengeluaran awal perusahaan akan tertutupi setelah perusahaan berhasil membangun
berbagai fasilitas sosial perusahaan. Perbedaan interpretasi atas jumlah biaya CSR
yang dapat dibebankan oleh perusahaaan sebagai pengurang penghasilan bruto dapat
dijelaskan secara gamblang bahwa tidak perlu ada pembatasan supaya perusahaan
tertarik dan melakukan secara bermartabat tidak dibayang-bayangi suatu momok
yang mengurangi minat investasi di Indonesia. Perlu diintensifkan pengawasan
pelaksanaan aturan dari ke tiga Undang-undang tesebut diatas yang memberi ruang
bagi penyaluran CSR perusahaan sehingga masyarakat disekitar perusahan merasakan
manfaat dari aktivitas perusahaan.

21
PENUTUP

CSR bagi perusahaan menjadi peluang memperluas jangkauan operasional


yang dapat mendekatkan produk perusahaan dengan masyarakat. Cakupan kegiatan
penyaluran tidak semata-mata hanya dalam konteks pemberian donasi tetapi harus
lebih luas kepada semua pihak-pihak yang merupakan stakeholder perusahaan.
Keandalan program kegiatan yang dijadikan acuan bagi penyaluran CSR hendaknya
mampu menimbulkan efek berganda bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
sekaligus perbaikan lingkungan disekitar domisili perusahaan. Tantangan yang
dihadapi berupa ketidak sinkronan antara berbagai ketentuan perundang-undangan
seperti yang diatur dalam Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas dan Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal tidak
perlu dijadikan alasan untuk mengurangi niat dan upaya yang akan dijalankan oleh
perusahaan dalam penyaluran CSR. Manfaat yang didapat perusahaan dari program
penyaluran CSR yang dilegimitasi oleh UU PPh 2008 ialah adanya pengurangan
beban pajak penghasilan sekaligus manfaat ajang promosi perusahaan kepada pihak-
pihak stakeholder. Fasilitas berupa pengurangan pajak terutama Pajak Penghasilan
hendaknya dijadikan sebagai wujud kepercayaan yang diberikan Negara kepada
Wajib Pajak dan harus dipertanggungjawabkan dengan benar kepada seluruh pihak-
pihak terkait.

REFERENSI
Caroll, Archie B.1979. A Three Dimensional Conceptual Model of Corporate
Performance. Academy of Management Review, October 1979, p 499.

Chambers, Eleanor; Chapple, Wendy; Moon, Jeremy and Sullivan, Michael. 2003.
CSR in Asia: A Seven Country Study of CSR Website Reporting.
International Centre for Corporate Social Responsibility Research Paper
Series.

Chandler, David .2003. A Guide to Corporate Social Responsibility. Undated paper on


University

22
of Miami website
http://www6.miami.edu/ethics2/pdf_files/csr_guide.pdf, diunduh tgl 19
Nopember 2009

Eklington, John. 2000. Cannibal with Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century
Business. Journal of Business Ethics, Vol 23, No. 2, Jan 2000.

Friedman, Milton.2003. The Social Responsibility of Business Is to Increase Its


Profits dalam Baron, David. P. 2003. Business and Its Environment.
Fourth Edition,Pearson Education, Ltd.

Gunadi. 2007. Bagaimana Perlakuan Pajak atas CSR? Harian Bisnis Indonesia, 3
September 2007.

Hill,Charles W.L and Jones, Gareth R. 2001. Strategic Management, An Integrated


Approach. Means Business, Inc.

Kotler, Philip and Lee, Nancy. 2005. Corporate Social Responsibility, Doing the
Most Good for Your Company and Your Cause. John Wiley & Sons, Inc.

Marcel Van Marrewijk. 2003. Concepts and Definitions of CSR and Corporate
Sustainability: between Agency and Communion. Journal of Business
Ethics, May 2003; 44,2/3 pg 95-105.

Republik Indonesia. 2009. Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 sebagaimana telah


diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 tahun 2009 tentang
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah.

. 2008. Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 sebagaimana telah


diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008 tentang
Pajak Penghasilan.

23
. 2007. Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.

. 2007. Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 tentang


Penanaman Modal.

Sacconi, Lorenzo. 2006. A Social Contract Account for CSR as an Extended Model
of Corporate Governance. Journal of Business Ethics, 68, pp 259-281.

Saidi,Zaim,dkk. 2003. Dari Filantropi menuju CSR: Potret Kedermawanan Sosial


Perusahaan di Indonesia, Piramedia. Ford Foundation dan PIRAC.
www.filantropi.or.id, diunduh tgl 3 Nopember 2009

Sommerfeld, Ray M; Hersel M. Anderson; Horace R. Brock.1969. An Introduction to


Taxation.New York: Harcoutr, Brace & World Inc.

Suara Pembaruan. 2009,16 April. MK Tolak Uji Materi UU PT

Susiloadi, Priyanto. 2008. Implementasi Corporate Social Responsibility untuk


Mendukung Pembangunan berkelanjutan. Spirit Publik, Volume 4 No 2.

Tanudjaja,Bing Bedjo. 2006. Perkembangan Corporate Social Responsibility di


Indonesia. Nirmana, Vol 8, No 2 ,hlm 92-98

The World Business Council for Sustainable Development. 2009. Business Role,
Corporate Social Responsibility (CSR). www.wbcsd.org, diunduh tanggal
3 Nopember 2009.

The Millenium Pool on Corporate Social Responsibility.1999. www.iblf.org/docs,


diunduh tanggal 3 Nopember 2009.

Werthey, JR; William B and Chandler, David. 2006. Strategic Corporate Social
Responsibility, Stakeholder in Global Environment. Sage Publication.

Wheeelen, Thomas L and Hunger, David J.2004. Strategic Management and Business
Policy,Ninth edition. Pearson Eduction International.

Williams, David F. 2007. Tax and Corporate Social Responsibility. Disscussion


Paper from KPMG’s Tax Business School.

Wiwoho, Jamal. 2009. Sinkronisasi Kebijakan Corporate Social Responsibility (CSR)


dengan Hukum Pajak sebagai Upaya Mewujudkan Kesejahteraan di

24
Indonesia. UPT Perpustakaan UNS, www.pustaka.uns.ac.id, diunduh tgl 3
Nopember 2009

World Business Council for Sustainable Development. 2002. The Business Case for
Sustainable Development. WBCSD,www.wbcsd.org, diunduh tanggal 3
Nopember 2009

Yonah- Avi,Reuven S. 2006. Corporate Social Responsibility and Strategic Tax


Behaviour. Michigan Law University of Michigan Law School, Working
Paper Series, No 69 Dec, 2006.

Daftar Pustaka

https://id.wikipedia.org/wiki/Standar_Pelaporan_Keuangan_Internasional
https://id.wikipedia.org/wiki/Standar_Pelaporan_Keuangan_Internasional#Struktur_IFRS
https://id.wikipedia.org/wiki/Standar_Pelaporan_Keuangan_Internasional#Kerangka_kerja

Anda mungkin juga menyukai