Anda di halaman 1dari 5

TUGAS INDUSTRIAL RELATIONS

Dosen Harry Natakoesoemah


SINOPSIS DARI ARTIKEL

Disusun oleh :
YOAN RAQUEL BESARE KOMUNIKASI BISNIS 09 NIM : 2009100011

CSR DAN IDE PEMBENTUKAN FOKPEDUM Robert Endi Jaweng

Saat ini, Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) sedang menyusun Rancangan Peraturan menteri Dalam Negeri (Permendagri), yang mengatur pedoman Pembentukan Forum Kementerian Pemerintah, Dunia Usaha, dan Masyarakat (Fokpedum) untuk mendukung implementasi corporate social responsibility (CSR) di daerah. Dengan merujuk isi draft akhir per Mei 2010 yang saya terima, tulisan ini mengajukan catatan kritis atas sejumlah muatan klausul dasar yang patut mendapat pembahasan intensif dan inklusif (pelibatan pemangku peran), termasuk kemungkinan opsi perlu tidaknya keberadaan regulasi ini. Pertama, dari sisi teknis yuridis, cukup mengherankan Rancangan Permendragi tak memasukan Undang-Undang NO.40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dalam konsiderans Mengingat. Padahal UU itu menjadi paying utama pengaturan dan pengelolaan CSR saat ini, terutama pasal 74 yang menetapkan kewajiban bagi semua perusahaan di bidang atau terkait sumber daya alam (SDA) melaksanakan tanggung jawab sosial. Kedua, asumsi dasarnya, CSR adalah tanggung jawab wajib perusahaan (imperasi). Meski asumsi itu sudah ditetapkan dalam UU PT, tetap dinilai janggal dalam konteks makna genuine CSR sebagai tanggung jawab yang berbasis pilihan sadar, adanya kebebasan, kemauan bertindak (Sonny Keraf, Etika Bisnis, 1998). Ketiga, problem lain terkait dengan birokratis yang kompleks dalam struktur organisasi. Susunan pengurus misalnya, tampak berlapis-lapis dengan hirarki dan deskripsi tugas yang rumit. Sebagai suatu forum, konsep dan desain organisasinya mesti bisa menjamin fleksibilitas dan dinamika kerja. Bahkan dalam konteks CSR, ruang gerak atau keterlibatan warga dan perusahaan harus lebih besar, bukannya malah di dominasi pemerintah, baik dalam struktur penanggung jawab, pelindung, penasihat maupun badan pelaksana.

FORMAT CSR UNTUK INDONESIA Ventura Elisawati

CSR ala Kotler dan Lee Perkembangan bisnis dan tuntutan global agar dunia usaha menjalankan bisnis secara sehat dane tis, maka kegiatan sosial pun makin beragam wujudnya. Saat ini tuntutan CSR makin tinggi. Termasuk pada perusahaan Indonesia. Biasanya bila perusahaan Indonesia akan go global yang ditanyakan calon mitra bisnis : apa saja program CSR yang sudah dilakukan.

Seperti digagas Philip Kotler dan Nancy Lee dalam bukunya berjudul Corporate Social Responsibility, sejatinya CSR merupakan instrument penting dalam menunjang strategi perusahaan. Yakni : untuk pencapaian citra yang diinginkan sert tujuan komersial. Kotler dan Lee menyebutkan ada enam opsi dalam CSR, yaitu : Pertama, Cause Promotion. Perusahaan mensponsori sebuah kegiatan sosial yang menjadi perhatian masyarakat untuk meningkatkan citra perusahaan. Misalnya gerakan hijau. Inilah acuan bagi perusahaan Kedua, Cause-Related Marketing, dalam bentuk sumbangan hasil penjualan untuk didonasikan. Misalnya presentase dari hasil sms pelanggan selama kurun waktu tertentu didonasikan untuk pendidikan. Ketiga, Corporate Social Marketing. Dalam konteks ini biasanya berupa kampanye untuk perubahan perilaku masyarakat. Bisa untuk tujuan meningkatkan kesadaran akan hidup sehat, pemeliharaan lingkungan, dan sebagainya. Contoh gerakan cuci tangan oleh sebuah produsen sabun. Keempat, Corporate Philanthropy. Ini yang paling jamak, di mana perusahaan memberikan donasi bagi masyarakat yang memerlukan. Seperti perusahaan ICT yang memberikan donasi berupa fasilitas internet gratis di sebuah desa. Kelima, Community Volunteering. Saat ini banyak perusahaan yang mengalokasikan sekian jam per tahun dari jam kerja karyawannya untuk pekerjaan sosial. Karyawan bisa melakukan kerja sebagai sukarelawan misalnya. Keenam, Social Responsible Business Practices. Intinya mengadopsi praktek bisnis yang sesuai dengan isu sosial yang terjadi. Contohnya, perusahaan eceran yang mulai menggunakan kertas daur ulang untuk kemasan produknya. Tantangannya adalah bagai,ama perusahaan mampu secara cerdik memilih focus program CSRnya dan bisa menjadikannya sebgai kendaraan untuk merangkul pelanggan di masa depan.

DILARANG MEMBUAT PROGRAM CSR SEMBARANGAN Ruisa Khuiriyah

Ini dia kriteria pelaksanaan program tanggungjawab sosial perusahaan atau CSR. Berikut adalah Prinsip Umum Aturan CSR:

1. Setiap perseroan sebagai subyek hukum punya tanggung jawab sosial dan lingkungan untuk berperan sert dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas isi. 2. Tanggungjawab sosial meliputi hal-hal yang berkaitan dengan : hak asasi manusia (HAM), standar ketenagakerjaan, lingkungan hidup, dan antikorupsi. 3. Hal-hal yang berkaitan dengan standar ketenagakerjaan, antara lain : a. Kegiatan, Usaha perseroan harus menghormati hak asasi manusia. b. Memastikan bahwa usaha perseroan tidak terlibat langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran HAM. 4. Hal-hal yang berkaitan dengan standar ketenagakerjaan, antara lain : a. Perseroan harus menjamin kebebasan berserikat. b. Penghapusan segala bentuk tenaga kerja paksa atau pemaksaan lain. c. Penghapusan tenaga kerja anak. 5. Hal-hal yang berkaitan dengan Lingkungan Hidup : a. Perseroan harus mencegah kerusakan lingkungan hidup. b. Mengambil inisiatif untuk melestarikan lingkungan. c. Mendorong penggunaan teknologi yang ramah lingkungan. 6. Hal-hal yang berkaitan dengan anti korupsi antara lain perseroan harus mencegah segala bentuk korupsi, termasuk ancaman dan penyuapan. 7. Perseroan yang kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam dan berdampak langsung pada lingkungan, selain melaksanakan tanggungjawab sosial wajib mengalokasiakb dana untuk pemilihan lokasi yang memenuhi estndar kelayakan lingkungan hidup.

CSR: TINJAUAN ETIKA Asnan Furinto

UU Perseroan Terbatas telah menetapkan bahwa semua perusahaan, baik swasta maupun BUMN, yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau yang berkait dengan sumber daya alam wajib menyisihkan sebagian dari laba tahunannya untuk kegiatan-kegiatan CSR (pasal 74). Hal inilah yang menimbulkan kontroversi hingga hari ini. Empat perspektif Ada empat perspektif etika yang bisa dipakai untuk membahas masalah seputar pengaturan kebijakan bisnis, seperti pada kasus CSR ini. Pertama, pandangan berbasis ethical egoism, dari Protagoras. Dalam perspektif ini, perusahaan dianggap sebagai sebuah entitas yang bebas merdeka, tidak ada kewajiban untuk menyumbang selain membayar pajak.

Kedua, perspektif dari aliran virtue ethics Plato dan Aristoteles. Perspektif ini memanggil hati nurani individu-individu (dalam hal ini para pengambil keputusan di perusahaan) untuk berbuat baik kepada sesama. Ketiga, etika dengan menggunakan perspektif dari Hobbes dan Lovke, yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang tertuang di hukum positif dalam suatu masyarakat adalah pencerminan dari standar moral mnimum yang ada dalam masyrakat tersebut. Keempat, perspektif categorical imperative dari Immanuel Kant. Pandangan ini menganjurkan setiap individu untuk melakukan hal (maxim) yang menurut individu tersebut layak untuk dijadikan suatu hukum universal yang berlaku bagi seluruh anggota masyarakat. Kembali pada isu CSr, ketika negara mengaturnya ke dalam suatu hukum positif, sejatinya negara menganggap bahwa pandangan ethical egoism dan virtue ethics tidak cukup untuk memaksa perusahaan menyisihkan sebagian labanya kepada masyarakat. Negara menganggap sudah seharusnya perusahaan mewujudkan kontribusi dari sebagian labanya secara langsung kepada masyarakat. Selain membayar pajak yang merupakan hukum positif wajib adanya. Masih ada nurani Prinsip utilitarinisme (Bentham dan Milter) bisa menjadi landasan tindak bagi pemerintah untuk bergeming (persevere) pada isu CSR yang dimasukkan ke dalam suatu hukum positif. Aim for the greatest good for the greater number. Selama lebih banyak pihak yang mendapatkan manfaat dari suatu tindakan, maka tindakan tersebut bisa dibenarkan dalam perspektif utilitarian. Pandangan categorical imperative dari Kant bisa menjadi landasan etis dalam menyikapi pengaturan CSR secara lebih detail. Standar moral mnimum telah ditetapkan dengan hukum positif, namun berapa besar kewajibannya, dengan cara bagaimana menyalurkan, kepada siapa harus disalurkan, selayaknya diserahkan pada virtous judgement para individu pengambil keputusan dalam perusahaan. Act only on maxim that you at the same time wish it should become universal law. Beri kesempatan para pelaku bisnis untuk menggunakan hati nuraninya, dalam pagar standar moral minimum yang telah ditetapkan sebelumnya. Mudah-mudahan tidaklah terlalu naf jika kita percaya bahwa masih ada hal yang bernama hati nurani di dalam bisnis.

Anda mungkin juga menyukai