Anda di halaman 1dari 12

RINGKASAN MATERI KULIAH ETIKA BISNIS

ETIKA DALAM BISNIS

Pengempu: Eka Sulisyawati, S.E,. M.M.

Oleh

Kelompok 4:

Gusti Ayu Dwi Wahyuningsih (1607522107)

Elva Otivia (1607522148)

PROGRAM REGULER DENPASAR

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2019
A. Relativitas Moral dalam Bisnis
Berdasarkan prinsip-prinsip etika bisnis, dapat dikatakan bahwa dalam bisnis modern
dewasa ini pelaku bisnis dituntut bersaing secara etis. Dalam persaingan global yang tidak
mengenal adanya perlindungan dan dukungan politik tertentu, semua perusahaan harus saling
bersaing berdasarkan prinsip-prinsip etika. Persoalannya adalah etika siapa yang diikuti karena
bisnis global tidak mengenal batas negara. Untuk menjawab pertanyaan ini berikut adalah
beberapa pandangan yang ada di masyarakat:
1. Norma etika berada pada satu tempat dengan tempat lain. Tidak ada norma yang universal.
Oleh karena itu, bila berada di suatu negara, maka norma yang berlaku di negara itulah yang
harus diikuti. Perusahaan multinasional harus beroperasi bedasarkan nilai-nilai budaya yang
berlaku di negara di mana perusahaan beroperasi.
2. Norma pada negara sendirilah yang paling tepat. Menurut norma ini, prinsip yang harus
dipegang ketika berada di mana pun adalah norma yang berlaku di negara sendiri.
3. Tidak ada norma moral yang perlu diikuti sama sekali. Norma ini oleh De George sebagai
immoralis naif. Pandangan ini tidak benar sama sekali.
Menurut pandangan pertama, norma dan nilai moral bersifat relatif dan tidak ada norma
moral yang universal. Hal ini tidak sepenuhnya benar. Tindakan mencuri, berbohong, dan menipu
yang terjadi dimanapun pasti dikecam karena tidak etis. Pandangan ini tidak membedakan antara
moralitas dan hukum. Akan lebih tepat apabila perusahaan multinasional harus tunduk pada hukum
yang berlaku di negara tempat perusahaan tersebut beroperasi.
Pandangan yang kedua beranggapan bahwa moralitas bersifat universal yang menyangkut
baik buruknya perilaku manusia sebagai manusia. Oleh karena itu, dimanapun berada, prinsip,
nilai, dan norma moral akan tetap berlaku. Pandangan ini tidak sepenuhnya benar, karena
kemajuan kondisi ekonomi, sosial, politik tidak sama disemua negara, sehingga hukum yang
berlaku di negara perusahaan asal belum tentu berlaku di negara lain.
Menurut De Goerge, prinsip pokok yang dapat berlaku universal adalah prinsip integritas
moral yang berarti bersaing dengan penuh integritas moral. Ia tidak setuju jika prinsip no harm
dikatakan sebagai prinsip pokok dalam bisnis. Alasannya, prinsip ini dituangkan ke dalam aturan
dan terlalu bersifat legalitas, karena itu berkonotasi heteronom. Namun, De Goerge lupa bahwa
prinsip no harm tidak hanya dituangkan ke dalam hukum saja, tetapi juga dalam hati setiap pelaku
bisnis sebagai prinsip dimana dalam berbisnis tidak boleh dirugikan dan merugikan hak dan
kepentingan pihak lain. Berbagai kasus korupsi, penyuapan, kolusi, nepotisme yang melanda
Indonesia menunjukan bahwa integritas moral diabaikan begitu saja dan masih sebatas himbauan.
Oleh karena itu, pinsip no harm yang didukung oleh aturan yang dilaksanakan secara konsekuen
merupakan syarat mutlak bagi kegiatan dan iklim bisnis yang sehat, baik, dan etis. Dengan
demikian, prinsip no harm dan integritas moral seesungguhnya bersifat universal, yakni dapat
diakui dan berlaku di mana saja. Oleh karena itu relativitas moral dalam bisnis tidaklah benar.
Dalam bisnis tetap dituntut dan diakui berbagai prinsip moral, khususnya no harm yang berlaku
paling universal.

B. Tanggung Jawab Moral dan Sosial Bisnis


Tanggung Jawab Moral Bisnis
Terdapat berbagai pandangan mengenai tanggung jawab moral bisnis. Kaum neo-klasik dan
modern, mulai dari Adam Smith, Thomas Hoobes, John Locke, Milton Fiedman, Theodore Levitt,
dan John Kenneth Galbraith berpendapat bahwa bisnis adalah korporasi impersonal yang
bertujuan untuk memperoleh laba. Sebagai institusi impersonal atau pribadi, bisnis tidak
mempunyai nurani, sehingga tidak bertanggung jawab secara moral (Weiss, 1994:88). Dengan
kata lain, menurut pandangan ini bisnis adalah institusi yang tidak berkaitan dengan moralitas yang
bertujuan meningkatkan pemenuhan kepentingan pihak-pihak yang terlibat, dan melalui “tangan
ajaib” atau kekuatan pasar, kesejahteraan masyarakat pun akan meningkat. Ini berarti pandangan
mereka tergolong utilitarianisme karena bisnis memberikan yang terbaik untuk sebagian besar
anggota masyarakat.
Yang bertentangan dengan pandangan di atas adalah pandangan Kenneth Goodpastern dan
John Metthews yang mengatakan bahwa bisnis adalah analog dengan individu, yang mempunyai
kehendak, nurani, tujuan dan strategi (Weiss, 1994:90). Pengertian individu di sini bukanlah secara
harfiah, melainkan sebagai kumpulan orang yang mendukung nilai-nilai moral mewakili bisnis.
Oleh karena itu, bisnis bukan saja secara hukum dan moral bertanggung jawab terhadap
tindakannya, tetapi juga tanggung jawab sosial, yaitu untuk menjadi “warga negara yang baik”.
CEO, manajer puncak, dan dewan direksi mempunyai tanggung jawab moral untuk
menyampaikan secara jujur kemajuan dan kondisi ekonomi finansial korporasi kepada pemegang
saham, bertanggung jawab secara sosial kepada masyarakat atau negara dimana korporasi
beroperasi, berkewajiban moral untuk menyediakan kondisi dan lingkungan kerja yang sehat dan
aman, memberikan upah yang adil kepada pegawai, dan menginformasikan dengan benar kepada
konsumen atau pemakai jasa mengenai produk yang dihasilkannya serta jasa – jasa pelayanan yang
diberikan.
Setiap pihak yang mengikat diri terhadap manajemen mutu sesungguhnya menyetujui
adanya tanggung jawab moral. Menurut Pratley (1997) minimal ada tiga tanggung jawab utama
korporasi, yaitu :
1. Menghasilkan barang-barang, kepuasan konsumen, dan keamanan pemakaian.
2. Peduli terhadap lingkungan, baik dilihat dari sudut masukan maupun keluaran, pembuangan
limbah yang aman, serta mengurangi penyusutan sumber daya.
3. Memenuhi standar minimal kondisi kerja dan sistem pengupahan serta jaminan social.

Tanggung Jawab Sosial Bisnis


Tanggung jawab sosial bisnis (Corporate Social Responsibillity atau disingkat CSR) adalah
memanfaatkan sumber daya yang ada untuk mencapai laba dengan cara – cara yang sesuai dengan
aturan permainan dalam persaingan bebas tanpa penipuan dan kecurangan. Menaati aturan
permainan, dan kesopanan, serta tidak melakukan kecurangan dan tipu muslihat sebenarnya sudah
mengandung arti bahwa bisnis sampai batas tertentu mempunyai tanggungjawab moral.
Pemerintahlah yang bertugas mengawasi perilaku moral bisnis, dan tidak mempersyaratkan
tanggungjawab sosial bisnis yang lebih besar.
CSR dewasa ini, mengalami perkembangan yang cukup dramatik. Salah satu pendoronganya
adalah perubahan dan pergeseran paradigm dunia usaha, untuk tidak semata-mata mencari
keuntungan, tetapi turut pula bersikap etis dan berperan dalam penciptaan investasi sosial. CSR
adalah suatu konsep yang bermaterikan tanggungjawab sosial dan lingkungan oleh perusahaan
kepada masyarakat luas, khususnya di wilayah perusahaan tersebut beroperasi. Misalnya, CSR
bisa berupa program yang memberikan bantuan modal kerja lunak bagi para petani, nelayan,
pengusaha kecil, pemberian beasiswa bagi pelajar dan mahasiswa terutama yang tidak mampu dan
berprestasi, perbaikan infrastruktur jalan, gedung-gedung sekolah, sarana kegamaan dan olahraga,
pendidikan dan pelatihan keperempuanan dan pemuda, serta pemeberdayaan masyarakat adat.
Implementasi CSR di perusahaan pada umumnya dipeengaruhi oleh faktor-faktor sebagai
berikut:
a. Komitmen pimpinan.
Perusahaan yang pimpinannya tidak tanggap dengan masalah-masalah sosial dan lingkungan,
kecil kemungkinan akan mempedulikan aktivitas sosial.
b. Ukuran dan kematangan perusahaan.
Perusahaan besar dan mapan lebih mempunyai potensi memberikan kontribusi ketimbang
perusahaan kecil dan belum mapan. Namun, bukan berarti perusahaan menengah, kecil dan
belum mapan tersebut tidak menerapkan CSR.
c. Regulasi dan sistem perpajakan yang diatur pemerintah.
Semakin overlap-nya regulasi dan penataan pajak akan membuat semakin kecil ketertarikan
perusahaan untuk memberikan donasi dan sumbangan sosial kepada masyarakat. Sebaliknya,
semakin kondusif regulasi atau semakin besar insentif pajak yang diberikan akan lebih
berpotensi memberi semangat kepada perusahaan untuk berkontribusi kepada masyarakat.

Argumen yang Menentang Perlunya Tanggungjawab Sosial:

1. Tujuan bisnis adalah mengejar keuntungan sebesar-besarnya


2. Tujuan yang terbagi dan harapan yang membingungkan
3. Biaya keterlibatan sosial
4. Bisnis mempunyai kekuasaan yangs udah memadai
5. Kurangnya tenaga terampil

Arugmen yang mendukung perlunya tanggungjawab sosial :

1. Kewajiban moral
2. Terbatasnya sumber daya alam
3. Lingkungan sosial yang lebih baik
4. Bisnis mempunyai sumber-sumber daya
5. Keuntungan jangka panjang
6. Perimbangan tanggungjawab dan kekuasaan

Setidaknya ada tiga alasan penting dan manfaat yang diperoleh suatu perusahaan dalam
merespon dan menetapkan CSR yang sejalan dengan operasi usahanya:
1. Perusahaan adalah bagian dari masyarakat dan karena itu wajar bila perusahaan juga
turut memperhatikan kepentingan masyarakat. Dengan adanya penerapan CSR, maka
perusahaan secara tidak langsung telah menjalin hubungan dan ikatan emosional yang
baik terhadap shareholders maupun stakeholders.
2. Kalangan bisnis dan masyarakat memiliki hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme
(saling mengisi dan menguntungkan).
3. Kegiatan CSR merupakan salah satu cara untuk mengeliminasi berbagai potensi
mobilisasi massa (ppenduduk) untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan sebagai
akses eksfluisme dan monopoli sumber daya alam yang dieksploitasi oleh perusahaan
tanpa mengedapankan adanya perluasan bagi terciptanya kesejahteraan dan
pengembangan SDM yang berdomisili di sekitar wilayah penambangan pada khususnya
dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Isi Tangungjawab Sosial.

Ada dua jalur tanggungjawab sosial perusahaan sesuai dengan dua jalur relasi perusahaan
dengan masyarakat, yaitu relasi primer dan relasi sekunder. Secara singkat isi tanggungjawab
sosial perusahaan adalah sebagai berikut :

1. Terhadap relasi primer, misalnya memnuhi kontrak yang sudah dilakukan dengan
perusahaan lain, membayar hutang, memberi pelayanan kepada konsumen dan pelanggan
dengan baik, memperhatikan hak pegawai, dan sebagainya.
2. Terhadap relasi sekunder: bertanggungjawab atas operasi dan dampak bisnis terhadap
masyarakat pada umumnya, atas masalah-masalah sosial seperti lapangan kerja, pendidikan,
prasarana sosial, pajak, dan lain sebagainya.

Berdasarkan isi tanggung jawab sosial itu, maka tanggung jawab sosial bisnis adalah
keterlibatan bisnsi dalam mengusahakan kebaikan dan kesejahteraan sosial masyarakat, tanpa
terlalu menghiraukan kepentingan untung ruginya dari segi ekonomis.

C. Kode Etik Sebagai Profesi


Kode etik profesi merupakan kriteria prinsip profesional yang telah digariskan, sehingga
diketahui dengan pasti kewajiban profesional anggota lama, baru, ataupun calon anggota
kelompok profesi. Kode etik profesi telah menentukan standarisasi kewajiban profesional anggota
kelompok profesi. Sehingga pemerintah atau masyarakat tidak perlu campur tangan untuk
menentukan bagaimana profesional menjalankan kewajibannya. Kode etik profesi pada dasarnya
adalah norma perilaku yang sudah dianggap benar atau yang sudah mapan dan tentunya lebih
efektif lagi apabila norma perilaku itu dirumuskan secara baik, sehingga memuaskan semua pihak.

Fungsi Kode Etik

Kode etik profesi merupakan sarana untuk membantu para pelaksana sebagai seseorang yang
professional agar tidak merusak etika profesi. Ada tiga hal pokok yang merupakan fungsi dari kode
etik profesi:

1. Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip
profesionalitas yang digariskan. Maksudnya bahwa dengan kode etik profesi, pelaksana profesi
mampu mengetahui suatu hal yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
2. Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang
bersangkutan. Maksudnya bahwa etika profesi dapat memberikan suatu pengetahuan kepada
masyarakat agar juga dapat memahami arti pentingnya suatu profesi, sehingga memungkinkan
pengontrolan terhadap para pelaksana di lapangan kerja (kalangan sosial).
3. Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi tentang hubungan
etika dalam keanggotaan profesi. Arti tersebut dapat dijelaskan bahwa para pelaksana profesi
pada suatu instansi atau perusahaan yang lain tidak boleh mencampuri pelaksanaan profesi di
lain instansi atau perusahaan.

D. Kendala-Kendala Pelaksanaan Etika Bisnis


Pelakanaan prinsip-prinsip etika bisnis di Indonesia masih berhadapan dengan beberapa
masalah dan kendala, yaitu:
1. Standar moral para pelaku bisnis pada umumnya masih lemah. Banyak yang menempuh jalan
pintas, bahkan menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan. Misalnya,
memalsukan campuran, menjual barang yang sudah kadaluarsa, memanipulasi laporan
keuangan. Di samping itu tidak ada orang yang seratus persen bersih etis dan bermoral dalam
seluruh tindakannya.
2. Banyak perusahaan yang mengalami konflik kepentingan. Konflik ini muncul karena
ketidaksesuaian antara nilai pribadi yang dianut dengan peraturan yang berlaku dan tujuan
yang hendak dicapai. (konflik antar deontologi dan teleologi)
3. Situasi politik dan ekonomi yang belum stabil. Ketidakstabilan ini memungkinkan
dilakukannya terobosan dan spekulasi untuk memanfaatkan peluang guna memperoleh
keuntungan tanpa menghiraukan akibatnya.
4. Lemahnya penegakan hukum. Lemahnya penegakan hukum mempersulit upaya-upaya untuk
memotivasi pelaku bisnis menegakan norma-norma etika.
5. Belum ada organisasi profesi bisnis dan manajemen yang khusus menangani masalah
penegakan kode etik bisnis dan manajemen. Organisasi-organisasi profesi yang ada, secara
khusus belum menangani penyusunan dan penegakan kode etik bisnis dan manajemen.
Sudah seharusnya disadari bawa pelanggaran etika bisnis dapat melemahkan daya saing hasil
industry di pasar internasional. Lebih parah lagi bila pengusaha Indonesia menganggap remeh
etika bisnis yang berlaku secara umum dan tidak mengikat itu. Kecendrungan makin banyaknya
pelanggaran etika bisnis membuat keprihatinan banyak pihak. Pengabaian etika bisnis dirasakan
akan membawa kerugian tidak saja buat masyarakat, tetapi juga bagi tatanan ekonomi nasional.
Disadari atau tidak, para pengusaha yang tidak memperhatikan etika bisnis akan menghancurkan
diri mereka sendiri dan negara.

E. Hubungan Antara Keuntungan dan Etika


Sebagaimana dianut pandangan bisnis yang ideal bahwa keuntungan adalah hal yang pokok
bagi kelangsungan bisnis, walaupun bukan merupakan tujuan satu-satunya. Dari sudut pandang
etika, keuntungan bukanlah hal yang buruk. Bahkan secara moral, keuntungan merupakan hal yang
baik dan dapat diterima karena:
1. Keuntungan memungkinkan suatu perusahaan bertahan dalam bisnisnya;
2. Tanpa memperoleh keuntungan tidak ada pemilik modal yang bersedia menanamkan
modalnya, karena itu berarti tidak akan terjadi aktivitas ekonomi yang produktif demi memacu
pertumbuhan ekonomi yang menjamin kemakmuran nasional;
3. Keuntungan memungkinkan perusahaan tidak hanya bertahan, melainkan juga dapat
menghidupi pegawai – pegawainya, bahkan pada tingkat dan taraf hidup yang semakin baik.
Disamping itu, ada beberapa argumen yang dapat diajukan untuk menunjukkan bahwa justru
demi memperoleh keuntungan, etika sangat dibutuhkan dan mempunyai tempat yang strategis
dalam bisnis yaitu:
1. Dalam bisnis modern dewasa ini hanya orang profesional yang akan menang dan berhasil
dalam bisnis yang penuh persaingan ketat. Kaum profesional memperlihatkan kinerja yang
menjadi prasyarat keberhasilan bisnis yaitu komitmen moral, integritas moral, disiplin,
loyalitas, kesatuan visi moral, pelayanan, sikap mengutamakan mutu, penghargaan terhadap
hak dan kepentingan dengan pihak – pihak terkait yang berkepentingan (stakeholders), dan
sebagainya yang lama kelamaan akan berkembang menjadi sebuah etos bisnis dalam sebuah
perusahaan.
2. Dalam persaingan bisnis yang ketat para pelaku bisnis modern sangat sadar bahwa konsumen
adalah benar – benar raja. Oleh karena itu, hal yang paling pokok untuk bisa untung dan
bertahan dalam pasar adalah sejauh mana perusahaan itu bisa merebut dan mempertahankan
kepercayaan konsumen.
3. Dalam sistem pasar terbuka dengan peran pemerintah yang bersifat netral, para pelaku bisnis
berusaha sebisa mungkin menghindari campur tangan pemerintah, yang baginya akan sangat
merugikan kelangsungan bisnisnya.
4. Perusahaan modern juga semakin menyadari bahwa pegawai bukanlah tenaga untuk
dieksploitasi namun dianggap sebagai subjek untuk menentukan berhasil tidaknya
perusahaan.

F. Pro dan Kontra Etika dalam Bisnis


Di masyarakat atau dikumpulan pengusaha, banyak yang tidak menyukai dengan adanya
penerapan standar moral dalam aktivitas bisnis. Bagian ini membahas keberatan-keberatan
tersebut dan melihat apa yang dapat dikatakan berkenaan dengan kesetujuan untuk menerapkan
etika ke dalam bisnis.
Para pelaku bisnis beropini bahwa pelaku bisnis seharusnya focus dalam pencarian
keuntungan yang sebesar besarnya demi kelangsungan bisnisnya. Para pelaku bisnis ini
mempunyai beberapa alas an untuk mendukung pernyataan diatas yaitu:
1. Beberapa berpendapat bahwa di pasar bebas kompetitif sempurna, pencarian keuntungan
dengan sendirinya menekankan bahwa anggota masyarakat berfungsi dengan cara-cara yang
paling menguntungkan secara social. Agar beruntung, masing-masing perusahaan harus
memproduksi hanya apa yang diinginkan oleh anggota masyarakat dan harus melakukannya
dengan cara yang paling efisien yang tersedia. Anggota masyarakat akan sangat beruntung jika
manager tidak memaksakan nilai – nilai pada bisnis, namun mengabdikan dirinya pada
pencarian keuntungan yang berfokus.
Opini seperti ini biasanya menyembunyikan sejumlah asumsi yaitu:
a. Pertama, sebagian besar industry tidak kompetitif secara sempurna dan sejauh perusahaan
tidak harus berkompetisi, mereka dapat memaksimumkan keuntungan sekalipun produksi
tidak efisien.
b. Kedua, opini itu mengasumsikan bahwa langkah manapun yang diambil untuk
meningkatkan keuntungan, perlu menguntungkan secara social, sekalipun dalam
kenyataannya ada beberapa cara untuk meningkatkan keuntungan yang sebenarnya
merugikan perusahaan: membiarkan polusi, iklan meniru, menyembunyikan cacat
produksi, penyuapan.
c. Ketiga, opini ini mengasumsikan bahwa dengan memproduksi apapun yang diinginkan
public pembeli, perusahaan memproduksi apa yang diinginkan oleh seluruh anggota
masyarakat, ketika kenyataan keinginan sebagian besar anggota masyarakat (yang miskin
dan tidak diuntungkan) tidak perlu dipenuhi karena mereka tidak dapat berpartisipasi dalam
pasar.Keempat, opini ini secara esensial membuat penilaian normative.
2. Diajukan untuk menunjukkan bahwa manajer bisnis hendaknya berfokus mengejar keuntungan
perusahaan mereka dan mengabaikan pertimbangan etis, yang biasa dikenal dengan istilah
“Argumen dari agen yang loyal.” Argumen agen yang loyal adalah keliru, karena dalam
menentukan apakah perintah klien kepada agen masuk akal atau tidak. Etika bisnis atau
professional harus mempertimbangkan dan dalam peristiwa apapun dinyatakan bahwa agen
mempunyai kewajiban untuk tidak melaksanakan tindakan yang illegal atau tidak etis. Dengan
demikian, kewajiban manajer untuk mengabdi kepada majikannya, dibatasi oleh batasan –
batasan moralitas.
3. Menjadi perusahaan/individu yang etis dalam berusaha cukup dengan mentaati hokum. Etika
bisnis pada dasarnya mempunyai arti “Mentaati Hukum.” Para pengusaha banyak yang salah
mendifinisikan atau mengartikan bahwa hukum dan etika itu terlihat identik. Adalah benar
bahwa hukum tertentu menuntut perilaku yang sama juga dituntut standar moral kita. Namun
demikian, hukum dan moral tidak selalu serupa. Jelas bahwa etika tidak begitu saja mengikuti
hukum. Namun tidak berarti etika tidak mempunyai kaitan dengan hukum. Standar moral kita
kadang dimasukkan ke dalam hukum ketika kebanyakan dari kita merasa bahwa standar moral
harus ditegakkan dengan kekuatan system hukum sebaliknya, hukum dikritik dan dihapuskan
ketika jelas-jelas melanggar standar moral.

G. Alasan Meningkatnya Perhatian Dunia Bisnis Terhadap Etika


Perhatian terhadap etika bisnis semakin meningkat di kalangan dunia bisnis. Perusahaan-
perusahaan besar multinasional telah mempunyai kode etik, memiliki bagian khusus yang
mengawasi pelaksanaan kode etik, memiliki dan memasukan etika sebagai mata tataran dalam
pelatihan pegawainya. Kepedulian publik terhadap etika bisnis telah memunculkan upaya-upaya
baru untuk menjadikan kesadaran etis sebagai bagian integral dari kebudayaan korporasi. Sejalan
dengan itu, laporan Business Round Table di Amerika Serikat pada tahun 1988 menyebut
fenomena kembangkitan kembali kesadaran etis dalam praktek bisnis sebagai “a movement of
conscience” di kalangan para pemimpin kunci dunia bisnis. Pertemuan tersebut sampai pada
simpulan bahwa etika korporasi bersifat esensial bagi bisnis yang baik, bahkan bagi kelangsungan
hidupnya. Hal ini tampak dari judul laporan pertemuan tesebut: Corporate Ethic : A Prime
Business Asset (Ali dan Fanzi, 1998:21).
Leonard Brooks menyebut 6 (enam) alasan mengapa dunia bisnis makin meningkatkan
perhatian terhadap etika bisnis (Rindjin, 2004:91), yaitu:
1. Krisis publik tentang kepercayaan, yang diakibatkan oleh banyaknya skandal yang terjadi di
perusahaan.
2. Kepedulian terhadap kualitas kehidupan kerja, yang diakibatkan oleh meningkatnya nilai –
nilai masyarakat pada mutu kehidupan kerja seperti fleksibilitas waktu kerja, kebugaran dan
kesehatan, pengasuhan anak di perusahaan, dan lain – lain .
3. Hukuman terhadap tindakan yang tidak etis, dimana akan dikenakan pada perusahaan –
perusahaan yang melakukan tindakan ilegal, seperti diskriminasi pekerjaan, pelanggaran
standar polusi, keamanan dan kesehatan kondisi kerja, dan lain – lain.
4. Kekuatan kelompok pemerhati khusus (Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM) yang bisa
menyampaikan kritik di media massa dimana bisa memberikan dampak negatif pada
kepercayaan konsumen apabila ditemukan penyimpangan yang dilakukan korporasi.
5. Peran media dan publisitas yang sangat berpengaruh dalam membentuk opini publik tentang
korporasi.
6. Mengubah format organisasi dan etika perusahaan yang dilakukan karena adanya aliansi,
mitra usaha, dan pusat keuntungan yang independen.

Anda mungkin juga menyukai