Oleh
Kelompok 4:
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
A. Relativitas Moral dalam Bisnis
Berdasarkan prinsip-prinsip etika bisnis, dapat dikatakan bahwa dalam bisnis modern
dewasa ini pelaku bisnis dituntut bersaing secara etis. Dalam persaingan global yang tidak
mengenal adanya perlindungan dan dukungan politik tertentu, semua perusahaan harus saling
bersaing berdasarkan prinsip-prinsip etika. Persoalannya adalah etika siapa yang diikuti karena
bisnis global tidak mengenal batas negara. Untuk menjawab pertanyaan ini berikut adalah
beberapa pandangan yang ada di masyarakat:
1. Norma etika berada pada satu tempat dengan tempat lain. Tidak ada norma yang universal.
Oleh karena itu, bila berada di suatu negara, maka norma yang berlaku di negara itulah yang
harus diikuti. Perusahaan multinasional harus beroperasi bedasarkan nilai-nilai budaya yang
berlaku di negara di mana perusahaan beroperasi.
2. Norma pada negara sendirilah yang paling tepat. Menurut norma ini, prinsip yang harus
dipegang ketika berada di mana pun adalah norma yang berlaku di negara sendiri.
3. Tidak ada norma moral yang perlu diikuti sama sekali. Norma ini oleh De George sebagai
immoralis naif. Pandangan ini tidak benar sama sekali.
Menurut pandangan pertama, norma dan nilai moral bersifat relatif dan tidak ada norma
moral yang universal. Hal ini tidak sepenuhnya benar. Tindakan mencuri, berbohong, dan menipu
yang terjadi dimanapun pasti dikecam karena tidak etis. Pandangan ini tidak membedakan antara
moralitas dan hukum. Akan lebih tepat apabila perusahaan multinasional harus tunduk pada hukum
yang berlaku di negara tempat perusahaan tersebut beroperasi.
Pandangan yang kedua beranggapan bahwa moralitas bersifat universal yang menyangkut
baik buruknya perilaku manusia sebagai manusia. Oleh karena itu, dimanapun berada, prinsip,
nilai, dan norma moral akan tetap berlaku. Pandangan ini tidak sepenuhnya benar, karena
kemajuan kondisi ekonomi, sosial, politik tidak sama disemua negara, sehingga hukum yang
berlaku di negara perusahaan asal belum tentu berlaku di negara lain.
Menurut De Goerge, prinsip pokok yang dapat berlaku universal adalah prinsip integritas
moral yang berarti bersaing dengan penuh integritas moral. Ia tidak setuju jika prinsip no harm
dikatakan sebagai prinsip pokok dalam bisnis. Alasannya, prinsip ini dituangkan ke dalam aturan
dan terlalu bersifat legalitas, karena itu berkonotasi heteronom. Namun, De Goerge lupa bahwa
prinsip no harm tidak hanya dituangkan ke dalam hukum saja, tetapi juga dalam hati setiap pelaku
bisnis sebagai prinsip dimana dalam berbisnis tidak boleh dirugikan dan merugikan hak dan
kepentingan pihak lain. Berbagai kasus korupsi, penyuapan, kolusi, nepotisme yang melanda
Indonesia menunjukan bahwa integritas moral diabaikan begitu saja dan masih sebatas himbauan.
Oleh karena itu, pinsip no harm yang didukung oleh aturan yang dilaksanakan secara konsekuen
merupakan syarat mutlak bagi kegiatan dan iklim bisnis yang sehat, baik, dan etis. Dengan
demikian, prinsip no harm dan integritas moral seesungguhnya bersifat universal, yakni dapat
diakui dan berlaku di mana saja. Oleh karena itu relativitas moral dalam bisnis tidaklah benar.
Dalam bisnis tetap dituntut dan diakui berbagai prinsip moral, khususnya no harm yang berlaku
paling universal.
1. Kewajiban moral
2. Terbatasnya sumber daya alam
3. Lingkungan sosial yang lebih baik
4. Bisnis mempunyai sumber-sumber daya
5. Keuntungan jangka panjang
6. Perimbangan tanggungjawab dan kekuasaan
Setidaknya ada tiga alasan penting dan manfaat yang diperoleh suatu perusahaan dalam
merespon dan menetapkan CSR yang sejalan dengan operasi usahanya:
1. Perusahaan adalah bagian dari masyarakat dan karena itu wajar bila perusahaan juga
turut memperhatikan kepentingan masyarakat. Dengan adanya penerapan CSR, maka
perusahaan secara tidak langsung telah menjalin hubungan dan ikatan emosional yang
baik terhadap shareholders maupun stakeholders.
2. Kalangan bisnis dan masyarakat memiliki hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme
(saling mengisi dan menguntungkan).
3. Kegiatan CSR merupakan salah satu cara untuk mengeliminasi berbagai potensi
mobilisasi massa (ppenduduk) untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan sebagai
akses eksfluisme dan monopoli sumber daya alam yang dieksploitasi oleh perusahaan
tanpa mengedapankan adanya perluasan bagi terciptanya kesejahteraan dan
pengembangan SDM yang berdomisili di sekitar wilayah penambangan pada khususnya
dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Ada dua jalur tanggungjawab sosial perusahaan sesuai dengan dua jalur relasi perusahaan
dengan masyarakat, yaitu relasi primer dan relasi sekunder. Secara singkat isi tanggungjawab
sosial perusahaan adalah sebagai berikut :
1. Terhadap relasi primer, misalnya memnuhi kontrak yang sudah dilakukan dengan
perusahaan lain, membayar hutang, memberi pelayanan kepada konsumen dan pelanggan
dengan baik, memperhatikan hak pegawai, dan sebagainya.
2. Terhadap relasi sekunder: bertanggungjawab atas operasi dan dampak bisnis terhadap
masyarakat pada umumnya, atas masalah-masalah sosial seperti lapangan kerja, pendidikan,
prasarana sosial, pajak, dan lain sebagainya.
Berdasarkan isi tanggung jawab sosial itu, maka tanggung jawab sosial bisnis adalah
keterlibatan bisnsi dalam mengusahakan kebaikan dan kesejahteraan sosial masyarakat, tanpa
terlalu menghiraukan kepentingan untung ruginya dari segi ekonomis.
Kode etik profesi merupakan sarana untuk membantu para pelaksana sebagai seseorang yang
professional agar tidak merusak etika profesi. Ada tiga hal pokok yang merupakan fungsi dari kode
etik profesi:
1. Kode etik profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip
profesionalitas yang digariskan. Maksudnya bahwa dengan kode etik profesi, pelaksana profesi
mampu mengetahui suatu hal yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
2. Kode etik profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang
bersangkutan. Maksudnya bahwa etika profesi dapat memberikan suatu pengetahuan kepada
masyarakat agar juga dapat memahami arti pentingnya suatu profesi, sehingga memungkinkan
pengontrolan terhadap para pelaksana di lapangan kerja (kalangan sosial).
3. Kode etik profesi mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi tentang hubungan
etika dalam keanggotaan profesi. Arti tersebut dapat dijelaskan bahwa para pelaksana profesi
pada suatu instansi atau perusahaan yang lain tidak boleh mencampuri pelaksanaan profesi di
lain instansi atau perusahaan.