Anda di halaman 1dari 13

1.

Relativitas Moral dalam Bisnis

Relativitas adalah teori yang menyatakan bahwa gerak suatu benda itu relatif atau
bergantung pada tinjauan pengamat. Berdasarkan prinsip-prinsip etika bisnis, dapat dikatakan
bahwa dalam bisnis modern dewasa ini pelaku bisnis dituntut bersaing secara etis.
Permasalahannya adalah etika siapa yang diikuti karena bisnis global tidak mengenal batas
negara. Maka dari itu, terdapat tiga pandangan yang ada di masyarakat:

1. Norma etis berbeda di satu tempat dengan tempat lain. Tidak ada norma universal.
Oleh karena itu, bila berada di suatu negara, maka norma yang berlaku di negara
itulah yang harus diikuti. Perusahaan multinasional harus beroperasi berdasarkan
nilai-nilai budaya yang berlaku di negara di mana perusahaan beroperasi.
2. Norma pada negara sendirilah yang paling tepat. Menurut norma ini, prinsip yang
harus dipegang ketika berada di mana pun adalah norma yang berlaku di negara
sendiri.
3. Tidak ada norma moral yang perlu diikuti sama sekali. Norma ini oleh De George
sebagai imoralis naïf. Pandangan ini tidak benar sama sekali.

Menurut pandangan pertama, norma dan nilai moral bersifat relatif dan tidak ada
norma moral yang universal. Hal ini tidak sepenuhnya benar. Tindakan mencuri, berbohong,
dan menipu yang terjadi dimana pun pasti dikecam karena tidak etis. Pandangan ini tidak
membedakan antara moralitas dan hukum. Akan lebih tepat apabila perusahaan multinasional
harus tunduk pada hukum yang berlaku di negara tempat perusahaan tersebut beroperasi.

Pandangan yang kedua beranggapan bahwa moralitas bersifat universal yang


menyangkut baik buruknya perilaku manusia sebagai manusia. Oleh karena itu, dimana pun
berada, prinsip, nilai, dan norma moral akan tetap berlaku. Pandangan ini tidak sepenuhnya
benar, karena kemajuan kondisi ekonomi, sosial, politik tidak sama di semua negara,
sehingga hukum berlaku di negara perusahaan asal belum tentu berlaku di negara lain.

Menurut De George, prinsip pokok yang dapat berlaku universal adalah prinsip
integritas moral yang berarti bersaing penuh integritas moral. Awalnya ia tidak setuju dengan
prinsip no harm (tidak merugikan atau merusak alam) karena alasan aturan ini telah
dilegalitaskan atau memiliki kekuatan hukum, namun ia lupa bahwa prinsip no harm tidak
hanya dituangkan ke dalam hukum saja, namun ada di hati para pelaku bisnis dimana tidak
boleh merugikan hak dan kepentingan lain. Oleh karena itu, prinsip no harm dan integritas
moral sesungguhnya bersifat universal, yakni dapat diakui dan berlaku dimana saja. Oleh

1
karena itu relativitas moral dalam bisnis tidaklah benar. Dalam bisnis dituntut dan diakui
berbagai prinsip moral, khususnya no harm yang berlaku paling universal.

2. Tanggung Jawab Moral Bisnis

Terdapat berbagai pandangan mengenai tanggung jawab moral bisnis. Kaum neo-
klasik dan modern, mulai dari Adam Smith, Thomas Hoobes, John Locke, Milton Fiedman,
Theodore Levitt, dan John Kenneth Galbraith berpendapat bahwa bisnis adalah korporasi
impersonal yang bertujuan untuk memperoleh laba. Sebagai bisnis impersonal atau pribadi,
bisnis tidak mempunyai nurani, sehingga tidak bertanggung jawab secara moral (Weiss,
1994:88). Dengan kata lain, menurut pandangan ini bisnis adalah institusi yang tidak
berkaitan dengan moralitas yang bertujuan meningkatkan pemebuhan kepentingan pihak-
pihak yang terlibat, dan melalui “tangan ajaib” atau kekuatan pasar, kesejahteraan masyarakat
pun akan meningkat. Ini berarti pandangan mereka tergolong tilitarianisme karena bisnis
memberikan yang terbaik untuk sebagian besar anggota masyarakat.

Yang bertentangan dengan pandangan di atas adalah pandangan Kenneth Goodpastern


dan John Metthews yang mengatakan bahwa bisnis adalah analog dengan individu, yang
mempunyai kehendak, nurani, tujuan dan strategi (Weiss, 1994:90). Pengertian individu di
sini bukanlah secara harfiah, melainkan sebagai kumpulan orang yang mendukung nilai-nilai
moral mewakili bisnis. Oleh karena itu, bisnis bukan saja secara hukum dan moral
bertanggung tindakannya, tetapi juga tanggung jawab sosial, yaitu untuk menjadi “warga
negara yang baik”. Pandangan ini sejalan dengan kedudukan perusahaan sebagai suatu badan
hukum yang dapat mempunyai berbagai hak. Oleh karena itu, sangat wajar kalau bisnis juga
mempunyai tanggung jawab moral dan sosial sebagaimana halnya pribadi individu. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa bisnis menyerupai institusi personal, sehingga
mempunyai nurani.

Pandangan lain melihat bisnis sebagai korporasi sosial ekonomi pihak


berkepentingan. Korporasi (dalam arti perusahaan dan pimpinannya) mempunyai kewajiban
utama kepada pemilik dan pemegang saham, karena mereka telah memberikan mandat
ekonomi kepada korporasi. Di samping itu, korporasi juga harus tetap peduli dan responsif
terhadap tuntutan hukum, sosial, politil, dan lingkungan pihak berkepentingan, baik yang
berasal dari dalam maupun dari luar. Dengan demikian, korporasi bertanggung jawab secara
sosial dan moral kepada konstituennya, artinya memelihara hubungan yang bertanggung
jawab dengan pihak berkepentingan serta peduli dan responsif terhadap tuntunann-

2
tuntunannya berdasarkan standar etika mengenai kejujuran dan keadilan. Pandangan ini
didasarkan atas konsep kontrak sosial, yang semula dikemukakan oleh Jean Jacques
Rousseau (1712-1778) tentang perjanjian bersama anggota masyarakat untuk membentuk
pemerintahan yang kuat guna melindungi dan membela kepentingan mereka.

Sejalan dengan pemikiran ini negara tidak akan bisa berdiri tanpa masyrakat bisnis.
Jadi, korporasi bukan hanya menyangkut wilayah pribadi, tetapi juga wilayah publik. Dalam
konteks ini benturan kepentingan dengan masyarakat inilah terletak masalah etika bisnis.
Daam konteks sosial ini, pihak berkepentingan memandang bisnis mempunyai kewajiban
yang harus dilakukan, baik dari sudut sosial dan moral, maupun ekonomi, hukum, politik,
ekonomi, dan lingkungan agar didapat manfaat dalam hubungan menguntungkan.

Prinsip pragmatis tentangan hubungan korporasi dengan pihak berkepentingan


dikemukakan oleh Norma Bowie dan Ronald Duska sebagaimana dikutip oleh Weiss
(1994:94). Mereka berpendapat bahwa korporasi secara nyata harus bermoral berdasarkan
kriteria:

1. Harus berarti bisa, mengandung makna bahwa korporasi tidak diharuskan


memproduksi produk yang paling aman kalau harganya menjadi terlampau mahal
sehingga konsumen tidak mampu membelinya. Jadi, korporasi harus melakukan
sesuatu dalam batas-batas yang bisa dilakukan.
2. Standar minimum moral menuntut korporasi tidak memproduksi barang dan jasa atau
terlibat dalam kegiatan yang mengakibatkan kerugian atau bahaya pada pihak lain.
Jadi, korporasi harus mendesain, memproduksi, menyalurkan, dan menjual produk
yang aman dan laku dijual.
Setiap pihak yang mengikat diri terhadap manajemen mutu sesungguhnya menyetujui
adanya tanggung jawab moral. Menurut Pratley (1997:134-135) minimal ada tiga tanggung
jawab utama korporasi, yaitu:
1. Menghasilkan barang-barang, keputusan konsumen, dan keamanan pemakaian.
2. Peduli terhadap lingkungan, baik dilihat dari sudut masukan maupun keluaran,
pembuangan limbah yang aman, serta mengurangi penyusutan sumber daya.
3. Memenuhi standar minimal kondisi kerja dan sistem pengupahan serta jaminan sosial.

3
3. Tanggung Jawab Sosial Bisnis

Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (selanjutnya dalam
artikel akan disingkat CSR) adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan
hanya) perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan,
pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan.

Intinya, CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan
keuntungan perusahaan secara finansial, tetapi untuk pembangunan sosial-ekonomi kawasan
secara holistik, melembaga, dan berkelanjutan. Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan
dan bahkan sering diidentikkan dengan CSR adalah corporate giving, corporate philanthropy,
corporate community relations, dan community development. Implementasi CSR di
perusahaan pada umumnya di pengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :

a. Komitmen pimpinan

Perusahaan yang pimpinannya tidak tanggap dengan masalah-masalah sosial dan lingkungan,
kecil kemungkinan akan mempedulikan aktivitas sosial.

b. Ukuran dan kematangan perusahaan

Perusahaan besar dan mapan lebih mempunyai potensimemberikan kontrubusai ketimbang


perusahaan kecil dan belum mapan. Namun bukan berarti perusahaan menengah, kecil dan
belum mapan tidak dapat menerapkan CSR.

c. Regulasi dan sistem perpajakan yang diatur pemerintah

Semakin overlap-nya regulasi dan penataan pajak akan membuat semakin kecil ketertarikan
perusahaan untuk memberikan donasi dan sumbangan sosial kepada masyarakat. Sebaliknya,
semakin kondusif regulasi atau semakin besar insentif pajak yang diberikan, akan lebih
berpotensi memberi semangat kepada perusahaan untuk kontribusi kepada masyarakat.

4
Argumen yang Menentang Perlunya Tanggungjawab Sosial

Ada beberapa argumen yang berusaha menentang anggapan bahwa bisnis mempunyai
tanggungjawab sosial-moral yaitu :

a. Tujuan bisnis adalah mengejar keuntungan sebesar-besarnya


Ajaran ini dilontarkan oleh Adam Smith pada tahun 1776 dan mempunyai pengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi setelah itu, bahkan sampai sekarang. Ajaran ini
menekankan bahwa tanggung jawab sosial bisnis tidak lain adalah mencari
keuntungan sebesar-besarnya.
b. Tujuan yang terbagi dan harapan yang membingungkan
Argumen yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa ketelibatan sosial sebagai
perwujudan tanggungjawab sosial akan menimbulkan minat dan perhatian yang
bermacam-macam dari para pimpinan perusahaan yang membingungkan.
Kebingungan ini akan mempunyai dampak negatif dalam pengambian keputusan
antara keterlibatan sosial atau operasi ekonomis.
c. Biaya keterlibatan sosial
Keterlibatan sosial sebagai perwujudan anggungjawab sosial malah akan
memberatkan masyarakat. Dalam kenyataannya biaya yang digunakan untuk
keterlibatan sosian itu bukanlah biaya yangdatang dari perusahaan atau bisnis itu
sendiri melainkan biaya yang dikenakan pada produk yang dikenakan perusahaan itu.
Akibatnya, justru masyarakat sendirilah yang menanggung biaya itu.
d. Bisnis mempunyai kekuasaan yang sudah memadai
Argumen ini agak sedikit arogan. Yang ingin disampaikan adalah bisnis sudah
mempunyai krkuatan yang sudah memadai sehingga tidak membutuhkan lagi
dukungan kekuatan dari masyarakay, yang harus dibayar dengan tanggungjawab
sosial.
e. Kekurangan tenaga terampil
Kebanyakan pemimpin perusahaan dan tenaga bisnis tidak mempunyai keterampilan
dibidang kegiatan sosial secara memadai. Oleh karena itu, tidak relevan menurut
keterlibatan sosial dari perusahaan. Bahkan, dikatakan bahwa karena orang bisnis
selalumemikirkan keuntungan, mereka tidak tepat untuk kegiatan sosial yang tidak
mencari keuntungan, malah nantinya mereka akan mengeruk keuntungan dari
kegiatan susial terbebut untuk dirinya sendiri.

Argumen yang Mendukung Perlunya Tanggungjawab Sosial

Beberapa argumen yang mendukung perlunya tanggungjawab sosial bisnis, yaitu:

5
a. Kewajiban moral
Orang bisnis pada umumnya adalah manusia dan anggota masyarakat, seperti halnya
semua manusia lainnya, orang bisnis mempunyai kewajiban dan tanggung jawab
sosial moral terhadap masyarakat.
b. Terbatasnya sumber daya alam
Bisnis berlangsung didalam kondisi sumber daya yang sangat terbatas. Oleh karena
itu, bisnis diharapkan tidak sekedar mengeksploitasi sumber daya itu untuk
kepentingan jangka pendek melainkan juga memeliharanya untuk kepentingan pada
masa yang akan datang.
c. Lingkungan sosial yang lebih baik
Bisnis berlangsung dalam satu lingkungan sosial yang mendukung kelangsungan
bisnis itu untuk masa yang panjang. Hal ini mempunyai implikasi etis bahwa bisnis
mempunyai kewajiban dan tanggungjawab moral untuk ikut memperbaiki lingkungan
sosialnya ke arah yang lebih baik.
d. Bisnis mempunyai sumber-sumber daya
Argumen ini mau menunjukan bahwa bisnis tidak hanya mempunyai uang yang dapat
dipakai untuk kepentingan sosial, melainkan juga mempunyai tenaga manajer yang
kompeten, tenaga ahli yang terampil, tenaga keuangan profesional yang semuanya
sangat berguna bagi masyarakat dan mereka dapat memberikan sumbangan berharga
bagi kelangsungan hidup masyarakat
e. Keuntungan jangka panjang
Argumen ini mau mewujudkan bahwa bagi perusahaan, tanggungjawab sosial
merupakan suatu nilai lebih yang sangat positif bagi perkembangan dan kelngsungan
hidup perusahaan itu pada masa selanjutnya. Dengan tanggungjawab dan keterlibatan
sosial, terciptalah satu cerita yang positif dimata masyarakat mengenai perusahaan itu.
Hal ini akan mendatangkan keuntungan jangka panjang yang mungkin untuk sekarang
tidak dibayangkan.
f. Perimbangan tanggungjawab dan kekuasaan
Bisnis mempunyai keuasaan sosial yang besar. Bisnis mempengaruhi lingkungan,
konsumen, dan kondisi masyarakat. Oleh karena itu, tanggungjawab sosial ditunjukan
sebagai pengimabang atau pengganti kekuasaan tersebut.

Setidaknya ada tiga alasan penting dan manfaat yang diperoleh suatu perusahaan
dalam merespon dan menerap kan CSR yang sejalan dengan operasi usahanya :

a. Perusahaan adalah bagian dari masyarakat dan karena itu wajar bila perusahaan juga
turut memperhatikan kepentingn masyarakat. Dengan adanya penerapan CSR, maka

6
perusahaan secara tidak langgsung telah menjalin hubungan dan ikatan emosional
yang baik terhadap shareholder maupun stakholder.
b. Kalangan bisnis dan masyarakat memiliki hubungan yang bersifat simbiosis
mutualisme (saling mengisi dan menguntungkan). Bagi perusahaan, untuk
mendapatkankeuntungan dari masyarakat, setidaknya licence to operate, adalah suatu
keharusan bagi perusahaan jika dituntuk untuk memberikan kontibusi positif kepada
masyarakat, sehingga bisa mendongkrak citra dan fenomena perusahaan.
c. Kegiatan CSR merupakan salah satu cara untuk mengeleminasi berbagai potensi
mobilitas massa (penduduk) untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan sebagai
akses ekslusifme dan monopoli sumber daya alam yang dieksploitasi oleh perusahaan
tanpa mengedepankan adanya perluasan kesempatan bagi terciptanya kesejahteraan
dan pengembangan sumber daya manusia yang berdomisili disekitar wilayah
penambangan pada khususnya dan masyarakat indonesia pada umumnya.

Isi Tanggungjawab Sosial

Bisa dilihat dengan jelas bahwa ada dua jalur tanggungjawan sosial perusahaan sesuai
dengan dua jalur relasi perusahaan dengan masyarakat, yaitu relasi primer dan relasi
sekunder. Secara singkat isi tanggungjawab sosial perusahaan adalah sebagai berikut :

a. Terhadap relasi primer, misalnya memenuhi kontrak yang sudah dilakukan dengan
perusahaan lain, membayar hutang, memberi pelayanan kepada konsumen dan
pelanggan dengan baik, memperhatikan hak pegawai, dan sebagainya.
b. Terhadap relasi sekunder, bertanggungjawab atas operasi dan dampak bisnis terhadap
masyarakat pad aumumnya, atas masalah-masalah sosial seperti lapangan pekerjaan,
pendidikan, pemasaran sosial, pajak, dan lainsebagainya.

Berdasarkan isi tanggungjawab sosial itu, maka tanggungjawab sosial bisnis adalah
keterlibatan bisnis dalam mengusahakebaikan dan kesejahteraan sosialmasyarakat, tanpa
terlalu menghiraukan kepentingan untung ruginya dari segi ekonomis. Tanggujawab sosial
dapat dirumuskan dalam dua wujud :

a. Positif : melakukan kegiatan yangg bukan didasrkan pada perhitungan untung rugi,
melainkan didasrkan pada kepentingan dan kesejahteraan sosial.
b. Negatif : tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang dari segi ekonomis
menguntungkan, tetapi segi sosial merugikan kepentingan dan kesejahteraan sosial.

7
Dalam rangka prinsif bisnis dapat dikatakan bahwa secara maksimum perusahaan
dianut untuk aktif mengupayakan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Dengan melihat
isi tanggungjawab sosial perusahaan semacam itu, maka kita dapat mengatakan bahwa
bagaimanapun juga demi kelangsungan hidup suatu bisnis yang baik untuk jangka panjang,
perusahaan atau misnis mengemban tanggungjawab sosial yang tidak bisa diabaikan begitu
saja.

Dalam kenyataan, tanggungjawab minimalpun bisa berbenturan dengan prinsip


mencari keuntungan bisnis. Bisnis yang baik atan tetap mengindahkan prinsip
tanggungjawab, kalau perlu mengorbankan kauntungan jangka pendek demi keuntungan
jagka panjang. Jadi, dari segi tuntutan bisnis dan tuntutan etis, tanggungjawab sosial moral
bisnis merupakan suatu tuntutan yang semakin dirasakan relevansinya dalam operasi bisnis
modern. Hanya saja pelaksanaanya konkretnya diserahkan pada setiap pelaku bisnis sesuai
dengan situasi yang diharapkan.

Keith Davis sebagaimana dikutip oleh weiss (1994:95) menyerahkan 5 kewajiban


yang harus dilakukan oleh bisnis profesional agar dapat bertanggungjawab secara sosial,
yaitu sebagai berikut:

a. Bisnis mempunyai peran sosial sebagai pemelihara sumber daya masyarakat.


b. Bisnis harus bekerja sebagai sebuah sistem terbuka dua arah dengan penerimaan
masukan secara terbuka dari masyarakat dan penyampaian yang terbuka tentang
operasinya kepada publik.
c. Biaya sosial maupun manfaat dari suatu aktivitas, produk, atau jasa harus dikalkulasi
dan dipertimbangkan secara cermat agr dapat mengambil keputusan apakah kegiatan
itu perlu dilnjutkan atau tidak.
d. Biaya sosial dari setiap aktivitas, produk atau jasa harus diperhitungkan kedalam
harga, sehingga konsumen atau pengguana membayar atas dampak konsumsinya
terhadap masyarakat.
e. Lembaga bisnis ibarat warga negara yang mempunyai tanggung jawab atas
keterlibatan sosial sesuai dengan kompetensinya dimana terdapat kebutuhan sosial
yang penting.

4. Kode Etik Perusahaan

Anggota dari suatu profesi umumnya terorganisasi dalam suatu asosiasi atau
organisasi profesi yang memiliki kekuasaan untuk mengatur anggotannya dalam menjalankan
profesi. Kode etik menyangkut apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam pelaksanaan

8
suatu profesi. Kode etik berisi suatu tuntutan keahlian, komitmen moral dan perilaku yang
diinginkan dari orang yang melakukan profesi tersebut.

Kode etik perusahaan atau oleh Patric Murphy disebuit ethic statementsdibedakan
dalam tiga macam ( Bertens,2000:381) :

1. Value Statement ( Pernyataan Nilai)

Penyataan nilai dibuat singkat saja melukiskan apa yang dilihat oleh perusahaan sebagai
misinya dan mengandung nilai-nilai yang dijunjung tinggi perusahaan. Banyak pernyataan
nilai yang menegaskan bahwa perusahaan ingin beroperasi secara etis dan menggarisbawahi
pentingnya integritas, kerja tim, kredibilitas, dan keterbukaan dalam komunikasi.

2. Corporate Credo ( Kredo Perusahaan)

Kredo perusahaan biasanya merumuskan tanggung jawab perusahaan terhadap para


stakeholders. Dibandingkan dengan pernyataan nilai, kredo perusahaan biasanya lebih
panjang dan meliputi beberapa alinea.

3. Code of Conduct / Code of Ethical Conduct ( Kode Etik)

Kode etik ( dalam arti sempit) menyangkut kebijakan etis perusahaan berhubungan dengan
kesulitan yang bisa timbul seperti konflik kepentingan, hubungan dengan pesaing dan
pemasok, sumbangan kepada pihak lain, dan sebagainya. Kode etik umumnya lebih panjang
dari kredo perusahaan dan bisa sampai 50-an halaman.

perusahaan dapat memiliki salah satu, dua atau ketiga pernyataan etika tersebut. Dalam
pembahasan ini kode etik perusahaan dimaksudkan pernyataan kode etik pada umumnya,
tanpa memperhatikan penggolongan yang dibuat oleh Patrick Murphy. Mungkin saja penulis
lain akan menyebutkan kode etik perusahaan dengan istilah berbeda.

Setiap perusahaan berusaha memiliki kode etik. Manfaat kode etik bagi perusahaan dapat
disebutkan sebagai berikut ( Bertens, 2002:382)

1. Kode etik dapat meningkatkan kredibilitas suatu perusahaan, karena etika telah
dijadikan sebagian corporate culture. Dengan danya kode etik, secara intern pegawai
terikat dengan standar etis yang sama dan secara ekstern para pihak yang
berkepentingan akan memaklumi apa yang bisa diharapkan dari perusahaan tersebut.
Reputasi dibidang etika merupakan aset yang sangat berharga bagi suatu perusahaan.

9
2. Kode etik dapat membantu menghilangkan kawasan abu-abu ( grey area) dibidang
etika. Beberapa ambiguitas moral yang sering merongrong perusahaan misalnya
menerima komisi atau hadiah, kesungguhan perusahaan dalam memberantas
pemakaian tenaga kerja dibawah umur, dan keterlibatan perusahaan dalam pelestarian
lingkungan hidup.

3. Kode etik dapat menjelaskan bagaimana perusahaan menilai tanggungjawab


sosialnya. Tanggungjawab sosial bukanlah keharusan bagi perusahaan. Melalui kode
etik , perusahaan dapat menunjukkan itikad baik terhadap lingkungan sosialnya.

4. Kode etik menyediakan regulasi sendiri ( self regulation)dan dalam batas tertentu
tidak perlu campur tangan pihak pemerintah dalam mengatasi berbagai persoalan
bisnis.

Kode etik perusahaan seringkali menunjukkan sikap optimis yang berlebihan


sehingga diragukan kemampuannya yang memecahkan persoalan etis dalam perusahaan.
Kritik yang disampaikan terkait kode etik perusahaan adalah:

1. Kode etik sering hanya menjadi slogan belaka. Fungsinya sebatas wimdow dressing
yang membuat pihak luar kagum, padahal belum tentu dijalankan dengan baik.

2. Kode etik dirumuskan terlalu umum dan tetap memerlukan keputusan pimpinan
dalam berbagai persoalan etis. Jika memerlukan keputusan pimpinan, maka kode etik
sesungguhnya tidak diperlukan lagi.

3. Jarang ada penegakan kode etik dengan memberi sanksi untuk pelanggaran. Ada atau
tidak ada kode etik dirasakan tidak ada perbedannya, sehingga kurang efektif dalam
mendorong munculnya perilaku etis.

Untuk mengatasi kekurangan tersebut, suatu kode etik hendaknya :

1. Dirumuskan berdasarkan kesepakatan semua pihak dalam organisasi, sehingga dapat


berfungsi dengan baik.

2. Tidak memuat hal-hal yang kurang berguna dan tidak mempunyai dampak nyata.

3. Direvisi sewaktu-waktu agar sesuai dengan perkembangan jaman.

10
4. Ditegakan dengan seperangkat sanksi agar setiap permasalahan terselesaikan dengan
baik

5. Alasan Meningkatnya Perhatian Dunia Bisnis Terhadap Etika

Perhatian terhadap etika bisnis semakin meningkat di kalangan dunia bisnis.


Perusahaan-perusahaan telah mempunyai kode etik, memiliki bagian khusus yang mengawasi
pelaksanaan kode etik, dan memasukkan etika sebagai mata tataran dalam pelatihan
pegawainya. Menjadi pelaku bisnis yang lebih bermoral berarti memerhatikan dan menilai
hubungan pihakberkepentingan, baik yang ada di dalam maupun di luar perusahaan. Jadi,
perubahan nilai-nilai masyarakat dan tuntutan terhadap dunia bisnis mengakitabatkan adanya
kebutuhan yang makin meningkat terhadap standar etika sebagai bagian dari kebijakan bisnis.
Leonard Brooks menyebut 6 alasan mengapa dunis bisnis semakin meningkatkan perhatian
terhadap etika bisnis (Rindjin, 2004:91), yaitu:

1. Krisis publik tentang kepercayaan.


Pada umumnya, publik kurang percaya terhadap kredibilitas dan kontribusi
perusahaan kepada masyarakat. Skandal demi skandal perusahaan telah terjadi,
sehingga memudarkan kepercayaan publik. Dewasa ini semakin banyak pimpinan
puncak perusahaan merumuskan standar etika perusahaan untuk mengontrol perilaku
yang curang dan memperbaiki daya saing.

2. Kepedulian terhadap kualitas kehidupan kerja.


Kekuatan pendorong kedua yang membangkitkan kesadaran terhadap etika bisnis
adalah meningkatnya nilai-nilai masyarakat pada mutu kehidupan kerja atau quality of
works life (QWL). Hal ini tampak pada fleksibilitas waktu kerja, penekanan pada
kebugaran dan kesehatan, pengasuhan anak di perusahaan, dll. Jadi, terdapat titik
nemu antara kepentingan sosial pegawai dengan kebutuhan perusahaan.
3. Hukuman terhadap tindakan yang tidak etis.
Hukuman secara yuridis dan ekonomis dikenakan pada perusahaan-perusahaan yang
melakukan tindakan illegal, seperti diskriminasi pekerjaan, pelanggaran standar
polusi, keamanan dan kesehatan kondisi kerja, dll. Pemerintah telah menyatakan
tekad untuk menegakkan hukum guna melindungi alam dan pegawai dari praktik
manajemen yang sewenang-wenang.
4. Kekuatan kelompok pemerhati khusus.

11
Kelompok pemerhati khusus (Lembaga Swadaya Masyarakat-LSM) senantiasa
menjadikan korporasi yang mengancam kesejahteraan publik sebagai sasaran media
massa. Lembaga perlindungan konsumen, akan menyampaikan kritik yang bisa
berdampak negatif pada kepercayaan konsumen apabila ditemukan adanya
penyimpangan yang dilakukan korporasi.
5. Peran media dan publistas.
Publisitas mellaui peningkatan perhatian media massa juga menjadi kepedulian
korporasi dewasa ini. Media masaa sebagai pihak berkepentingan sangat berpengaruh
dalam membentuk opini publik tentang korporasi. Oleh karena itu, korporasi
senantiasa membina hubungan dengan media massa dan responsif terhadap media
massa.
6. Mengubah format organisasi dan etika perusahaan.
Bagi korporasi yang berkembang dengan jaringan usaha yang luas dan terpencar
secara geografis, mempunyai aliansi, mitra usaha, pusat keuntungan yang independen,
timbul masalah etis yang menyangkut operasional korporasi. Struktur organisasi,
hubungan tanggung jawab antar unit dan jaringan korporasi senantiasa perlu dikaji
ulang dari sudut efisiensi, efektivitas, dan nilai-nilai pedoman aplikasinya untuk
tingkatkan organisasi maupun individu.

6. Kendala-kendala Pelaksanaan Etika Bisnis

Pelaksanaan prinsip-prinsip etika bisnis di Indonesia masih berhadapan dengan


beberapa masalah dan kendala, yaitu:

1. Standar moral para pelaku bisnis pada umumnya masih lemah. Banyak yang
menempuh jalan pintas, bahkan menghalalkan segala cara untuk memeroleh
keuntungan. Misalnya, memalsukan campuran, menjual barang sudah kedaluarsa,
memanipulasi laporan keuangan.
2. Banyak perusahaan yang mengalami konflik kepentingan. Konflik ini muncul karena
ketidaksesuaian antara nilai pribadi yang dianut dengan peraturan yang berlaku dan
tujuan yang hendak dicapai. (konflik antara deontologi dan teleologi).
3. Situasi politik dan ekonomi yang belum stabil. Ketidakstabilan ini memungkinkan
dilakukannya terobosan dan spekulasi untuk memanfaatkan peluang guna memeroleh
keuntungan tanpa menghiraukan akibatnya.

12
4. Lemahnya penegakan hukum. Lemahnya penegakan hukum mempersulit upaya-
upaya untuk memotivasi pelaku bisnis menegakkan norma-norma etika.
5. Belum ada organisasi profesi bisnis dan manajemen yang khusus menangani masalah
penegakkan kode etik bisnis dan manajemen. Organisasi-organisasi profesi yang ada,
secara khusus belum menangani penyusunan dan penegakkan kode etik bisnis dan
manajemen.
Sudah seharusnya disadari bahwa pelanggaran etika bisnis dapat melemahkan daya
saing hasil industry di pasar internasional. Lebih parah lagi bila perusahaan Indonesia
menganggap remeh etika bisnis yang berlaku secara umum dan tidak mengikat itu.
Kecenderungan makin banyaknya pelanggaran etika bisnis membuat keprihatinan banyak
pihak. Pengabaian etika bisnis dirasakan akan membawa kerugian tidak saja buat masyarakat,
tetapi juga bagi tatanan ekonomi nasional. Disadari atau tidak, para pengusaha yang tidak
memerhatikan etika bisnis akan menghancurkan diri mereka sendiri dan negara.

DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Sutrisna. 2011. Etika Bisnis (Konsep Dasar, Implementasi, dan Kasus). Denpasar:
Udayana University Press.

13

Anda mungkin juga menyukai