RMK ini bertujuan untuk memenuhi tugas dalam perkuliahan Manajemen Risiko
Oleh :
Kelompok 2
Risiko operasional merupakan tipe risiko yg paling 'tua', tetapi paling sedikit dipahami
dibandingkan dengan tipe risiko lainnya (misal: risiko pasar/tingkat bunga). Perusahaan sudah
mengenali risiko operasional meskipun dengan nama yang berbeda. Sebagai contoh,
perusahaan sudah lama mengenali kemungkinan kesalahan pencatatan, sistem pengawasan
internal yang kurang memadai, kegagalan sistem komputer, serangan virus, kecelakaan kerja,
serangan bom oleh teroris, dan lainnya. Risiko-risiko tersebut merupakan contoh risiko
operasional. Risiko-risiko tersebut merupakan risiko yang 'inheren', yaitu risiko yg muncul
karena perusahaan menjalankan bisnis nya. Perusahaan sudah lama menyadari risiko tersebut
dan mengantisipasi nya, meskipun tidak dengan nama manajemen risiko. Sebagai contoh,
perusahaan selalu berusaha, memperbaiki sistem, prosedur atau proses bisnis melalui
manajemen kualitas, perusahaan memberikan training kepada karywan nya agar mereka
semakin terlatih dan semakin sedikit membuat kesalahan. Dalam konteks manajemen risiko
upaya tersebut bisa di pandang sebagai upaya untuk mengelola atau menurunkan risiko
operasional.
Menurut Basel II (lembaga yang mengatur perbankan internasional), mendefinisikan
risiko operasional sebagai risiko yang timbul karena kegagalan dari proses internal, manusia,
sistem, atau kejadian eksternal. Nampak bahwa defisini tersebut mencakup hal yang sangat
luas. Tapi pengelompokan semacam itu bermanfaat karena bisa memberikan pengetahuan
nengenai sumber sumber dari risiko operasional.
Severity
C Gagal Bayar
Debitur Besar
A
Kesalahan
Pemrosesan
B Rate Risk -
Frequency
8
Significance
7 Quadran II Quadran I
(Detect and Monitor) (Present At Source)
6
5
Low
1 2 3
Low Likehood High
Melalui pertanyaan-pertanyaan seperti itu teridentifikasi letak masing-masing risiko
berdasarkan dimensi signifikansi dan kemungkinan. Selanjutnya, strategi yang tepat bisa
dirumuskan untuk mengelola risiko tersebut.
1. Signifikansi (severity) rendah dan likelihood (frekuensi) rendah : low control.
Perusahaan bisa menerapkan pengawasan yang rendah terhadap risiko pada kategori
ini.Pengawasan yang terlalu berlebihan pada jenis risiko ini menimbulkan biaya yang
lebih besar dibandingkan dengan manfaatnya, sehingga akan lebih optimal jika bank
tidak perlu melakukan pengawasan berlebihan.
2. Signifikansi (severity) tinggi dan likelihood (frekuensi) rendah : detect and monitor.
Tipe risiko seperti ini lebih ‘menantang’ untuk dihadapi. Jika risiko seperti ini muncul,
perusahaan bisa mengalami kerugian yang cukup besar, dan barangkali bisa
mengakibatkan kebangkrutan. Tetapi frekuensi risiko tersebut relatif jarang, sehingga
tidak mudah ditemui / dikenali oleh bank. Karena itu risiko tipe ini paling sulit
dipahami karakteristiknya, dan sulit diprediksi kapan datangnya.
3. Signifikansi (severity) rendah dan likelihood (frekuensi) tinggi : monitor. Tipe risiko
semacam ini sering muncul tetapi besarnya kerugian relatif kecil. Biasanya risiko
semacam ini muncul sebagai akibat perusahaan menjalankan bisnisnya. Dengan kata
lain, risiko semacam ini merupakan konsekuensi perusahaan menjalankan bisnisnya.
4. Signifikasi (severity) tinggi dan likelihood (frekuensi) tinggi: prevent at source. Tipe
risiko ini praktis tidak relevan lagi dibicarakan, karena jika situasi semacam ini terjadi,
berarti perusahaan tidak lagi bisa mengendalikan risiko, dan bisa berakibat pada
kebangkrutan.
Alternatif lain dengan menggunakan penggolongan semacam ini.
Bagan 3 Strategi Menghadapi Risiko Berdasarkan Matriks Frekuensi/Severity
Tinggi
Wilayah 1
Severity
Wilayah 2
Wilayah 3
Rendah
Wilayah 4
Rendah Tinggi
Frekuensi
Strategi untuk menghadapi risiko untuk wilayah-wilayah tersebut adalah seperti berikut ini.
Wilayah 1. Severity tinggi dan frekuensi tinggi: immediate action
Untuk wilayah ini, perusahaan harus melakukan penanganan yang agresif dan
segera (immediate action).
Wilayah 2. Severity tinggi dan frekuensi agak tinggi: immediate attention
Untuk wilayah ini, perusahaan harus segera mengawasi risiko ini (immediate
attention).
Wilayah 3. Severity agak tinggi dan frekuensi agak tinggi: periodic attention
Untuk wilayah ini, perusahaan bisa melakukan pengawasab secara berkala
(periodic attention).
Wilayah 4. Severity rendah dan frekuensi rendah: annual evaluation
Untuk wilayah ini, perusahaan bisa lebih longgar, yaitu melakukan pengawasan
dengan jangka waktu panjang, misal tahunan.
Aspek dinamika risiko juga perlu diperhatikan. Risiko bisa berubah dari wilayah 4 ke wilayah
lainnya, misal ke wilayah 2. Sebagai contoh, risiko tuntutan hukum barangkali tidak begitu
kelihatan di masa lalu. Tetapi dengan semakin sadarnya masyarakat akan hak dan
kewajibannya, risiko tersebut bisa berubah menjadi semakin penting.
Misalkan kita mengumpulkan data historis untuk melihat kecelakaan kerja. Berikut ini data
bulanan selama 12 bulan
Tabel 1. Data Historis Frekuensi dan Nilai Kerugian
Frekuensi Nilai kerugian ( Rp )
Januari 4 12.000.000
Februari 6 11.000.000
Maret 5 12.000.000
April 4 11.000.000
Mei 6 15.000.000
Juni 7 14.000.000
Juli 5 13.000.000
Agustus 6 12.000.000
September 4 13.000.000
Oktober 5 12.000.000
November 6 14.000.000
Desember 5 13.000.000
Jumlah 63 152.000.000
Rata-rata 5,25 12.666.667
Nilai kerugian perkecelakaan 2.412.698
Dari data diatas menunjukkan bahwa rata-rata kecelakaan setiap bulannya adalah 5,25 kali,
dengan rata-rata kerugian sekitar Rp 12,6 juta perbulannya atau Rp 2.412.698
(152.000.000/63). Jika menggunakan nilai rata-rata untuk frekuensi dan nilai kerugian maka
nilai kerugian yang diharapkan untuk bulan mendatang adalah:
Nilai kerugian yang diharapkan = (frekuensi) x (severity)
= 5,25 x Rp 2,4 juta = Rp 12,6 juta
Frekuensi yang diperkirakan menggunakan nilai rata-rata dari frekuensi kecelakaan setiap
bulannya, yaitu 5,25 kali. Severity per kejadian menggunakan nilai kerugian per-peristiwa
yaitu sekitar Rp 2,4 juta.
Berikut ini contoh distribusi normal komulatif untuk satu sisi, dimulai dari 0,5000 sampai
dengan 0,9990. Untuk sisi lainnya, mulai dari 0,0000 sampai dengan 0,4999. Total urutan
angka akan nampak sebagai 0,0000 sampai dengan 0,9990
Tabel 3 Distribusi Normal Kumulatif
Berdasarkan data di atas dapat dilakukan simulasi dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menghasilkan angka random untuk frekuensi munculnya kerugian dengan
menggunakan distribusi Poisson dengan nilai yang diharapkan adalah 5
2. Menghasilkan angka random untuk severity kerugian dengan menggunakan distribusi
normal
3. Mengalihkan frekuensi dengan severity untuk menghasilkan total kerugian yang
diharapkan pada periode tertentu ( bulanan )
4. Mengulangi langkah 1 sampai dengan 3 beberapa kali ( misal 100 kali atau 1000 kali)
Misalkan menghasilkan 10 angka random untuk 1 dan 2 (simulasi dengan 10 run). Untuk
langkah 1, 10 angka random tersebut bisa dilihat pada kolom 1 pada tabel dibawah ini
Keterangan:
Kolom (2) frekuensi yang berkaitan dengan angka (angka 24 ada diantara 13-27 yang
berkaitan dengan frekuensi 3). Kolom (3) angka random dari 0 sampai 9999. Kolom (4) nilai
Z yang berkaitan (lihat tabel kumuatif probabilitas noramal, angka yang mendekati 0,8686
adalah 1,12 ). Kolom (5) nilai kerugian (severity) yang dihitung sebagai berikut:
Z = (X - 𝝁) / 𝝈
Jika u = 15 juta, standar deviasi = 2 juta, maka z= 1,12, X adalah
X = (1,12) X (2juta) + 15juta = 17,24 juta. Dengan demikian severity untuk baris tersebut
adalah rugi sebesar Rp. 17,24 juta. Jika kolom (3) dibawah 5000 maka nilai Z = 0,9990 –
(angka random/10000). Misal: pada angka sebesar 305 maka nilai Z = (0,9990 –
(305/10000)) = -1,86. Kolom (6) kerugian yang diharapkan (kolom 2 x kolom 5). Rata-rata
kerugian yang diharapkan adalah Rp. 65,18 juta, dengan rata-rata frekuensi sebesar 5 kali
kecelakaan kerja, dan rata-rata kerugian per kecelakaan adalah Rp. 15 juta. Tabel berikut ini
menyajikan distribusi frekuensi kerugian dengan menggunakan interval kerugian setiap 10
juta.
4.1 Globalisasi
Globalisasi keuangan dunia didorong oleh liberalisasi ekonomi dunia. Liberalisasi artinya
penghilangan pembatas-pembatas aliran modal. Sebagai contoh, Indonesia melakukan
liberalisasi di pasar modal sejak tahun 1989, ketika investor asing bisa membeli saham di
pasar modal sampai maksimal 49% dari jumlah saham yang beredar. Pada tahun 1997,
liberalisasi tersebut dilanjutkan lebih jauh dengan membolehkan investor asing membeli
saham di Bursa Efek jakarta sampai dengan 100%. Efek dari liberalisasi seperti ini adalah
mendorong globalisasi ekonomi dan keuangan dunia. Kejadian yang terjadi disuatu negara
bisa dengan cepat mempengaruhi negara lain.
Kondisi semacam ini cenderung meningkatkan risiko, seperti terlihat pada semakin
tingginya volatilitas pergerakan saham atau nilai-nilai instrumen keuangan/komoditas.
Globalisasi juga semakin meningkatkan frekuensi dan severity (signifikansi) dari suatu risiko,
karena kejadian suatu negara akan cepat mempengaruhi ke negara lain. Hal ini disebabkan
karena pembatas-pembatas sudah jauh berkurang. Modal akan bisa berputar leih cepat,
sehingga perusahaan mempunyai waktu yang lebih sedikit untuk menyelesaikan masalah
yang muncul. Terlambat mengantisipasi risiko tersebut akan berakibat fatal bagi perusahaan.
4.2 Otomatisasi
Dengan semakin berkembangnya teknologi komputer, perusahaan semakin lama semakin
mengandalkan teknologi komputer untuk melakukan banyak hal, termasuk mengotomatisasi
transaksi. Sebagai contoh perusahaan menggunakan komputer untuk mencatatan transaksi
(tidak lagi menggunakan tenaga manusia untuk mencatat transaksi), bank menggunakan ATM
sehingga nasabah bank bisa bertransaksi 24 jam dalam sehari.
Otomatisasi semacam ini akan menurunkan risiko yang berkataitan dengan manusia
misalkan kesalahan pencatatan karena kelelahan, tetapi otomatisasi semacam itu akan
memunculkan risiko baru yaitu kegagalan sistem dan semacamnya. Risiko baru cenderung
lebih sulit dideteksi dan jika terjadi, kerugian yang dialami perusahaan cukup signifikan.
KASUS
Kasus Garuda Indonesia (Dalam Pengelolaan Manajemen Risiko pada Karyawan)
Kasus yang belakangan menjadi viral, yaitu gugatan seorang penumpang kepada
maskapai Garuda Indonesia layak untuk dipelajari. Gugatan yang dilayangkan jumlahnya
tidak main-main, B.R.A Kosmariam Djatikusomo menggugat PT Garuda Indonesia Tbk
(Persero) sebesar Rp 11,25 miliar (kompas.com). Kalau saja gugatan ini dimenangkan oleh
Kosmariam, tentu saja ini akan semakin memberatkan keuangan Garuda Indonesia. Apalagi
belakangan kita ketahui bahwa tahun lalu Garuda Indonesia belum berhasil mencetak laba.
Pada tahun 2017, Garuda menderita kerugian bersih sebesar 213,4 juta dollar AS. Angka
tersebut menurun dibandingkan laba bersih yang diperoleh Garuda pada tahun 2016 sebesar
9,36 juta dollar AS (kompas.com). Risiko pada Kasus di atas adalah bagian dari risiko
operasional. Risiko operasional adalah risiko akibat ketidak cukupan dan atau tidak
berfungsinya proses internal. Risiko ini diakibatkan oleh tidak adanya atau tidak berfungsinya
prosedur kerja, kesalahan manusia, kegagalan sistem dan/adanya kejadian-kejadian eksternal
yang memengaruhi operasional perusahaan. Berikut adalah keterangan dari kuasa hukum
penggugat: "Kami menilai pramugari Garuda lalai, karena para pramugari yang menyediakan
makanan sedang ngobrol satu sama lain, sehingga menumpahkan air panas," katanya.
Berdasarkan keterangan tadi jelas, bahwa kejadian risiko operasional ini disebabkan oleh
faktor kesalahan manusia. Apakah ada kesalahan dalam melaksanakan prosedur kerja?
Tentunya kita harus bertanya pada Garuda Indonesia. Apakah "ngobrol" pada saat menyajikan
makanan dan minuman kepada penumpang itu sudah diatur dalam SOP layanan mereka?
Apabila sudah diatur, apakah diperbolehkan? Jika tidak diperbolehkan, maka jelas bahwa ini
adalah risiko operasional yang juga disebabkan oleh tidak berfungsinya prosedur kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Mamduh M., 2016. Manajemen Risiko. Edisi Ketiga. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.