Baring Bank merupakan contoh yang menarik sebagai ilustrasi bagaimana kegagalan mengelola
risiko operasional akan mempunyai akibat yang serius terhadap organisasi. Kisah Baring Bank tersebut
menjadi cerita klasik yang selalu dibicarakan di kelas manajemen risiko. Kesalahan Baring Bank adalah
terlalu mempercayai salah seorang trader mereka yaitu Nick Leeson. Nick Leeson bisa mengerjakan dua
fungsi sekaligus yaitu fungsi front office (sebagai trader) dan fungsi back office (melakukan pencatatan
atas transaksinya). Ketika dia memperoleh keuntungan, dia akan mencatatkan keuntungan tersebut
Tetapi ketika ia mengalami kerugian dari perdagangannya, ia tentu saja tidak akan mencatat
kerugiannya. Akibatnya kerugian dari trading-nya tidak terawasi oleh bank, sampai akhirnya kerugiannya
mencapai sekitar $1,3 miliar. Dengan kerugian sebesar itu, praktis modal bank akan habis untuk menutup
kerugian tersebut. Bank sudah bangkrut dalam situasi tersebut. Karena ia melakukan perdagangan atas
nama bank, maka bank yang harus menanggung akibatnya. Salah satu kemungkinannya adalah karena
dia 'star trader'. Pada tahun tertentu, dia bisa memberikan keuntungan dari perdagangannya mencapai
sekitar 25% dari total keuntungan Baring Bank. Dengan situasi semacam itu banyak yang menganggap
bahwa dia adalah pahlawan yang penuh keberuntungan, dan melupakan risiko atau kemungkinan
kerugian dari transaksi perdagangannya, yang mempunyai risiko yang sangat tinggi.
Dengan menggunakan dua dimensi tersebut, kita bisa membuat matriks frekuensi/ tingkat
keseriusan untuk risiko-risiko yang ada, termasuk risiko operasional. Berikut ini contoh aplikasi matriks
tersebut untuk risiko gagal bayar (default) dan kesalahan pemrosesan transaksi.
Bagan 11.1 di bawah ini menunjukkan matriks dengan dimensi frekuensi di sumbu horisontal dan
dimensi severity pada sumbu vertikal. Risiko-risiko bisa diklasifikasikan berdasarkan dimensi-dimensi
tersebut. Sebagai contoh, risiko gagal bayar dari debitur perusahaan biasanya jarang terjadi. Karena itu risiko
tersebut diklasifikasikan sebagai risiko dengan frekuensi rendah. Tetapi jika terjadi, kerugian yang timbul bisa
sangat besar. Karena itu risiko tersebut diklasifikasikan dengan severity tinggi. Gabungan antara frekuensi
rendah dengan severity tinggi terlihat pada titik C pada bagan di atas. Sebaliknya, kesalahan pemrosesan
atau kesalahan pencatatan transaksi akan sering terjadi (apalagi jika proses pencatatan masih secara
manual). Tetapi tingkat severity dari kesalahan tersebut tidak terlalu tinggi. Karena itu risiko kesalahan
pemrosesan berada pada titik A. Dengan proses semacam itu, kita bisa memperoleh gambaran mengenai
frekuensi dan severity dari suatu risiko, yang selanjutnya mempunyai implikasi pada bagaimana mengelola
risiko tersebut. Sebagai contoh, berikut ini strategi menghadapi risiko berdasarkan matriks severity
(significance)/frekuensi (likelihood) (lihat Bagan 11.2).
Bagan 11.1.
Matriks Severity dan Frekuensi untuk Risiko Gagal Bayar dan Kesalahan Pemrosesan
Perhatikan bahwa matriks likelihood (frekuensi) dan signifikansi (severity) dikelompokkan ke dalam
empat kuadran, yaitu:
1. Signifikansi (severity) rendah dan likelihood (frekuensi) rendah
2. Signifikansi (severity) tinggi dan likelihood (frekuensi) rendah
3. Signifikansi (severity) rendah dan likelihood (frekuensi) tinggi
4. Signifikansi (severity) tinggi dan likelihood (frekuensi) tinggi
Penentuan tinggi rendah severity atau frekuensi bisa dilakukan melalui berbagai cara. Sebagai
contoh, severity atau frekuensi yang lebih besar dibandingkan median atau rata-rata dari risiko yang ada
(dalam daftar) dikelompokkan ke dalam severity atau frekuensi tinggi, dan sebaliknya. Penentuan tinggi
rendah tersebut bisa dilakukan melalui perhitungan angka absolut atau bisa melalui survei terhadap manajer-
manajer perusahaan.
Bagan 11.2.
4. Signifikansi (severity) tinggi dan likelihood (frekuensi) tinggi: prevent at source, Tipe risiko ini praktis tidak
relevan lagi dibicarakan, karena jika situasi semacam ini terjadi, berarti perusahaan tidak lagi bisa
mengendalikan risiko, dan bisa berakibat pada kebangkrutan. Sebagai contoh, jika suatu perusahaan
tidak bisa mengendalikan risiko penggelapan uang dalam jumlah besar oleh karyawannya (tipe risiko ini
berada dalam kuadran frekuensi rendah/ Signifikansi tinggi), maka ada kemungkinan risiko ini berubah
menuju kuadran frekuensi tinggi/Signifikansi tinggi. Jika hal tersebut terjadi, maka perusahaan praktis
akan bangkrut dalam waktu singkat. Dengan perspektif semacam itu, maka tugas manajemen risiko
adalah mencegah migrasinya risiko-risiko yang ada ke dalam kuadran frekuensi tinggi/signifikansi tinggi.
Bagan 11.3.
Strategi Menghadapi Risiko Berdasarkan Matriks Frekuensi / Severity
Strategi untuk menghadapi risiko untuk wilayah-wilayah tersebut adalah seperti berikut ini.
1. Wilayah 1.
Severity tinggi dan frekuensi tinggi: immediate action. Untuk wilayah ini, perusahaan harus melakukan
penanganan yang agresif dan segera (immediate action).
2. Wilayah 2.
Severity tinggi dan frekuensi agak tinggi: immediate attention Untuk wilayah ini, perusahaan harus segera
mengawasi risiko ini (immediate attention).
3. Wilayah 3.
Severity agak tinggi dan frekuensi agak tinggi: periodic attention Untuk wilayah ini, perusahaan bisa
melakukan pengawasan secara berkala (periodic attention).
4. Wilayah 4.
Severity rendah dan frekuensi rendah: annual evaluation
Untuk wilayah ini, perusahaan bisa lebih longgar, yaitu melakukan pengawasan dengan jangka waktu
panjang, misal tahunan.
Aspek dinamika risiko juga perlu diperhatikan. Risiko bisa berubah dari wilayah 4 ke wilayah lainnya,
misal ke wilayah 2. Sebagai contoh, risiko tuntutan hukum barangkali tidak begitu kelihatan di masa lalu.
Tetapi dengan semakin sadarnya masyarakat akan hak dan kewajibannya, risiko tersebut bisa berubah
menjadi semakin penting.
Bagan 11.7.
Signifikansi Signifikansi
Tinggi Tinggi
Frekuensi Frekuensi
Rendah Tinggi
Signifikansi Signifikansi
Tinggi Tinggi
Frekuensi Frekuensi
Rendah Tinggi
Beberapa faktor yang bisa menyebabkan perubahan karakteristik semacam itu adalah globalisasi,
otomatisasi, terlalu mengandalkan teknologi, yang akan dibicarakan berikut ini.
1.4.1 Globalisasi
Globalisasi keuangan di dunia didorong oleh liberalisasi ekonomi dunia. Liberalisasi berarti
penghilangan pembatasanpembatasan aliran modal. Sebagai contoh, Indonesia melakukan liberalisasi di
pasar modal sejak tahun 1989, ketika investor asing bisa membeli saham di pasar modal sampai
maksimal 49% dari jumlah saham yang beredar. Pada tahun 1997, liberalisasi tersebut dilanjutkan lebih
jauh dengan membolehkan investor asing membeli saham di Bursa Efek Jakarta sampai dengan 100%.
Efek liberalisasi seperti itu mendorong globalisasi ekonomi dan keuangan dunia. Kejadian penting di
suatu negara akan dengan cepat mempengaruhi negara lainnya. Dunia menjadi terasa semakin kecil.
Istilah dunia sebagai desa kecil (small village) muncul untuk menggambarkan kondisi semacam itu.
Kondisi semacam itu cenderung meningkatkan risiko, seperti terlihat pada semakin
meningkatnya volatilitas pergerakan harga atau nilai-nilai instrumen keuangan/komoditas. Globalisasi
juga semakin meningkatkan frekuensi dan severity (signifikansi) dari suatu risiko, karena kejadian di
suatu negara akan cepat merembet ke negara lain karena pembatasan-pembatasan sudah jauh
berkurang. Modal bisa berputar lebih cepat. Kecepatan aliran modal seperti itu juga membuat
perusahaan mempunyai waktu yang lebih sedikit untuk menyelesaikan masalah yang muncul. Terlambat
mengantisipasi risiko tersebut akan berakibat serius bagi perusahaan.
1.4.2 Otomatisasi
Dengan semakin berkembangnya teknologi komputer, perusahaan semakin lama semakin
mengandalkan teknologi komputer untuk melakukan banyak hal, termasuk mengotomatisasi transaksi.
Sebagai contoh, perusahaan menggunakan komputer untuk mencatat transaksi (tidak banyak
menggunakan tenaga manusia untuk mencatat transaksi); bank menggunakan ATM (Automatic Teller
Machine) sehingga nasabah bank bisa bertransaksi praktis 24 jam satu hari.
Otomatisasi semacam itu menurunkan risiko yang berkaitan dengan manusia (misal kesalahan
pencatatan karena kelelahan).
Tetapi otomatisasi semacam itu memunculkan risiko baru yaitu risiko kegagalan sistem dan
semacamnya. Risiko baru semacam itu cenderung lebih sulit dideteksi dan jika terjadi, kerugian yang
dialami oleh perusahaan cukup signifikan. Risiko akan cenderung terakumulasi dan baru terdeteksi jika
jumlah kerugian mencapai angka yang besar.