Anda di halaman 1dari 32

“Risiko Operasional dan Perubahan Kurs”

Risiko Operasioanal dan Perubahan Kurs

Diajukan Kepada:
Guntur Kusua Wardana, SE,. MM
Untuk Memenuhi Tugas Presentasi
Matakuliah Manajemen Risiko
semester genap 2016-2017

Oleh
Kelompok 3
Kintan Ratna Dewi 13540008
Fuad Thohiri Mu`alim 13540018
Agus Suaidi Hasan 13540061

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam kehidupan manusia selalu dihadapkan pada beberapa gejala, baik
disebabkan alam, politik, bahkan keadaan ekonomi itu sendiri. Berbagai gejala tersebut
merupakan risiko yang tak terlepas dari kehidupan manusia. Demikian juga dalam
kehidupan bisnis, apakah bisnis tersebut memakai konsep bunga atau yang memakai
sistem bagi hasil, yang setiap lembaga bisnis selalu berhadapan dengan risiko dan
pendapatan (risk and return).
Di kalangan pelaku bisnis (businessmen), berbicara mengenai risiko merupakan
pembicaraan yang tidak enak didengarkan. Hal ini disebabkan bahwa setiap pelaku
bisnis tidak menginginkan terjadi risiko pada bisnisnya, tetapi sebaliknya
menginginkan keuntungan yang maksimum dan dihalalkan oleh Allah swt. Risiko bisa
terjadi kapan saja dan dimana saja. Dari beberapa risiko, kemungkinan penyebabnya
adalah kelemahan seperti praktek bisnis yang monopolistis, kolusi, parasit, tertutup,
kapitalis, mungkin juga faktor manajemen bisnis yang tidak mengikuti sunnatullah atau
istilah lainnya tidak menerapka profesionalisme. Pesan-pesan tersebut membuktikan
bahwa Islam mewajibkan profesionalisme termasuk di dalam profesionalisme
menjalankan bisnis. (Sofyan S. Harahap, 2004:75).
Resiko dalam Perbankan Syariah
Bank syariah adalah lembaga bisnis yang juga akan menghadapi risiko manajemen
bank itu sendiri. Bahkan, kalau dicermati lebih mendalam, bank syariah merupakan
bank yang sarat dengan risiko. Hal ini disebabkan bank syariah dalam prakteknya lebih
banyak berhubungan dengan produk-produk yang dalam produk itu terdapat banyak
risiko, tetapi risiko yang diakibatkan oleh ketidakjujuran nasabah dalam melakukan
transaksi oleh karena itu, para praktisi bank harus bisa meminimalisiasi risiko pada
bank itu sendiri dalam rangka memperoleh keuntungan sesuai apa yang diharapkannya.
(Muhammad , 2005:357)
Oleh karena itu, diperlukan manajemen risiko untuk meminimalkan berbagai risiko
yang timbul. Berikut ini dipaparkan tentang bagaimana manajemen risiko pada bank
syariah. Paparan ini meliputi pengertian, bentuk-bentuk risiko pada bank syariah,
manfaat manajemen risiko, tahapan-tahapan manajemen risiko, manajemen risiko pada
bank syariah, dan penutup.
Demikian halnya dengan risiko operasional dalam bisnis, khususnya perbankan
yang sangat dengan terpaan risiko, yakni juga risiko yang melekat terhadap perubahan
nilai kurs mata uang, investasi dengan kusr mata uang tentunya juga menimulkan
resiko tersendiri, sehingga amat penting untuk mengetahui dan mempelajari kiat-kiat
mengatasi dan mengetahui risiko, begitu pula juga memahaminya risiko dalam
opersional dan perubahan nilai kurs dalam perspektif islam.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa arti dari resiko operasional?
b. Bagaimana mengetahui, mengindikasi, dan menganalisis risiko opersional?
c. Bagaimana risiko perubahan nilai kurs dan menganalisisnya?
d. Bagaimana risiko operasional dan perubahan kurs dalam perspektif hukum islam?
1.3 Tujuan
a. Untuk dapat mengetahui arti dari resiko operasional.
b. Untuk dapat mengetahui, mengindikasi, dan menganalisis risiko opersional.
c. Untuk dapat mengetahui risiko perubahan nilai kurs dan menganalisisnya.
d. Untuk dapat mengetahui risiko operasional dan perubahan kurs dalam perspektif
hukum islam.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pemahaman Mengenai Operational Risk


Definisi “Operational Risk” seperti digariskan dalam Basel II Capital Accord
telah mengungkap sisi menarik jenis risiko ini. Di samping merupakan jenis risiko
yang telah melewati kurun waktu lama, namun sekaligus mutakhir, risiko ini ternyata
juga bukan risiko yang unik, Operational risk ini bukanlah jenis risiko yang khas
dan bukan monopoliperbankan semata, meskipun jugaharus diakui bahwa semua bank
telah terbiasa menghadapinya.
Tidak mengherankan bila cakupan rumusan operational risk beragam dengan
sekian banyak versi definisinya. Salah satunya adalah Basel II accord. Di sini
“operational risk”didefinisikan sebagai akibat dariinadequate atau failed internal
processes, people, dan systems atau sebagai akibat dari external events.meskipun
memasukkan unsure legal risk ke dalamnya, Basel II itu tidak memuat business,
strategic, dan reputation risk sebagai bagian dari operational risk tersebut.
Namun, dari definisi itu patut diduga bahwa operational risk dapat menimbulkan
pengaruh negative yang luas. Hal itu dapat terjadi karena berakar dari kegagalan dalam
melaksanakan danmenerapkan proses serta prosedur dalam suatu kegiatan.
Operational risk dapat terjadi pada semua kegiatan bisnis karena senantiasa terkait
dengan proses serta kegiatan operasional bisnis tersebut. Bahkan risiko tersebut dapat
terjadi dimana pun dalam semua bidang kehidupan, termasuk bidang bisnis dan
perbankan tersebut.
Khusus dalam manajemen perbankan dapat diidentifikasikan sejumlah jenis
operational failure yang dapat menjadi akar dari operational risk, yaitu :
a. People risk, berupa :incompetency, fraud dan lain-lain.
b. Process risk, yang meliputi tiga kelompok, yaitu :
1. Model risk (berupa model/ methodology error, mark-to-model error, dan
lain-lain);
2. Transaction risk (berupa execution error, product complexity, booking error,
settlement error, documentation/contract risk dan sebagainya) dan3.
Operational control risk (berupa :exceeding limits, security risk, volume risk,
dan sebagainya).
c. System dan technology risk, berupa system failure, programming error,
information risk, telecommunications failure, dan sebagainya.
Mereka yang melakukan dealing dalam operasional perbankan tidak secara
spesifik menyadari terdapatnya operational risk dalam kegiatannya itu. Sebagai contoh,
kegiatan pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan bank secara periodic.
Pendidikan serupa ini pada awalnya memang dimaksudkan untuk memberikan bekal
pengetahuan dan keterampilan para staf dalam menjalankan pekerjaan yang ditugasi
padanya. Namun jelas bahwa kegiatan ini pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas
layanan bagi customer dan memperkecil processing errors dalam melaksanakan sistem
dan prosedur yang ditetapkan bank. Hasil akhir yang dicapai dari kegiatan training ini
jelas dapat meningkatkan kepuasan pelanggan dan menekan compensation costs.
Namun, kenyataan menunjukkan bahwabank tidak memperhitungkan kemungkinan
kerugian yang diderita bank akibat dari staff errors itu sebagai wujud dari operational
risk. Demikian pula bank tidak secara spesifik menganggap bahwa staff training yang
dilakukannya itu sebagai bagian dari upayanya mengantisipasi operational risk.
Banyak contoh kejadian yang merupakan bentuk dari operational risk tersebut,
yaitu sebagai berikut :
a. Peristiwa yang terjadi dengan frekuensi yang relative tinggi, seperti fraud dan process
failure, yang biasanya berakhir dengan menimbulkan kerugian bank.
b. Pada suatu individual incident level terdapat kejadian yang hanya mengakibatkan
tingkat kerugian yang relative kecil sehingga disebut sebagai high frequency but low
impact losses. Artinya peristiwa itu sering terjadi , namun dengan akibat kerugian yang
terbatas.
c. Peristiwa atau kejadian yang dapat ditangani oleh masing-masing bank melalui
kebijakan dan prosedur sehari-hari, seperti :technology control dan security.
d. Peristiwa yang jarang terjadi namun mengakibatkan tingkat kerugian yang tinggi (low
frequency but high severity losses), seperti terjadinya serangan para teroris atau
peristiwa kebakaran yang melanda asset dan berbagai fasilitas kantor bank. Disini,
peristiwa itu jarang terjadi, namun bila benar-benar terjadi, akibat yang ditimbulkannya
bisa fatal.

2.2 Tantangan Baru Operational Risk Management


2.2.1 Kemajuan Operational Risk Management
Kini operational risk tersebut telah berkembang sejalan dengan pesatnya kemajuan
teknologi dan arus globalisasi serta kemajuan yang dicapai perbankan sendiri. Kini
diperlukan lebih dari sekadar senjata berupa peralatan sederhana untuk melindungi
bank terhadap operational risk tersebut karena dalam frekuensi yang meningkat telah
terjadi major high profile events, terutama dalam lima belas tahun terakhir ini sehingga
memberikan impact yang meningkat pula bagi perbankan.
Beberapa di antara peristiwa besar itu antara lain :
a. Kerusakan besar yang diderita NatWest Tower di London akibat serangan bom dalam
tahun 1993.
b. Peritiwa collapse-nya Barings Bank, London dalam tahun 1995.
c. Serangan teroris terhadap menara kembar World Trade Center di New York pada 11
September 2001.
d. Kerugian besar yang diderita National Australia Bank akibat currency option loss pada
bulan januari 2004.
Perkembangan inilah yang pada gilirannya telah mendorong terjadinya
peningkatan dan perluasan atas operational risk management dalam perbankan yang
dapat menjadi senjata ampuhnya yang baru. Kemajuan yang signifikan terutama terjadi
pada perbaikan corporate governance dan management responsibilities. Kini bank pun
menjadi semakin menyadari bahwa operational risk management yang baik akan
banyak memberikan keuntungan dan kemaslahatan bagi bank sendiri. Penerapan
kebijakan dan prosedur sesuai operational risk management itu diharapkan dapat
menghasilkan perbaikan pada internal process yang efisien dan efektif dalam
perbankan. Bila hal itu dilaksanakan , mungkin kasus “kecolongan” pada Barings dapat
secara efektif dicegah.
2.2.2 Meningkatnya Potensi Operational Risk
Keprihatinan bank atas gejala tersebut menjadi bertambah tinggi karena ternyata
impact yang ditimbulkannya itu juga telah mengalami perubahan. Awalnya impact itu
terutama berasal dari low cost errors yang merupakan high frequency / low severity
events, namun kini telah diikuti oleh terjadinya lower frequency / higher severity loss
events.
Diketahui bahwa meningkatnya operational risk events tersebut terjadi sebagai
akibat dari peningkatan kegiatan beberapa hal, yaitu sebagai berikut :
a. Automation
Banyak bank kini telah menjadi semakin kurang menaruh keyakinan yang
mantap atas pekerjaan yang dilakukan pegawai/staf ketimbang hasil proses yang
dihasilkan melalui automated processes. Padahal kini diperkirakan bahwa justru
hal itu telah memicu terjadinya peningkatan operational risk events.
Mengapa ?terdapat beberapa argumentasi perihal ini, yaitu sebagai berikut.
1) Kesalahan yang mungkin relative lebih sering dilakukan oleh pegawai / staf
itu justru relative lebih mudah dideteksi.
2) Bila sejumlah pegawai atau staf melakukan kesalahan yang sama berulang
kali, hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak biasa.
3) Hal tersebut diatas berbeda dengan suatu program komputer yang jika salah
dalam penyusunan programnya dapat membuat kesalahan secara
berulang-ulang hingga kesalahan tersebut berhasil dideteksi dan diperbaiki.
Padahal kesalahan program komputer itu pun sering kali sulit dideteksi,
berbeda dengan kesalahan yang dibuat oleh pegawai atau staf yang dapat
diketahui lebih dini.
4) Proses automatisasi yang dilakukan dengan menggunakan program computer
yang dapat menyebabkan terjadinya akumulasi kesalahan yang dapat
menyebabkan terjadinya kerugian yang signifikan sebelum berhasil dihentikan
setelah diketahui letak kesalahannya.
b. Menyandarkan Diri pada Keandalan Teknologi
Kini tak hanya peningkatan impact sebagai akibat dari proses automation saja
yang menjadi keprihatinan perbankan. Kepercayaan bank terhadap kemampuan
teknologi yang telah merambah seluruh proses manajemen dalam perbankan juga
telah pula meningkat, mulai dari mass automation hingga highly specialized
products.
Sebagai contoh, product funding dan risk management techniques telah
menjadi semakin rumit sebagai kaibat dari peningkatan penggunaan teknologi
informasi dan mathematical model yang kompleks.
Padahal kepercayaan yang meningkat terhadap kemampuan teknologi ini
justru mengandung konsekuensi yang berat pula karena begitu terjadi kesalahan
dalam mengimplementasikannya bank dapat menderita kerugian. Hal itu juga
dapat terjadi sebagai akibat dari kekurangpahaman atau karena terlalu percaya
buta terhadap keampuhan dan ketelitian teknologi.
Sebagai contoh, banyak risk managers yang karena terlalu yakin atas
keampuhan excel spreadsheets yang kerap digunakan untuk transaksi perbankan
yang rumit, telah mengabaikan dokumentasi dan pengawasan.
Teknologi mutakhir telah mengubah pula cara para customer berhubungan
dengan bank. Peranan bank sebagai lembaga intermediaries seolah telah
ditinggalkan karena transaksi di antara sesamacustomer dapat dilakukan langsung
via internet. Banyak diantara para customer itu bahkan yang hanya melakukan
transaksi perbankan nya technology-based products. Padahal setiap kali terjadi
gangguan terhadap technology based services tersebut dapat mengakibatkan
terjadinya pengaruh atau impact yang luas terhadap bank dan para customer itu
sendiri.
c. Outsourcing
Kemajuan teknologi membuka peluang bagi banyak bank untuk menggunakan
jasa outsourcing Negara-negara lain bagi berbagai elemen kegiatan operasional
perbankannya. Hal itu biasanya dilakukan dengan pertimbangan biaya yang lebih
rendah dan demi proses yang lebih efisien. Namun pemanfaatan outsourcing itu
dapat menyebabkan terjadinya operational risk tanpa dapat dikontrol oleh bank
pengguna jasa outsourcing itu sendiri, karena alasan-alasan berikut :
1) Dengan outsourcing contract tersebut bank menyerahkan aspek-aspek penting
customer service-nya kepada pihak outsourcer.
2) Outsourcer berada di Negara lain yang kondisi ekonominya mungkin berbeda
sehingga tindakan-tindakannya dalam mengimplementasikan kontrak menjadi tidak
seluruhnya transparan baik terhadap bank pemberi kontrak maupun terhadap para
supervisornya sendiri.
3) Dapat sajaterjadi kemungkinan dimana outsourcer hanya tunduk pada ketentuan
ketentuan atau regulasi yang sama sekali berbeda dengan regulasi yang harus dipatuhi
oleh bank pemberi kontrak.
d. Teroris yang Terus Menebar Bencana
Perkembangan terakhir menunjukkan tindakan brutal yang dilakukan para
teroris telah semakin meningkat. Hal itu memberikan impact kerusakan pada
sarana-sarana perekonomian yang luas dan telah menjadi suatu global risk.
Meskipun kini bank – bank telah lagi tidak secara spesifik menjadi sasaran
serangan, tetap saja memikul beban kerugian besar sebagai akibat dari ulah para
teroris itu. Namun, kerusakan akibat dari tindakan para teroris itu kini telah
memengaruhi global economy dan telah menyebabkan terjadinya gejolak pada
world equity dan commodities markets. Dengan langsung terusiknya kepercayaan
masyarakat serta terjadinya goncangan terhadap pasar tersebut, terrorist events
itu telah memberikan impact yang besar bagi bank baik dalam jangka pendek
maupun dalam jangka panjang.
e. Arus Globalisasi yang Terus Meningkat
Fasilitas internet telah membuka peluang dan kemampuan bagi para nasabah
bank untuk melakukan transaksi setiap saat dari pelosok dunia manapun.
Perkembangan inilah yang menyebabkan terjadinya peningkatan impact dan
frekuensi atas operation risk eventstersebut, karena alasan-alasan berikut.
1) Risk events tersebut dapat memengaruhi semakin banyak markets dan
kelembagaan yang semakin luas pula.
2) Waktu yang tersedia dalam menyelesaikan suatu permasalahan telah menjadi
semakin sempit. Disamping itu juga akibat yang ditimbulkannya telah menjadi
semakin dalam dan meluas sepanjang tempo yang bergerak semakin cepat
pula.
3) Transaksi yang terjadi dalam bidang perdagangan dan keuangan diantara
berbagai lembaga dan pihak telah menjadi semakin meningkat.
4) Peliputan media massa atas berbagai peristiwa yang terjadi telah semakin luas.
f. Incentives dan Trading
Pemberian insentiftelah menjadi pusat permasalahan yang dapat
mengakibatkan terjadinya catastrophic losses bagi beberapa bank. Sebagai
contoh, seorang trader bank dapat meraih keuntungan berkat keberaniannya
mengambil risiko yang tinggi dalam trading dan untuk itu dapat memperoleh
insentif berupa bonus yang besar pula dari bank. Namun, jika trading yang
dilakukannya itu berakhir dengan kerugian, risiko bagi sang trader hanyalah
terbatas sebesar kerugian itu saja. Atau paling banyak yang
bersangkutankehilangan job atau pekerjaannya saja. Oleh karena itu seorang
trader dapat, hingga suatu tingkat tertentu, dipacu agar berani menempuh high
risk / reward ratios.
Namun, jika terdapat disparitas dalam pemberian insentif tersebut, sistem high
risk/reward ratio itu justru dapatmendorong lahirnya “rogue trader” macam Nick
Lesson pada kasus Barings.
g. Meningkatnya Volume dan Nilai Transaksi
Liberalisasi financial markets, automation dan technology telah semakin maju.
Demikian pula dengan arus globalisasi. Masing – masing telah menyebabkan
terjadinya dramatic growth baik dalam volume maupun nilai perdagangan. Oleh
karena itu, potensi kerugian maksimum yang disebabkan oleh terjadinya
operational risk event, khususnya yang terkait dengan pasar perdagangan tersebut,
dengan sendirinya meningkat pula. Potensi kerugian itu tentu tidak dapat
dilepaskan dari besarnya volume dan nilai perdagangan yang dipengaruhi oleh
operational failure tersebut.
h. Meningkatnya Proses Litigasi
Ancaman dan atau penggunaan litigation menyusul terjadinya operational risk
event telah meningkatkan kerugian yang diderita bank. Events yang mungkin di
masa lalu dianggap sebagai hal yang minor, kini dapat menyebankan bank
terpaksa harus memikul kerugian dan beban biaya yang besar akibat langsung
proses litigasi. Beban-beban biaya dan kerugian tersebut tidak sekedar dalam
bentuk pemberian kompensasi bagi customer belaka tetapi juga menyangkut
biaya bagi proses litigasi itu sendiri.

2.3 Delapan Prinsip Operational Risk Management


Terdapat delapan elemenpenting yang perlu diterapkan perbankan demi
suksesnya implementasi suatu operational risk management framework dan
operational risk models terkait.
a. Penetapan kebijakan dalam operational risk management.
b. Identifikasi risiko atas dasar terminology yang disepakati.
c. Penyusunan business process maps.
d. Pengembangan suatu best-practice measurement methodology.
e. Penetapan exposure management.
f. Menggalang kemampuan membuat laporan tepat waktu.
g. Pelaksanaan risk analysis (termasuk pemberlakuan stress testing).
h. Pengalokasian economic capital sebagai fungsi dari operational risk.

2.4 Pengukuran risiko operasional


Kerangka Basel II menetapkan tiga metode perhitungan modal untuk risiko
operasional. Ketiga metode tersebut menggunakan berbagai indikator eksposur risiko.
Indikator eksposur risiko merupakan faktor yang menunjukkan tingkat risiko yang
dihadapi oleh bank. Semakin tinggi nilai indikator semakin tinggi risiko yang dihadapi.
Ketiga model tersebut adalah:
a. Basic Indicator Approach (BIA)
b. Standardized Approach (SA)
c. Alternative Standardizer Approach (ASA) (Muhammad Muslich: 2007)
2.4.1 Metode Basic Indicator Approach (BIA)
Basic Indicator Approach merupakan pendekatan yang paling sederhana dan
dapat digunakan oleh semua bank untuk menghitung kebutuhan modal risiko
operasional. BIA menggunakan total gross income suatu bank sebagai indikator
besaran eksposur. Dalam hal ini, gross income mewakili skala kegiatan usaha dan oleh
karena itu dapat digunakan untuk menunjukkan risiko operasional yang melekat pada
bank. BIA ini diarahkan agar bank secara rata-rata dapat mempertahankan 12% dari
jumlah regulator capital-nya untuk menampung kemungkinan kerugian sebagai akibat
dari risiko operasional. Target 12% ini didasarkan pada suatu survei yang
mengungkapkan bahwa hal itu telah dilakukan secara internasional oleh bank-bank
besar. Menurut BIS suatu bank yang mempertahankan suatu fraction (alpha) tertentu
dari gross income-nya bagi operational risk capital akan dapat men-generate cukup
modal untuk menampung kerugian akibat risiko operasional. Menurut perhitungan itu,
bila alpha (α) diperhitungkan sebesar 15% maka bank akan dapat men-generate cukup
modal bagi risiko operasional hingga sebesar 12% dari jumlah regulatory capital-nya
itu. Dengan demikian, atas dasar BIA ini maka = 15%.
Untuk menghitung potensi kerugian operasional dengan pendekatan Basic
Indicator Approach dipergunakan sebagi berikut:

KBIA =
Ket: KBIA = besarnya potensi risiko opeasional
∝ = parameter alpha yang besarnya ditentukan sebesar 15%
GIi = indicator eksposure risiko operasional (gross income) rata-rata selama
tiga tahun
N3 = jumlah n-data (n3 = 3)
Untuk contoh simulasi pengukuran risiko operasional dengan pendekatan Basic
Indicator Approach (BIA) diambil contoh suatu Bank AA adalah sebuah retail bank
dan memiliki gross income selama tiga tahun terakhir sebagai berikut:
 Tahun 1 = 245.000.000,-
 Tahun 2 = 290.000.000,-
 Tahun 3 = 345.000.000,-
Berdasarkan persamaan (1) besarnya potensi kerugian operasional dengan pendekatan
Basic Indicator Approach adalah sebagai berikut:

KBIA=
= {(245.000 + 290.000 + 345.000) * 15% } / 3
= 44.000,-
Dari perhitungan di atas dikethui bahwa Bank AA dengan menggunakan standart BIA
mempunyai potensi risiko operasional sebesar Rp 44.000.000,-
2.4.2 Metode Standardized Approach (SA)
Standardized Approach mencoba untuk mengatasi kekurangan Basic Indicator
Approach dalam hal sensitivitas terhadap risiko dengan cara membagi kegiatan usaha
bank ke dalam delapan lini usaha (business line). Gross income masing-masing lini
usaha digunakan sebagai indikator risiko operasional. Persyaratan permodalan untuk
masing-masing lini usaha dihitung sebagai persentase dari masing-masing gross
income lini usaha. Kemudian hasilnya dijumlahkan untuk mendapatkan total modal
risiko operasional bank. Delapan jenis bisnis tersebut adalah:
Tabel 2.1
Tota Modal Risiko Operasinal Bank
Bisnis Usaha Multiplierß
Corporate finance 18%
Trading and sales 18%
Retail banking 12%
Commercial banking 15%
Payment and settlement 18%
Agency services 15%
Retail brokerage 12%
Asset management 12%
Angka beta ditetapkan oleh regulators yang menghitungnya dari angka rata-rata
industri perbankan yang diwakili oleh pengambilan sampling dari sejumlah bank.
Angka beta mencerminkan peranan dari masing-masing kegiatan pada business line
rata-rata seluruh bank. Angka beta diturunkan dari penerapan metode statistik terhadap
data kerugian risiko operasional dan alokasi modal yang diperoleh dari sejumlah bank
pada saat dilaksanakannya Quantitative Impact Studies (QIS).
Standardized Approach mengkaitkan area usaha bank dan risikonya dengan
pembebanan modal risiko operasional. Untuk masing-masing lini usaha perhitungan
persyaratan modal hampir sama dengan Basic Indicator Approach. Gross income untuk
satu lini usaha dikalikan dengan faktor untuk lini usaha yang disebut dengan beta. Pada
Standardized Approach jumlah modal agregat dihitung untuk setiap tahun dalam
periode tiga tahun terakhir. Kemudian jumlah agregat ini dihitung rata-ratanya untuk
mendapatkan jumlah modal regulasi risiko operasional yang dibutuhkan.
Modal regulasi agregat untuk satu tahun dihitung dengan menjumlahkan hasil
perkalian gross income dengan beta pada masing-masing lini usala. Dalam hal ini
negatif gross income tetap diperhitungkan. Jika angka agregat untuk untuk tahun
tertentu negatif, maka angka tersebut diganti dengan nol untuk perhitungan rata-rata.
Berdasarkan Committe Basel (Basel Capital Accord I) perhitungan nilai rata-rata
Standardized Approach selalu dihitung selama tiga tahun terakhir dan dapat
menggunakan rumus sebagai berikut:

KSA =
Ket: KSA = pembebanan modal risiko operasional menurut metode SA
GIi = nilai laba kotor untuk masing-masing business lines dalam suatu tahun
untuk jangka waktu tiga tahun
ß = nilai beta (suatu konstanta) yang ditetapkan oleh Bassel untuk tiap
bussines line
Untuk contoh simulasi pengukuran risiko operasional dengan pendekatan Standardized
Approach (SA) diambil contoh suatu bank AA adalah sebuah retail bank dan memiliki
gross income untuk setiap lini usahanya selama tiga tahun terakhir sebagai berikut:

Tebel 2.2
Simulasi Pengukuran Risiko Operasional Bank AA
Tahun 1 Tahun 2
Beta Tahun 3
Lini Usaha (Juta (Juta
% (Juta Rupiah)
Rupiah) Rupiah)
Corporate Finance 18 20 10 15
Trading and Sales 18 20 15 15
Retail Banking 12 65 45 55
Commercial Banking 15 10 5 5
Payment and
18 5 5 5
Settlement
Acency Services 15 5 5 5
Asset Management 12 20 10 20
Retail Brokerage 12 5 5 5
Total 150 100 125
Untuk ketiga tahun tersebut, gross income tiap lini usaha dikalikan beta untuk
memberikan Operational Risk Capital sebagai berikut:
Tebel 2.3
Modal Risiko Operasional Bank AA
Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3
Beta
Lini Usaha (Juta (Juta (Juta
%
Rupiah) Rupiah) Rupiah)
Corporate Finance 18 3.60 1.80 2.70
Trading and Sales 18 3.60 2.70 2.70
Retail Banking 12 7.80 5.40 6.60
Commercial Banking 15 1.50 0.75 0.75
Payment and
18 0.90 0.90 0.90
Settlement
Acency Services 15 0.75 0.75 0.75
Asset Management 12 2.40 1.20 2.40
Retail Brokerage 12 0.60 0.60 0.60
Total 21.15 14.10 17.40
Hasil perkalian gross income setiap lini usaha dengan beta untuk ketiga tahun di
atas menghasilkan modal risiko operasional tahunan sebagai berikut:
 Tahun 1 = 21.150.000,-
 Tahun 2 = 14.100.000,-
 Tahun 3 = 17.400.000,-
Sedangkan berdasarkan besarnya potensi kerugian operasional dengan pendekatan
Standrdized Approach adalah sebagai berikut:
KSA ={max [
= {max [21,15/3] [14,10/3] [17,40/3]}
= = 7,05
Dengan demikian, rata-rata dari ketiga tahun di atas menghasilkan persyaratan
regulatory capital operasional sebesar USD 7,05 juta.

2.4.3 Alternative Standard Approach (ASA)


2.
Metodologi dan pembebanan capital charge dengan metode alternative standardized
approach (ASA) adalah sama dengan pengukuran risiko operasional untuk business
lines retail banking dan commercial banking. Untuk kedua bussines lines ini bank
komersiil dapat mengganti eksposure besiness nya dengan total loan dan advances
rata-rata selama tiga tahun terakhir. Nilai beta untuk bussines line retail dan
commercial banking tidak berubah seperti yang ada dalam pengukuran risiko
operasional dengan metode SA. Rumus pengukuran risiko operasional dengan metode
ASA adalah sebagai berikut:
KRB =
Ket: KRB = jumlah pembebanan modal untuk business line retail banking
ßRB = beta untuk bussines line retail banking
m = 0,035
LARB = total loans dan advances yang diberikan oleh bussines line retail
banking
Metode ASA ini dapat digunakan sebagai alternative untuk mengukur risiko
operasional bagi bank komersiil tersebut dapat meyakinkan regulatornya bahwa
dengan mempergunakan metode ASA akan terhindar dari double counting untuk risiko.
Penggunaan metode ASA ini juga mengharuskan bank komersil untuk terus
mempergunakan metode ASA dan tidak boleh pindah ke metode lain tanpa persetujuan
radi regulator.
Untuk contoh perhitungan potensi kerugian operasional dengan pendekatan ASA
diberikan contoh dibawah ini:
Tabel 2.4
Perhitungan Potensi Kerugian Operasional Pendekatan ASA
Gross Income Capital Charge
Business Lines Beta
2004 2005 2006 2004 2005 2006
Corporate
18% 20.000 25.000 35.000 3.600 4.500 6.300
finance
Trading and
18% 25.000 30.000 32.500 4.500 5.400 5.850
sales
Payment and
18% 5.000 7.500 10.000 900 1.350 1.800
Sattlement
Agency service 15% 7.500 10.000 12.500 1.125 1.500 1.875
Asset
12% 24.000 27.500 30.000 2.880 3.300 3.600
management
Retail
12% 8.000 10.000 12.500 960 1.200 1.500
Brokerage
Total 13.965 17.250 20.925

Tabel 2.5
Capital Charge Potensi Kerugian Operasional Bank AA
Business Loan and Advances Capital Charge
Beta
Lines 2004 2005 2006 2004 2005 2006
Retail
12% 500.000 800.000 1.000.000 2.100 3.360 4.200
Banking
Comercial
15% 750.000 1.200.000 1.500.000 3.938 6.300 7.875
banking
Total 3.038 9.660 12.075

Dari table di atas diketahui hasil capital charge dari seluruh bussines lines. Besarnya
capital charge potensi risiko operasional Bank AA dengan pendekatan ASA adalah
sebagai berikut:
KRB = [(13.965+3038) + (17.250+9660) + (20.925+12.075)] / 3
= (17.003+26.910+33.000) / 3
= 76.913 / 3
= 25.638
Jadi, potensi risiko operasional dengan pendekatan ASA adalah sebesar Rp.
25.638.000,-

2.5 Risiko Perubahan Kurs


Kurs adalah nilai mata uang relative terhadap mata uang lainnya. Sebagai contoh,
jurs Rp/$ barangkali dituliskan sebagai berikut ini : Rp 10.000/$. Kurs tersebut
mempunyai arti bahwa satu dolar amerika serikat nilainya sama dengan 10.000 rupiah.
Nilai absolute dari kurs tersebut barangkali tidak begitu penting. Dengan kata lain,
dalam kurs diatas, tidak berarti bahwa rupiah merupakan mata uang yang lebih jelek
karena lebih murah dibandingkan dengan dolar AS. Perubahan kurs barangkali yang
lebih penting diperhatikan. Jika rupiah mempunyai kecrnderungan melemah terhadap
dolar AS, maka kecenderungan tersebut bisa mengindikasikan sesuatu. Mata uang
suatu Negara merupakan cerminan kondisi ekonomi suatu Negara. Jika perekonomian
suatu Negara membaik, maka mata uang Negara tersebut cenderung menguat
terhadap mata uang Negara lainnya. Karena itu, jika mata uang suatu Negara
melemah terhadap mata uang Negara lain, maka ada kemungkinan bahwa kondisi
negaratersebut melemah dibandingkan dengan sebelumnya.
Jika suatu Negara menetapkan kurs mata uangnya terhadap mata uang lain, maka
perubahan kurs tidak lagi terjadi melalui mekanisme pasar. Perubahan kurs dilakukan
oleh pemerintah secara resmi. Istilah menguat atau melemahnya mata uang dengan
sistem kurs yang tetap dan bebas bisa dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.6
Istilah Penguatan dan Pelemahan Mata Uang dengan Sistem Kurs
Mata uang menguat Mata uang melemah
Sistem Kurs Bebas Apresiasi Depresiasi
Sistem Kurs Tetap Revaluasi Devaluasi
Indonesia pernah mengalami dua sistem kurs yang berbeda. Sebelum krisis pada
tahun 1997, Indonesia menggunakan sistem kurs tetap. Perubahan kurs dilakukan
secara resmi oleh pemerintah .biasanya pemerintah mendevaluasikan rupiah terhadap
dolar. Sebagai contoh, kurs sebelumnya misalkan RP 2.500/$. Kemudian pemerintah
mendevaluasikan rupiah terhadap dolar menjadi, misal, Rp 3.000/$. Perhatikan nilai
rupiah menjadi turun (lebih murah) terhadap dolar.
Pada periode sesudah pertengahan tahun 1997, pemerintah Indonesia
memutuskan untuk mengambangkan kurs rupiah. Dalam situasi tersebut, nilai rupiah
bergerak naik atau turun tergantung mekanisme pasar. Sebagai contoh, jika
perusahaan membutuhkan dolar untuk melunasi hutang dalam dolar, permintaan dolar
akan meningkat, yang menyebabkan naiknya nilai dolar terhadap rupiah (atau
turunnya rupiah terhadap dolar). Pada waktu terjadi bom, rupiah jatuh nilainya
terhadap dolar. Dalam kedua contoh tersebut, rupiah mengalami depresiasi terhadap
dolar AS. Dalam situasi sebaliknya, rupiah bisa menguat terhadap dolar (apresiasi),
misal dari Rp 10.000/dolar menjadi Rp 9.000/$. Perubahan tersebut ditentukan oleh
mekanisme pasar, bukan oleh pemerintah.bank sentral bisa saja melakukan intervensi
jika mereka menginginkan kurs yang tertentu. Tetapi intervensi tersebut biasanya
dilakukan melalui mekanisme pasar.
Tabel berikut ini menyajikan contoh perhitungan apresiasi dan depresiasi suatu
mata uang terhadap mata uang lainnya (perubahan kurs).
Tabel 2.7
Apresiasi dan Depresiasi Rupiah terhadap $
Rupiah Melemah Rupiah Menguat
Terhadap $ Terhadap $
Kurs Awal Tahun Rp 10.000/$ Rp 10.000/$
Kurs Akhir Tahun Rp 12.000/$ Rp 8.000/$
Berapa (12.000 – 10.000) / (8.000 – 10.000) /
PersenPelemahan/Penguatan$ (10.000) x 100% = 20% (10.000) x 100% = -20%
Terhadap Rp (10.000 – 12.000) / (10.000 – 8.000) / 8.000
Berapa Persen Pelemahan / 12.000 x 100% = x 100% = 25%
Penguatan Rp Terhadap $ -16.67%

2.6 Faktor – Faktor yang Menyebabkan Perubahan Kurs


Dalam sistem kurs bebas, kenapa kurs bisa berubah – ubah. Ada banyak faktor
yang menyebabkan kurs bisa berubah – ubah. Berikut ini pembahasan mengenai
faktor – faktor tersebut.
1) Perbedaan Inflasi
Inflasi suatu Negara yang lebih tinggi dibandingkan dengan Negara lainnya
menyebabkan kurs mata uang Negara tersebut melemah. Hubungan yang lebih
formal atas pernyataan tersebut bisa dilihat melalui persamaan kondisi paritas
Purchasing Power Parity sebagai berikut ini.
Et / e0 = (1 + ih)t / (1 + if)t
Dimana, et = kurs pada periode t
e0 = kurs pada awal periode
ih= inflasi pada Negara domestic (home)
if = inflasi pada Negara asing
t = waktu
Sebagai contoh, misalkan kurs awal Rp/$ adalah Rp 10.000/$. Inflasi di
Indonesia dan amerika serikat adalah 20% dan 5%, berturut-turut. Kurs Rp/$ satu
tahun mendatang menurut model tersebut adalah.
el = 10.000 (1+0,2)1/ (1+0,05)1= Rp 11.429/$
Menurut kondisi paritas, kurs akhir tahun adalah Rp 11.429/$, yang berarti
Rupiah mengalami depresiasi terhadap $. Bukti empiris nampaknya mendukung
prediksi tersebut. Sebagai contoh, pada waktu krisis ekonomi terjadi di Indonesia
pada tahun 1997-an, mata uang Rupiah mengalami kemerosotan yang cukup
tajam. Pada waktu itu Indonesia mengalami inflasi yang cukup parah, yaitu
mencapai sekitar 50-60% pertahun.
2) Perbedaan Tingkat Bunga
Tingkat bunga bisa dibedakan menjadi tingkat bunga nominal dan tingkat
bunga riil. Tingkat bunga nominal adalah tingkat bunga yang bisa diobservasi.
Sebagai contoh, jika kita memperoleh informasi tingkat bunga deposito sebesar
12% pertahun, maka tingkat bunga tersebut merupakan tingkat bunga nominal.
Tingkat bunga riil tidak bisa diobservasi secara langsung. Negara yang
memepunyai tingkat bunga nominal yang tinggi, mata uangnya cenderung
mengalami depresiasi. Secara formal, kondisi paritas international fisher effect
meringkaskan situasi tersebut melalui formula berikut ini.
Et / e0 = (1 + rh)t / (1 + rf)t

Dimana, et = kurs pada periode t


e0 = kurs pada awal periode
rh= tingkat bunga nominal pada Negara domestic (home)
rf = tingkat bunga nominal pada Negara asing
t = waktu
Sebagai contoh, misalkan kurs awal Rp/$ adalah Rp 10.000/$. Tingkat bunga
di Indonesia dan Amerika Serikat adalah 20% dan 5%, berturut-turut. Kurs
Rp/$ satu tahun mendatang menurut model international fisher effect adalah
el = 10.000 (1 + 0,2)1/ (1 + 0,05)1 = Rp 11.429/$
Menurut prediksi international fisher effect, rupiah melemah menjadi Rp
11.429. dengan kata lain, Negara yang mempunyai tingkat bunga yang lebih
tinggi, mata uangnya akan cenderung melemah (depresiasi). Bukti empiris
nampaknya mendukung prediksi tersebut. Sebagai contoh, pada waktu krisis
ekonomi terjadi di Indonesia pada tahun 1997-an, mata uang rupiah mengalami
kemerosostan yang cukup tajam. Pada waktu itu tingkat bunga Indonesia sangat
tinggi, mencapai sekitar 60% pertahun.
Tingkat bunga riil berpengaruh positif terhadap nilai mata uang. Dengan kata
lain, negar ayang mempunyai tingkat bunga riil, maka mata uang Negara tersebut
cenderung menguat. Alasannya adalah, uang akan mengalir ke Negara dengan
tingkat keuntungan yang lebih tinggi. Sebagai contoh, misalkan tingkat bunga riil
di Indonesia adalah 5%, sementara tingkat bunga riil di Amerika Serikat adalah
3%. Dana akan mengalir dari Amerika Serikat ke Indonesia. Aliran modal
tersebut menyebabkan permintaan terhadap rupiah meningkat sehingga rupiah
akan menguat terhadap dolar AS. Pada waktu tingkat bunga riil keduanya sama,
misal sama-sama 4%, aliran dana akan berhenti. Sayangnya tingkat bunga riil
tidak bisa diobservasi langsung. Tingkat bunga riil tersebut biosa dihitung secara
tidak langsung melalui persamaan berikut ini :
(1 + R) = (1 + a) (1 + i)
Dimana, R = tingkat bunga nominal
a = tingkat bunga riil
i = inflasi
Persamaan diatas bisa disederhanakan menjadi berikut ini :
(1 + R) = (1 + a + i + a.i)
Kemudian, karena perkalian a.i menghasilkan angka yang sangat kecil, maka
hasil perkalian tersebut bisa dianggap nol, sehingga persamaan diatas bisa
disederhanakan menjadi:
R=a+i
Tingkat bunga nominal sama dengan tingkat bunga riil ditambah inflasi. Jika
inflasi meningkat, maka tingkat bunga nominal mempunyai kecenderungan
meningkat. Karena itu meningkatnya tingkat bunga nominal biasanya disebabkan
oleh meningkatnya inflasi, dank arena itu mata uang Negara cenderung melemah.
3) Independensi Bank Sentral
Negara yang mempunyai bank sentral yang independen akan cenderung
mempunyai mata uang yang lebih kuat, dan sebaliknya. Yang dimaksud
independensi disini adalah kemampuan bertahan dari tekanan (biasanya)
pemerintah yang sedang berkuasa. Presiden yang berkuasa kadang-kadang
tergoda untuk melakukan kebijakan yang popular. Sebagai contoh, presiden yang
berkuasa ingin menurunkan tingkat pengangguran. Jika tingkat pengangguran
turun, maka presiden tersebut akan kelihatan berhasil dimata masyarakat. Tetapi
cara pintas untuk meurunkan pengangguran adalah dengan mencetak uang
beredar lebih banyak lagi. Uang beredar yang lebih banyak tersebut akan
meningkatkan inflasi. Dengan demikian tingkat pertumbuhan meningkat tetapi
disertai dengan peningkatan inflasi. Jika peningkatan inflasi lebih tinggi
dibandingkan dengna pertumbuhan ekonomi, maka pertumbuhan ekonomi riil
Negara tersebut menjadi negative. Negara yang bank sentral kurang independen
akan gampang ditekan untuk mencetak uang lebih banyak, yang mendorong
inflasi, dan menurunkan nilai mata uang Negara tersebut. Negara yang bank
sentralnya independen akan bertahan terhadap tekanan semacam itu, dan bisa
mengendalikan inflasi Negara tersebut. Mata uang Negara tersebut cenderung
menguat.
4) Pertumbuhan Ekonomi
Negara yang mempunyai pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menarik
banyak investor. Banyak investor yang ingin masuk, yang menyebabkan naiknya
permintaan terhadap mata uang tersebut. Mata uang tersebut akan meningkat
nilainya karena banyak permintaan terhadap mata uang tersebut.
5) Ekspektasi
Mata uang bisa dilihat sebagai sekuritas, sehingga bisa digunakan sebagai alat
investasi. Pengharapan masa mendatang cukup menentukan nilai suatu sekuritas.
Jika investor memperkirakan perusahaan tertentu akan mempunyai prospek yang
baik, maka saham perusahaan tersebut akan meningkat, meskipun saat ini
perusahaan tersebut tidak atau belum mengalami perubahan yang signifikan.
Tetapi karena investor cenderung mengantisipasi, maka investor akan membeli
tanpa menunggu kenyataan yang terjadi dilapangan. Investor harus bertindak
cepat atas informasi yang diperolehnya, jika tidak, maka ia akan kehilangan
kesempatan untuk memperoleh keuntungan. Jika pengharapan terhadap suatu
mata uang positif, maka mata uang suatu Negara akan menguat, dan sebaliknya.
Tabel 2.8
Faktor–faktor yang Mempengaruhi Kurs
Faktor Pengaruh Terhadap Kurs
Inflasi tinggi Depresiasi
Tingkat bunga nominal tinggi Depresiasi
Tingkat bunga riil tinggi Apresiasi
Pertumbuhan ekonomi tinggi Apresiasi
Independensi bank sentral tinggi Apresiasi
Ekspektasi positif (negative) Apresiasi (depresiasi)

2.7 Eksposur Terhadap Perubahan Kurs


Jika kurs berubah-ubah seperti yang dijelaskan dimuka, bagaimana pengaruhnya
terhadap organisasi. Eksposur apa yang dihadapi oleh organisasi? Literatur keuangan
internasional membagi tiga jenis eksposur yang dihadapi oleh perusahaan berkaitan
dengan perubahan kurs, yaitu
1. Eksposur transaksi;
2. Eksposur Akuntansi dan
3. Eksposur Operasi
a. Ekposur transaksi
Eksposur transaksi adalah eksposur yang terjad karena perusahaan memasuki
kontrak tertentu, yang kemudian memnculkan sejumlah nilai uang yang renan
terhadap perubahan kurs. Sebagai contoh, misalkan importir indonesia membeli
barang dari amerika serikat senilai $1 juta. Pembayaran dilakukan tiga bulan
mendatang. Kewajiban melunasi hutang dagang tersebut senilai $1 juta rentan
terhadap perubahan kurs dimasa mendatang. Jika kurs Rp/$ tiga bulan mendatang,
pada saat hutangnya jatuh tempo, melemah, maka ia akan megalami kerugian
karena harus menyediakan rupiah lebih bayak. Sebagai contoh, jika kurs
Rp/$ jatuh menjadi Rp20.000/$, padahal saat ini kurs Rp/$ adalah Rp10.000/$,
maka ia harus menyediakan rupiah dua kali lebih banyak. Tetapi jika kurs rupiah
tiga bulan mendatang menguat terhadap dolar, importir tersebut akan
memperoleh keuntungan. Sebagi contoh,misal tigabulan mendatang kurs
Rp/$ menjadi Rp 5.000, maka ia akan menyediakan rupiah lebih kecil (separuh
dari rupiah yang disediakan saat ini).
Gambar 2.1
Bagan Posisi Spot Importir: Short $
Posisi spot importir yaitu short $
(membutuhkan $)
Rp/$

Gambar 2.2
Bagan Posisi Spot Eksportir: Long $
Rp/$

Posisi spot eksportir yaitu long $


(mempunyai $)

b.

b. Eksposur Akuntansi
Eksposur akuntansi terjadi karena laporan keuangan dengan mata uang tertentu,
dikonversikan ke laporan keuangan dengan mata uang lain, rentan (terekspos)
terhadap perubahan kurs. Perubahan kurs bisa menyebabkan proses konversi
yang demikian menghasilkan keuntungan dan kerugian. Sebagai ilustrasi,
misalkan suatu perusahaan multinasional Amerika Serikat, memiliki anak
perusahan di Indonesia. Misalkan neraca anak perusahaan tersebut pada awal
tahun terlihat berikut ini (lihat kolom 2).
Tabel 2.9
Eksposur Akuntansi
Dalam Rp Awal tahun ($) Akhir tahun ($)
Kurs= Rp5.000/$ Kurs= Rp10.000/$
Kas 1.000.000 200 100
Piutang 2.000.000 400 200
Dagang 2.000.000 400 200
Persediaan 5.000.000 1.000 500
Akiva tetap
Total Aset 10.000.000 2.000 1.000
Hutang Dagang 2.000.000 400 200
Hutang Jangka 2.000.000 400 200
Panjang 6.000.000 1.200 600
Modal Saham
Total Pasiva 10.000.000 2.000 1.000
Ilustarasi di atas menunjukkan bahwa perusahan tersebut menghadapi risiko
perubahan kurs dalam proses konversi laporan keuangannya dari rupiah ke dolar.
c. Eksposur Operasi
Eksposur operasi adalah operasi perusahaan yang rentan (terekspos) terhadap
perubahan kurs. Sebagai ilustrasi, misalakan produsen mobil Jepang Toyota
menjual mobilnya ke Amerika Serikat. Jika yen menguat terhadap dolar AS,
maka harga mobil Toyota di Amerika Serikat akan menjadi lebih mahal
dibandingkan dengan sebelumnya. Akibatnya daya saing mobil Toyota di
Amerika Serikat menjadi menurun. Tabel berikut ini menjelaskan kenapa
demikian.
Tabel 2.10
Eksposur Operasi
Harga Toyota (dalam Harga Toyota ($) Harga Toyota ($)
yen) Kurs adalah Y100/$ Kurs adalah Y50/$
Yen 1.000 $10 $20

Karena harga mobil Toyota di Amerika Serikat semakin malah, akibat


selanjutnya adalah penjualalan Toyota di Amerika Serikat berkurang, yang
mengakibatkan kas masuk Toyota dari penjualan di Amerika Serikat berkurang.
Di sisi lain, Toyota harus membayar input, tenaga kerja di Jepang. Jika
pemasukan terganggu, maka operasi Toyota bisa terganggu karena pemasukan
menjadi lebih sedikit, padahal pengeluaran tetap sama. Toyota dalam contoh di
atas dikatakan mengalami eksposur operasi, karena operasi Toyota rentan
terhadap kurs.
d. Eksposur ekonomi
Eksposur operasi digabung dengan eksposur transaksi menjadi eksposur
ekonomi.
Eksposur ekonomi= Ekspopsur ekonomi + Eksposur transaksi
Eksposur ekonomi adalah nilai perusahan yang rentan terhadap perubahan kurs.
Sebagai ilustrasi, kembali ke contoh Toyota, karena penjualan Toyota berkurang,
akibatnya adalah penurunan kas untuk Toyota. Karena aliran kas berkurang, nilai
dan harga saham Toyota terekspos (rentan) terhadap perubahan kurs.

2.8 Risiko Teknologi


Teknologi di satu sisi mempunyai manfaat, di sisi lain memunculkan risiko baru.
Perusahaan yang menggunakan teknologi yang tepat bisa mendorong bisnis
perusahaan (meningkatkan penjualan dan menurunkan biaya). Tetapi penggunaan
teknologi yang tidak tepat bisa merugikan atau menghancurkan perusahaan.
sayangnya risiko teknologi relatif lebih suylita difahami, dikuantifisir dan diatisipasi.

Gambar 2.3
Kurva Biaya Rata-rata Perusahaan Dengan Teknologi

Output
AC1
AC2

A1 Perusahaan dengan penggunaan teknologi yang efektif


A2 Perusahaan dengan penggunaan teknologi yang sederhana
A1 akan menghasilkan output yang semakin besar maka semakin efisien operasi
perusahaan berbanding terbalik dengan A1 duimana hanya mampu menghasilkan
output yang kecil. Karena itu teknologi dapat dijadikan sebagai alat persangan bisnis.
Berikut adalah alternatif lain untuk melihat efek dari teknologi.
Gambar 2.4
Biaya Total Perusahaan Dengan Teknologi Intensif Versus Teknologi Ringan
Biaya (Rp)
Output
TC 1
TC 2
FC 1
FC 2
Q*

2.9 Risiko Likuiditas


Risio lukuiditas terjadi jika perusahaan mengalami kesulitan membayar
kewajiban jangka pendek. Jika rasio likuiditas tidak ditangani dengan baik, risiko
tersebut bisa meningkat menjadi risiko solvabilitas, yang bisa mengakibatkan
bangkrutnya perusahaan. Dibandingkan dengan sektor usaha lain, bank biasanya
menghadapi risiko likuiditas yang lebih besar yang bersumber dari sisi aset dan
pasiva.
Perusahaan bisa menggunakan rasio lancar dan acid ratio untuk mengukur risiko
likuiditas tersebut, seperti berikut ini.
Rasio lancar= (Aktiva Lancar/Hutang Lancar)
Acid Ratio= (Aktiva Lancar-Persediaan)/Hutang Lancar
Di samping itu perusahaan juga bisa menggunakan anggaran kas atau peramalan
kas untuk meilihat potensi risiko likuiditas.

2.10 Risiko Politik (Soverign Risk)


Jika perusahaan merupakan perusahaan multinasional yang beroperasi di
banyak negara, maka perusahaan tersebut akan mengalami risiko politik. Risiko
politik bisa didefinisikan sebagai kejadian di negara tujuan investasi (host) yang bisa
mengganggu aliran kas perusahaan multinasional. Risiko politik merupakan garis
kontinum dari yang paling ringan ke yang paling berat.

Gambar 2.3

Bagan Risiko Politik


Ilutrasi Risiko Politik (Soverign Risk)
Paling ringan
Paling berat
Perubahan peraturan
Kerusuhan sosial
Pengambilalihan

Salah satu indikator untuk melihat risiko politik di suatu negara adalah risiko
negara (country risk). Beberapa lembaga menerbitkan risiko negara-negara di dunia,
mulia dari negara dengan risiko rendah, tinggi, sampai terlarang. Perusahaan
multinasional akan memperhatikan risiko negara jika mereka hendak memutuskan
untuk melakukan investasi di negara tersebut.

2.11 Resiko Operasional Perspetif Islam

 Risiko operasional adalah risiko yang antara lain disebabkan oleh ketidakaktifan atau
tidak berfungsinya proses internal, problem eksternal sistem operasi atau kegagalan
system dan kesalahan manusia (Human Error).
 Menurut Michel Crouhy, Galai, dan Robert Mark risiko operasional adalah risiko yang
berkaitan dengan operasional bisnis. Menurut mereka ada dua komponen dalam risiko,
1) risiko kegagalan operasional (operational failure risk) atau risiko internal terdiri dari
risiko yang bersumber dari SDM, proses, dan teknologi; 2) risiko strategi operasional
(operational strategic risk) atau risiko eksternal yang berasal dari factor antara lain
politik, pajak regulasi, masyarakat, dan kompetisi. (Kompas, Jumat, 23 Mei 2003)
 Menurut Z. Dunil, 2004:126-127, Risiko operasional adalah 1) risiko yang antara lain
disebabkan ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan
manusia, kegagalan system, atau adanya problem ekternal yang mempengaruhi
operasional bank; 2) risiko operasional dapat menimbulkan kerugian secara langsung
maupun tidak langsung dan kerugian potensial atas hilangnya kesempatan memperoleh
keuntungan; 3) risiko operasional dapat melekat pada setiap aktivitas fungsional bank,
seperti perkreditan (penyediaan dana), tresuri dan investasi, operasional dan jasa,
pembiayaan perdagangan, pendanaan, dan instrument ulang, teknologi system
informasi dan system informasi manajemen dan pengelolaan sumber daya manusia.

Risiko menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Setiap
individu memiliki sikap dan perilaku yang berbeda dalam menghadapi risiko,
perbedaan ini dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah faktor agama.
Islam merupakan salah satu agama di Indonesia yang memiliki jumlah penganut
terbesar. Nilai-nilai Islam, salah satunya takdir mempengaruhi sikap seorang muslim
terhadap risiko. Risiko dalam perspektif Islam muncul karena posisi manusia sebagai
seorang hamba. Faktor penyebab adanya risiko adalah keterbatasan manusia.
Keterbatasan ini meliputi dua hal, yaitu ketidaktahuan dan ketidakmampuan.
Penelitian ini menegaskan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih
(freedom to choose). Bagi seorang muslim, nilai-nilai agama menjadi panduan dalam
bersikap dan bertingkah laku termasuk sikap dan perilaku terhadap risiko.

2.12 Valas Perspektif Islam

Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan bahwa jual beli mata uang atau pertukaran
mata uang merupakan transaksi jual beli dalam bentuk finansial yang menurutnya
mencakup:
1. Pembelian mata uang dengan mata uang yang serupa seperti pertukaran uang
kertas dinar baru Irak dengan kertas dinar lama.
2. Pertukaran mata uang dengan mata uang asing seperti pertukaran dalar dengan
Pound Mesir.
3. Pembelian barang dengan uang tertentu serta pembelian mata uang tersebut
dengan mata uang asing seperti membeli pesawat dengan dolar, serta pertukaran
dolar dengan dinar Irak dalam suatu kesepakatan.
4. Penjualan barang dengan mata uang, misalnya dengan dolar Australia serta
pertukaran dolar dengan dolar Australia.
5. Penjualan promis (surat perjanjian untuk membayar sejumlah uang) dengan mata
uang tertentu.
6. Penjualan saham dalam perseroan tertentu dengan mata uang tertentu
“Nabi melarang menjual perak dengan perak, emas dengan emas, kecuali
seimbang. Dan Nabi memerintahkan untuk menjual emas dengann perak sesuka kami,
dan menjual perak dengan emas sesuka kami”.“Kami telah diperintahkan untuk
membeli perak dengan emas sesuka kami dan membeli emas dengan perak sesuka
kami. Abu Bakrah berkata: beliau (Rasulullah) ditanya oleh seorang laki-laki, lalu
beliau menjawab, Harus tunai (cash). Kemudian Abi Bakrah berkata, Demikianlah
yang aku dengar”.Dari beberapa Hadist di atas dipahami bahwa hadist pertama dan
kedua merupakan dalil tentang diperbolehkannya valuta asing serta tidak boleh adanya
penambahan antara suatu barang yang sejenis (emas dengan emas atau perak dengan
perak), karena kelebihan antara dua barang yang sejenis tersebut merupakan riba al-fadl
yang jelas-jelas dilarang oleh Islam. Sedangkan hadist ketiga, selain bisa dijadikan
dasar diperbolehkannya valuta asing, juga mengisyaratkan bahwa kegiatan jual beli
tersebut harus dalam bentuk tunai, yaitu untuk menghindari terjadinya riba nasi’ah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jual beli mata uang (valuta asing)
itu harus dilakukan sama-sama tunai serta tidak melebihkan antara suatu barang dengan
barang yang lain dalam mata uang yang sejenis. Begitu juga pertukaran antara dua jenis
mata uang yang berbeda, hukumnya mubah. Bahkan tidak ada syarat harus sama atau
saling melebihkan, namun hanya disyaratkan tunai dan barangnya sama-sama ada.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Definisi “Operational Risk” digariskan dalam Basel II. Di samping merupakan
jenis risiko yang telah melewati kurun waktu lama, namun sekaligus mutakhir, risiko
ini ternyata juga bukan risiko yang unik, Operational risk ini bukanlah jenis risiko
yang khas dan bukan monopoli perbankan semata, meskipun juga harus diakui bahwa
semua bank telah terbiasa menghadapinya. Tidak mengherankan bila cakupan
rumusan operational risk beragam dengan sekian banyak versi definisinya. Salah
satunya adalah Basel II accord. Di sini “operational risk”didefinisikan sebagai akibat
dariinadequate atau failed internal processes, people, dan systems atau sebagai akibat
dari external events.meskipun memasukkan unsure legal risk ke dalamnya, Basel II itu
tidak memuat business, strategic, dan reputation risk sebagai bagian dari operational
risk tersebut.
Dapat diidentifikasikan sejumlah jenis operational failure yang dapat menjadi akar
dari operational risk, yaitu :
a. People risk, berupa :incompetency, fraud dan lain-lain.
b. Process risk, yang meliputi tiga kelompok, yaitu :
1. Model risk (berupa model/ methodology error, mark-to-model error, dan
lain-lain);
2. Transaction risk (berupa execution error, product complexity, booking error,
settlement error, documentation/contract risk dan sebagainya) dan3.
Operational control risk (berupa :exceeding limits, security risk, volume risk,
dan sebagainya).
c. System dan technology risk, berupa system failure, programming error,
information risk, telecommunications failure, dan sebagainya.
Terdapat delapan elemen penting yang perlu diterapkan perbankan demi suksesnya
implementasi suatu operational risk management framework dan operational risk
models terkait.
a. Penetapan kebijakan dalam operational risk management.
b. Identifikasi risiko atas dasar terminology yang disepakati.
c. Penyusunan business process maps.
d. Pengembangan suatu best-practice measurement methodology.
e. Penetapan exposure management.
f. Menggalang kemampuan membuat laporan tepat waktu.
g. Pelaksanaan risk analysis (termasuk pemberlakuan stress testing).
h. Pengalokasian economic capital sebagai fungsi dari operational risk.
Kurs adalah nilai mata uang relative terhadap mata uang lainnya. Faktor – faktor
yang menyebabkan perubahan kurs, Dalam sistem kurs bebas, kenapa kurs bisa
berubah – ubah. Ada banyak faktor yang menyebabkan kurs bisa berubah – ubah
yaitu : Perbedaan inflasi, Perbedaan tingkat bunga, Independensi bank sentral,
Pertumbuhan ekonomi, Ekspektasi. Literatur keuangan internasional membagi tiga
jenis eksposur yang dihadapi oleh perusahaan berkaitan dengan perubahan kurs, yaitu:
1. Eksposur transaksi;
2. Eksposur Akuntansi dan
3. Eksposur Operasi
Teknologi di satu sisi mempunyai manfaat, di sisi lain memunculkan risiko baru.
Perusahaan yang menggunakan teknologi yang tepat bisa mendorong bisnis
perusahaan (meningkatkan penjualan dan menurunkan biaya). Tetapi penggunaan
teknologi yang tidak tepat bisa merugikan atau menghancurkan perusahaan. Risio
lukuiditas terjadi jika perusahaan mengalami kesulitan membayar kewajiban jangka
pendek. Jika rasio likuiditas tidak ditangani dengan baik, risiko tersebut bisa
meningkat menjadi risiko solvabilitas, yang bisa mengakibatkan bangkrutnya
perusahaan. Dibandingkan dengan sektor usaha lain, bank biasanya menghadapi
risiko likuiditas yang lebih besar yang bersumber dari sisi aset dan pasiva. Risiko
politik bisa didefinisikan sebagai kejadian di negara tujuan investasi (host) yang bisa
mengganggu aliran kas perusahaan multinasional.
Risiko dalam perspektif Islam muncul karena posisi manusia sebagai seorang
hamba. Faktor penyebab adanya risiko adalah keterbatasan manusia. Keterbatasan ini
meliputi dua hal, yaitu ketidaktahuan dan ketidakmampuan. Penelitian ini
menegaskan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih (freedom to choose).
Bagi seorang muslim, nilai-nilai agama menjadi panduan dalam bersikap dan
bertingkah laku termasuk sikap dan perilaku terhadap risiko. Jual beli mata uang
(valuta asing) itu harus dilakukan sama-sama tunai serta tidak melebihkan antara suatu
barang dengan barang yang lain dalam mata uang yang sejenis. Begitu juga pertukaran
antara dua jenis mata uang yang berbeda, hukumnya mubah. Bahkan tidak ada syarat
harus sama atau saling melebihkan, namun hanya disyaratkan tunai dan barangnya
sama-sama ada.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Masyhud. 2006. Manajemen Resiko. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.


Aung, Z.Z. 2008. Operational Risk Management Framework for Service Outsourcing
Consideration of Risk Dimensions and Their Application Into The Framework.
International Journal of Electronic Business Management. 6. (3). 120-130.
Global Association of Risk Professional &BadanSertifikasiManajemenResiko
(BSMR). 2008. Indonesia Certificate In Banking Risk and Regulation. Workbook
tingkat 3.
Global Association of Risk Professional &BadanSertifikasiManajemenResiko
(BSMR). 2007. Indonesia Certificate In Banking Risk and Regulation. Workbook
tingkat 2.
Greuning, Hennie Van dan Sonja Brajovic Bratanovic. 2011. Analisis Resiko
Perbankan. Jakarta: Salemba Empat
Hanafi, Mamduh M dan Abdul Halim. 2009. Analisis Laporan Keuangan. Yogyakarta:
UPP STIM YKPN.
Idroes, Ferry N. 2008. Manajemen Resiko Perbankan : Pemahaman Pendekatan 3
Pilar Kesepakatan BasEL II Terkait Aplikasi Regulasi dan Pelaksanaannya di
Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers
Muslich, M. 2007. Manajemen Resiko Operasional. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Wahyudi, Imam dkk. 2013. Manajemen Resiko Bank Islam. Jakarta: Salemba Empat
Crouhy, Michel dkk., “Manajemen Risiko Operasional”, dalam Kompas, Jumat, 23
Mei 2003

Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah: Mudharabah dalam


Wacana Fiqh dan Praktik Ekonomi Modern, Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi
Islam (PSEI),

Anda mungkin juga menyukai