Anda di halaman 1dari 22

POKOK BAHASAN

1. DEFINISI RISIKO OPERASIONAL


2. PENGUKURAN RESIKO OPERASIONAL
3. MENGHITUNG KERUGIAN YANG DIHARAPKAN
4. PERUBAHAN KARAKTERISTIK RISIKO OPERASIONAL

1
METODE PENGUKURAN RISIKO OPERASIONAL

Risiko operasional relatif belum banyak dipelajari karakteristiknya,


meskipun sebenarnya risiko operasional merupakan risiko yang paling
'tua'. Dikatakan paling tua, karena praktis manajer berhadapan dengan
masalah operasional sejak kegiatan perusahaan/organisasi dimulai
(bahkan sebelum dimulai). Masalah operasional tersebut mencakup misal,
memasang peralatan, menyusun sistem gaji, mengawasi karyawan,
mengawasi kegiatan produksi, dan sebagainya. Tetapi karakteristik risiko
operasional belum dipelajari semaju risiko lainnya, sehingga pengukuran
risiko operasional juga belum sebaik atau semaju risiko lainnya. Bab ini
membicarakan matriks frekuensi dan signifikansi (severity) untuk melihat
lebih jauh karakteristik risiko operasional, kemudian diteruskan dengan
diskusi simulasi untuk mengukur risiko operasional, kemudian evaluasi diri
dengan menggunakan kerangka COSO untuk risiko operasional.

1.1 Definisi Risiko Operasional


Seperti yang disebutkan di atas, risiko operasional merupakan
tipe risiko yang paling 'tua', tetapi paling sedikit dipahami dibandingkan
dengan tipe risiko lainnya (misal risiko pasar atau tingkat bunga).
Perusahaan sudah mengenali risiko operasional meskipun dengan
nama yang berbeda. Sebagai contoh, perusahaan sudah lama
mengenali kemungkinan kesalahan pencatatan, sistem pengawasan
internal yang kurang memadai, kegagalan sistem komputer, serangan
virus, kecelakaan kerja, serangan bom oleh teroris, dan lainnya.
Risiko-risiko tersebut merupakan contoh risiko operasional. Risiko-
risiko tersebut merupakan risiko yang 'inherent', yaitu risiko yang

2
muncul karena perusahaan menjalankan bisnisnya. Perusahaan sudah
lama menyadari risiko tersebut dan mengantisipasinya, meskipun tidak
dengan nama manajemen risiko. Sebagai contoh, perusahaan selalu
berusaha memperbaiki sistem, prosedur atau proses bisnis melalui
manajemen kualitas; perusahaan memberikan training kepada
karyawannya agar mereka semakin terlatih dan semakin sedikit
membuat kesalahan. Dalam konteks manajemen risiko, upaya tersebut
bisa dipandang sebagai upaya untuk mengelola atau menurunkan
risiko operasional.
Basel II (lembaga yang mengatur perbankan internasional)
mendefinisikan risiko operasional sebagai risiko yang timbul karena
kegagalan dari proses internal, manusia, sistem, atau dari kejadian
eksternal. Nampak bahwa definisi tersebut mencakup hal yang sangat
luas. Tetapi pengelompokan semacam itu bermanfaat karena bisa
memberikan pengetahuan mengenai sumber-sumber dari risiko
operasional.

1.1.1 Kegagalan Proses Internal


Risiko kegagalan proses internal merupakan risiko yang
berkaitan dengan kegagalan proses atau prosedur internal
organisasi. Beberapa contoh risiko tersebut adalah:
 Risiko yang diakibatkan kurang lengkapnya dokumentasi, atau
dokumentasi yang salah.
 Kesalahan transaksi.
 Pengawasan yang kurang memadai (lihat diskusi mengenai
Baring Bank di bawah ini).
 Pelaporan yang kurang memadai sehingga kepatuhan
terhadap peraturan internal dan eksternal tidak terpenuhi.

Baring Bank merupakan contoh yang menarik sebagai


ilustrasi bagaimana kegagalan mengelola risiko operasional akan
mempunyai akibat yang serius terhadap organisasi. Kisah Baring
Bank tersebut menjadi cerita klasik yang selalu dibicarakan di kelas

3
manajemen risiko. Kesalahan Baring Bank adalah terlalu
mempercayai salah seorang trader mereka yaitu Nick Leeson. Nick
Leeson bisa mengerjakan dua fungsi sekaligus yaitu fungsi front
office (sebagai trader) dan fungsi back office (melakukan
pencatatan atas transaksinya). Ketika dia memperoleh keuntungan,
dia akan mencatatkan keuntungan tersebut Tetapi ketika ia
mengalami kerugian dari perdagangannya, ia tentu saja tidak akan
mencatat kerugiannya. Akibatnya kerugian dari trading-nya tidak
terawasi oleh bank, sampai akhirnya kerugiannya mencapai sekitar
$1,3 miliar. Dengan kerugian sebesar itu, praktis modal bank akan
habis untuk menutup kerugian tersebut. Bank sudah bangkrut
dalam situasi tersebut. Karena ia melakukan perdagangan atas
nama bank, maka bank yang harus menanggung akibatnya.
Kenapa dia begitu dipercaya? Salah satu kemungkinannya adalah
karena dia 'star trader'. Pada tahun tertentu, dia bisa memberikan
keuntungan dari perdagangannya mencapai sekitar 25% dari total
keuntungan Baring Bank. Dengan situasi semacam itu banyak yang
menganggap bahwa dia adalah pahlawan yang penuh
keberuntungan, dan melupakan risiko atau kemungkinan kerugian
dari transaksi perdagangannya, yang mempunyai risiko yang
sangat tinggi.

1.1.2 Risiko Kegagalan Mengelola Manusia (Karyawan)


Karyawan merupakan aset penting bagi perusahaan, tetapi
juga merupakan sumber risiko operasional bagi perusahaan. Risiko
dari karyawan tersebut akan terjadi baik secara sengaja maupun
tidak sengaja. Contoh transaksi yang salah di bank , UBS Warburg
merupakan contoh kesalahan yang tidak disengaja. Contoh
kesalahan yang disengaja adalah penggelapan kas perusahaan,
atau kasus pembobolan bank yang dilakukan dengan melibatkan
karyawan internal. Risiko manusia tersebut mencakup semua
elemen organisasi. Sebagai contoh, risiko kesalahan transaksi

4
mencakup wilayah operasional, sistem, pengawasan, lainnya.
Risiko penggelapan uang perusahaan setidaknya mencakup
wilayah sistem pengawasan (departemen akuntansi), prosed ur
operasional, kualifikasi karyawan yang kurang (moral yang tidak
baik).
Beberapa contoh risiko operasional yang berkaitan atau
bersumber dari manusia adalah:
 Kecelakaan kerja, khususnya kecelakaan kerja karena
kecerobohan atau kurang pengalaman dari karyawan.
 Terlalu tergantung pada karyawan kunci tertentu, sehingga jika
karyawan tersebut meninggal atau berpindah kerja, perusahaan
menghadapi masalah.
 Integritas karyawan yang kurang, sehingga karyawan tersebut
bisa menggelapkan uang perusahaan, atau melakukan aktivitas
yang berada di luar wilayah otoritasnya.

Risiko manusia tersebut mengharuskan perusahaan untuk


mempunyai karyawan yang mempunyai kualifikasi, pengalaman,
dan integritas yang diperlukan.

1.1.3 Risiko Sistem


Sistem teknologi bisa memberikan kontribusi yang signifikan
bagi organisasi, di lain pihak, sistem tersebut akan memunculkan
risiko baru bagi organisasi. Jika perusahaan terlalu tergantung
pada sistem komputer, misal, maka risiko yang berkaitan dengan
kerusakan komputer akan semakin tinggi. Beberapa risiko yang
muncul berkaitan dengan sistem adalah:
 Kerusakan data.
 Kesalahan pemrograman.
 Sistem keamanan yang kurang baik (misal, bisa dimasuki oleh
hacker).
 Penggunaan teknologi yang belum teruji.
 Terlalu mengandalkan model tertentu untuk keputusan bisnis.

5
Sebagai contoh, pada waktu The Long Term Capital
mengalami kehancuran karena mempunyai posisi yang sangat
besar pada Rubel Rusia. Model matematis mereka memprediksi
probabilitas kejadian semacam itu adalah 0,000001. Tetapi kejadian
tersebut tetap terjadi, sehingga mengejutkan mereka.

1.1.4 Risiko Eksternal


Risiko eksternal berkaitan dengan kejadian yang bersumber
dari luar organisasi, dan di luar pengendalian organisasi. Kejadian
semacam itu biasanya jarang terjadi, tetapi mempunyai dampak
yang cukup besar (frekuensi rendah/ severity tinggi) Beberapa
contoh risiko eksternal adalah perampokan, serangan teroris,
bencana alam.

1.2 Pengukuran Risiko Operasional


Salah satu teknik untuk mengukur risiko operasional adalah
dengan menggunakan dua klasifikasi berikut ini.
1. Frekuensi atau probabilitas terjadinya risiko
2. Tingkat keseriusan kerugian atau impact dari risiko tersebut.

Dengan menggunakan dua dimensi tersebut, kita bisa membuat


matriks frekuensi/ tingkat keseriusan untuk risiko-risiko yang ada,
termasuk risiko operasional. Berikut ini contoh aplikasi matriks tersebut
untuk risiko gagal bayar (default) dan kesalahan pemrosesan
transaksi.
Bagan 11.1 di bawah ini menunjukkan matriks dengan dimensi
frekuensi di sumbu horisontal dan dimensi severity pada sumbu
vertikal. Risiko-risiko bisa diklasifikasikan berdasarkan dimensi-dimensi
tersebut. Sebagai contoh, risiko gagal bayar dari debitur perusahaan
biasanya jarang terjadi. Karena itu risiko tersebut diklasifikasikan
sebagai risiko dengan frekuensi rendah. Tetapi jika terjadi, kerugian
yang timbul bisa sangat besar. Karena itu risiko tersebut
diklasifikasikan dengan severity tinggi. Gabungan antara frekuensi

6
rendah dengan severity tinggi terlihat pada titik C pada bagan di atas.
Sebaliknya, kesalahan pemrosesan atau kesalahan pencatatan
transaksi akan sering terjadi (apalagi jika proses pencatatan masih
secara manual). Tetapi tingkat severity dari kesalahan tersebut tidak
terlalu tinggi. Karena itu risiko kesalahan pemrosesan berada pada titik
A. Dengan proses semacam itu, kita bisa memperoleh gambaran
mengenai frekuensi dan severity dari suatu risiko, yang selanjutnya
mempunyai implikasi pada bagaimana mengelola risiko tersebut.
Sebagai contoh, berikut ini strategi menghadapi risiko berdasarkan
matriks severity (significance)/frekuensi (likelihood) (lihat Bagan 11.2).
Bagan 11.1.
Matriks Severity dan Frekuensi untuk Risiko Gagal Bayar
dan Kesalahan Pemrosesan

Perhatikan bahwa matriks likelihood (frekuensi) dan signifikansi


(severity) dikelompokkan ke dalam empat kuadran, yaitu:
1. Signifikansi (severity) rendah dan likelihood (frekuensi) rendah
2. Signifikansi (severity) tinggi dan likelihood (frekuensi) rendah
3. Signifikansi (severity) rendah dan likelihood (frekuensi) tinggi
4. Signifikansi (severity) tinggi dan likelihood (frekuensi) tinggi

Penentuan tinggi rendah severity atau frekuensi bisa dilakukan


melalui berbagai cara. Sebagai contoh, severity atau frekuensi yang

7
lebih besar dibandingkan median atau rata-rata dari risiko yang ada
(dalam daftar) dikelompokkan ke dalam severity atau frekuensi tinggi,
dan sebaliknya. Penentuan tinggi rendah tersebut bisa dilakukan
melalui perhitungan angka absolut atau bisa melalui survei terhadap
manajer-manajer perusahaan.
Bagan 11.2.
Strategi Menghadapi Risiko Berdasarkan Matriks Severity / Frekuensi

Melalui pertanyaan-pertanyaan seperti itu teridentifikasi letak


masing-masing risiko berdasarkan dimensi signifikansi dan
kemungkinan. Selanjutnya, strategi yang tepat bisa dirumuskan untuk
mengelola risiko tersebut.
1. Signifikansi (severity) rendah dan likelihood (frekuensi) rendah: low
control, Perusahaan bisa menerapkan pengawasan yang rendah
terhadap risiko pada kategori ini. Pengawasan yang terlalu
berlebihan pada jenis risiko ini menimbulkan biaya yang lebih besar

8
dibandingkan manfaatnya, sehingga akan lebih optimal jika bank
tidak perlu melakukan pengawasan yang berlebihan.

2. Signifikansi (severity) tinggi dan likeWiood (frekuensi) rendah:


detect and monitor, Tipe risiko seperti ini lebih 'menantang' untuk
dihadapi. Jika risiko seperti ini muncul, perusahaan bisa mengalami
kerugian yang cukup besar, dan barangkali bisa mengakibatkan
kebangkrutan. Tetapi frekuensi risiko tersebut reiatif jarang,
sehingga tidak mudah ditemui atau dikenali oleh bank. Karena itu
risiko tipe ini paling sulit dipahami karakteristiknya, dan sulit
diprediksi kapan datangnya. Sebagai contoh, Baring gagal
melakukan pengawasan terhadap trading yang di luar batas oleh
salah seorang trader-nya, kemudian terjadi kerugian yang
mengakibatkan kebangkrutan bank tersebut. Frekuensi risiko
semacam itu relatif jarang ditemui.

3. Signifikansi (severity) rendah dan likelihood (frekuensi) tinggi:


monitor
Tipe risiko semacam !ni sering muncul tetapi besarnya kerugian
relatif kecil. Biasanya risiko semacam ini muncul sebagai akibat
perusahaan menjalankan bisnisnya. Dengan kata lain, risiko
semacam ini merupakan konsekuensi perusahaan menjalankan
bisnisnya. Sebagai contoh, untuk perusahaan supermarket, ada
risiko shoplifting (pencurian oleh nasabah), pencurian oleh
karyawan, barang dagangan rusak karena busuk atau karena botol
pecah. Risiko semacam itu lebih mudah dikenal, dan perusahaan
bisa menghitung risiko tersebut. Kemudian perusahaan bisa
menganggapnya sebagai biaya dari kegiatan bisnis (cost of doing
business), dan perusahaan bisa memasukkannya ke dalam
komponen harga. Kebanyakan perusahaan memasukkan biaya
seperti itu ke dalam struktur harga mereka. Perusahaan bisa
memonitor risiko-risiko tersebut untuk memastikan bahwa risiko
tersebut masih berada pada wilayah 'normal'. Jika risiko tersebut
bergerak melebihi batas tertentu, maka perusahaan perlu

9
melakukan tindakan untuk menangani risiko tersebut Sebagai
contoh, jika frekuensi pencurian oleh nasabah supermarket
menunjukkan kecenderungan meningkat, maka manajer perlu
melakukan perbaikan. Perbaikan-perbaikan tersebut pada intinya
memperbaiki prosedur dan proses bisnis. Sebagai contoh, dalam
kasus pencurian di atas, manajer supermarket bisa meminta
nasabah untuk meninggalkan tas, memasang kamera di
supermarketnya, memasang barcode pada setiap produk yang
dipajang (sehingga jika tidak dilepas dan melewati tiang seamier
akan berbunyi).

4. Signifikansi (severity) tinggi dan likelihood (frekuensi) tinggi:


prevent at source, Tipe risiko ini praktis tidak relevan lagi
dibicarakan, karena jika situasi semacam ini terjadi, berarti
perusahaan tidak lagi bisa mengendalikan risiko, dan bisa berakibat
pada kebangkrutan. Sebagai contoh, jika suatu perusahaan tidak
bisa mengendalikan risiko penggelapan uang dalam jumlah besar
oleh karyawannya (tipe risiko ini berada dalam kuadran frekuensi
rendah/ Signifikansi tinggi), maka ada kemungkinan risiko ini
berubah menuju kuadran frekuensi tinggi/Signifikansi tinggi. Jika
hal tersebut terjadi, maka perusahaan praktis akan bangkrut dalam
waktu singkat. Dengan perspektif semacam itu, maka tugas
manajemen risiko adalah mencegah migrasinya risiko-risiko yang
ada ke dalam kuadran frekuensi tinggi/signifikansi tinggi.
Alternatif lain dengan menggunakan penggolongan semacam ini.

Bagan 11.3.
Strategi Menghadapi Risiko Berdasarkan Matriks Frekuensi / Severity

10
Strategi untuk menghadapi risiko untuk wilayah-wilayah tersebut
adalah seperti berikut ini.
 Wilayah 1.
Severity tinggi dan frekuensi tinggi: immediate action
Untuk wilayah ini, perusahaan harus melakukan penanganan
yang agresif dan segera (immediate action).
 Wilayah 2.
Severity tinggi dan frekuensi agak tinggi: immediate attention
Untuk wilayah ini, perusahaan harus segera mengawasi risiko
ini (immediate attention).

 Wilayah 3.
Severity agak tinggi dan frekuensi agak tinggi: periodic attention
Untuk wilayah ini, perusahaan bisa melakukan pengawasan
secara berkala (periodic attention).
 Wilayah 4.
Severity rendah dan frekuensi rendah: annual evaluation

11
Untuk wilayah ini, perusahaan bisa lebih longgar, yaitu
melakukan pengawasan dengan jangka waktu panjang, misal
tahunan.

Aspek dinamika risiko juga perlu diperhatikan. Risiko bisa berubah


dari wilayah 4 ke wilayah lainnya, misal ke wilayah 2. Sebagai
contoh, risiko tuntutan hukum barangkali tidak begitu kelihatan di
masa lalu. Tetapi dengan semakin sadarnya masyarakat akan hak
dan kewajibannya, risiko tersebut bisa berubah menjadi semakin
penting.

1.3 Menghitung Kerugian Yang Diharapkan


1.3.1 Perhitungan Langsung
Misalkan kita ingin menghitung kerugian yang diharapkan
jika risiko tertentu muncul. Dengan menggunakan kerangka
probabilitas (frekuensi) dan severity, kerugian yang diharapkan
adalah:

Kerugian yang Diharapkan = Frekuensi (probabilitas) x severity


(besarnya kerugian)

Misalkan kita mengumpulkan data historis untuk melihat


kecelakaan kerja. Berikut ini data bulanan selama 12 bulan.

Tabel 11.1.
Data Historis Frekuensi dan Nilai Kerugian

12
Frekuensi Nilai Kerugian
(Rp)
Januari 4 12.000.000
Februari 6 11.000.000
Maret 5 12.000.000
April 4 11.000.000
Mei 6 15.000.000
Juni 7 14.000.000
Juli 5 13.000.000
Agustus 6 12.000.000
September 4 13.000.000
Oktober 5 12.000.000
November 6 14.000.000
Desember 5 13.000.000
Jumlah 63 152.000.000
Rata-rata 5,25 12.666.667
Nilai kerugian per kecelakaan 2.412.698

Data tersebut menunjukkan rata-rata kecelakaan setiap


bulannya adalah 5,25 kali, dengan rata-rata nilai kerugian sekitar
Rpl2,6 juta perbulannya atau Rp2.412.698 (152.000.000/63).
Berapa kerugian yang diharapkan dari kecelakaan kerja bulan
mendatang? Jika kita menggunakan nilai rata-rata untuk frekuensi
dan nilai kerugian, maka nilai kerugian yang diharapkan untuk
bulan mendatang adalah:

Nilai kerugian yang diharapkan = (frekuensi) x (severity)


= 5,25 x Rp. 2,4 juta
= Rp. 12,6 juta
Frekuensi yang diperkirakan menggunakan nilai rata-rata
dari frekuensi kecelakaan setiap bulannya, yaitu 5,25 kali. Severity
per kejadian menggunakan nilai kerugian per peristiwa yaitu sekitar
Rp2,4 juta.

1.3.2 Pendekatan Analitis Untuk Menghitung Kerugian yang


Diharapkan

13
Alternatif lain untuk menghitung tingkat kerugian yang
diperkirakan adalah dengan menggunakan model analitis. Sebagai
contoh, kita bisa mengasumsikan distribusi tertentu (biasanya
normal) dari kerugian yang akan terjadi. Keuntungan dari distribusi
normal adalah kita bisa melakukan berbagai hal hanya dengan
mengetahui nilai yang diharapkan dan standar deviasinya.

Misalkan kita mengetahui tingkat keuntungan yang


diharapkan (rata-rata) adalah Rp. 10 juta dengan standar deviasi
adalah Rp. 15 juta. Berapa kerugian pada interval 95%?
Kurva Normal

14
Nilai kerugian = 10 juta - 1,65 (10 juta)
= - Rp. 6,5 juta.
1,65 adalah nilai z yang berkaitan dengan wilayah
probabilitas sebesar 5%. Nilai kerugian yang diharapkan dengan
demikian adalah 6,5 juta rupiah. Kelemahan dari metode tersebut
adalah asumsi distribusi normal sesuai dengan kenyataan. Dalam
kenyataannya distribusi kerugian tidak selalu normal. Biasanya
kerugian mempunyai distribusi lognormal, yaitu distribusi di mana
lognatural dari variabel random berbentuk normal, seperti berikut
ini.

Z = {log (X) - } / a

Distribusi tersebut mempunyai kecondongan positif (positive


skewness). Bagian berikut ini menjelaskan simulasi, yang bisa lebih
sesuai dengan data riil.

1.3.3 Pendekatan Simulasi


Kerugian yang diharapkan adalah hasil perkalian antara
probabilitas (frekuensi) dengan severity. Kita bisa melakukan
simulasi dengan menggunakan kerangka tersebut. Misalkan

15
setelah kita mengevaluasi frekuensi munculnya kejadian yang
merugikan, kita menyimpulkan bahwa distribusi Poisson bisa
menjelaskan frekuensi munculnya kejadian yang merugikan,
dengan nilai yang diharapkan adalah 5 kali terjadinya peristiwa
tersebut setiap bulannya. Periode yang kita evaluasi adalah
bulanan (dengan demikian rata-rata ada 5 kali kerugian setiap
bulannya). Kita juga melakukan evaluasi untuk severity kerugian,
dan menyimpulkan bahwa distribusi normal bisa menjelaskan
severity kerugian di masa lalu.1 Misalkan kerugian rata-rata per-
peristiwa kerugian adalah Rpl5 juta dengan standar deviasi Rp2
juta.

1.4 Perubahan Karakteristik Risiko Operasional


Risiko operasional dan risiko lainnya bisa berubah
karakteristiknya dari waktu ke waktu. Sebagai contoh, di zaman dulu,
pencatatan transaksi dilakukan secara manual (misal karyawan
menuliskan harga dan jumlah unit yang diperdagangkan di kertas).
Cara semacam itu memunculkan risiko kesalahan pencatatan melalui
karyawan yang kecapaian, sehingga mencatat angka yang salah.
Frekuensi kesalahan tersebut cukup sering, karena karyawan sering
lelah (misal pada waktu sore hari). Tetapi kesalahan tersebut biasanya
mengakibatkan kerugian yang relatif kecil (misal, seharusnya mencatat
Rp. 11.000, tetapi dicatat Rp. 10.000, sehingga ada selisih sebesar
Rp. 1.000).
Cara manual semacam itu sekarang sudah banyak diganti
dengan pencatatan terkomputerisasi. Pencatatan semacam itu akan
menghilangkan kesalahan pencatatan karena kecapaian, karena
sistem komputer tidak akan mengalami kelelahan. Frekuensi
kesalahan dengan demikian bisa diturunkan. Tetapi muncul jenis risiko
yang baru. Jika terjadi kegagalan atau kelemahan pada sistem
komputer tersebut, maka kerugian yang muncul akan sangat besar.
Sebagai contoh, serangan virus terhadap sistem komputer, atau

16
pembobolan terhadap sistem komputer perusahaan mempunyai
frekuensi yang relatif rendah. Tetapi jika hal tersebut terjadi, kerugian
yang timbul akan cukup besar. Ilustrasi tersebut menunjukkan bahwa
karakteristik risiko operasional berubah dari frekuensi tinggi/signifikansi
rendah menjadi frekuensi rendah/signifikansi tinggi, seperti terlihat
pada bagan berikut ini.

Bagan 11.7.
Perubahan Karakteristik Risiko Operasional

Signifikansi Signifikansi
Tinggi Tinggi
Frekuensi Frekuensi
Rendah Tinggi

Signifikansi Signifikansi
Tinggi Tinggi
Frekuensi Frekuensi
Rendah Tinggi

Beberapa faktor yang bisa menyebabkan perubahan


karakteristik semacam itu adalah globalisasi, otomatisasi, terlalu
mengandalkan teknologi, yang akan dibicarakan berikut ini.

1.4.1 Globalisasi
Globalisasi keuangan di dunia didorong oleh liberalisasi
ekonomi dunia. Liberalisasi berarti penghilangan pembatasan-
pembatasan aliran modal. Sebagai contoh, Indonesia melakukan
liberalisasi di pasar modal sejak tahun 1989, ketika investor asing

17
bisa membeli saham di pasar modal sampai maksimal 49% dari
jumlah saham yang beredar. Pada tahun 1997, liberalisasi tersebut
dilanjutkan lebih jauh dengan membolehkan investor asing membeli
saham di Bursa Efek Jakarta sampai dengan 100%. Efek
liberalisasi seperti itu mendorong globalisasi ekonomi dan
keuangan dunia. Kejadian penting di suatu negara akan dengan
cepat mempengaruhi negara lainnya. Dunia menjadi terasa
semakin kecil. Istilah dunia sebagai desa kecil (small village)
muncul untuk menggambarkan kondisi semacam itu.
Kondisi semacam itu cenderung meningkatkan risiko, seperti
terlihat pada semakin meningkatnya volatilitas pergerakan harga
atau nilai-nilai instrumen keuangan/komoditas. Globalisasi juga
semakin meningkatkan frekuensi dan severity (signifikansi) dari
suatu risiko, karena kejadian di suatu negara akan cepat merembet
ke negara lain karena pembatasan-pembatasan sudah jauh
berkurang. Modal bisa berputar lebih cepat. Kecepatan aliran
modal seperti itu juga membuat perusahaan mempunyai waktu
yang lebih sedikit untuk menyelesaikan masalah yang muncul.
Terlambat mengantisipasi risiko tersebut akan berakibat serius bagi
perusahaan.

1.4.2 Otomatisasi
Dengan semakin berkembangnya teknologi komputer,
perusahaan semakin lama semakin mengandalkan teknologi
komputer untuk melakukan banyak hal, termasuk mengotomatisasi
transaksi. Sebagai contoh, perusahaan menggunakan komputer
untuk mencatat transaksi (tidak banyak menggunakan tenaga
manusia untuk mencatat transaksi); bank menggunakan ATM
(Automatic Teller Machine) sehingga nasabah bank bisa
bertransaksi praktis 24 jam satu hari.
Otomatisasi semacam itu menurunkan risiko yang berkaitan
dengan manusia (misal kesalahan pencatatan karena kelelahan).

18
Tetapi otomatisasi semacam itu memunculkan risiko baru yaitu
risiko kegagalan sistem dan semacamnya. Risiko baru semacam
itu cenderung lebih sulit dideteksi dan jika terjadi, kerugian yang
dialami oleh perusahaan cukup signifikan. Risiko akan cenderung
terakumulasi dan baru terdeteksi jika jumlah kerugian mencapai
angka yang besar.

1.4.3 Terlalu Mengandalkan Teknologi


Kemajuan teknologi memungkinkan organisasi melakukan
banyak hal, seperti membantu membuat basis data, membantu
perhitungan harga instrumen keuangan (bahkan instrumen
keuangan yang sangat kompleks). Di satu sisi, teknologi semacam
itu bisa membantu proses bisnis menjadi lebih cepat, lebih andal.
Tetapi di lain pihak, situasi tersebut memunculkan risiko baru.
Sebagai contoh, modal perhitungan melalui komputer tidak
selamanya tepat. Jika terjadi kesalahan perhitungan semacam itu,
kerugian yang timbul bisa sangat besar. Contoh lain, jika
perusahaan menggunakan komputer untuk memelihara basis
datanya, kemudian terjadi serangan virus atau serangan bom yang
menghancurkan komputer mereka, maka kerugian yang bisa timbul
akan cukup signifikan. Ilustrasi berikut ini memberikan contoh
bagaimana terlalu mengandalkan teknologi bisa mempunyai
konsekuensi negatif bagi perusahaan.

1.4.4 Outsourcing
Outsourcing merupakan tren bisnis akhir-akhir ini.
Outsourcing berarti menggunakan jasa pihak luar untuk
mengerjakan sebagian dan pekerjaan perusahaan. Sebagai contoh
perusahaan menggunakan program komputer yang dibuat oleh

19
perusahaan lain. Outsourcing dilakukan dengan pertimbangan
efisiensi (bisa menurunkan biaya). Jika melakukan pekerjaan
sendiri, karena sesuatu hal (misal keahlian yang tidak ada atau
skala ekonomi yang kurang), bagi perusahaan, akan lebih
menguntungkan jika menggunakan jasa dari pihak luar untuk
pekerjaan tertentu.
Tetapi outsourcing memunculkan risiko baru. Perusahaan
menyerahkan kendali atas pekerjaannya kepada pihak luar. Jika
pekerjaan tersebut merupakan hal yang penting, dan pihak luar
tersebut tidak memberikan produk atau pelayanan yang sesuai
dengan spesifikasi perusahaan, maka perusahaan menghadapi
risiko bahwa pelayanan atau produk yang diberikan akan berada di
bawah standar yang ditentukan.

1.4.5 Perubahan Budaya Masyarakat


Masyarakat semakin lama semakin pandai, semakin sadar
akan hak dan kewajibannya. Kesadaran semacam itu cenderung
meningkatkan risiko litigasi, di mana masyarakat akan berusaha
menuntut perusahaan jika dia merasa dirugikan, jika perusahaan
tidak berhati-hati, perusahaan bisa kena gugatan semacam itu, dan
jika kalah, kerugian yang dialami perusahaan bisa cukup signifikan.
Perubahan budaya masyarakat tersebut bisa meningkatkan risiko
gugatan hukum.

DISKUSI
1.

20
Jawab :

2.

Jawab :

3.

Jawab :

4.

Jawab :

5.

Jawab :

DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, Mamduh. 2009. Manajemen Risiko Edisi Kedua. Yogyakarta : Unit


Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN Yogyakarta.

21
22

Anda mungkin juga menyukai