Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

ETIKA BISNIS DAN


PROFESI AKUNTANSI
Tugas Mandiri

Disusun Oleh:
Nama : Andini Trias Safitri
NPM :2001120066
Kelas : RP 2B
Mata Kuliah : Etika Bisnis dan Profesi Akuntansi
Dosen Pengasuh : Amanda Oktariyani, SE., M.Si.Ak

UNIVERSITAS TRIDINANTI
TAHUN AJARAN 2021-2022
BAB I
LATAR BELAKANG

Isu tanggungjawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility)

sudah lama muncul di berbagai negara, hal ini terlihat dari praktik pengungkapan

corporate social responsibility (CSR), yang mengacu pada aspek lingkungan dan

sosial, yang semakin meningkat. Bahkan berbagai hasil studi telah dilakukan di

berbagai negara dan dimuat di berbagai jurnal internasional (Ghozali dan Chariri,

2007). Namun di Indonesia CSR baru-baru saja menjadi perhatian di berbagai

kalangan baik perusahaan, pemerintah dan akademisi.

Pemerintah Indonesia memberikan respon yang baik terhadap pelaksanaan

CSR dengan menganjurkan praktik tanggungjawab sosial (social responsibility)

sebagaimana dimuat dalam Undang-undang No.40 tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas Bab IV pasal; 66 ayat 2b dan Bab V pasal 74. Kedua pasal tersebut

menjelaskan bahwa laporan tahunan perusahaan harus mencerminkan

tanggungjawab sosial, bahkan perusahaan yang kegiatan usahanya dibidang dan /

atau berkaitan sumber daya alam harus melaksanakan tanggungjawab sosial.

Menteri Badan Usaha Milik Negara melalui Keputusan Nomor KEP04/MBU/2007

yang merupakan penyempurnaan dari surat Keputusan Menteri BUMN Nomor

236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan

Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, memberikan arahan secara lebih

operasional tentang praktik tanggungjawab sosial (social responsibilitiy),

meskipun masih terbatas pada perusahaan BUMN dan perusahaan yang operasinya

bersinggungan dengan eksploitasi sumber daya alam.


Terdapat banyak definisi mengenai CSR salah satunya definisi CSR dari

The World Business Council for Suistanable Development yang merupakan

lembaga internasional yang beranggotakan perusahaan multinasional,

mendefinisikan CSR sebagai tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social

responsibility) yang merupakan satu bentuk tindakan yang berangkat dari

pertimbangan etis perusahaan yang diarahkan untuk meningkatkan ekonomi yang

dibarengi dengan peningkatan kualitas hidup bagi karyawan berikut keluarganya

serta sekaligus peningkatan kualitas hidup masyarakat sekitar dan masyarakat

secara lebih luas.

Di Indonesia, kesadaran akan perlunya menjaga lingkungan tersebut diatur

oleh Undang-undang Perseroan Terbatas No.40 Pasal 74 tahun 2007, dimana

perusahaan yang melakukan kegiatan usaha berkaitan dengan sumber daya alam

wajib melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Namun, pada

kenyataannya pelaksanaan CSR di Indonesia sangat tergantung pada pimpinan

puncak perusahaan. Hal ini dikarenakan sebagian besar perusahaan di Indonesia

memiliki struktur kepemilikan individu atau keluarga sehingga kebijakan yang

diambil perusahaan cenderung akan mengikuti kehendak shareholders terbesar di

perusahaan. Artinya, kebijakan CSR tidak selalu dijamin selaras dengan visi dan

misi perusahaan. Jika pimpinan perusahaan memiliki kesadaran moral yang tinggi,

besar kemungkinan korporasi tersebut menerapkan kebijakan CSR yang benar.

Sebaliknya jika orientasi pimpinannya hanya berkiblat pada kepentingan kepuasan

shareholders maka kebijakan CSR hanya sekedar untuk menjaga nama perusahaan.

CSR di perbankan lebih dari sekadar kepedulian sosial yang baik dan perlu, juga

lebih dari sekadar pengungkapan empati sosial. Pelaksanaan CSR


mempersyaratkan kesadaran penuh bahwa setiap kegiatan pemanfaatan/

pengubahan sumberdaya (alam) termasuk energi menjadi output tertentu dalam

rangka bisnis selalu berada dalam interaksi konstan dan terus menerus dengan

lingkungan sosial dan fisik di sekitarnya. Kesadaran ini juga menjelaskan bahwa

seluruh proses kegiatan bisnis, atau apapun dalam derajat yang bervariasi sesuai

skala kegiatannya akan selalu berdampak baik positif maupun negatif. Karena

itulah wujud output kebijakan/program CSR harus berkait dengan upaya

memaksimumkan dampak positif dan meminimumkan dampak negatif dari suatu

kegiatan (bisnis) tertentu.

Dengan dasar pemaknaan realisasi CSR seperti di atas, maka sudah

seharusnya seluruh program CSR yang akan direalisasi oleh suatu institusi

perbankan, harus memiliki dasar alasan dalam menentukan program yang akan

digunakan sebagai program CSR mereka. Dasar alasan inilah yang menjadi pokok

pertimbangan untuk mengambil keputusan tentang bentuk program-program CSR

yang akan direalisasikan. Pokok pertimbangan ini juga dapat digunakan sebagai

indikator tepat atau tidaknya suatu program dilihat dari praktek CSR yang

substansial.

Di tengah menjamurnya berita, laporan tahunan sejumlah bank tentang

kinerja bisnis serta realisasi program CSR mereka, terdapat kelemahan yang

berkaitan dengan pengukuran realisasi program CSR tersebut. Sebuah pernyataan

yang sumir jika sebuah klaim pelaksanaan apalagi klaim keberhasilan suatu

program tidak didukung atau disertai dengan oleh piranti yang terukur. Kondisi

seperti inilah yang dijumpai ketika mengamati CSR perbankan. Paparan informasi

yang disajikan ke publik cenderung merupakan kegiatan kepedulian sosial yang

baik dan perlu tetapi sesungguhnya tidak memadai sebagai program CSR
perbankan. Selain itu, klaim implementasi program CSR semacam itu hanya

merupakan pernyataan pihak pertama yang validitasnya sangat rendah, rentan

kritisisme atau masih diperlukan verifikasi pihak kedua bahkan juga pihak ketiga

yang independen.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah berbagai klaim dan publikasi

tentang realisasi program CSR perbankan didominasi oleh pengukuran kuantitatif

sederhana yang condong dititik beratkan pada ukuran input. Sementara pengukuran

terhadap proses, output dan outcome hampir bisa dikatakan tidak ada. Jika ada

pengukuran tentang output. Sebagai contoh kegiatan yang telah dilakukan oleh

perbankan yaitu: program ayo membaca dan menabung, renovasi sekolahku, bea

siswa dan penyediaan fasilitas belajar, klinik kesehatan, program di bidang

konservasi lingkungan, bantuan untuk aktifitas keagamaan dan lain-lain. Klaim

realisasi program CSR seperti ini bisa sangat menyesatkan. Diperlukan terobosan

kreatifitas dan juga kejujuran dari berbagai bank yang telah dan akan

mempublikasikan realisasi program CSR mereka untuk menyajikan data

pengukuran realisasi program yang bersifat lengkap, dari input, proses, output, dan

bila memungkinkan hingga outcome (dampak dari program) baik kuantitatif

maupun kualitatif.

Dalam perkembangan CSR terdapat suatu terobosan baru gagasan CSR

yang dikemukakan oleh John Eklington (1997) dikutip Teguh (2005) yang terkenal

dengan The Triple Botton Line yang terdapat dalam buku Canibalts with Forks, The

Triple Botton Line of Twentieth Century Business, perusahaan tidak lagi dihadapkan

pada tanggung jawab yang berpijak pada single botton line, yaitu nilai perusahaan

(corporate value) yang direfleksikan dalam kondisi keuangannya (financial) saja.


Tanggung jawab perusahaan harus berpijak pada triple botton lines. Di sini botton

line lainnya, selain finansial adalah sosial dan lingkungan. Kondisi keuangan saja

tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable).

Dari uraian diatas terlihat betapa pentingnya pelaksanaan CSR pada suatu

perusahaan sehingga perusahaan perlu mengungkapkan tanggungjawab sosialnya

kepada stakeholders. Sebagian besar studi empiris yang menganalisis

pengungkapan informasi tanggung jawab sosial perusahaan berfokus pada laporan

tahunan (annual report), dimana annual report dianggap sebagai alat yang paling

penting yang digunakan perusahaan untuk berkomunikasi dengan stakeholders

perusahaan (Branco dan Rodrigues, 2006). Selain itu era akuntabilitas sebagaimana

diisyaratkan dalam kaidah Good Corporate Governance (GCG) tampaknya juga

memberikan perhatian khusus terhadap lingkungan sosial masyarakat. Hal ini

ditunjukan dalam salah satu prinsip Good Corporate Governance (GCG) yang

menyarankan keberpihakan kepada stakeholders dalam bentuk keterbukaan

(akuntabilitas) perusahaan dalam laporan (pengungkapan) termasuk didalamnya

adalah pengungkapan sosial (sosial disclousure) dalam laporan tahunan (Hamid,

2004). Terdapat juga studi yang meneliti tentang pengungkapan sosial dan

lingkungan dalam annual report yang mengindikasikan bahwa hal tersebut telah

meningkat dari waktu ke waktu, baik dalam jumlah perusahaan yang membuat

pengungkapan dan di dalam jumlah informasi yang dilaporkan (Branco dan

Rodrigues 2006).

Dari uraian diatas memberikan bukti bahwa terdapat satu pertimbangan

perusahaan dalam pengungkapan kebijakan pengungkapan sosial (sosial dislosure).

Antara lain pertimbangan mengenai feed back stakeholder terhadap perusahaan.


Feed back tersebut adalah disamping praktik tanggungjawab sosial (social

responsibility), merupakan sikap derma perusahaan terhadap lingkungandan

masyarakat, juga diharapkan dapat memberi dan meningkatkan legitimasi dan

transaksi bagi perusahaan


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Corporate Social Responsibility (CSR)

Pratiwi dan Djamburi (2004) dalam Titisari (2008) mengartikan

pengungkapan sosial sebagai suatu pelaporan atau penyampaian informasi kepada

stakeholders mengenai segala aktifitas perusahaan yang berhubungan dengan

lingkungan. Hasil penelitian di berbagai Negara membuktikan bahwa annual report

merupakan media yang tepat untuk menyampaikan CSR.

Pertanggungjawaban sosial timbul jika organisasi memiliki kewajiban untuk

melakukan pertanggungjawaban terhadap lingkungannya.

Sampai saat ini tidak ada definisi tunggal tentang CSR. Berikut beberapa

definisi CSR yang cukup berpengaruh dan sering dirujuk diantaranya disampaikan

oleh Bank Dunia mendefinisikan CSR sebagai berikut: “CSR is the commitment of

business to contribute to sustainable economic develpoment working with

employees and their representatives, the local community and society at large to

improve quality of life, in ways that are both good for business and good for

development”. Sedangkan versi Uni Eropa dalam Amaeshi dan Adi (2006)

mendefinisikan CSR sebagai berikut:“A concept Whereby companies intergrate

social and environmental concern in their business operations and in their

interaction with theirs stakeholders on a voluntary basis”.

Dauman dan Hargreaves (1992) dalam Hasinuan (2001) dalam Sulastini

(2007) menyatakan bahwa tanggung jawab perusahaan dapat dibagi menjadi tiga

level sebagai berikut:


1) Basic Responsibility (BR)

Pada level pertama, menghubungkan tanggung jawab yang pertama dari

suatu perusahaan, yang muncul karena keberadaan perusahaan tersebut seperti;

perusahaan harus membayar pajak, memenuhi hukum, memenuhi standar

pekerjaan, dan memuaskan pemegang saham. Bila tanggung jawab pada level ini

tidak dipenuhi akan menimbulkan dampak yang sangat serius.

2) Organization Responsibility (OR)

Pada level kedua ini menunjukkan tanggung jawab perusahaan untuk

memenuhi perubahan kebutuhan stakeholder seperti pekerja, pemegang saham,

dan maysarakt di sekitarnya.

3) Sociental Responsibility (SR)

Pada level ketiga ini, menunjukkan tahapan ketika interaksi antara bisnis

dan kekuatan lain dalam masyarakat yang demikian kuat sehingga perusahaan

dapat tumbuh dan berkembang secara berkesinambungan, terlibat dengan apa yang

terjadi dalam lingkungannya secara keseluruhan.

Pengungkapan CSR kepada publik digunakan oleh perusahaan untuk

menunjukkan dasar tertentu atau politik kebijakan tanggung jawab lingkungan dan

sosial sebagai komitmen dasar perusahaan terhadap CSR. Perusahaan yang

melakukan pengungkapan CSR umumnya bersifat voluntary (sukarela), unaudited

(belum diaudit), dan unregulated (tidak dipengaruhi oleh peraturan tertentu). Tema

yang termasuk dalam wacana akuntansi pertanggungjawaban sosial adalah:

1. Community (Kemasyarakatan)

Menurut Daniri (2007), program CSR community (pengembangan

masyarakat di Indonesia) dapat dibagi dalam tiga kategori yaitu:


a) Community Relation

Community Relation yaitu kegiatan-kegiatan yang menyangkut

pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan informasi kepada pihak

yang terkait. Kategori ini, program lebih cenderung mengarah pada bentuk-bentuk

kedermawanan (charity) perusahaan.

b) Community Services

Community Services merupakan pelayanan perusahaan untuk memenuhi

kepentingan masyarakat atau kepentingan umum. Inti dari kegiatan ini adalah

memberikan kebutuhan yang ada di masyarakat dan pemecahan masalah dilakukan

oleh masyarakat sendiri sedangkan perusahaan hanyalah sebagai fasilitator dari

perusahaan masalah tersebut.

c) Community Empowering

Community Empowering adalah program-program yang berkaitan dengan

memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk menjunjung

kemandiriannya, seperti pembentukan industri kecil lainnya secara alami anggota

masyarakat sudah mempunyai pranata pendukungnya dan perusahaan memberikan

akses kepada pranata sosial yang ada tersebut agar dapat berlanjut. Dalam kategori

ini, sasaran utama adalah kemandirian komunitas. Dari sisi masyarakat, praktek

CSR yang baik akan meningkatkan nilai tambah adanya perusahaan di suatu daerah

tersebut. Sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka

memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun

kerjasama antar stakeholder yang difasilitasi perusahaan tersebut dengan

menyusun program-program pengembangan masyarakat sekitarnya.


2. Employment (Ketenagakerjaan)

Employment menurut perusahaan yang bertanggungjawab secara sosial

terhadap pegawai yang merupakan aset yang sangat berharga ini diwujudkan

antara lain dengan memperlakukan mereka dengan adil (tidak diskriminatif),

terbuka, bermartabat, tulus, menjadikan mereka sebagai bagian dari tim serta

mengharrgai kebebasan dan kebutuhan dasar mereka, melindungi dari

kecelakaan, gangguan kesehatan di tempat kerja. Di samping itu juga

mendorong dan membantu para pegawai untuk mengembangkan skill dan

pengetahuan yang relevan dan dapat dipakai di tempat lain. Peka terhadap

problem pengangguran yang serius dan bekreja sama dengan pemerintah,

kelompok pekerja, lembaga lain dalam mengatasi masalah kehilangan

pekerjaan lain. Senada dengan hal tersebut.

3. Product and consumer (Produk dan Konsumen)

Perusahaan semakin menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan

juga tergantung dari hubungan perusahaan dengan konsumen, pemerintah,

masyarakat, dan lingkungannya. Hal ini sejalan dengan legitimacy theory yang

menyatakan bahwa peruahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk

melakukan kegiatannya berdasarkan nila-nilai justice, dan bagaimana

perusahaan menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi

tindakan perusahaan jika terjadi ketidakselarasan antara sistem (Cooke, 2005

dalam Titisari, 2008).

4. Environment (Lingkungan Hidup)

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang

disahkan DPR tanggal 20 Juli 2007 menandai babak baru pengaturan CSR di
negeri ini. Keempat ayat dalam pasal 74 UU tersebut menetapkan kewajiban

semua perusahaan di bidang sumber daya alam untuk melaksanakan CSR dan

lingkungan. Substansi ketentuan dalam pasal 74 Undang-undang Nomor 40

tentang Perseroan Terbatas mengandung makna, mewajibkan CSR dan

lingkungan mencakup pemenuhan peraturan peundangan terkait, penyediaan

anggaran CSR dan lingkungan, dan mewajibkan melaporkannya.

CSR dan lingkungan tidak hanya berlaku untuk perusahaan yang bergerak

di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam, akantetapi berlaku untuk

semua perusahaan, tidak terkecuali perusahaan skala UKM, baru berdiri atau

masih dalam kondisi merugi (Daniri, 2007).

2.2 Praktek Corporate Social Responsibility (CSR)

Sebagaimana pendapat yang menyatakan bahwa tujuan ekonomi dan sosial

adalah terpisah dan bertentangan adalah pandangan yang keliru. Perusahaan tidak

berfungsi secara terpisah dari masyarakat sekitarnya. Faktanya, kemampuan

perusahaan untuk bersaing sangat tergantung pada keadaan lokasi dimana

perusahaan itu beroperasi. Oleh karena itu, piramida CSR yang dikembangkan

Archie B. Carrol harus difahami sebagai satu kesatuan. Sebab, CSR merupakan

kepedulian perusahaan yang didasari tiga prinsip dasar yang dikenal dengan istilah

triple bottom lines, yaitu profit, people dan planet (3P). Penerapan CSR dipandang

sebagai sebuah keharusan. CSR bukan saja sebagai tanggung jawab, tetapi juga

sebuah kewajiban. CSR adalah suatu peran bisnis dan harus menjadi bagian dari

kebijakan bisnis. Maka, bisnis tidak hanya mengurus permasalahan laba, tapi juga

sebagai sebuah institusi pembelajaran. Bisnis harus mengandung kesadaran sosial

terhadap lingkungan sekitar (Tanudjaja, 2006).


CSR menjadi penting untuk dijalanan diantaranya karena (Frynas dalam

Raharjo ST, 2017) untuk memenuhi regulasi, hukum & aturan; sebagai investasi

sosial perusahaan untu mendapatkan image yang positif; bagian dari strategi bisnis

perusahaan; untuk memperoleh licence to operate dari masyarakat setempat;

bagian dari risk management perushaan untuk meredam dan menghindari konflik

sosial. CSR dalam hal ini menunjukkan kepeduliannya terhadap keberlanjutan

pembangunan tetapi tetap seimbang dalam ekonomi maupun lingkungan. Hal

tersebut pun akan memberikan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan.

Dalam CSR terdapat dua orientasi bentuk program yaitu internal dan

eksternal. Internal yang berbentuk tindakan atas program yang diberikan terhadap

komunitas dan eksternal yang mengarah berupa nilai dan korporat yang dipakai

untuk menerapkan atau mewujudkan tindakantindakan yang sesuai dengan

keadaan sosial terhadap komunitas sekitarnya. David Crowther (2010)

menjelaskan bahwa identifikasi kegiatan CSR melalui 3 prisip utama yaitu:

Pertama, sustainability (keberlanjutan) dalam prinsip ini berkaitan dengan

tindakan yang dilakukan sekarang yang dikemudian hari dapat berdampak atau

berpengaruh terhadap langkah-langah yang dapat kita ambil di masa depan. Dalam

sustainability terdapat 7 isu strategi yaitu pertumbuhan yang berkelanjutan,

merubah kualitas pertumbuhan, pemenuhan kebutuhan yang esensi, pemeliharaan

& peningkatan basis sumber daya, orientasi teknologi & mampu mengatur resiko

dan yang terakhir menggabungkan lingkungan dan ekonomi dalam pengambilan

keputusan. Kedua, accountability (pertanggung jawaban), dalam sebuah organisasi

mengenali setiap aktivitas yang langsung maupun tidak langsung yang berdampak

pada lingkungan luar atau diartikan sebagai bertanggung jawab atas tindakan yang
dilakukan. Konsep ini berlaku dengan mengkuatifikasikan akibat apa saja yang

dapat timbul dari tindakan yang diambil baik internal organisasi maupun eksternal.

Ketiga, transparency (keterbukaan), sebuah prinsip dimana sebuah dampak

eksternal dilaporkan secara nyata tanpa disembunyikan Gerakan CSR di negara-

negara maju, terutama Amerika Serikat memang lebih banyak didorong oleh

kesadaran secara sukarela

(voluntary driven) (Kotler & Nance, 2005). Kotler menitikberatkan pada elemen

kunci discretionary, artinya bahwa korporasi melakukan aktivitas CSR bukan

karena dimandatkan oleh undang-undang atau bahkan oleh dasar moral atau etik,

tetapi lebih merupakan komitmen sukarela yang dilakukan oleh korporasi dalam

memilih dan mengimplementasikan praktik-praktik CSR. Tetapi tetap penting

ditetapkan sebuah regulasi agar menciptakan standar yang perlu dipenuhi dalam

pelaksanaan CSR.

Keberhasilan dalam perusahaan dalam menjalankan pelaksanaan CSR akan

memberikan efek “domino” bagi perusahaan. Tentu efek tersebut merupakan efek

positif yang dibawa. Perusahaan di harapkan dapat membangun kebermanfaatan

di wilayah lingkungan masyarakat. Agar kemanfaatan tersebut dapat dinikmati

secara langsung. Fyrnas dalam Raharjo ST (2017) mengidentifikasi sejumlah

hambatan penting dalam penerapa CSR di beberapa negara, anatar lain seperti,

gagal memahami negara dan konteks isu-isu khusus; gagal melibatkan

beneficiaries CSR; kurangnnya sumber daya manusia, specialist pengembangan

masyarakat; sikap-sikap sosial dari staf perusahaan atau hanya fokus pada solusi

teknis dan manajerial; tidak ada integrasi ke dalam sebuah rencana pembangunana

yang lebih luas.


Di negara Indonesia, permasalahan yang biasanya terjadi mengenai negara

dan konteks isu khusus antara lain seperti konflik antar suku, korupsi, tidak adanya

upaya membangun partisipasi dari perusahaan, upaya memandirikan benerficiaries

(Fyrnas dalam Raharjo ST, 2017). Dalam buku Raharjo ST tentang CSR Relasi

Dinamis Antara Perusahaan Multinasional dengan Masyarakat Lokal menjelaskan

Seperti contoh dalam perusahaan minyak, biasanya memiliki latar belakang

manajerial atau keahlian teknik. Kemampuan tinggi dalam menghadapi tantangan

teknis dan manajerial dan dengan pendekatan tersebut dapat mengatasi tantangan

lingkungan, tetapi hal tersebut tidak cukup dalam mementingkan soft skill,

kesabaran, dan keterampilan interpersonal. Dengan tidak terintegrasinya CSR atau

‘social invesment’ ke dalam rencana pembangunan yang lebih luas, potensi

pembangunan dari inisiatif perusahaan menjadi terbatas dan sumber-sumber

mungkin tidak berhubungan dengan efektifitas pembangunan yang digunakan.

Dan hal tersebut akan berpengaruh kepada konflik lokal karena adanya

kecemburuan dan menciptakan sebuah konsekuensi dari pembangunan. Hal

lainnya terjadi yang disebutkan terjadi pada perusahaan mutinasional yang

seringkali gagal mengenali secara penuh lingkup interaksi mereka dengan

masyarakat dan politik sehingga mereka tidak mau menerima tanggung jawab

terhadap isu-isu level makro dan isu yang berkaitan dengan dampak industri

mereka terhadap masyarakat luas. Terdapat pula seperti permasalahan kerusakan

lingkungan hidup, permasalahan sosial yaitu konflik perusahaan dengan penduduk

setempat akibat adanya kesenjangan secara sosial maupun ekonomi antara pelaku

usaha dengan masyarakat sekitar.


Pelaksanaan CSR di Indonesia masih berada pada tahap pembagian

keuntungan yang dipergunakan untuk menjawab felt needs (keinginan) daripada

real needs (kebutuhan nyata) masyarakat. Hal ini disebabkan banyak perusahaan

belum memahami pentingnya mengetahui dan memfasilitasi kebutuhan nyata

masyarakat melalui pelaksanaan CSR yang tepat. Jika dalam penanganan yang

kurang tepat, maka hal tersebut akan menimbulkan sebuah masalah baru lagi,

karena permasalahan yang seharusnya diselesaikan, tidak terselesaikan dalam

masyarakat. Hal ini adanya kecenderungan perusahaan yang memberikan

sumbangan, padahal hal tersebut kurang tepat untuk mendidik atau

mengembangkan masyarakat, hal tersebut menciptakan sebuah ketergantungan

masayarakat kepada perusahaan. Perusahaan perlu menanamkan bahwa

masyarakat memerlukan pengembangan bagi diri mereka atau daerahnya.

Pengembangan bagi masyarakat agar lebih memiliki kualitas kehidupan yang lebih

baik sehingga dalam hal ini perusahaan dan masyarakat ikut serta dalam

berkembang bersama-sama.

Namun, pada penelitian PIRAC pada tahun 2001 dalam jurnal Tanudjaja

(2006) menunjukkan bahwa dana CSR dana CSR di Indonesia mencapai lebih dari

115 miliar rupiah atau sekitar 11.5 juta dollar AS dari 180 perusahaan yang

dibelanjakan untuk 279 kegiatan sosial yang terekam oleh media massa. Meskipun

dana ini masih sangat kecil jika dibandingkan dengan dana CSR di Amerika

Serikat, dilihat dari angka kumulatif tersebut, perkembangan CSR di Indonesia

cukup menggembirakan. Angka rata-rata perusahaan yang menyumbangkan dana

bagi kegiatan CSR adalah sekitar 640 juta rupiah atau sekitar 413 juta per kegiatan.

Hal tersebut memperlihatkan bahwa Indonesia memang masih belum secara clear
terhadap masalah CSR-nya, tetapi terdapat track record sebelumnya yang cukup

bagus. Dan hal tersebut dapat dijadikan pacuan untuk melakukan lebih baik.

Terdapat motivasi perusahaan saat menjalankan CSR yaitu terdapat tiga tahap

yaitu:

1. Corporate charity, yakni dorongan amal berdasarkan motivasi keagamaan.


2. Corporate philantrophy, yakni dorongan kemanusiaan yang biasanya
bersumber dari norma dan etika universal untuk menolong sesama dan
memperjuangkan pemerataan sosial.
3. Corporate citizenship, yaitu motivasi kewargaan demi mewujudkan
keadilan sosial berdasarkan prinsip keterlibatan sosial. (Saidi, 2004:69).
Pada akhirnya aktivitas CSR semata-mata tidak hanya untuk mencari nama

baik dengan membangun sebuah reputasi, namun perlu membangun hal yang

berdampak lebih baik untuk masyarakat luas dan penentuan yang tepat agar lebih

tepat sasaran. Maka pada akhirnya aktivitas CSR tersebut akan terwujudkan

menjadi konkrit dalam tindakan nyata yang tulus dari perusahaan. Komitmen

untuk melakukan tanggung jawab sosial bukan semata-mata untuk investasi

sebuah organisasi, namun sudah merasuk pada nafas kehidupan dan keberlanjutan

organisasi (Marnelly, 2012).

2.3 Good Corporate Governance (GCG)

Istilah “corporate governance” (tata kelola perusahaan) berasal dari suatu

analogi antara pemerintahan suatu negara atau kota dengan pemerintahan dalam

suatu perusahaan (Becht et al., 2002 dalam Solihin 2008:115). Corporate

governance (CG) juga berkaitan dengan penyelarasan masalah tindakan kolektif

yang melibatkan berbagai investor dan juga menyangkut rekonsiliasi berbagai

kepentingan yang berbeda-beda dari shareholders. Hal tersebut berarti bahwa

tanpa adanya good corporate governance (GCG), maka akan terjadi konflik

kepentingan yang bisa memberi dampak buruk bagi kinerja perusahaan


Mengutip definisi CG yang dikemukakan oleh OECD (Organization for

Economics Coorporation and Development) sebagai berikut: “Corporate

governance is the system by which business corporations are directed and

controlled. The corporate governance structure specifies the distribution of the

right and responsibilities among different participants in the corporation, such as

the board, managers, shareholders and other stakeholders”. Sedangkan Achmad

Daniri dalam Wibowo (2007) mendefiniskan GCG sebagai berikut “GCG adalah

tata kelola perusahaan yang memberikan jaminan berlangsungnya sistem dan

proses pengambilan keputusan organ perusahaan berlandaskan pada prinsip

keadilan, transparan, bertanggung jawab, dan akuntabel. Dalam proses

pengambilan keputusan, organ perusahaan ini juga terkait dengan stakeholders

perusahaan, seperti kreditor, pemasok (supplier), masyarakat, konsumen,

pemerintah, media dan lembaga swadaya masyarakat”.

Forum for Corporate Governance in Indonesia (2001) menggunakan

definisi Cadbury Committee menyatakan bahwa CG adalah seperangkat peraturan

yang menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur,

pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal

lainnya sehubungan denga hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain

sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.

Mekanisme CG juga dapat membawa beberapa manfaat, antara lain:

1. Mengurangi agency cost yang merupakan biaya yang harus ditanggung

shareholder karena penyalahgunaan wewenang sebagai akibat pendelegasian

wewenang kepada pihak manajemen.


2. Mengurangi biaya modal (cost of capital) sebagai dampak dari menurunnya

tingkat bunga atas dana dan sumber daya yang dipinjam oleh perusahaan

seiring dengan turunnya tingkat risiko perusahaan.

3. Menciptakan dukungan para stakeholder dalam lingkungan perusahaan

tersebut terhadap keberadaan dan berbagai strategi dan kebijakan yang

ditempuh perusahaan.

Menurut Keputusan Mentri Badan Usaha Milik Negara Nomor KEP117/M-

MBU/2002, CG adalah suatu proses dari struktur yang digunakan oleh organ

BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntanbilitas perusahaan

guna mewujudkan nilai shareholder dalam jangka panjang dengan tetap

memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berdasarkan peraturan

perundangan dan nilai-nilai etika.

Mengingat GCG merupakan konsep tata pengelolaan perusahaan dengan

sebaik-baiknya, tentu saja dalam pengelolaan tersebut terkait beberapa prinsip yang

harus ipahami. Menurut Organization For Economic Co-operation and

Development (OECD) berkaitan dengan GCG ini mencakup 4 bidang utama yaitu:

1. Hak para shareholder dan sekaligus perlindungannya.

2. Peran karyawan dan pihak-pihak stakeholder lainnya.

3. Pengungkapan yang akurat dan tepat waktu serta transparan sehubungan

dengan struktur dan operasi perusahaan.

4. Tanggung jawab dewan komisaris maupun direksi terhadap perusahaan,

shareholder, dan stakeholder lainnya.

Dari keempat bidang utama tersebut, dituangkan dalam beberapa bentuk

prinsip dari berbagai sumber. Menurut OECD menguraikan 4 prinsip dalam GCG,
yaitu:

1. Fairness (Keadilan)

Fairness menjamin perlindungan hak-hak shareholders, termasuk hak-hak

shareholder minoritas dan shareholders asing, serta menjamin terlaksananya

komitmen dengan para investor. Prinsip Fairness diharapkan untuk membuat

seluruh asset perusahaan dikelola secara baik dan hati-hati sehingga terdapat

perlindungan terhadap kepentingan shareholder secara jujur dan adil.

Pemegakan prinsip Fairness mensyaratkan adanya peraturan

perundangundangan yang jelas, tegas, konsisten dan dapat ditegakkan secara

baik serta efektif.

2. Transparency (Transparansi)

Transparency mewajibkan adanya suatu informasi yang terbuka, tepat waktu,

jelas dan dapat diperbandingkan yang menyangkut keadaan keuangan,

pengelolaan perusahaan dan kepemilikan perusahaan. Prinsip transparency

diharapkan dapat membantu stakeholder dalam menilai resiko yang mungkin

terjadi dalam melakukan transaksi dengan perusahaan serta meminimalisasi

adanya benturan kepentingan berbagai pihak dalam manajemen.

3. Accountability (Akuntabilitas)

Prinsip accountability menjelaskan peran dan tanggung jawab, serta

mendukung usaha untuk menjamin penyeimbangan kepentingan manajemen

dan shareholder, sebagaimana yang diawasi oleh dewan komisaris. Beberapa

bentuk implementasi dari prinsip accountability adalah adanya praktek audit

internal yang efektif serta menjelaskan fungsi, hak, kewajiban, wewenang dan
tanggung jawab dalam anggaran dasar perusahaan dan target pencapaian

perusahaan di masa depan. Apabila prinsip accountability diterapkan secara

efektif maka ada kejelasan fungsi, hak, kewajiban, wewenang dan tanggung

jawab antara shareholder, dewan komisaris serta direksi.

4. Responsibility (Tanggung Jawab)

Responsibility memastikan dipatuhinya peraturan serta ketentuan yang berlaku

sebagai cerminan dipatuhinya nilai-nilai sosial. Penerapan prinsip ini

diharapkan membuat perusahaan menyadari bahwa dalam kegiatan

operasionalnya sering kali menghasilkan eksternalitas (dampak di luar

perusahaan) negatif yang harus ditanggung masyarakat.

Sebagaimana diuraikan FCGI (2001) menjelaskan secara umum

prinsipprinsip pokok dari praktek GCG antara lain:

1. Transparency (Transparansi)

Kepercayaan investor dan efisiensi pasar sangat tergantung dari

pengungkapan kinerja perusahaan secara akurat dan tepat waktu. Agar

bernilai di pasar modal global, informasi tersebut haruslah jelas, konsisten,

dan dapat diperbandingkan serta menggunakan standar akuntansi yang

diterima di seluruh dunia. Dampak transparansi adalah bahwa pihak-pihak

yang berkepentingan dengan perusahaan dapat memperhitungkan dampak

resiko bertransaksi dengan perusahaan.

2. Accountability (Akuntabilitabilitas)

Akuntabilitas merupakan salah satu solusi untuk menyelesaikan masalah

agency problem antara direksi dengan shareholder. Akuntabilitas didasarkan

pada sistem internal checks and balance yang mencakup praktek audit yang

sehat. Akuntabilitas juga dapat dicapai melalui pengawasan efektif yang


didasarkan pada keseimbangan kewenangan antara shareholder, komisaris,

dan direksi. Praktek audit yang sehat dan independen mutlak diperlukan untuk

menunjang akuntabilitas perusahaan. Hal ini dapat dilakukan antara lain

dengan mengefektifkan komite audit.

3. Fairness (Kewajaran)

Fairness meliputi kejelasan hak-hak shareholder untuk melindungi

kepentingan shareholder, termasuk perlindungan terhadap shareholder

minoritas dari kecurangan seperti praktek insider yang merugikan atau

keputusan direksi atau pemegang saham mayoritas yang merugikan

kepentingan shareholder secara keseluruhan.

4. Responsibility (Pertanggungjawaban)

Perusahaan yang responsible mempunyai tanggung jawab untuk mematuhi

hukum dan perundang-undangan yang berlaku termasuk ketentuan yang

mengatur masalah lingkungan hidup, perlindungan konsumen, perpajakan,

ketenagakerjaan, larangan monopoli dan prektek persaingan yang tidak sehat,

kesehatan dan keselamatan kerja, dan peraturan lainnya yang mengatur

kehidupan perusahaan dalam menjalankan aktifitas usaha.

Di Negara Indonesia, Code Of Good Corporate Governance yang

diterbitkan oleh Komite Nasional Corporate Governance terdapat 5 prinsip yang

harus dilakukan oleh setiap perusahaan, yaitu:

1. Transparancy (Transparansi)
Untuk mewujudkan dan mempertahankan objektivitas dalam praktek bisnis,

perusahaan harus menyediakan informasi yang relevan dan material yang

mudah diakses dan mudah dipahami bagi stakeholder. Perusahaan harus

mempunyai inisiatif untuk mengungkapkan informasi tidak hanya yang

diwajibkan oleh hukum dan regulasi, tetapi juga informasi lain yang dianggap

penting bagi shareholder, kreditur dan stakeholder lain untuk pembuatan

keputusan.

2. Accountability (Akuntabilitas)

Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya dengan wajar

dan transparan. Jadi, perusahaan harus mengatur cara agar kepentingan

perusahaan sejalan dengan kepentingan shareholder dan stakeholder lain.

Akuntabilitas adalah salah satu prasyarat untuk memperoleh kinerja

berkelanjutan.

3. Responsibility (Tanggung Jawab)

Perusahaan harus mematuhi hukum dan aturan dan memenuhi tanggung jawab

kepada komunitas dan lingkungan dengan tujuan mempertahankan

kelangsungan bisnis jangka panjang dan dikenal sebagai perusahaan yang

baik.

4. Independensi (Kemandirian)

Untuk mendukung implementasi prinsip-prinsip GCG, perusahaan harus

diatur secara independen oleh kekuasaan yang seimbang, dimana tidak ada

salah satu organ perusahaan yang mendominasi organ lain dan tidak ada

intervensi dari pihak lain.

5. Fairness (Kewajaran)
Dalam melakukan aktifitasnya, perusahaan harus mengutamakan kepentingan

shareholder dan stakeholder lainnya berdasarkan prinsip kewajaran dan

kesetaraan.

Berbagai uraian mengenai prinsip-prinsip GCG menurut beberapa sumber

tersebut, terlihat sekali bahwa dalam melakukan kegiatan usahanya suatu

perusahaan tidak hanya mengedepankan bagaimana maksud dan tujuan

perusahaan itu dapat direalisasikan. Namun dibalik itu semua ada etika dan norma

yang harus diperhatikan, sehingga dewan komisaris dan direksi dalam

melaksanakan tugas dan wewenangnya tetap mengutamakan kepentingan seluruh

pihak yang berkepentingan, baik shareholders maupun stakeholders. Supaya

prinsip-prinsip GCG tersebut dapat terlaksana dengan baik maka diperlukan

manajemen perusahaan yaitu: struktur kepemilikan, dewan komisaris independen

dan dewan komisaris.

2.4 Contoh Kasus Pelanggaran Good Corporate Governance (GCG)

2.4.1 Kasus GCG Terhadap Bank Panin Tbk, Bank Mega Tbk, Bank Jabar

Banten dan Bank Mestika Dharma

Bank Indonesia (BI) memberikan sanksi kepada empat bank. Keempat bank

tersebut adalah PT Bank Mega Tbk, PT Bank Panin Tbk, PT Bank Jabar Banten

Tbk dan PT Bank Mestika Dharma. Menurut Deputi Gubernur BI Halim

Alamsyah, sanksi berupa pembatasan diberikan lantaran keempat bank tersebut tak

menerapkan Good Corporate Governance (GCG). Pemberian sanksi berupa

pembatasan tersebut diterapkan berbeda antara satu bank dengan bank lainnya.

Permasalahan yang terjadi di empat bank tersebut masuk kategori sebagai risiko
operasional. Bahkan dari keempat bank tersebut terdapat permasalahan yang

bergulir ke ranah hukum. Meskipun demikian kinerja keempat bank tersebut masih

tergolong bagus dan tidak termasuk contoh kasus sengketa perdata internasional..

2.4.2 Kasus GCG Oleh PT. Katarina Utama

PT Katarina Utama Tbk (RINA) merupakan perusahaan yang bergerak

dalam bidang jasa pemasangan, pengujian dan uji kelayakan produk dan peralatan

telekomunikasi dan tercatat di BEI sejak 14 Juli 2009. RINA menggelar penawaran

saham perdana kepada publik dengan melepas 210 juta saham atau 25,93% dari

total saham, dengan harga penawaran Rp 160,- per lembar saham. Dari hasil IPO,

diperoleh dana segar sebesar Rp 33,66 miliar. Rencananya 54,05% dari dana hasil

IPO akan digunakan untuk kebutuhan modal kerja dan 36,04% dana IPO akan

direalisasikan untuk membeli berbagai peralatan proyek. Kemudian pada Agustus

tahun 2010 salah seorang dari pihak pemegang sahan PT Katarina melaporkan

bahwa telah terjadi tindalakan pelanggaran GCG. Dimana dan yang harusnya

digunakan untuk membeli peralatan, modal kerja, serta menambah kantorcabang,

tidak digunakan sebagaimana mestinya. Hingga

saat ini manajemen perseroan belum melakukan realisasi sebagaimana

mestinya. Dari dana hasil IPO sebesar Rp 33,66 miliar, yang direalisasikan oleh

manajemen ke dalam rencana kerja perseroan hanya sebesar Rp 4,62 miliar,

sehingga kemungkinan terbesar adalah terjadi penyelewengan dana publik sebesar

Rp 29,04 miliar untuk kepentingan pribadi.

Selain itu, Katarina diduga telah memanipulasi laporan keuangan audit tahun

2009 dengan memasukkan sejumlah piutang fiktif guna memperbesar nilai aset

perseroan. Bahkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah memutus aliran listrik
ke kantor cabang RINA di Medan, Sumatera Utara, karena tidak mampu membayar

tunggakan listrik sebesar Rp 9 juta untuk tagihan selama 3bulan berjalan. Akhirnya

Cabang Di Medan ditutup secara sepihak tanpa meyelesaikan hak hak

karyawannya hingga termasuk pada contoh pelanggaran demokrasi.

2.4.3. Kasus GCG Oleh PT Freeport Indonesia Tahun 2017

Permasalahan yang terjadi bermulai dari adanya ketidak-sesuaian gaji dan

upah para pekerja Indonesia yang bila dibandingkan dengan tenaga kerja dari

negara lain yang sama levelnya sangat berbeda jauh. Gaji pekerja Freeport hanya

sebatas upah minimum regional ( UMR ). Meski dikatakan tidak melanggar

hukum, namun gaji yang diberikan tersebut jauh dari apa yang dibayangkan. Selain

minimnya gaji atau upah yang diberikan, pekerja di perusahaan tambang asal

Amerika Serikat (AS) tersebut sangat tidak merata antara pekerja lokal asli Papua

dengan pekerja asing. Dan ironisnya, para pekerja lokal umumnya dipekerjakan di

level paling bawah, lain halnya dengan pekerja asing.

Selain hal diatas masih terdapat bentuk pelanggaran lain diantaranya

adalah ketidak-sesuaian laporan dengan fakta di lapangan yang ditemukan oleh

BPK. Penghitungan kerugian atas dampak lingkungan dari pengoperasian tambang

Freeport oleh tim pengawas dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Perhutanan selama ini tak akurat.

Sehingga, tim BPK mengkaji ulang laporan tersebut dan menemukan beberapa

kejanggalan seperti adanya kelebihan pencairan jaminan reklamasi Freeport,

kerugian negara yang sebenarnya dlsb.

2.4.4. Kasus GCG Oleh Jamsostek


Jamsostek merupakan satlah satu perusahaan yang bergerak dibidang jasa

dalam pemberian asuransi dan perlindungan tenaga kerja yang berbeda

dengan hukuman pelanggaran ham ringan . Siapa sangkan bahwa perusahaan

sekelas ini ternyata ditemukan banyak melakukan bentuk pelanggaran yang tidak

sesuai dengan GCG. Adapun bentuk bentuk pelanggaran tersebut antara lain

adalah sebagai berikut : Pertama, Jamsostek membentuk Dana Pengembangan

Progran Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar Rp7,24 triliun yang tidak sesuai dengan

Peraturan Pemerintah 22/2004. Jamsostek kehilangan potensi iuran karena terdapat

penerapan tarif program yang tidak sesuai dengan ketentuan. Pada laporan

keuangan 2011, potensi penerimaan Jamsostek yang hilang mencapai Rp36,5

miliar karena tidak menerapkan tarif jaminan kecelakaan kerja sesuai ketentuan.

BPK menemukan Jamsostek belum menyelesaikan aset eks investasi

bermasalah, yakni jaminan medium term notes (MTN). Adapun aset yang belum

diselesaikan adalah tanah eks jaminan MTN PT Sapta Prana Jaya senilai Rp72,25

miliar dan aset eks jaminan MTB PT Volgren Indonesia.

Adanya bentuk pelanggaran ini kini membuat Jamsostek tidak

diperkenankan lagi memberikan jasanya dan saat ini dialihkan ke BPJS

ketenagakerjaan ebagai badan yang ditunjuk pemerintah dalam memberikan

layanan perlindungan terhadap tenaga kerja melalui jaminan pensiun dan jaminan

hari tua.

2.4.5. Kasus GCG Oleh Operator Telekomunikasi

Bentuk SMS promosi atau juga pean mengenai penawaran produk NSP

hingga fitur lainnya dari penyedia operator telekomunikasi. Hal yang paling sering

terjadi adalah bahwa tiba tiba pulsa anda berkurang padahal anda tidak mendaftar
untuk layanan tersebut. Bahkan hal ini berlangsung secara terus meneru dan

membuat anda rugi tentunya. Contoh diatan merupakan bentuk pelanggaran GCG

yang kerap dan bahkan hingga kini masih dilekukan oleh hampir semua penyedian

layanan telekomunikasi di Indonesia.


BAB III

KESIMPULAN

1. CSR dapat membantu dan berkontribusi untuk Indonesia bahwa dapat

mengurangi masalah yang ada. Hal lain, CSR dapat dijadikan sebagai

kebutuhan bagi perusahaan bukan tuntutan, karena selain meingkatkan image

bagi perusahaan juga membangun negaranya sendiri. CSR memiliki 3 bentuk

program yaitu charity, philantrohy dan citizenship. Namun dalam pelaksanaannya

masih banyak pada tahap charity. Tahap tersebut belum masuk pada tahap

pemberdayaan karena hanya bersifat bantuan kepada masyarakat itu.

2. Praktek CSR masih memiliki beberapa hambatan tersendiri. Kebutuhan

masyarakat masih belum terpenuhi secara nyata dan tepat sasaran. Terkadang

dari tiap perusahaan pun masih melakukan CSR ini bukan sebagai tanggung

jawab sosialnya saja. Tetapi melaksanakan sebagai keuntungan komersial bagi

perusahaan. Maka perusahaan perlu melakukan bukti nyata yang tepat bahwa

yang dilakukan merupakan komitmen yang nyata. Agar CSR dapat berjalan

dengan sesuai dan tepat maka perusahaan yang menjalankan CSR perlu

mengakui bahwa permasalahan masyarakat merupakan milik mereka. Maka

saat permasalahan dalam masyarakat milik dalam perusahaan pula, mereka

akan lebih mudah melakukan penanganan dan membuat rencana strategis.

3. Penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (GCG) dimana salah satu

prinsipnya adalah responsibility yang diimplementasikan dengan pelaksanaan

praktik-praktik CSR perusahaan sesuai dengan prinsip GCG yaitu prinsip

responsibility
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

A Chariri dan Imam Ghozali. 2007. Teori Akuntansi. Semarang : Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.

Crowther, David & Aras, Guler. 2010. Corporate Social Responsibility: Part
IPrinciples, Stakeholder & Sustainablity. Ventus Publishing ApS.

Crowther, David. 2008. Corporate Social Responsibility. Gulen Aras & Ventus
Publishing Aps
Hashim, Hafiza Aishah dan Devi, S. Susela. 2007. “Corporate Governance,
Ownership Structure and Earnings Quality: Malaysian Evidence”. Universitas
Malaya.

G. Widjaja & YA Pratama. 2008. Risiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Tanpa CSR.
Jakarta: Forum Sahabat.

Kotler, P., & Nance, L. 2005. Corporate Social Responsibility: Doing the Most Good for
Your Company and Your Cause. John Wiley & Sons Inc.

Raharjo, Santoso T. 2017. CSR: Relasi Dinamis Antara Perusahaan Multinasional dengan
Masyarakat Lokal. Jatinangor: Unpad Press.

Saidi, Zaim & Hamid Abidin. 2004. Menjadi Bangsa Pemurah: Wacana dan Praktek
Kedermawanan Sosial di Indonesia. Jakarta: Piramedia

Solihin, Ismail. 2009. Corporate Social Responsibility: From Charity to Sustainability.


Jakarta: Salemba Empat.

Titisari, Kartika Hendra. 2010. ”Corporate Social Responsibility (CSR) dan


KinerjaPerusahaan”. Simposium Nasional Akuntansi VIII.

Susanto, AB. 2009. Reputation-Driven: Corporate Social Responsibility: Pendekatan


Strategic Management dalam CSR. Jakarta: Erlangga.

Teguh Sri Pembudi. 2005. CSR. Sebuah Keharusan dalam Investasi Sosial.
Jakarta: Pusat Penyuluhan Sosial (PUSENSOS) Departemen Sosial RI. La
Tofi Enterprise.
B. Jurnal

Amaeshi, Kenneth dan Adi, Bongo. 2006. ”Reconstructing The Corporate Social
Responsibility Construck in Ultish”. http: www.nottingham.ac.id. Diunduh
pada tanggal 17 November 2021

Armanda, Y, dkk. (2017). Pengaruh Peneraoan Program Corporate Social Responsibiliy


dalam Membentuk Brand Image dan Dampaknya pada Minat Beli (Survei pada
Program CSR PT. Inti Daya Guna Aneka Warna di Kampung Jodipan Kota Malang
Jawa Timur). Jurnal Administrasi Bisnis, Vol 53 No. 2.

Badjuri, Achmad. (2011). Faktor-faktor Fundamental, Mekanisme Corporate


Governance, Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) Perusahaan
Manufaktur dan Sumber Daya Alam di Indonesia. Dinamika Keuangan dan
Perbankan, Vol. 3 No. 1, 38-54.

Branco, Manuel C. dan Rodrigues, L. L. 2008. Factors Influencing Social


Responsibility Disclosure by Portuguese Companies. Journal of Business
Ethics (2008) 83:685.

Daniri, Mas Achmad. 2007. “Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan”.


http://www.madhani-ri.com, diunduh pada tanggal 17 November 2021

Djalil, Sofyan. (2003). Kontek Teoritis dan Praktis Corporate Social Responsibility. Jurnal
Reformasi Ekonomi, Vol. 4 No. 1.

Hasan, Umar. (2014). Kewajiban Corporate Social Responsibility (CSR) Dilihat Dari
Perspektif Hukum. Majalah Hukum Forum Akademika, Vol. 25, No.1.
Initiative, G. C. (2002).

Leisinger, K. M. (2007). Corporate Philanthropy: The “Top of the Pyramid”. Business


and Society Review, 112(3), 315-342.

Mapisangka, Andi. (2009). Implementasi CSR Terhadap Kesejahteraan Hidup


Masyarakat. JESP Vol 1.

Marnelly, TR. (2012). Corporate Social Responsibility (CSR): Tinjauan Teori dan Praktek
di Indonesia. Jurnal Aplikasi Bisnis, Vol. 2 No. 2, 49-59.

Parsa, Sepideh dan Kouhy, Reza. (2007). Social Reporting by Companies Listed on the
Alternative Investment Market. Journal of Business Ethics, 79, 345-360.

Sari, Yustisia D. (2010). Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) Terhadap


Sikap Komunitas Pada Program Perusahaan, 1-25.

Sembiring, Eddy R. (2005). Karakteristk Perusahaan dan Pengungkapan Tanggung Jawab


Sosial; Studi Empiris pada Perusahaan yang Tercatat di Bursa Efek Jakarta. Jurnal
MAKSI Undip, Vol. 6 No. 1.
Siregar, Chairil N. (2007). Analisis Sosiologis Terhadap Implementasi Corporate Social
Responsibility pada Masyarakat. Jurnal Sosioteknologi, Edisi 12, Tahun 6, 285-
288.

Sulistyaningtyas, I. D. (2006). Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dalam Program


Kampanye Sosial. Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 3 No. 1, 6376.

Tanudjaja, BB. (2006). Perkembangan Corporate Social Responsibility di


Indonesia.Nirmana, Vol.8 No. 2, 92-98.

Wargianti, Puspa & Budhisulistyawati A. (2018). Studi Tentang CSR (Corporate


Social Responsibility) di PT Madubaru Yogyakarta Bedasarkan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Jurnal Privat Law, Vol. 6
No. 1, 13-23.

Windsor, Duane. (2001). The Future of Corporate Social Responbility. International


Journal of Organizational Analysis, Vol. 9 Issue 3.

Anda mungkin juga menyukai