Anda di halaman 1dari 22

1.

1 Pengertian Corporate Social Responsibility (CSR)

Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility, CSR) telah dikenal
kalangan bisnis Sejak tahun 1970’an di level internasional dan di Indonesia sejak tahun
1990’an (AB Susanto, 2007:35).Beberapa istilah yang sering digunakan Antara lain adalah
tanggungjawab sosial dan lingkungan; corporate social responsibility, business social
responsibility; atau corporate citizenshipAdapun Indonesia menggunakan istilah Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Namun demikian Sampai saat ini belum didapatkan
definisi CSR yang bisa diterima secara universal.
The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) menyebutkan CSR
sebagai “continuing commitment by business to behave ethically and contribute to
economic development while improving the quality of life of the workforce and their
families; the local community and society at large”. Adapun John Elkingston’s
menegaskan “Corporate Social Responsibility is a concept that organisation especially
(but not only) corporations, have an obligation to consider the interestts of costomers,
employees, shareholders, communities, and ecological considerations in all aspectr of
theiroperations. This obligation is been to extend beyond their statutory obligation to
comply with legislation” (Sukarmi, 2014). M. Friedman menyatakan tanggung jawab
perusahaan adalah tanggung jawab moral perusahaan terhadap masyarakat. Tanggung
jawab ini misalnya ditujukan kepada dirinya sendiri, para karyawan, perusahaan lain, dan
seterusnya. Sedangkan tanggung jawab sosial perusahaan, adalah tanggung jawab moral
perusahaan terhadap masyarakat dimana perusahaan menjalankan kegiatannya, baik
masyarakat dalam arti sempit seperti lingkungan disekitar sebuah pabrik atau
masyarakat luas (Bertens K, 2000:292).

Meskipun belum ada definisi yang diterima secara universal, namun secara umum CSR
dapat diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktik perusahaan yang berhubungan
dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat,
lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara
berkelanjutan (Hasan Asy’ari, 2009:viii-ix).
CSR atau corporate social responsibility merupakan sebuah mekanisme perusahaan untuk secara
sadar mengintegrasikan bisnis terhadap lingkungan hidup dan sosial dalam operasional perusahaan
dan interaksinya dengan stakeholder. 
Dengan kata lain, CSR adalah sebuah konsep dan tindakan yang dilakukan oleh sebuah
perusahaan sebagai rasa tanggung jawabnya terhadap sosial dan lingkungan sekitar di mana
perusahaan tersebut berada. 

 Manfaat CSR untuk perusahaan


Bagi perusahaan, CSR memberikan banyak manfaat, di antaranya:

 Meningkatkan citra atau image perusahaan di mata masyarakat dan publik.


 Adanya potensi untuk mengembangkan kerja sama dengan perusahaan lain.
 Dapat membedakan perusahaan tersebut dengan para kompetitor.
 Memperkuat brand perusahaan di mata masyarakat dan publik.

Fungsi Penerapan CSR

1. Social license to operate


Sebuah bisnis atau perusahaan bisa berkembang atau tidak akan sangat dipengaruhi oleh salah
satu faktor yaitu masyarakat. Oleh sebab itu, adanya CSR, masyarakat yang mendiami dan
bertempat tinggal disekitar perusahaan tersebut akan mendapatkan manfaat dari perusahaan yang
bersangkutan.

Hal ini tentu akan memberikan keuntungan bagi masyarakat sekitar. Manfaat yang diperoleh ini
lama kelamaan akan membuat masyarakat menjadi loyal dengan perusahaan tersebut. Di sisi lain,
hal ini akan menguntungkan bagi perusahaan karena memudahkan dalam menjalankan program
atau kegiatannya di daerah yang bersangkutan.

2. Melebarkan akses sumber daya


Sebuah CSR perusahaan bila dikelola dengan baik akan memberikan keuntungan bagi perusahaan.
Diantaranya adalah meningkatkan daya saing perusahaan dan memudahkan perusahaan untuk
mendapatkan sumber daya yang diperlukan.

3. Melebarkan akses menuju pasar


Dengan program CSR sebenarnya seluruh investasi serta biaya yang telah dikeluarkan bisa menjadi
sebuah potensi untuk mendapatkan akses pasar yang lebih luas dan besar lagi. Tidak hanya itu
saja, langkah ini bisa membangun loyalitas konsumen, bahkan menembus target pasar yang baru. 

Hal ini bisa terjadi karena program CSR yang berjalan dengan baik dapat membuat nama
atau brand perusahaan menjadi lebih terkenal dan dikagumi oleh masyarakat luas.
4. Mereduksi risiko bisnis perusahaan
Bagi perusahaan, menyelenggarakan CSR dapat mengurangi risiko bisnis. Mengapa demikian?
Karena dengan CSR akan membangun hubungan perusahaan dengan pihak yang terlibat menjadi
lebih baik lagi, sehingga risiko bisnis seperti adanya kerusuhan dapat diatasi dengan mudah. 

Dengan demikian, biaya pengalihan risiko bisa dipergunakan oleh perusahaan untuk hal lain yang
lebih bermanfaat untuk masyarakat atau perusahaan.

5. Membangun hubungan baik dengan regulator


Tidak hanya dapat memperbaiki hubungan perusahaan dengan masyarakat, namun dengan CSR
juga dapat menjalin hubungan yang lebih baik lagi dengan pihak pemerintah karena adanya
program CSR ini akan lebih meringankan beban pemerintah sebagai regulator. Dimana
pemerintahlah yang sebenarnya memiliki tanggung jawab besar terhadap kesejahteraan lingkungan
dan masyarakatnya. Namun, dengan CSR peran ini dapat dilakukan oleh perusahaan. 

6. Meningkatkan hubungan dengan stakeholder


Selain membangun hubungan yang baik kepada masyarakat, regulator, CSR juga bisa memperbaiki
hubungan dengan stakeholder perusahaan, termasuk pemegang saham. Melalui pelaksanaan
program CSR ini akan dapat memudahkan komunikasi dengan stakeholder yang tentu saja akan
menambah kepercayaan kepada perusahaan yang bersangkutan.

7. Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan


Reputasi perusahaan yang baik adalah yang berkontribusi besar kepada stakeholder, masyarakat
sekitar, dan lingkungannya. Sementara dari sisi internal, hal ini akan menambah kebanggaan bagi
karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut dan dapat berdampak pada peningkatan etos kerja
dan produktivitas karyawan.

https://lifepal.co.id/media/csr/#:~:text=Manfaat%20CSR%20untuk
%20perusahaan&text=Meningkatkan%20citra%20atau%20image%20perusahaan,di%20mata
%20masyarakat%20dan%20publik.

FAKTOR :

Motivasi perusahaan dalam mengimplementasikan CSR berbeda-beda, ada yang memang


dilandasi oleh kesadaran untuk menjalankan operasional secara lebih etis, ada juga yang hanya
sekedar menjalankan regulasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Perbedaan motivasi ini
jelas akan berpengaruh terhadap implementasi CSR dilapangan. 

Jika CSR hanya dianggap sebagai amanat regulasi, maka ada kesan keterpaksaan, karena
dorongan berasal dari luar. Berbeda dengan perusahaan yang benar-benar menyadari bahwa
implementasi CSR merupakan sebuah keharusan dalam menjalankan usaha, ada ketulusan,
dorongannya berasal dari dalam. Sehingga diwajibkan atau tidak, CSR tetap menjadi komitmen
perusahaan.
Terlepas dari perbedaan motivasi tadi, ada banyak manfaat yang bisa didapatkan bagi perusahaan
yang benar-benar mengimplementasikan CSR dengan baik.

Hal pertama dan paling utama tentu saja mengamankan operasional perusahaan. CSR bisa
diibaratkan sebagai jembatan yang menghubungkan antara kepentingan perusahaan dengan
masyarakat. Seiring dengan komunikasi yang berjalan baik dan masyarakat bisa merasakan
langsung manfaat dari kehadiran perusahaan, maka secara otomatis potensi konflik dan
gangguan terhadap operasional perusahaan akan semakin mengecil.

Kedua, meningkatkan citra positif perusahaan. Dengan implementasi CSR yang baik, maka
perusahaan akan mendapatkan citra positif, tidak hanya dari masyarakat umum tapi juga dari
semua stakeholders, termasuk didalamnya pemerintah, konsumen dan para pemegang saham.
Dengan sendirinya gengsi dan reputasi perusahaan juga akan naik.

Ketiga, mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari stakeholders. Perilaku usaha yang


menerapkan nilai-nilai etika bisnis dalam operasionalnya akan mendapatkan kepercayaan dan
dukungan yang kuat dari semua pihak. Termasuk mendapatkan kemudahan perijinan investasi
dari pemerintah. Atau dukungan penambahan modal dari para pemegang saham.

Keempat, mereduksi biaya. Dengan implementasi CSR, hubungan perusahaan dengan para
pemangku kepentingan akan terjalin baik, sehingga resiko-resiko munculnya gangguan terhadap
operasional perusahaan menjadi berkurang. Dan akhirnya biaya-biaya yang biasanya timbul
akibat gangguan operasional bisa dialihkan untuk meningkatkan kinerja perusahaan.

Kelima, menjadi pembeda dengan para kompetitor. Dalam persaingan pasar yang semakin ketat
dan kompetitif, untuk menjadi pemenang harus ada upaya yang kreatif, tidak cukup hanya
dengan mengandalkan produk semata. Dan implementasi CSR yang punya ciri khas unik akan
menjadi pembeda antara perusahaan dengan kompetitornya. CSR bisa menjadi salah satu
kekuatan branding perusahaan yang pada gilirannya menciptakan keunggulan.  

https://www.kompasiana.com/zaelani_ma/5b55eae0d1962e4ef839b112/manfaat-implementasi-csr-
bagi-perusahaan
Secara umum, alasan terkait bisnis untuk melaksanakan biasanya berkisar satu ataupun lebih dari
argumentasi di bawah ini:

Sumberdaya manusia[sunting | sunting sumber]


Program CSR dapat berwujud rekruitmen tenaga kerja dan mempekerjakan masyarakat sekitar.
Lebih jauh lagi CSR dapat dipergunakan untuk menarik perhatian para calon pelamar pekerjaan [6],
terutama sekali dengan adanya persaingan kerja di antara para lulusan. Akan terjadi peningkatan
kemungkinan untuk ditanyakannya kebijakan CSR perusahaan, terutama pada saat perusahaan
merekruit tenaga kerja dari lulusan terbaik yang memiliki kesadaran sosial dan lingkungan. Dengan
memiliki suatu kebijakan komprehensif atas kinerja sosial dan lingkungan, perusahaan akan bisa
menarik calon-calon pekerja yang memiliki nilai-nilai progresif. CSR dapat juga digunakan untuk
membentuk suatu atmosfer kerja yang nyaman di antara para staf, terutama apabila mereka dapat
dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang mereka percayai bisa mendatangkan manfaat bagi
masyarakat luas, baik itu bentuknya "penyisihan gaji", "penggalangan dana" ataupun
kesukarelawanan (volunteering) dalam bekerja untuk masyarakat.

Manajemen risiko[sunting | sunting sumber]


Manajemen risiko merupakan salah satu hal paling penting dari strategi perusahaan. Reputasi yang
dibentuk dengan susah payah selama bertahun-tahun dapat musnah dalam sekejap melalui insiden
seperti skandal korupsi atau tuduhan melakukan perusakan lingkungan hidup. Kejadian-kejadian
seperti itu dapat menarik perhatian yang tidak diinginkan dari penguasa, pengadilan, pemerintah
dan media massa. Membentuk suatu budaya kerja yang "mengerjakan sesuatu dengan benar", baik
itu terkait dengan aspek tata kelola perusahaan, sosial, maupun lingkungan—yang semuanya
merupakan komponen CSR—pada perusahaan dapat mengurangi risiko terjadinya hal-hal negatif
tersebut.[7].

Membedakan merek[sunting | sunting sumber]


Di tengah hiruk pikuknya pasar maka perusahaan berupaya keras untuk membuat suatu cara
penjualan yang unik sehingga dapat membedakan produknya dari para pesaingnya di benak
konsumen. CSR dapat berperan untuk menciptakan loyalitas konsumen atas dasar nilai khusus dari
etika perusahaan yang juga merupakan nilai yang dianut masyarakat. [8]. Menurut Philip Kotler dan
Nancy Lee, setidaknya ada dua jenis kegiatan CSR yang bisa mendatangkan keuntungan terhadap
merek, yaitu corporate social marketing (CSM) dan cause related marketing (CRM). Pada CSM,
perusahaan memilih satu atau beberapa isu—biasanya yang terkait dengan produknya—yang bisa
disokong penyebarluasannya di masyarakat, misalnya melalui media campaign. Dengan terus
menerus mendukung isu tersebut, maka lama kelamaan konsumen akan mengenali perusahaan
tersebut sebagai perusahaan yang memiliki kepedulian pada isu itu. Segmen tertentu dari
masyarakat kemudian akan melakukan pembelian produk perusahaan itu dengan pertimbangan
kesamaan perhatian atas isu tersebut. CRM bersifat lebih langsung. Perusahaan menyatakan akan
menyumbangkan sejumlah dana tertentu untuk membantu memecahkan masalah sosial atau
lingkungan dengan mengaitkannya dengan hasil penjualan produk tertentu atau keuntungan yang
mereka peroleh. Biasanya berupa pernyataan rupiah per produk terjual atau proporsi tertentu dari
penjualan atau keuntungan. Dengan demikian, segmen konsumen yang ingin menyumbang bagi
pemecahan masalah sosial dan atau lingkungan, kemudian tergerak membeli produk tersebut.
Mereka merasa bisa berbelanja sekaligus menyumbang. Perusahaan yang bisa mengkampanyekan
CSM dan CRM-nya dengan baik akan mendapati produknya lebih banyak dibeli orang, selain juga
mendapatkan citra sebagai perusahaan yang peduli pada isu tertentu.

Izin usaha[sunting | sunting sumber]


Perusahaan selalu berupaya agar menghindari gangguan dalam usahanya melalui perpajakan atau
peraturan. Dengan melakukan sesuatu 'kebenaran" secara sukarela maka mereka akan dapat
meyakinkan pemerintah dan masyarakat luas bahwa mereka sangat serius dalam memperhatikan
masalah kesehatan dan keselamatan, diskriminasi atau lingkungan hidup maka dengan demikian
mereka dapat menghindari intervensi. Perusahaan yang membuka usaha di luar negara asalnya
dapat memastikan bahwa mereka diterima dengan baik selaku warga perusahaan yang baik dengan
memperhatikan kesejahteraan tenaga kerja dan akibat terhadap lingkungan hidup, sehingga dengan
demikian keuntungan yang menyolok dan gaji dewan direksinya yang sangat tinggi tidak
dipersoalkan.

Motif perselisihan bisnis[sunting | sunting sumber]


Kritik atas CSR akan menyebabkan suatu alasan yang, pada akhirnya, bisnis perusahaan
dipersalahkan. Contohnya, ada kepercayaan bahwa program CSR seringkali dilakukan sebagai
suatu upaya untuk mengalihkan perhatian masyarakat atas masalah etika dari bisnis utama
perseroan.
https://id.wikipedia.org/wiki/Tanggung_jawab_sosial_perusahaan#:~:text=Tanggung%20jawab
%20Sosial%20Perusahaan%20atau,karyawan%2C%20pemegang%20saham%2C%20komunitas
%20dan

Garis besar Isi CSR (Tangguing Jawab Sosial Korporasi)


CSR TOPIK

1.Tanggung Jawab Pihak Manajemen

1. (1) Etika kerja dan panduannya


2. (2) Memonitor Etika kerja dan penerapannya
3. (3) Berkomunikasi secara terbuka

2.CSR Terhadap Lingkungan

1. (1) Membuat rencana aksi nyata 3 tahun ke depan


2. (2) Mencegah polusi (Udara, tanah, air)
3. (3) Mengurangi emisi gas rumah kaca
4. (4) Menggalakkan daur ulang

3.Kontribusi Sosial
1. (1) Menjaga harmoni dengan komunitas lokal
2. (2) Membuat lapangan kerja, engutamakan keselamatan kerja dan pengembangan
sumber daya anusia
3. (3) Memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitar
Corporate Social Responsibility (CSR)
Dari berbagai school of thought  tersebut tampaknya Indonesia menganut
konsep mandatory  atau compulsory (wajib) sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang
baik Undang-Undang Perseroan Terbatas nomor 4 tahun 2007 maupun Undang-Undang
Penanaman Modal nomor 25 tahun 2007. Kewajiban melaksanakan CSR pun diwujudkan dalam
Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup nomor 32 tahun 2009 untuk aspek lingkungan,
namun hingga kini belum ada peraturan organik yang merupakan turunan dari berbagai undang-
undang tersebut yang mengikat secara pasti dalam bentuk peraturan pelaksanaan. Bila dilihat dari
pada implementasinya cenderung dilakukan sesuai dengan konsep self regulatory.

2.PENDEKATAN KONSEPTUAL

2.1.1.1 Sejarah dan Definisi Corporate Social Responsibility  (CSR)

CSR yang kini kian marak diimplementasikan berbagai macam perusahaan, mengalami evolusi dan
metamorphosis dalam rentang waktu yangcukup lama. Konsep ini tidak lahir begitu saja, akan tetapi
melewati berbagai macam tahapan terlebih dahulu. Gema CSR mulai terasa pada tahun 1950-an. Pada
saat itu, persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang semula terabaikan mulai mendapatkan
perhatian lebih luas dari berbagai kalangan. Buku yang bertajuk Social Responsibility of the
Businessman  karya Howard R.Bowen yang ditulis pada tahun 1953 merupakan literatur awal yang
menjadi tonggak sejarah modern CSR. Bowen dijuluki “Bapak CSR” karena karyanya tersebut. Setelah
itu, gema CSR diramaikan dengan terbitnya “Silent Spring”  yang ditulis oleh Rachel Carson, ia
mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa betapa mematikannya pestisida bagi lingkungan dan
kehidupan. Tingkah laku perusahaan perlu dicermati terlebih dahulu sebelum berdampak menuju
kehancuran. Sejak itu, perhatian terhadap permasalahan lingkungan semakin berkembang dan mendapat
perhatian yang luas. Pemikiran mengenai CSR dibahas lagi pada tahun 1966 dalam “The Future
Capitalism”  yang ditulis Lester Thurow, dilanjutkan pada tahun 1970-an terbitlah “The Limits to Growth”
yang merupakan buah pemikiran cendekiawan dunia yang tergabung dalm Club of Rome, buku ini terus
diperbaharui hingga saat ini (Wibisono, 2007).

Menurut Wibisono (2007), sejalan dengan bergulirnya wacana tentang kepedulian lingkungan kegiatan
kedermawanan perusahaan terus berkembang dalam kemasan Philanthropy serta Community
Development  (CD). Pada era 1980- an makin banyak perusahaan menggeser
konsep Philanthropy kearah Community Development.  Pada dasawarsa 1990-an adalah dasawarsa
yang diwarnai dengan beraneka ragam pendekatan, seperti pendekatan integral, pendekatan stakeholder
maupun pendekatan civil society.  Pada tataran global, tahun 1992 diselenggarakan KTT Bumi di Rio de
Jenario Brazil, pertemuan ini menegaskan konsep pembangana berkelanjutan (Sustinable Development)
yang didasarkan pada perlindungan lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan sosial sebagai hal
yang mesti dilakukan. Terobosan terbesar CSR dilakukan oleh John Elkington melalui konsep “3P”
(Profit, People dan Planet)  yang dituangkan dalm buku

Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business pada tahun 1998. Gaung CSR
kian bergema setelah dselenggarakannnya World Summit on Sustainable Development  (WSSD) pada
tahun 2002 di Johannesburg Afrika Selatan. Sejak saat itulah definisi CSR kian berkembang.

Definisi CSR telah banyak dikemukakan berbagai pihak. Konsep CSR yang banyak dijadikan rujukan
oleh berbagai pihak sebagaimana yang dikemukakan oleh Teguh S. Pambudi dalam tulisannya di
majalah SWA edisi Desember 2005 adalah pemikiran Elkington, yakni tentang tripel bottom
line. Menurutnya CSR adalah segitiga kehidupan stakeholder  yang harus diberi atensi oleh korporasi di
tengah upayanya mengejar keuntungan atau profit, yaitu ekonomi, lingkungan, dan sosial. Hubungan itu
diilustrasikan dalam bentuk segitiga. Sejalan dengan itu, Wibisono (2007) mendefinisikan CSR sebagai
tanggung jawab perusahaan kepada pemangku kepentingan untuk berlaku etis, meminimalkan dampak
negatif dan memaksimalkan dampak positif yang mencakup aspek ekonomi sosial dan lingkungan (triple
bottom line) dalam rangka

mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Sementara Nursahid (2006) mendefinisikan CSR sebagai
tanggung jawab moral suatu organisasi bisnis terhadap kelompok yang menjadi stakeholder-nya yang
terkena pengaruh baik secara langsung ataupun tidak langsung dari operasi perusahaan. Sukada, dkk
(2006) mendefinisikan CSR sebagai segala upaya manajemen yang dijalankan entitas bisnis untuk
mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan berdasar pilar ekonomi, sosial dan lingkungan, dengan
meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif di setiap pilar. Sementara itu, The
World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) menjelaskan bahwa CSR merupakan
komitmen dunia usaha untuk terus bertindak etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk
peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya
sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara luas.

Menurut The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) CSR adalah omitmen
bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan
perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komuniti-komuniti setempat (lokal) dan masyarakat
secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan mutu kehidupan (Rudito et al.,  2004). Peningkatan
mutu kehidupan mempunyai arti adanya kemampuan manusia sebagai individu anggota masyarakat
untuk dapat menanggapi keadaan sosial yang ada dan dapat menikmati, serta memanfaatkan lingkungan
hidup, termasuk perubahan-perubahan yang ada dan sekaligus memelihara. Atau dengan kata lain, CSR
merupakan cara korporat mengatur proses usaha untuk memproduksi dampak positif pada masyarakat
(Rudito et al.,  2004). CSR berarti perusahaan harus bertanggungjawab atas operasinya yang berdampak
buruk pada masyarakat, komunitas dan lingkungannya. Namun sebaliknya juga harus memberikan
dampak positif terhadap masyarakat sekitar. Suatu perusahaan tidak akan dapat bertahan lama apabila
dia mengisolasikan dan membatasi dirinya dengan masyarakat sekitarnya (Djajadiningrat dan Famiola,
2004).

Terkait dengan aspek hukum maka terdapat 4 jenis CSR (Fajar, 2010) yaitu :

1. Social responsibility theory, yaitu kewajiban direksi dan manajemen untuk menjaga keharmonisan
kepentingan pemegang saham (shareholders) dan pemangku kepentingan (stakeholders). Dalam teori ini
seakan tanggung jawab sosial hanya menjadi kewajiban direksi dan manajemen saja atau menjadi terlalu
sempit dari hakekat CSR yang seutuhnya.

2. Hobbesian Leviatan theory, yang menghendaki kontrol yang ketat dari Pemerintah serta meniadakan
upaya-upaya lainnya. Teori ini menempatkan hanya Pemerintah sebagai pihak yang berwenang dan
menentukan terhadap aktivitas CSR perusahaan dan menegasikan alternatif lainnya dalam pengaturan
CSR.

3. Corporate governance theory, menghendaki adanya corporate accountability dari direksi korporasi.


Cenderung lebih mengamati hubungan pihak internal korporasi yaitu antara pemilik dan manajemen
korporasi.

4. Reflexive law theory, digunakan untuk mengatasi kebuntuan atas pendekatan formal terhadap
kewajiban perusahaan dalam sistem hukum. Hukum formal adalah bentuk intervensi negara dalam
mengatur persoalan privat melalui bentuk perundang-undangan seperti Undang-Undang Perseoran
Terbatas yang didalamnya juga mengatur mengenai tanggungjawab sosial perusahaan. Reflexive law
theory  adalah teori hukum yang menjelaskan adanya keterbatasan hukum (limit of law) dalam
masyarakat yang kompleks untuk mengarahkan perubahan sosial secara efektif.
 

Mengacu dari definisi CSR tersebut, ternyata pengaturan mengenai CSR tidak cukup hanya dengan ke 3
pendekatan atau jenis pertama karena keterbatasan-keterbatasan dari teori hukum sedangkan ruang
lingkup CSR melebihi dari aturan yang berlaku. Reflexive law theory paling tepat untuk menekan
kerumitan dan keberagaman masyarakat melalui peraturan perundang-undangan yang
ekstensif. Reflexive law theory  bertujuan untuk mengarahkan pola tingkah laku dan mendorong
pengaturan sendiri (self regulation). Proses ini adalah regulated autonomy atau membiarkan private
actors, seperti korporasi untuk bebas mengatur dirinya sendiri. Masyarakat yang akan memberikan
penilaian maupun sanksi (market‟s reward punishment) terhadap aktivitas CSR perusahaan. Disisi lain
hukum reflexive mengintervensi proses sosial dengan membuat prosedur acuan untuk perilaku korporasi
(code of conduct). Dalam mengontrol perilaku korporasi maka reflexive law theory menghendaki
adanya social accounting, auditing  dan reporting, yang disebut social reporting (Fajar, 2010).

Pada dasarnya CSR memiliki berbagai aliran pemikiran yang dibagi menjadi beberapa school of
thought yaitu adalah :

1. CSR dibagi menjadi 3 school of thought menurut Achwan (2006) yaitu:

a. The business of business is business  yang berpandangan bahwa perusahaan pada hakekatnya
merupakan institusi pencipta kesejahteraan masyarakat. Setiap perusahaan memiliki tujuan tunggal yaitu
memaksimalkan keuntungan untuk pemiliknya dan dipercaya dapat menciptakan lapangan pekerjaan.
Tangan-tangan tak kentara (invisible hands), adalah naluri yang dimiliki setiap perusahaan. Dengan kata
lain, perusahaan adalah pencipta kekayaan (wealth), dalam masyarakat dan patuh kepada rule of law.
Semua kegiatan philanthropy-semacam ini pada dasarnya adalah pencurian uang milik pemegang saham
yang dilakukan oleh para direktur perusahaan.

b. Corporate voluntarism yang lebih menekankan aspek kebajikan, virtue, dalam mengejar keuntungan


perusahaan. Asumsi dari alam pemikiran ini adalah sifat CSR sukarela (voluntary) dan menolak campur
tangan negara dalam mengatur CSR di perusahaan, CSR mendorong keuntungan ekonomi perusahaan,
lalu keberadaan perusahaan tidak dapat lepas dari masyarakat tempat perusahaan beroperasi.

c. Corporate involuntarism berpendapat bahwa setiap perusahaan memiliki kewajiban menjalankan


tanggung jawab sosial. Kewajiban ini harus dituangkan dalam bentuk undang-undang. Para penyokong
aliran ini berpendapat bahwa dalam kondisi sekarang ini, ketika multinational corporation (MNC) jauh
lebih berpengaruh dibandingkan negara bangsa, self regulation dan voluntarism tidaklah mencukupi.
Sehingga perlu campur tangan Pemerintah.

2. Pengelompokan lainnya tentang aliran pemikiran dari CSR juga membagi menjadi 3 school of
thought menurut pandangan Michael (2010) yaitu :

a. Neo-liberal school atau markets provide CSR adalah kegiatan CSR dimana pasar menjadi pendorong
aktivitas CSR meliputi CSR product market demand atau CSR pada produk yang didorong oleh
permintaan pasar, labour market demand atau CSR pada tenaga kerja yang didorong oleh permintaan
pasar dan capital market demand atau CSR atas modal yang didorong oleh permintaan pasar modal.
Aktivitas ini bersifat sukarela dengan mekanisme kegiatannya mengacu pada triple bottom
line (dampak environmental, social, financial), dan stakeholders board.

b. State led school atau CSR as a public policy adalah kegiatan CSR yang diatur oleh negara. Aktivitas
CSR dalam hal ini sifatnya wajib dilaksanakan.

c. Third-sector school atau CSR as site of participation  adalah aktivitas CSR yang dilakukan dengan
membentuk forum-forum kerjasama seperti gabungan
perusahaan-perusahaan, kerjasama perusahaan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

3. Pemikiran lainnya atas school of thought  dari CSR adalah sebagaimana yang dikemukakan Fajar
(2010) yaitu : a. CSR yang bersifat sukarela (voluntary), adalah bentuk tanggung jawab sosial
perusahaan yang dilaksanakan secara sukarela dengan alasan: tujuan perusahaan mencari keuntungan,
CSR merupakan kewajiban moral sesuai pendapat Milton Friedman, diacu dalam Fajar (2010),
pelaksanaan CSR bertentangan dengan hak kepemilikan privat, dan tidak sesuai dengan prinsip efisiensi
dalam bisnis. Henry Hansmann dan Reinier Kraakman mengatakan bahwa tujuan perusahaan dalam
jangka panjang adalah mencari keuntungan shareholders. Shareholders oriented  menjadi model standar
untuk hukum perusahaan secara universal. Karena sifatnya sukarela dan berada di wilayah etika maka
CSR diatur dalam code of conduct (softlaw) seperti Global Reporting Initiative (GRI) Sustainability
Reporting Guidelines, Organisation fot Economic Co-operation and Development (OECD) Guidelines for
Multinational Enterprises, dan lain sebagainya. Namun keberadaan Corporate Code of Conduct tidak
cukup mampu mengikat korporasi (Fajar, 2010). b. Tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR yang
bersifar wajib (compulsory). Alasan utama dari CSR yang diwajibkan ini adalah: korporasi harus
memperhatikan kepentingan sosial yaitu stakeholders  sebagaimana dikemukakan oleh E.Merric Dodd,
diacu dalam Fajar (2010) yang melahirkan stakeholders theory. Selanjutnya pendapat ini didukung oleh
Henry Hansmann dan Reinier Kraakman yang berpendapat bahwa keberadaan perusahaan adalah untuk
melayani kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Terdapat 2 alasan mengapa CSR harus diatur
dalam hukum negara karena : 1). Tidak ada kekuatan memaksa dari hukum kebiasaan dan prinsip
sukaerela, tanpa diratifikasi dalam peraturan lokal sebuah negara, 2). Prinsip sukarela yang tidak
mengikat tidak akan memberikan efek apapun secara jelas dan terukur (Fajar, 2010).

c. Tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR yang tergantung situasi dan kondisi. Kebijakan ini
dipelopori oleh Jenkins, diacu dalam Fajar (2010) yang melihat dari fungsi hukum untuk mengatur
ketertiban masyarakat. Untuk itu perlu dipahami ranah apa saja yang masuk wilayah hukum dan mana
yang tidak, Jenkins mengatakan bahwa wilayah hukum dapat dilihat dari dua rezim
yaitu necessity  (kebutuhan) dan possibility (kemungkinan). Necessity adalah rezim yang digunakan
untuk mendukung pembangunan manusia (human development). Tanpa kondisi yang aman dan stabil
pembangunan manusia tidak bisa dilakukan. Sementara possibility  berfungsi menciptakan kebebasan,
kesempatan dan kemajuan yang diperlukan, untuk menciptakan kesempurnaan kebaikan (absolute
good). Jika rezim necessity dan possibility menghendaki aturan hukum maka akan melahirkan tanggung
jawab hukum. Kewajiban untuk CSR menjadi perlu ketika korporasi cenderung menghalangi
pembangunan manusia dan berpeluang memunculkan eksploitasi, korupsi, kesewenang-wenangan dan
ketidakpastian dalam masyarakat (Fajar, 2010).

2.1.1.2 Tahapan-Tahapan CSR

Menurut Wibisono (2007), terdapat empat tahapan CSR, yaitu:

1. Tahap perencanaan.

Tahap ini terdiri dari tiga langkah utama, yaitu Awareness Building, CSR Assessement, dan CSR Manual
Building. Awareness Building merupakan langkah utama membangun kesadaran pentingnya CSR dan
komeitmen manajeman, upaya ini dapat berupa seminar, lokakarya, dan lain-lain. CSR
Assessement  merupakan upaya memetakan kondisi perusahaan dan mengidentifikasikan aspek-aspek
yang perlu mendapatkan prioritas perhatian dan langkah-langkah yang tepat untuk membangun struktur
perusahaan yang kondusif bagi penerapan CSR secara efektif. Langkah selanjutnya membangun CSR
Manual Building, dapat melalui bencmarking, menggali dari referensi atau meminta bantuan tenaga ahli
independen dari luar perusahaan. Pedoman ini diharapkan mampu memberikan kejelasan dan
keseragaman pola pikir dan pola tindak seluruh elemen perusahaan guna tercapainya pelaksanaan
program yang terpadu, efektif dan efisian.

2. Tahap implementasi.

Pada tahap ini terdapat beberapa poin yang penting diperhatikan, yaitu penggorganisasian (organizing)
sumber daya, penyusunan (staffing), pengarahan (direction), pengawasan atau koreksi (controlling),
pelaksanaan sesuai rencana, dan penilaian (evaluation) tingkat pencapaian tujuan. Tahap implementasi
terdiri dari tiga langkah utama, yaitu sosialisasi, pelaksanaan dan internalisasi.

3. Tahap evaluasi.

Tahap evaluasi perlu dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu untuk mengukur sejauh mana
efektivitas penerapan CSR.

4. Pelaporan.

Pelaporan diperlukan dalam rangka membangun sistem informasi baik untuk keperluan pengambilan
keputusan maupun keperluan keterbukaan inforrmasi material dan relevan mengenai perusahaan.

2.1.1.3 Pandangan Perusahaan terhadap CSR

Wibisono (2007) menjelaskan bahwa perusahaan memiliki berbagai cara pandang dalam memandang
CSR. Berbagai cara pandang perusahaan terhadap CSR yaitu:

1. Sekedar basa-basi atau keterpaksaan. Perusahaan mempraktekan CSR karena external driven  (faktor
eksternal), environmental driven (karena terjadi masalah lingkungan dan reputation driven  (karena ingin
mendongkrak citra perusahaan).

2. Sebagai upaya memenuhi kewajiban (compliance). CSR dilakukan karena terdapat regulasi, hukum,
dan aturan yang memaksa perusahaan menjalankannya.

3. CSR diimplementasikan karena adanya dorongan yang tulus dari dalam (internal driven). Perusahaan
menyadari bahwa tanggung jawabnya bukan sekedar kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit demi
kelangsungan bisnisnya saja, melainkan juga tannggunga jawab sosial dan lingkungan.

2.1.1.4 Kebijaksanaan Perusahaan dalam CSR

Menurut Steiner (1997) dalam Mulyadi (2007) kebijakan umumnya dianggap sebagai pedoman untuk
bertindak atau saluran untuk berfikir. Secara lebih khusus kebijakan adalah pedoman untuk
melaksanakan suatu tindakan. Kebijakan mencakup seluruh bidang tempat tindakan atau yang dilakukan.
Kebijakan biasanya berlangsung lama serta cenderung memiliki jangka waktu yang lama tanpa
peninjauan dan penyempuranaan. Kebijakan menjelaskan bagaimana cara pencapaian tujuan dengan
menentukan petunjuk yang harus diikuti. Kebijakan dirancang untuk menjamin konsistensi tujuan dan
untuk menghindari keputusan yang berwawasan sempit dan berdasarkan kelayakan.

2.1.1.5 Karakteristik CSR

Dalam aktualisasi Good Corporate Governance, kontribusi suatu perusahaan untuk meningkatkan


kesejahteraan masyarakat mengalami metamorfosis, dari yang bersifat charity  menjadi aktivitas yang
lebih menekankan pada penciptaan kemandirian masyarakat, yakni program pemberdayaan (Ambaddar,
2008). Metamorfosis kontribusi perusahaan tersebut diungkapkan oleh Za’im Zaidi
(2003) dalam Ambaddar (2008), yaitu dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 1. Metamorfosis CS

2.1.1.6 Implementasi CSR

Implementasi CSR di perusahaan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi tersebut
diantaranya adalah komitmen pimpinannya, ukuran atau kematangan perusahaan, regulasi atau sistem
perpajakan yang diatur pemerintah dan sebagainya (Wibisono, 2007). Merujuk pada Saidi dan Abidin
(2004) dalam Suharto (2006), ada empat model atau pola CSR yang umumnya diterapkan oleh
perusahaan di Indonesia, yaitu:

1. Keterlibatan langsung. Perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan


menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke masyarakat tanpa
perantara.untuk menjalankan tugas ini, sebuah perusahaan biasanya menugaskan salah satu pejabat
seniornya, seperti corporate secretary atau public affair manager  atau menjadi bagian dari tugas
pejabat public relation.

2. Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan. Perusahaan mendirikan yayasan sendiri di bawah
perusahaan atau grupnya. Model ini merupakan adopsi dari model yang lazim diterapkan di perusahaan-
perusahaan dinegara maju. Biasanya perusahaan menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi
yang dapat digunakan secara teratur bagi kegiatan yayasan.

3. Bermitra dengan pihak lain. Perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan lembaga
sosial/organisasai non-pemerintah, instansi pemerintah, universitas atau media massa, baik dalam
mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya.

4. Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium. Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota
atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Dibandingkan dengan
model lainnya, pola ini lebih berorientasi pada pemberian hibah perusahaan yang bersifat :hibah
pembangunan”. Pihak konsorsium atau lembaga semacam itu yang dipercaya oleh perusahaan-
perusahaan yang mendukungnya secara pro aktif mencari mitra kerjasama dari kalangan lembaga
operasional dan kemudian mengembangkan program yang disepakati bersama.

2.1.1.7 Manfaat CSR

CSR mendatangkan berbagai manfaat bagi perusahaan dan masyarakat yang terlibat dalam
menjalankannya. Menurut Wibisono (2007) manfaat bagi perusahaan yang berupaya menerapkan CSR,
yaitu dapat mempertahankan atau mendongkrak reputasi dan brand image perusahaan, layak
mendapatkan social licence to operate, mereduksi risiko bisnis perusahaan, melebarkan akses
sumberdaya, membentangkan akses menuju market,  mereduksi biaya, memperbaiki hubungan
dengan stakeholders,  memperbaiki hubungan dengan regulator, meningkatkan semangat dan
produktivitas karyawan serta berpeluang mendapatkan penghargaan. Sementara menurut Sukada, dkk
(2006), manfaat CSR diantaranya bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki CSR yang baik
berkesempatan mendapatkan sumberdaya manusia terbaik, produktivitas pekerja di perusahaan
bereputasi baik dicatat lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang bereputasi lebih rendah selain juga
jauh lebih loyal, mendapatkan kesempatan investasi yang lebih tinggi di masa depan, dan sebagainya.
Sedangkan manfaat CSR bagi masyarakat menurut Ambadar (2008), yaitu dapat meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia, kelembagaan, tabungan, konsumsi dan investasi dari rumah tangga warga
masyarakat.

2.1.2 Konsep Pengembangan Masyarakat

2.1.2.1 Komunitas sebagai Basis Pemberdayaan Masyarakat


Komunitas menurut Nasdian (2006) adalah suatu wilayah kehidupan sosial yang ditandai oleh suatu
derajat hubungan sosial tertentu. Dalam aktivitas suatu komunitas dicirikan dengan pertisipasi dan
keterlibatan langsung anggota komunitas dalam kegiatan tersebut, dimana semua usaha swadaya
masyarakat diintegrasikan dengan usaha-usaha pemerintah setempat untuk meningkatkan taraf hidup,
dengan sebesar mungkin ketergantungan pada inisiatif penduduk sendiri, serta pembentukan pelayanan
teknis, sifat berswadaya dan kegotongroyongan sehingga proses pembangunan berjalan efektif. Secara
umum, Syahyuti (2006) mendefinisikan komunitas (community) sebagai sekelompok orang yang hidup
bersama pada lokasi yang sama, sehingga mereka telah berkembang menjadi sebuah “kelompok
hidup” (group lives)  yang diikat oleh kesamaan kepentingan (common interests).

2.1.2.2 Definisi Pengembangan Masyarakat

Pengembangan masyarakat adalah salah satu pendekatan yang harus menjadi prinsip utama bagi
seluruh unit-unit kepemerintahan maupun pihak korporasi dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam
memberikan pelayanan sosial (Ambaddar, 2008). Pengembangan masyarakat menurut Giarci
(2001) dalam Subejo dan Supriyanto (2004) adalah suatu hal yang memiliki pusat perhatian dalam
membantu masyarakat pada berbagai tingkatan umur untuk tumbuh dan berkembang melalui berbagai
fasilitasi dan dukungan agar mereka mampu memutuskan, merencanakan dan mengambil tindakan untuk
mengelola dan mengembangkan lingkungan fisiknya serta kesejahteraan sosialnya. Proses ini
berlangsung dengan dukungan collective action dan networking yang dikembangkan
masyarakat.  Sejalan dengan itu, Payne (1995:165) dalam  Ambadar (2008) menjelaskan bahwa
pengembangan masyarakat memiliki fokus terhadap upaya membantu anggota masyarakat yang
memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, dengan mengidentifikasikan kebutuhan bersama dan
kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Berdasarkan
persinggungan dan saling menggantikannya pengertian community development dan community
empowerment, secara sederhana, Subejo dan Supriyanto (2004) memaknai pemberdayaan masyarakat
sebagai upaya yang disengaja untuk memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan
dan mengelola sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action dan networking sehingga pada
akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi, ekologi, dan sosial. Sementara
itu Ambadar (2008),

menjelaskan bahwa pengembangan masyarakat merupakan sebuah aktualisasi dari CSR yang lebih
bermakna daripada sekedar aktivitas charity ataupun tujuh dimensi CSR lainnya, antara lain community
relation. Hal ini disebabkan pelaksanaan pengembangan masyarakat terdapat kolaborasi kepentingan
bersama antara perusahaan dengan komunitas, adanya partisipasi, produktivitas dan keberlanjutan.
Budimanta dalam Rudito,dkk (2003) mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai kegiatan yang
diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat untuk mencapai kondisi sosial-ekonomi-budaya yang
lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sebelumnya, sehingga masyarakat di
tempat tersebut diharapkan dapat menjadi lebih mandiri dengan kualitas kehidupan dan kesejahteraan
yang lebih baik.

2.1.2.3 Asas dan Prinsip Pengembangan Masyarakat

Menurut Ife (1995), pengembangan masyarakat sebagai perencanaan sosial perlu berlandaskan pada
asas-asas, yaitu: komunitas dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan, mensinergikan
strategi komprehensif pemerintah, pihak-pihak terkait dan partisipasi warga, membuka akses warga atas
bantuan profesional, teknis, fasilitas, serta insentif lainnya agar meningkatkan partisipasi warga, dan
mengubah perilaku profesional agar lebih peka pada kebutuhan, perhatian dan gagasan warga
komunitas. Ife (2002) membagi prinsip-prinsip Community Development dalam tiga bagian penting, yaitu
ekologi, keadilan sosial, nilai-nilai lokal, proses, serta global-lokal, secara rinci dikemukakan sebagai
berikut:

a. Prinsip ekologis, ada beberapa prinsip dalam kaitannya dengan masalah ekologi, yaitu :
1) Holistik, di mana prinsip ini melandaskan pada falsafah yang berorientasikan pada lingkungan dengan
memperhatikan pada kehidupan dan alam atau lingkungan.

2) Keberlanjutan, dalam konteks ini pembangunan masyarakat ditujukan pada upaya meminimalkan
ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang tidak terbarukan dan menggantikan dengan
sumberdaya alam yang terbarukan.

3) Keanekaragaman, merupakan salah satu aspek penting prinsi ekologis, di mana di alam
keanekaragaman akan menjaga siklus kehidupan. Pada pembangunan masyarakat prinsip dalam ini
menekankan penghargaan terhadap nilai-nilai perbedaan, tidak adanya jawaban

tunggal terhadap permasalahan yang ada, desentralisasi, jejaring dan komunikasi yang setara, serta
teknologi yang mudah untuk diterapkan pada tingkat yang rendah.

4) Pembangunan organis, pada dasarnya pembangunan organis menjadi konsep yang berlawanan
dengan pembangunan yang sifatnya mekanistis. Dalam pembangunan masyarakat mengandung
pengertian bahwa terdapat hubungan yang kompleks antara warga masyarakat dan lingkungannya. Oleh
karena itu, tidak dianjurkan dengan teknik yang sifatnya sederhana, akan tetapi melalui proses yang
kompleks dan dinamis.

5) Keseimbangan, di alam keseimbangan dinamis akan menjaga keseimbangan alam secara


keseluruhan, di mana merubah keseimbangan ini akan mengubah tatanan kehidupan. Dalam sebuah
sistem, kehilangan keseimbangan akan menimbulkan resiko kegagalan lingkungan, dalam perspektif
pembangunan masyarakat prinsip keseimbangan diarahkan pada keseimbangan antara kepentingan
global dan lokal, keadilan gender, responsibilitas, dan keadilan dalam hukum

b. Prinsip keadilan sosial

6) Menghilangkan ketimpangan struktural, pembangunan masyarakat harus mampu merubah adanya


ketimpangan kelas maupun ketimpangan gender dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi
masyarakat, untuk itulah harus dipahami betul tentang komplesitas tekanan terhadap kelas, gender, ras,
dan harus kritis terhadap latar belakang kelas, gender, dan ras

7) Memusatkan perhatian pada wacana yang merugikan (Addressing discourses of disadvantage).


Wacana kekuasaan dan penindasan perlu menjadi perhatian dalam community
development. Worker  perlu untuk memiliki kemampuan mengidentifikasi dan menguraikan wacana
kekuasaan dan untuk memahami bagaimana wacana tersebut secara

efektif mengistimewakan dan memberdayakan sebagian orang, sekaligus juga memarginalkan dan
mentidakberdayakan sebagian orang yang lainnya. Penguraian wacana ini merupakan komponen kritis
dalam prinsip meningkatkan kesadaran.

8) Pemberdayaan, konsep ini menjadi basis utama dalam pembangunan masyarakat. Pemberdayaan
mempunyai makna membangkitkan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan, dan ketrampilan mereka
untuk meningkatkan kapasitas dalam menentukan masa depan mereka. Konsep utama yang terkandung
di dalamnya adalah bagaimana memberikan kesempatan yang luas bagi masyarakat untuk menentukan
sendiri arah kehidupan dalam komunitasnya.

9) Mendefiniskan kebutuhan, prinsip ini sangat penting dalam menentukan prioritas kebutuhan
pembangunan masyarakat. Ada dua hal dalam penentuan kebutuhan, (1) pembangunan masyarakat
dilakukan atas dasar kesepakatan dari berbagai elemen, (2) memperhatikan preseden yang
ditimbulkannya dan memperhatikan prinsip keadilan sosial dan keseimbangan ekologis.
10) Menjunjung tinggi hak asasi manusia, dalam hal ini perlu adanya aturan yang memberikan
perlindungan dan pengakuan terhadap hak asasi manusia, seperti hak mendapatkan pendidikan, hak
untuk berpartisipasi dalam kehidupan kultural komunitasnya, hak untuk berkembang secara mandiri, dan
hak untuk mendapatkan perlindungan keluarga.

c. Menghargai Nilai-nilai lokal

11) Pengetahuan lokal, prinsip ini mendasarkan pada pentingnya untuk memperhatikan pengetahuan
lokal dalam pembangunan masyarakat, di mana masyarakat sampai dengan kelas bawah mampu
mengidentifikasi dan melakukan validasi tentang pengetahuan tersebut.

12) Budaya lokal, globalisasi budaya telah mengambil identitas budaya masyarakat di seluruh dunia,
bahwa budaya lokal dapat menunjukkan kemampuannya dalam mendukung pembangunan masyarakat,
ini mengingat ternyata budaya lokal tidaklah statis namun dinamis, bahkan prinsip ini sesuai dengan hak
asasi manusia, inklusif, berkelanjutan, dan juga diarahkan oleh masyarakat dalam konteks pembangunan
yang berkelanjutan.

13) Sumberdaya lokal, pemanfaat sumberdaya lokal lebih baik daripada menggunakan sumberdaya atau
bantuan dari pihak luar. Penggunaan ini mencakup seluruh bentuk, meliputi keuangan, teknis,
sumberdaya alam akan dapat mendorong bermacam-macam cara dalam pembangunan masyarakat (ada
keanekaragaman bentuk pembangunan masyarakat).

14)Ketrampilan lokal, dalam pembangunan masyarakat, ”pihak luar” harus mengetahui ada ketrampilan
lokal yang dapat dimanfaatkan, memaksimalkan ketrampilan lokal lebih baik dalam pembangunan
masyarakat. Untuk itulah dalam melakukan pembangunan masyarakat, harus berjalan secara dua arah
antara pihak luar dan masyarakat.

15) Menghargai proses lokal, pemaksaan solusi spesifik, struktur atau proses dari luar komunitas, jarang
dapat bekerja. Ini menjadi salah satu rasionalitas dari community development, bahwa segala sesuatu
tidak dapat bekerja dengan baik jika dipaksakan dari luar komunitas. Oleh karena itu,
pendekatan community development tidak dapat dipaksakan, tetapi harus terbangun dengan sendirinya
dalam komunitas, dengan cara yang sesuai dengan konteks spesifik dan sensitif terhadap kebudayaan
masyarakat lokal, tradisi dan lingkungan.

d. Proses

16) Proses, hasil, dan visi. Penekanan pada proses dan hasil menjadi isu utama dalam pembangunan
masyarakat. Pendekatan pragmatis cenderung akan melihat hasil, sehingga bagaimana upaya untuk
memperoleh hasil tersebut tidaklah begitu penting. Namun pendapat ini ditentang oleh banyak pihak,
karena proses dan hasil pada hakekatnya merupakan dua hal yang saling berkaitan. Proses pada
dasarnya harus merefleksikan hasil, demikian juga hasil juga merupakan refleksi dari proses. Dalam
konteks ini, moral dan etika dalam memperoleh hasil akan menjadi pusat perhatian.

17) Keterpaduan proses, proses yang digunakan untuk mencapai tujuan harus disesuaikan dengn hasil
yang diharapkan, perihal keberlanjutan dan keadilan sosial.

18) Peningkatan kesadaran, prinsip ini membantu anggota masyarakat dalam melakukan pencarian
potensi dalam kehidupan dan menghubungkan dengan struktur yang ada dan mendiskursus kekuatan
dan tekanan. Ada empat aspek atau tahap, yaitu menghubungkan

anggota masyarakat dan politik, membangunan hubungan dialogis, berbagi pengalaman dalam
menghadapi tekanan, dan membuka kesempatan untuk aksi. Prinsip ini merupakan bagian penting dalam
pemberdayaan dan juga pembangunan masyarakat.
19) Partisipasi, pembangunan masyarakat harus selalu melihat partisipasi maksimal dengan tujuan setiap
anggota masyarakat dapat secara aktif terlibat.

20) Kooperasi dan konsensus, problematika yang ada di masyarakat harus dihadapi oleh seluruh
anggota secara bersama-sama dengan mendapatkan persetujuan dari seluruh anggota masyarakat.

21) Tahapan pembangunan, pembangunan masyarakat dilakukan secara bertahap dalam jangka waktu
yang lama, hal ini disebabkan ia lebih mengutamakan keaktifan dan partisipasi anggota masyarakat.

22) Perdamaian dan anti kekerasan, pada konteks ini pembangunan masyarakat menghendaki sebuah
proses pendekatan yang anti kekerasan. Oleh karena itu, pendekatan yang bersifat koersif ataupun
pendekatan dengan tekanan terhadap sesama merupakan hal yang harus dihindari.

23) Inklusif, aplikasi prinsip inklusif dalam pembangunan masyarakat membutuhkan proses adanya
keterlibatan masyarakat untuk mengambil bagian dalam proses pelaksanaan pembangunan. Proses
pembangunan haruslah bersifat terbuka dan menjaring aspirasi dari seluruh warga masyarakat, bahkan
sampai kelompok paling bawah.

24) Membangun komunitas, semua pembangunan masyarakat seharusnya bertujuan untuk membangun
komunitas. Pembangunan masyarakat meliputi semua interaksi sosial dengan komunitas dan membantu
mereka untuk mengkomunikasikan apa yang menjadi jalan untuk menuju dialog yang murni,
pemahaman, dan aksi sosial.

e. Prinsip global dan lokal

25) Hubungan antara global dan lokal, saat ini seluruh dunia tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh
globalisasi, sehingga tidak bisa lagi mengabaikan isu-isu global tentang pembangunan dan lingkungan
hidup, namun juga lokalitas menjadi fokus dalam pembangunan. Gerakan global akan berdampak pada
seluruh komunitas dan memberikan kontribusi dalam permasalahan dan isu-isu yang dihadapi oleh
masyarakat. Sehingga, setiap community worker harus bisa memahami kondisi global dengan baik
sebagaimana dia memahami kondisi lokal, serta bagaimana keduanya berinteraksi.

26) Praktik Anti Penjajah (Anti-colonialist practice), Penjajahan (kolonialisme) dapat


mempengaruhi community worker di segala situasi. Penjajahan dapat menjadi suatu ideologi ekstrim
yang menggiurkan, karena hanya dengan tahapan yang pendek dengan

mempercayai bahwa community worker  adalah seseorang yang mempunyai sesuatu untuk ditawarkan,
dan dengan menghargai satu latar belakang kebudayaan yang dimiliki dan pengalaman praktik menjajah.
Ini akan mengabadikan dominansi penjajah.

2.1.2.4 Tujuan Pengembangan Masyarakat

Menurut Budimanta dalam  Rudito,dkk (2003), pengembangan masyarakat suatu perusahaan terhadap


lingkunganya memiliki tujuan. Tujuan pengembangan masyarakat suatu perusahaan, yaitu:

1. Mendukung upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah terutama pada tingkat desa dan
masyarakat untuk meningkatkan kondisi sosialekonomi- budaya yang lebih baik disekitar wilayah
kegiatan perusahaan.

2.    Memberikan kesempatan bekerja dan berusaha bagi masyarakat.

3. Membantu pemerintah daerah dalam rangka pengentasan kemiskinan dan pengembangan ekonomi
wilayah.
 

2.1.2.5 Strategi Pengembangan Masyarakat

Dalam melaksanakan suatu program pengembangan masyarakat terdapat berbagai macam strategi
pengembangan masyarakat. Chin dan Benne (1961) dalam Nasdian (2006) memperkenalkan tiga
strategi yang dapat dijadikan strategi pengembangan masyarakat, yaitu rational-empirical, normative-
reeducative, dan power-coersive. Penjelasan ketiga strategi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Power coercive  (strategi pemaksaan). Strategi ini cenderung memaksakan kehendak dan pikiran
sepihak tanpa menghiraukan kondisi dan keadaan serta situasi yang sebenarnya dimana inovasi itu akan
dilaksanakan, sedangkan pelaksanaan yang sebenarnya objek utama dari inovasi itu sendiri sama sekali
tidak dilibatkan baik dalam proses perencanaan maupun pelaksaannya.

b. Rational Empirical  (empirik rasional). Strategi ini didasarkan atas pandangan yang optimistik karena
strategi ini mempunyai asumsi dasar bahwa manusia mampu menggunakan pikiran logisnya atau
akalnya sehingga mereka akan bertindak secara rasional. Inovator bertugas mendemonstrasikan
inovasinya dengan menggunakan metode yang terbaik valid untuk memberikan manfaat dengan
penggunanya.

c. Normatif Re-educative (pendidikan yang berulang secara normatif).

Suatu strategi yang didasarkan pada pemikiran para ahli pendidikan seperti Sigmund Freud, John
Dewey, Kurt Lewis, dan beberapa pakar yang menekankan bagaimana klien memahami permasalahan
pembaruan seperti perubahan sikap, skill, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan manusia.
Kecenderungan pelaksanaan model yang demikian agaknya lebih menekankan pada proses mendidik
dibandingkan hasil perubahan itu sendiri.

2.1.2.6 Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat

Peran serta masyarakat selama ini hanya dilihat dalam konteks yang sempit, yaitu manusia cukup
dipandang sebagai tenaga kasar untuk mengurangi biaya pembangunan. Dengan kondisi ini, partisipasi
masyarakat hanya sebatas pada implementasi atau penerapan program; masyarakat tidak dikembangkan
dayanya menjadi kreatif dari dalam dirinya dan harus menerima keputusan yang sudah diambil “pihak
luar”. Akhirnya, partisipasi menjadi bentuk yang pasif dan tidak memiliki “kesadaran kritis” (Nasdian,
2006). Payne (1979) dalam  Nasdian (2006) menjelaskan bahwa pemberdayaan ditujukan untuk
membantu klien memperoleh daya (kuasa) untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang
akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial
dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri
untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.

Nasdian (2006) menjelaskan bahwa partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas
sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga
dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Sementara itu, Paul
(1987) dalam Nasdian (2006) memberikan pengertian mengenai partisipasi sebagai berikut:

“.....participation refers to an active process whereby beneficiaries influence the direction and execution of
development projects rather than mercly receive a share of project benefits”.
Pengertian di atas melihat keterlibatan masyarakat mulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan
keputusan, penikmatan hasil dan evaluasi (Cohen dan Uphoff, 1980 dalam  Nasdian, 2006). Melihat
berbagai pendapat yang ada mengenai pemberdayaan dan partisipasi, maka pemberdayaan dan
partisipasi di tingkat komunitas dapat dikatakan dua konsep yang erat kaitannya (Nasdian, 2006).
Pendapat ini sejalan dengan Craig dan Mayo (1995) dalam Nasdian (2006), yaitu: “empowerment is road
to participation”.

2.1.2.7 Tingkat Partisipasi

Arnstein (1969) dalam  Wazdy (2009)menjelaskan ada delapan tangga partisipasi masyarakat yang
kemudian dikenal dengan tipologi Arnstein. Delapan tingkat partisipasi masyarakat menurut Arnstein
(1969) dalam Wazdy (2009) adalah : 1. Manipulation, bisa diartikan tidak ada komunikasi apalagi dialog;
2. Therapy berarti ada komuniksi namun masih bersifat terbatas, inisiatif dari pemerintah dan hanya satu
arah; 3.Information menyiratkan bahwa komunikasi sudah banyak terjadi tetapi masih bersifat satu arah;
4.Consultation bermakna bahwa komunikasi telah berjalan dua arah; 5.Placation berarti bahwa
komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara masyarakat dan pemerintah, masyarakat
dapat memberi saran tetapi tidak memiliki kewenangan menentukan keputusan (partisipasi semu);
6.Partnership  berarti suatu kondisi pemerintah dan masyarakat merupakan mitra sejajar; 7.Delegated
Power berarti bahwa pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat untuk mengurus sendiri
beberapa keperluannya; dan 8.Citizen Control berarti bahwa masyarakat menguasai kebijakan public
mulai dari perumusan, implementasi hingga evaluasi dan control. Dua tangga ke bawah di kategorikan
sebagai Non-partisipasi; tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai
tingkat tokenism (pertanda) yaitu tingkat peran serta di mana masyarakat di dengar dan berpendapat,
tetapi tidak ada jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang kekuasaan.
Peran serta pada tingkat ini memilki kemungkinan yang sangat kecil menghasilkan perubahan dalam
masyarakat; tiga tangga teratas dikategorikan dalam tingkat kekuasaan masyarakat dalam
mempengaruhi dan proses pengambilan keputusan (Arnstein, 1969 dalam Wazdy, 2009).

Peraturan perundang-undangan CSR


Di Indonesia program CSR semakin menguat setelah dinyatakan dengan tegas dalam UU perseroan
terbatas No.40 tahun 2007, di mana dalam pasal 74 antara lain diatur bahwa :

(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan.atau berkaitan dengan sumber daya
alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

(2) Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana di maksud ayat (1) merupakan kewajiban
perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundanguandangan.

(4) Ketentuan lebih kanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan peraturan
pemerintah. Dalam pasal 74 ayat 1 disebutkan bahwa perseroan (mengacu pada UU No.40/2007 pasal 1
ayat 1 bahwa perseroan diartikan sebagai perseroan terbatas) yang menjalankan usaha di bidang atau
berkaitan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan, namun
tidak dijelaskan apakah hal tanggung jawab yang sama juga diwajibkan bagi entitas usaha yang tidak
berbentuk badan hukum perseroan terbatas. Sehingga, hal ini dapat menimbulkan penafsiran bahwa
entitas usaha yang tidak berbentuk perseroan terbatas tidak diwajibkan untuk melaksanakan tanggung
jawab sosial dan lingkungan (mengacu pada UU No. 40/2007) pasal 1 ayat 3 definisi tanggung jawab
sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan

untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan
dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masayrakat
pada umumnya). Selanjutnya pasal 74 ayat 1 tersebut menimbulkan pertanyaan lain yaitu apakah
perseroan terbatas yang tidak menjalankan kegiatan usaha dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber
daya alam dapat diartikan tidak diwajibkan melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan (CSR).

Selain itu, UU PT tidak menyebutkan secara rinci berapa besaran biaya yang harus dikeluarkan
perusahaan untuk CSR serta sanksi bagi yang melanggar. Pada ayat 2, 3 dan 4 hanya disebutkan bahwa
CSR dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran. PT yang tidak melakukan CSR dikenakan sanksi sesuai
dengan peraturan dan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai CSR ini baru akan diataur
oleh peraturan

pemerintah (belum terbit).

Peraturan lain yang menyinggung CSR adalaha UU No.25 tahun 2007 tentang penanaman modal. Pasal
15 (b) menyatakan bahwa setiap penanaman modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial
perusahaan. Meskipun UU ini telah mengatur sanksi-sanksi secara terperinci terhadap badan usaha atau
usaha perseorangan yang mengabaikan CSR (pasal 34), UU ini baru mampu menjangkau investor asing
dan belum mengatur secara perihal CSR bagi perusahaan nasional.
Program CSR merupakan sebuah komitmen yang menjadi kebutuhan perusahaan itu
sendiri. Jika mampu memberikan manfaat bagi manusia dan lingkungan, perusahaan
tersebut akan mampu bertahan dalam jangka panjang. Karena itulah, pelaksanaan CSR
harus didasari oleh empat motif berikut ini.

 Kewajiban Moral: untuk meraih keberhasilan secara komersial dengan tetap


menghormati etika;
 Keberlanjutan: memenuhi kebutuhan di masa depan.
 Izin operasi: membangun citra perusahaan untuk mendapatkan persetujuan dari
pemerintah dan para pemangku kepentingan.
 Reputasi: menaikkan brand dan reputasi di mata konsumen, investor, dan
karyawan.

Keberhasilan pelaksanaan program CSR sangat ditentukan oleh para pemangku


kepentingan (stakeholder) , yang terdiri dari masyarakat luas,
konsumen, retailer (pengecer), pemasok, pemerintah, karyawan, dan lembaga swadaya
masyarakat.

Corporate social responsibility merupakan komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi
secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas
hidup dari karyawan dan keluarganya, komuniti lokal dan masyarakat secara lebih luas (Sankat,
Clement K, 2002). Berikutnya menurut Dougherty (2003), tanggung jawab sosial merupakan
perkembangan proses untuk mengevaluasi stakeholders dan tuntutan lingkungan serta
implementasi program-program untuk menangani isu-isu sosial. Tanggung jawab sosial berkaitan
dengan kode-kode etik, sumbangan perusahaan program-program community relations dan
tindakan mematuhi hukum. Lebih lanjut dijelaskan oleh Schermerhorn (2003) mendefinisikan CSR
sebagai kewajiban dari suatu perusahaan untuk bertindak dalam cara-cara yang sesuai dengan
kepentingan perusahaan dan kepentingan masyarakat secara luas. The International Organization
of Employers (IOE) mendefinisikan CSR sebagai “initiatives by companies voluntarily integrating
social and environmental concerns in their business operations and in their interaction with their
stakeholders”. Corporate social Responsibility/Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP)
merupakan suatu komitmen perusahaan untuk membangun kualitas kehidupan yang lebih baik
bersama dengan para pihak yang terkait, utamanya masyarakat disekelilingnya dan lingkungan
sosial dimana perusahaan tersebut berada, yang dilakukan terpadu dengan kegiatan usahanya
secara berkelanjutan (Budimanta, 2002).

Tujuan dari CSR adalah (Saputri, 2011):

1. Untuk meningkatkan citra perusahaan, biasanya secara implisit, asumsi bahwa perilaku
perusahaan secara fundamental adalah baik.
2. Untuk membebaskan akuntabilitas organisasi atas dasar asumsi adanya kontrak sosial di antara
organisasi dan masyarakat.
3. Sebagai perpanjangan dari pelaporan keuangan tradisional dan tujuannya adalah untuk
memberikan informasi kepada investor.
Trevino dan Nelson mengkonsepkan CSR sebagai piramid yang terdiri dari empat macam tanggung
jawab yang harus dipertimbangkan secara berkesinambungan, yaitu, hukum, etika dan
berperikemanusian.
1. Tanggung jawab ekonomi
2. Tanggung jawab hukum
3. Tanggung jawab etika
4. Tanggung jawab sosial perusahaan
Bentuk- bentuk implementasi corporate social responsibility seperti :

1. Konsumen, dalam bentuk penggunaan material yang ramah lingkungan, tidak berbahaya.
2. Karyawan, dalam bentuk persamaan hak dan kewajiban atas seluruh karyawan tanpa
membedakan ras, suku, agama, dan golongan.
3. Komunitas dan lingkungan, dalam bentuk kegiatan kemanusiaan maupun lingkungan hidup.
4. Kesehatan dan keamanan, dalam bentuk penjagaan dan pemeliharaan secara rutin atas fasilitas
dan lingkungan kantor.
Keraf menyebutkan beberapa alasan perlunya tanggung jawab sosial perusahaan :

1. Kebutuhan dan harapan masyarakat semakin berubah, masyarakat semakin kritis dan peka
terhadap produk yang akan dibelinya. Sehingga perusahaan tidak bisa hanya memusatkan
perhatianya untuk mendatangkan keuntungan.
2. Terbatasnya sumber daya alam, bisnis diharapkan untuk tidak hanya mengeksploitasi sumber
daya alam yang terbatas, namun harus juga memelihara dan menggunakan sumber daya secara
bijak.
3. Lingkungan sosial yang lebih baik, lingkunagn sosial akan mendukung keberhasilan bisnis untuk
waktu yang panjang, semakin baik lingkungan sosial dengan sendirinya akan ikut memperbaiki
iklim bisnis yang ada. Misalnya dengan semakin menurunnya tingkat penganguran.
4. Perimbangan tanggung jawab dan kekuasaan, kekuasaan yang terlalu besar jika tidak diimbangi
dan dikontrol dengan tanggung jawab sosial akan menyebabkan bisnis menjadi kekuatan yang
merusak masyarakat.
5. Keuntungan jangka panjang, dengan tanggung jawab dan keterlibatan sosial tercipta suatu citra
positif di mata masyarakat, karena terciptanya iklim sosial politik yang kondusif bagi
keberlangsungan bisnis perusahaan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai