Anda di halaman 1dari 46

BAB 2

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Anatomi Fisiologi


2.1.1 Anatomi Tulang
Gambar 1.1 Rangka Manusia

Sumber Data: Suratun, et al. Klien Gangguan Sistem


Moskuloskletal (2008: 6).

Struktur tulang dari jaringan ikat menyusun kurang lebih 25% berat
badan dan otot menyusun kurang lebih 50%. Kesehatan dan fungsi
sistem moskuloskletal sangat bergantung pada sistem tubuh yang lain.
Struktur tulang memberi perlindungan terhadap organ vital, termasuk
otak, jantung dan paru. Kerangka tulang merupakan kerangka yang
kuat untuk menyangga struktur tubuh.

6
7

2.1.1.1 Pembagian skletal


a. Axial skeleton terdiri dari kerangka tulang kepala dan
leher, tengkorak, kolumna vertebrae, tulang iga, tulang
hioid sternum.
b. Apendikular skeleton terdiri dari:
1) Kerangka tulang lengan dan kaki
2) Ekstremitas atas (skapula, klavikula, humerus, ulna,
radial) dan tangan (karpal, metakarpal, falang)
c. Ekstremitas bawah (tulang pelvik, femur, patela, tibia,
fibula) dan kaki (tarsal, metatarsal, falang) (Suratun, et
al. 2008: 3)

2.1.1.2 Tulang dapat diklasifikasikandalam lima kelompok yaitu:


a. Tulang panjang (Femur, Humerus) terdiri dari batang
tebal panjang yang disebut diafisis dan dua ujung yang
disebut epifisis. Di sebelah proksimal dari epifisis
terdapat metafisis. Di antara epifisis dan metafisis
terdapat daerah tulang rawan yang tumbuh, yang disebut
lempeng epifisis atau lempeng pertumbuhan. Tulang
panjang tumbuh karena akumulasi tulang rawan di
lempeng epifisis. Tulang rawan digantikan oleh sel-sel
tulang yang dihasilkan oleh osteoblas, dan tulang
memanjang. Batang dibentuk oleh jaringan tulang yang
padat. Epifisis dibentuk dari spongi bone (cancellus atau
trabecular). Pada akhir tahun remaja tulang rawan habis,
lempeng epifisis berfusi, dan tulang berhenti tumbuh.
Hormon pertumbuhan, esterogen, dan testosteron
merangsang pertumbuhan tulang panjang. Esterogen,
bersama dengan testosteron, merangsang fusi lempeng
epifisis. Batang suatu tulang panjang memiliki rongga
8

yang disebut kanalis medularis. Kanalis medularis berisi


sumsum tulang.
b. Tulang pendek (carpals) bentuknya tidak teratur dan inti
dari cancellus (spongy) dengan suatu lapisan luar dari
tulang yang padat.
c. Tulang pendek datar (tengkorak) terdiri atas dua lapisan
tulang padat dengan lapisan luar adalah tulang concellus.
d. Tulang yang tidak beraturan (vertebrata) sama seperti
dengan tulang pendek.
e. Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak
disekitar tulang yang berdekata dengan persendian dan
didukung oleh tendon dan jaringan fasial, misalnya
patella (kap lutut) (Abdul Wahid, 2013: 2)

Gambar 2.2 Tulang Femur

Sumber Data: Syaifuddin. Anatomi Fisiologi (2011: 106)


9

Tulang femur atau tulang paha pada ujung proksimalnya terdapat


kaput femoris yang bulat sesuai dengan mangkok sendi (asetabulum).
Kolumna femoris menghubungkan kaput femoris dengan korpus
femoris. Di tengah kaput femoris terdapat lekuk kecil yang dinamakan
fovea kapitalis tempat melekat ligamentum teres femoralis yang
menghubungkan kaput femoris dengan fosa asetbulum. Bagian lateral
dari kolumna femoris terdapat trokhanter mayor dan bagian medial
trokhanter minor keduanya dihubungkan oleh krista interokhanterika.
Antara trokhanter mayor dan kolumna femoris terdapat lekuk yang
agak dalam disebut fosa trokhanterika. Pada dataran belakang tengah
os femur terdapat line aspera. Ujung distal femur mempunyai dua
bongkol sendi, kondilus lateralis dan kondilus medialis. Diantara
keduanya bagian belakang terdapat lekukan fosa interkondiloid.
Bagian medial dari kondilus medialis terdapat tonjolan kecil
epikondilus medialis femoralis dan sebelah lateral epikondilus
lateralis (Syarifuddin, 2011: 105)

Tulang tersusun atas sel, matriks protein dan deposit mineral. Sel-
selnya terdiri atas tiga jenis dasar osteoblas, osteosit, dan osteoklas.
Osteoblas berfungsi dalam pembentukan tulang dengan mensek-
resikan matriks tulang. Matriks tersusun atas 98% kolagen dan 2%
substansi dasar (glukosaminoglikan, asam poli sakarida, dan
proteoglikan). Matriks merupakan kerangka dimana garam-garam
mineral anorganik ditimbun. Osteosit adalah sel dewasa yang terlibat
dalam pemeliharaan fungsi tulang dan terletak dalam osteon (unit
matriks tulang). Osteoklas adalah sel multinuclear (berinti banyak)
yang berperan dalam penghancuran, resorpsi dan remodeling tulang.

Osteon merupakan unit fungsional mikroskopis tulang dewasa.


Ditengah osteon terdapat kapiler. Dikelilingi kapiler tersebut
10

merupakan matriks tulang yang dinamakan lamella. Didalam lamella


terdapat osteosit, yang memperoleh nutrisi melalui prosesus yang
berlanjut kedalam kanalikuli yang halus (kanal yang menghubungkan
dengan pembuluh darah yang terletak sejauh kurang dari 0,1 mm).

Tulang diselimuti dibagian oleh membran fibrous padat dinamakan


periosteum. Periosteum memberi nutrisi ke tulang dan memung-
kinkannya tumbuh, selain sebagi perlekatan tendon dan ligamen.
Periosteum mengandung saraf, pembuluh darah, dan limfatik. Lapisan
yang paling dekat dengan tulang mengandung osteoblast, yang
merupakan sel pembentuk tulang.

Endosteum adalah membran vaskuler tipis yang menutupi rongga


sumsum tulang panjang dan rongga-rongga dalam tulang kanselus.
Osteoklas yang melarutkan tulang untuk memelihara rongga sumsum,
terletak dekat endosteum dan dalam lacuna Howship (cekungan pada
permukaan tulang).

Gambar 2.3 Anatomi Tulang Panjang

Sumber Data: Abdul Wahid. Asuhan Keprawatan dengan Gangguan


Moskuloskletal (2013: 4)
11

Struktur tulang dewasa terdiri dari 30% bahan organik (hidup) dan
70% endapan garam. Bahan organik disebut matriks, dan terdiri dari
lebih dari 90% serat kolagen dan kurang dari 10% proteoglikan
(protein plus sakarida). Deposit garam terutama kalsium dan fosfat,
dengan sedikit natrium, kalium karbonat, dan ion magnesium. Garam-
garam menutupi matriks dan berikatan dengan serat kolagen melalui
proteoglikan. Adanya bahan organik menyebabkan tulang memiliki
kekuatan tensif (resistensi terhadap tarikan yang meregangkan).
Sedangkan garam-garam menyebabkan tulang memiliki kekuatan
kompresi (kemampuan menahan tekanan).

Pembentukan tulang berlangsung secara terus menerus dan dapat


berupa pemanjangan dan penebalan tulang. Kecepatan pembentukan
tulang berubah selama hidup. Pembentukan tulang dirangsang
hormon, faktor makanan, dan jumlah stres yang dibebankan pada
suatu tulang, dan terjadi akibat sel-sel pembentuk tulang yaitu
osteoblast.

Osteoblast dijumpai dipermukaan luar dan dalam tulang. Osteoblas


berespon terhadap berbagai sinyal kimiawi untuk menghasilkan
matriks tulang. Sewaktu pertama kali dibentuk, matriks tulang disebut
osteoid. Dalam beberapa hari garam-garam kalsium mulai mengendap
pada osteoid dan mengeras dalam beberapa minggu atau bulan
berikutnya. Sebagian osteoblast tetap menjadi bagian dari osteoid, dan
disebut osteosit atau tulang sejati. Seiring dengan terbentuknya tulang,
osteosit dimatriks membentuk tonjolan-tonjolan yang menghu-
bungkan osteosit satu dengan osteosit lainnya membentuk suatu
sistem saluran mikroskopik di tulang.

Kalsium adalah salah satu komponen yang berperan terhadap tulang,


sebagian ion kalsium di tulang tidak mengalami kristalisasi. Garam
12

non kristal ini dianggap sebagai kalsium yang dapat dipertaruhkan,


yaitu dapat dipindahkan dengan cepat antara tulang, cairan
interstisium, dan darah.

Sedangkan penguraian tulang disebut absorpsi, terjadi secara


bersamaan dengan pembentukan tulang. Penyerapan tulang terjadi
karena aktivitas sel-sel yang disebut osteoklas. Osteoklas adalah sel
fagositik multinukleus besar yang berasal dari sel-sel mirip monosit
yang terdapat ditulang. Osteoklas tampaknya mengeluarkan berbagai
asam dan enzim yang mencerna tulang dan memudahkan fagositosis.
Osteoklas biasanya terdapat pada hanya sebagian kecil dari potongan
tulang, dan memfagosit tulang sedikit demi sedikit. Setelah selesai di
suatu daerah, osteoklas menghilang dan muncul osteoblas. Osteoblas
mulai mengisi daerah yang kosong tersebut dengan tulang baru.
Proses ini memungkinkan tulang tua yang telah melemah diganti
dengan tulang yang baru yang lebih kuat.

Keseimbangan antara aktivitas osteoblas dan osteoklas menyebabkan


tulang terus menerus diperbarui atau mengalami remodeling. pada
anak dan remaja, aktivitas osteoblas melebihi aktivitas osteoklas,
sehingga kerangka menjadi lebih panjang dan menebal. Aktivitas
osteoblas juga melebihi aktivitas osteoklas pada tulang yang pulih dari
fraktur. Pada orang dewasa muda, aktivitas osteoblas dan osteoklas
biasanya setara, sehingga jumlah massa tulang konstan. Pada usia
pertengahan, aktivitas osteoklas melebihi aktivitas osteoblas dan
kepadatan tulang mulai berkurang. Aktivitas osteoklas juga
meningkat pada tulang-tulang yang mengalami imobilisasi. Pada usia
dekade ketujuh atau kedelapan, dominasi aktivitas osteoklas dapat
menyebabkan tulang menjadi rapuh sehingga mudah patah. Aktivitas
osteoblas dan osteoklas di kontrol oleh beberapa faktor fisik dan
hormon.
13

Faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoblas dirangsang oleh


olahraga dan stres beban akibat arus listrik yang terbentuk suatu stres
mengenai tulang. Fraktur tulang secara derastis merangsang aktivitas
osteoblas, tetapi mekanisme pastinya belum jelas. Esterogen,
testosteron, dan hormon pertumbuhan adalah promotor kuat bagi
aktivitas osteoblas dan pertumbuhan tulang. Pertumbuhan tulang
dipercepat semasa pubertas akibat melonjaknya kadar hormon-
hormon tersebut. Esterogen dan testosteron akhirnya menyebabkan
tulang-tulang panjang berhenti dengan merangsang penutupan
lempeng epifisis (ujung pertumbuhan tulang). Sewaktu kadar
esterogen turun pada masa menopaus, aktivitas osteoblas berkurang.
Defisiensi hormon pertumbuhan juga mengganggu pertumbuhan
tulang.

Vitamin D dalam jumlah kecil merangsang kalsifikasi tulang secara


langsung dengan bekerja pada osteoblas dan secara tidak lansung
dengan merangsang penyerapan kalsium di usus. Hal ini
meningkatkan konsentrasi kalsium darah, yang mendorong kalsifikasi
tulang. Namun, vitamin D dalm jumlah besar meningkatkan kadar
kalsium serum dengan meningkatkan penguraian tulang. Dengan
demikian, vitamin D dalam jumlah besar tanpa diimbangi kalsium
yang adekuat dalam makanan dapat menyebabkan absorpsi tulang.

Adapun faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoklas terutama


dikontrol oleh hormon paratiroid. Hormon para tiroid dilepaskan oleh
kelenjar para tiroid yang terletak tepat dibelakang kelenjar tiroid.
Pelepasan hormon para tiroid meningkat sebagai respon terhadap
penurunan kadar kalsium serum. Hormon paratiroid meningkatkan
aktivitas osteoklas dan merangsang pemecahan tulang untuk
membebaskan kalsium kedalak darah. Peningkatan kalsium serum
bekerja secara umpan bailk negatif untuk menurunkan pengeluaran
14

hormon paratiroid lebih lanjut. Estrogen tampaknya mengurangi


hormon paratiroid pada osteoklas.

Efek lain hormon paratiroid adalah meningkatkan kalsium serum


dengan menurunkan sekresi kalsium oleh ginjal. Hormon paratiroid
meningkatkan ekskresi ion fosfat oleh ginjal sehingga menurunkan
kadar fosat darah. Pengaktifan vitamin D di ginjal bergantung pada
hormon paratiroid. Sedangkan kalsium adalah suatu hormon yang
dikeluarkan oleh kelenjar tiroid sebagai terhadap peningkatan kadar
kasium serum. Kalsitonin meliliki sedikit efek menghambat aktivitas
dan pembentukan osteoklas. Efek efek ini meningkatkan klasifikasi
tulang sehingga menurunkan kadar kalsium serum

2.2 Pengertian Fraktur Femur


Menurut Mansjoer Etal, (2000) yang dikutip oleh Abdul Wahid (2013: 8)
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa.

“Frakture Traumatic injury to a bone that occurs when a force exerted upon
the bone is stronger than it can withstand” (Gayle McKenzie &Tanya Porter
2011: 370).

“A fracture is a disruption or break in the continuity of the structur of bone.


Traumatic injuries account for the majority of fractures, although some
fractures are secondary to a disease process (pathologic fracture from cancer
or osteoporosis)” ( Sharon L. Lewis, et al. 2011: 228).

Menurut Soedarman (2000) yang dikutip oleh Abdul Wahid (2013: 8) Patah
tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak ada hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar.
15

Menurut FKUI (1995) sebagai mana dikutip oleh Sugeng Jitowiyono & Weni
Kristiyanasari (2012: 15) fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas
batang femur yang bisa terjad akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas,
jatuh dari ketinggian). Dan biasanya lebih banyak dialami oleh laki-laki
dewasa. Patah pada daerah ini dapat menimbulkan pendarahan yang cukup
banyak, mengakibatkan penderita jatuh dalam syok.

Fraktur femur tertutup atau patah tulang paha tertutup adalah hilangnya
kontinuitas tulang paha tanpa disertai kerusakan jaringan kulit yang dapat
disebabkan oleh trauma langsung atau kondisi tertentu, seperti degenerasi
tulang (osteoporosis) dan tumor atau keganasan tulang paha yang
menyebabkan fraktur patologis (Arif Muttaqin, 2011: 222)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fraktur femur tertutup adalah


terputusnya kontinuitas jaringan tulang femur yang disebabkan adanya
trauma langsung dan degenerasi tulang (osteoporosis), dimana tidak ada
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.

2.3 Klasifikasi
Menurut Abdul Wahid (2013: 9) penampilan fraktur dapat sangat bervariasi
tetapi untuk alasan yang praktis, dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
2.3.1 Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan)
2.3.1.1 Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2.3.1.2 Fraktur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.
16

Gambar 2.4 Fraktur Terbuka dan Fraktur Tertutup

Sumber Data: Suratun, et al. Klien Gangguan Sistem


Moskuloskletal (2008: 153).

2.3.2 Berdasarkan komplit atau ketidak komplitan fraktur.


2.3.2.1 Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang
tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada
foto.
2.3.2.2 Fraktur inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang seperti:
a. Hairline fracture/stress frakture adalah salah satu jenis
fraktur tidak lengkap pada tulang. Hal ini disebabkan
oleh ”stress yang tidak biasa atau berulang-ulang” dan
juga karena berat badan terus menerus pada pergelangan
kaki atau kaki. Hal ini berbeda dengan jenis patah tulang
yang lain, yang biasanya ditandai dengan tanda yang
jelas. Hal ini dapat digambarkan dengan garis sangat
kecil atau retak pada tulang, ini biasanya terjadi di tibia,
metatarsal (tulang kaki), dan walau tidak umum
biasanya terjadi pada tulang femur. Hairline
fracture/stress frakture umum terjadi pada cedera
olahraga, dan kebanyakan kasus berhubungan dengan
olahraga.
17

b. Buck atau torus facture, bila terjadi lipatan dari satu


korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c. Green stick fracture, mengenai satu korteks dengan
angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang
panjang.

Gambar 2.5 Fraktur Komplit dan Fraktur Tidak Komplit

Sumber Data: Suratun, et al. Klien Gangguan Sistem


Moskuloskletal (2008: 153).

2.3.3 Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme


trauma
2.3.3.1 Fraktur transversal: fraktur yang arahnya melintang pada
tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2.3.3.2 Fraktur oblik: fraktur yang arah garis patahannya membentuk
sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat tauma
angulasi juga.
2.3.3.3 Fraktur spiral: fraktur yang arah garis patahannya berbentuk
spiral yang disebabkan trauma rotasi.
2.3.3.4 Fraktur kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial
fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan yang lain.
18

2.3.3.5 Fraktur avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma


tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.

Gambar 2.6 Fraktur Berdasarkan Bentuk Garis Patahan

Sumber Data: Kholid Rosyidi. Moskuloskletal. (2013: 38)

2.3.4 Berdasarkan jumlah garis patah


2.3.4.1 Fraktur komunitif: fraktur dimana garispatah lebih dari satu
dan saling berhubungan.
2.3.4.2 Fraktur segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu
tapi tidak berhubngan.
2.3.4.3 Fraktur multipe: fraktur dimana garis patah lebih dari satu
tapi tidak pada tulang yang sama.

Gambar 2.7 Fraktur Berdasarkan Jumlah Garis Patahan

Sumber Data: Kholid Rosyidi. Moskuloskletal. (2013: 38)


19

2.3.5 Berdasarkan pergeseran fragmen tulang


2.3.5.1 Fraktur undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap
tetapi kedua fragmen tidak bergeser dan priosteum masih
utuh.
2.3.5.2 Fraktur displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen
tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a. Dislokasi ad longitudinam cum contractionum
(pergeseran searah sumbu dan overlapping).
b. Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c. Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen
saling menjauh).

2.3.6 Berdasarkan posisi fraktur


Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian:
2.3.6.1 1/3 proksimal
2.3.6.2 1/3 medial
2.3.6.3 1/3 distal

2.3.7 Fraktur kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang- ulang.


2.3.8 Fraktur patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis
tulang.

2.4 Etiologi
Menurut Abdul Wahid (2013: 8) Etiologi fraktur yaitu:
2.4.1 Kekerasan/trauma langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan
garis patah melintang atau miring.
20

2.4.2 Kekerasan tidak langsung


Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.

2.4.3 Kekerasan akibat tarikan otot


Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, dan penekanan, kombinasi dari
ketiganya, dan penarikan.

2.5 Patofisiologi
Menurut Arif Muttaqin (2013: 222) patofisiologi fraktur femur tertutup yaitu:
Pada kondisi trauma, diperlukan gaya yang besar untuk mematahkan batang
femur individu dewasa. Kebanyakan fraktur ini terjadi pada pria muda yang
mengalami kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari ketinggian.
Biasanya pasien ini mengalami trauma multipel yang menyertainya. Kondisi
degenerasi tulang (osteoporosis) atau keganasan tulang paha yang
menyebabkan fraktur patologis tanpa riwayat trauma, memadai untuk
mematahkan tulang femur.

Kerusakan neurovaskular menimbulkan manifestasi peningkatan resiko syok


hipovolemik karena kehilangan darah banyak kedalam jaringan maupun syok
neurogenik karena nyeri yang sangat hebat yang dialami klien.

Respon terhadap pembengkakan yang hebat adalah sindrom kompartemen.


Sindrom kompartemen adalah suatu keadaan terjebaknya otot, pembuluh
darah, jaringan saraf akibat pembengkakan lokal yang melebihi kemampuan
suatu kompertemen/ruang lokal dengan manifestasi gejala yang khas,
meliputi keluhan nyeri hebat pada area pembengkakan, penurunan perfusi
perifer secara unilateral pada sisi distal pembengkakan, penurunan denyut
nadi pada sisi distal pembengkakan. Komplikasi yang terjadi akibat situasi ini
21

adalah kematian jaringan bagian distal dan memberikan implikasi pada peran
perawat memberi kontrol yang optimal terhadap pembengkakan yang hebat
pada klien fraktur femur.

Kerusakan fragmen tulang diikuti dengan spasme otot paha yang


menimbulkan deformitas khas pada paha, yaitu pemendekan tungkai bawah.
Apabila kondisi ini berlanjut tanpa dilakukan intervensi yang optimal, akan
menimbulkan resiko terjadinya malunion pada tulang femur.

Intervensi medis dengan penatalaksanaan pemasangan fiksasi interna dan


fiksasi eksterna memberikan implikasi pada masalah resiko tinggi infeksi
pasca-bedah, nyeri akibat trauma jaringan lunak, resiko tinggi trauma
sekunder akibat pemasangan fiksasi eksterna, dampak psikologis ansietas
sekunder akibat rencana bedah dan prognosis penyakit dan pemenuhan
infomasi.
22

Bagan 2.1 Patofisiologi Fraktur Femur Tertutup

Trauma pada paha, Osteoporosis, Tumor dan


keganasan pada paha

Ketidakmampuan tulang femur dalam


menahan beban

Fraktur Femur tertutup

Terputusnya Malunion, non-union Kerusakan Pada


hubungan tulang dan delayet union Jaringan lunak

Ketidak mampuan
melakukan Terapi Imobilisasi
pergerakan kaki Traksi Kerusakan Saraf
Terapi bedah Spasme Otot
Fiksasi internal
dan fiksasi eksternal
Hambatan Nyeri
mobilitas fisik,
resiko tinggi Kerusakan
Vaskular
trauma

Ketidak tahuan Pembengkakan


teknik mobiliasi Paska Bedah lokal
Respon
Psikologis

Resiko malunion, Port de Endree


Kecemasan kontraktur sendi Resiko
Sindrom
Resiko tinggi kompertemen
Pemenuhan Informasi infeksi

Sumber Data: Arif Muttaqin, Buku Saku Gangguan moskuloskletal: Aplikasi pada
Praktik Klinik. (2013:223)
23

2.6 Manifestasi Klinis


Menurut Amin Huda Nurarif & Kusuma Hardi (2015: 9) manifestasi fraktur
yaitu:
2.6.1 Tidak dapat menggunakan anggota gerak
2.6.2 Nyeri pembengkakan
2.6.3 Terdapat trauma (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian atau
jatuh di kamar mandi pada orang tua, penganiayaan, tertimpa benda
berat, kecelakaan kerja, trauma olah raga)
2.6.4 Gangguan fungsi anggota gerak
2.6.5 Deformitas
2.6.6 Kelainan gerak
2.6.7 Krepitasi atau datang dengan gejala-gejala lain

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Menurut Amin Huda Nurarif & Kusuma Hardi (2015: 10) manifestasi fraktur
yaitu:
2.7.1 X-ray: menentukan lokasi/luasnya fraktur
2.7.2 Scan tulang: memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak
2.7.3 Arteriogram: dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler
2.7.4 Hitung darah lengkap: hemokonsentasi mungkin meningkat, menurun
pada pendarahan; peningkatan leukosit sebagai respon terhadap
peradangan
2.7.5 Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal
2.7.6 Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi atau cedera hati.
24

2.8 Penatalaksanaan Medis


Menurut Abdul Wahid (2013: 12) tindakan untuk fraktur yaitu:
2.8.1 Fraktur terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh
bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam
(golden priod). Hal yang perlu dilakukan adalah:
2.8.1.1 Pembersihan luka
2.8.1.2 Eksisi jaringan mati/debridement
2.8.1.3 Hecting situasi
2.8.1.4 Antibiotik

2.8.2 Seluruh fraktur


2.8.2.1 Rekognisi/pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk menentukan diaknosa dan
tindakan selanjutnya.

2.8.2.2 Reduksi/manipulasi/reposisi
Menurut Brunner, (2001) yang dikutip oleh Abdul Wahid
(2013: 13) Upaya untuk manipulasi fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimum. Dapat juga diartikan
reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan
fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis

Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan


untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih
tergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya
tetap, sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur
sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak
kehilangan elasitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi
semakin sulit bila cedera sudah mengalami penyembuhan.
25

Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus


dipersiapkan untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin
untuk melakukan prosedur, dan analgetik diberikan sesuai
ketentuan. Mungkin diperlukan anastesi. Ekstremitas yang
akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut.

Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup


dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang
keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan
manipulasi dan traksi manual.

Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan,


sementara gips, bidai, da alat lain dipasang oleh dokter. Alat
imobilisasi akan menjadi reduksi dan menstabilkan
ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus
dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang teah
dalam kesejajaran yang benar.

Traksi. Traksi dapat digunakn untuk mendapatkan efek


reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan
spasme otot yang terjadi. Sinar-x digunakn untuk memantau
reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika
tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-
x. Ketika kalus sudah kuat dapat dipasang gips atau bidai
untuk melanjutkan imobilisasi.

Reduksi terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi


terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang
direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat,
skrup, plat paku, atau batang logam digunakan untuk
26

mempertahankan fragmen tulang dalm posisinya sampai


penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat
diletakkan disisi tulang atau langsung kerongga sumsum
tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang
kuat bagi fragmen tulang.

2.8.2.3 Reyensi/imobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang
sehingga kembalis seperti semula secara optimal. Imobilisasi
fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran
yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode
fiksasi interna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan
logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan
sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.

2.8.2.4 Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala
diupayakan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak.
Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai
kebutuhan. Status neurovaskuler (misalnya pengkajian
peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli
bedah ortopedi diberi tahu segera bila ada gangguan
neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan
dikontrol dengan berbagai pendekatan (misalnya
meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaran nyeri,
termasuk analgetik). Latihan isometrik dan seting otot
diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan
meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas
27

semula diusahakan sesuai batasan terapeutik. Biasanya,


fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli
bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur,
menentukan luasnya gerakan dan stres pada ekstremitas yang
diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan beban
berat badan.

2.9 Prognosis
Area fraktur perlu dikenali (via sinar x) diperlakukan dengan baik untuk
mendapatkan kesembuhan. Area yang patah biasanya perlu disetel kembali
dan kemudian dilumpuhkan (imobilisasi) untuk memungkinkan
penyembuhan. Selama waktu imobilisasi, sel tulang masuk kedalam area
unttuk membangun kembali tulang baru guna memperbaiki area yang rusak.
Priode imobilisasi biasanya 6 sampai 8 minggu, tergantung tingkat dan lokasi
kerusakan. Kekuatan struktural yang penuh biasanya belum kembali sampai
beberapa bulan setelah fraktur, bergantung pada lokasi dan ukuran fraktur.
Waktu untuk penyembuhan penuh bervariasi dari 6 minggu pada orang
dewasa muda yang sehat dengan patah tulang biasa hingga hingga dua bulan
pada pasien lebih tua dengan permasalahan kesehatan lain. Pasien lebih tua
mempunyai tingkat morbiditas dan mortalitas yang signifikan setelah retak
pinggul.

Komplikasi setelah retak meliputi sindrrom kompartemen, embolisme lemak


(penyumbatan pembuluh darah), trombosis vena dalam (TVD), penyatuan
(union), pemisahan (nonunion), atau pembengkakan yang tertunda. Sindrom
kompartemen terjadi ketika tekanan berlebihan membangun di dalam suatu
sarung pelindung kompartemen otot. Tekanan mungkin berasal dari sumber
tekanan eksternal dan internal. Ini yang paling umum dengan retak yang
menyertakan kaki yang lebih rendah atau tangan yang lebh rendah. Fat
globules dapat dilepaskan dari sumsung tulang kuning kedalam aliran darah
dan teremboli kearea lain tubuh. Resiko untuk ini paling tinggi pada pasien
28

pria berumur antara 18 hingga 40. Berkurangnya mobilitas diikuti fraktur


akan meningkatkan resiko TVD. Merokok, obesitas, penyakit jantung, dan
operasi tubuh bagian bawah, seluruhnya meningkatkan resiko ini. Penyatuan
yang tertunda adalah ketika suatu fraktur belum menyambung dalam 6 bulan,
meskipun perawatannya tepat. Nonunion adalah suatu lokasi fraktur yang
tidak biasa sembuh sempurna. Pembengkokan adalah ketika lokasi fraktur
sembuh, tetapi keseluruhan anatomis tidak sebagai mana seharusnya.

Kelemahan otot terjadi pada area yang tidak digerakkan terapi fisik dapat
membantu pasien untuk mendapatkan kembali kekuatan fungsional penuh
area tersebut (Mary DiGIulio, et al. 20014: 271).

2.10 Proses Penyembuhan Tulang


Kholid Rosyidi (2013: 43) mengatakan bahwa, Tulang bisa beregenerasi
sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk
menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru di
antara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel
tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
2.10.1 Stadium satu-Pembentukan hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma di sekitar daerah
fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang
rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast.
Stadium ini berlangsung 24-48 jam dan perdarahan berhenti sama
sekali.

2.10.2 Stadium dua-Proliferasi seluler


Pada stadium ini terjadi ploriferasi dan differensiasi sel menjadi fibro
kartilago yang berasal dari periosteum, endosteum, dan bone marrow
yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini
terus masuk kedalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah
osteoblast bergenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam
29

beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua


fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah
fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.

2.10.3 Stadium tiga-pembentukan kalus


Sel-sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan
osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai
membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi
oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan
mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan
tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kalus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur
anyaman tulang menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat
fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.

2.10.4 Stadium empat_konsolidasi


Bila aktivitas osteoklas dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang
berubah menjadi lammelar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan
memungkinkan osteoklast menerobos melalui reruntuhan pada garis
fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoklast mengisi celah-celah yang
tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses
yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat
untuk membawa bebean yang normal.

2.10.5 Stadium lima_remodeling


Fraktur telah dijembatani oleh suatu menset tulang yang padat.
Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk
ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus
menerus. Lamella yang lebih tebal dietakkan pada tempat yang
tekenanya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang,
30

rongga sumsum di bentuk, dan akhirnya di bentuk struktur yang mirip


dengan normalnya.

Gambar 2.8 Proses Penyembuhan Kalus

Sumber Data: Abdul Wahid. Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan


Sistem Moskuloskletal. (2013: 18)

2.11 Komplikasi
Menurut Abdul Wahid (2013: 19) komplikasi dari fraktur yaitu:
2.11.1 Komplikasi Awal
2.11.1.1 Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak
adanya nadi, CRT menurun, sianosis bagian distal,
hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang
31

disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan


posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.

2.11.1.2 Kompartement sindrom


Kompartement sindrom merupakan komplikasi serius yang
terjadi karena terjebaknya otot, tulang , saraf, dan pembuluh
darah dalam jaringan perut. ini disebabkan oleh odema atau
perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah.
selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan
pembebatan yang terlalu kuat.

2.11.1.3 Fat embolism syndrom


Fat embolism syndrome (FES) adalah komplikasi serius yang
sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi
karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning
masuk kealiran darah dan menyebabkan tingkat oksigen
dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan
pernafasan, takikardi, hipertensi, takepnea, demam.

2.11.1.4 Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma orthopedik infeksi dimulai pada kulit
(superfisial) dan masuk kedalam. Ini biasanya terjadi pada
kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.

2.11.1.5 Avaskuler nekrosis


Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah
ketulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan
nekrosis tulang dan diawali dengan adanya volkman’s
Ischemia.
32

2.11.1.6 Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.

2.11.2 Komplikasi Dalam Waktu Lama


2.11.2.1 Delayed Union Delayed union merupakan kegagalan fraktur
berkonsulidasi (bergabung) sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan
karena penurunan suplai darah ke tulang.

2.11.2.2 Non union


Non union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil
setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya
pergerakan yang berlebihan pada sisi fraktur yang
membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. ini juga
disebabkan karena aliran darah yang kurang.

2.11.2.3 Mal union


Mal union merupakan penyembuhan tulang di tandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk
(deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan
reimobilisasi yang baik.

2.12 Tinjauna Teoritis Asuhan Keperawatan Fraktur


Menurut Abdul Wahid (2013: 22) di dalam memberikan asuhan keperawtan
digunakan system atau metode proses keperawatan yang dalam
pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahapan, yaitu pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
33

2.12.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap
tindakan keperawatan keberhasilan proses keperawatan sangat
bergantung pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
Anamnesa
2.12.1.1 Pengumpulan data
a. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur alamat, agama,
bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan,
pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. Register,
tanggal MRS, diaknosa medis.
b. Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah
rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik
tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh
pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan:
1) Profoking incident: apakah ada peristiwa yang
menjadi faktor prespitasi nyeri.
2) Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang
dirasakan atau di gambarkan klien. Apakah seperti
terbakar, berdenyut atau menusuk.
3) Region: radiation, relief, apakah rasa sakit bisa reda,
apakah rasa sakit menjalar atu mnyebar, dan dimana
rasa sakit terjadi.
4) Severity (scale) of pain: seberapa jauh nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan sekala nyeri atau
klie menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsional.
34

5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan,


apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang
hari.
c. Riwayat penyakit sekarang
Menurut Ignatavicius, Donna D, (2006) yang dikutip
oleh Abdul Wahid (2013: 23) Pengumpulan data yang
dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya
penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang
terkena. Selain itu, dengan mengetahu mekanisme
terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan
yang lain
d. Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab
fraktur dan memberi petunjuk beberapa lama tulang
tersebut akan menyambung. seperti penyakit-penyakit
tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang
menyebabkan faktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka
di kaki sangat beresiko terjadinya osteomielitis akut
maupun kronik dan juga diabetes melambat proses
penyembuhan tulang.
e. Riwayat penyakt keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit
tulang merupakan salah satu faktor predisposisi
terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, daun kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
35

f. Riwayat psikososial
Merupakan respon emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat beserta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga ataupun
dalam masyarakat.
g. Pola-pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus
menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup keren
seperti penggunaan obat steroid yang dapat
mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsum-
sian alkohol yang bisa mengganggu keseim-
bangannya dan apakah klien melakukan olahraga
atau tidak.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Page lain waktu harus mengkonsumsi nutrisi
melebihi kebutuhan sehari-hari nya seperti kalsium,
zat besi, protein, vitamin C, dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan tulang. evaluasi
terhadap pola nutrisi lain bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal
dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang
tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan
terpapar sinar matahari yang kurang merupakan
faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. selain itu juga obesitas juga
36

mengemban menghambat degenerasi dan mobilitas


klien.
3) Pola eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan
padapola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga
dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feses
pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola
eliminasi urin di kaji frekuensi, kepekatannya,
warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola Ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak. pola tidur dan
istirahat. semua klien faktor timbul rasa nyeri,
keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur. selain itu
juga pengkajian dilakukan pada lamanya tidur,
suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan
tidur menggunakan obat tidur.
4) Pola aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keyterbatasan gerak maka
semua benuk kegiatan klien menjadi berkurang dan
semua kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh
orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
bentuk aktivitas klie terutama pekerjaan klien.
Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko
untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang
lain.
5) Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat
inap.
37

6) Pola persepsi dan konsep diri


Dampak yang timbul pada klien fraktur timbul
ketidakkuatan akan kecacatan akibat frakturnya,
rasa cemas dan ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap
dirinya yang salah (gangguan gambaran tubuh).
7) Pola sensori dan kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama
pada bagian distal fraktur, sedang pada indra yang
lain tidak timbul gangguan. Begitu juga pada
kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu
juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
8) Pola reproduksi seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus
menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta
rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu
dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak,
lama perkawinannya.
9) Pola pennggulangan stree
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang
keadaan dirinya, yaitu ketidakuatan timbul
kecacatan pada dirinya dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak
efektif.
10) Pola tata nilai dan keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan
kebutuhan beribadah terutama frekuensi dan
konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri
dan keterbatasan gerak pasien.
38

2.12.1.2 Pemeriksaan fisik


Dibagi mennjadi dua yaitu pemeriksaan umum (status
generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan
pemeriksaan setampat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat
melaksanakan total care karena ada kecendrungan dimana
ada spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih
sempit tetapi lebih mendalam.
a. Gambaran umum
Perlu menyebutkan:
1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat
adalah tanda-tanda seperti:
a) Kesadaran penderita: apats, sopor, koma,
gelisah, komposmentis tergantung pada
keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik,
ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur
biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada
gangguan baik fungsi maupun bentuk
2) Sescara sistemik dari kepala sampai kelamin
a) Sistem integumen
Terdapat erytema, suhu daerah sekitar trauma
meningkat, bengkak, oedem, nyeri tekan.
b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik,
simetris tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri
kepala.
c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, yaitu tidak
ada penonjolan, reflek menelan ada.
39

d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak
ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada
lesi, simetris, tak ada oedema.
e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjung tiva tidak
anemis (karena tidak terjadi pendarahan).
f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan
normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
g) Hidung
Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan
cuping hidung.
h) mulut dan faring
tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
pendarahan, mukosa mulut tidak pucat.
i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intracostae, gerakan
dada simetris.
j) Paru
 Inspksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidak-
nya tergantung pada riwayat penyakit klien
yang berhubungan dengan paru.
 Palpasi
Pergerakan sama atau simetris.
 Perkusi
Suara ketok sonor, tidak ada redup atau
suara tambahan lainnya.
40

 Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau
suara tambahan lainnya seperti stridor dan
ronchi.
k) Jantung
 Inspeksi
Tidak tampak iktus kordis
 Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba
 Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tidak ada mur-
mur.
l) Abdomen
 Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
 Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands moskuer,
hepar tidak teraba.
 Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelembung
cairan.
 Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
m) Inguinal- genetalia anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak
ada kesulitan BAB
b. Keadaan lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian
distal terutama mengenai status neurovaskuler (untuk
status neurovaskuler → 5P yaiu pain, palor, parestesia,
41

pulse, pergerakan). Pemeriksaan pada sistem moskulo-


skletal adalah:
1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami
maupun buatan seperti bekas oprasi)
b) Cape au lait spot (birth mark)
Cape au lait spot adalah penampakan kurang
lebih sebesar uang logam. Diameternya bisa
sampai 5 cm yang didalamnya berisi bintik-
bintik hitam. Cape au lait itu bisa berbentuk
oval dan didalamnya berwarna coklat. Ada juga
bentuk daun dan warna coklatnya lebih coklat
dari kulit, di dalamnya juga terbentuk bintik-
bintik dan warnanya jauh lebih coklat lagi.
Tanda ini biasanya ditemukan di badan, pantat,
dan kaki.
c) Fistulae warna kemerahan atau kebiruan
(livide) atau hiperpigmentasi.
d) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan
dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
e) Posisi dan bentuk dari ekstremitas (deformitas).
f) Posisi jalan (gait, waktu masuk kekamar
periksa).
2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi
penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi
anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemerik-
saan yang memberikan informasi dua rah, baik
pemeriksa maupun klien.
42

Yang perlu dicatat adalah:


a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan
kelembapan kulit. Capillary refil time normal ≤
2 detik.
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat
fluktuasi atau oedema terutama disekitar
persendian.
c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak
kelainan (1/3 proksimal, tengah atau distal).
otot: tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi,
benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat
pada tulang. Selain itu juga diperiksa status
neurovaskuler. Apabila ada benjolan maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaanya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau
permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian
diteruskan dengan ekstremitas dan dicatat apakah
terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan
lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi
dicatat dengan ukuran derajat, dan tiap arah
pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau
dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan
apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak.
Pergerakan yang dilihat adalah gerak aktif dan pasif
43

2.12.2 Diaknosa Keperawatan


Menurut Arif Muttaqin (2013: 228) Diagnosa keperawatan yang
muncul pada fraktur femur tertutup yaitu:
2.12.2.1 Nyeri berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang,
kompresi saraf, cedera neuromuskular, trauma jaringan dan
reflek spasme otot sekunder.
2.12.2.2 Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan respon nyeri,
kerusakan neuromoskuloskletal, pergerakan fragmen tulang
2.12.2.3 Resiko tinggi trauma yang berhubungan dengan pemasangan
traksi kulit atau tulang, penurunan kemampuan pergerakan
dan mobilisasi, kelemahan fisik, atrofi otot dan ketidak
tahuan cara mobilisasi yang adekuat.
2.12.2.4 Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya port de
entree, luka pasca bedah, pemasangan traksi tulang, dan
fiksasi eksternal.
2.12.2.5 Resiko tinggi sindrom kompartemen yang berhubungan
dengan terjebaknya pembuluh darah, saraf, dan jaringan
lunak lainnya akibat pembengkakan.
2.12.2.6 Ansietas berhubungan dengan krisis situasional (rencana
tindakan pembedahan)
2.12.2.7 Pemenuhan informasi berhubungan dengan cara mobilisasi,
program rehabilitasi

2.12.3 Intervensi
2.12.3.1 Nyeri berhubungan dengan pergerakan fragmen tulang,
kompresi saraf, cedera neuromuskular, trauma jaringan dan
reflek spasme otot sekunder.
Tujuan: dalam waktu 1x24 jam, nyeri berkurang, hilang atau
teratasi
Kriteria hasil: secara subjektif klien melaporkan nyeri
berkurang atau dapat teradaptasi, mengidentifikasi aktivitas
44

yang meningkatkan atau mengurangi nyeri. Klien tidak


gelisah, skala nyeri 0-1 atau teradaptasi.
intervensi :
a. Kaji nyeri dengan sekala 0-4
Rasional: nyeri merupakan respon subjektif yang dapat
dikaji dengan mengguanakan sekala nyeri biasanya
diatas tingkat cedera.
b. Atur posisi imobilisasi pada paha
Rasional: imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi
pergerakan fragmen tulang yang menjadikan unsur
utama penyebab nyeri pada paha.
c. Lakukan pemasangan traksi kulit secara sistematis
Rasional: traksi kulit dengan pengaturan posisi kontraksi
dapat menurunkan kompresi saraf sehingga dapat
menurunkan espon nyeri.
d. Manejemen lingkungan: lingkungan tenang, batasi
pengunjung, dan istirahatkan klien.
Rasional: lingkungan yang tenang akan menurunkan
stimulus nyeri eksternal dan pembatasan pengunjung
akan membantu meningkatkan kondisi O 2 ruangan yang
akan berkurang apabila banyak pengunjung yang berada
di ruangan. istirahat akan menurunkan kebutuhan O 2
jaringan perifer.
e. Ajarkan teknik relaksasi pernapasan dalam ketika nyeri
muncul
Rasional: meningkatkan O 2 sehingga akn menurunkan
nyeri sekunder akibat iskemia.
f. Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri.
Rasional: distraksi (pengalihan perhatian) dapat
menurunkan stimulus internal dengan mekanisme
peningkatan produksi endorfin dan enkefalin yang dapat
45

memblok reseptor nyeri agar tidak dikirimkan ke korteks


serebri sehingga menurunkan persepsi nyeri.
g. Lakukan manejemen sentuhan
Rasional: manajemen sentuhan pada saat nyeri berupa
sentuhan dukungan psikologis dapat membantu
menurunkan nyeri. Massase ringan dapat meningkatkan
aliran darah dan membantu suplai darah dan oksigen ke
area nyeri.
h. Berikan kesempatan waktu istirahat jika terasa nyeri dan
berikan posisi yang nyaman.
Rasional: istirahat akan merelaksasi semua jaringan
sehingga meningkatkan kenyamanan.
i. Kolaborasi pemberian analgetik
Rasional: analgesik memblok lintasan nyeri sehingga
nyeri akn berkurang

2.12.3.2 Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan respon nyeri,


kerusakan neuromoskuloskletal, pergerakan fragmen tulang
Tujuan:dalam waktu 3x24 jam, klien mampu melaksanakan
aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya
Kriteria hasil: klien dapat ikut serta dalam program latihan,
tidak terjadi kontraktur sendi, bertambahnya kekuatan otot,
klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas.
Intervensi:
a. Kaji mobilitas yang ada dan observasi peningkatan
kerusakan, kaji secara teratur fungsi motorik
Rasional: mengetahui tingkat kemampuan klien dalam
melakukan aktivitas
b. Atur posisi imobilisasi pada paha
46

Rasional: imobilisasi yang adekuat dapat mengurangi


pergerakan fragmen tulang yang menjadi unsur utama
penyebab nyeri pada paha
c. Ajarkan klien untuk melakukan gerak aktif pada
ekstremitas yang tidak sakit
Rasional untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai
kemampuan
d. Bantu klien melakukan latihan ROM, perawatan diri
sesuai toleransi
Rasional: untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai
kemampuan
e. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik
klien
Rasional: peningkatan kemampuan dalam mobilisasi
ekstremitas dapat dicapai dengan latihan fisik dari tom
ahli fisioterapi.

2.12.3.3 Resiko tinggi trauma yang berhubungan dengan pemasangan


traksi kulit atau tulang, penurunan kemampuan pergerakan
dan mobilisasi, kelemahan fisik, atrofi otot dan ketidak
tahuan cara mobilisasi yang adekuat.
Tujuan: dalam waktu 14x24 jam, resiko traumatidak terjadi.
Kriteria hasil: klien mau berpartisipasi dalam pencegahan
trauma. Traksi dapat efektif dilaksanakan, tidak ada keluhan
nyeri selama pemasangan traksi.
Intervensi:
a. Pertahankan imobilisasi pada daerah paha.
Rasional: meminimalkan rangsangan nyeri akibat
gesekan antara fragmen tulang dengan jaringan lunak di
sekitarnya.
47

b. Bila terpasang bebat sokong fraktur dengan bantal untuk


mempertahankan posisi yang netral.
Rasional: mencegah perubahan posisi dengan tetap
mempertahankan kenyamanan dan keamanan.
c. Pantau traksi: keadaan kontraksi
Rasional: Kontraksi harus tetap dipertahankan agar
kontraksi tetap efektif.
d. Kesinambungan traksi
Rasional: traksi harus berkesinambungan agar reduksi
dan imobilisasi fraktur efektif.
e. Tali traksi tulang
Rasional: traksi skeletal tidak boleh terputus karena akan
terjadi trauma tulang.
f. Pemberat traksi
Rasional: Pemberat jangan diambil, kecuali bila
dimaksudkan intermiten. Setiap faktor yang dapat
mengurangi tarikan atau mengubah garis resultan tarikan
harus dihilangkan. Perberat harus digantung bebas dan
tidak boleh terletak pada tempat tidur atau lantai.
g. Posisi anatomis paha klien
Rasional: tubuh klien harus dalam keadaan sejajar
dengan pusat tempat tidur ketika traksi dipasang.
h. Tali tidak boleh macet
Rasional: simpulan pada tali atau control tidak boleh
menyentuh katrol atau kaki tempat tidur.
i. Kolaborasi Pemberian obat antibiotik
Rasional: Antibiotik bersifat bakterisida/ untuk meng-
hambat perkembangan kuman.
48

2.12.3.4 Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya port de


entree, luka pasca bedah, pemasangan traksi tulang, dan
fiksasi eksternal.
Tujuan: dalam waktu 12x24 jam, tidak terjadi infeksi.
Kriteria: tidak ada tanda-tanda infeksi pada luka operasi,
pada sekitar traksi tulang dan fiksasi eksterna. Jahitan pasca-
operasi dapat dilepas pada hari ke-12
Intervensi:
a. Pantau tanda-tanda vital setiap hari
Rasional: mengidentifikasi tanda-tanda peradangan
terutama bila suhu tubuh meningkat
b. Kaji atau pantau keadaan luka setiap hari
Rasional: Mendeteksi secara dini gejala-gejala inflamasi
yang mungkin timbul sekunder akibat adanya luka pasca
operasi.
c. Lakukan perawatan luka secara steril
Rasional: dapat mengurangi kontaminasi kuman
d. Pantau atau batasi kunjungan
Rasional: mengurangi resiko kontak infeksi dari orang
lain
e. Tingkatkan asupan nutrisi tinggi kalori dan tinggi
protein
Rasional: meningkatkan imunitas tubuh secara umum
dan membantu menurunkan resiko infeksi.
f. Pantau perawatan diri dan keterbatasan aktivitas
sesuaitoleransi. Bantu program latihan
Rasional: menunjukkan kemampuan secara umum,
kekuatan otot, dan merangsang pengembalian sistem
imun
g. Kolaborasi Berikan antibiotik sesuai indikasi
49

Rasional: satu atau beberapa agen yang diberikan yang


bergantung sifat patogen dan infeksi yang terjadi.

2.12.3.5 Resiko tinggi sindrom kompartemen yang berhubungan


dengan terjebaknya pembuluh darah , saraf, dan jaringan
lunak lainnya akibat pembengkakan.
Tujuan: Dalam waktu 1x24 jam, risiko sindrom kompar-
temen tidak terjadi
Kriteria hasil: klien tidak mengeluh nyeri local hebat,skala
nyeri 0-1, CRT <3 detik, akral pada sisi lesi hangat, nadi pada
sisi lesi sama dengan sisi yang sehat.
Intervensi:
a. Pantau pulsasi nadi, perpusi perifer, dan CRT pada sisi
lesi setiap jam
Rasional: Perubahan nadi, Perfusi, dan meningkatnya
CRT pada sisi lesi menunjukan tanda awal tidak baiknya
sistem vaskuler akibat pembengkakan.
b. Pantau status nyeri setiap jam
Rasional: Keluhan nyeri local hebat pada klien fraktur
disertai pembengkakan merupakan peringatan pada
perawat tentang gejala sindrom kompartemen
c. Kaji dan bebaskan apabila ada bagian pembebatan yang
kuat pada bagian proksimal
Rasional: Pembebatan merupakan stimulus yang dapat
meningkatkan respon penjepitan pada pembuluh darah
dan jaringan lunak lainnya sehingga harus dibebaskan
d. Debridemen dan fasiotomi
Rasional: intervensi untuk menurunkan dan menghi-
langkan respon penjepitan pada bagian proksimal
50

2.12.3.6 Ansietas berhubungan dengan krisis situasional(rencana


tindakan pembedahan)
Tujuan: Dalam 1x24 jam perawatan, ansietas dapat
berkurang
Kriteria Hasil: Klien mampu mengidentifikasi dan mengung-
kapkan dan menunjukan teknik untuk mengontrol cemas
Intervensi:
a. Kaji tingkat kecemasan klien
Rasional: kecemasan yang berlebihan dapat mengaki-
batkan stres yang berlebihan
b. Observasi tanda-tanda vital
Rasional: mengetahui keadaan umum klien
c. Informasikan klien atau keluarga terdekat tentang peran
perawat advokat,perawat intra operasi
Rasional: mengembangkan rasa percaya diri klien
sehingga menurunkan rasa takut
d. Identifikasi penyebab rasa takut pra operasi
Rasional: rasa takut yang berlebihan akan mengaki-
batkan stress yang berlebihan
e. Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi
Rasional: mengurangi ansietas dan membuat lebih rileks
f. Kaji respon verbal klien setelah dilakukan intervensi
distraksi dan relaksasi
Rasional: mengetahui rasa takut yang berlebihan
g. Validasi sumber rasa takut,nberikan informasi yang
akurat dan aktual
Rasional: mengidentifikasi rasa takut yang spesifik akan
membantu klien menghadapi nya secara realistis
h. Beri tahu klien kemungkinan dilakukannya anestesi
umum atau spinal
51

Rasional: mengurangi ansietas atau rasa takut bahwa


mungkin klien sadar saat dilakukan prosedur

2.12.3.7 Pemenuhan informasi berhubungan dengan cara mobilisasi,


program rehabilitasi
Tujuan: dalam waktu 1x24 jam, informasi terpenuhi
Kriteria hasi: klien mengungkapkan keinginan untuk
melakukan mobilisasi yang optimal, ingin melakukan
program rehabilitasi
Intervensi:
a. Kaji tingkat pengetahuan klien tentang cara mobilisasi,
program rehabilitasi
Rasional: Menjadi data dasar sesuai dengan tingkat
pengetahuan yang klien miliki
b. Berikan informasi yang adekuat dan rasional tentang
pentingnya mobilisasi
Rasional: Membantu klien mencapai penerimaan
terhadap kondisinya melalui teknik rasionalisasi
c. Ajarkan latihan gerak sendi (ROM) pasca bedah
Rasional: pasca operasi, latihan rentang gerak dimulai
sesegera mungkin karena deformitas kontraktur terjadi
dengan cepat.
d. Evaluasi kemampuan klien dalam melakukan mobilisasi
Rasional: Kekuatan dan ketahanan dikaji dan aktivitas
ditingkatkan secara bertahap untuk mencegah keletihan.

Anda mungkin juga menyukai