Kehidupan manusia tidak terlepas dalam kebisaan dan kebudayaan dan diyakini dan
berguna untuk menetapkan suatu pilihan termasuk perilaku kesehatan individu maupun
keluarga termasuk pemberian ASI ekslusif (Leininger, 2007). Patriarki adalah sistem
Bila dilihat dari garis keturunan, masyarakat Sumatera Utara lebih cenderung sebagai
masyarakat yang patrilineal yang dalam hal ini posisi ayah atau bapak (laki-laki) lebih
dominan dibandingkan dengan posisi ibu (perempuan). Batak Toba merupaka suku yang
berpaham Patriarkhi. Angka tercapainya ASI ekslusif juga masih sangat rendah 35%.
Menurut data dan informasi kesehatan Indonesia tahun 2016 Presentase bayi yang
mendapatkan asi ekslusif hingga berusia 6 bulan hanya 17, 4 %, data tersebut
bayi yang mendapatkan ASI ekslusif masih <40% yakni hanya 30.5% (Profil Kesehatan
Sumut, 2017). Pada Suku Batak Toba kebiasaan pada saat persalinan, biasanya seorang
perempuan akan melahirkan di tempat ibu mertua hingga pada masa nifas berakhir.
Perhatian penuh akan diterima oleh ibu nifas terutama dari keluarga seperti perawatan
pemulihan pasca bersalin, perhatian dalam nutrisi, kebersihan, penggantian peran dalam
melakukan pekerjaan rumah dan perhatian pemenuhan istirahat (ada proses pergantian
Kebiasaan pada Budaya Patriarki memberikan rasa nyaman dan kepercayaan diri
ibu dalam perawatan bayinya terutama menyusui sehingga meningkatkan volume ASI
sehingga dan keberhasilan ASI ekslusif. Ada faktor kebiasaan lain yang masih sering
terjadi pemberian madu/gula, air putih, bubur nasi dengan alasan takut ASI tidak cukup
hal ini terjadi disebabkan karena kurangnya pengetahuan keluarga (mertua/suami dan
dari suami dan keluarganya.Tiga orang mengatakan memberi makan kepada bayi < 1
minggu pasca lahir, memberikan madu dan atau air putih pada 24 jam pertama kelahiran.
Seorang responden mengatakan memberi makan pada saat bayinya telah berusia 3 bulan
dikarenakan keluarga menganggap ASI tidak cukup untuk memenuhi nutrisi bayinya.
Mengasuh
Pola asuh orangtua kepada anak sangat menentukan perilaku sosial dan tingkat kecerdasan anak.
Pola asuh merupakan suatu cara yang dilakukan dalam merawat, menjaga dan mendidik anak secara
terus menerus dari waktu ke waktu sebagai perwujudan rasa tanggung jawab orang tua terhadap
anak. Selain itu, orang tua juga harus mengetahui seutuhnya karakteristik yang dimiliki oleh
anak.Peranan orang tua begitu besar dalam membantu anak agar dapat melakukan aktivitas sehari-
hari dalam membantu dirinya.Setiap keluarga memiliki gaya dalam melakukan pola asuh terhadap
anak, yang dipengaruhi oleh usia orang tua, keterlibatan anggota orang tua seperti keluarga besar
orang tua, pendidikan orang tua, keharmonisan keluarga, dan pengalaman mengasuh sebelumnya.
Setiap pola asuh yang diterapkan orang tua mempunyai pengaruh bagi anak, yang ditimbul karena
orang tua merupakan model bagi anak. Perlakuan dari orang tua kepada anak menjadi pengalaman
dan melekat pada anak dalam perkembangannya menuju dewasa.
Baumrind (dalam Santrock, 2010) menyatakan bahwa pola asuh keluarga merupakan bentuk dan
proses interaksi antara orang tua dan anak dalam wujud pengasuhan dalam keluarga yang memberi
pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak, yang dibagi menjadi tiga gaya pola asuh, yaitu
pola asuh demokratis, otoriter, dan permisif. Orang tua dengan pola asuh demokratis
memprioritaskan kepentingan anak, dan tidak ragu-ragu dalam mengendalikan anak, bersikap
terbuka, flekasibel, dan memberi kesempatan kepada anakuntuk adapat tumbuh dan berkembang
dengan peraturan yang rasional, sehingga orang tua memiliki hubungan yang dekat dengan anak,
orangtua akan mengajak anak untuk ikut terlibat dalam membuat peraturan dan melaksanakan
peraturan dengan penuh kesadaran (Santrock, 2010).Orang tua dengan pola asuh otoriter
cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, dan tidak jarang diikuti dengan
ancaman. Orangtua tipe ini tidak mengenal kompromi dalam berkomunikasi, sehingga biasanya
terjadi komunikasi satu arah. Orang tua dengan pola asuh permisif kurang memberikan tuntutan
atau kendali terhadap anak mereka (Santrock, 2010).
Angket kepada anak-anak dari 8 latar belakang budaya keluarga yang berbeda, yaitu dari keluarga
berbudaya Batak, Nias, Karo, Mandailing, Minang, Melayu, Jawa, dan Aceh. Kedelapan latar belakang
budaya keluarga ini memiliki kecenderungan yang sama dalam gaya mendidik anak mereka, yaitu
cenderung menggunakan pola asuh demokratis-otoriter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-
rata keluarga yang berbudaya Batak, Nias, Karo, Mandailing, Minang, Melayu, Jawa, dan Aceh di kota
Medan menerapkan pola asuh otoriter 46%, demokratis 83%, dan permisif 35%.keluarga dengan
latar belakang budaya Batak, Nias, Karo, Mandailing, Minang, Melayu, Jawa, dan Aceh, sebanyak
83% cenderung mendidik dan mengasuh anak dengan menggunakan pola asuh demokratis.
Sebanyak 46% cenderung mendidik dan mengasuh anakdengan pola asuh otoriter, dan 35%
cenderung mendidik dan mengasuh anak dengan pola asuh permisif.
keluarga dengan latar belakang suku budaya Batak, Mandailing, Nias, Minang, Melayu, dan Jawa,
memiliki kecenderungan yang sama dengan keluarga berlatar belakang budaya aceh, yaitu
cenderung memiliki pola asuh demokratis-otoriter. Lain halnya dengan keluarga yang berlatar
belakang suku budaya Karo. Hanya keluarga berlatar belakang suku inilah yang memiliki pola asuh
demokratis-permisif.Kecenderungan pola asuh permisifnya lebih besar dibandingkan kecenderungan
pola asuh otoriter. Penelitian menunjukkan budaya Aceh dan Karo memiliki kecenderungan
penerapan pola asuh demokratis yang paling besar yaitu sebesar 95% atau hampir seluruhnya.