Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

KEPERAWATAN KOMUNITAS PADA KELOMPOK


BERESIKO TERKENA PENYAKIT TBC, HIV/AIDS, COVID-
19

MATA KULIAH : KEPERAWATAN KOMUNITAS


DOSEN PENGAMPU : Dr. Syamilatul Khariroh, S.Kp.,M.Kes

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3


ALYSKA FADHILATUL RIDHA
VIVILA DIANDORI
YESSY HAMIDAH

PROGRAM STUDY S1 KEPERAWATAN NON-REGULER


STIKES HANGTUAH TANJUNGPINANG
T.A. 2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur penulis atas kehadirat Allah SWT, karna berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Keperawatan
Komunitas Pada Kelompok Beresiko Terkena Penyakit Tbc, Hiv/Aids, Covid-19”
Dalam penulisan makalah ini penulis banyak menemui hambatan dan
kesulitan. Namun berkan bimbingan, bantuan, serta saran dari berbagai pihak,
penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Penulis menyadari di dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan,
maka penulis mengharapkan kritik dan saran guna menyempurnakan makalah ini
kedepannya. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Tanjungpinang, 23 Juni 2021


Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I 14
PENDAHULUAN 14
1.1.Latar Belakang

141.2.Rumusan Masalah

181.3.Tujuan Penulisan

18BAB II 19
TINJAUAN PUSTAKA 19

2.1. Keperawatan Komunitas Pada TBC...........................................192.1.1. Definisi


....................................................................................................................................19
2.1.2. Etiologi......................................................................................................202.1.3.
Klasifikasi................................................................................................20
2.1.4. Tanda dan Gejala...................................................................................20
2.1.5. Cara Penularan.......................................................................................21
2.1.6. Pemeriksaan Diagnostik.........................................................................21
2.1.7. Penatalaksanaan Medis..........................................................................22
2.1.8. Komplikasi..............................................................................................24
2.1.9. Pencegahan.............................................................................................24
2.1.10. Proses Keperawatan Komunitas...........................................................25
2.2. Keperawatan Komunitas Pada HIV/AIDS..................................302.2.1.
HIV..........................................................................................................30
2.2.2. Stadium Klinis........................................................................................32
2.2.3. Pengobatan..............................................................................................32
2.2.4. ODHA dan Masalahnya.........................................................................32
2.3. Keperawatan Komunitas Pada Covid-19
...........................................................................................................................
34BAB II...........................................................................................................38
PENUTUP...................................................................................................................38
3.1. Kesimpulan
...........................................................................................................................
38DAFTAR PUSTAKA...................................................................................39
BAB I

PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Komunitas adalah kelompok sosial yang tinggal dalam suatu tempat, saling
berinteraksi satu sama lain, saling mengenal serta mempunyai minat dan interest
yang sama (WHO). Komunitas adalah kelompok dari masyarakat yang tinggal di
suatu lokasi yang sama dengan dibawah pemerintahan yang sama, area atau lokasi
yang sama dimana mereka tinggal, kelompok sosial yang mempunyai interest
yang sama (Riyadi, 2013).
Keperawatan komunitas adalah suatu dalam keperawatan yang merupakan
perpaduan antara keperawatan dan kesehatan masyarakat dengan dukungan peran
serta aktif masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan dan memelihara
kesehatan masyarakat dengan menekankan kepada peningkatan peran serta
masyarakat dalam melakukan upaya promotif dan perventif dengan tidak
melupakan tindakan kuratif dan rehabilitatif sehingga diharapkan masyarakat
mampu mengenal, mengambil keputusan dalam memelihara kesehatannya
(Mubarak, 2011).
Praktik keperawatan komunitas akan berfokus kepada pemberian asuhan
keperawatan komunitas pada masalah kesehatan yang banyak diderita oleh
komunitas tersebut. Dengan terlebih dahulu melakukan screening kesehatan untuk
mengetahui masalah kesehatan apa yang banyak diderita oleh masyarakat.
Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks, yang saling
berkaitan dengan masalah – masalah lain diluar kesehatan sendiri. Demikian pula
pemecahan masalah kesehatan masalah, tidak hanya dilihat dari segi kesehatannya
sendiri, tapi harus dilihat dari segi – segi yang ada pengaruhnya terhadap masalah
“ sehat sakit “ atau kesehatan tersebut (Sumijatun, 2012).
Salah satu penyakit menular yang ada adalah penyakit yang disebabkan oleh
bakteri Mycrobacterium tuberculosis (TB), sebagian besar TB umumnya
menyerang paru-paru namun juga dapat menyerang organ lainnya. Bakteri ini
berbentuk batang dan bersifat tahan asam, sehingga dikenal dengan Basil Tahan
Asam (BTA). Penyakit ini dapat menyerang pada semua orang, baik anak-anak
maunpun orang dewasa.
Penyakit ini sangat mudah ditularkan pada orang lain, bakteri Microbacterium
tuberculosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara pernapasan kedalam
paru, kemudian bakteri tersebut dapat menyebardari paru-paru ke bagian tubuh
lain melalui peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran napas (bronkus) atau
menyerang langsung ke bagian tubuh lainnya. TB Paru merupakan bentuk yang
paling sering dijumpai yaitu sekitar 80% dari semua penderita. TB yang
menyerang jaringan paru ini merupakan satu-satunya bentuk dari TB yang dapat
menular. TB merupakan salah satu masalah kesehatan penting di Indonesia.
Selain itu, Indonesia menduduki peringkat ke-3 negara dengan jumlah penderita
TB terbanyak di dunia setelah India dan China. Jumlah pasien TB di Indonesia
adalah sekitar 5,8 % dari total jumlah pasien TB dunia. Daya penularan dari
seorang penderita TB ditentukan oleh banyaknya kuman yang terdapat dalam paru
penderita. Persebaran dari kuman-kuman tersebut dalam udara serta yang
dikeluarkan bersama dahak berupa droplet dan berada diudara disekitar penderita
TB. Untuk membatasi terjadinya penyakit TB paru pemerintah mengupayakan
strategi untuk menanggulanginya seperti dengan mencanangkan program DOTS
(Directly Observed Treatment Short-course) yang mana fokus utama dari program
ini adalah penemuan dan penyembuhan pasien, dengan prioritas diberikan kepada
pasien TB tipe menular. Oleh karena itu, demi tercapainya program tersebut perlu
adanya upaya untuk menambahkan pengetahuan pada masyarakat mengenai
pemahaman anatomi sistem respirasi yang terkait erat dengan penyakit TB paru,
pengertian tentang, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, pathway,
pemeriksaan penunjang, komplikasi, dan penatalaksanaan (medis, keperawatan,
diet) serta asuhan keperawatan bagi penderita TB paru.
Prevalensi penyakit menular HIV/AIDS mengalami kenaikan di masyarakat.
HIV/AIDS merupakan permasalahan global yang mengakibatkan kematian karena
menyerang sistem kekebalan tubuh. Jumlah pasien terinfeksi HIV di Indonesia
untuk triwulan pertama 10.376 orang dan terdiagnosis AIDS 673 orang
(Kemenkes.RI, 2017). Beberapa upaya penaganan penyebaran HIV/AIDS, seperti
penggunaan kondom dan kepatuhan terhadap pengobatan dilakukan dalam upaya
menekan jumlah HIV/AIDS. Dilain pihak tingginya penyebaran HIV/AIDS
memerlukan penanganan secara holistik dan komprehensif sesuai dengan
kompleksitas masalah yang ditimbulkannya.
Secara global, Organisasi Kesehatan Dunia pada 2018 melaporkan 37,9 juta
(32,7-44,0 juta) orang yang hidup dengan HIV dan diperkirakan 0,8% (0,6-0,9%)
orang dewasa (15-49 tahun) yang hidup dengan HIV, walaupun beban epidemi
terus berlanjut sangat bervariasi antara negara dan wilayah (World Health
Organization [WHO], 2019). Di sisi lain, Indonesia pada tahun 2018, UNAIDS
melaporkan 640.000 orang yang hidup dengan HIV, 0,4% dari prevalensi HIV
dari orang yang hidup dengan HIV di antara orang dewasa (15-49 tahun), dan
0,17% dari jumlah infeksi HIV baru di antara yang tidak terinfeksi. populasi lebih
dari satu tahun. Sementara itu, di antara 81% dari semua orang yang hidup dengan
HIV sedang dalam pengobatan dan 73% dari semua orang yang hidup dengan
HIV ditekan secara viral di Indonesia (UNAIDS, 2019).
Peningkatan kesehatan individu, keluarga, masyarakat dan lingkungan sangat
dipengaruhi oleh bagaimana seseorang mampu menjalankan perilaku hidup bersih
dan sehat sehari-hari. Perilaku sehat yang dijalankan setiap harinya mampu
melindungi seseorang dari berbagai penyakit terutama penyakit infeksi dan
menular. Salah satu penyakit infeksi yang menjadi perhatian dunia saat ini adalah
virus corona atau yang biasa disebut dengan covid-19. Penyebaran virus ini
menyebabkan kerugian pada berbagai bidang khususnya kesehatan dan
perekonomian.
Di Indonesia per tanggal 20 Agustus 2020 jumlah kasus covid-19 mencapai
155.412 dengan 111.060 pasien dinyatakan sembuh dan 6.759 orang meninggal
dunia (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020) Covid-19 memiliki
gejala yang tidak spesifik dan gejala penyakit dapat berkisar dari tidak gejala
(asimtomatik) hingga pneumonia berat dan kematian. Berdasarkan 55924 kasus
terkonfirmasi laboratorium, tanda dan gejala khas meliputi: demam (87,9%),
batuk kering (67,7%), kelelahan (38,1%), produksi sputum (33,4%), sesak napas
(18,6%), sakit tenggorokan (13,9%), sakit kepala (13,6%), mialgia atau artralgia
(14,8%), menggigil (11,4%),mual atau muntah (5,0%), hidung tersumbat (4,8%),
diare (3,7%), dan hemoptisis (0,9%), dan kongesti konjungtiva (0,8%).
Penderita COVID-19 umumnya mengembangkan tanda dan gejala, termasuk
pernapasan ringan gejala dan demam, rata-rata 5-6 hari setelah infeksi (rata-rata
masa inkubasi 5-6 hari, kisaran 1-14 hari) (WHO, 2020) Orang yang terinfeksi
virus corona dapat saja tidak bergejala. Oleh karena itu upaya menjaga diri sendiri
agar tidak tertular adalah yang paling tepat. Penerapan perilaku hidup bersih dan
sehat menjadi salah satu cara penting untuk mengurangi penyebaran virus corona
Pemerintah berupaya menghimbau masyarakat untuk menjaga kesehatan, melalui:
Mengurangi Risiko dengan mencuci dengan sabun dan air yang mengalir, kurangi
Kontak Langsung (Physical Distancing), dan menjaga Kesehatan Fisik dan Mental
(Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak-Direktorat Jendral Rehabilitasi Sosial
Kementerian Sosial, 2020)
Upaya pencegahan terhadap penyakit yang paling utama dan merupakan upaya
pencegahan primer adalah berbagai kegiatan manusia dan perilaku manusia yang
harus dilakukan oleh keluarga sebagai kelompok masyarakat terkecil yang dikenal
sebagai Program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Sehingga penting
melaksanakan pengkajian berkaitan dengan sikap serta perilaku PHBS masyarakat
dengan pendekatan asuhan keperawatan komunitas. Pelaksanaan keperawatan
komunitas menjadi penting sebagai upaya mendukung pelayanan kesehatan yang
bersifat preventif dan promotif. Pelaksanaan asuhan keperawatan komunitas
terdiri dari: menetapkan prioritas, menetapkan sasaran, menetapkan tujuan, dan
menetapkan rencana.
Dalam peningkatan Perencanaan asuhan keperawatan komunitas dapat dilakukan
melalui kegiatan: 1) Melakukan penyuluhan kesehatan tentang penyakit, 2)
Melakukan demonstrasi keterampilan cara menangani penyakit, 3) Melakukan
deteksi dini tanda-tanda gangguan penyakit, 4) Melakukan kerja sama dengan
pihak puskesmas dalam penanganan masalah kesehatan masyarakat (Harefa,
2019).
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah
makalah ini adalah bagaimana Keperawatan Komunitas Pada Kelompok Beresiko
Terkena Penyakit Tbc, Hiv/Aids, Covid-19.
1.3.Tujuan Penulisan
Mengetahui Keperawatan Komunitas Pada Kelompok Beresiko Terkena
Penyakit Tbc, Hiv/Aids, Covid-19”
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keperawatan Komunitas Pada TBC
2.1.1. Definisi
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular langsung yang
disebabkan oleh kuman TBC (Depkes RI, 2002). Definisi lain
menyebutkan bahwa Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi
menahun yang menular yang disebabkan oleh mybacterium tuberculosis
(Depkes RI, 1998). Kuman tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh
manusia melalui udara (pernapasan) ke dalam paru. Kemudian kuman
tersebut menyebar dari paru ke organ tubuh yang lain melaui peredaran
darah, kelenjar limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke organ
tubuh lain (Depkes RI, 2002). Tuberculosis adalah penyakit disebabkan
mycobacterium tuberculosa yang hamper seluruh organ tubuh dapat
terserang olehnya, tapi paling banyak adalah paru-paru.

2.1.2. Etiologi
Tuberculosis merupakan penyakit paru yang disebabkan mycobacterium
tuberculosis ditemukan oleh Robert Koch (1882).
Kuman berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam
pada pewarnaan, oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA),
kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung.
Basil tuberculosis dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan
kering tetapi dapat mati pada suhu 60 derajad C dalam 15 – 20 menit.
Klasifikasi
Tuberkulosis dibedakan menjadi dua yaitu tuberkulosis primer dan tuberkulosis
post primer. Pada tuberkulosis primer penularan tuberkulosis paru terjadi karena
kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara.
Dalam suasana gelap dan lembab kuman dapat bertahan berhari-hari sampai
berbulan-bulan. Bila partikel ini terhisap oleh orang yang sehat maka akan
menempel pada jalan nafas atau paru. Kebanyakan partikel ini akan mati atau
dibersihkan oleh makrofag yang keluar dari cabang trakheo-bronkhial beserta
gerakan silia dengan sekretnya. Sedangkan Tuberculosis Post 4
Primer dari TBC primer akan muncul bertahun-tahun lamanya menjadi TBC post
Primer. Post Primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di sebagian
apical posterior atau inferior pada paru. (Soeparman, 1990; Snieltzer, 2000).
Tanda dan Gejala
Gejala-gejala klinis yang muncul pada klien TBC paru adalah sebagai berikut :
Demam yang terjadi biasanya menyerupai demam pada influenza, terkadang
sampai 40-410 C.
Batuk terjadi karena iritasi bronchus, sifat batuk dimulai dari batuk non produktif
kemudian setelah timbul peradangan menjadi batuk produktif. Keadaan lanjut
dapat terjadi hemoptoe karena pecahnya pembuluh darah. Ini terjadi karena
kavitas, tapi dapat juga terjadi ulkus dinding bronchus.
Sesak nafas terjadi pada kondisi lanjut dimana infiltrasinya sudah setengah bagian
paru.
Nyeri dada timbul bila sudah terjadi infiltrasi ke pleura sehingga menimbulkan
pleuritis.
Malaise dengan gejala yang dapat ditemukan adalah anorexia, berat badan
menurun, sakit kepala, nyeri otot, keringat malam hari (Soeparman, 1990;
Heitkemper, 2000).
Cara Penularan
Penyakit TBC menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri
mycobacterium tuberculosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan
pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa.
Bacteri bia masuk dan terkumpul dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi
banyak (terutama daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui
pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itu infeksi TBC
menginfeksi hamper seluruh organ tubuh sesperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran
pencernaan, tulang, kelenjar getah bening.
Factor lain adalah kondisi rumah lembab karena cahaya matahari dan udara tidak
bersirkulasi dengan baik sehingga bakteri tuberculosis berkembang dengan baik
dan membahayakan orang yang tinggal didalam rumah.
Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis TB paru
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu -
pagi - sewaktu (SPS).
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman
TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan
dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto
toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis
sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks
saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru,
sehingga sering terjadi overdiagnosis.
Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.
Diagnosis TB ekstra paru
Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada
Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lainlainnya.
Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat
ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan
menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada
metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik,
misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.
Penatalaksanaan Medis
Sistem pengobatan klien tuberkulosis paru dahulu, seorang klien harus disuntik
dalam waktu 1-2 tahun. Akibatnya klien menjadi tidak sabar dan bosan untuk
berobat. Sistem pengobatan sekarang, seorang klien diwajibkan minum obat
selama 6 bulan. Jenis obat yang harus diminum harus disesuaikan dengan kategori
pengobatan yang diberikan (Depkes RI, 1997).
Terapi obat yang dilakukan sekarang dengan terapi jangka pendek selama enam
bulan dengan jenis obat INH atau Isoniasid (H), Rifampicin (R), Pirazinamid (Z),
Etambutol (E), dan Streptomisin (Soeparman, 1990). Paduan obat anti
tuberkulosis tabel 1 adalah paduan yang digunakan dalam program nasional
penanggulangan tuberkulosis dan dikemas dalam bentuk paket kombipak (Depkes
RI, 2002). Paduan pengobatan terbaru dengan menggunakan FDCs (Fix Dose
Combinations) yaitu kombinasi dari obat anti tuberkulosis dalam satu kemasan
(WHO, 2002)

Keterangan :
H : INH; R : Rifampicin; E : Etambutol; Z : Pirasinamid;
S : Streptomisin (Depkes, RI, 2002)
Angka yang berada di depan menunjukkan lamanya minum obat dalam
bulan, sedangkan angka di belakang huruf menunjukkan berapa kali dalam
seminggu obat tersebut diminum. Sebagai contoh 2HRZ artinya INH, Rifampicin
dan Pirasinamid diminum dalam jangka waktu 2 bulan dan minumnya setiap hari.
4H3R3 artinya INH, Rifampicin diminum selama 4 bulan dan diminum 3 kali
dalam seminggu (Depkes RI, 2002).
Efek samping yang ditimbulkan dari obat-obat tersebut adalah : INH :
Hepatotoksik. Rifampicin dapat terjadi sindrom flu dan hepatotoksik. Pada
Streptomisin dapat mengakibatkan nefrotoksik, gangguan nervus VIII cranial.
Pirazinamid dapat mengakibatkan hepatotoksik dan hiperurisemia. Etambutol
dapat mengakibatkan neurosis optika, nefrotoksik, skin rash atau dermatitis. Efek
samping dari obat anti tuberkulosis yang tersering terjadi pada klien adalah
pusing, mual, muntah-muntah, gatal-gatal, mata kabur dan nyeri otot atau tulang
(Depkes RI, 2002).

Agar pengobatan berhasil, efek samping dapat terdeteksi secara dini dan
dapat segera dirujuk ke fasilitas pelayanan terdekat, maka diperlukan pengawas
minum obat karena ketidakteraturan minum obat dapat menyebabkan resistensi
terhadap obat. Upaya untuk mencegah terjadinya resistensi, terapi tuberkulosis
paru dilakukan dengan memakai paduan obat, sedikitnya 2 macam obat yang
bakterisid. Dengan memakai obat ini, kemungkinan resistensi awal dapat
diabaikan karena jarang ditemukan resistensi terhadap 2 macam obat atau lebih,
dan pola resistensi yang terbanyak ditemukan ialah INH (Soeparman, 1990;
Depkes RI, 2001). Peran perawat komunitas untuk menghindari terjadinya
resistensi obat adalah dengan selalu memantau pengobatan dengan kunjungan
rumah dan memberikan penyuluhan akibat ketidakteraturan minum obat.

Komplikasi
Komplikasi pada penderita tuberkulosis stadium lanjut (Depkes RI, 2005) :
Hemoptosis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
Bronkiektasis ( pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan
ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru.
Pneumotorak (adanya udara di dalam rongga pleura) spontan : kolaps spontan
karena kerusakan jaringan paru.
Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, ginjal dan sebagainya.
Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency)
Pencegahan
Vaksinasi BCG Pemberian BCG meninggikan daya tahan tubuh terhadap infeksi
oleh basil tuberculosis yang virulen. Imunitas timbul enam sampai delapan
minggu setelah pemberian BCG. Imunitas yang terjadi tidaklah lengkap sehingga
masih mungkin terjadi super infeksi meskipun biasanya tidak progresif dan
menimbukan komplikasi yang berat.
Mempertahankan sistem imunitas seluler dalam keadaan optimal dengan sedapat
mungkin menghindarkan faktor-faktor yang dapat melemahkan seperti
kortikosteroid dan kurang gizi.
Menghindari kontak dengan penderita aktif TB
Menggunakan obat obatan sebagai langkah pencegahan pada kasus beresiko
tinggi.
Menjaga standar hidup yang baik, kasus baru dan pasien yang berpotensi tertular
interprestasi melalui penggunaan dan interprestasi tes kulit tuberculin yang tepat
imunisasi BCG
Proses Keperawatan Komunitas
Pengkajian
Core / Inti Komunitas
Histori
Histori merupakan suatu gambaran terkait sejarah yang berkaitan dengan kondisi
perkembangan suatu wilayah tertentu yang mencakup semua komponen yang
terdapat dalam wilayah tersebut termasuk di dalamnya adalah perbatasan wilayah.
Demographic
Demografi berasal dari kata demos yang berarti rakyat atau penduduk dan grafein
yang berarti menulia. Jadi, demografi adalah tulisan-tulisan atau karangan-
karangan mengenai penduduk.(Mubarak Wahit dan Nurul Chayatin 2009).
Menurut A. Guillard (1985), demografi adalah elements de statistique humaine on
demographic compares. Defenisi demografi antara lain.
Demografi merupakan studi ilmiah yang menyangkut masalah kependudukan,
terutama dalam kaitannya dengan jumlah, struktur dan perkembangan suatu
penduduk.
Demografi merupakan studi statistik dan matematis tentang besar, komposisi, dan
distribusi penduduk, serta peruban-perubahannya sepanjang masa melalui
komponen demografi, yaitu kelahiran, kematian, perkawinan, dan mobilitas
sosial.
Demografi merupakan studi tentang jumlah, penyebaran teritorial dan komponen
penduduk, serta perubahan-perubahan dan sebab-sebabnya.
Ethnicitic
Etnik adalah seperangkat kondisi spesifik yang dimiliki oleh kelompok tertentu
(kelompok etnik). Sekelompok etnik adalah sekumpulan individu yang
mempunyai budaya dan sosial yang unik serta menurunkannya kepada generasi
berikutnya. Etnik berbeda dengan ras. Ras merupakan sistim pengklasifikasian
manusia berdasarkan karakteristik visik, pegmentasi, bentuk tubuh, bentuk
wajah,bulu pada tubuh, dan bentuk kepala.
Sedangkan budaya merupakan keyakinan dan perilaku yang diturunkan atau yang
diajarkan manusia kepada generasi berikutnya. (Efendi ferry dan Makhfudli ,
2009).

Values
Nilai adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, mengenal apa yang
dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Nilai budaya adalah sesuatu yang
dirumuskan dan ditetapkan oleh penganut budaya baik atau buruk. Sedangkan,
norma budaya adalah aturan sosial atau patokan perilaku yang dianggap pantas.
Norma budaya merupakan sesuatu kaidah yang memiliki sifat penerapan terbatas
pada penganut budaya terkait. Nilai dan norma yang diyakini oleh individu
tampak di dalam masyarakat sebagai gaya hidup sehari-hari. (Efendi ferry dan
Makhfudli ,2009).
Subsistem
Lingkungan Fisik
Perumahan : rumah yang dihuni oleh penduduk, penerangan, sirkulasi, dan
kepadatan.
Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan yang tersedia untuk melakukan deteksi dini gangguan atau
merawat atau memantau apabila gangguan sudah terjadi
Ekonomi
Tingkat social ekonomi komunitas secara keseluruhan apakah sesuai dengan upah
minimum regional (UMR), dibawah UMR atau diatas UMR sehingga upaya
kesehatan yang diberikan dapat terjangkau, misalnya anjuaran untuk konsumsi
jenis makanan sesuai status ekonomi tersebut.
Transportasi dan Keamanan
Keamanan dan keselamatan lingkungan tempat tinggal : apakah tidak
menimbulkan stress.
Politik dan pemerintahan
Politik dan kebijakan pemerintah terkait dengan kesehatan : apakah cukup
menunjang sehingga memudahkan komunitas mendapat pelayanan diberbagai
bidang termasuk kesehatan.

Komunikasi
Sarana komunikasi apa saja yang dimanfaatkan di komuitas tersebut untuk
meningkatkan pengetahuan terkait dengan gangguan nutrisi misalnya televisi,
radio, koran atau leaf let yang diberikan kepada komunitas.
Education
Apakah ada sarana pendidikan yang dapat digunakan untuk meingkatkan
pengetahuan?
Rekreasi
Apakah tersedia sarananya, kapan saja dibuka dan apakah biayanya terjangkau
oleh komunitas. Rekreasi ini hendaknya dapat digunakan komunitas untuk
megurangi stress. ( R. Fallen & R Budi Dwi K, 2010 ).
Diagnosa Keperawatan
Setelah dilakukan pengkajian yang sesuai dengan data-data yang dicari, maka
kemudian dikelompokkan dan dianalisa seberapa besar stressor yang mengancam
masyarakat dan seberapa berat reaksi yang imbul pada masyarakat tersebut.
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disusun diagnose keperawatan komunitas
dimana terdiri dari : masalah kesehatan, karakteristik populasi, dan karakteristik
lingkungan. ( R. Fallen & R Budi Dwi K, 2010 ).
Rencana Keperawatan
Tahap kedua dari proses keperawatan merupakan tindakan menetapkan apa yang
harus dilakukan untuk membantu sasaran dalam upaya promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif. Langkah pertama dalam tahap perencanaan adalah
menetapkan tujuan dan sasaran kegiatan untuk mengatasi masalah yang telah
ditetapkan sesuai dengan diagnose keperawatan.
Dalam menentukan tahap berikutnya yaitu rencana pelaksanaan kegiatan maka
ada 2 faktor yang mempengaruhi dan dipertimbangkan dalam menyusun rencana
tersebut yaitu sifat masalah dan sumber atau potensi masyarakat seperti dana,
sarana, tenaga yang tersedia. Dalam pelaksanaan pengembangan masyarakat
dilakukan melalui tahapan sebagai berikut :

Tahap persiapan
Dengan dilakukan pemilihan daerah yang menjadi prioritas menentukan cara
untuk berhubungan dengan masyarakat, mempelajari dan bekerjasama dengan
masyarakat.
Tahap pengorganisasian
Dengan persiapan pembentukan kelompok kerja kesehatan untuk menumbuhkan
kepedulian terhadap kesehatan dalam masyarakat. Kelompok kerja kesehatan
(Pokjakes) adalah suatu wadah kegiatan yang dibentuk oleh masyarakat secara
bergotong royong untuk menolong diri mereka sendiri dalam mengenal dan
memecahkan masalah atau kebutuhan kesehatan dan kesejahteraan, meningkatkan
kemampuan masyarakat berperan serta dalam pembangunan kesehatan di
wilayahya.
Tahap pendidikan dan latihan
Kegiatan pertemuan teratur dengan kelompok masyarakat
Melakukan pengkajian
Membuat program berdasarkan masalah atau diagnose keperawatan
Melatih kader
Keperawatan langsung terhadap individu, keluarga, dan masyarakat
Tahap formasi dan kepemimpinan
Tahap koordinasi intersektoral
Tahap ahkir
Dengan melakukan supervise atau kunjungan bertahap untuk mengevaluasi serta
memberikan umpan balik untuk perbaikan kegiatan kelompok kerja kesehatan
lebih lanjut. Untuk lebih singkatnya perencanaan dapat diperoleh dengan tahapan
sebagai berikut :
Pendidikan kesehatan tentang gangguan nutrisi
Demonstrasi pengolahan dan pemilihan yang baik
Melakukan deteksi dini tanda-tanda gangguan kurang gizi melalui pemeriksaan
fisik dan laboratorium
Bekerja dengan aparat Pemda setempat untuk mengamankan lingkungan atau
komunitas bila stressor dari lingkungan.
Rujukan ke rumah sakit bila diperlukan
Implementasi
Pada tahap ini rencana yang telah disusun dilaksanakan dengan melibatkan
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat sepenuhnya dalam mengatasi
masalah kesehatan dan keperawat yang dihadapi. Hal-hal yang yang perlu
dipertimbangkan dalam pelaksaan kegiatan keperawatan kesehatan masyarakat
adalah:
Melaksanakan kerja sama lintas program dan linytas sektoral dengan instansi
terkait
Mengikut sertakan partisipasi aktif individu, keluarga, masyarakat dan kelompok
dan kelompok masyarakat dalam menghatasi masalah kesehatannya.
Memanfaatkan potensi dan sumbar daya yang ada di masyarakat
Level pencagahan dalam pelaksanaan praktek keperawatan komunitas terdiri atas:
Pencegahan primer
Pencegahan yang terjadi sebelum sakit atau ketidak fungsian dan diaplikasikannya
kedalam populasi sehat pada umumnya dan perlindungan khusus terhadap
penyakit
Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder menekankan diagnosa diri dan intervensi yang tepat untuk
menghambat proses patologis, sehingga memperpendek waktu sakit dan tingkatb
keparahan.
Pencegahan tersier
Pencegahan tersier dimulai pada saat cacat atau terjadi ketidak mampuan sambil
stabil atau menetap, atau tidak dapat diperbaiki sama sekali. Rehabilitasi sebagai
pencegahan primer lebih dari upaya penghambat proses penyakit sendiri, yaitu
mengembalikan individu pada tingkat berfungsi yang optoimal dari ketidak
mampuannya.
Evaluasi Keperawatan
Evaluasi di dilakukan atas respons komunitas terhadap program kesehatan. Hal-
hal yang dievaluasi adalah masukan (input),pelaksanaan (proses),dan akhir akhir
(output). Penilaian yang dilakukan berkaitan dengan tujuan yang akan dicapai
sesuai dengan perencanaan yang telah disusun semula . Ada 4 dimensi yang perlu
dipertimbangkan dalam melaksanakan penilaian ,yaitu :Daya guna ,hasil guna ,
kelayakan ,kecukupan. Adapun dalam evaluasi difokuskan dalam :
Relevansi atau hubungan antara kenyataan yang ada dengan pelaksanaan
Perkembangan atau kemajuan proses
Efensiensi biaya
Efektifitas kerja
Dampak : apakah status kesehatan meningkat/ menurun , dalam rangka waktu
berapa?
Tujuan akhir perawat komunitas adalah kemandirian keluarga yang terkait
lima tugas kesehatan yaitu :mengenal masalah kesehatan ,mengambil keputusan
tindakan kesehatan ,merawat anggota keluarga ,menciptakan lingkungan yang
dapat mendukung upaya peningkatan kesehatan keluarga serta menfaatkan
fasilitas pelayanaan kesehatan yang tersedia ,sedangkan pendekatan yang
digunakan adalah pemecahan masalah keperawatan yaitu melalui proses
keperawatan
Keperawatan Komunitas Pada HIV/AIDS
HIV
HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus (HIV)
merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia
(terutama CD4 positif T-sel dan makrofag komponen-komponen utama sistem
kekebalan sel), dan menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini
mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang terus-menerus, yang
akan mengakibatkan defisiensi kekebalan tubuh. Sistem kekebalan dianggap
defisien ketika sistem tersebut tidak dapat lagi menjalankan fungsinya memerangi
infeksi dan penyakit- penyakit.
Orang yang kekebalan tubuhnya defisien (Immunodeficient) menjadi lebih rentan
terhadap berbagai ragam infeksi, yang sebagian besar jarang menjangkiti orang
yang tidak mengalami defisiensi kekebalan Menurut Depkes RI (2003), definisi
HIV adalah virus yang menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah
putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat merusak sistem kekebalan tubuh
manusia. Gejala-gejala timbul tergantung dari infeksi oportunistik yang
menyertainya. Infeksi oportunistik terjadi oleh karena menurunnya daya tahan
tubuh (kekebalan) yang disebabkan rusaknya sistem imun tubuh akibat infeksi
HIV tersebut.
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) disebabkan oleh infeksi HIV dan
ditandai dengan berbagai gejala klinik, termasuk immunodefisiensi berat disertai
infeksi oportunistik dan kegananasan, dan degenerasi susunan saraf pusat. Virus
HIV menginfeksi berbagai jenis sel sistem imun termasuk sel T CD4+, makrofag
dan sel dendritik. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai infeksi
tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi
AIDS.
Menurut Depkes RI (2003), AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune
Deficiency Syndrome yang merupakan dampak atau efek dari perkembang biakan
virus HIV dalam tubuh makhluk hidup. Sindrom AIDS timbul akibat melemah
atau menghilangnya sistem kekebalan tubuh karena sel CD4 pada sel darah putih
yang banyak dirusak oleh HIV. Pada tahun 1993, CDC memperluas definisi
AIDS, yaitu dengan memasukkan semua orang HIV positif dengan jumlah CD4+
di bawah 200 per μL darah atau 14% dari seluruh limfosit.
Stadium Klinis
Stadium klinis HIV pada orang dewasa menurut WHO untuk memperkirakan
tingkat defisiensi kekebalan tubuh pasien. Pasien dengan gejala pada stadium 1
atau 2 biasanya tidak memiliki tanda gejala defisiensi kekebalan tubuh yang serius
dan disebut sebagai stadium awal. Pasien yang mempunyai gejala dan tanda klinis
3 dan 4 mempunyai penurunan kekebalan tubuh yang berat dan tidak mempunyai
cukup banyak sel CD4 sehingga memudahkan terjadinya infeksi oportunistik (IO)
atau disebut sebagai stadium lanjut. Beberapa kondisi IO memerlukan adanya
pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut.
Pengobatan
Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama, panduan yang ditetapkan oleh
pemerintah untuk lini pertama adalah (Kemenkes RI, 2011)

ODHA dan Masalahnya


ODHA selain merasakan penderitaan fisik juga mengalami penderitaan psikis, dan
sosial ekonomi. Permasalahan dan bentuk pelayanan sosial sebagai berikut:
Masalah fisik Beberapa permasalahan fisik yang dialami ODHA antara lain:
Timbul berbagai penyakit seperti diare, kanker, infeksi saluran pernapasan dan
peradangan misalnya paru-paru, telinga, hidung dan tenggorokan.
Terjadi penurunan berat badan secara berlebihan
Penampilan berubah drastis
Kondisi badan lemah/lesu (Susanto, 2004)
Masalah psikis
Deraan berbagai penyakit yang silih berganti, berlangsung lama, dan terutama
adanya vonis terjangkit HIV mengakibatkan gonjangan mental psikologis ODHA.
Mereka menjadi down, tidak stabil, gelisah, ketakutan putus asa, dan merasa
bersalah atau berdosa. Beberapa dampak negatif HIV dan AIDS terhadap
kejiwaan penyandangnya dikemukakan oleh Susanto (2004) sebagai berikut.
Kecewa secara berlebihan bahkan mengalami stres
Perasaan gelisah memikirkan perjalanan penyakit yang diderita
Kebingungan sehingga tidak mengerti apa yang harus diperbuat
Mengalami perubahan kepribadian, kehilangan ingatan, depresi serta kecemasan
dan ketakutan.
Masalah sosial dan ekonomi
HIV dan AIDS juga berdampak secara sosial dan ekonomi, yakni penyandangnya
mengalami masalah yang cukup berat dalam bersosialisasi baik di lingkungan
tempat tinggal, sekolah ataupun pekerjaan. Permasalahan sosial yang dialami dan
dirasakan ODHA terutama dalam menghadapi sikap ataupun perlakuan sebagian
besar masyarakat termasuk keluarganya yang sampai saat ini masih cenderung
diskriminatif seperti tak acuh, curiga, stigma/cap yang negatif, menghidar bahkan
dikucilkan. Bagi penyandang yang disebabkan oleh pergaulan yang salah seperti
seks bebas dan pemakaian IDU, lebih merasa tertekan karena rasa sesal
berkepanjangan atas kesalahan dan dosa yang diperbuatnya.
Sedangkan bagi yang terkena karena kesalahan pihak lain, misal tertular
pasangannya dan atau transfusi darah, kadang menyisakan dendam kenapa dia
harus menerima resiko tersebut. Berbagai sikap atau perlakuan diskriminatif
masyarakat yang selama ini sering dialami ODHA mengakibatkan terganggunya
aktivitas sehari-hari terutama dalam upaya mereka memenuhi kebutuhan
hidupnya. HIVdan AIDS selain menyebabkan permsalahan bagi penyandangnya
juga berdampak pada masyarakat, sebagaimana dikemukakan oleh Susanto (2004)
dampak negatif HIV dan AIDS disamping penyandangnya menjadi sangat
tergantung pada orang lain dan penyingkiran (isolasi diri) sebagai akibat
ketakutan ataupun kecurigaan orang lain, juga berdampak pada masyarakat luas
yaitu terrjadi prasangka buruk, sikap/diskriminasi dan keresahan masyarakat.
Secara ekonomi, permasalahan yang dirasakan oleh ODHA disamping biaya
hidup sehari-hari juga perlu mencukupi kebutuhan biaya perawatan dan
pengobatan sepanjang sisa hidupnya. Sementara dalam mempertahankan dan atau
memeperoleh pekerjaan, mereka mengalami kesulitan sebagai akibat dari sikap
dan perlakuan diskriminatif masyarakat selama ini. Mereka yang telah ketahuan
mengidap HIV atau yang jelas telah menjadi penderita AIDS dikucilkan dari
keluarga, dipecat dari pekerjaannya dan dijauhi oleh teman-teman mereka (Gde
Muninjaya, 1999).
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa masalah sosial ekonomi yang
dialami ODHA terkait dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan tuntutan
biaya perawatan ataupun pengobatan medis yang relatif mahal dan perlu
dilakaukan secara terus-menerus. Sementara disisi lain, penyandang mengalami
kesulitan dalam memperoleh sumber penghasilan (pekerjaan) akibat dari sikap
dan perlakuan masyarakat yang masih diskriminatif.
Keperawatan Komunitas Pada Covid-19
Dapat diketahui bahwa kelompok lanjut usia (lansia) adalah salah satu kelompok
yang memiliki risiko lebih tinggi terinfeksi Virus Corona. Pernyataan ini
disepakati oleh hampir semua organisasi (peneliti USA, Jerman, Indonesia, China,
Canada dan Gubernur DKI Jakarta). Meskipun kategori usia lansia yang dimaksud
belum seragam, ada yang menyatakan lansia berusia >80 tahun berisiko tinggi
terkena Virus Corona (menurut peneliti China), lansia berusia > 50 tahun
(menurut Walikota New York) bahkan ada peneliti Indonesia yang menyatakan
orang berusia 45-65 tahun rentan terpapar Virus Corona.
Perbedaan pendapat mengenai kategori usia lansia ini adalah wajar mengingat
bahwa penyakit yang disebabkan Virus Corona ini terbilang penyakit baru yang
masih menjadi bahan penelitian. Namun semua peneliti dan tokoh otoritas
wilayah sepakat bahwa lansia masuk kedalam kelompok berisiko tinggi terinfeksi
Virus Corona akibat sistem kekebalan tubuhnya melemah seiring dengan
pertambahan usia.
Diketahui penderita penyakit kronis juga termasuk kelompok yang berisiko tinggi
terinfeksi Virus Corona. Hal ini diungkap oleh Jeanne Marrazzo, peneliti USA
yang menyatakan penderita penyakit kronis seperti penyakit jantung, diabetes,
paru-paru rentan mengalami komplikasi dan kematian akibat infeksi COVID-19.
Selain itu dua tokoh otoritas wilayah yaitu juru bicara penanganan COVID-19 dan
Gubernur DKI Jakarta juga menyatakan kelompok penderita penyakit kronis
memiliki risiko yang tinggi terhadap COVID-19 sehingga harus lebih
diperhatikan dan dimudahkan karena jika tidak ditangani dari awal dapat
membuat penderitanya mengalami perselaputan pada organ paru-paru dan
mengalami pneumonia yang dapat berujung pada kematian.
Sejalan dengan pendapat ini adalah pernyataan dari peneliti WHO dan Indonesia
yang menyatakan orang dengan daya tahan tubuh lemah adalah kelompok yang
rentan terpapar Virus Corona. Sehingga dapat dipahami pernyataan peneliti WHO
yang menyatakan lansia dengan riwayat penyakit kronis sangat berisiko terinfeksi
Virus Corona. Kelompok berikutnya yang dianggap berisiko tinggi terinfeksi
Virus Corona adalah perokok dan penghisap vape yang dinyatakan peneliti
Indonesia dan Jerman.
Sebagaimana dijelaskan oleh Feni Fitriani, seorang dokter spesialis Paru dari
Indonesia bahwa perokok dan penghisap vape sudah mengalami kerentanan di
saluran pernafasannya sehingga mudah terpapar Virus Corona. Pernyataan ini
diperkuat oleh Amin Soebandrio, Kepala Lembaga Biologi dan pendidikan Tinggi
Eijkman yang menyatakan merokok dapat mengubah sel paru menjadi lebih
rentan terhadap infeksi SARS-COV2 melalui peningkatan reseptornya yaitu
molekul ACE2.Hal inilah yang membuat tokoh otoritas wilayah di New York,
Bill de Blasio mendesak warganya untuk berhenti merokok atau vaping.
Kaum pria juga dianggap sebagai kelompok yang berisiko tinggi terkena Virus
Corona oleh peneliti USA, China dan WHO . Berdasarkan data pasien yang
dirawat di Kota Wuhan menunjukkan lebih banyak kaum pria yang terinfeksi
COVID-19 bahkan Chinese Center for Disease Control and Prevention
menyatakan pria yang terinfeksi COVID-19 memiliki risiko meninggal dua kali
lebih tinggi daripada wanita yang terinfeksi.
Temuan ini juga terbukti di Italia dimana tingkat kematian pada pria jauh lebih
tinggi dibanding pada wanita. 20 Kemudian berdasarkan pola golongan darah
pasien yang terinfeksi Virus Corona, peneliti China juga menyatakan kelompok
orang dengan golongan darah A memiliki tingkat infeksi yang lebih tinggi dan
cenderung mengalami gejala yang lebih parah. Sehingga peneliti Wang Xinghuan
dari Universitas Wuhan, China menyarankan agar orang bergolongan darah A
perlu memperkuat perlindungan pribadi untuk mengurangi infeksi yang mungkin
terjadi.
Menurut peneliti USA, kelompok penyandang disabilitas mental intelektual
termasuk kelompok rentan terkena Virus Corona. Kelompok penyandang
disabilitas mental intelektual yang dimaksud mencakup penyandang
keterlambatan mental, orang yang mengalami distrofi otot dan kerusakan otak.
Hal ini akibat tidak ada yang dapat menjamin pendekatan dan metode penanganan
yang tepat untuk kelompok disabilitas ini. Kemudian juga diketahui kelompok
berisiko tinggi terkena Virus Corona lainnya adalah kelompok petugas kesehatan
yang merawat dan memeriksa pasien COVID-19.
Orang yang tinggal serumah dengan dengan pasien COVID-19, Orang yang
menunggui pasien COVID-19, Orang yang bekerja bersama pasien COVID-19,
Tamu yang seruangan dengan pasien COVID-19 dan Orang yang bepergian dalam
satu alat angkut dengan pasien COVID-19. Selain memberi pernyataan kelompok
mana yang berisiko tinggi terinfeksi Virus Corona, beberapa Aktor juga memberi
pernyataan tentang kelompok mana saja yang kurang rentan terinfeksi Virus
Corona.
Kategori kelompok kurang rentan Virus Corona dilambangkan dengan nodes
segitiga berwarna hitam (artinya yang tidak disepakati oleh Aktor sebagai
kelompok rentan Virus Corona). Dari Gambar 8 ini diketahui bahwa kaum wanita
dianggap kurang rentan terinfeksi Virus Corono. Sebagaimana dinyatakan Tim
dokter RS Jinyintan Wuhan dan peneliti Universitas Jiao Tong Shanghai dan RS
Ruijin Shanghai bahwa berkurangnya kerentanan kaum wanita terhadap infeksi
Virus Corona berhubungan dengan perlindungan dari kromosom X dan hormon
seks yang memainkan peran penting dalam kekebalan bawaan dan adaptif. Selain
itu kelompok orang dengan golongan darah O dianggap memiliki tingkat risiko
yang lebih rendah dibandingkan dengan golongan darah non-O.
Peneliti USA dan Jerman menyatakan anak-anak tidak rentan terhadap Virus
Corona. Meskipun ditemukan ada beberapa kasus infeksi pada anak-anak namun
gejala yang ditunjukkan relatif ringan.Kategori kelompok rentan dan tidak rentan
Virus Corona menurut organisasi Meskipun data menunjukkan beberapa
kelompok tertentu misalnya kelompok muda memiliki daya tahan tubuh yang
lebih baik dibanding kelompok lansia dan penderita penyakit kronis, namun
bukan berarti kelompok muda tidak mungkin terkena. Bisa saja kelompok muda
sudah terinfeksi namun tidak menunjukkan gejala seperti demam >38°C, batuk
dan sesak nafas. Sebagaimana dinyatakan oleh dr. Jatu Aphridasri seorang dokter
spesialis paru bahwa Virus Corona dapat menyerang siapa saja mulai dari bayi,
anakanak, orang dewasa hingga lansia. Artinya semua orang harus mewaspadai
peyakit COVID-19 ini agar penyebaran virus Corona dapat diredam dan
dihentikan.
BAB III

PENUTUP
1.1. Kesimpulan
Orang yang kekebalan tubuhnya defisien (Immunodeficient) menjadi lebih
rentan terhadap berbagai ragam infeksi, yang sebagian besar jarang
menjangkiti orang yang tidak mengalami defisiensi kekebalan Menurut
Depkes RI (2003), definisi HIV adalah virus yang menyebabkan AIDS
dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga
dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Gejala-gejala timbul
tergantung dari infeksi oportunistik yang menyertainya. Infeksi oportunistik
terjadi oleh karena menurunnya daya tahan tubuh (kekebalan) yang
disebabkan rusaknya sistem imun tubuh akibat infeksi HIV tersebut.
Semua orang sebenarnya berpotensi terinfeksi Virus Corona namun
beberapa kelompok orang tertentu memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi
untuk terpapar Virus Corona hingga bisa membawa kepada kematian.
Dengan metode Discourse Network Analysis, studi ini telah berhasil
menemukan kelompok-kelompok berisiko tinggi terinfeksi Virus Corona
yaitu antara lain kelompok lansia, penderita penyakit kronis, perokok dan
penghisap vape, kaum pria dan orang bergolongan darah A. Dari temuan ini
diharapkan ada panduan pencegahan dan pengendalian Virus Corona yang
dapat mengakomodasi kepentingan dan keunikan masing-masing kelompok
rentan tersebut. Sehingga temuan studi ini dapat dipakai sebagai catatan
ilmiah oleh pemerintah, tenaga medis dan masyarakat untuk
mempertimbangkan perbedaan kerentanan kelompok ini dalam upaya
mitigasi dan perawatan pasien terinfeksi Virus Corona ataupun wabah virus
lainnya yang sekerabat dengan Virus Corona.
DAFTAR PUSTAKA
AA Gde Muninjaya, (1999). AIDS di Indonesia, Masalah dan Kebijakan
Penanggulangannya, EGC, Jakarta
Agbaji, O.; Ebonyi, A.O.; Meloni, S.T.; Anejo, J.A.; Akanbi, M.O.; Oguche, S.;
Agaba, P.A.; Sagay, A.S.; Okonkwo, P., and Kanki, P ., (2013). Factor
Associated With Pulmonary Tuberculosis-HIV Coinfection in tratment-
Naive Adult. in Jon Nort Central Nigeria, volume 4. Agustriadi O dan
Ida Gusti (2008). Aspek Pulmonologis Infeksi Oportunistik Pada Pasien
HIV/AIDS, Volume 9, Nomor 3, Unud.
Alvarez, A.M.; Arbelaez, P.; Bastos, I.F.; Berkhout, B.; Bhattacharya, B.;
Bocharov, G.; Chereshnev, V.; Cuchí, P., and Däumer, M., (2011).
Reasearch Priorities for HIV/M.tuberculosis Co-Infection, Volume 5,
hal 14-20.
Amin Z, at. al, (2013). Profil Pasien TB-HIV dan Non TB-HIV di RSCM, Buletin
Penelitian Kesehatan, Volume 41, Nomor 4, Hal 195-199. Arikunto S,
( 2010). Prosedur Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta.
Bráulio, M..; André, J.M.; Roberto., d.J.N.; Thalles, B.G., and Cristiane, C.F.,
(2008). Factor Related to HIV/Tubercuosis Coinfection in a Brazilian
Reference Hospital. Volume 4, hal 281-286. Carolina., de.C.C.; Renata,
K.R.; Neves., S.A.L.;Galvao., G.T.M., and Elucir,G.
Crofton & John, (2000). Tuberkulosis Kinik, Widya Medika, Jakarta. , (2013).
Epidemiological Profile of HIV/Tuberculosis Co-infection in a City
The State of Sao Paulo Brazil. Volume 5, hal 119-122. Departemen
Pendidikan Nasional, (2003). Undang-undang Republik Indonesia NO.2
Tahun 2003 Pendidikan Nasional, Jakarta. Depkes RI, (2007).
Kebijakan Nasional Pengobatan Antiretroviral Pada Oarang Dewasa,
Jakarta Kemenkes RI, (2011).
Tata Laksana Klinis Infeksi HIV Dan Terapi ARV Pada Orang Dewasa dan
Remaja, Jakarta, Kemenkes. ---------------------, (2013). Petunjuk
Teknis
Megawati.; Azriful., dan Damayati, D.S., (2016). Gambaran Epidemiologi Infeksi
Oportunistik Tuberkulosis Pada Penderita HIV di Puskesmas
Percontohan HIV/AIDS Kota Makassar, volume 2. Survival Rate and
Risk Factors of Mortality Among HIV/TuberculosisCoinfected Patients
with and without Antiretroviral Therapy.
Mitku, A.A; Dessie, G.Z.; Muluneh, K.E.; and Workie, L.D., (2016). Prevalence
and associated of TB/HIV co-infection among HIV infected patients in
Amhara region, Ethiopia. Volume 16, hal 588-595.
Mekonnen, D; Derbie, A; and Desalgn, E., (2015). TB/HIV co-infection and
associated factors among patients on directly observed treatment short
course in Northeastern Ethiopia. Monitoring and Evaluation of
TB/HIV: Capturing Data to Improve
Serviceshttp://www.who.int/tb/challenges/hiv/nelson_m_and_e_overvie
w.pdf
M. Taha.; Ama- rew, D.; Tes- sema, F.; Assegid, S.; Duchateau, L., and
Colebunders, R., (2013). Risk Factor of Actife Tuberculosis in People
Living With HIV/AIDS in Southwest Ethiophia. Volume 2, hal 131-
139.
Mulugeta, B; Bjune, G; and Abebe, F., (2015). Pervalence of tuberculosis, HIV,
and TB-HIV c0o-infection among pulmonary tuberculosis suspects in a
predominantly pastoralist area, northeast Ethiopia. Murti Bhisma,
(2002). Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Gajah Mada Press,
Yogyakarta.
Muttaqin, Arif (2008), Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan, Salemba Medika, Jakarta. Notoatmojo, Soekidjo (2005),
Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.
--------------------------, (2010), Ilmu Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. –
------------------------, (2012), Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan, Rineka
Cipta, Jakarta. . (Nursalam dan Dian K. 2007). Asuhan Keperawatan
pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Salemba Medika. Jakarta.
Padmapriyadarsini et al, 2011, Diagnosis & Tretament Of Tubercuosis
In HIV CoInfection Patients, Volume 132, hal 850-865
Permitasari Desy A (2012), Faktor Risiko Terjadinya Kinfeksi Tuberkulosis pada
Pasien HIV/AIDS Di RSUP DR Kariadi Semarang, Skripsi, Universitas
Diponegoro. Pili Kemenju dan Said Aboud, (2011). Tuberculosis-HIV
Co-Infection among Patients Admitted at Muhimbili National Hospital
in Dar es salaam, Tanzania. Ringel,
Edward ( 2012), Kedokteran Paru, Indeks, Jakarta. Rusnoto (2008), Faktor-faktor
Yang Berhubungan Dengan Kejadian TB Paru Pada Usia Dewasa di
Balai Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru Pati.
Saputri, R.A.S, (20015). Faktor-faktor Koinfeksi TB Paru Pasien HIV/AIDS di
Balai Kesehatan Paru Masyarakat Semarang.
http://bangsalsehat.blogspot.com/2018/08/patofisiologi-dan-pathway-tb-paru-
siap.html
https://www.scribd.com/doc/306156090/Askep-Komunitas-Dengan-Keluarga-
TBC
https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/51521341/Askep_komunitas
_Tb_Paru.docx?
AWSAccessKeyId=AKIAIWOWYYGZ2Y53UL3A&Expires=155205390
7&Signature=Wiiif31%2FjZ7OJDntyfuf Uc320es%3D&response-content-
disposition=attachment%3B%20filename
%3DAskep_komunitas_Tb_Paru.docx.docx

Anda mungkin juga menyukai