Anda di halaman 1dari 25

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-NYA, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-NYA kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah study Al-Qur’an tentang “Tafsir”
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tentang bahasanya. Oleh
karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan
dan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Lamongan, 27 November 2017

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Bab II Pembahasan
A. Pengertian Tafsir
B. Perbedaan Tafsir, Ta’wil, dan Terjemah
C. Klasifikasi Kitab Tafsir Berdasarkan Corak dan Pendekatannya
Bab III Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan dengan kebenaran mutlak yang menjadi sumber
ajaran Islam. Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam yang memberi petunjuk
kepada jalan yang benar. Ia berfungsi untuk memberikan kesejahteraan dan
kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Ia juga menjadi
tempat pengaduan dan pencurahan hati bagi yang membacanya. Al-Qur’an
bagaikan samudra yang tidak pernah kering airnya, gelombangnya tidak pernah
reda, kekayaan dan khazanah yang dikandungnya tidak pernah habis, dapat
dilayari dan selami dengan berbagai cara, dan memberikan manfaat dan dampak
luar biasa bagi kehidupan manusia. Dalam kedudukannya sebagai kitab suci dan
mukjizat bagi kaum muslimin, Al-Qur’an merupakan sumber keamanan, motivasi,
dan inspirasi, sumber dari segala sumber hukum yang tidak pernah kering bagi
yang mengimaninya. Di dalamnya terdapat dokumen historis yang merekam
kondisi sosio ekonomis, religious, ideologis, politis, dan budaya dari peradaban
umat manusia sampai abad ke VII masehi.
Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an melalui
penafsiran-penafsiran, memiliki peranan sangat besar bagi maju-mundurnya umat,
menjamin istilah kunci untuk membuka gudang simsimpani yang tertimbun dalam
Al-Qur’an.
Sebagai pedoman hidup untuk segala zaman, dan dalm berbagai aspek kehidupan
manusia, Al-Qur’an merupakan kitab suci yang terbuka (open ended) untuk
dipahami, ditafsirkan dan dita’wilkan dalam perspektif metode tafsir maupun
perspektif dimensi-dimensi kehidupan manusia. Dari sini muncullah ilmu-ilmu
untuk mengkaji Al-Qur’an dari berbagai aspeknya, termasuk di dalamnya ilmu
tafsir. Makalah ini akan membahas tentang ilmu tafsir meliputi pengertian tafsir,
perbedaan tafsir, ta’wil, dan terjemah, serta klasifikasi kitab tafsir berdasarkan
corak dan pendekatannya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari tafsir?
2. Apa tujuan mempelajari tafsir?
3. Apa perbedaan antara tafsir, ta’wil, dan terjemah?
4. Bagaimana klasifikasi kitab tafsir berdasarkan corak dan pendekatannya?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian dari tafsir.
2. Untuk mengetahui tujuan mempelajari tafsir.
3. Untuk mengetahui perbedaan antara tafsir, ta’wil, dan terjemah.
4. Untuk mengetahui klasifikasi kitab tafsir berdasarkan corak dan pendekatannya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN TAFSIR
Menurut Bahasa :
Tafsir berasal dari bahsa arab yakni fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti
penjelasan, pemahaman, dan perincian, tafsir juga dapat diartikan al,-idlah wa al
tabyin yaitu : penjelasan dan keterangan.
Pendapat lain menyebutkan bahwa tafsir sejarah dengan timbangan ( wazan ) kata
taf’il, di ambil dari kata al-fasr yang berarti al-bayan ( penjelasan ) dan al-kasyf
yang berarti membuka atau menyingkap, dan dapat juga diambil dari kalimat atau
kata al-tafsarah yaitu istilah yang digunakan untuk suatu alat yang biasa
digunakan oleh dokter untuk mengetahui penyakit.
Didalam Al-Qur’an kata tafsir diartikan sebagai ( penjelasan ) hal ini sesuai
dengan lafal tafsir yang terulang hanya satu kali yakni dalam ( QS Al-Furqan
َ ْ
ً ‫َول َا يَأتُون َ َك ب َِمث ٍَل ِإَلاّـَّ جِ ئْنَا َك بِال َْح ِّ ّـِق َوأ ْح َس َن تَ ْف ِس‬
25:33 ) yang berbunyi : ‫يرا‬
“ tidaklah orang –orang kafir itu datang padamu dengan ( membawa ) sesuatu
yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan paling
baik penjelasannya.”
Menurut Istilah :
Sedangkan tafsir secara istilah terdapat beberapa pendapat para ulama tafsir,
antara lain :
1. Pendapat Abd al-Azhim al-Zarqani dalam Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-Qur`an
mengatakan:
‫علم يبحث عن القران الكريم من حيث داللته على مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية‬
"ilmu yang membahas tentang al-Qur`an dari segi dilalah-nya berdasarkan
maksud yang dikehendaki oleh Allah sebatas kemampuan manusia."
2. Menurut Khalid bin Utsman al-Tsabt dalam Qowa'id al-Tafsir, tafsir adalah:
‫علم يبحث فيه عن أحوال القرانـ العزيز من حيث داللته على مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية‬
“Ilmu yang membahas tentang keadaan al-Qur`an dari segi dilalah-nya
berdasarkan maksud yang dikehendaki oleh Allah sebatas kemampuan manusia."
Ada beberapa titik perhatian rumusan tafsir dari definisi yang diberikan al-
Zarqani dan Khalid bin Utsman al-Tsabt, yaitu:
1. Membahas tentang al-Qur`an
Ilmu ini hanya membahas ilmu al-Qur`an. Maka tidak termasuk ke dalam kategori
ini ilmu-ilmu lain.
2. Membahas maksud ayat
Berdasarkan definisi di atas, maka hal-hal di luar pembahasan yang berhubungan
dengan maksud ayat tidak dikategorikan kepada tafsir seperti ilmu rasm, ilmu
qira'at.
3. Sesuai dengan kemampuan manusia
Penafsiran yang dilakukan terhadap al-Qur’an adalah sebatas kemampuan
manusia.
Dengan kata lain, hal-hal yang di luar batas kemampuan manusia bukanlah
termasuk lapangan kajian tafsir. Tidak perlu memaksakan diri untuk mengetahui
tafsir al-Qur`an karena dapat menyeret mufasir kepada penafsiran-penafsiran yang
menyimpang dan melewati batas.
4. Dalam al-Mu'jam al-Wasîth disebutkan bahwa tafsir al-Qur`an adalah:
‫ وما انطوت عليه اياته من عقائد و أسرار و حكم و أحكام‬,‫توضيح معاني القران‬
"Penjelasan makna al-Qur`an dan menghasilkan kaidah-kaidah, rahasia-rahasia,
hikmah-hikmah dan hukum-hukum dari ayatnya."
Fokus tafsir dari definisi di atas adalah dengan menjelaskan makna al-Qur`an
akan diperoleh darinya kaidah-kaidah, rahasia-rahasia, hikmah-hikmah dan
hukum-hukum. Artinya, sasaran akhir tafsir adalah mengeluarkan kaidah-kaidah,
rahasia-rahasia, hikmah-hikmah dan hukum-hukum.
5. Sementara al-Zarkasiy merumuskan tafsir dengan:
‫علم يعرف به كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم و بيان معانيه و استخراج‬
‫احكامه و حكمه‬
"Ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Nabi, menjelaskan
maknanya serta mengeluarkan hukum atau hikmah darinya."

6. Rumusan tafsir menurut al-Kilbi dalam al-Tashil:


‫بنصه إو إشارته أو نجواه‬
ّ ‫شرح القران و بيان معناه و األفصاح بما يقتضيه‬
"Menguraikan al-Qur`an dan menguraikan maknanya, memperjelas makna
tersebut sesuai dengan tuntutan nash atau adanya isyarat yang mengarah ke arah
penjelasan tersebut atau dengan mengetahui rahasia terdalamnya."
Titik perhatian kedua definisi di atas adalah persoalan:
1. Pemahaman terhadap al-Qur`ân.
2. Menjelaskan makna ayat.
3. Mengeluarkan hukum-hukum.
4. Menggali hikmah-hikmah Titik fokus definisi ini adalah ilmu.
Hanya saja al-Zarkasiy menyebutnya dengan ilmu, sedangkan al-Kilbi tidak
menyebutnya sebagai ilmu. Kedua definisi ini lebih mengacu dan lebih mengarah
kepada urgensi tafsir karena tujuan utama tafsir adalah usaha yang dilakukan
dalam memahami al-Qur`an, mengeluarkan hukum-hukum serta mengambil
pelajaran-pelajaran yang terdapat di dalam al-Qur`an.
Menurut Ruysdi AM, ketika mengomentari berbagai definisi tafsir, sepertinya
ada kesepakatan tentang tafsir dikontekskan sebagai "ilmu" yang instrumental
dalam membahas al-Qur`an. Sedangkan selebihnya dihubungkan dengan
"orientasi" detail dan general kajiannya. Tafsir belum lagi dipisahkan antara
sebagai "konsep ilmu" dan sebagai "konsep metodik", sehingga ketika ia dibahas
cenderung menimbulkan kerancuan yang kemudian akan berimplikasi pula
terhadap wacananya. Contoh kongkrit tentang kerancuan ini adalah di satu sisi
rumusan tafsir membicarakan tentang proses penurunan dan klasifikasi teks al-
Qur`an, dan di sisi lain rumusan ini membicarakan kegiatan kajian teks al-Qur`an
yang menghasilkan produk hukum dan lainnya. Sudah semestinya perlu ada
pemisahan aspek yang termasuk ke dalam rumusan definisi di mana ia berposisi
sebagai ilmu dan di mana pula ia sebagai metode.
Jalan tengah untuk merumuskan kembali definisi klasik tafsir ini agaknya perlu
dua rumusan yang berbeda paradigmanya. Pertama, tafsir sebagai ilmu dengan
definisi yang merumuskan aspek-aspek terkait seperti asbab al-nuzul, makkiyah
dan madaniyyah, muhkam dan mutasyabih, nasikh dan mansukh, 'am dan khash,
mutlaq dan muqayyad, mantuq dan mafhum, amtsal, kisah dan lain sebagainya
yang berhubungan dengan persoalan instrumental. Kedua, tafsir sebagai metode
dengan definisi yang merumuskan aspek-aspek terkait seperti petunjuk-petunjuk,
hukum-hukum, perintah dan larangan, halal dan haram, janji dan ancaman,
makna-makna dan lain sebagainya yang berhubungan dengan produktifitas.
Dengan demikian, tafsir mempunyai dua "wajah"; ada ilmu yang membahas
sesuatu yang berkenaan dengan Al-Qur`an (aspek ekstrinsik) dan ada pula cara
mengkaji sesuatu yang terkandung dalam al-Qur`an (aspek intrinsik). Pemaknaan
tafsir ke dalam dua pilahan ini tetap dibenarkan dan sah karena tidak menyimpang
dari makna dasar dan makna pengembangannya.
Contoh dari kedua “wajah” di atas !!
‫يأيها الذين آمنوا ْ إذا قمتم الى الصلوة فغسلوا ْ وجوهكم وايديكم الى المرافق وامسحوا ْ برؤسكم وارجلكم‬
‫ الى كعبين‬......
Artinya : hai orang orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu serta
( basuhlah) kakimu sampai kedua mata kaki, ...
Asbab al nuzul : dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa suatu ketika
diperjalanan, kalung Siti A’isyah terjatuh dan hilang di suatu lapangan dekat kota
Madinah. Kemudian Rasul Saw. Menghentikan untanya guna untuk mencari
kalung tersebut. Namun kemudian beliau beristirahat hingga tertidur di pangkuan
Siti A’isyah. Tidak lama kemudian datanglah Abu Bakar, menghampiri A’isyah,
dan menparnya seraya abu bakar berkata “ kamulah yang menahan orang banyak
hanya karena sebuah kalung” kemudian Nabi Muhammad terbangun dari
tidurnya, dan waktu subuhpun tiba. Kemudian beliau mencari air, tetapi tidak
mendapatkannya, lalu turunlah ayat di atas. Diriwayatkan Bukhori Dari Amr Bin
Harst Dari Abd. Rahman Bin Al Qasim dari Bapaknya Yang Bersumber Dari
A’isyah.
Istinbath hukum : bersuci dari hadas besar maupun hadats kecil merupakan syarat
sahnya shalat. Tayammum adalah pengganti wudhu dalam upaya menghilangkan
hadats kecil, itu merupakan kesepakatan ulama.
Yang di sebut “aspek ekstrinsik” dari ayat ini iyalah ilmu yang berkenaan dengan
Al-Qur’an seperti asbab al nuzul dan aspek intrinsik ialah istinbath hukumnya.
Rif'at Syauqi Nawawi dan M. Ali Hasan meramu beberapa definisi di atas
menjadi:
"Usaha yang bertujuan menjelaskan al-Qur`an atau ayat-ayatnya atau lafaz-
lafaznya agar yang tidak jelas menjadi jelas, yang samar-samar menjadi terang,
yang sulit dipahami menjadi mudah dipahami, sehingga al-Qur`an sebagai
pedoman hidup manusia benar-benar dapat dipahami, dihayati, dan diamalkan
demi tercapinya kehidupan dunia dan akhirat."
Dari pengertian tafsir ini dapat ditarik beberapa unsur pokok yang harus
diperhatikan dalam memahami pengertian tafsir dan hal ini juga bisa dijadikan
pedoman bagi seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur`an sehingga usaha yang
dilakukan dalam rangka menafsirkan al-Qur`an menemukan sasaran yang
dituju.Unsur-unsur pokok itu adalah:
l Tujuannya untuk memperjelas apa yang sulit dipahami dari ayat-ayat al-
Qur’an, sehingga apa yang dikehendaki oleh Allah Swt. dalam firman-
Nya itu dapat dipahami dan dihayati.
l Sasarannya agar al-Qur`an sebagai pedoman hidup dan hidayah dari
Allah benar-benar berfungsi sebagaimana tujuan Al-Qur’an.
l Hakekatnya adalah menjelaskan maksud ayat al-Qur`an yang sebagian
besar masih dalam bentuk yang sangat global.
l Sarana pendukung pekerjaan menafsirkan al-Qur`an itu meliputi beberapa
ilmu yang berhubungan dengan al-Qur`an.
l Upaya menafsirkan al-Qur`an bukan untuk mengatakan demikianlah yang
pasti dikehendaki oleh Allah Swt. dalam firman-Nya. Namun, pencarian
makna itu hanyalah menurut kadar kemampuan manusia dengan segala
keterbatasannya.

B. PERBEDAAN TAFSIR, TA’WIL, DAN TERJEMAH


Dalam memaknai tafsir, ta'wil, dan terjemah terdapat perbedaan pendapat di
kalangan para ulama, akan tetapi para ulama memiliki perbedaan pemahaman
pada makna tafsir dan ta'wil saja. sebagian ulama mengutarakan, keduanya
memiliki makna yang sama, namun ulama yang lain mengatakan adanya
perbedaan makna pada pada kedua kata tersebut. Dalam mengartikan makna
terjemah , para ulama memiliki kesepakatan jikalau terjemah memiliki makna
yang berbeda dengan tafsir dan ta'wil.
Menurut Ar-Raghib al-Ashfahany, perbedaan antara tafsir dan ta'wil adalah
sebagai berikut :
ㆍ Ciri-Ciri Tafsir :
1. Lebih umum daripada ta'wil
2. Lebih banyak dipakai pada kata-kata tunggal,
3. Lebih banyak dipakai pada lafadz lafadz
4, berlaku untuk Al-Qur'an dan yang lain
ㆍ Ciri-ciri ta'wil :
1. Lebih banyak dipakai pada susunan kalimat,
2. lebih banyak dipakai pada makna-makna
3. Dipakai pada kitab-kitab suci daripada yang lain
Menurut Abu Nashr al-Qusyairy, pengertian tafsir dan ta'wil adalah sebagai
berikut :
ㆍ Tafsir berhubungan dengan riwayat, terbatas pada itba' dan sama', yaitu
menjelaskan dengan dasar ayat-ayat dan hadits-hadits yang shahih. sementara itu,
ta'wil berhubungan dengan dirayah dan istinbath untuk makna-makna firman
Allah Subhanahu Wa Ta'ala dengan memakai istinbath.
ㆍ Terjemah adalah menggganti atau menyalin susunan kalimat dari suatu bahasa
ke bahasa yang lain. "Barangsiapa menafsirkan atau menerangkan suatu bahasa ke
bahasa lain, maka orang tersebut disebut menterjemahkan."
Dari Penjelasan tafsir, ta'wil, dan terjemah, dapat disimpulkan bahwa ketiga
istilah tersebut mempunyai makna yang berbeda dan maksud yang berbeda pula.
C. KLASIFIKASI KITAB TAFSIR BERDASARKAN CORAK DAN
PENDEKATANNYA
a. Tafsir Sūfi
Tafsir sufi adalah tafsir yang ditulis oleh para sufi atau ahli tasawuf. Tasawuf itu
sendiri secara harfiah berarti mensucikan.Benci kepada kesenangan duniawi
dengan berlaku zuhud, berpakaian buruk – buruk dan kotor.[1]Dalam agama
Islam, tasawuf berarti mensucikan hati, bermunajat kepada Allah, dan
menjernihkan ruh dapat berhubungan langsung dengan Allah sehingga meraih
pelimpahan cahaya Ilahi dan ilham.
Sedangkan tasawuf sendiri dapat dipilah menjadi dua bagian utama, yaitu:
1. Tasawuf teoritis, yakni tasawuf yang didasarkan atas hasil pembahasan dan
studi yang mendalam.Dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf lahir ulama yang
mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami dan mendalami al-
Qur’an dengan sudut pandang sesuai dengan teori-teori tasawuf mereka. Mereka
menta’wilkan ayat-ayat al-Qur’an dengan tidak mengikuti cara-cara untuk
menta’wilkan ayat al-Qur’an dan menjelaskannya dengan penjelasan yang
menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan didukung oleh dalil
Syar’i serta terbukti kebenarannya dalam bahasa Arab, yaitu dalam bab perihal
Isyarat.
Imam Al-Alusy dalam kitab tafsirnya mengemukakan, sebagai berikut: “Apa
yang telah diungkapkan oleh tokoh-tokoh sufi tentang al-Qur’an adalah termasuk
ke dalam bab isyarat terhadap pengertian-pengertian rumit yang berhasil
diungkapkan oleh orang yang menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai
kepada Allah dan pengertian-pengertian itu dapat dipadukan dengan pengertian-
pengertian tekstual yang dikehendaki. Hal ini termasuk kesempurnaan iman dan
pengetahuan yang sejati. Mereka berkeyakinan bahwa pengertian tekstual sama
sekali bukanlah yang dikehendaki (pengertian batin, bukan tektual, itulah yang
dikehendaki). Oleh karena demikianlah keyakinan aliran Bathiniyah yang ekstrim,
maka mereka sampai menafikan syari’at secara keseluruhan.
Beberapa tokoh sufi tidaklah bersifat demikian, oleh karena itu mereka
menganjurkan agar tetap dipelihara penafsiran dan pengertian tekstual. Mereka
berkata: pada tahap pertama harus tetap dilakukan serta diketahui penafsiran dan
pengertian tekstual, sebab tidak mungkin bisa sampai kepada penafsiran dan
pengertian batin (non tekstual) dari suatu ayat sebelum penafsiran dan pengertian
tekstualnya terlebih dahulu di ketahui. Barang siapa yang mengaku dapat
memahami rahasia-rahasia Al-Qur’an sebelum mengetahui penafsiran dan
pengertian tektualnya, maka ia seperti orang yang mengaku telah sampai ke
bagian dalam Ka’bah sebelum ia melawan pintunya”.
Lebih jauh Al-Alusy berkata: “Tidaklah seyogyanya bagi orang yang
kemampuannya terbatas dan keimanannya belum mendalam mengingkari bahwa
Al-Qur’an mempunyai bagian-bagian batin yang dilimpahkan oleh Allah yang
Maha Pencipta dan Maha Pelimpah batin-batin hamba-Nya yang dikehendaki.
2. Tasawuf praktis, yakni tasawuf yang dihasilkan oleh praktik gaya hidup
sengsara, zuhud dalam rangka melaksanakan melaksanakan ketaatan kepada
Allah.[2]Mereka benar-benar menerapkan sikap-sikap hidup di atas untuk hidup,
mereka bersikap zuhud dialam kehidupan dunia dan selalu bersiap-siap diri
menghadapi kehidupan di akhirat. Dr. Muhammad Husain al-Dzahaby berkata:
“Kami tidak mendengar ada seseorang yang mengarang kitab tertentu tentang
tafsir sufi teoritis yang menafsirkan ayat demi ayat demi ayat dalam al-Qur’an
seperti dalam tafsir isyary (tafsir yang mengungkapkan makna-makna yang
diisyaratkan oleh ayat Al-Qur’an), yang kami temukan adalah keterangan-
keterangan yang terpencar-pencar (tidak dalam suatu kitab tertentu) yang termuat
dalam penafsiran yang disandarka kepada Ibn Araby dan kitab al-Futuhat al-
Makkiyah, karangan beliau sebagaimana sebagian yang lain dapat ditemukan
dalam banyak kitab-kitab tafsir yang corak penafsirannya berbeda-beda”.
Dari pembagian kelompok tasawuf tersebut tampak mulai adanya ketidakmurnian
dalam tasawuf, orang-orang yang bukan ahlinya mencoba mempelajari tasawuf
dengan landasan ilmu yang dianutnya.Sehingga hal tersebut sangat berpengaruh
pada bidang lainnya seperti fiqh, hadis dan tafsir.Pada masa ini pula bermunculan
istilah-istilah seperti khauf, mahabbah, ma’rifah, hulul dan lain sebagainya.Dan
sejak itu pula selanjutnya tasawuf telah menjadi lembaga atau disiplin ilmu yang
mewarnai khazanah keilmuan dalam Islam, seperti halnya filsafat, hukum dan
yang lainnya.
Perkembangan pemikiran Islam, khususnya dalam dimensi penafsiran esoteris
terhadap ayat-ayat al-Qur’an memunculkan corak penafsiran sufi. Maka tidaklah
mengherankan bila corak penafsiran semacam ini memang bukan hal yang baru,
bahkan telah dikenal sejak awal turunnya al-Qur’ān kepada Rasulullah SAW,
sehingga dasar yang dipakai dalam penafsiran ini umumnya juga mengacu pada
penafsiran al-Qur’an melalui hierarkhi sumber-sumber Islam tradisional yang
disandarkan kepada Nabi, para sahabat, dan pendapat kalangan Tabiin
Dalam perjalanannya, tafsir ini terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:
1. Tafsir shufiisyari, yaitu penafsiran al-Qur’an dalam bentuk ta’wil, yakni
penafsiran yang bersifat esoteric atau batini. Penafsiran ini dapat diuji validitasnya
ketika dibuktikan kesesuaiannya antara penafsiran yang batini dengan kenyataan
lahiriah.
2. Tafsir shufi nadzari, yaitu tafsir yang dibangun atas premis-premis ilmiah yang
diterapkan dalam penafsiran al-Qur’an. Sedangkan tafsir shufi isyari tidak
dibangun atas dasar premis-premis ilmiah. Ia dibangun atas dasar riyadhat
ruhiyyah, yaitu latihan-latihan spiritual yang dilakukan seorang sufi hingga ia
mencapai tingkat menemukan petunjuk melalui hati nuraninya (inkisyaf).
Ada beberapa kriteria tafsir sufi yang diterima yaitu :
1. Tidak menafikan penafsiran lahiriah
2. Ada kesaksian syar’i yang menguatkan penafsiranya
3. Tidak bertentangan dengan hokum dan akal
4. Ada kesadaran bahwa tafsir isyari itu bukan satu – satunya yang di maksud Al
Quran.
Contoh karya yang menampilkan corak tafsir sufi adalah Tafsir al-Qur’ān al-
Karim, karya Sahl al-Tustarī (w.283 H); Haqā’iq al-Tafsīr karya Abu Abd al-
Rahman al-Sulamī (w.412 H); Lata’if al-Isyarat karya al-Qusyairi, dan ‘Arā’is al-
Bayān fī Haqā’iq al-Qur’ān karya al-Syirazī (w.606)
b. Tafsir Fiqhī
Tafsir fiqhi, yaitu penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh tokoh suatu madzhab
untuk dijadikan sebagai dalil atas kebenaran madzhabnya.Tafsir fiqhi banyak
ditemukan dalam kitab-kitab fikih dari berbagai madzhab yang berbeda.
Bersamaan dengan lahirnya corak tafsir bil ma’tsūr, corak tafsir fiqhī juga
muncul pada saat yang bersamaan, melalui penukilan riwayat yang sama tanpa
ada pembedaan di antara keduanya. Ini terjadi lantaran kebanyakan masalah yang
muncul dan menjadi bahan pertanyaan para sahabat sejak masa awal Islam,
sampai pada generasi selanjutnya adalah masalah yang berkaitan dengan aspek
hukum. Di sini, keputusan hukum yang bersumber dari al-Qur’an bisa muncul
dengan cara melakukan penafsiran terhadapnya. Pada awal Islam, ketika
menemukan sebuah masalah, maka yang selalu dilakukan oleh para sahabat
adalah mengembalikan permasalahannya kepada Nabi SAW.Dengan begitu, Nabi
SAW kemudian memberikan jawaban.Jawaban-jawaban Nabi SAW ini
digambarkan sebagai bentuk penafsiran bi al-ma’tsūr, yang dengan muatan
penjelasan tentang hukum Islam dapat pula disebut dengan tafsir fiqhī.Oleh
karena itu, boleh dikatakan pula bahwa tafsir fiqhi muncul dan berkembang
bersamaan dengan berkembangnya ijtihad, yang hasilnya tentu saja sudah sangat
banyak, dan diteruskan dari generasi ke generasi secara tulus sejak awal turunnya
al-Qur’ān sampai masa penyusunan aliran-aliran hukum Islam menurut madzhab
tertentu.
Pada masa pembentukan madzhab, beragam peristiwa yang menimpa kaum
muslimin mengantarkan pada pembentukan hukum-hukum yang sebelumnya
mungkin tidak pernah ada. Maka masing-masing Imam madzhab melakukan
analisis terhadap kejadian-kejadian ini berdasarkan sandaran al-Qur’ān dan al-
Sunnah, serta sumber-sumber ijtihad lainnya. Dengan itu, para imam memberikan
keputusan hukum yang telah melalui pertimbangan pemikiran di dalam hatinya,
dan meyakini bahwa hal yang dihasilkan itu merupakan sesuatu yang benar, yang
didasarkan pada dalil-dalil dan argumentasi (Dzahabi, al-Tafsir Wal Mufassirun,
iii, 99).
Faktor yang cukup mencolok berkaitan dengan kemunculan corak tafsir fiqhi
adalah karya-karya yang menampilkan pandangan fiqih yang cukup sektarian,
ketika kita menemukan tafsir fiqhi sebagai bagian dari perkembangan kitab-kitab
fiqh yang disusun oleh para pendiri madzhab.Meskipun begitu, ada pula sebagian
yang memberikan analisis dengan membandingkan perbedaan pandangan
madzhab yang mereka anut.
Di antara kitab-kitab yang tergolong tafsir fiqhī adalah Ahkām al-Quran karya al-
Jassās (w. 370 H); Ahkām al-Quran karya Ibn al-‘Arabi (w. 543 H); dan Al-Jāmi‘
li ahkām al-Quran karya al-Qurtubī (w. 671 H).
c. Tafsir Falsafī
Tafsir falsafi adalah upaya penafsiran al-Qur’an dikaitkan dengan persoalan-
persoalan filsafat. Tafsir falsafi yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori
filsafat sebagai paradigmanya. Ada juga yang mendefisnisikan tafsir falsafi
sebagai penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan teori-teori filsafat.
Hal ini berarti bahwa ayat-ayat al-Qur’an dapat ditafsirkan dengan menggunakan
filsafat.Karena ayat al-Qur’an bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat
atau ditafsirkan dengan menggunakan teori-teori filsafat.
Dalam melakukan tafsir filsafat, dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Metode ta’wil atas teks-teks agama dan hakikat umumnya yang sesuai dengan
pandangan-pandangan filosofis.
2. Metode pensyarahan teks-teks agama dan hakikat hukumnya berdasarkan
pandangan-pandangan filosofis.
Tafsir Falsafi berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran
atau pandangan falsafi, seperti tafsir bi al-Ra`yi. Dalam hal ini ayat lebih
berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang
menjustifikasi ayat. Seperti tafsir yang dilakukan al-Farabi, ibn Sina, dan ikhwan
al-Shafa.Menurut Dhahabi, tafsir mereka ini di tolak dan di anggap merusak
agama dari dalam.
Al-Qur’an adalah sumber ajaran dan pedoman hidup umat Islam yang pertama,
kitab suci ini menempati posisi sentral dalam segala hal yaitu dalam
pengembangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan keislaman.Pemahaman
ayat-ayat al-Qur’an melalui penafsiran mempunyai peranan yang sangat besar
bagi maju mundurnya peradaban umat Islam.Di dalam menafsirkan Al Qur’an
terdapat beberapa metode yang dipergunakan sehingga membawa hasil yang
berbeda-beda pula, sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang masing-
masing mufasir. Sehingga timbullah berbagai corak penafsiran seperti tafsir shufi,
ilmi, adabi, fiqhi, falsafi dan lain-lain yang tentunya juga akan menimbulkan
pembahasan yang luas serta pro-kontra dari zaman ke zaman.
Penafsiran terhadap al-Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa awal
Islam.Sejalan dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui seluruh segi
kandungan al-Qur’an serta intensitas perhatian para ulama terhadap tafsir, maka
tafsir al-Qur’an pun terus berkembang, baik pada masa ulama salaf maupun khalaf
bahkan hingga sekarang.Pada tahapan-tahapan perkembangannya tersebut,
muncullah karakteristik yang berbeda-beda baik dalam metode maupun corak
penafsirannya.
Sejarah telah mencatat perkembangan tafsir yang begitu pesat, seiring dengan
kebutuhan, dan kemampuan manusia dalam menginterpretasikan ayat-ayat
Tuhan.Setiap karya tafsir yang lahir pasti memiliki sisi positif dan negatif,
demikian juga tafsir falsafi yang cenderung membangun proposisi universal hanya
berdasarkan logika dan karena peran logika begitu mendominasi, maka metode ini
kurang memperhatikan aspek historisitas kitab suci.Namun begitu, tetap ada sisi
positifnya yaitu kemampuannya membangun abstraksi dan proposisi makna-
makna latent (tersembunyi) yang diangkat dari teks kitab suci untuk
dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya
dan bahasa.
Dari pemahaman tersebut tidak terlalu berlebihan kiranya kalau kita
mengharapkan nantinya terwujudnya tafsir falsafi ideal, sebuah konsep tafir
falsafi yang kontemporer yang tidak hanya berlandaskan interpretasi pada
kekuatan logika tetapi juga memberikan perhatian pada realitas sejarah yang
mengiringinya. Sebab pada prinsipnya teks al-Qur’an tidak lepas dari struktur
historis dan konteks sosiokultural di mana ia diturunkan. Dengan demikian, akan
lahir tarfir-tafsir filosofis yang logis dan proporsional, tidak spekulatif dan
diberlebih-lebihan.
Ada beberapa kitab tafsir falsafi seperti, Fushush al- Hikam karya Al Farabi,
Mafatih Al-Ghaib, karya Fakhr al-Razi (w. 606 H), al-Isyarat, karya Imam al-
Ghazali (w. 505 H), Rasail Ibn Sina, karya Ibn Sina (w. 370 H).
d. Tafsir Ilmi
Tafsir ilmi adalah tafsir yang memperkenalkan istilah – istilah ilmiah dari al
Quran dan ditandai dengan adanya usaha untuk menggali aneka ilmu dan
pandanagan filsafat dari al Quran.[6]Kajian tafsir ini adalah untuk memperkuat
teori-teori ilmiah dan bukan sebaliknya.Alasan yang melahirkan penafsiran ilmiah
adalah karena seruan al-Quran pada dasarnya adalah sebuah seruan ilmiah. Yaitu
seruan yang didasarkan pada kebebasan akal dari keragu-raguan dan prasangka
buruk, bahkan al-Quran mengajak untuk merenungkan fenomena alam semesta,
atau seperti juga banyak kita jumpai ayat-ayat al-Quran ditutup dengan ungkapan-
ungkapan, “Telah kami terangkan ayat-ayat ini bagi mereka yang miliki ilmu”,
atau dengan ungkapan, “bagi kaum yang memiliki pemahaman”, atau dengan
ungkpan, “bagi kaum yang berfikir.”
Apa yang dicakup oleh ayat-ayat kauniyah dengan makna-makna yang mendalam
akan menunjukkan pada sebuah pandangan bagi pemerhati kajian dan pemikiran
khususnya, bahwa merekalah yang dimaksudkan dalam perintah untuk
mengungkap tabir pengetahuannya melalui perangkat ilmiah yang berkenaan
dengan itu. Walhasil, ketika sebagian ulama menangkap hakikat bahwa al-Qur’an
mendorong manusia untuk berpikir dan menguasai ilmu pengetahuan, mereka
menyusun tafsir ayat-ayat kauniyah, menurut kaidah bahasa dan kelazimannya,
menurut ukuran yang mereka bisa terangkan sebagai bagian ilmu yang bersumber
dari agama mereka berdasarkan kesimpulan analisis yang mereka dapatkan dari
kenyataan pula.
Karya yang bisa digolongkan dalam kelompok tafsir ilmi adalah Tafsir al-Kabīr
karya Imam Fakh al-Razî dan Tafsir al-Jawahir karya Tantawi Jauhari. Sebagian
ulama ada juga yang memasukkan beberapa karya seperti Ihyā’ ‘ulūm al-dīn, dan
Jawāhir al-Quran karya Imam al-Ghazāli; serta al-Itqan karya al-Suyūtī sebagai
karya yang mencerminkan corak tafsir ilmi ini, akan tetapi bila tafsir dipahami
sebagai genre untuk karya yang menampilkan penafsiran al-Qur’an berdasarkan
tata urutan ayatnya sesuai dengan mushaf, sebagaimana corak ini tergolong
kepada metode tafsir tahlili, maka ketiga karya yang disebut terakhir tidak bisa di
masukkan ke dalamnya.
Setidaknya terdapat tiga kelompok utama berkenaan dengan tafsir ilmi.Pertama,
kelompok yang mendukung keberadaan tafsir ilmi.Kedua, kelompok yang
menolak.Ketiga, kelompok moderat yang mencoba mencari jalan tengah di antara
dua kelompok yang bertolakbelakang secara diametral di atas.
Kelompok yang mendukung tafsir ilmi beralasan bahwa tafsir ilmi adalah sebuah
keniscayaan sejarah dan bagian dari upaya mendialogkan al-Qur’an dengan
aktualitas, dengan konteks, dan sebagai respon terhadap perkembangan zaman
yang senantiasa bergerak.Kelahiran tafsir ilmi merupakan dinamika yang wajar
dalam batang tubuh umat Islam.Keberadaan tafsir ilmi dapat membuka tabir-tabir
makna yang selama ini belum terungkap dan bahkan dalam beberapa kasus dapat
merevisi berbagai pandangan atau tafsiran yang sejatinya bertolak belakang
dengan visi dan paradigma al-Qur’an sendiri.
Apalagi ibadah-ibadah utama dalam agama Islam berkaitan langsung dengan
ilmu pengetahuan dan teknologi, seperti shalat yang membutuhkan ilmu geografi
dan astronomi, penentuan puasa yang membutuhkan ilmu astronomi, dan lain
sebagainya.Kelompok pertama ini didukung oleh Imam Al-Ghazali. Menurut Al-
Ghazali, semua cabang ilmu pengetahuan terdapat dalam al-Qur’an, baik yang
telah berhasil diungkap maupun yang belum terungkap. Kelompok ini
mendasarkan pendapatnya pada ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah
Swt. telah menerangkan segala sesuatu dalam Al-Kitab dan Allah Swt.
menurunkan Al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu, petunjuk, rahmat, dan
kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
Kelompok yang pertama ini memberikan apresiasi yang berbeda terhadap
penerapan tafsir limi. Ada yang menjelaskan ayat al-Qur’an dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang dimiliki oleh sang mufasir, atau fungsi tabyin.
Ada yang berkeinginan membuktikan kebenaran teks al-Qur’an menurut ilmu
pengetahuan mutakhir, atau fungsi I’jaz.Hal ini member stimulant kepada umat
Islam dan Ilmuan dalam meneliti dan observasi ilmu pengetahuan lewat teks-teks
al-Qur’an.Terakhir, fungsi istikhraj al-‘ilm atau ta’ziz, yakni ayat-ayat al-Qur’an
mampu melahirkan dan memperkuat teori-teori ilmu pengetahuan mutakhir.
Sementara itu, Imam Abu Ishak Ibrahim ibn Musa Al-Syatibi Al-Andalusi (w.
790 M) disebut-sebut sebagai orang yang menantang penggunaan tafsir ilmi
terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Menurut Al-Syatibi, bahwa semua sahabat Nabi
lebih mengetahui al-Qur’an dan apa-apa yang tercantum di dalamnya, tapi tidak
seorang pun dari mereka yang menyatakan bahwa al-Qur’an mencakup seluruh
cabang ilmu pengetahuan. Bahkan, menurut kelompok yang kedua ini, terbaca
kesan pemaksaan penerapan tafsir ilmi terhadap ayat-ayat al-Qur’an.Kelompok
kedua ini menolak penerapan tafsir ilmi terhadap al-Qur’an karena al-Qur’an
bukanlah kitab ilmu pengetahuan, melainkan kitab hidayah, ishlah, dan tasyri’.
Sedangkan kelompok yang ketiga, kelompok moderat, mengambil jalan tengah di
antara dua kutub Ghazalian dan Syatibian di atas.Bagi kelompok ini, pendapat Al-
Ghazali yang menyatakan bahwa al-Qur’an mengandung segala sesuatu, adalah
argumen yang dilebih-lebihkan.Sebab, meskipun ilmu Tuhan diyakini tidak
terbatas, persoalannya adalah apakah ilmu-ilmu Tuhan telah dituangkan-Nya
dalam al-Qur’an?Apakah setiap kata yang menyangkut disiplin ilmu merupakan
bukti lengkapnya disiplin ilmu tersebut dalam al-Qur’an?
Untuk kelompok Al-Syatibi pendulum kritik diarahkan, bahwa umat Islam yang
hidup di zaman ini tidak mungkin memahami al-Qur’an sebagaimana pemahaman
sahabat dan orang-orang terdahulu. Sementara itu di sisi lain, al-Qur’an
memerintahkan setiap muslim mempergunakan akal pikirannya serta
merendahkan mereka yang hanya mengekor pendapat orang tua atau nenek
moyangnya. Abbas Mahmud Aqqad adalah salah seorang yang dapat dimasukkan
dalam kategori ketiga ini.
Menurut kelompok yang ketiga ini, tafsir ilmi dapat diterima dan diterapkan
terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan catatan seorang mufasir memenuhi tiga
syarat berikut ini.Pertama, penafsirannya sejalan dengan kaidah
kebahasaan.Disebabkan al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, maka ketika
menafsirkan ayat-ayat ilmiah, seorang mufasir harus paham dengan kaidah-kaidah
bahasa Arab.Selain mengerti dengan ilmu I’rab, bayan, ma’ani, dan badi’, sesuai
dengan kaidah-kaidah dalam kitab-kitab tafsir dan kamus, seorang mufasir juga
harus memperhatikan dan mempertimbangkan perkembangan arti dari suatu kata.
Kedua, memperhatikan korelasi ayat (munasabat al-ayat).Selain menguasai
kaidah kebahasaan, seorang mufasir ilmi harus juga dituntut untuk memperhatikan
korealasi ayat, baik ayat sebelumnya maupun ayat sesudahnya.Hal ini penting,
mengingat penyusunan al-Qur’an tidak berdasarkan pada kronologi turun ayat,
melainkan berdasarkan pada korelasi makna ayat-ayatnya, sehingga kandungan
ayat sebelumnya senantiasa berkaitan dengan kandungan ayat yang berikutnya.
Ketiga, berdasarkan pada fakta ilmiah yang telah mapan.Sebagaimana diketahui,
sebagai kitab wahyu, kebenaran al-Qur’an diakui secara mutlak.Otentisitas dan
validitasnya dapat diuji dari berbagai perspektif, baik dari perspektif sejarah,
kebahasaan, berita ghaib, dan bahkan dari aspek ilmiah sekalipun.Oleh sebab itu,
pensejajaran al-Qur’an dengan teori-teori ilmiah yang tidak mapan, tentu saja
tidak dapat diterima.Dan, bila diperhatikan secara seksama, sesungguhnya
menyandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki kebenaran mutlak dengan
kebenaran temuan ilmiah yang bersifat relatif, adalah salah satu alasan utama
kelompok yang menolak penerapan tafsir ilmi terhadap al-Qur’an.
e. Tafsir Adabi wa Ijtima’i
Corak tafsir ini berusaha memahami teks al-Qur'an dengan cara, pertama dan
utama, mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur'an secara teliti, selanjutnya
menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur'an tersebut dengan gaya
bahasa yang indah dan menarik, kemudian berusaha menghubungkan nash-nash
al-Qur'an yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.
Pembahasan tafsir ini sepi dari penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi, dan
tidak akan menggunakan istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu dan hanya
sebatas kebutuhan.
Pembahasan tafsir ini sepi dari penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi, dan
tidak akan menggunakan istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu dan hanya
sebatas kebutuhan. Kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam
suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama dan tujuan-tujuan
Alquran yaitu membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian
menggabungkannya dengan pengertian-pengertian ayat tersebut dengan hukum
alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.di samping itu pula
juga dengan menekankan tujuan pokok diturunkannya Alquran, lalu
mangaplikasikannya pada tatanan sosial, seperti pemecahan masalah-masalah
umat islam dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan perkembangan
masyarakat. Dalam corak tafsir ini yang penting adalah bagaimana misi Alquran
sampai pada pembaca.
Dalam penafsirannya, teks-teks Alquran dikaitkan dengan realitas kehidupan
masyarakat, tradisi sosial dan system peradaban, sehingga dapat fungsional dalam
memecahkan persoalan. Dengan demikian mufassir berusaha mendiagnosa
persoalan-persoalan umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya,
untuk kemudian mencarikan jalan keluar berdasarkan petunjuk-petunjuk Alquran,
sehingga dirasakan bahwa ia selalu sejalan dengan dengan perkembangan zaman
dan manusia.
Metode al-Adabi al-Ijtima’i dalam segi keindahan (balaghah) bahasa dan
kemu’jizatan Alquran, berusaha menjelaskan makna atau maksud yang dituju oleh
Alquran, berupaya mengungkapkan betapa Alquran itu mengandung hukum-
hukum alam raya dan aturan-aturan kemasyarakatan, melalui petunjuk dan ajaran
Alquran, suatu petunjuk yang berorientasi kepada kebaikan dunia dan akhirat,
serta berupaya mempertemukan antara ajaran Alquran dan teori-teori ilmiah yang
benar. Juga berusaha menjelaskan kepada umat bahwa Alquran itu adalah Kitab
Suci yang kekal, yang mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman dan
kebudayaan manusia sampai akhir masa, berupaya melenyapkan segala
kebohongan dan keraguan yang dilontarkan terhadap Alquran dengan argument
yang kuat yang mampu menangkis segala kebatilan, karena memang kebatilan itu
pasti lenyap.
Semua hal di atas dikemukakan dan diuraikan dengan gaya bahasa yang sangat
indah, menarik memikat, dan membuat pembaca terpesona serta merasuk kedalam
kalbunya, sehingga tergugahlah hatinya untuk memperhatikan Kitabullah dan
timbul minat serta gairah untuk mengetahui segala makna dan rahasia Alquran al-
Karim tersebut. Metode tafsir Al-Adabi Al-Ijtima’i Dalam Analisis Tentang
Unsur-unsur Terbentuknya Masyarakat.
Unsur yang membentuk masyarakat ada tiga yakni: Manusia, alam dan
hubungan/interaksi social. Unsur ketiga yang harus kita kaji untuk menemukan di
manakah letak posisi manusia dalam interaksi social, sesuai dengan konsepsi yang
dikehendaki oleh Alquran. Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki
ketergantungan (interdependensi) satu sama lain dalam kehidupannya. Bertolak
dari kebutuhan sosiologisnya itu, seluruh manusia akan memiliki kecenderungan
yang sama, yaitu membentuk kesatuan sosial, yang pada akhirnya melahirkan
sebuah Negara.
Dilihat dari segi sifatnya, hubungan sosial tersebut terbagi dua, yaitu:
1. Hubungan fungsional
2. Hubungan persaudaraan yang diikat kesamaan agama.
Hubungan fungsional adalah hubungan sosial yang lebih bertendensikan
kejasaan.Hubungan sosial dalam masyarakat, ini adalah hubungan antara manusia
dengan sesamanya, berkaitan dengan pemerataan kesejahteraan, gesekan
kebudayaan dan berbagai bidang kehidupan sosial lainnya.Permasalahan yang
dihadapi di sini bukan lagi pertentangan antara manusia dengan alam tetapi berupa
pertentangan sosial dan benturan kepentingan atau kemaslahatan antar sesama,
problematika sosial dalam masyarakat memang sangat kompleks beragam dan
dalam bentuk yang bermacam-macam.Akan tetapi pada hakikatnya satu subtansial
yang berulang-ulang dan sangat umum, yakni pertentangan antara golongan lemah
dan golongan kuat.semuanya bersumber pada antara kesenjangan mereka yang
ada di posisi golongan kuat dan yang di posisi golongan lemah. Bahkan sering
kali permasalahan itu timbul dari satu golongan yaitu golongan elit atas.
Pada hari akhir nanti Allah tidak menanyai manusia mengenai pendapat para
mufassir, dan tentang bagaimana mereka memahami Alquran. Tetapi ia akan
menanyakan kepada kita tentang kitab-Nya yang Ia wahyukan untuk membimbing
dan mengatur manusia. Kesimpulannya adalah menjelaskan Alquran kepada
masyarakat luas dengan maknanya yang praktis, bukan hanya untuk ulama’
professional. Masyarakat awam maupun ulama’, menyadari relevansi terbatas
yang dimiliki tafsir-tafsir tradisional, tidak akan memberikan pemecahan terhadap
masalah-masalah penting yang mereka hadapi sehari-hari. Agar para ulama itu
yaqin, bahwa mereka seharusnya membiarkan Alquran berbicara atas nama
dirinya sendiri, bukan malah diperumit dengan penjelasan-penjelasan dan
keterangan-keterangan yang subtil.
Nuansa social kemasyarakatan yang dimaksud di sini adalah tafsir yang
menitikberatkan penjelasan ayat Alquran dari:
1). Segi ketelitian redaksinya
2). Kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi
dengan tujuan utama memaparkan tujuan-tujuan Alquran, eksentuasi yang
menonjol pada tujuan utama yang diuraikan Alquran, dan
3). Penafsiran ayat dikaitkan dengan sunnatullah yang berlaku dalam masyarakat.
Nuansa tafsir sosial kemasyarakatan ingin menghindari adanya kesan cara
penafsiran yang seolah-olah menjadikan Alquran terlepas dari akar sejarah
kehidupan manusia, baik secara individu maupun sebagai kelompok. Akibatnya,
tujuan Alquran sebagai petunjuk dalam kehidupan manusia terlantar.
Para Pelopor Dan Kitab Tafsir Corak al-Adabi al-Ijtima’i. Menganai penafsiran
Alquran kontemporer adalah upaya melahirkan konsep-konsep Qurani sebagai
jawaban terhadap tantangan dan problematika kehidupan modern dan upaya
mempertemukan antara Qur’an dan sains modern yang selalu berkembang dengan
cepat dalam batas yang wajar dan ditoleransi oleh islam, dengan motifasi lebih
menegaskan I’jaz ilmi Alquran. Dalam bidang kemasyarakatan dan politik, maka
tafsir yang sangat dibanyak dipelajari adalah tafsir yang terbit pada abad ke XIX
dan XX.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tadi, penafsir metode al- Adab wal al
ijtimai berusaha mengemukakan segi keindahan (balaghah) bahasa dan
kemukjizatan al- Quran, berusa menjelaskan makna atau maksud yang dituju oleh
al Quran, berupaya mengungkapkan betapa al Quran itu mengandung hokum-
hukum alam raya dan aturan- aturan kemasyarakatan, dan bermaksud membantu
memecahkan segala problema yang dihadapi oleh umat Islam melalaui petunjuk
dan ajaran al Quran dan ajaranya, suatu petunjuk yang berorientasi kepada
kebaikan dunia dan akhirat, serta berupaya mempertemukan antara ajaran al
Quran dan toeri- teori ilmiah yang benar. Juga berusaha menjelaskan kepada umat
bahwa al Quran itu adalah kitab suci yang kekal, yang mampu bertahan sepanjang
perkembangan zaman dan kebudayaan manusia sampai akhir masa, berupaya
melenyapkan segala kebohongan dan keraguan yang dilontarkan terhadap alQuran
dengan argument yang kuat yang mampu menangkis segala kebatilan, kerna
memang kebatilan itu pasti lenyap.
Semua hal di atas dikemukakan dan diuraikan dengan gaya bahasa yang sangat
indah, menarik, memikat, dan membuat pembaca terpesona serta merasuk ke
dalam hatinya, sehingga tergugahlah hatinya untuk memperhatikan Kitabullah dan
timbul minat serta gairah untuk mengetahui segala makna dan rahasia al-Qur’an
al-Karim tersebut.Tokoh utama corak adabi ijtima’i ini adalah Muhammad Abduh
sebagai peletak dasarnya, dilanjutkan oleh muridnya Rasyid Ridha, di era
selanjutnya adalah Fazlurrahman, Muhammad Arkoun. Selanjutnya yang masih
menjadi bagian dari para mufassir dengan corak ini akan disebutkan berikut ini
bersama karya-karya tafsirnya.
1.Tafsir Al-Manar, oleh Rasyid Ridha (w. 1345 H).
2.Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, karya Al-Syekh Mahmud Syaltut .
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai