Anda di halaman 1dari 51

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Apotek

Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek

kefarmasian oleh Apoteker. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung

dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi

dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan

pasien. Sedangkan Praktek kefarmasiaan yaitu meliputi pembuatan termasuk

pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan

pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta

pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga

kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan

(1,2,3)
peraturan perundang-undangan.

Apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan

kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada

masyarakat. Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu

Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau

penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,

pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.

Penyaluran Sediaan Farmasi adalah sarana yang digunakan untuk mendistribusikan

atau menyalurkan Sediaan Farmasi, yaitu Pedagang Besar


6

Farmasi dan Instalasi Sediaan Farmasi. Perbekalan kesehatan adalah semua

bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.

(1,2,4)

2.2 Landasan Hukum Apotek

Apotek sebagai salah satu fasilitas pelayanan kefarmasian tempat dilakukan

praktik kefarmasian oleh Apoteker memiliki landasan hukum yang diatur dalam

berbagai peraturan sebagai berikut :

1. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;

3. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan

Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan;

5. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian;

6. Peraturan Menteri Kesehatan No 3 tahun 2015 tentang Peredaran,

penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotika, psikotropika, dan

perkusor farmasi

7. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

8. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 189/Menkes/SK/III/2006 tentang

Kebijakan Obat Nasional;


7

9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/Menkes/Per/lll/2010 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan;

10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 tentang

Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian;

11. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014

tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.

12. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1148/Menkes/

Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi;

13. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/Menkes/

SK/X/2002 tentang Tata Cara Pemberian Izin Apotek;

14. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 347/Menkes/SK/

VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek.

2.3 Tugas dan Fungsi Apotek

(4)
Tugas dan fungsi apotek diantaranya yaitu :

a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan

sumpah jabatan Apoteker

b. Tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker

c. Sarana yang digunakan untuk untuk menyelenggarakan pelayanan

kefarmasian.

d. Sarana pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,


8

pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat

atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan

obat dan obat tradisional.

2.4 Persyaratan Apotek

(5)
Persyaratan apotek diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Untuk mendapatkan izin Apotek, Apoteker atau Apoteker yang bekerja sama

dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan

tempat, perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya yang

merupakan milik sendiri atau milik pihak lain.

b. Sarana Apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan

pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi.

c. Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar

sediaan farmasi.

Beberapa persyaratan lain yang harus diperhatikan dala mmendirikan sebuah

apotek diantaranya, yaitu:

a. Lokasi

Lokasi untuk apotek baru atau perpindahan apotek serta jumlah dan jarak

minimum antara apotek di suatu wilayah tertentu ditetapkan oleh Menteri, akan tetapi

lokasi apotek tidak lagi ditentukan harus memiliki jarak minimum dari apotek lain

dan sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan
9

(4,5,6)
komoditi lainnya di luar sediaan farmasi.

Lokasi apotek sebaiknya mempertimbangkan segi jumlah penduduk sekitar,

jumlah dokter yang ada, mudah dijangkau oleh masyarakat dan letaknya strategis,

kemampuan daya beli masyarakat di lokasi tersebut serta lingkungan yang higienis

dan keamanannya. Di depan bangunan terdapat papan petunjuk yang dengan jelas

tertulis kata “APOTEK” beserta Apoteker Pengelola Apotek (APA) dan Nomor SIA.

b. Bangunan

Bangunan apotek harus memenuhi persyaratan teknis, mempunyai luas yang

memadai sehingga dapat menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi apotek.

(4,6)
Persyaratan teknis bangunan apotek setidaknya terdiri dari:

1. Dinding harus kuat dan tahan air, permukaan dalam harus rata, tidak mudah

mengelupas dan mudah dibersihkan.

2. Langit-langit harus terbuat dari bahan yang tidak mudah rusak dan

permukaan sebelah dalam berwarna terang.

3. Atap tidak boleh bocor, terbuat dari genteng atau bahan lain yang

memadai.

4. Lantai tidak boleh lembab, terbuat dari ubin, semen atau bahan lain yang

memadai.

Bangunan suatu apotek setidaknya memiliki ruangan di bawah ini :

1. Ruang tunggu pasien.


10

2. Ruang peracikan dan penyerahan obat.

3. Ruang administrasi.

4. Ruang penyimpanan obat.

5. Ruang tempat pencucian alat.

6. Kamar kecil (WC).

Bangunan apotek juga harus dilengkapi dengan sarana dan prasarana di bawah

ini:

1. Sumber air yang memenuhi persyaratan kesehatan.

2. Parkiran yang cukup untuk pasien dan pelanggan apotek.

3. Penerangan yang cukup sehingga dapat menjamin pelaksanaan tugas dan

fungsi apotek dengan baik.

4. Alat pemadam kebakaran minimal dua buah dan masih berfungsi dengan

baik.

5. Ventilasi dan sistem sanitasi yang baik serta memenuhi persyaratan hygiene

lainnya.

6. Papan nama apotek yang memuat nama apotek, nama Apoteker

Pengelola Apotek (APA), Nomor Surat Izin Apotek (SIA), alamat apotek

dan nomor telepon apotek (bila ada).

c. Perlengkapan Apotek

(4)
Perlengkapan apotek yang harus tersedia di apotek diantaranya yaitu :
11

1. Alat pembuatan, pengolahan, dan peracikan, seperti timbangan, stamper, mortir,

gelas ukur dan lain-lain.

2. Perlengkapan dan alat penyimpanan perbekalan farmasi seperti lemari obat

dan lemari pendingin.

3. Wadah pengemas dan pembungkus seperti wadah pengemas dan

pembungkus, etiket dan kertas perkamen.

4. Tempat penyimpanan khusus narkotika, psikotropik, dan prekusor

5. Alat administrasi seperti blanko pesanan obat, faktur, kuitansi, kartu stok, blanko

nota penjualan, buku pembelian, buku penerimaan, buku pencatatan narkotika

dan psikotropika, salinan resep dan lain-lain.

6. Buku standar yang diwajibkan antara lain Farmakope Indonesia,

farmakologi dan terapi, ISO, MIMS, DPHO dan peraturan perundang- undangan

yang berhubungan dengan apotek.

d. Personalia Apotek

Tenaga kerja di apotek meliputi tenaga kefarmasian dan non kefarmasian,

(7)
diantaranya yaitu :

1. Tenaga Kefarmasian, terdiri atas :

a. Apoteker

1. Apoteker Pengelola Apotek (APA)

Apoteker yang telah diberi izin oleh Menteri Kesehtan untuk mengelola apotek di
12

tempat tertentu. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang APA dapat dibantu oleh

Apoteker Pendamping atau Apoteker Pengganti. Tugas dan fungsi seorang APA

diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Memimpin, mengatur, melaksanakan dan mengawasi seluruh kegiatan apotek

sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Menyusun rencana kerja, menentukan target yang akan dicapai, personalia, dan

anggaran dana yang dibutuhkan sesuai dengan pedoman yang telah

ditetapkan.

c. Mempunyai tugas sebagai pemberi informasi obat kepada masyarakat,

karyawan dan tenaga kesehatan lainnya.

d. Mempunyai kemampuan untuk memimpin, berkomunikasi dan mendorong

prestasi kerja karyawannya.

e. Meninghkatkan pelayanan apotek dengan menjaring langganan baru, membina

karyawan dan membuat pembaharuan dalam sistem pelayanan.

2. Apoteker Pendamping

Apoteker yang bekerja di apotek di samping Apoteker Pengelola Apotek (APA)

dan atau menggantikannya pada hari operasional apotek di jam-jam tertentu.

3. Apoteker Pengganti

Apoteker yang menggantikan Apoteker Pengelola Apotek (APA) selama APA

tidak berada di tempat dalam jangka lebih dari 3 bulan secara terus menerus. Selain

itu, Apoteker Pengganti haruslah telah memiliki Surat Izin Praktik Apoteker dan

tidak bertanggung jawab sebagai Apoteker Pengelola Apotek di tempat lain.


13

b. Tenaga Teknis Kefarmasian

Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) meliputi sarjana farmasi, ahli madya farmasi,

dan analis farmasi. Tugas dan fungsi seorang Tenaga Teknis Kefarmasian

diantaranya adalah sebagai berikut :

a) Mengatur penyimpanan dan penyusunan obat di ruang racikan.

b) Memberikan harga pada setiap resep yang masuk dan memeriksa kelengkapan

resep.

c) Menghitung dosis obat untuk racikan sesuai dengan resep, menimbang,

menyiapkan obat, meracik obat, mengemas dan membuat etiket.

d) Menyerahkan obat setelah diperiksa oleh supervisor peracikan. e) Mencatat

obat masuk dan keluar pada kartu stock barang.

e) Membuat salinan resep dan kuitansi bila diperlukan.

2. Tenaga Non Kefarmasian

A. Kasir

Kasir bertugas mencatat pemasukan dan pengeluaran uang yang dilengkapi

dengan kuitansi, nota penjualan yang dilengkapi dengan kuitansi, nota, tanda setoran,

dan lain-lain. Tugas dan fungsi kasir, diantaranya yaitu :

1. Melakukan pemeriksaan harian keuangan apotek dan stock uang perminggu.

2. Menerima piutang dagang.

3. Melakukan pembayaran hutang dagang.


14

4. Melakukan pembayaran gaji pegawai baik uang servis, lembur, gaji dan honorer

yang dilakukan secara berkala.

5. Membayar kebutuhan apotek misalnya biaya listrik, telepon, dan kebutuhan

rumah tangga lainnya.

B. Pegawai Tata Usaha

Pegawai tata usaha melaksankan kegiatan administrasi yaitu membuat laporan

pembelian, penyimpanan, penjualan, keuangan apotek, hutang, piutang, pajak,

personalia, dan lain-lain. Tugas dan fungsi pegawai tata usaha, yaitu :

1. Mengelola dokumen-dokumen serta kegiatan surat-menyurat apotek.

2. Membuat laporan rekapitulasi penjualan, pembelian, hutang dagang secara

mingguan.

3. Membuat laporan realisasi anggaran, cash flow bulanan, piutang dagang,

hutang dagang secara bulanan.

4. Membuat laporan per triwulan, semeteran dan tahunan.

e. Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA)

Tenaga Kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib

memiliki surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja. Surat izin sebagaimana

(8)
dimaksud diantaranya dapat berupa :

1. SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan

kefarmasian;
15

2. SIPA bagi Apoteker pendamping di fasilitas pelayanan kefarmasian;

3. SIKA bagi Apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di fasilitas

produksi atau fasilitas distribusi/penyaluran; atau

4. SIKTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan pekerjaan

kefarmasian pada fasilitas kefarmasian.

Tenaga Kefarmasian yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian di

Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi. Surat tanda registrasi Apoteker

berupa STRA dan Tenaga Teknis Kefarmasian berupa STRTTK. STRA tersebut

dapat diperoleh apabila seorang apoteker telah memenuhi persyaratan sebagai

(2)
berikut :

1. Memiliki ijazah apoteker.

2. Memiliki sertifikat kompetensi apoteker;

3. Surat pernyataan telah mengucapkan sumpah atau janji apoteker;

4. Surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang mempunyai surat

izin praktek;

5. Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika

profesi.

STRA dikeluarkan oleh Menteri yang kemudian akan mendelegasikan

pemberian STRA kepada Komite Farmasi Nasional (KFN) dan STRTTK kepada

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. STRA dan STRTTK berlaku selama 5 (lima)
16

tahun dan dapat diregistrasi ulang selama memenuhi persyaratan. Dalam memperoleh

SIPA atau SIKA, maka Apoteker haruslah mengajukan permohonan kepada Kepala

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian. Dalam

(9)
mengajukan permohonan SIPA atau SIKA maka Apoteker harus melampirkan :

1. Fotokopi STRA yang dilegalisir KFN ( Komite Farmasi Nasional )

2. Surat pernyataan mempunyai tempat praktek profesi atau surat

keterangan dari pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian atau dari pimpinan

fasilitas produksi atau distribusi/penyaluran

3. Surat rekomendasi dari organisasi profesi;

4. Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak dua lembar dan 3 x 4 cm sebanyak

dua lembar.

(4)
2.5 Tata Cara Perizinan Apotek

Tata cara pemberian izin Apotek adalah sebagai berikut :

1. Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota dengan menggunakan contoh formulir APT-1.

2. Dengan menggunakan formulir APT-2 Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/

Kota selambat lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah menerima permohonan

dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala Balai POM untuk melakukan

pemeriksaan terhadap kesiapan apoteker melakukan kegiatan.

3. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambat-


17

lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari kepala

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan setempat

dengan menggunakan formulir APT-3.

4. Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud di dalam butir (2) dan (3), jika

tidak dilaksanakan maka apoteker pemohon dapat membuat surat pernyataan

siap melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Provinsi dengan

menggunakan formulir APT-4.

5. Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan

pemeriksaan sebagaimana dimaksud butir (3) atau pernyataan butir (4) Kepala

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat mengeluarkan Surat Izin Apotek

dengan menggunakan formulir APT-5.

6. Dalam hal hasil pemeriksaan tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala

Balai POM sebagaimana dimaksud pada butir (3) jika masih belum memenuhi

syarat, maka Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam waktu 12 (dua

belas) hari kerja mengeluarkan surat penundaan dengan menggunakan formulir

APT-6.

7. Terhadap surat penundaan sebagaimana dimaksud dalam butir (6), apoteker

diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi selambat-

lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal surat penundaan.

8. Dalam hal Apoteker menggunakan sarana pihak lain, maka penggunaan

sarana dimaksud wajib didasarkan atas perjanjian kerja sama antara


18

Apoteker dan pemilik sarana. Pemilik sarana dimaksud dalam butir (8)

harus memenuhi persyaratan tidak pernah terlibat dalam pelanggaran peraturan

perundang-undangan di bidang obat sebagaimana dinyatakan dalam Surat

Pernyataan yang bersangkutan.

9. Terhadap permohonan izin Apotek yang ternyata tidak memenuhi

persyaratan dimaksud pasal 5 dan atau pasal 6, atau lokasi Apotek tidak

sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

setempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 (dua belas) hari kerja

wajib mengeluarkan Surat Penolakan disertai dengan alasan-alasannya dengan

mempergunakan contoh Formulir Model APT-7.

(4)
2.6 Pencabutan Surat Izin Apotek

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mencabut Surat Izin

Apotek apabila :

a. Apoteker sudah tidak lagi memenuhi ketentuan dalam persyaratan untuk

menjadi Apoteker Pengelola Apotek.

b. Apoteker tidak memenuhi kewajiban dalam menyediakan, menyimpan dan

menyerahkan Sediaan Farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya

terjamin dan Apoteker mengganti obat generik yang ditulis di dalam resep

dengan obat paten.

c. Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2 tahun

secara terus-menerus.
19

d. Terjadi pelanggaran terhadap Undang-undang Narkotika, Undang-undang Obat

Keras, Undang-undang Kesehtan serta ketentuan peraturan perundang- undangan

lainnya yang terjadi di Apotek

e. Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) APA tersebut dicabut.

f. Pemilik sarana apotek tersebut terbukti terlibat dalam pelanggaran

perundang-undangan di bidang obat.

g. Apotek tidak dapat lagi memenuhi persyaratan mengenai kesiapan tempat

pendirian Apotek, perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan

lainnya baik merupakan milik sendiri atau pihak lain.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebelum melakukan pencabutan

surat izin apotek berkoordinasi dengan Kepala Balai POM setempat. Pelaksanaan

pencabutan surat izin apotek dilaksanakan setelah dikeluarkan :

1. Peringatan secara tertulis kepada Apoteker Pengelola Apotek sebanyak 3 (tiga)

kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 2 (dua) bulan

dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-12.

2. Pembekuan Izin Apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 (enam) bulan

sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan kegiatan Apotek dengan

menggunakan contoh Formulir Model APT-13.

Pembekuan izin apotek sebagaimana dimaksud dalam poin (2) di atas, dapat

dicairkan kembali apabila Apotek telah membuktikan memenuhi seluruh persyaratan

sesuai dengan ketentuan dalam peraturan tersebut dengan menggunakan contoh

Formulir Model APT-14. Pencairan izin Apotek tersebut dilakukan setelah menerima
20

laporan pemeriksaan dari Tim Pemeriksaan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

setempat. Apabila Surat Izin Apotek dicabut, Apoteker Pengelola Apotek atau

Apoteker Pengganti wajib mengamankan perbekalan farmasi sesuai peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Pengamanan perbekalan farmasi wajib mengikuti

tata cara sebagai berikut:

1. Dilakukan inventarisasi terhadap seluruh persediaan narkotika,

Psikotropika, obat keras tertentu dan obat lainnya serta seluruh resep yang

tersedia di Apotek.

2. Narkotika, Psikotropika dan resep harus dimasukkan dalam tempat yang

tertutup dan terkunci.

Apoteker Pengelola Apotek wajib melaporkan secara tertulis ke Kantor

Kementerian Kesehatan atau petugas yang diberi wewenang olehnya, tentang

penghentian kegiatan disertai laporan inventarisasi yang dimaksud dalam poin (1)

di atas.

(4)
2.7 Pengalihan Tanggung Jawab

Pengalihan tanggung jawab pengelolaan Apotek dapat terjadi apabila:

1. Pada setiap pengalihan tanggung jawab pengelolaan kefarmasian yang

disebabkan karena penggantian Apoteker Pengelola Apotek kepada Apoteker

Pengganti, wajib dilakukan serah terima resep, narkotika. Obat dan perbekalan

farmasi lainnya serta kunci-kunci tempat penyimpanan narkotika dan

psikotropika. Pada serah terima tersebut wajib dibuat berita acara serah terima
21

sesuai dengan bentuk yang telah ditentukan dalam rangkap empat yang

ditandatangani oleh kedua belah pihak.

2. Apabila Apoteker Pengelola Apotek meninggal dunia, dalam jangka waktu dua

kali dua puluh empat jam, ahli waris APA wajib melaporkan kejadian tersebut

secara tertulis kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

3. Apabila pada Apotek tersebut tidak terdapat apoteker pendamping,

pelaporan oleh ahli waris wajib disertai disertai penyerahan resep, narkotika,

psikotropika, obat keras dan kunci tempat penyimpanan narkotika dan

psikotropika;

4. Pada penyerahan pada poin (2) dan (3) kemudian dibuat Berita Acara

Serah Terima sesuai poin (1) dengan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

setempat dengan menggunakan contoh formulir Model APT-11, dengan

tembusan Kepala Balai POM setempat.

Apoteker Pengelola Apotek harus menunjuk Apoteker Pendamping apabila

berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka Apotek. Namun apabila Apoteker

Pengelola Apotek dan Apoteker Pendamping berhalangan melakukan tugasnya

karena hal-hal tertentu, maka Apoteker Pengelola Apotek harus menunjuk Apoteker

Pengganti. Penunjukan tersebut harus dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi

setempat dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-9 dan juga Apoteker

Pedamping dan Apoteker Pengganti wajib memenuhi persyaratan sebagai Apoteker

Pengelola Apotek.
22

(3)
2.8 Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

Standar pelayanan kefarmasian di apotek meliputi standar pengelolaan

Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai serta Pelayanan

Farmasi Klinik.

2.8.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis

Habis Pakai

Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai

dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku meliputi

perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian,

serta pencatatan dan pelaporan.

1. Perencanaan

Dalam membuat perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan

Bahan Medis Habis Pakai perlu diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi, budaya

dan kemampuan masyarakat.

2. Pengadaan

Untuk menjamin kualitas Pelayanan Kefarmasian maka pengadaan Sediaan

Farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Penerimaan

Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian antara jenis

spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam surat
23

pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.

4. Penyimpanan

Obat atau bahan Obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam

hal pengecualian atau darurat, yaitu apabila isi dipindahkan pada wadah lain, maka

harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada

wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya memuat nama Obat, nomor batch dan

tanggal kadaluwarsa. Semua Obat atau bahan Obat harus disimpan pada kondisi yang

sesuai sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya. Sistem penyimpanan dilakukan

dengan memperhatikan bentuk sediaan dan kelas terapi Obat serta disusun secara

alfabetis. Pengeluaran Obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out) dan

FIFO (First In First Out).

5. Pemusnahan

Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan bentuk

sediaan. Pemusnahan Obat kadaluwarsa atau rusak yang mengandung narkotika

atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota. Pemusnahan Obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh

Apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin

praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita acara

pemusnahan menggunakan Formulir 1. Resep yang telah disimpan melebihi

jangka waktu 5 (lima) tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan Resep dilakukan

oleh Apoteker disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di Apotek dengan


24

cara dibakar atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara

Pemusnahan Resep menggunakan Formulir 2 dan selanjutnya dilaporkan kepada

dinas kesehatan kabupaten/kota.

6. Pengendalian

Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah persediaan

sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan atau pengadaan,

penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya

kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta

pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu stok

baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya memuat

nama Obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa

persediaan. Pengendalian persedian dimaksudkan untuk membantu pengelolaan

perekalan (supply) sediaan farmasi dan alat kesehatan agar mempunyai persediaan

dalam jenis dan jumlah yang cukup sekaligus menghindari kekosongan dan

menumpuknya persediaan. Pengendalian persediaan yaitu upaya mempertahankan

tingkat persediaan pada suatu tingkat tertentu dengan mengendalikan arus barang

yang masuk melalui pengaturan sistem pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan

pengeluaran untuk memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi

kelebihan, kekurangan, kerusakan, kadaluwarsa serta kehilangan dan pengembalian

pesanan sediaan farmasi. Parameter-parameter yang biasa digunakan dalam

pengendalian persediaan adalah konsumsi rata-rata, lead time, safety stock,

persediaan minimum, persediaan maksimum dan perputaran sediaan.


25

a. Konsumsi rata-rata

Komsumsi rata-rata disebut juga sebagai permintaan. Permintaan yang

diharapkan pada pemesanan selanjutnya merupakan variabel kunci yang menentukan

banyaknya jumlah stok barang yang harus dipesan.

b. Lead Time (Waktu Tunggu)

Lead Time merupakan waktu tenggang yang dibutuhkan mulai dari pemesanan

sampai dengan barang diterima dari supplier yang telah ditentukan. Lead time dapat

berbeda-beda untuk setiap supplier. Faktor- faktor yang dapat berpengaruh pada lead

time adalah jarak antara supplier dengan apotek, jumlah pesanan dan kondisi

supplier.

c. Safety Stock (Persediaan Pengaman)

Safety Stock merupakan persediaan cadangan yang diperlukan untuk kebutuhan

selama menunggu barang datang sebagai metode antisipasi keterlambatan barang

pesanan atau untuk menghadapi suatu keadaan tertentu yang diakibatkan karena

perubahan pada permintaan misalnya karena adanya permintaan barang yang

meningkat secara tiba-tiba seperti karena adanya wabah penyakit. Safety Stock dapat

dihitung dengan rumus:

SS = CA x LT

Keterangan :

SS = Safety Stock
26

LT = Lead Time

CA = Konsumsi rata-rata

d. Persediaan minimum

Persedian minimum merupakan jumlah persediaan terendah yang masih harus

tersedia. Bila penjualan telah mencapai nilai persediaan minimum, maka pemesanan

harus langsung dilakukan agar kontinuitas usaha dapat berlanjut. Jika barang yang

tersedia jumlahnya sudah kurang dari jumlah persediaan minimum maka dapat

terjadi stok kosong.

e. Persediaan maksimum

Persediaan maksimum merupakan jumlah persediaan terbesar yang telah

tersedia. Jika jumlah persediaan telah mencapai jumlah maksimum maka tidak perlu

lagi melakukan pemesanan untuk menghindari terjadinya stok mati yang dapat

menyebabkan kerugian. Rumus perhitungan persediaan maksimum adalah:

Smax = Smin + (PP x CA)

Keterangan:

Smax = Persediaan Maksimum

Smin = Persediaan Minimum

PP = Periode Pengadaan

CA = Konsumsi rata-rata

f. Perputaran Sediaan
27

Perputaran persedian ini disebut juga Inventory Turnover (ITOR). ITOR

mengindikasikan efisiensi persediaan yang digunakan. Rasio ini mengukur seberapa

cepat barang dibeli, terjual, dan tergantikan. Dua kelebihan dari peningkatan ITOR

yaitu menurunkan investasi persediaan untuk aktivitas di apotek dan mempercepat

pengembalian investasi. Jika suatu barang memiliki angka perputaran persediaan

yang besar maka barang tersebut dikategorikan sebagai barang fast moving.

Sebaliknya, jika angka perputaran persediaan suatu barang terbilang kecil maka

barang tersebut termasuk slow moving. Perputaran persediaan dihitung dengan cara :

Nilai ITOR tidak boleh terlalu tinggi atau rendah. Nilai ITOR yang paling ideal

yaitu 12. Nilai ITOR ini menunjukan bahwa pada setiap bulan terjadi pertukaran

barang. Nilai ITOR yang terlalu tinggi menunjukan bahwa terlalu sering terjadi

kehabisan stok. Nilai ITOR = 30 mungkin dapat diterima bila apotek dapat

memesan dan menerima barang dengan cepat dari suplier dan tidak ada keluhan

kekurangan barang. Nilai ITOR yang terlalu rendah menunjukan bahwa terlalu

sering terjadi kehabisan stok.

g. Jumlah pesanan (Economic Order Quantity/Economic Lot Size)

Di apotek, jumlah persediaan yang harus ada adalah persediaan untuk jangka

waktu tertentu dan disesuaikan dengan kebijakan pada pola kebutuhan. Persediaan

dirancang agar setiap saat harus tersedia dan sekaligus untuk mengantisipasi

permintaan yang tidak menentu, kemampuan supplier yang terbatas, waktu tenggang

pesanan yang tidak menentu, ongkos kirim mahal, dan sebagainya. Faktor yang
28

dipertimbangkan utuk membangun persediaan berkaitan dengan biaya dan resiko

penyimpanan, biaya pemesanan, dan biaya pemeliharaan. Merancang jumlah

persediaan dapat dilakukan dengan perhitungan jumlah pesanan yang ekonomis

atau dikenal dengan rumus Economic Order Quality (EOQ) :

Keterangan :

R = Jumlah kebutuhan dalam setahun

P = Harga barang/unit

S = Biaya memesan tiap kali pemesanan

I = % harga persediaan rata-rata

h. ReOrder Point ( ROP) Titik pemesanan

Titik pemesanan merupakan saat ketika harus diadakan pemesanan kembali

sehingga kedatangan atau penerimaan barang yang dipesan tepat waktu, yaitu ketika

persediaan di atas persediaan pengaman (safety stock) sama dengan nol atau saat

mencapai nilai persediaan minimum. Pada keadaan khusus (mendesak), dapat

dilakukan pemesanan langsung tanpa harus menunggu hari pembelian yang telah

ditentukan bersama antara apotek dan supplier. Titik pemesanan (ROP) dapat

dilihat pada Gambar.


29

2.1. Rumus perhitungan ROP adalah :

ROP = SS + LT

Keterangan :

ROP = Reorder point

SS = Safety Stock

LT = Lead Time

Gambar 2.1 Diagram Model Pengendalian Persediaan

Penyusunan prioritas pemesanan dapat dilakukan dengan menggunakan metode

sebagai berikut:

1) Analisa VEN (Vital, Essensial, Non-Essensial)

Analisa VEN merupakan suatu metode analisis untuk mengelompokkan obat

yang berdasarkan atas dampak setiap jenis obat yang berpengaruh terhadap
30

kesehatan. Semua jenis obat dalam daftar obat dapat dikategorikan kedalam 3

(tiga) kelompok, yaitu:

a. Kelompok V (Vital) Merupakan kelompok obat-obatan yang sangat diperlukan

dan harus selalu tersedia untuk melayani permintaan guna pengobatan atau

penyelamatan karena penyakit yang dapat menyebabkan kematian.

b. Kelompok E (Essensial) Merupakan kelompok obat-obatan yang bekerja kausal

atau obat yang bekerja pada sumber penyebab penyakit. Biasanya obat

kelompok tersebut banyak diminta untuk digunakan dalam tindakan atau

pengobatan penyakit terbanyak yang ada di suatu daerah atau unit

pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, obat-obat kelompok E adalah obat yang

fast moving.

c. Kelompok N (Non Essensial) Merupakan kelompok obat-obatan penunjang

yang kerjanya ringan dan bisa dipergunakan untuk mengatasi keluhan ringan.

2) Analisis ABC (Pareto)

Analisis ABC juga dikenal dengan nama analisis Pareto. Hukum pareto

menyatakan bahwa sebuah kelompok obat memiliki persentase

terkecil (20%) yang bernilai atau memiliki dampak terbesar (80%). Analisa ABC

merupakan metode pembuatan grup atau penggolongan berdasarkan peringkat

nilai dari nilai tertinggi hingga terendah dan dibagi menjadi 3 kelompok besar yang

disebut kelompok A, B, dan C.

a. Kelompok A merupakan inventory dengan jumlah sekitar 20% dari item tapi
31

mempunyai nilai investasi sekitar 80% dari total inventory.

b. Kelompok B merupakan inventory dengan jumlah sekitar 30% dari item tapi

mempunyai nilai investasi sekitar 15% dari total nilai inventory.

c. Kelompok C merupakan inventory dengan jumlah sekitar 50% dari item tapi

mempunyai nilai investasi sekitar 5% dari total nilai inventory.

3) Analisis VEN-ABC

Analisis VEN-ABC yang merupakan analisis yang menggabungkan analisis

VEN dan ABC ke dalam suatu matriks sehingga analisis yang menggabungkan

analisis VEN dan ABC ke dalam suatu matriks menjadi lebih tajam juga dapat

digunakan. Matriks analisis VEN-ABC dapat dilihat pada Gambar 2.2.

A B C
V VA VB VC
E EA EB EC
N NA NB NC

Gambar 2.2 Matriks Analisis VEN-ABC

Matriks di atas dapat dijadikan dasar untuk menetapkan prioritas, dalam

rangka penyesuaian anggaran atau perhatian dalam pengelolaan persediaan. Jenis

barang yang bersifat Vital (VA, VB, VC) merupakan pilihan utama untuk dibeli atau

memerlukan perhatian khusus. Sebaliknya barang yang Non Esensial tetapi menyerap

anggaran banyak (NA) dijadikan prioritas untuk dikeluarkan dari daftar belanja.

Hasil analisis VEN dan ABC dapat digunakan dalam menghemat biaya dan

meningkatkan efisiensi misalnya dalam pengelolaan stok, penetapan harga satuan


32

obat, penetapan jadwal pengiriman, pengawasan stok, dan monitoring umur pakai

obat.

7. Pencatatan dan Pelaporan

Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat

Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi pengadaan (surat pesanan, faktur),

penyimpanan (kartu stock), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan pencatatan

lainnya disesuaikan dengan kebutuhan. Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan

eksternal. Pelaporan internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan

manajemen Apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya. Pelaporan

eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan meliputi pelaporan narkotika

menggunakan Formulir 3, psikotropika menggunakan Formulir 4 dan pelaporan

lainnya.

(3)
2.8.2 Pelayanan Farmasi Klinik

Pelayanan farmasi klinik di Apotek merupakan bagian dari Pelayanan

Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan

Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dengan maksud

mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelayanan

Farmasi Klinik di apotek meliputi pengkajian resep, dispensing, Pelayanan Informasi

Obat (PIO), konseling, Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care),


33

Pemantauan Terapi Obat (PTO), dan Monitoring Efek Samping Obat (MESO).

1. Pengkajian Resep

Pengkajian Resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan

klinis. Kajian administratif meliputi: nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat

badan; nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan

paraf; dan tanggal penulisan Resep. Kajian kesesuaian farmasetik meliputi: bentuk

dan kekuatan sediaan; stabilitas; dan kompatibilitas (ketercampuran Obat).

Pertimbangan klinis meliputi: ketepatan indikasi dan dosis Obat, aturan, cara dan

lama penggunaan Obat, duplikasi dan/atau polifarmasi; reaksi Obat yang tidak

diinginkan (alergi, efek samping Obat, manifestasi klinis lain); kontra indikasi; dan

interaksi. Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka

Apoteker harus menghubungi dokter penulis Resep.

2. Dispensing

Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi Obat.

Setelah melakukan pengkajian Resep dilakukan hal sebagai berikut:

a. Menyiapkan Obat sesuai dengan permintaan Resep;

1. menghitung kebutuhan jumlah Obat sesuai dengan Resep,

2. mengambil Obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan

memperhatikan nama Obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik Obat.

b. Melakukan peracikan Obat bila diperlukan;

c. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi :


34

1. warna putih untuk Obat dalam/oral

2. warna biru untuk Obat luar dan suntik;

3. menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk suspensi/emulsi

d. Memasukkan Obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk Obat

yang berbeda untuk menjaga mutu Obat dan menghindari penggunaan yang

salah.

Setelah penyiapan Obat dilakukan hal sebagai berikut:

a. Sebelum Obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan kembali

mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta jenis dan

jumlah Obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan Resep)

b. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien

c. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien.

d. Menyerahkan Obat yang disertai pemberian informasi Obat.

e. Memberikan informasi cara penggunaan Obat dan hal-hal yang terkait dengan

Obat antara lain manfaat Obat, makanan dan minuman yang harus dihindari,

kemungkinan efek samping, cara penyimpanan Obat dan lain-lain.

f. Penyerahan Obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang baik,

mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin emosinya tidak stabil.

g. Memastikan bahwa yang menerima Obat adalah pasien atau

keluarganya.

h. Membuat salinan Resep sesuai dengan Resep asli dan diparaf oleh

Apoteker (apabila diperlukan).


35

i. Menyimpan Resep pada tempatnya.

j. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien dengan menggunakan

Formulir 5.

Apoteker di Apotek juga dapat melayani Obat non Resep atau pelayanan

swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang memerlukan

Obat non Resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan Obat bebas atau

bebas terbatas yang sesuai.

3. Pemberian Informasi Obat (PIO)

Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh

Apoteker dalam pemberian informasi mengenai Obat yang tidak memihak,

dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan

Obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai obat

termasuk obat resep, obat bebas dan herbal.

Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metoda

pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan

penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas,

ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari Obat dan lain-lain. Kegiatan

Pelayanan Informasi Obat di apotek meliputi:

a. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan.

b. Membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan masyarakat

(penyuluhan)

c. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien.


36

d. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi yang

sedang praktik profesi.

e. Melakukan penelitian penggunaan Obat.

f. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah.

g. Melakukan program jaminan mutu.

Pelayanan informasi obat harus didokumentasikan untuk membantu penelususran

kembali dalam waktu yang relatif singkat. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam

dokumentasi pelayanan informasi obat, yaitu :

a. Topik pertanyaan.

b. Tanggal dan waktu Pelayanan Informasi Obat diberikan

c. Metode Pelayanan Informasi Obat (lisan, tertulis, lewat telepon)

d. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain seperti riwayat

alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui, data laboratorium)

e. Uraian pertanyaan

f. Jawaban pertanyaan

g. Referensi

h. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, via telepon) dan data apoteker

yang memberikan Pelayanan Informasi Obat.

4. Konseling

Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan pasien/keluarga

untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan sehingga

terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan Obat dan menyelesaikan masalah yang
37

dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling, Apoteker menggunakan three prime

questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan

metode Health Belief Model. Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau

keluarga pasien sudah memahami Obat yang digunakan. Kriteria pasien/keluarga

pasien yang perlu diberi konseling, diantarnya yaitu:

a. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau ginjal,

ibu hamil dan menyusui).

b. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TBC, DM,

epilepsi).

c. Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus (penggunaan

kortikosteroid dengan tappering down/off).

d. Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, fenitoin).

e. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa Obat untuk indikasi

penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari

satu Obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis

Obat.

Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah, tahap kegiatan konseling, diantaranya yaitu:

a. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien.

b. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan Obat melalui Three Prime

Question, yaitu:

1. Apa yang disampaikan dokter tentang Obat Anda?

2. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian Obat Anda?
38

3. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan setelah

Anda menerima terapi Obat tersebut?

c. Menggali informasi leih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien untuk

mengeksplorasi masalah penggunaan Obat.

d. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah

penggunaan Obat.

e. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien.

Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan pasien

sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan dalam

konseling dengan menggunakan Formulir 7.

5. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care)

Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan Pelayanan

Kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan

pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Jenis Pelayanan Kefarmasian di

rumah yang dapat dilakukan oleh apoteker, meliputi :

a. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan

pengobatan.

b. Identifikasi kepatuhan pasien.

c. Pendampingan pengelolaan Obat dan/atau alat kesehatan di rumah,

misalnya cara pemakaian Obat asma, penyimpanan insulin

d. Konsultasi masalah Obat atau kesehatan secara umum.


39

e. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan Obat

berdasarkan catatan pengobatan pasien.

f. Dokumentasi pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di rumah dengan

menggunakan Formulir 8.

6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)

Pemantauan Terapi Obat merupakan proses yang memastikan bahwa seorang

pasien mendapatkan terapi Obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan

efikasi dan meminimalkan efek samping. Kriteria pasien yang perlu pemantauan

terapi obat diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.

b. Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis.

c. Adanya multidiagnosis.

d. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.

e. Menerima Obat dengan indeks terapi sempit.

f. Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi Obat yang

merugikan.

7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan

setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada

dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan

terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis. Kegiatan Monitoring Efek Samping Obat

(MESO) diantaranya, adalah sebagai berikut:


40

a. Mengidentifikasi Obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami

efek samping Obat.

b. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO).

c. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional dengan

menggunakan Formulir 10.

Faktor yang perlu diperhatikan dalam Monitoring Efek Samping Obat

(MESO), diantaranya yaitu :

a. Kerjasama dengan tim kesehatan lain.

b. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.

2.9 Penggolongan Obat

Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang

digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan

patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,

(1)
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia. Obat-obat yang beredar di

Indonesia, digolongkan menjadi 4 (empat) golongan, yaitu : obat bebas; obat bebas

terbatas; obat keras dan psikotropika; serta obat narkotika. Setiap golongan obat

(9)
dieri tanda/logo pada kemasan yang terlihat. Beberapa peraturan yang mengatur

tentang penggolongan obat tersebut adalah:

a. Undang-undang RI Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

b. Kepmenkes RI Nomor 2380/A/SK/VI/1983 Tentang Tanda Khusus Obat


41

Bebas dan Obat Bebas Terbatas.

c. Kepmenkes RI Nomor 2396/A/SK/VIII/1986 Tentang Tanda Khusus Obat

Keras Daftar G.

d. Kepmenkes RI Nomor 347/Menkes/SK/VIII/90 Tentang Obat Wajib Apotek.

e. Permenkes RI Nomor 688/Menkes/Per/VII/1997 tentang Peredaran

Psikotropika.

(8)
2.9.1 Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa

resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran

hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Dalam kemasan obat disertakan brosur yang

berisi nama obat, nama dan isi zat berkhasiat, indikasi, dosis, aturan pakai, efek

samping, nomor batch, nomor registrasi, nama dan alamat pabrik, serta cara

penyimpanannya. Logo obat bebas dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Logo Obat Bebas

(9)
2.9.2 Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas atau obat daftar W (Waarschuwing = Peringatan) yaitu

obat yang digunakan untuk mengobati penyakit ringan yang dapat dikenali oleh

penderita sendiri. Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat
42

keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter dan disertai

dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas

terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Logo obat bebas

terbatas dapat dilihat pada Gambar 2.4

Gambar 2.4 Logo Obat Bebas Terbatas

Selain terdapat logo penandaan lingkaran biru, Tanda peringatan selalu

tercantum pada kemasan obat bebas terbatas, berupa empat persegi panjang

berwarna hitam berukuran panjang 5 (lima) sentimeter, lebar 2 (dua) sentimeter

dan memuat pemberitahuan berwarna putih di bawah ini dan dapat dilihat pada

Gambar 2.5.

a. P No 1: Awas! Obat keras. Baca aturan memakainya. Contoh:

Tuzalos.

b. P No 2: Awas! Obat keras. Hanya untuk dikumur, jangan ditelan.

Contoh : Hexadol, betadin kumur

c. P No 3: Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar dari badan.

Contoh: Daktarin.

d. P No 4: Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar.

Contoh: Sigaret Asma.

e. P No 5: Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan.

Contoh: Dulcolax.
43

f. P No 6: Awas! Obat keras. Obat wasir jangan ditelan.

Contoh: Boraginol, Faktu Suppositoria.

Gambar 2.5 Tanda Peringatan pada Obat Bebas Terbatas

(9,10,12)
2.9.3 Obat Keras dan Psikotropika

Obat keras atau obat daftar G (Geverlijk = berbahaya) adalah obat yang

hanya boleh diserahkan dengan resep dokter, dimana pada bungkus luarnya

diberi tanda bulatan dengan lingkaran hitam dengan dasar merah yang

didalamnya terdapat huruf “K” yang menyentuh garis tepi. Logo obat keras dapat

dilihat pada Gambar 2.6.


44

Gambar 2.6 Logo Obat Keras

Sedangkan, Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis

bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan

saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.

(10)
Psikotropika dibedakan ke dalam 4 golongan, yaitu :

1. Psikotropika golongan I, adalah psikotropika yang hanya dapat

digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,

serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.

2. Psikotropika golongan II, dalah psikotropika yang berkhasiat

pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma

ketergantungan.

Contoh: metilfenidat dan sekobarbital.

3. Psikotropika golongan III, adalah psikotropika yang berkhasiat

pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma

ketergantungan. Contoh : Luminal.

4. Psikotropika golongan IV, adalah psikotropika yang berkhasiat

pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi ringan dalam mengakibatkan sindroma

ketergantungan. Contoh : Diazepam.


45

Pengelolaan obat psikotropika di apotek diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Pemesanan

Obat-obat golongan psikotropika dapat diperoleh dari Pedagang Besar Farmasi

(PBF) dengan menggunakan Surat Pesanan (SP) psikotropika dan ditandatangani

oleh APA. Satu surat pesanan dapat digunakan untuk memesan lebih dari satu jenis

obat golongan psikotropika. Surat Pesanan Psikotropika dibuat rangkap 3 (tiga), yaitu

sebanyak 2 (dua) rangkap diserahkan ke PBF dan 1 (satu) rangkap disimpan di

apotek sebagai arsip.

b. Penyaluran

Penyaluran psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat

dilakukan oleh :

1. Pabrik obat kepada pedagang besar farmasi, apotek, sarana

penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian

dan/atau lembaga pendidikan.

2. Pedagang besar farmasi kepada pedagang besar farmasi lain-nya, apotek,

sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, rumah sakit, dan lembaga

penelitian dan/atau lembaga pendidikan.

3. Sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah kepada rumah sakit

Pemerintah, puskesmas dan balai pengobatan Pemerintah.

c. Penyimpanan

Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di fasilitas

produksi, fasilitas distribusi, dan fasilitas pelayanan kefarmasian harus mampu


46

menjaga keamanan, khasiat, dan mutu Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor

Farmasi. Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dapat

berupa gudang, ruangan, atau lemari khusus. Tempat penyimpanan Psikotropika

dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain Psikotropika.

d. Penyerahan

Proses penyerahan psikotropika hanya dapat diserahkan oleh Apotek,

Rumah Sakit, Puskesmas, Balai Pengobatan, dan dokter. Penyerahan psikotropika

oleh Apotek, Rumah Sakit, Puskesmas, dan Balai pengobatan tersebut dilaksanakan

berdasarkan resep dokter. Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapan

dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter

dan kepada pengguna atau pasien.

e. Pelaporan

Apotek berkewajiban menyusun dan mengirimkan laporan bulanan penggunaan

psikotropika melalui perangkat lunak atau program sistem pelaporan narkotika

dan psikotropika (SIPNAP) setiap satu bulan sekali. SIPNAP adalah sistem yang

mengatur pelaporan penggunaan psikotropika dan narkotika dari Unit Layanan

(Puskesmas, Rumah Sakit, dan Apotek) ke Suku Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

dengan menggunakan pelaporan elektronik. Selanjutnya Suku Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota melaporkan ke tingkat yang lebih tinggi (Dinkes Provinsi dan

Dirjen Binfar dan Alkes) melalui mekanisme pelaporan online yang menggunakan

fasilitas internet.

f. Pemusnahan
47

Apoteker wajib membuat berita acara pada pemusnahan psikotropika, dan

disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk dalam 7 (tujuh) hari setelah mendapat

kepastian. Berita acara tersebut memuat hari, tanggal, bulan dan tahun pemusnahan;

nama pemegang izin khusus atau apoteker pengelola apotek; nama seorang saksi dari

pemerintah dan seorang saksi lain dari apotek tersebut; nama dan jumlah

psikotropika yang dimusnahkan; cara pemusnahan; dan tanda tangan penanggung

jawab apotek dan saksi-saksi. Pemusnahan psikotropika dilakukan apabila berkaitan

dengan tindak pidana, psikotropika yang diproduksi tidak memenuhi standard dan

persyaratan bahan baku yang berlaku berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam

proses produksi psikotropika, kadaluwarsa, serta tidak memenuhi syarat untuk

digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan.

(10)

(11,12)
2.9.4 Obat Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau

perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,

dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-

golongan. Logo narkotika dapat dilihat pada Gambar 2.7.


48

Gambar 2.7 Logo Narkotika

a. Penggolongan Narkotika

Narkotika dibedakan ke dalam 3 golongan yaitu:

1. Narkotika golongan I, adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,

serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Contoh : Heroin, Opium dan Kokain.

2. Narkotika golongan II, adalah Narkotika berkhasiat pengobatan

digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau

untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi

mengakibatkan ketergantungan.

Contoh : Morfin dan Petidin.

3. Narkotika golongan III, adalah Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak

digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan

ketergantungan.

Contoh : Codein dan Dionin.


49

b. Pengelolaan Narkotika

Pengelolaan narkotika meliputi pemesanan, penyimpanan, pelayanan pelaporan,

dan pemusnahan. Pengelolaan narkotika meliputi kegiatan-kegiatan:

1. Pemesanan Narkotika

Narkotika hanya dapat dilakukan pemesanan di Pedagang Besar Farmasi

(PBF) Kimia Farma dengan menggunakan Surat Pesanan Narkotika ditandatangani

oleh APA, dilengkapi nama jelas, nomor SIA dan SIPA, serta nama, alamat,

dan stempel apotek. Satu lembar Surat Pesanan hanya dapat digunakan untuk

memesan satu macam narkotika, dan perlu mencatumkan jumlah stok terakhir.

Pemesanan narkotika dilakukan dengan membuat surat pesanan narkotika yang

terdiri dari empat rangkap. Sebanyak 3 (tiga) rangkap diserahkan ke PBF dan 1

(satu) rangkap disimpan di apotek sebagai arsip.

2. Penyimpanan Narkotika

Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di fasilitas

produksi, fasilitas distribusi, dan fasilitas pelayanan kefarmasian harus mampu

menjaga keamanan, khasiat, dan mutu Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor

Farmasi. Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi

dapat berupa gudang, ruangan, atau

lemari khusus. Tempat penyimpanan Narkotika dilarang digunakan untuk

menyimpan barang selain Narkotika.

3. Pelayanan Resep Narkotika

Penyerahan Narkotika wajib membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau


50

pengeluaran Narkotika. Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan dalam bentuk

obat jadi. Penyerahan Narkotika dan/atau Psikotropika hanya dapat dilakukan oleh

Apotek; Puskesmas; Instalasi Farmasi Rumah Sakit; dan Instalasi Farmasi Klinik;

kepada pasien berdasarkan resep dokter.

4. Pelaporan Narkotika

PBF yang melakukan penyaluran Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi

dalam bentuk obat jadi wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan

pemasukan dan penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam

bentuk obat jadi setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dengan

tembusan Kepala Badan/Kepala Balai. Pelaporan sebagaimana dimaksud paling

sedikit terdiri atas nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika,

dan/atau Prekursor Farmasi; jumlah persediaan awal dan akhir bulan; tanggal, nomor

dokumen, dan sumber penerimaan; jumlah yang diterima; tanggal, nomor dokumen,

dan tujuan penyaluran; jumlah yang disalurkan; dan nomor batch dan kadaluarsa

setiap penerimaan atau penyaluran dan persediaan awal dan akhir.

Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu

Pengetahuan, dan dokter praktik perorangan wajib membuat, menyimpan, dan

menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan/penggunaan Narkotika dan

Psikotropika, setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan

tembusan Kepala Balai setempat. Pelaporan sebagaimana dimaksud paling sedikit

terdiri atas nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan/atau

Prekursor Farmasi; jumlah persediaan awal dan akhir bulan; jumlah yang diterima,
51

dan jumlah yang diserahkan.

5. Pemusnahan Narkotika

Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dilakukan

dalam hal diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau

tidak dapat diolah kembali; telah kadaluarsa; tidak memenuhi syarat untuk digunakan

pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan,

termasuk sisa penggunaan; dibatalkan izin edarnya; atau berhubungan dengan tindak

pidana. Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi harus dilakukan

dengan tidak mencemari lingkungan dan tidak membahayakan kesehatan masyarakat.

Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan

kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan yang melaksanakan

pemusnahan Narkotika harus membuat Berita Acara Pemusnahan. Berita Acara

Pemusnahan paling sedikit memuat hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan;

tempat pemusnahan; nama penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas

distribusi/fasilitas pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik

perorangan; nama petugas kesehatan yang menjadi saksi dan saksi lain badan/sarana

tersebut; nama dan jumlah Narkotika yang dimusnahkan; cara pemusnahan; dan

tanda tangan penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas

pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan dan saksi.

Berita Acara Pemusnahan dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan tembusannya

disampaikan kepada Direktur Jenderal dan Kepala Badan/Kepala Balai menggunakan

contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 10.


52

b. Pelanggaran Terhadap Ketentuan Pengelolaan Narkotika

Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan dan atau ketentuan

mengenai pelaporan narkotika dapat dikenai sanksi administratif oleh Menteri atas

rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan berupa teguran,

peringatan, denda administratif, penghentian sementara kegiatan atau pencabutan

izin.

(13,14,15,16)
2.10 Obat Wajib Apotek

Obat Wajib Apotek adalah beberapa obat keras yang dapat diserahkan tanpa

resep dokter namun harus diserahkan oleh apoteker di apotek. Pemilihan dan

penggunaan Obat Wajib Apotek harus dilakukan atas bimbingan apoteker. Daftar

obat wajib apotek (DOWA) yang dikeluarkan merupakan atas dasar keputusan

Menteri Kesehatan. Terdapat 3 (tiga) daftar obat yang telah diperbolehkan diserahkan

tanpa resep dokter. Peraturan mengenai Daftar Obat Wajib Apotek tercantum dalam

beberapa peraturan sebagai berikut :

a. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 347/Menkes/SK/VII/1990 tentang

Obat Wajib Apotek berisi Daftar Obat Wajib Apotek No. 1.

b. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 924 /Menkes/Per/X/1993 tentang

Daftar Obat Wajib Apotek No. 2.

c. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang

Daftar Obat Wajib Apotek No. 3.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 919 Tahun 1993 pasal (2)
53

tentang Kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep diantaranya adalah sebagai

berikut :

a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di

bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.

b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberi resiko pada

kelanjutan penyakit.

c. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus

dilakukan oleh tenaga kesehatan.

d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di

Indonesia.

e. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggung

jawabkan untuk pengobatan sendiri.

Apoteker di apotek dalam melayani pasien yang memerlukan Obat Wajib Apotek

diwajibkan :

a. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan

dalam Obat Wajib Apotek yang bersangkutan.

b. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.

c. Memberikan informasi meliputi dosis dan aturan pakai, kontraindikasi, efek

samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.

Obat wajib apotek terdiri dari kelas terapi oral kontrasepsi, obat saluran cerna,

obat mulut untuk tenggorokan, obat saluran nafas, obat yang mempengaruhi sistem

neuromuskular, anti parasit dan obat kulit topikal.


54

(17)
2.11 Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin

seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Sistem

Jaminan Sosial Nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan

sosial oleh beberapa badan penyelenggaraan jaminan sosial. Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan

program jaminan sosial. Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan

asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Sistem Jaminan Sosial Nasional bertujuan untuk memberikan jaminan

terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota

keluarganya.

Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip

asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan

menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan

perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Manfaat jaminan

kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang

mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, termasuk obat dan

bahan medis habis pakai yang diperlukan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan

sistem pembayaran pelayanan, kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan

efektivitas. Daftar dan harga tertinggi obat-obatan, serta bahan medis habis pakai
55

yang dijamin oleh Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial ditetapkan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

Anda mungkin juga menyukai