Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia secara geografis dan geologis terletak di daerah yang bahaya akan

terjadinya bencana alam. Berbagai bencana alam, seperti: gempa bumi, tsunami,

banjir, tanah longsor, topan, dan angin puting beliung melanda hampir di seluruh

pelosok negeri sehingga timbul anggapan bahwa Indonesia merupakan pasarnya

bencana. Serangkaian kejadian bencana alam ini telah menyebabkan banyak

korban jiwa, kerugian harta benda, dan kerusakan lingkungan.

Pulau Sulawesi yang terletak pada zona pertemuan di antara tiga pergerakan

lempeng besar yang bertemu secara konvergen, pertemuan yang memusat ini

menimbulkan perluasan seluruh jenis struktur pada semua skala, termasuk

subduksi dan zona tumbukan, sesar dan thrust (Pasau).

Di wilayah Sulawesi, di dapati beberapa zona sesar di daerah aktif, juga

ditemukan tunjaman aktif. Keberadaan tunjaman aktif ini dapat memicu terjadinya

aktifitas pada sesar-sesar tersebut, sehingga menimbulkan gempa-bumi. Sesar-

sesar aktif yang merupakan zone sumber gempa tersebut antara lain adalah Sesar

Palu-Koro dan Sesar Walanae di Sulawesi bagian barat, Sesar Matano dan Sesar

Lawanopo di Sulawesi bagian timur, serta Sesar Gorontalo di Sulawesi bagian

utara. Secara keseluruhan sesar-sesar yang merupakan zone sumber gempa bumi

tersebut adalah sesar-sesar mendatar berskala besar.


Risiko terhadap bencana beraneka ragam antar setiap daerah, tergantung pada

tingkat kerentanan lingkungan, fisik, dan sosial ekonomi masyarakat. Bencana

gempa dan tsunami di palu dan donggala tanggal 28 September 2018 telah

mengakibatkan luka yang mendalam bagi warga Indonesia. Gempa yang sangat

kuat diikuti gelombang pasang yang maha dahsyat telah menimbulkan dampak

sosial ekonomi yang luar biasa. Bencana ini telah mengakibatkan 4.300 korban

jiwa, 1.300 orang hilang, dan 223.700 orang kehilangan tempat tinggal. Bencana

Palu dan Donggala menimbulkan kerusakan bangunan dan mengganggu aktivitas

ekonomi, kegiatan pendidikan, dan kehidupan sosial masyarakat. Kerugian

ekonomi jumlahnya sangat besar, diperkirakan mencapai 2,89 triliun rupiah

Bencana gempa kemudian terjadi beberapa kali lagi.

Kota Gorontalo merupakan sebuah kawasan di Indonesia yang rentan akan

terkena bencana alam dan masih sangat minimnya bangunan mitigasi di kawasan

ini. Bahkan Gorontalo masih belum menjadi kota yang siap menghadapi bencana.

Sekalipun kota gorontalo belum pernah terkena bencana alam yang cukup

besar, ancaman bencana alam seperti gempa dan tsunami bisa saja terjadi

dikarenakan gorontalo terletak pada zona pertemuan di antara tiga pergerakan

lempeng besar yang bertemu dan dapat mengakibatkan ancaman bencana alam

yang sangat tinggi

Dalam catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), saat ini

pada kondisi wilayah pantai di Indonesia menjangkau 951 ribuan kilometer, dan

ketersediaan shelter tsunami di Indonesia baru ada sekitar 50 unit. Sementara itu

bangunan yang di butuhkan sekitar 2.500 unit. Seperti yang kita ketahui Indonesia
yang berada di jalur lempeng tektonik dan rentan akan terjadinya bencana gempa

dan tsunami, harus lebih siap siaga akan terjadinya bencana dan dapat

mengaplikasikan seluruh upaya yang dapat mengurangi dampak bencana.

Shelter Mitigasi Bencana adalah sebuah bangunan yang didirikan dalam upaya

mitigasi sitemis agar dapat menanggulangi bencana alam. Bangunan ini

merupakan sarana umum yang digunakan untuk mengevakuasi penduduk

setempat pada saat terjadinya bencan alam seperti sunami dan bencana yang

lainnya. Sebuah bangunan shelter seharusnya mempunyai sarana umum lain yang

dapat di gunakan pada saat tidak terjadi bencana alam, hal ini agar dapat menjaga

dan melestarikan bangunan sehingga tidak terbengkalai. Terdapat beberapa

bangunan shelter mitigasi bencana yang sudah terbengkalai. Karena bangunan

tersebut di gunakan penduduk hanya pada saat terjadinya bencana alam.

Permasalahan yang sering muncul saat terjadi bencana alam diantaranya

adalah masalah tempat evakuas seperti halnya yang terjadi saat terjadi saat

bencana gempa di palu dan donggala, dimana pada kondisi tersebut sangat di

butuhkan tempat evakuasi yang dapat berupa shelter. Syarat bangunan shelter

ialah bangunan bertingkat yang tahan akan gempa, tahan akan sunami dan dapat

menampung orang dalam skala besar. Menurut yadzan sipta di perlukan konsep

dan desain bangunan shelter selain untuk menanggulangi bencana, juga untuk

memiliki fleksibilitas ruang yang di gunakan saat tidak terjadi bencana seperti

tempat pementasan seni,, atau pertunjukan konser dan sebagai tempat untuk

pertemuan besar lainnya.


Berdasarkan permasalahan di atas maka, pembangunan sarana mitigasi

bencana di Kota Gorontalo sangatlah diperlukan. Prinsip pembangunan dalam

jangka panjang inilah yang seharusnya dipenuhi dalam rekomendasi bangunan di

kota gorontalo.

Dengan adanya shelter mitigasi bencana yang memiliki fleksibilitas ruang di

kawasan kota Gorontalo, akan membuat setiap penduduk yang bertempat tinggal

di sekitarnya kawasan memiliki tujuan berlindung ketika terjadinya bencana

tersebut. Fleksibilitas ruang tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan-

kegiatan lain sehingga bangunan tersebut tetap ramai dikunjungi. Hal tersebut

tentunya akan mengurangi tingkat korban jiwa dan diharapkan dapat mengatasi

permasalahan kemacetan lalu lintas yang terjadi ketika bencana datang serta dapat

mengatasi masalah shelter yang terbengkalai dan tidak terurus pada saat tidak

terjadinya bencana.

Arsitektur pneumatic atau struktur pneumatic merupakan salah satu sistem

struktur yang termasuk dalam kelompok Soft Shell Structure yang memiliki ciri

khas semua gaya yang terjadi pada membran-nya berupa gaya tarik. Pada

Pneumatic, gaya tarik terjadi karena adanya perbedaan tekanan udara di dalam

struktur pneumatic dengan tekanan udara diluar struktur ini. Pneumatic Structure

dibagi dalam dua kelompok besar yaitu Air Inslated Structure dan Air Supported

Structure. Dari kedua kelompok ini masing-masing dikembangkan dari sisi; olah

bentuk yang bermacam-macam, fungsinya dalam sebuah bangunan, bahkan kini

telah dikembangkan secara vertikal. Pneumatic Structure pada mulanya hanya

dikembangkan sebagai bidang penutup atap dan untuk bangunan berbentang lebar,
sekarang mulai dipikirkan untuk memikul beban lantai pada bangunan bertingkat

sedang (Medium Rise Building). Mencermati perkembangan pneumatic structure

sebagai sistem struktur yang memiliki bentuk dan sistem kerja yang khas ini,

sangatlah menarik. Walaupun pengembangannya tidak secepat sistem struktur lain

yang lebih sederhana, namun sistem struktur ini ternyata menarik perhatian untuk

dikembangkan karena kekhasannya prinsip kerjanya dan bentuknya yang inovatif.

Oleh sebab itu penulis menganggap penting mengangkat judul “Perancangan

Bangunan Shelter Mitigasi Bencana di Kota Gorontalo dengan Pendekatan

Arsitektur Pneumatik”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan di atas maka ada beberapa masalah yang harus

dipecahkan dalam perancangan Shelter Mitigasi Bencana di Gorontalo dengan

pendekatan Arsitektur Pneumatik, sebagai berikut :

1. Bagaimana menetukan lokasi/tapak yang sesuai untuk perancangan

Shelter Mitigasi Bencana di Kota Gorontalo?

2. Bagaimana membuat konsep rancangan sesuai untuk Shelter Mitigasi

Bencana di Provinsi Gorontalo dengan penerapan Arsitektur Pneumatik?

3. Bagaimana merancang tampilan bangunan dengan penggunaan struktur

pneumatic pada shelter mitigasi bencana di kota gorontalo?


1.3 Tujuan dan sasaran Pembahasan

1.3.1 Tujuan Pembahasan

Adapun tujuan pembahasan ini yaitu :

1. Untuk mendapatkan lokasi dan tapak yang sesuai untuk perancangan

Shelter Mitigasi Bencana di Kota Gorontalo.

2. Untuk mendapatkan konsep rancangan Shelter Mitigasi Bencana

Kota Gorontalo dengan penerapan Arsitektur Pneumatik.

3. Untuk mendapatkan tampilan bangunan pada Shelter Mitigasi

Bencana dengan konsep Pendekatan Arsitektur Pneumatik.

1.3.2 Sasaran Pembahasan

Sasaran yang ingin dicapai dalam perancangan ini yaitu guna

meninjau hal–hal yang spesifik dari perancangan Shelter Mitigasi

Bencana di Kota Gorontalo yang dibatasi pada kegiatan penelitian dan

edukasi sebagai kegiatan utamanya dalam ilmu arsitektur yang akan

diambil dalam bentuk rancangan fisik sebagai hasil dari studi yang telah

dilakukan dalam konsep perancangan, yaitu :

1. Lokasi dan tapak.

2. Kebutuhan ruang, besaran ruang, dan pola hubungan ruang.

3. Tata massa dan sirkulasi dalam tapak/site.

4. Penampilan fisik dengan konsep arsitektur Pneumatik.

5. Penentuan sistem struktur.

6. Tata ruang dalam dan tata ruang luar

7. Sistem utilitas dan perlengkapan bangunan dalam tapak/site.


Bercermin terhadap kepanikan masyarakat saat terjadi gempa bumi melanda

Indonesia pada beberapa tahun yang lalu. Terjadi macet lalu lintas yang

diakibatkan oleh para pengungsi yang panik dan setiap orang yang menggunakan

kendaraan bermotor. Bahkan sampai se-jam sesudah gempa, pemusatan terhadap

kemacetan lalu lintas masih saja terjadi di jalan hingga 1-3km dari pantai.

Bahas masalah

Muhari (2010), mengungkapkan terdapat tiga sumber permasalahan yang

sering terjadi ketika bencana tsunami, antara lain:

a) Tidak adanya tempat evakuasi secara menyeluruh. Jauhnya lokasi evakuasi

dari tempat aktivitas warga melakukan pembimbingan agar warga tidak

menggunakan kendaraan pada waktu evakuasi jadi sia-sia. Rasa takut tak

memiliki waktu yang cukup mendorong warga menggunakan kendaraan

pada saat terjadinya evakuasi. Situasi ini umumnya diperburuk oleh

bermacam isu dan situasi di lapangan yang tidak bisa di kendalikan

sehingga masyarakat yang takut cenderung akan mengikuti ke mana dan

bagaimana kebanyakan orang mengungsi.

b) Dapat dipahami terdapat hal-hal penting, untuk penggunaan kendaraan pada

saat terjadinya evakuasi, contohnya mendahulukan warga yang berusia

lanjut. Hal tersebut seharusnya di perhatikan, khususnya di kota gorontalo

yang m emiliki cukup banyak populasi yang berusia lanjut. Dibutuhkan


perencanaan kontijensi yang berisi jalur-jalur satu arah untuk kendaraan

dengan alasan khusus tersebut.

c) Factor psikis antara anggota keluarga. Sering di dapati apabila terjadinya

bencana, orang tua mncari anak atau mencari anggota keluarga yang

lainnya agar dapat bersama-sama ke tempat evakuasi. Hal tersebut sungguh

sangat manusiawi, tapi menggiring warga untuk menggunakan kendaraan

agar seluruh anggota keluarga tertampung dan terevakuasi diharap bisa

lebih cepat.

Permasalahan di atas dapat ditanggapi dengan cara membangun sebuah tempat

evkuasi (shelter) yang di dirikan ditempat aktivitas terdekat atau lingkungan

permukiman penduduk. Segala hal yang bersangkutan dengan ini harus lebih di

perhatikan, baik itu menurut kegunaan ataupun pemeliharaan secara

berkepanjangan.

Kota Gorontalo sendiri merupakan salah satu Kota yang ada di Propinsi

Gorontalo, Kota Gorontalo yang terbagi menjadi 9 kecamatan yaitu, kecamatan

kota selatan, kecamatan kota utara, kecamatan kota barat, kecamatan kota timur,

kecamatan kota tengah, kecamatan dungingi, kecamatan dumbo raya, kecamatan

hulonthalangi, dan kecamatan sipatana. Kota Gorontalo yang memiliki Luas

79,59 Km². Dengan Jumlah penduduk sebanyak 223.703 orang, dengan kepadatan

penduduk mencapai 2.689 jiwa/km2. Kota Gorontalo pada posisi geologis terletak

pada pertemuan dua lempeng besar yang mengakibatkan rawan bencana gempa

bumi dan tsunami.

Anda mungkin juga menyukai