Anda di halaman 1dari 23

Ilmu Asbabun Nuzul

A. Perkembangan Ilmu Asbabun Nuzul


Berbicara masalah sejarah lahirnya asbab al-nuzul tidak bisa dipisahkan dari
sejarah lahirnya ‘Ulum al-Qur’an. Pada awal-awal masa Islam sebagaimana halnya
dengan ilmu-ilmu yang lainnya, ilmu asbab al-nuzul belum menjadi disiplin ilmu
yang berdiri sendiri dikarenakan memang kebutuhan akan hal ini kurang urgen. Tetapi
secara praktek sehari-hari para sahabat dengan sendirinya telah melahirkan cikal-
bakal ilmu asbab al-nuzul ini.1
Sumber yang digunakan untuk asbabun Nuzul ini adalah riwayat-riwayat yang
terhimpun dalam kitab-kitab hadist. Ali ibn Abdullah ibn Ja’far (Ali Al-Madini), guru
Imam Bukhari, adalah orang pertama setelah masa Tabi’in yang menghimpun secara
eksplisit riwayat-riwayat yang berkaitan dengan asbabun Nuzul.
Setelah ilmu Sabab al-Nuzul menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri sebagai
salah satu cabang ‘Ulum al-Qur’an, terminologi sabab al-Nuzul terus berkembang. 2
Adalah Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Ahmad al-Wahhidi yang menjadi karya utuh pertama
yang mengkonsentrasikan pada disiplin ilmu Asbabun Nuzul. Dalam karyanya
Asbabun Nuzul Alqur’an, Wahhidi tidak menjelaskan istilah Asbabun Nuzul. Dia
hanya menyebutkan ‫( قصة االية وبيان نزولها‬kisah ayat dan penjelasan turunnya).
Tokoh ilmu Asbabun Nuzul Selanjunya adalah al-Jabari (w. 723 H), yang
meringkas kitab al-Wahhidi dengan membuang sanadnya—sekalipun juga banyak
dari kitabnya yang tidak bersanad. Hanya saja kitab al-Jabari masih berupa naskah
dan belum ditahqiq secara ilmiah.
Tokoh ketiga adalah Badr al-Din Muhammad Ibn ‘Abdillah al-Zarkasyi (745-
794 H), pengarang al-Burhan fi ‘Ulum alqur’an. Dalam kitab tersebut, pembahasan
Asbabun Nuzul ditulis paling awal. Senada dengan al-Wahhidi, al-Zarkasyi tidak
menerangkan ta’rif Asbabun Nuzul hanya saja menguatkan tradisi para sahabat
tabi’in. ‫نزلت االية فى كذا‬, itu berarti ayat tersebut mengandung hukum tertentu, dan tidak
dimaksudkan untuk menyatakan bahwa sesuatu tertentu menjadi sebab turunnya ayat.3
Tokoh keempat, Ahmad Ibn ‘Ali Ibn Muhammad Ibn Hajar al-‘Asqalani (773-
852 H) yang mengarang kitab al-‘Ujab fi Bayan al-Asbab—yang terkodifikasi sampai
1
M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran. Cet-VII, (Bandung: Mizan, 1994), 89
2
Lihat Mu’ammar Zayn Qadafy, Sababun Nuzul : Dari Mikro hingga Makro (Yogyakarta: In AzNa
Books, 2015) h. 18-37
3
Badr al-Din Muhammad Ibn ‘Abdillah al-Zarkasyi al-Burhan fi ‘Ulum alqur’an (Kairo: Darul hadist,
2006) h.33

1
pertengahan surat al-Nisa. Beliau menambahkan informasi lebih banyak tentang
Asbabun Nuzul yang disuguhkan al-Wahhidi.
Tokoh berikutnya yang berjasa dalam mereduksi cakupan Asbabun Nuzul
adalah Jalaluddin ‘Abdul Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuti (w. 911 H). lebih tegas dari
al-Wahhidi, dalam Lubab al-Nuqul fi Asbab nuzul, al-Suyuti mengartikan sabab al-
Nuzul menjadi ‫ام وقوعه‬ZZ‫ة أي‬ZZ‫زلت االي‬ZZ‫ا ن‬ZZ‫—م‬sesuatu yang pada hari-hari terjadinya, ayat
Alqur’an diturunkan. Lebih lanjut beliau mendefinikan ‫ أيام وقوعه‬bahwa turunnya ayat
Alqur’an menyertai peristiwa secara langsung (mubasyarah) atau berjeda sesaat
tergantung kebutuhannya.
Setelah al-Suyuti, muncul Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani (1367 H)
yang dalam Manahil ‘Irfannya memberikan definisi yang sedikit berbeda, yakni ‫ما‬
‫ام وقوعة‬Z‫ه أي‬Z‫ة لحكم‬Z‫ه أو مبين‬Z‫ة عن‬Z‫– نزلت االية أو االيات متحدث‬sesuatu yang pada hari terjadinya,
turun satu atau beberapa ayat yang berbicara tentangnya atau menerangkan
hukumnya.
Disamping yang telah disebutkan di atas nama sekaliber Manna al-Qattan juga
patut diperhitungkan. Beliau menjelaskan Sabab al-Nuzul dengan‫ما نزل القرأن بشأنه القرأن‬
‫د وقوعه‬ZZ‫– عن‬Kejadian atau soal yang karena Alqur’an diturunkan. 4 Definisi yang
berkembang selanjutnya hanyalah merupakan repetisi dan penambahan dari
pengertian sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa epistimologi Asbabun nuzul
sudah mengalami kemapanan, perkembangan tersebut dipersempit pada masa al-
Suyuti di abad ke 10 H.
B. Pengertian Asbab al-Nuzul
Secara etimologis , kata Asbab berarti sebab atu alasan. Sementara nuzul
secara bahasa berarti turun. Sehingga jika kedua term ini digabung secara bersamaan
dapat kita artikan “pengetahuan tentang sebab-sebab diturunkannya suatu ayat.
Istilah “sebab” di sini, menurut Nashruddin Baidan tidak sama dengan “sebab”
yang dikenal dalam hukum kausalitas. Istilah “sebab” dalam hukum kausalitaas,
merupakan keharusan wujudnya untuk lahirnya suatu akibat. Suatu akibat tidak akan
terjadi tanpa adanya sebab terdahulu oleh sebab tertentu, tetapi sebab di sini, secara
teoritis tidak mutlak adanya, walaupun secara empiris telah terjadi peristiwanya.
Adanya sebab-sebab turunya al-Qur‟an, merupakan salah satu manifestasi
kebijaksanaan Allah dalam membimbing hamba-Nya. Dengan adanya asbab an-nuzul,

4
Manna al-Qattan, Mabahis Fi ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah, t.th) hal.74

2
akan lebih tampak keabsahan al-Qur‟an sebagai petunjuk yang sesuai dengan
kebutuhuan dan kesanggupan manusia.5
Sedangkan jika merujuk pengertian secara terminologis, ada beberapa definisi
yang berkembang di kalangan para ulama sekalipun beberapa definisi itu memiliki
kesamaan maksud dan tujuan. Dikemukan al-Zarqani dalam magnum orpusnya:
‫ما نزلت اآلية أو اآليات متحدثة عنه أن مبينة لحكمه أيام وقوعه‬
Suatu kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat, atau
suatu peristiwa yang dapat dijadikan petunjuk hukum berkenaan turunnya suatu
ayat.6
Dari pengertian di atas mengidentifikasikan tentang urgensi asbabun nuzul
sebagai salah satu pertimbangan dalam memahami suatu ayat karena di dalamnya
terdapat unsur-unsur yang penting yang meliputi pelaku, peristiwa dan tempat. Trilogi
asbabun nuzul inilah yang mesti dijadikan blueprint oleh seorang mufassir dalam
menganalisa ayat agar bisa meruang dalam waktu dan tempat yang berbeda.
Meski demikian, pendapat para ahli tafsir tidak dapat menguraikan segala
kesimpulan dan tidak dapat pula menerangkan mutasyabihah sebagaimana tidak dapat
menjelaskan yang mujmal.7 Dalam maksud yang lain, penguasaan ahli tafsir dalam
kaidah-kaidah bahasa Arab, adab-adab bahasa dan apa yang dikehendaki oleh kata-
kata tunggal tidaklah cukup, mereka harus mempunyai pendekatan historis dengan
mempelajari epistimologi yang menyebabkan ayat-ayat itu diturunkan.8 Hal itu tidak
mungkin diterangkan oleh pengertian kalimat itu sendiri.
Seperti halnya kasus Marwan Ibn Al-Hakam yang menyangka bahwa firman
Allah surat Ali Imran :188 :

            
        

5
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005), h. 132
6
Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi ‘Ulumil Qur’an (Beirut: Darul Kitab Al-
Arobi,1995)hal. 79
7
Dalam hal ini Al-Wahidy berpendapat bahwa tidak mungkin kita mengetahui tafsir ayat tanpa
mengetahui kisahnyadan sebab turunnya. Lihat Al-Wahidy, Asbabun Nuzul (Beirut: Dar Al-Kitab
Ilmiyah, t. th) hal. 21
8
Menamakan sebab diturunkan ayat dengan kisah nuzulnya ayat, mengisyaratkan pada dzauq
(perasaan) yang tinggi. Dengan menyatukan keduanya seseorang mampu merasakan kisah turunnya
suatu ayat lekat dengan dirinya. Lihat : M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Semarang:
Pustaka Rizqi Putra: 2014) h.14. bandingkan dengan Quraish Shihab, Membumikan Alqur’an
(Bandung: Mizan, 1994)h. 89 yang menyatakan Asbabun Nuzul yang mengaitkan antara Pelaku,
Peristiwa dan Waktu selama ini tidak dipahami secara utuh. Pemahaman suatu ayat hanya ditekankan
pada peristiwanya sehingga mengakibatkan interpretasi yang tidak mengandung realitas social yang
melingkupinya.

3
Artinya: janganlah sekali-kali kamu menyangka, bahwa orang-orang yang
gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji
terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa
mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.
Ia mengatakan, jika benar setiap orang bergembira dengan apa yang telah
dikerjakannya dan suka dipuji terhadap yang belum dikerjakannya akan disiksa, maka
kita juga akan terkena siksa. Ia bingung dengan pemahaman yang seperti itu, sampai
Ibn Abbas menjelaskan kepadanya bahwa ayat itu turun berkenaan dengan kaum
yahudi, yakni ketika mereka ditanya oleh Nabi saw. tentang sesuatu, mereka
menyembunyikannya dan memberitahukan yang lain kepada beliau. Mereka
memperlihatkan telah memberitahukan sesuatu itu kepada Nabi dan mereka
menginginkan beliau memuji mereka. Saat itulah, ia memahami apa yang dimaksud
firman Allah di atas.9
C. Urgensi Mengetahui Asbab Nuzul
Ada beberapa manfaat Asbabun Nuzul, Pertama mengetahui secara jelas
hikmah disyariatkannya suatu hukum. Kedua, mentakhsiskan hukum dengan sebab
nuzul. Ini berlaku bagi mereka yang beranggapan bahwa pengertian ayat hanya
berkait dengan sebab tertentu. Ketiga, membantu memahami ayat dan menghindarkan
dari salah persepsi tentang ayat tersebut. Dalam hal inidikemukakan contoh sebagai
berikut;

             


Artinya: Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya)
lagi Maha mengetahui.

Tanpa mengetahui sebab Nuzul ayat tersebut seseorang akan berkesimpulan


bahwa menghadap kiblat ketika shalat adalah wajib. Tetapi setelah ditelusuri sebab
nuzulnya ternyata ayat tersebut berkaitan dengan kasus sekelompok musafir yang
melaksanakan shalat di malam gelap gulita, sehingga mereka tidak tahu arah kiblat
secara pasti, lalu mereka menghadap ke arah yang berbeda-beda. Masalah ini
diadukan kepada Nabi, lalu turunlah ayat ini.

9
Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi ‘Ulumil Qur’an hal. 92

4
Keempat, menghindari dugaan adanya hasyr (pembatasan) pada ayat yang
secara lahiriah menunjukan adanya hasyr. Sekalipun ada sebagian ulama yang
beranggapan mengetahui Asbabun Nuzul tidak lain hanyalah sejarah dan cerita
tentang turunnya ayat. Menurut as-Suyuti pendapat demikian tidak bisa
dipertahankan, sebab terkandung berbagai keistimewaan.10

D. Cara mengetahui Asbabun Nuzul


Ada satu hadits yang shahih bahwa Rasulullah saw bersabda:
ّ ‫كذب عل ّى متع ّمدا فليتبو ّْا مقعده من النّار ومن‬
‫كذب على القرأن من غير علم‬ ّ ‫اتّقوا الحديث إاّل ما علمتم فإنّه من‬
‫فليتبو ّْا مقعده من النّار‬.
Berhati-hatilah (dalam meriwayatkan) hadist, kecuali yang benar-benar kalian
ketahui. Sebab barangsiapa mendustakan atas diriku secara seengaja, maka hendaklah
bersiap-siap menempati neraka. Dan barangsiapa berdusta atas Alqur’an tanpa Ilmu,
maka hendaklah bersiap-siap menempati neraka.
Dengan demikian jika sebab nuzul diriwayatkan dari seorang sahabat maka
maka bisa diterima, meskipun tidak dikuatkan dengan riwayat lain. Hal ini karena
pernyataan seorang sahabat mengenai persoalan tidak menjadi ijtihad, hukumnya
marfu’. Adapun jika sabab nuzul diriwayatkan melalui hadist mursal, yakni dari
sanadnya gugur seorang sahabat dan hanya sampai tabi’in, maka hukumnya tidak bisa
diterima kecuali bila berkualitas shahih.11
10
Jalaluddin ‘Abdurrahman Ibn Abi Bakar al-Suyuti, Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an (Beirut: Ar-Risalah,
t.th) hal.74 Juga lihat kitabnya yang lain Lubab al-Nuqul fi Asbab nuzul (Beirut: Muasasah al-Kitab al-
Tsaqafiyah, 2002) bandingkan dengan Manna al-Qattan, mabahis fi ulumil qur’an , hal. 74 yang
menjelaskan hikmah yang dikaitkan dengan pensyariatan hukum, Mentakhsiskan hukum, meskipun
dengan sighat yang umum, Jika ada ayat yang diturunkan berbentuk am (umum) dan ada dalil yang
mentakhsisnya, maka cukup mentakhsiskannya, Jalan terbaik untuk memahami makna ayat-ayat al-
Qur’an dan menyingkap hal-hal yang masih diragukan dan terakhir Menjelaskan sebab turun suatu
ayat.
11
Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi ‘Ulumil Qur’an, hal. 95 Apabila
seorang tokoh ulama semacam Ibnu Sirin, yang termasuk tokoh tabi’in terkemuka sudah demikian
berhati-hati dan cermat mengenai riwayat dan kata-kata yang menentukan, maka hal itu menunjukkan,
orang yang harus mengetahui benar-benar asbab al-nuzul. Oleh karena itu, yang dapat dijadikan
pegangan dalam asbab al-nuzul adalah riwayat ucapan-ucapan sahabat yang bentuknya seperti musnad,
yang secara pasti menunjukkan asbab al-nuzul. Beberapa riwayat mengenai Sebab Nuzul. Jika terdapat
sebab nuzul sesuatu ayat itu banyak, maka terkadang semuanya tidak tegas, terkadang pula semuanya
tegas dan terkadang sebagian lainnya tegas dalam menunjukan sebab. Pertama, apabila smuanya tidak
tegas dalam menunjukan sebab, maka tidak ada salahnya untuk membawanya kepada atau dipandang
sebagai tafsir dan kandungan ayat. Kedua, apabila sebagian lain tegas maka yang menjadi pegangan
adalah tegas. Ketiga, apabila semuanya tegas, maka tidak terlepas dari kemungkinan bahwa salah
satunya shahih atau semuanya shahih. Apabila salah satunya shahih dan yang lainnya tidak, maka
shahih itulah yang menjadi pegangan. Keempat, apabila semuanya shahih, maka dilakukan pentarjihan
(penguatan) bila memungkinkan. Kelima, bila tidak memungkinkan dengan pilihan demikian, maka
dipadukan jika mempunyai kemungkinan. Keenam, bila tidak mungkin dipadukan, maka dipandanglah
ayat itu diturunkan beberapa kali dan berulang Lihat Manna al-Qattan, Mabahis Fi ‘Ulum al-Qur’an
hal.82-86

5
Al-Suyuthi berpendapat bahwa bila ucapan seorang tabi’in secara jelas
menunjukkan asbab al-nuzul, maka ucapan itu dapat diterima. Dan mempunyai
kedudukan mursal bila penyandaran kepada tabi’in benar dan ia termasuk salah
seorang imam tafsir yang mengambil ilmunya dari para sahabat, seperti Mujahid,
‘Ikrimah dan Sa’id bin Jubair serta didukung oleh hadis mursal yang lain. 12
Keabsahan asbab al-nuzul melalui riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW, tetapi tidak semua riwayat sahih. Riwayat yang sahih adalah riwayat yang
memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan para ahli hadis. Lebih spesifik
lagi ialah riwayat dari orang yang terlibat dan mengalami peristiwa pada saat wahyu
diturunkan. Riwayat dari tabi’in yang merujuk kepada Rasulullah dan para sahabat
dianggap dha’if (lemah).13
E. Macam-Macam Asbabun Nuzul

Asbabun Nuzul terbagi dua yaitu Ibtida’I artinya turun tanpa sebab. Hampir
sebagian ayat dari Alqur’an diturunkan tanpa sebab, tidak diawali dari suatu
peristiwa atau perintah. Yang Kedua Nuzul bi sabab artinya ayat itu punya aspek
historis (punya sebab).14 Namun jika ditinjau dari aspek Kuantitas, Asbabun Nuzul
juga terbagi dua yakni Ta’addud Al Asbab Wa Al Nazil Wahid—sebab turunnya ayat
lebih dari satu dan Ta’addud Al Nazil Wa Al Sabab Wahid—ayat yang diturunkan
banyak sementara sebabnya hanya satu.

Dalam bentuk peristiwa, Asbab Al Nuzul ada tiga macam yaitu: Peristiwa
berupa pertengkaran, seperti perselisihan yang berkecamuk antara segolongan dari
suku Aus dan suku Khazraj.15 Peristiwa berupa kesalahan yang serius, seperti
peristiwa seorang yang mengimami shalat dalam keadaan mabuk. Peristiwa yang

12
Jalaluddin ‘Abdurrahman Ibn Abi Bakar al-Suyuti, Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an hal.95
13
Ibid hal. 96
14
Jalaluddin ‘Abdurrahman Ibn Abi Bakar al-Suyuti, Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an hal. 97-112 jika kita
rinci lebih detail, sesungguhnya ada dua kategori dalam Nuzul bi sabab pertama suatu ayat turun ketika
terjadi suatu peristiwa, sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas tentang perintah Allah kepada Nabi
untuk memperingatkan kerabat dekatnya (Q.S. 26:214). Kemudian Nabi Saw naikke bukit Shafa dan
memperingatkan kaum kerabatnya tentang azab yang pedih. Ketika Abdul ‘Uzza ibn Abdul Muthalib
ibn Hasyim (Abu Lahab) berkata “ Celakalah engkau, apakah engkau mengumpulkan kami hanya
untuk rusan ini?,lalu ia pergi dan turunlah surat al-Lahab. Lihat Al-Wahhidi, Asbabun Nuzul, yang
Kedua, suatu ayat turun ketika Rasulullah Saw. ditanya tentang suatu hal. Ayat tersebut menjawab
pernyataan itu dan menerangkan hukumnya. Seperti pengaduan Khawlah bint Tsalabah kepada Nabi
tentang zihar yang dijatuhkan suaminya—Aus ibn Samit. Padahal Khawlah telah menghabiskan masa
mudanya dan telah sering melahirkan karenanya. Namun, sekarang ia dikenai zihar oleh suaminya
ketika sudah tua dan tidak melahirkan lagi. Kemudian turunlah ayat, Sesungguhnya Allah telah
mendengar perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya, yakni Aus ibn Samit.
15
Muhammad Abd al-‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi Ulumil Qur’an.hal.

6
berupa cita-cita dan keinginan, seperti persesuaian-persesuaian Umar bin Al- Khattab
dengan ketentuan ayat-ayat AlQur’an.

F. Formulasi Kata (Sighah) dalam Sababun Nuzul

Para Ulama menggunakan bentuk yang berbeda dalam menjelaskan sabab al-
nuzulnya. Untuk memudahkan klasifikasi Sababun Nuzul, Para Ulama yang
mengelompokan riwayat Sababun Nuzul berdasarkan formulasi kata yang dipakai ke
dalam dua kategori, yang tegas (li al-sabbabiyyah) dan yang tidak tegas (ghair sarih
li al-Sababiyyah). Termasuk yang tegas adalah jika periwayat sababun Nuzul
mengatakan ‫– سبب نزول االية كذا‬sabab nuzul ayat ini adalah sebagai berikut. Atau jika
para periwayat tersebut memakai fa ta’qibiyah (maka) setelah menyebutkan peristiwa
tertentu. Seperti ketika misalnya ia mengatakan ‫ فنزلت اية‬,‫حدث كذا أو سئل رسول هللا عن كذا‬
‫—كذا‬telah terjadi begini atau telah ditanya Rasulullah mengenai hal ini, maka turunlah
ayat ini.16

Selain redaksi di atas, maka bentuk kata sabab al-Nuzul dianggap tidak tegas.
Seperti perkataan, ‫ذا‬ZZ‫ة فى ك‬ZZ‫زلت االي‬ZZ‫—ن‬ayat itu turun tentang hal ini. 17 Ibarat ini, di
samping menerangkan sabab al-nuzul ayat, mungkin juga menyiratkan suatu hukum
atau menjelaskan kandungan ayat tersebut. Namun tradisi di kalangan sahabat dan
tabi’in maksud dari perkataan tersebut adalah menerangkan bahwa ayat itu
mengandung hukum, bukan menerangkan sebab nuzulnya. Maka sebagian ulama
hadist menggolongkan perkataan yang demikian sebagai hadist marfu.

G. Pengulangan Turunnya Ayat Al-Qur’an (Tikrar nuzul)


Telah dijelaskan sebelumnya bahwa teori tentang pengulangan turunnya ayat
Alqur’anini muncul karena para ‘ulama ingin menghilangkan keraguan tentang
kemungkinan ditentukannya sebuah peristiwa sebagai sabab al-Nuzul ayat
Alqur’antertentu. Menurutnya, jika sebuah ayat memiliki dua riwayat Sabab al-Nuzul
yang berbeda namun sama-sama kuad sanad-nya atau jika ia memiliki satu riwayat
namun informasinya bertentangan dengan pemahaman umum mengenai ayat tersebut,
maka disimpulkan bahwa ayat tersebut turun berulang kali.
Contoh kasus yang pertama adalah surat al-Ikhlas yang dianggap sebagai
jawaban terhadap bantahan orang-orang musyrik di Makkah, sekaligus Yahudi

16
Manna al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an. Hal. 81
17
Dalam redaksi lain dijelaskan ‫—احسب هذه االية نزلت فى كذا‬saya kira ayat ini turun mengenai kasus ini.

7
madinah. Sedang kasus yang kedua, contohnya adalah al-Qassas: 56 yang menurut
riwayat al-Musayyab turun ketika rasul menangisi Abu Thalib yang akan wafat.
Problemnya adalah surat al-Qassas disepakati sebagai surat madaniyyah bukan
Makkiyah. Sebagaimana surat al-Qassas, hal yang sama juga terjadi pada surat Hud.
Surat Hud disepakati oleh para ulama secara ijtihadi-qiyasi bahwa ia turun di
Makkah. Namun Ibn Mas’ud meriwayatkan sebuah cerita mengenai Abu al-Yusr,
seorang pendudukan Madinah yang mengakui dosanya pada Nabi, lalu nabi
menjawabnya dengan membacakan Hud : 114, yang berbunyi :

          
     

Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan
pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan
yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah
peringatan bagi orang-orang yang ingat.
Mengenai pengulangan ini, hikmahnya menurut al-Zarkasyi adalah untuk
memuliakan isi ayat (ta’ziman li sya’nihi) dan mengingatkan Nabi bahwa sesuatu
yang serupa pernah terjadi karena khawatir Nabi lupa (tadzkiran bihi ‘inda huduts
sababihi khaufa nisanihi). Maksudnya adalah, meskipun Nabi hafal ayat tersebut,
barangkali ayat tersebut tidak terpikirkan olehnya. Sayangnya, terori al-Zarkasyi ini
menyiratkan makna merendahkan kecerdasan Nabi sehingga ia harus dibantu dan
diingatkan bahwa ia telah memiliki jawaban terhadap sesuatu yangs edang
dihadapinya. Terlebih lagi, dalam kasus al-Qassas: 56, jika memang ayat ini telah
diturunkan di makkah untuk merespon keluh kesah Nabi yang tidak juga mampu
mengislamkan Abu Thalib, mengapa tidak terdapat riwayat mengenai kepada siapa
ayat ini diturunkan di madinah dan dalam peristiwa apa. Persoalan fundamental yang
tidak bisa dijelaskan oleh al-Zarkasyi ini sebenarnya menunjukkan bahwa informasi
dalam riwayat Sabab al-Nuzul sulit untuk diverifikasi kebenarannya.
H. Satu sebabun nuzul untuk beberapa ayat (Ta’addud al-sabab wa al-Nazil
Wahid)

Terkadang banyak ayat yang turun sedang sebabnya hanya satu. Dalam hal ini
tidak ada permasalahan yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun di
dalam berbagai surat berkenaan dengan satu peristiwa. Contohnya yang diriwayatkan

8
Sa’id bin Mansur, “Abdurrazzaq, Tirmidzi, Ibn Jarir, Ibnul Munzir, Ibn Hatim,
Tabarani dan Hakim yang mengeatakan shahih, dari Ummu Salamah, dia berkata:

 ‫أنزل هللا‬ZZZZ‫ ف‬.‫يئ‬ZZZZ‫رة بش‬ZZZZ‫اء فى الهج‬ZZZZ‫مع هللا ذكرالنس‬ZZZZ‫ ال أس‬,‫ول هللا‬ZZZZ‫يارس‬
     
      
    
   
   
  
  
   
      
  
Rasulullah, Aku tidak mendengar Allah menyebutkan kaum perempuan
sedikit pun mengenai hijrah. Maka Allah menurunkan: Maka Tuhan mereka
memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak
menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau
perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka
orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti
pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan
kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan mereka ke dalam surga
yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah
pada sisi-Nya pahala yang baik."

Juga diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’I, Ibn Jarir, Ibn Munzir, Tabarani dan
Ibn Mardawih dari Ummu Salamah yang mengatakan:

‫ول‬ZZ‫و يق‬ZZ‫بر وه‬ZZ‫داؤه على المن‬ZZ‫وم إالّ ن‬ZZ‫ه ذات ي‬ZZ‫ ما لنا ال نذكر فى القرأن كما يذكر الرجال؟ فلم يرعنى من‬,‫ يا رسول هللا‬: ‫قلت‬
  
 
 
 
 
 

 
 
 
  
   
   

9
Aku telah bertanya, Rasulullah, mengapa kami tidak disebutkan dalam Qur’an
seperti kaum laki-laki? Maka pada suatu hari aku dikejutkan oleh seruan Rasulullah di
atas mimbar. Ia membacakan Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim,
laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang
sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama)
Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.

Diriwayatkan pula oleh Hakim dari Ummu Salamah yang mengatakan:


  ‫ وإنّما لنا نصف الميراث؟ فأنزل هللا‬.‫تغزو ال ّرجال وال تغزو النّساء‬
     
    
   
     
      
 
Kaum laki-laki berperang sedang perempuan tidak. Di samping itu kami hanya
memperoleh warisan setengah bagian? Maka Allah menurunkan ayat, dan janganlah
kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih
banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari
pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa
yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Kemudian ada dua riwayat mengenai satu ayat yang turun, dan masing-masing
menyebutkan bab yang jelas, maka keduanya perlu dikaji lebih lanjut. Kadang-kadang
yang satu shahih dan yang lainnya tidak shahih. Adakalanya keduanya shahih, tetapi
tidak ada yang menguatkan salah satunya, namun keduanya bisa digunakan bersama-
sama. Dan adalakanya keduanya shahih, tak ada yang menguatkan salah satunya dan
tak mungkin digunakan bersama-sama. Itulah keempat kemungkinan, yang masing-
masing memiliki ketentuan tersendiri.
Pertama, yaitu yang salah satu riwayatnya saja yang shahih, ketentuannya
adalah menggunakan yang shahih itu untuk menjelaskan sabab nuzul dan menolak
yang tidak shahih. Misalnya yang ditakhrij oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan

10
yang lain dari Jundab, mengatakan bahwa : Nabi saw, mengadu kepada Tuhannya
selama satu atau dua malam tak beranjak dari tempatnya. Lalu ada seorang wanita
datang dan berkata : Wahai Muhammad, Aku yakin setanmu pasti telah
meninggalkanmu. Lalu Allah SWT menurunkan ayat :

           

Demi waktu matahari sepenggalahan naik, demi malam apabila telah sunyi
(gelap), Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.
Sementara ath-Thabrani dalam Ibn Abi Syaibah mentakhrij riwayat dari Hafsh
Ibn Maisarah dari ibunya dari neneknya, yang merupakan pelayan Rasululah saw,
bahwa ada sekor anak anjing masuk rumah Nabi saw., lalu menyelinap dibawah
ranjang dan mati. Kemudian selama empat hari wahyu tak kunjung turun kepada nabi
saw, lalu beliau bersabda: Wahai Khaulah, apa yang terjadi dirumah Rasulullah, Jibril
tak mendatangiku? Aku bergumam dalam hati. Seandainya engkau memeriksa bagian
bawah ranjang, lalu menyapunya (tentu engkau akan melihat sesuatu). Kemudian aku
menengok kebawah ranjang, lalu mengeluarkan anak anjing yang telah menjadi
bangkai itu. Kemudian Nabi saw datang dalam keadaan bergerak-gerak jengkotnya.
Dan memang bila hendak turun wahyu beliau sering gemetar seperti itu, lalu Allah
SWT menurunkan ayat diatas.
Menghadapi dua riwayat diatas, kami cenderung mendahulukan yang pertama
untuk menjelaskan sabab nuzul karena keshahihan riwayat yang pertama tersebut.
Yang kedua dianggap tidak shahih karena didalam sanadnya terdapat orang yang
tidak dikenal. Ibn hajar mengatakan : “Kisah tentang keterlambatan datangnya Jibril
disebabkan adanya anak anjing yang mati dibawah ranjang Nabi saw, sangat terkenal.
Akan tetapi keberadaannya merupakan sabab nuzul sangatlah janggal, karena di
dalam sanadnya terdapat orang yang tidak dikenal. Karena itu yang digunakan adalah
riwayat yang shahih.”
Kedua, yaitu kedua riwayat berstatus shahih dan ada yang menguatkan salah
satunya. Ketentuannya adalah kita mengambil riwayat yang memiliki penguat untuk
menjelaskan sabab nuzul, nukan yang lainnya. Yang menjadi penguat itu misalnya,
salah satunya lebih shahih atau perawi salah satunya menjadi saksi dalam kisah yang
bersangkutan, ataupun yang lainnya. Misalnya riwayat yang ditakhrij oleh Imam
Bukhari dan Ibn Mas’ud, yang mengatakan bahwa Aku berjalan bersama Nabi saw di
madinah. Beliau bertumpu pada tulang ekor lalu beliau melewati sekelompok Yahudi.

11
Sebagian mereka bertanya: tanyakan sesuaty kepadanya. Mereka bertanya: Ceritakan
kepada kami tentang roh. Sejenak beliau berdiri dan mengangkat kepala. Aku tahu
bahwa beliau hendak mendapat wahyu, kemudian beliau membaca :

            

kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu


(siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda
sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap kami.
Dari riwayat yang ditakhrij oleh Imam Tirmidzi dan dinilainya shahih, dari Ibn
Abbas yang mengatakan bahwa : Kaum Qurasiy berkata kepada Kaum Yahudi :
Berilah kami sesuatu, tentu kami akan tanyakan kepada laki-laki ini. Mereka berkata :
Tanyakan kepadanya tentang roh. Merekapun bertanya tentang roh, dan Allah SWT
menurunkan ayat diatas.
Riwayat yang kedua ini menunjukkan bahwa peristiwa itu terjadi di makkah,
dan sebab turun ayat tersebut adalah pertanyaan kaum Quraisy kepada nabi saw.
Adapun yang pertama secara tegas menjelaskna bahwa ayat diatas turun di madinah
dengan sebab turun pertanyaan kaum Yahudi kepada beliau. Ini lebih kuat dengan dua
alasan. Pertama, ia merupakan riwayat Imam Bukhari. Sedang yang kedua merupakan
riwayat Imam Tirmidzi. Dan telah menjadi kesepakatan bahwa yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari diakui lebih kuat aripada yang diriwayatkan oleh yang lain.
Kedua, perawi dari riwayat yang pertama, yaitu Ibn Mas’ud menjadi saksi primer
dalam kisah tersebut sejak awal hingga akhir. Ini berbeda dengan riwayat yang kedua,
perawinya yakni Ibn Abbas tidak ditunjukkan oleh redaksi, bahwa ia menjadi saksi
primer dalam kisah tersebut. Dan tak diragukan lagi bahwa adanya kesaksian lebih
kuat dalam hal tahammul dan ‘ada’. Dari sinilah, kita menggunakan riwayat yang
pertama untuk menjelaskan sabab nuzul ayat diatas dan mengabaikan riwayat yang
kedua.
Ketiga, yaitu kedua riwayat shahih, tidak ada yang menguatkan salah satunya
dan mungkin digabungkan, ketentuannya adalah bahwa salah satu sebab itu terjadi
dan ayat yang bersangkutan baru turun setelah ada kedua sebab tersebut. Ini
didasarkan pada kedekatan waktu antara keduanya. Dan hal ini kiota masukkan dalam
kategori ayat yang memiliki sebab lebih dari satu. Ibn hajar mengatakan bahwa :
Tidak ada halangan, satu yang turun, tetapi sebabnya lebih dari satu.

12
Misalnya, riwayat yang ditakhrij oleh Imam Bukhari melalui Ikrimah dari Ibn
Abbas, bahwa Hilal Ibn Umayyah menuduh zina istrinya dengan Syarik Ibn Samha’.
Lalu Nabi saw bersabda : Mendatangkan saksi atau hukuman di punggungmu. Ia
berkata : Wahai Rasulullah, bila salah seorang diantara kita mendapati istrinya
bersama seorang laki-laki, apakah ia harus pergi untuk mencari saksi? Riwayat
lainnya menyebutkan bahwa ia berkata : Demi Dzat yang mengutusmu dengan benar,
sungguh aku benar. Dan sungguh Allah SWT akan menurunkan sesuatu yang akan
membebaskanku dari hukuman. Lalu Jibril as menurunkan ayat :

         
        
Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak
ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu
ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah
Termasuk orang-orang yang benar.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mentakhrij sebuah riwayat, dan redaksinya
milik Imam Bukhari, dari Sahl Ibn Sa’d, bahwa ‘Uwaimir datang kepada Ashim Ibn
‘Addiy, yang merupakan pimpinan Bani ‘Ajlan, lalu berkatan : Bagaimana pendapat
kalian tentang seseorang yang mendapati seorang laki-laki bersama istrinya, ia harus
membunuhnya, sehingga mereka juga akan turut membunuhnya, atau apa yang harus
ia lakukan? Tanyakan untukku, kepada Rasulullah saw tentang hal itu. Lalu ‘Ashim
bertanya kepada Rasulullah saw kemudian Rasulullah saw enggan mendengar
pertanyaan itu dan mencacinya. Lalu ‘Uwaimir berkata : Demi Allah, aku tidak akan
berhenti sebelum bertanya sendiri kepada Rasulullahsaw tentang hal itu. Lalu
‘Uwaimir datang kepada beliau dan bertanya : Wahai Rasulullah, ada seseorang yang
mendapati istrinya bersama laki-laki lain. Apakah ia harus membunuh laki-laki itu,
sehingga mereka juga akan turut membunuuhnya, atau apa yang harus dilakukan?
Lalu Rasulullah saw bersabda: Allah SWT telah menurunkan Alqur’anberkenaan
denganmu dan dengan sahabatmu. Lalu Rasulullah saw memerintahkan keduanya
untuk saling berli’an berdasarkan apa yang telah disebutkan oleh Allah di dalam
Kitab-Nya, lalu orang tersebut meli’an istrinya.
Kedua riwayat itu sama-sama shahih, dan tak ada yang menguatkan salah
satunya. Tetapi mudah sekali untuk mengamalkan keduanya sekaligus karena
kedekatan waktu kedua riwayat tersebut. Yakni memahami bahwa yang mula-mula
bertanya adalah Hilal Ibn Umayyah, lalu disusul oleh ‘Uwaimir sebelum ia
13
mendapatkan jawaban. Mula-mula ia bertanya melalui ‘Ashim dan kedua ia bertanya
sendiri. Lalu Allah SWT menurunkan ayat untuk menjawab kedua kasus tersebut. Tak
diragukan lagi bahwa mengamalkan keduanya dengan cara memadukannya lebih baik
daripada mengamalkan salah satunya dan mengabaikan lainnya. Sebab tidak ada
halangan untuk mengambil kedua-duanya. Disamping itu tidak ada alasan yang
memperbolehkan menolak keduanya, karena keduanya sama-sama shahihdan tidak
saling bertentangan. Juga tidak ada alasan yang memperbolehkan mengambil salah
satunya dan menolak yang lainnya, karena hal ini merupakan upaya tarjih tanpa
alasan pertanjihan. Dengan demikian jelas ketentuannya adalah mengambil kedua-
duanya sekaligus. Dan inilah yang cenderung dipilih oleh Imam Nawawi, yang telah
didahului oleh al-Khatib, yang mengatakan bahwa : kemungkinan keduanya
persesuaian dalam satu waktu.
Dapat dipahami dari riwayat kedua bahwa ayat-ayat tentang saling berli’an
mula-mula turun berkenaan dengan Hilal. Kemudian datang ‘Uwaimir, lalu
Rasulullah saw memberikan fatwa kepadanya berdasarkan ayat yang telah diturunkan
tersebut. Adapun perkataan Rasulullah saw kepada ‘Uwaimir : Sesungguhnya Allah
SWT telah menurunkan Alqur’anberkenaan dirimu dan berkenaan dengan sahabatmu,
maka pengertiannya adalah ayat yang telah diturunkan berkenaan dengan Hilal.
Karena hal itu merupakan ketentuan umum yang berlaku untuk semua orang.
Keempat, yaitu persamaan kedua riwayat dalam hal keshahihan, tanpa ada
yang menguatkan salah satunya dan tak mungkin diambil bersama-sama karena
jauhnya waktu antar sebab, maka ketentuannya adalah mengartikannya sebagai
keberulangan turunnya ayat dengan keragaman sebab. Dan ini merupakan jenis
mengamalkan semua riwayat, dan tak ada halangan sama sekali dalam hal ini. Az-
Zarkasyi di dalam al-Burhan mengatakan : Kadang sesuatu turun dengan maksud
mengagungkan posisinya dan mengingatkan peristiwa yang menjadi sebab turunnya,
karena khawatir terlupakan.
Misalnya riwayat yang ditakhrij oleh Imam Baihaqi dan al-Bazzar dari Abu
Hurairah, bahwa Nabi saw melihat Hamzah sewaktu gugur syahid dan telah dirusak-
rusak tubuhnya. Lalu bersabda : “Sungguh aku akan merobek-robek 70 orang diantara
mereka untuk membalas siksaaan kepadamu ini.” Lalu turunlah Jibril, dan Nabi saw
masih berdiri terpaku, membawa ayat-ayat terakhir dari surat an-Nahl, yaitu :

14
           
 

Dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan Balasan yang
sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar,
Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.
Sampai akhir surat sebanyak tiga ayat.
I. Satu ayat untuk beberapa Sebab (Ta’addud al-Nazil wa al-Sabab Wahid)

Dalam konteks pemahaman makna ayat-ayat dikenal luas kaidah yang


menyatakan :

‫العبرة بعموم اللفظ ال بخصوص السبب‬


Setiap peristiwa memiliki atau terdiri dari unsure-unsur yang tidak dapat
dilepaskan darinya, yaitu waktu, tempat, situasi tempat, pelaku, kejadian, dan factor
yang menyebabkan terjadinya peristiwa tersebut.
Kaidah diatas menjadikan ayat tidak terbatas berlaku terhadap pelaku, tetapi
terhadap siapapun selama redaksi yang digunakan ayat bersifat umum. Perlu diingat
bahwa yang dimaksud dengan Khushus as-Sabab adalah sang pelaku saja, sedang
yang dimaksud dengan redaksinya yang bersifat umum harus dikaitkan dengan
peristiwa yang terjadi, bukannya terlepas dari peristiwanya.
Sebagai contoh riwayat menyatakan bahwa firman Allah dalam QS. al-Maidah
[5]: 33;

          
           
             

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan


Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang
dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan
untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.
Salah satu riwayat menyatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan
hukuman yang diterapkan oleh beberapa sahabat Nabi saw dalam kasus suku
al-‘Urainiyin. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa sekelompok orang dari suku ‘Ukal
dan ‘Urainah datang menemui Nabi saw setelah menyatakan keislaman mereka.

15
Mereka mengadu tentang sulitnya kehidupan mereka. Maka beliau memberi mereka
sejumlah unta agar dapat mereka manfaatkan. Ditengah jalan mereka membunuh
pengembala unta tersebut, bahwa mereka murtad. Mendengar kejadian tersebut Nabi
saw mengutus pasukan berkuda yang berhasil menangkap mereka sebelum tiba
diperkampungan mereka. Pasukan tersebut memotong tangan dan kaki serta
mencungkil mata mereka dengan besi yang dipanaskan, kemudian ditahan hingga
meninggal.
Kalau kita memahami makna memerangi Allah dan Rasulnya dan melakukan
perusakan di bumi dalam pengertian umum, terlepas dari Sabab an-Nuzul, maka
banyak sekali kedurhakaan yang dapat dicakup oleh redaksi tersebut. Nah, apakah
kaidah diatas mencakup semuanya? Jawabannya: Tidak! Kemumuman lafadz itu
terikat dengan bentuk istilah yang menjadi Sabab an-Nuzul sehingga ayat ini hanya
berbicara tentang sanksi hukum bagi pelaku yang melakukan perampokan yang
disebut oleh sebab diatas, yakni sekelompok orang suku ‘Ukal dan ‘Urainah serta
semua yang melakukan seperti apa yang dilakukan oleh rombongan kedua suku
tersebut. Sementara ulama masa lampau tidak menerima kaidah tersebut. Mereka
menyatakan bahwa :

Pemahaman ayat adalah berdasar “sebabnya” bukan redaksinya, kendati


redaksinya bersifat umum. Jadi, menurut mereka ayat diatas hanya berlaku terhadap
kedua suku ‘Ukal dan ‘Urainah.

Sementara ulama berkata bahwa kendati kedua rumusan diatas bertolak


belakang, tetapi hasilnya akan sama karena hukum perampokan yang dilakukan selain
mereka dapat ditarik dengan menganalogikan kasus baru dengan kasusu turunnya ayat
diatas.

Agaknya persoalan diatas tidak sesederhana apa yang dikemukakan ini dan
tidak selalu hasilnya sama, karena bisa saja semua menggunakan analog, tetapi syarat-
syarat penggunaannya dapat berbeda-beda antara satu madzhab dengan madzhab yang
lain.

Memang para ulama membahas kata yang bersifat umum tersebut, dalam hal
ini adalah kalimat yuharibuna Allaha wa Rasuluhu (memerangi Allah dan Rasulnya).

16
Imam Malik memahaminya dalam arti “mengangkat senjata untuk merampas harta
orang lain yang pada dasarnya tidak ada permusuhan antara yang merampas dan yang
dirampas hartanya, ” sebagaimana kasusu di atas, baik perampasan tersebut terjadi di
dalam kota maupun di tempat terpencil. Imam Malik, dengan demikian, tidak
sepenuhnya mempertimbangkan tempat dan situasinya. Ini berbeda dengan Imam Abu
Hanifah yang menilai bahwa perampasan tersebut harus terjadi di temat terpencil,
seperti halnya kasus turunnya ayat ini, sehingga jika terjadi di kota atau tempat
keramaian, maka ia tidak termasuk dalam kategori yuharibuna Allaha wa Rasuluhu.

Pendapat tentang Khushus as-Sabab itu dianut oleh sementara cendekiawan


yang sangat terpengaruh dengan hermeunetika sehingga secara sadar atau tidak
mengantarkannya berpendapat bahwa Alqur’anadalah produk sejarah yang idak dapat
diterapkan lagi dewasa ini.

Cendekiawan asal Mesir, Nashr Hamid Abu Zaid (1943-2010 M), salah
seorang yang sangat nyaring menuarakan ajakan untuk menggunakan hermeunetika
dalam memahami Alqur’anberanggapan bahwa kaidah :

‫العبرة بعموم اللفظ ال بخصوص السبب‬

Patokan dalam memahami makna ayat adalah lafadznya yang bersifat umum,
bukan sebabnya, dapat mengakibatkan terabaikannya Hikmah Tasyri’ dalam soal
makanan dan minuman, bahkan mengancam kelanggengan hukum itu. Ia beranggapan
bahwa firmanNya:

    

Janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk

Jika berpegang ada lafadznya yang bersifat umum, dapat menjadikan sesorang
menduga bahwa minum khamar dibolehkan selama seseorang belum akan shalat dan
dengan demikian ketetapan hukum tentang keharaman minuman keras terancam
diabaikan.

Apa yang dikemukakan tentang makna ayat yang keumumannya di sini


dibatasi oleh saat akan melakukan shalat, dapat diterima bagi orang yang keadaannya
sama dengan keadaan masyarakat Islam pada masa turunnya ayat itu, tetapi
kekhawatirannya sama sekali bukan pada tempatnya, karena kalangan pemula dalam

17
tafsir Alqur’anpun paham, tentang adanya tadarruj (kebertahapan) dalam sekian
banyak ketetapan hukum dalam al-Qur’an dan bahwa ayat an-Nisa’ di atas adalah
tahapan kedua dri ketentuan hukum Allah menyangkut minuman keras, sedang
tahapan terakhir ditemukan dalam QS. al-Maidah [5]: 90;

          
    

Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,


(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan.

Sekali lagi menganut paham al’Ibrat bi Khushus as-Sabab tidak


mengakibatkan terabaikannya atau tidak diperlukannya lagi ayat tersebut dan tidak
juga mengantar yang memahaminya secara baik untuk berkesimpulan bawa ada ayat-
ayat al-Qur’an yang telah kadaluwarsa. 18

J. Hubungan antara detail peristiwa(khusus sabab) dan redaksi yang


mengungkapkan (‘Umum al-lafz)
Di antara para ulama terdapat perbedaan mengenai manakah di antara dua hal
berikut yang harus dipegangi detail peristiwa yang khusus ataukah redaksi
pengungkapannya yang umum. As-suyuti lebih condong pada yang kedua. Meskipun
sebab turunnya ayat-ayat zihar adalah salamah Ibn Sakhr sebab turunnya ayat-ayat
li’an (tuduhan zina suami ke istri) adalah Hilal Ibn Umayyah dan sebab turunnya ayat
tentang hukuman tukang fitnah adalah peristiwa yang dialami oleh Aisyah, namun
karena ayat tersebut juga berlaku bagi semua orang mu’min, tidak terbatas pada
ketiga tokoh di atas.
Sebab dan musabab harus serasi, lafadz umum haruslah dipahami dengan
sebab khususnya itu;
Kelompok ulama yang berpegang atas dalil ini mengatakan bahwa ketentuan
hukum yang dikandung ayat tersebut pada dasarnya terbatas pada peristiwa yang
menjadi sebab turunnya ayat tersebut. Penerapannya terhadap kasus lainnya yang
serupa hanya mungkin dilakukan melalui qiyas atau nash lain.

18
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir(Jakarta: Lentera Hati, 2013) hal. 239-243

18
Golongan pertama memakai kaidah tersebut dengan pelaksanaan bahwa ayat
berlaku umum untuk seluruh peristiwa, kekhususan baru bisa ditarik dengan melihat
manthuq ayat. Sebaliknya golongan kedua dengan memakai kaidahnya dengan
melakukan pelaksaaan hukum yang berlaku pada peristiwa yang khusus yang
melatarbelakangi ayat itu. Sedangkan bagi peristiwa lain maka dilakukan jalan qiyas,
tetapi dengan catatan apabila qiyas tersebut memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan
mereka ini hendaknya dapat diterapkan tetapi dengan memperhatikan factor waktu
karena kalau tidak ia menjadi tidak relevan untuk dianalogikan. Bukankah, meminjam
bahasa Quraish Shihab, ayat al-Qur’an tidak turun dalam masyarakat hampa budaya
dan bahwa kenyataan mendahului atau bersamaan dengan turunnya ayat.
K. Reformasi Asbabun Nuzul

Diskursus pemikiran Islam kontemporer diwarnai dengan pendekatan


terbarukan terkait dengan metodologi tafsir. Banyak di antara para pemikir Islam yang
menemukan formasi up to date terkait dengan interpretasi teks ilahiah sebagai refleksi
penyegaran khasanah keilmuan Islam.

Respon ini barangkali terjadi akibat keilmuan Islam yang makro tidak bisa
berkembang menjawab persoalan dewasa ini sehingga terjadi kejumudan nalar Islam.
Sebut saja Fazlur Rahman19--penulis fokuskan pembahasan pada tokoh ini yang
mereformasi metodologi tafsir khususnya pada cabang ilmu Asbab Nuzul.

Asbabun Nuzul menunjukan adanya hubungan dialektis antara ayat dengan


fenomena sosiokultural masyarakat. Namun demikian asbabun nuzul tidak
berhubungan secara kausal dengan materi yang bersangkutan. Pengertian ini
menunjukan bahwa tidak semua sebab sosiokultur masyarakat melatarbelakangi
turunnya suatu ayat.
Turunnya suatu ayat menjembatani jarak antara sakralitas Tuhan dan
manusia. Tuhan Hadir dibalik teks yang kemudian menyejarah. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa pada akhirnya al-Qur’an memiliki dua dimensi yakni historis dan
transhistoris.20

19
Fazlur Rahman lahir di Pakistan pada 21 september 1919 di sebuah daerah bernama Hazara,
terletak di Barat Laut Pakistan. Situasi sosial ketika Rahman dilahirkan diwarnai dengan terjadinya
perdebatan publik diantara tiga kelompok yaitu modernis, tradisionalis dan fundementalis. Lihat :
Sibawaihi, Hermeneutika Alqur’an Fazlur Rahman (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hal.17
20
Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta:
Paramadina, 1996) h.306

19
Proses unifikasi dialektis antara al-Qur’an dan sosio cultural mufassir
mempunyai pertimbangan tertentu seperti universalitas dan mashlahatul ‘ammah.
Sehingga seide dengan kaidah fuqaha taghayyurul ahkam bi taghyyuriz zaman wal
makan.21

Fazlur Rahman mengomentari bahwa dibutuhkan beberapa peralatan ilmiah


untuk mengontrol kemajuan ilmu komentar al-Qur’an (ilmu tafsir), antara lain:
Pertama, diakui prinsip bahwa tidak hanya pengetahuan tentang bahasa arab saja yang
diperlukan untuk memahami al-Qur’an secara tepat, tetapi juga tentang idiom-idiom
bahasa arab pada zaman nabi juga. Kedua, tradisi histories yang berisi laporan-
laporan tentang bagaimana orang-orang di lingkungan Nabi memahami perintah-
perintah al-Qur’an, juga dianggap sangat penting. Setelah persyaratan-persyaratan ini
dipenuhi, barulah penggunaan nalar manusia diberikan tempat. Ketiga, latar-belakang
turunnya ayat-ayat al-Qur’an dimasukkan sebagai alat yang perlu untuk menerapkan
makna yang tepat dari firman Alah S.W.T.22

Sebagai langkah awal penting kiranya redefinisi Asbab Nuzul dalam skala
makro karena pengetahuan tentang asbab nuzul yang disusun ulama terdahulu mesti
diperluas nilai instrumennya. Sebut saja Suyuti yang “mempersempit” statementnya
dengan menyatakan bahwa Asbab nuzul tidak boleh diterima terkecuali berdasarkan
periwayatan atau pendengaran langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya
ayat, mengetahui sebab-sebab turunnya dan telah mendalam ilmunnya.23

Asbab an-nuzul makro adalah latar belakang sosio-historis masyarakat Arab


secara keseluruhan, yaitu memahami situasi makro dalam kondisi Arab pra Islam dan
ketika Islam datang. Asbab an-nuzul makro tidak hanya membahas bagian-bagian

21
Lihat Nurkholis Madjid, Konsep Asbabun Nuzul: Relevansinya bagi pandangan Historis
Segi-segi tertentu Ajaran Keagamaan, dalam Buddy Munawar Rahman (ed) Konstektualisasi Doktrin
Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina , 1994) h. 25 Kajian terhadap teks al-Qur’an yang
dilakukan para pemikir muslim pada dasarnya berangkat dari sejumlah fakta-fakta disekitar al-Qur’an
itu sendiri yang dibentuk oleh peradaban Arab di satu sisi, dan berangkat dari konsep-konsep yang
ditawarkan teks al-Qur’an di sisi lain. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum teks Alqur’an turun,
realitas budaya Arab sudah ada. Selain itu, perjalanan turunnya teks Alqur’an sejak pertama kali turun
sampai berakhir tidak bisa dilepaskan realitas dan budaya yang ada. Teks al-Qur’an merupakan produk
budaya ini sebenarnya ingin menunjukkan bahwa teks al-Qur’an terbentuk atau diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw bukan pada masyarakat yang kosong dari budaya, tetapi teks tersebut terbentuk
di dalam realitas dan budaya lebih dari 20 tahun. Pernyataan ini sering disalah pahami oleh sebagian
orang, bahwa Alqur’an benar-benar diproduk oleh budaya, sehingga seolah-olah al-Qur’an tidak lagi
wahyu Allah, tapi makhluk yang dihasilkan oleh budaya.
22
Fazlur Rahman, Islam, (Bandung, Pustaka; 2003), h.48.
23
Jalaluddin ‘Abdurrahman Ibn Abi Bakar al-Suyuti, Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an hal.95

20
individual al-Qur’an saja, tetapi juga terhadap al-Qur’an secara keseluruhan dengan
latar belakang paganisme Mekkah. Memahami unsur makro tersebut akan membantu
seseorang dalam memahami pesan al-Qur’an secara keseluruhan. Memahami al-
Qur’an tanpa asbab an-nuzul mikro dan makro akan menggiring pada kesalahan
dalam menilai secara tepat elan dasar al-Qur’an.24

Peran penting latar belakang sosio historis dapat dilihat dari proses penafsiran
yang ditawarkan Rahman, yang disebut gerakan ganda (double movement). Langkah
pertama dimulai dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana teks al-Qur’an
tesebut merupakan jawabannya. Termasuk dalam langkah ini mengkaji situasi makro
dalam masyarakat, adat istiadat, lembaga-lembaga, termasuk kehidupan bangsa Arab
secara keseluruhan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui prinsip-prinsip umum dalam
al-Qur’an. Langkah kedua, berangkat dari prinsipprinsip umum tersebut harus ada
gerakan kembali ke kasus-kasus yang dihadapi sekarang, tentunya dengan
mempertimbangkan kondisi sosial saat ini.

Menurut Rahman, Alqur’an secara keseluruhan adalah kata-kata (kalam)


Allah, dan dalam pengertian biasa, juga keseluruhannyanya merupakan kata-kata
Muhammad. Jadi Alqur’an murni kata-kata Ilahi, namun tentu saja, ia sama-sama
secara intim berkaitan dengan personalitas paling dalam Nabi Muhammad yang
hubungannya dengan kata-kata (kalam) Ilahi itu tidak dapat dipahami secara mekanis
seperti hubungan sebuah rekaman. Kata-kata (kalam) Ilahi mengalir melalui hati
Nabi.25

Gerakan pertama yakni dari situasi sekarang ke masa al-Qur’an diturunkan,


terdiri dari dua langkah, Pertama, memahami arti dengan mengkaji situasi atau
problem historis di mana pernyataan al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya.
Sebelum mengaji ayat-ayat secara spesifik, suatu kajian mengenai situasi makro
dalam batasan-batasan masyarakat agama, adat istiadat, lembaga-lembaga bahkan
mengenai kehidupan secaar menyeluruh di Arabia pada saar turunnya Islam di
Makkah. Singkatnya, memahami Alqur’an sebagai sesuatu keseluruhan di samping
24
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, (Bandung: Pustaka,
2000), hlm. 6-7
25
Definisi di atas mengasumsikan bahwa pola hubungan yang dibangun antara al-Qur’an, Allah dan
Muhammad. Asumsi demikian secara Psikologi menegaskan bahwa Muhammad terlibat baik mental
maupun intelektual dalam penerimaan wahyu. Oleh karenannya, Alqur’an harus dipahami dari
perjuangan Nabi dan Latar belakangnya. Lihat: Mawardi, Hermeneutika Fazlur Rahman, dalam
Hermeneutika al-Qur’an dan Hadist (ed) Sahiron Syamsudin, (Yogyakarta: eLSAQ, 2010) hal.45-46

21
dalam batas-batas ajaran yang khusus yang merupakan respon terhadap situasi-situasi
khusus.26 Kedua, mengeneralisirkan jawaban-jawaban spesifik dan menyatakan
sebagai pernyataan yang mempunyai tujuan moral-sosial umum yang dapat dipilah
dari teks-teks spesifik dalam latar belakang sosio-historis dan ratio legis (ilat hukum).

Gerakan kedua merupakan proses yang berangkat dari pandangan umum ke


pandangan khusus yang harus dirumuskan dan direalisasikan masa ini. Dalam
pengertian yang lain, yang umum harus diwudkan dalam konteks sosio-historis yang
konkret. Pada intinya historis yang dimaksudkan Fazlur Rahman bukanlah asbabun
nuzul yang dipahami oleh ulama konvensional sebagai peristiwa yang menyebabkan
Alqur’an diturunkan melainkan setting social masyarakat Arab di mana al-Qur’an
diturunkan (qira’ah al-tarikhiyyah).

DAFTAR PUSTAKA

Al-Wahidy, Asbabun Nuzul (Beirut: Dar Al-Kitab Ilmiyah, t. th)


Badr al-Din Muhammad Ibn ‘Abdillah al-Zarkasyi al-Burhan fi ‘Ulum alqur’an
(Kairo: Darul hadist, 2006)
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, (Bandung:
Pustaka, 2000)
------------------, Islam, (Bandung, Pustaka; 2003)
Jalaluddin ‘Abdurrahman Ibn Abi Bakar al-Suyuti, Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an
(Beirut: Ar-Risalah, t.th)
------------------,Lubab al-Nuqul fi Asbab nuzul (Beirut: Muasasah al-Kitab al-
Tsaqafiyah, 2002)
Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama:Sebuah Kajian Hermeneutik
(Jakarta: Paramadina, 1996)
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Semarang: Pustaka Rizqi Putra:
2014)
M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran. Cet-VII, (Bandung: Mizan, 1994)
-----------------------, Kaidah Tafsir (Jakarta: Lentera Hati, 2013)
Manna al-Qattan, Mabahis Fi ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah, t.th)
Mawardi, Hermeneutika Fazlur Rahman, dalam Hermeneutika Alqur’an dan Hadist
(ed) Sahiron Syamsudin, (Yogyakarta: eLSAQ, 2010)
26
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, (Bandung: Pustaka, 2000)
hal. 7

22
Mu’ammar Zayn Qadafy, Sababun Nuzul : Dari Mikro hingga Makro (Yogyakarta: In
AzNa Books, 2015)
Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi ‘Ulumil Qur’an (Beirut:
Darul Kitab Al-Arobi,1995)
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005,
Nurkholis Madjid, Konsep Asbabun Nuzul: Relevansinya bagi pandangan Historis
Segi-segi tertentu Ajaran Keagamaan, dalam Buddy Munawar Rahman (ed)
Konstektualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina , 1994)
Sibawaihi, Hermeneutika Alqur’an Fazlur Rahman (Yogyakarta: Jalasutra, 2007)

23

Anda mungkin juga menyukai