Ilmu Asbabun Nuzul
Ilmu Asbabun Nuzul
1
pertengahan surat al-Nisa. Beliau menambahkan informasi lebih banyak tentang
Asbabun Nuzul yang disuguhkan al-Wahhidi.
Tokoh berikutnya yang berjasa dalam mereduksi cakupan Asbabun Nuzul
adalah Jalaluddin ‘Abdul Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuti (w. 911 H). lebih tegas dari
al-Wahhidi, dalam Lubab al-Nuqul fi Asbab nuzul, al-Suyuti mengartikan sabab al-
Nuzul menjadi ام وقوعهZZة أيZZزلت االيZZا نZZ—مsesuatu yang pada hari-hari terjadinya, ayat
Alqur’an diturunkan. Lebih lanjut beliau mendefinikan أيام وقوعهbahwa turunnya ayat
Alqur’an menyertai peristiwa secara langsung (mubasyarah) atau berjeda sesaat
tergantung kebutuhannya.
Setelah al-Suyuti, muncul Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani (1367 H)
yang dalam Manahil ‘Irfannya memberikan definisi yang sedikit berbeda, yakni ما
ام وقوعةZه أيZة لحكمZه أو مبينZة عنZ– نزلت االية أو االيات متحدثsesuatu yang pada hari terjadinya,
turun satu atau beberapa ayat yang berbicara tentangnya atau menerangkan
hukumnya.
Disamping yang telah disebutkan di atas nama sekaliber Manna al-Qattan juga
patut diperhitungkan. Beliau menjelaskan Sabab al-Nuzul denganما نزل القرأن بشأنه القرأن
د وقوعهZZ– عنKejadian atau soal yang karena Alqur’an diturunkan. 4 Definisi yang
berkembang selanjutnya hanyalah merupakan repetisi dan penambahan dari
pengertian sebelumnya. Hal ini mengindikasikan bahwa epistimologi Asbabun nuzul
sudah mengalami kemapanan, perkembangan tersebut dipersempit pada masa al-
Suyuti di abad ke 10 H.
B. Pengertian Asbab al-Nuzul
Secara etimologis , kata Asbab berarti sebab atu alasan. Sementara nuzul
secara bahasa berarti turun. Sehingga jika kedua term ini digabung secara bersamaan
dapat kita artikan “pengetahuan tentang sebab-sebab diturunkannya suatu ayat.
Istilah “sebab” di sini, menurut Nashruddin Baidan tidak sama dengan “sebab”
yang dikenal dalam hukum kausalitas. Istilah “sebab” dalam hukum kausalitaas,
merupakan keharusan wujudnya untuk lahirnya suatu akibat. Suatu akibat tidak akan
terjadi tanpa adanya sebab terdahulu oleh sebab tertentu, tetapi sebab di sini, secara
teoritis tidak mutlak adanya, walaupun secara empiris telah terjadi peristiwanya.
Adanya sebab-sebab turunya al-Qur‟an, merupakan salah satu manifestasi
kebijaksanaan Allah dalam membimbing hamba-Nya. Dengan adanya asbab an-nuzul,
4
Manna al-Qattan, Mabahis Fi ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah, t.th) hal.74
2
akan lebih tampak keabsahan al-Qur‟an sebagai petunjuk yang sesuai dengan
kebutuhuan dan kesanggupan manusia.5
Sedangkan jika merujuk pengertian secara terminologis, ada beberapa definisi
yang berkembang di kalangan para ulama sekalipun beberapa definisi itu memiliki
kesamaan maksud dan tujuan. Dikemukan al-Zarqani dalam magnum orpusnya:
ما نزلت اآلية أو اآليات متحدثة عنه أن مبينة لحكمه أيام وقوعه
Suatu kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat, atau
suatu peristiwa yang dapat dijadikan petunjuk hukum berkenaan turunnya suatu
ayat.6
Dari pengertian di atas mengidentifikasikan tentang urgensi asbabun nuzul
sebagai salah satu pertimbangan dalam memahami suatu ayat karena di dalamnya
terdapat unsur-unsur yang penting yang meliputi pelaku, peristiwa dan tempat. Trilogi
asbabun nuzul inilah yang mesti dijadikan blueprint oleh seorang mufassir dalam
menganalisa ayat agar bisa meruang dalam waktu dan tempat yang berbeda.
Meski demikian, pendapat para ahli tafsir tidak dapat menguraikan segala
kesimpulan dan tidak dapat pula menerangkan mutasyabihah sebagaimana tidak dapat
menjelaskan yang mujmal.7 Dalam maksud yang lain, penguasaan ahli tafsir dalam
kaidah-kaidah bahasa Arab, adab-adab bahasa dan apa yang dikehendaki oleh kata-
kata tunggal tidaklah cukup, mereka harus mempunyai pendekatan historis dengan
mempelajari epistimologi yang menyebabkan ayat-ayat itu diturunkan.8 Hal itu tidak
mungkin diterangkan oleh pengertian kalimat itu sendiri.
Seperti halnya kasus Marwan Ibn Al-Hakam yang menyangka bahwa firman
Allah surat Ali Imran :188 :
5
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005), h. 132
6
Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi ‘Ulumil Qur’an (Beirut: Darul Kitab Al-
Arobi,1995)hal. 79
7
Dalam hal ini Al-Wahidy berpendapat bahwa tidak mungkin kita mengetahui tafsir ayat tanpa
mengetahui kisahnyadan sebab turunnya. Lihat Al-Wahidy, Asbabun Nuzul (Beirut: Dar Al-Kitab
Ilmiyah, t. th) hal. 21
8
Menamakan sebab diturunkan ayat dengan kisah nuzulnya ayat, mengisyaratkan pada dzauq
(perasaan) yang tinggi. Dengan menyatukan keduanya seseorang mampu merasakan kisah turunnya
suatu ayat lekat dengan dirinya. Lihat : M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Semarang:
Pustaka Rizqi Putra: 2014) h.14. bandingkan dengan Quraish Shihab, Membumikan Alqur’an
(Bandung: Mizan, 1994)h. 89 yang menyatakan Asbabun Nuzul yang mengaitkan antara Pelaku,
Peristiwa dan Waktu selama ini tidak dipahami secara utuh. Pemahaman suatu ayat hanya ditekankan
pada peristiwanya sehingga mengakibatkan interpretasi yang tidak mengandung realitas social yang
melingkupinya.
3
Artinya: janganlah sekali-kali kamu menyangka, bahwa orang-orang yang
gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji
terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa
mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.
Ia mengatakan, jika benar setiap orang bergembira dengan apa yang telah
dikerjakannya dan suka dipuji terhadap yang belum dikerjakannya akan disiksa, maka
kita juga akan terkena siksa. Ia bingung dengan pemahaman yang seperti itu, sampai
Ibn Abbas menjelaskan kepadanya bahwa ayat itu turun berkenaan dengan kaum
yahudi, yakni ketika mereka ditanya oleh Nabi saw. tentang sesuatu, mereka
menyembunyikannya dan memberitahukan yang lain kepada beliau. Mereka
memperlihatkan telah memberitahukan sesuatu itu kepada Nabi dan mereka
menginginkan beliau memuji mereka. Saat itulah, ia memahami apa yang dimaksud
firman Allah di atas.9
C. Urgensi Mengetahui Asbab Nuzul
Ada beberapa manfaat Asbabun Nuzul, Pertama mengetahui secara jelas
hikmah disyariatkannya suatu hukum. Kedua, mentakhsiskan hukum dengan sebab
nuzul. Ini berlaku bagi mereka yang beranggapan bahwa pengertian ayat hanya
berkait dengan sebab tertentu. Ketiga, membantu memahami ayat dan menghindarkan
dari salah persepsi tentang ayat tersebut. Dalam hal inidikemukakan contoh sebagai
berikut;
Artinya: Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu
menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya)
lagi Maha mengetahui.
9
Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi ‘Ulumil Qur’an hal. 92
4
Keempat, menghindari dugaan adanya hasyr (pembatasan) pada ayat yang
secara lahiriah menunjukan adanya hasyr. Sekalipun ada sebagian ulama yang
beranggapan mengetahui Asbabun Nuzul tidak lain hanyalah sejarah dan cerita
tentang turunnya ayat. Menurut as-Suyuti pendapat demikian tidak bisa
dipertahankan, sebab terkandung berbagai keistimewaan.10
5
Al-Suyuthi berpendapat bahwa bila ucapan seorang tabi’in secara jelas
menunjukkan asbab al-nuzul, maka ucapan itu dapat diterima. Dan mempunyai
kedudukan mursal bila penyandaran kepada tabi’in benar dan ia termasuk salah
seorang imam tafsir yang mengambil ilmunya dari para sahabat, seperti Mujahid,
‘Ikrimah dan Sa’id bin Jubair serta didukung oleh hadis mursal yang lain. 12
Keabsahan asbab al-nuzul melalui riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
SAW, tetapi tidak semua riwayat sahih. Riwayat yang sahih adalah riwayat yang
memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan para ahli hadis. Lebih spesifik
lagi ialah riwayat dari orang yang terlibat dan mengalami peristiwa pada saat wahyu
diturunkan. Riwayat dari tabi’in yang merujuk kepada Rasulullah dan para sahabat
dianggap dha’if (lemah).13
E. Macam-Macam Asbabun Nuzul
Asbabun Nuzul terbagi dua yaitu Ibtida’I artinya turun tanpa sebab. Hampir
sebagian ayat dari Alqur’an diturunkan tanpa sebab, tidak diawali dari suatu
peristiwa atau perintah. Yang Kedua Nuzul bi sabab artinya ayat itu punya aspek
historis (punya sebab).14 Namun jika ditinjau dari aspek Kuantitas, Asbabun Nuzul
juga terbagi dua yakni Ta’addud Al Asbab Wa Al Nazil Wahid—sebab turunnya ayat
lebih dari satu dan Ta’addud Al Nazil Wa Al Sabab Wahid—ayat yang diturunkan
banyak sementara sebabnya hanya satu.
Dalam bentuk peristiwa, Asbab Al Nuzul ada tiga macam yaitu: Peristiwa
berupa pertengkaran, seperti perselisihan yang berkecamuk antara segolongan dari
suku Aus dan suku Khazraj.15 Peristiwa berupa kesalahan yang serius, seperti
peristiwa seorang yang mengimami shalat dalam keadaan mabuk. Peristiwa yang
12
Jalaluddin ‘Abdurrahman Ibn Abi Bakar al-Suyuti, Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an hal.95
13
Ibid hal. 96
14
Jalaluddin ‘Abdurrahman Ibn Abi Bakar al-Suyuti, Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an hal. 97-112 jika kita
rinci lebih detail, sesungguhnya ada dua kategori dalam Nuzul bi sabab pertama suatu ayat turun ketika
terjadi suatu peristiwa, sebagaimana diriwayatkan Ibnu Abbas tentang perintah Allah kepada Nabi
untuk memperingatkan kerabat dekatnya (Q.S. 26:214). Kemudian Nabi Saw naikke bukit Shafa dan
memperingatkan kaum kerabatnya tentang azab yang pedih. Ketika Abdul ‘Uzza ibn Abdul Muthalib
ibn Hasyim (Abu Lahab) berkata “ Celakalah engkau, apakah engkau mengumpulkan kami hanya
untuk rusan ini?,lalu ia pergi dan turunlah surat al-Lahab. Lihat Al-Wahhidi, Asbabun Nuzul, yang
Kedua, suatu ayat turun ketika Rasulullah Saw. ditanya tentang suatu hal. Ayat tersebut menjawab
pernyataan itu dan menerangkan hukumnya. Seperti pengaduan Khawlah bint Tsalabah kepada Nabi
tentang zihar yang dijatuhkan suaminya—Aus ibn Samit. Padahal Khawlah telah menghabiskan masa
mudanya dan telah sering melahirkan karenanya. Namun, sekarang ia dikenai zihar oleh suaminya
ketika sudah tua dan tidak melahirkan lagi. Kemudian turunlah ayat, Sesungguhnya Allah telah
mendengar perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya, yakni Aus ibn Samit.
15
Muhammad Abd al-‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi Ulumil Qur’an.hal.
6
berupa cita-cita dan keinginan, seperti persesuaian-persesuaian Umar bin Al- Khattab
dengan ketentuan ayat-ayat AlQur’an.
Para Ulama menggunakan bentuk yang berbeda dalam menjelaskan sabab al-
nuzulnya. Untuk memudahkan klasifikasi Sababun Nuzul, Para Ulama yang
mengelompokan riwayat Sababun Nuzul berdasarkan formulasi kata yang dipakai ke
dalam dua kategori, yang tegas (li al-sabbabiyyah) dan yang tidak tegas (ghair sarih
li al-Sababiyyah). Termasuk yang tegas adalah jika periwayat sababun Nuzul
mengatakan – سبب نزول االية كذاsabab nuzul ayat ini adalah sebagai berikut. Atau jika
para periwayat tersebut memakai fa ta’qibiyah (maka) setelah menyebutkan peristiwa
tertentu. Seperti ketika misalnya ia mengatakan فنزلت اية,حدث كذا أو سئل رسول هللا عن كذا
—كذاtelah terjadi begini atau telah ditanya Rasulullah mengenai hal ini, maka turunlah
ayat ini.16
Selain redaksi di atas, maka bentuk kata sabab al-Nuzul dianggap tidak tegas.
Seperti perkataan, ذاZZة فى كZZزلت االيZZ—نayat itu turun tentang hal ini. 17 Ibarat ini, di
samping menerangkan sabab al-nuzul ayat, mungkin juga menyiratkan suatu hukum
atau menjelaskan kandungan ayat tersebut. Namun tradisi di kalangan sahabat dan
tabi’in maksud dari perkataan tersebut adalah menerangkan bahwa ayat itu
mengandung hukum, bukan menerangkan sebab nuzulnya. Maka sebagian ulama
hadist menggolongkan perkataan yang demikian sebagai hadist marfu.
16
Manna al-Qattan, Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an. Hal. 81
17
Dalam redaksi lain dijelaskan —احسب هذه االية نزلت فى كذاsaya kira ayat ini turun mengenai kasus ini.
7
madinah. Sedang kasus yang kedua, contohnya adalah al-Qassas: 56 yang menurut
riwayat al-Musayyab turun ketika rasul menangisi Abu Thalib yang akan wafat.
Problemnya adalah surat al-Qassas disepakati sebagai surat madaniyyah bukan
Makkiyah. Sebagaimana surat al-Qassas, hal yang sama juga terjadi pada surat Hud.
Surat Hud disepakati oleh para ulama secara ijtihadi-qiyasi bahwa ia turun di
Makkah. Namun Ibn Mas’ud meriwayatkan sebuah cerita mengenai Abu al-Yusr,
seorang pendudukan Madinah yang mengakui dosanya pada Nabi, lalu nabi
menjawabnya dengan membacakan Hud : 114, yang berbunyi :
Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan
pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan
yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah
peringatan bagi orang-orang yang ingat.
Mengenai pengulangan ini, hikmahnya menurut al-Zarkasyi adalah untuk
memuliakan isi ayat (ta’ziman li sya’nihi) dan mengingatkan Nabi bahwa sesuatu
yang serupa pernah terjadi karena khawatir Nabi lupa (tadzkiran bihi ‘inda huduts
sababihi khaufa nisanihi). Maksudnya adalah, meskipun Nabi hafal ayat tersebut,
barangkali ayat tersebut tidak terpikirkan olehnya. Sayangnya, terori al-Zarkasyi ini
menyiratkan makna merendahkan kecerdasan Nabi sehingga ia harus dibantu dan
diingatkan bahwa ia telah memiliki jawaban terhadap sesuatu yangs edang
dihadapinya. Terlebih lagi, dalam kasus al-Qassas: 56, jika memang ayat ini telah
diturunkan di makkah untuk merespon keluh kesah Nabi yang tidak juga mampu
mengislamkan Abu Thalib, mengapa tidak terdapat riwayat mengenai kepada siapa
ayat ini diturunkan di madinah dan dalam peristiwa apa. Persoalan fundamental yang
tidak bisa dijelaskan oleh al-Zarkasyi ini sebenarnya menunjukkan bahwa informasi
dalam riwayat Sabab al-Nuzul sulit untuk diverifikasi kebenarannya.
H. Satu sebabun nuzul untuk beberapa ayat (Ta’addud al-sabab wa al-Nazil
Wahid)
Terkadang banyak ayat yang turun sedang sebabnya hanya satu. Dalam hal ini
tidak ada permasalahan yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun di
dalam berbagai surat berkenaan dengan satu peristiwa. Contohnya yang diriwayatkan
8
Sa’id bin Mansur, “Abdurrazzaq, Tirmidzi, Ibn Jarir, Ibnul Munzir, Ibn Hatim,
Tabarani dan Hakim yang mengeatakan shahih, dari Ummu Salamah, dia berkata:
أنزل هللاZZZZ ف.يئZZZZرة بشZZZZاء فى الهجZZZZمع هللا ذكرالنسZZZZ ال أس,ول هللاZZZZيارس
Rasulullah, Aku tidak mendengar Allah menyebutkan kaum perempuan
sedikit pun mengenai hijrah. Maka Allah menurunkan: Maka Tuhan mereka
memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak
menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau
perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka
orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti
pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan
kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah aku masukkan mereka ke dalam surga
yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah
pada sisi-Nya pahala yang baik."
Juga diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’I, Ibn Jarir, Ibn Munzir, Tabarani dan
Ibn Mardawih dari Ummu Salamah yang mengatakan:
ولZZو يقZZبر وهZZداؤه على المنZZوم إالّ نZZه ذات يZZ ما لنا ال نذكر فى القرأن كما يذكر الرجال؟ فلم يرعنى من, يا رسول هللا: قلت
9
Aku telah bertanya, Rasulullah, mengapa kami tidak disebutkan dalam Qur’an
seperti kaum laki-laki? Maka pada suatu hari aku dikejutkan oleh seruan Rasulullah di
atas mimbar. Ia membacakan Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim,
laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang
sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama)
Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
Kemudian ada dua riwayat mengenai satu ayat yang turun, dan masing-masing
menyebutkan bab yang jelas, maka keduanya perlu dikaji lebih lanjut. Kadang-kadang
yang satu shahih dan yang lainnya tidak shahih. Adakalanya keduanya shahih, tetapi
tidak ada yang menguatkan salah satunya, namun keduanya bisa digunakan bersama-
sama. Dan adalakanya keduanya shahih, tak ada yang menguatkan salah satunya dan
tak mungkin digunakan bersama-sama. Itulah keempat kemungkinan, yang masing-
masing memiliki ketentuan tersendiri.
Pertama, yaitu yang salah satu riwayatnya saja yang shahih, ketentuannya
adalah menggunakan yang shahih itu untuk menjelaskan sabab nuzul dan menolak
yang tidak shahih. Misalnya yang ditakhrij oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan
10
yang lain dari Jundab, mengatakan bahwa : Nabi saw, mengadu kepada Tuhannya
selama satu atau dua malam tak beranjak dari tempatnya. Lalu ada seorang wanita
datang dan berkata : Wahai Muhammad, Aku yakin setanmu pasti telah
meninggalkanmu. Lalu Allah SWT menurunkan ayat :
Demi waktu matahari sepenggalahan naik, demi malam apabila telah sunyi
(gelap), Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.
Sementara ath-Thabrani dalam Ibn Abi Syaibah mentakhrij riwayat dari Hafsh
Ibn Maisarah dari ibunya dari neneknya, yang merupakan pelayan Rasululah saw,
bahwa ada sekor anak anjing masuk rumah Nabi saw., lalu menyelinap dibawah
ranjang dan mati. Kemudian selama empat hari wahyu tak kunjung turun kepada nabi
saw, lalu beliau bersabda: Wahai Khaulah, apa yang terjadi dirumah Rasulullah, Jibril
tak mendatangiku? Aku bergumam dalam hati. Seandainya engkau memeriksa bagian
bawah ranjang, lalu menyapunya (tentu engkau akan melihat sesuatu). Kemudian aku
menengok kebawah ranjang, lalu mengeluarkan anak anjing yang telah menjadi
bangkai itu. Kemudian Nabi saw datang dalam keadaan bergerak-gerak jengkotnya.
Dan memang bila hendak turun wahyu beliau sering gemetar seperti itu, lalu Allah
SWT menurunkan ayat diatas.
Menghadapi dua riwayat diatas, kami cenderung mendahulukan yang pertama
untuk menjelaskan sabab nuzul karena keshahihan riwayat yang pertama tersebut.
Yang kedua dianggap tidak shahih karena didalam sanadnya terdapat orang yang
tidak dikenal. Ibn hajar mengatakan : “Kisah tentang keterlambatan datangnya Jibril
disebabkan adanya anak anjing yang mati dibawah ranjang Nabi saw, sangat terkenal.
Akan tetapi keberadaannya merupakan sabab nuzul sangatlah janggal, karena di
dalam sanadnya terdapat orang yang tidak dikenal. Karena itu yang digunakan adalah
riwayat yang shahih.”
Kedua, yaitu kedua riwayat berstatus shahih dan ada yang menguatkan salah
satunya. Ketentuannya adalah kita mengambil riwayat yang memiliki penguat untuk
menjelaskan sabab nuzul, nukan yang lainnya. Yang menjadi penguat itu misalnya,
salah satunya lebih shahih atau perawi salah satunya menjadi saksi dalam kisah yang
bersangkutan, ataupun yang lainnya. Misalnya riwayat yang ditakhrij oleh Imam
Bukhari dan Ibn Mas’ud, yang mengatakan bahwa Aku berjalan bersama Nabi saw di
madinah. Beliau bertumpu pada tulang ekor lalu beliau melewati sekelompok Yahudi.
11
Sebagian mereka bertanya: tanyakan sesuaty kepadanya. Mereka bertanya: Ceritakan
kepada kami tentang roh. Sejenak beliau berdiri dan mengangkat kepala. Aku tahu
bahwa beliau hendak mendapat wahyu, kemudian beliau membaca :
12
Misalnya, riwayat yang ditakhrij oleh Imam Bukhari melalui Ikrimah dari Ibn
Abbas, bahwa Hilal Ibn Umayyah menuduh zina istrinya dengan Syarik Ibn Samha’.
Lalu Nabi saw bersabda : Mendatangkan saksi atau hukuman di punggungmu. Ia
berkata : Wahai Rasulullah, bila salah seorang diantara kita mendapati istrinya
bersama seorang laki-laki, apakah ia harus pergi untuk mencari saksi? Riwayat
lainnya menyebutkan bahwa ia berkata : Demi Dzat yang mengutusmu dengan benar,
sungguh aku benar. Dan sungguh Allah SWT akan menurunkan sesuatu yang akan
membebaskanku dari hukuman. Lalu Jibril as menurunkan ayat :
Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak
ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu
ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah
Termasuk orang-orang yang benar.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mentakhrij sebuah riwayat, dan redaksinya
milik Imam Bukhari, dari Sahl Ibn Sa’d, bahwa ‘Uwaimir datang kepada Ashim Ibn
‘Addiy, yang merupakan pimpinan Bani ‘Ajlan, lalu berkatan : Bagaimana pendapat
kalian tentang seseorang yang mendapati seorang laki-laki bersama istrinya, ia harus
membunuhnya, sehingga mereka juga akan turut membunuhnya, atau apa yang harus
ia lakukan? Tanyakan untukku, kepada Rasulullah saw tentang hal itu. Lalu ‘Ashim
bertanya kepada Rasulullah saw kemudian Rasulullah saw enggan mendengar
pertanyaan itu dan mencacinya. Lalu ‘Uwaimir berkata : Demi Allah, aku tidak akan
berhenti sebelum bertanya sendiri kepada Rasulullahsaw tentang hal itu. Lalu
‘Uwaimir datang kepada beliau dan bertanya : Wahai Rasulullah, ada seseorang yang
mendapati istrinya bersama laki-laki lain. Apakah ia harus membunuh laki-laki itu,
sehingga mereka juga akan turut membunuuhnya, atau apa yang harus dilakukan?
Lalu Rasulullah saw bersabda: Allah SWT telah menurunkan Alqur’anberkenaan
denganmu dan dengan sahabatmu. Lalu Rasulullah saw memerintahkan keduanya
untuk saling berli’an berdasarkan apa yang telah disebutkan oleh Allah di dalam
Kitab-Nya, lalu orang tersebut meli’an istrinya.
Kedua riwayat itu sama-sama shahih, dan tak ada yang menguatkan salah
satunya. Tetapi mudah sekali untuk mengamalkan keduanya sekaligus karena
kedekatan waktu kedua riwayat tersebut. Yakni memahami bahwa yang mula-mula
bertanya adalah Hilal Ibn Umayyah, lalu disusul oleh ‘Uwaimir sebelum ia
13
mendapatkan jawaban. Mula-mula ia bertanya melalui ‘Ashim dan kedua ia bertanya
sendiri. Lalu Allah SWT menurunkan ayat untuk menjawab kedua kasus tersebut. Tak
diragukan lagi bahwa mengamalkan keduanya dengan cara memadukannya lebih baik
daripada mengamalkan salah satunya dan mengabaikan lainnya. Sebab tidak ada
halangan untuk mengambil kedua-duanya. Disamping itu tidak ada alasan yang
memperbolehkan menolak keduanya, karena keduanya sama-sama shahihdan tidak
saling bertentangan. Juga tidak ada alasan yang memperbolehkan mengambil salah
satunya dan menolak yang lainnya, karena hal ini merupakan upaya tarjih tanpa
alasan pertanjihan. Dengan demikian jelas ketentuannya adalah mengambil kedua-
duanya sekaligus. Dan inilah yang cenderung dipilih oleh Imam Nawawi, yang telah
didahului oleh al-Khatib, yang mengatakan bahwa : kemungkinan keduanya
persesuaian dalam satu waktu.
Dapat dipahami dari riwayat kedua bahwa ayat-ayat tentang saling berli’an
mula-mula turun berkenaan dengan Hilal. Kemudian datang ‘Uwaimir, lalu
Rasulullah saw memberikan fatwa kepadanya berdasarkan ayat yang telah diturunkan
tersebut. Adapun perkataan Rasulullah saw kepada ‘Uwaimir : Sesungguhnya Allah
SWT telah menurunkan Alqur’anberkenaan dirimu dan berkenaan dengan sahabatmu,
maka pengertiannya adalah ayat yang telah diturunkan berkenaan dengan Hilal.
Karena hal itu merupakan ketentuan umum yang berlaku untuk semua orang.
Keempat, yaitu persamaan kedua riwayat dalam hal keshahihan, tanpa ada
yang menguatkan salah satunya dan tak mungkin diambil bersama-sama karena
jauhnya waktu antar sebab, maka ketentuannya adalah mengartikannya sebagai
keberulangan turunnya ayat dengan keragaman sebab. Dan ini merupakan jenis
mengamalkan semua riwayat, dan tak ada halangan sama sekali dalam hal ini. Az-
Zarkasyi di dalam al-Burhan mengatakan : Kadang sesuatu turun dengan maksud
mengagungkan posisinya dan mengingatkan peristiwa yang menjadi sebab turunnya,
karena khawatir terlupakan.
Misalnya riwayat yang ditakhrij oleh Imam Baihaqi dan al-Bazzar dari Abu
Hurairah, bahwa Nabi saw melihat Hamzah sewaktu gugur syahid dan telah dirusak-
rusak tubuhnya. Lalu bersabda : “Sungguh aku akan merobek-robek 70 orang diantara
mereka untuk membalas siksaaan kepadamu ini.” Lalu turunlah Jibril, dan Nabi saw
masih berdiri terpaku, membawa ayat-ayat terakhir dari surat an-Nahl, yaitu :
14
Dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan Balasan yang
sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar,
Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.
Sampai akhir surat sebanyak tiga ayat.
I. Satu ayat untuk beberapa Sebab (Ta’addud al-Nazil wa al-Sabab Wahid)
15
Mereka mengadu tentang sulitnya kehidupan mereka. Maka beliau memberi mereka
sejumlah unta agar dapat mereka manfaatkan. Ditengah jalan mereka membunuh
pengembala unta tersebut, bahwa mereka murtad. Mendengar kejadian tersebut Nabi
saw mengutus pasukan berkuda yang berhasil menangkap mereka sebelum tiba
diperkampungan mereka. Pasukan tersebut memotong tangan dan kaki serta
mencungkil mata mereka dengan besi yang dipanaskan, kemudian ditahan hingga
meninggal.
Kalau kita memahami makna memerangi Allah dan Rasulnya dan melakukan
perusakan di bumi dalam pengertian umum, terlepas dari Sabab an-Nuzul, maka
banyak sekali kedurhakaan yang dapat dicakup oleh redaksi tersebut. Nah, apakah
kaidah diatas mencakup semuanya? Jawabannya: Tidak! Kemumuman lafadz itu
terikat dengan bentuk istilah yang menjadi Sabab an-Nuzul sehingga ayat ini hanya
berbicara tentang sanksi hukum bagi pelaku yang melakukan perampokan yang
disebut oleh sebab diatas, yakni sekelompok orang suku ‘Ukal dan ‘Urainah serta
semua yang melakukan seperti apa yang dilakukan oleh rombongan kedua suku
tersebut. Sementara ulama masa lampau tidak menerima kaidah tersebut. Mereka
menyatakan bahwa :
Agaknya persoalan diatas tidak sesederhana apa yang dikemukakan ini dan
tidak selalu hasilnya sama, karena bisa saja semua menggunakan analog, tetapi syarat-
syarat penggunaannya dapat berbeda-beda antara satu madzhab dengan madzhab yang
lain.
Memang para ulama membahas kata yang bersifat umum tersebut, dalam hal
ini adalah kalimat yuharibuna Allaha wa Rasuluhu (memerangi Allah dan Rasulnya).
16
Imam Malik memahaminya dalam arti “mengangkat senjata untuk merampas harta
orang lain yang pada dasarnya tidak ada permusuhan antara yang merampas dan yang
dirampas hartanya, ” sebagaimana kasusu di atas, baik perampasan tersebut terjadi di
dalam kota maupun di tempat terpencil. Imam Malik, dengan demikian, tidak
sepenuhnya mempertimbangkan tempat dan situasinya. Ini berbeda dengan Imam Abu
Hanifah yang menilai bahwa perampasan tersebut harus terjadi di temat terpencil,
seperti halnya kasus turunnya ayat ini, sehingga jika terjadi di kota atau tempat
keramaian, maka ia tidak termasuk dalam kategori yuharibuna Allaha wa Rasuluhu.
Cendekiawan asal Mesir, Nashr Hamid Abu Zaid (1943-2010 M), salah
seorang yang sangat nyaring menuarakan ajakan untuk menggunakan hermeunetika
dalam memahami Alqur’anberanggapan bahwa kaidah :
Patokan dalam memahami makna ayat adalah lafadznya yang bersifat umum,
bukan sebabnya, dapat mengakibatkan terabaikannya Hikmah Tasyri’ dalam soal
makanan dan minuman, bahkan mengancam kelanggengan hukum itu. Ia beranggapan
bahwa firmanNya:
Jika berpegang ada lafadznya yang bersifat umum, dapat menjadikan sesorang
menduga bahwa minum khamar dibolehkan selama seseorang belum akan shalat dan
dengan demikian ketetapan hukum tentang keharaman minuman keras terancam
diabaikan.
17
tafsir Alqur’anpun paham, tentang adanya tadarruj (kebertahapan) dalam sekian
banyak ketetapan hukum dalam al-Qur’an dan bahwa ayat an-Nisa’ di atas adalah
tahapan kedua dri ketentuan hukum Allah menyangkut minuman keras, sedang
tahapan terakhir ditemukan dalam QS. al-Maidah [5]: 90;
18
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir(Jakarta: Lentera Hati, 2013) hal. 239-243
18
Golongan pertama memakai kaidah tersebut dengan pelaksanaan bahwa ayat
berlaku umum untuk seluruh peristiwa, kekhususan baru bisa ditarik dengan melihat
manthuq ayat. Sebaliknya golongan kedua dengan memakai kaidahnya dengan
melakukan pelaksaaan hukum yang berlaku pada peristiwa yang khusus yang
melatarbelakangi ayat itu. Sedangkan bagi peristiwa lain maka dilakukan jalan qiyas,
tetapi dengan catatan apabila qiyas tersebut memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan
mereka ini hendaknya dapat diterapkan tetapi dengan memperhatikan factor waktu
karena kalau tidak ia menjadi tidak relevan untuk dianalogikan. Bukankah, meminjam
bahasa Quraish Shihab, ayat al-Qur’an tidak turun dalam masyarakat hampa budaya
dan bahwa kenyataan mendahului atau bersamaan dengan turunnya ayat.
K. Reformasi Asbabun Nuzul
Respon ini barangkali terjadi akibat keilmuan Islam yang makro tidak bisa
berkembang menjawab persoalan dewasa ini sehingga terjadi kejumudan nalar Islam.
Sebut saja Fazlur Rahman19--penulis fokuskan pembahasan pada tokoh ini yang
mereformasi metodologi tafsir khususnya pada cabang ilmu Asbab Nuzul.
19
Fazlur Rahman lahir di Pakistan pada 21 september 1919 di sebuah daerah bernama Hazara,
terletak di Barat Laut Pakistan. Situasi sosial ketika Rahman dilahirkan diwarnai dengan terjadinya
perdebatan publik diantara tiga kelompok yaitu modernis, tradisionalis dan fundementalis. Lihat :
Sibawaihi, Hermeneutika Alqur’an Fazlur Rahman (Yogyakarta: Jalasutra, 2007) hal.17
20
Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama : Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta:
Paramadina, 1996) h.306
19
Proses unifikasi dialektis antara al-Qur’an dan sosio cultural mufassir
mempunyai pertimbangan tertentu seperti universalitas dan mashlahatul ‘ammah.
Sehingga seide dengan kaidah fuqaha taghayyurul ahkam bi taghyyuriz zaman wal
makan.21
Sebagai langkah awal penting kiranya redefinisi Asbab Nuzul dalam skala
makro karena pengetahuan tentang asbab nuzul yang disusun ulama terdahulu mesti
diperluas nilai instrumennya. Sebut saja Suyuti yang “mempersempit” statementnya
dengan menyatakan bahwa Asbab nuzul tidak boleh diterima terkecuali berdasarkan
periwayatan atau pendengaran langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya
ayat, mengetahui sebab-sebab turunnya dan telah mendalam ilmunnya.23
21
Lihat Nurkholis Madjid, Konsep Asbabun Nuzul: Relevansinya bagi pandangan Historis
Segi-segi tertentu Ajaran Keagamaan, dalam Buddy Munawar Rahman (ed) Konstektualisasi Doktrin
Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina , 1994) h. 25 Kajian terhadap teks al-Qur’an yang
dilakukan para pemikir muslim pada dasarnya berangkat dari sejumlah fakta-fakta disekitar al-Qur’an
itu sendiri yang dibentuk oleh peradaban Arab di satu sisi, dan berangkat dari konsep-konsep yang
ditawarkan teks al-Qur’an di sisi lain. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum teks Alqur’an turun,
realitas budaya Arab sudah ada. Selain itu, perjalanan turunnya teks Alqur’an sejak pertama kali turun
sampai berakhir tidak bisa dilepaskan realitas dan budaya yang ada. Teks al-Qur’an merupakan produk
budaya ini sebenarnya ingin menunjukkan bahwa teks al-Qur’an terbentuk atau diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw bukan pada masyarakat yang kosong dari budaya, tetapi teks tersebut terbentuk
di dalam realitas dan budaya lebih dari 20 tahun. Pernyataan ini sering disalah pahami oleh sebagian
orang, bahwa Alqur’an benar-benar diproduk oleh budaya, sehingga seolah-olah al-Qur’an tidak lagi
wahyu Allah, tapi makhluk yang dihasilkan oleh budaya.
22
Fazlur Rahman, Islam, (Bandung, Pustaka; 2003), h.48.
23
Jalaluddin ‘Abdurrahman Ibn Abi Bakar al-Suyuti, Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an hal.95
20
individual al-Qur’an saja, tetapi juga terhadap al-Qur’an secara keseluruhan dengan
latar belakang paganisme Mekkah. Memahami unsur makro tersebut akan membantu
seseorang dalam memahami pesan al-Qur’an secara keseluruhan. Memahami al-
Qur’an tanpa asbab an-nuzul mikro dan makro akan menggiring pada kesalahan
dalam menilai secara tepat elan dasar al-Qur’an.24
Peran penting latar belakang sosio historis dapat dilihat dari proses penafsiran
yang ditawarkan Rahman, yang disebut gerakan ganda (double movement). Langkah
pertama dimulai dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana teks al-Qur’an
tesebut merupakan jawabannya. Termasuk dalam langkah ini mengkaji situasi makro
dalam masyarakat, adat istiadat, lembaga-lembaga, termasuk kehidupan bangsa Arab
secara keseluruhan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui prinsip-prinsip umum dalam
al-Qur’an. Langkah kedua, berangkat dari prinsipprinsip umum tersebut harus ada
gerakan kembali ke kasus-kasus yang dihadapi sekarang, tentunya dengan
mempertimbangkan kondisi sosial saat ini.
21
dalam batas-batas ajaran yang khusus yang merupakan respon terhadap situasi-situasi
khusus.26 Kedua, mengeneralisirkan jawaban-jawaban spesifik dan menyatakan
sebagai pernyataan yang mempunyai tujuan moral-sosial umum yang dapat dipilah
dari teks-teks spesifik dalam latar belakang sosio-historis dan ratio legis (ilat hukum).
DAFTAR PUSTAKA
22
Mu’ammar Zayn Qadafy, Sababun Nuzul : Dari Mikro hingga Makro (Yogyakarta: In
AzNa Books, 2015)
Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi ‘Ulumil Qur’an (Beirut:
Darul Kitab Al-Arobi,1995)
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005,
Nurkholis Madjid, Konsep Asbabun Nuzul: Relevansinya bagi pandangan Historis
Segi-segi tertentu Ajaran Keagamaan, dalam Buddy Munawar Rahman (ed)
Konstektualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina , 1994)
Sibawaihi, Hermeneutika Alqur’an Fazlur Rahman (Yogyakarta: Jalasutra, 2007)
23