Anda di halaman 1dari 5

Yekti Tresna, [03.03.

21 13:22]

Online Tajwid:

🕋 MENCARI SANAD 🕋

Sunnahnya, sanad yang dicari adalah sanad yang tinggi, sanad yang jaraknya dekat dengan sumber
periwayatan. Dalam konteks Alquran atau Hadits, maka semakin sedikit jumlah perantara antara
seseorang dengan Nabi, sanad yang dimilikinya dinilai semakin tinggi ('ali). Karena jaraknya terhitung
dekat. Semakin banyak jumlah perantara antara dia dengan Nabi, maka sanadnya dinilai semakin rendah
(nazil).

Selain persoalan jarak dan perantara, cara mengambil sanad / cara meriwayatkan (thariqah tahammul
wal ada), juga mesti diperhatikan. Dalam periwayatan, kedudukan sanad yang jumlah perantaranya
sama, tetap dinilai berbeda disebabkan cara meriwayatkannya berbeda.

Para ulama hadits mengurutkan cara meriwayatkan dari yang paling tinggi sebagai berikut:

1. As-Sama' (murid menyimak dari guru),

2. Al-'Aradh (murid membacakan kepada guru), menurut Al-Imam Malik cara ini lebih tinggi daripada As-
Sama', sedangkan jumhur (mayoritas ulama) berpendapat sebaliknya.

3. Al-Ijazah (murid tidak membacakan atau menyimak, guru langsung memberikan izin (ijazah) untuk
meriwayatkan, baik secara lisan atau tulisan. Cara meriwayatkan seperti ini sah menurut jumhur.

Kadangkala murid membaca sebagian atau menyimak sebagian, sedangkan untuk menyambungkan
sanadnya secara sempurna, maka guru memberikan ijazah pada muridnya.

Kadang juga guru menguji muridnya, setelah dinilai lulus, maka gurunya memberikan ijazah dengan
sanad yang tersambung kepada sumber riwayat.
4. Al-Munawalah (guru memberikan naskah periwayatan asli atau salinan yang telah dikoreksi tanpa
disertai lafazh ijazah kepada muridnya), para ulama sepakat mengenai kesahihan cara meriwayatkan ini,
dimana dimana sebagian di antara mereka menyetarakan al-munawalah dengan al-ijazah, bahkan ada
sebagian ulama yang berpendapat al-munawalah ini lebih tinggi kedudukannya daripada al-ijazah.

5. Al-Mukatabah (guru memberikan naskah yang diriwayatkan, dengan atau tanpa lafazh ijazah, kepada
muridnya secara tidak langsung dengan perantara seseorang yang terpercaya). Status periwayatan ini
sama dengan al-ijazah bila disertai lafazh ijazah, dan para ulama berbeda pendapat bila tidak disertai
lafazh ijazah, dimana sebagian besar ulama berpendapat shahih meriwayatkan melalui cara ini.

Adapun menurut ulama Al-Quran, kualitas sanad qiraat berdasarkan cara meriwayatkan, diurutkan dari
yang paling tinggi adalah sebagai berikut:

1. Menggabungkan antara as-sama' dan al-'aradh sekaligus secara sempurna 30 juz. Yakni guru
membacakan Alquran kepada muridnya, kemudian muridnya mengulangi bacaan tersebut sambil
dikoreksi. Namun, cara ini sudah jarang dilakukan zaman sekarang. Setelah selesai dan gurunya yakin
bahwa muridnya bisa mempraktikkan bacaan dengan baik serta mengajarkannya, maka gurunya
memberikan ijazah (izin) untuk membaca (fil qiraah) dan mengajarkan (wal iqra).

2. Al-'Aradh. Yakni murid membacakan Alquran secara sempurna 30 juz kepada gurunya, baik ifrad (satu
riwayat) atau bil jama' (membaca dengan menggabungkan beberapa qiraat dalam satu bacaan). Yang
lebih utama adalah membacanya dengan hafalan, dan sebagian ulama qiraat menerima setoran bacaan
tanpa hafalan, selama memenuhu kaidah hukum-hukum tajwid. As-Suyuthi dalam Al-Itqan mengatakan
bahwa hafalan bukanlah syarat mendapatkan ijazah. Setelah selesai dan gurunya yakin bahwa muridnya
bisa mempraktikkan bacaan dengan baik serta mengajarkannya, maka gurunya memberikan ijazah (izin)
untuk membaca (fil qiraah) dan mengajarkan (wal iqra).

3. As-Sama'. Seorang murid menyimak bacaan gurunya dari awal sampai akhir, tanpa mengulangi
bacaan tersebut. Setelah selesai dan gurunya yakin bahwa muridnya bisa mempraktikkan bacaan
dengan baik serta mengajarkannya, maka gurunya memberikan ijazah (izin) untuk membaca (fil qiraah)
dan mengajarkan (wal iqra).
4. Al-Ikhtibar. Seorang guru menguji bacaan muridnya pada sebagian tempat Alquran, baik dari sisi
tajwid atau dari sisi variasi qiraat. Bila lulus, maka gurunya memberikan ijazah (izin) untuk membaca (fil
qiraah

dan mengajarkan (wal iqra).

Yekti Tresna, [03.03.21 13:22]

5. Biba'dhil Quran. Seorang murid membaca sebagian surat atau ayat Alquran, kemudian gurunya
memberikan ijazah (izin) untuk membaca (fil qiraah) dan mengajarkan (wal iqra), untuk seluruh Alquran,
bukan hanya ayat atau surat yang dibacanya saja.

Termasuk kategori ini adalah apabila ada beberapa murid yang membaca Alquran secara munawabah /
bit tanawub (berkelompok secara bergiliran). Setelah selesai membaca 30 juz secara bergiliran, maka
gurunya memberikan ijazah (izin) untuk membaca (fil qiraah) dan mengajarkan (wal iqra) untuk seluruh
Alquran, bukan hanya surat atau ayat yang dibacanya saja.

6. Al-Ijazah. Seorang guru langsung memberikan ijazah (izin) untuk membaca (fil qiraah) dan
mengajarkan (wal iqra), tanpa mendengar bacaan muridnya, tanpa membacakan Alquran kepada
muridnya. Hal ini didasari atas pengetahuan dan keyakinan gurunya terhadap kemampuan muridnya.

Catatan:

👉🏻Para ulama qiraat berbeda pendapat mengenai keshahihan ijazah untuk 3 nomor terakhir (no. 4-6).
Sebagian ulama mengatakan shahih secara mutlak, sedangkan sebagian yang lain mensyaratkan
penerima ijazah itu telah menerima ijazah sebelumnya dengan salah satu dari 3 cara yang pertama (no.
1-3). Apabila ada seseorang yang menerima ijazah dengan salah satu dari cara 4-6, namun ia tidak
pernah mendapat ijazah dengan salah satu dari cara no. 1-3, maka ijazahnya tidak sah, artinya tidak bisa
diriwayatkan kepada murid-muridnya. Sanadnya tidak shahih. Adapun bila sebelumnya telah
mendapatkan ijazah dengan salah satu dari cara no. 1-3, maka ijazahnya sah, dan boleh diriwayatkan
kepada murid-muridnya. Pendapat kedua ini yang sepertinya dipegang oleh kebanyakan ulama Alquran
kontemporer. Wallaahu a'lam.
👉🏻Bagi seseorang yang belum pernah menerima ijazah dengan salah satu cara no. 1-3, atau belum
pernah bertalaqqi kepada gurunya, apakah boleh langsung meminta ijazah kepada gurunya (langsung
meminta cara no. 6)..?

Menurut Al-Hamadzani : haram hukumnya meminta ijazah tanpa talaqqi sama sekali.

Adapun Al-Imam Ibnul Jazari tawaqquf (tidak memberikan komentar) akan hal ini. Namun, beliau
mensyaratkan adanya kemampuan dan kepakaran murid yang diberikan ijazah. Bila gurunya yakin
muridnya memang ahli, mampu, dan memiliki kepakaran dalam Alquran riwayat tersebut, maka tidak
apa-apa memberikan ijazah padanya.

Apa yang dibicarakan di atas, seluruhnya berkaitan dengan mencari sanad atau meminta ijazah (thalabul
ijazah). Semua ini termasuk persoalan memasuki kota ilmu dari gerbang riwayah.

Maka seseorang yang akan mencari sanad atau meminta ijazah (riwayah), hendaknya terlebih dahulu
mengetahui keadaan dan periwayatan gurunya, sebelum ia memutuskan meminta ijazah darinya.

Adapun bila yang dituju bukan ijazah atau sanad, melainkan pemaparan dan penjelasan (dirayah),
pemahaman dan pendalaman ilmu tajwid atau qiraat misalnya, maka yang utama dijadikan bahan
pertimbangan bukanlah sanad atau jalur-jalur periwayatannya. Melainkan kemahiran, kemampuan, dan
pemahaman dalam persoalan tersebut. Seiring berjalannya waktu, maka kita akan mendapatkan hasil
yang bisa kita timbang, apakah guru ini benar-benar memiliki kemampuan dalam hal tersebut atau tidak.

Sebagian ulama mengatakan, bagi seseorang yang ingin mencari tahu keadaan gurunya, boleh baginya
duduk dalam majlis guru tersebut selama beberapa waktu, kemudian ia berdiskusi dengan guru-guru
sebelumnya, lalu beristikharah, meminta petunjuk apakah gurunya ini adalah orang yang tepat untuk
mengajarkannya atau tidak.

Bila dalam waktu 2 bulan ia belum menemukan ketenangan, maka ia boleh mencari guru yang lain, atau
bersabar atas sebagian kekurangan yang ada pada guru tersebut. Karena tidak ada orang yang
sempurna. Sedangkan bila ia telah tenang dan nyaman dengan guru tersebut, maka janganlah ia
tinggalkan majlis gurunya sebelum ia menuntaskan pelajaran-pelajaran yang diberikan gurunya dari
awal sampai akhirnya.
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa, terdapat cara pandang dan pertimbangan yang berbeda saat kita
ingin memasuki kota ilmu dari

Yekti Tresna, [03.03.21 13:22]

gerbang riwayah dengan gerbang dirayah. Bila sejak awal perjalanan kita diniatkan untuk mencari sanad
atau meminta ijazah (riwayah), maka carilah sanad yang tinggi dan berkualitas, terlepas bagaimana
keadaan dan kedalaman pemahaman guru tersebut, karena kadang atau bahkan seringkali sanad yang
tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan luasnya pengetahuan dan dalamnya pemahaman.

Adapun bila sejak awal ingin mencari pemaparan, penjelasan, dan pendalaman materi (dirayah), maka
carilah guru yang memang ahli dalam bidang ilmu tersebut, tanpa perlu melihat sanad dan
periwayatannya. Karena realitanya, mereka yang luas pengetahuannya serta dalam pemahamannya,
tidak mesti harus selalu memegang sanad yang tinggi. Bahkan, bisa jadi tidak memiliki sanad dan jalur
periwayatan sama sekali.

Baik yang pertama atau kedua tidaklah tercela. Kecuali mereka yang selalu merasa puas dan akhirnya
berhenti pada titik dimana seharusnya ia baru memulai.

Namun demikian, bila kita ditaqdirkan dipertemukan dengan seorang guru yang ahli dan sekaligus
memegang sanad tinggi, maka jelas itu merupakan rizki yang besar, yang mesti diambil manfaatnya
sebanyak-banyaknya.

Wallaahu a'lam.

- Laili Al-Fadhli -

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=581191545645880&id=564912297273805

Anda mungkin juga menyukai