Anda di halaman 1dari 3

Nama : Andi Hasnindar

Tugas : Resume Berita Terkini Sosial Dan Politik Di Lingkup Nasional

Wacana Presiden Tiga Periode, Paradoks Komunikasi Politik Indonesia


Wacana Tiga Periode dan Kekisruhan Politik Indonesia
Masifnya wacana tiga periode ini memperlihatkan kekisruhan politik di Indonesia
yang semakin menjadi-jadi. Hanya di Indonesia, para elite politik menciptakan imajinasi
politik dengan mendesain isu-isu publik yang kontraproduktif dalam upaya melanggengkan
kekuasaan dengan pengaruh pesan politik, sasaran, dan target politik yang dapat diarahkan
dan dimanipulasi. Perilaku aktor politik inilah yang memandang kekuasaan itu sebagai
sesuatu yang konkret. Ibaratnya, benda atau barang yang dapat diwariskan kepada anak cucu
dan memperkuat oligarki. Pada akhirnya, hal ini akan menyebabkan tertutupnya celah bagi
perbedaan, memunculkan pemerintahan yang tidak terkontrol, dibungkamnya oposisi,
macetnya regenerasi kepemimpinan, menumbuhsuburkan korupsi serta nepotisme
(Noor, 2021).
Aktor politik ini pula yang menggunakan dan menghalalkan segala cara dalam meraih
kekuasaan yang berkepanjangan. Apa pun caranya, bila perlu dengan menipu, memfitnah,
politik adu domba, menyuap, termasuk mengubah amendemen konstitusi negara yang sudah
kokoh. Padahal, hasil Sidang Umum MPR RI, 14-21 Oktober 1999, perubahan atas Pasal 7
menyebutkan, "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa
jabatan". Dalam pendekatan sistemik komunikasi politik, kekuasaan diartikan sebagai sesuatu
yang cair dan licin.
Meskipun ini dianggap oleh sebagian pihak merupakan wacana liar yang tidak
berdasar. Bahkan, MPR RI telah mengelak dan case closed terkait wacana tiga periode. Akan
tetapi, kenyataannya, pesan politik tersebut, baik disengaja atau tidak, verbal maupun non
verbal, dalam makna interpretif dan transaksional mengarah pada distribusi dan pengelolaan
kekuasaan (Mulyana, 2013).

Kekhawatiran Publik
Munculnya kekhawatiran publik menyangkut isu presiden tiga periode adalah hal
yang wajar, bukan sesuatu yang berlebihan. Sebab, bagaimana pun tidak ada yang bisa
menjamin bahwa amendemen terbatas yang akan dilakukan itu tidak disusupi klausul wacana
presiden tiga periode. Apalagi, di tengah kondisi pandemi yang masih berlangsung dan
kontrol publik yang tidak maksimal karena keterbatasan ruang ekspresi. Belajar dari
pengalaman sebelumnya, apa yang menjadi keresahan publik ternyata benar terjadi. Beberapa
rancangan undang-undang yang menuai kontroversi publik juga akhirnya terealisasi dengan
mulus dan cepat. Untuk kepentingan segelinter elite politik, segala hal yang mustahil
terwujud pada faktanya bisa terjadi. Komunikasi politik di Indonesia itu memang pelik. Ada
anomali. Terjadi tumpang tindih dan penuh ketidakpastian. Sarana komunikasi yang
dilakukan penuh intrik dan kebohongan kepada khalayak.
Berkali-kali masyarakat diberikan harapan palsu atas janji-janji semu para elite
politik. Ada banyak keganjilan komunikasi politik di Indonesia antara penyampaian dengan
perbuatan yang dilakukan tidak senada. Jika sejak awal janji yang disampaikan para elite
politik hanya sekadar permainan kata-kata atau pengelolaan kesan untuk menarik simpati
pemilih tanpa dilandasi niat tulus, akan sulit mewujudkan kepentingan rakyat. Tak heran
ketika sudah menempati jabatan strategis yang dipikirkan hanya kepentingan diri sendiri dan
kelompoknya. Bahkan, mungkin sudah hilang rasa malu ketika melakukan kesalahan dan
mencederai hati rakyat.

Presiden Segera Bersikap


Jika isu presiden tiga periode terus digulirkan, hanya akan menjadi bola liar yang
tiada henti. Semua seolah dibiarkan begitu saja tanpa ada solusi dan tindakan konkret yang
dilakukan oleh pemerintah. Termasuk terkait dengan amendemen undang-undang terbatas.
Apakah semata-mata hanya ingin mengakomodasi Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) atau
ada agenda lain di balik semua isu yang diwacanakan? Sejatinya, pemerintah dapat terbuka
atas polemik yang terjadi dan menyampaikan kepada publik secara terbuka mengenai isu
yang tidak jelas siapa yang mengembuskan. Oleh karena itu, presiden harus bersikap jelas
dan tegas. Jangan kemudian melempar ke MPR sepenuhnya soal agenda perubahan
amendemen terbatas seakan itu bukan menjadi wewenang presiden.

Tanggapan
Kemampuan komunikasi publik pemimpin harus hadir dan ditunjukkan kepada
masyarakat. Hilangkan stigma rakyat yang beranggapan bahwa rezim hari ini gemar
menghambur-hamburkan uang rakyat, menumpuk kekayaan melalui kekuasaan dengan
mengubah konstitusi. Dalam ilmu komunikasi, ruang adalah konteks yang memengaruhi
proses dan efek komunikasi. Sudah saatnya ruang tersebut digunakan untuk mengatasi dan
menjawab berbagai problematika sehingga tercipta komunikasi yang efektif antara
pemerintah, wakil rakyat dan rakyat.
Solusi
Ciptakan komunikasi yang sehat. Tanpa komunikasi yang sehat, tidak akan terwujud
tata kelola pemerintahan yang baik. Komunikasi konteks menengah menjadi salah satu solusi
yang ditawarkan dalam mewujud komunikasi yang efektif. Selain itu, tentu saja presiden
sama-sama mengingatkan mitra kerja yang lainnya, untuk tidak bermain-main dalam
kekuasaan. Dalam teori Chester Barnard, kekuasaan yang sejati akan selalu berdampingan
dengan kemampuan dan kesediaan berkomununikasi dengan rakyat. Akan tetapi, barang
siapa yang bermain-main dengan kekuasaan, ia akan digilas oleh kekuasaannya sendiri
karena tidak ada kekuasaan yang kekal dan abadi.

Anda mungkin juga menyukai