Anda di halaman 1dari 4

Manusia memiliki berbagai potensi yang hebat dan unik, baik lahir maupun batin, bahkan pada setiap

anggota tubuhnya. Gardner menemukan multiple-intelligence, yaitu: Kecerdasan visual dan Spasial;
Kecerdasan Musik; Kecerdasan Linguistik; Kecerdasan Logik/Matematik; Kecerdasan Kinestetik;
Kecerdasan Interpersonal; Kecerdasan Intrapersonal; dan Naturalis. Bahkan ditambah dengan
kecerdasan emosional dan spiritual. Sebagai potensi, maka ia masih merupakan kemampuan dasar atau
daya yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan melalui aktivitas belajar secara berkelanjutan.
Karena itu, potensi tersebut perlu diaktualkan, dikembangkan dan diberdayakan secara optimal untuk
mencapai kemajuan peradaban manusia. Pentingnya pengembangan dan pembedayaan potensi-potensi
tersebut dijelaskan dalam Q.S. An-Nahl: 78 , yang maksudnya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut
ibu-ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran,
penglihatan-penglihatan dan aneka hati, agar kamu bersyukur”.

Di dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa pada mulanya manusia tidak memiliki pengetahuan atau tidak
mengetahui sesuatu pun yang ada di sekelilingnya. Namun demikian, Allah menjadikan baginya
pendengaran, penglihatan-penglihatan dan aneka hati sebagai bekal dan alat-alat potensial untuk
meraih pengetahuan agar ia bersyukur, yakni dengan menggunakan dan memberdayakan alat-alat
tersebut sesuai dengan tujuan Allah menganugerahkannya kepada manusia.

Alat-alat potensial yang diberikan oleh Allah kepada manusia meliputi as-sam’ (pendengaran), al-abshar
(penglihatan-penglihatan) sebagai bentuk jamak dari kata al-bashar, dan al-af’idah (aneka hati) sebagai
bentuk jamak dari kata al-fu’ad. Penyebutan indera-indera secara berurutan pada ayat di atas
mencerminkan tahap perkembangan fungsi indera-indera tersebut. Didahulukannya kata as-sam’ atas
al-abshar, merupakan perurutan yang sungguh tepat, karena menurut ilmu kedokteran modern
membuktikan bahwa indera pendengaran berfungsi mendahului indera penglihatan.

Alat-alat potensial yang diberikan oleh Allah kepada manusia tersebut ada yang hanya bisa menangkap
obyek-obyek yang bersifat material, seperti pendengaran (as-sam’) dan penglihatan (al-bashar), dan ada
pula yang bisa menangkap obyek-obyek immaterial, yaitu al-af’idah (akal pikiran dan hati atau qalbu).
Dalam pandangan al-Qur’an ada obyek-obyek yang tidak bisa ditangkap oleh indera pendengaran dan
penglihatan, bahkan oleh akal pikiran betapapun tajamnya mata kepala dan pikiran seseorang. Misalnya
masalah hakikat Allah, surga, neraka, malaikat, shalat subuh harus dua raka’at sedangkan shalat dhuhur
empat rakaat, segala tindakan manusia yang tampak dan tersembunyi akan dilihat oleh Allah dan dicatat
oleh malaikat Raqib dan Atid, masalah nasib manusia dan lain-lainnya, adalah contoh-contoh obyek
yang tidak bisa ditangkap dengan akal pikiran. Yang dapat menangkapnya hanyalah hati melalui wahyu,
ilham atau intuisi. Karena itu, al-Qur’an di samping menuntun dan mengarahkan pendengaran dan
penglihatan, juga memerintahkan agar mengasah akal (daya pikir) dan mengasuh daya qalbu.

Demikian uniknya alat-alat potensial dengan berbagai daya dan kemampuannya yang dimiliki oleh
manusia itu dan merupakan nikmat Allah yang patut disyukuri. Karena itu dalam ayat tersebut di atas
diakhiri dengan kalimat la’allakum tasykurun (supaya kamu bersyukur). Menurut Muhammad Abduh,
bahwa yang dinamakan syukur itu tiada lain kecuali menggunakan nikmat anugerah sesuai dengan
fungsinya, dan sesuai dengan kehendak yang menganugerahkannya (yaitu Allah SWT.). Memfungsikan
dan memberdayakan as-sam’, al-abshar dan al-af’idah secara optimal dalam kehidupan sehari-hari
merupakan perwujudan dari syukur kepada-Nya.

Dilihat dari proses kejadiannya, manusia itu terdiri atas dua substansi, yaitu: (1) substansi jasad/materi,
yang bahan dasarnya adalah dari materi yang merupakan bagian dari alam semesta ciptaan Allah SWT.
dan dalam pertumbuhan dan perkembangannya tunduk pada dan mengikuti sunnatullah (aturan,
ketentuan, hukum Allah yang berlaku di alam semesta); (2) substansi immateri/non jasadi, yaitu
penghembusan/peniupan ruh (ciptaanNya) ke dalam diri manusia, sehingga manusia merupakan benda
organik yang mempunyai hakekat kemanusiaan serta mempunyai berbagai alat potensial dan fitrah.
Atau menurut al-Farabi, manusia itu terdiri atas dua unsur, yaitu: (1) satu unsur berasal dari ’alam al-
khalq; dan (2) satu unsur berasal dari ’alam al-amr (ruh dari perintah Tuhan).

Dari kedua substansi tersebut, maka yang paling esensial adalah substansi immateri atau ruhnya. Jasad
hanyalah alat ruh di alam nyata. Suatu ketika alat (jasad) itu terpisah dari ruh. Perpisahan itulah yang
disebut dengan peristiwa maut. Yang mati adalah jasad, sedangkan ruh akan melanjutkan eksistensinya
di alam barzah. Manusia yang terdiri atas dua substansi itu, telah dilengkapi dengan alat-alat potensial
dan potensi-potensi dasar atau disebut fitrah, yang harus diaktualkan dan atau ditumbuhkembangkan
dalam kehidupan nyata di dunia ini melalui proses pendidikan, untuk selanjutnya dipertanggung-jawab-
kan di hadapanNya kelak di akhirat.

Dalam diskursus (perbincangan) para filosof Islam, manusia itu mempunyai bermacam-macam alat
potensial dengan berbagai kemampuannya yang sangat unik. Menurut mereka bahwa dalam diri
manusia itu terdapat tiga macam jiwa sebagai berikut :

Pertama, jiwa tumbuh-tumbuhan (al-nafs al-nabatiyah), yang mempunyai tiga daya, yaitu: daya makan,
daya tumbuh, dan daya membiak. Kedua, jiwa binatang (al-nafs al-hayawaniyah), yang memiliki dua
daya, yaitu : daya penggerak (al-muharrikah), dan daya mencerap (al-mudrikah). Daya penggerak bisa
berbentuk nafsu (al-syahwah) serta amarah (al-ghadlab), dan bisa berbentuk gerak tempat (al-harakah
al-makaniyah). Daya mencerap terbagi dua, yaitu : daya mencerap dari luar melalui pancaindera lahir
(penglihatan. pendengaran, penciuman, perasaan lidah, dan perasaan tubuh); dan daya mencerap dari
dalam melalui pancaindera batin, yang meliputi: (1) indera bersama (al-hiss al-musytarak) bertempat di
bagian depan dari otak dan berfungsi menerima kesan-kesan yang diperoleh dari pancaindera luar dan
meneruskannya ke indera batin berikutnya; (2) indera penggambar (al-khayal), juga bertempat di bagian
depan dari otak, tugasnya ialah melepaskan kesan-kesan yang diteruskan indera bersama dari
materinya; (3) indera pengreka (al-mutakhayyalah), yang bertempat di bagian tengah dari otak,
mengatur gambar-gambar yang telah dilepaskan dari materi itu dengan memisah-misah dan kemudian
memperhubungkannya satu dengan yang lain; (4) indera penganggap (al-wahmiyah), juga bertempat di
bagian tengah dari otak, mempunyai fungsi menangkap arti-arti yang dikandung gambaran-gambaran
itu; (5) indera pengingat (al-hafidhah), yang bertempat di bagian belakang dari otak, menyimpan arti-arti
yang ditangkap indera penganggap.

Ketiga, jiwa manusia (al-nafs al-insaniyah) yang hanya mempunyai daya berfikir yang disebut akal. Akal
ini terbagi dua, yaitu: akal praktis yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indera
pengingat yang ada pada jiwa binatang; dan akal teoretis yang menangkap arti-arti murni, arti-arti yang
tak pernah ada dalam materi, seperti Tuhan, roh dan malaikat. Dengan demikian, akal praktis
memusatkan perhatian kepada alam materi, menangkap kekhususan (particulars), sedangkan akal
teoretis bersifat metafisis, yang mencurahkan perhatian kepada dunia immateri dan menangkap
keumuman (universals). Selanjutnya akal teoretis mempunyai empat derajat, yaitu: (1) akal materiil
(al-’aql al-hayulani) yang merupakan potensi belaka, dalam arti akal yang kesanggupannya untuk
menangkap arti-arti murni, arti-arti yang tak pernah berada dalam materi, belum keluar; (2) akal bakat
(al-’aql bi al-malakah), yakni akal yang kesanggupannya berfikir secara murni abstrak telah mulai keliha-
tan, ia telah dapat menangkap pengertian dan kaidah umum, seperti seluruh lebih besar dari bagian; (3)
akal aktual (al-’aql bi al-fi’l), yakni akal yang telah lebih mudah dan telah lebih banyak dapat menangkap
pengertian dan kaidah umum dimaksud, dan akal aktual ini merupakan gudang bagi arti-arti abstrak itu,
yang dapat dikeluarkan setiap kali dikehendaki; dan (4) akal perolehan (al-’aql al-mustafad), yakni akal
yang di dalamnya arti-arti abstrak tersebut selamanya sedia untuk dikeluarkan dengan mudah sekali.
Akal dalam derajat keempat inilah yang tertinggi dan terkuat dayanya, yang dimiliki filosof, dan yang
dapat memahami alam murni abstrak (yang tak pernah berada dalam materi).

Di samping itu, manusia juga mempunyai potensi-potensi dasar yang disebut dengan ”fitrah”. Dari segi
bahasa (sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Al-Munjid), fitrah berarti: “ciptaan, sifat tertentu yang
mana setiap yang maujud disifati dengannya pada awal masa penciptaannya, sifat pembawaan manusia
(yang ada sejak lahir), agama, as-sunnah”. Al-Asfahani, ketika menjelaskan makna fitrah dari segi bahasa,
ia mengungkapkan kalimat “fathara Allah al-khalq”, yang maksudnya Allah mewujudkan sesuatu dan
menciptakannya bentuk/keadaan kemampuan untuk melakukan perbuatan-perbuatan. Sedangkan
maksud fitrah Allah, sebagaimana dalam Q.S. al-Rum ayat 30, adalah suatu kekuatan/daya untuk
mengenal/mengakui Allah (keimanan kepadaNya) yang menetap/menancap di dalam diri manusia.
Dengan demikian, makna fitrah adalah suatu kekuatan atau kemampuan (potensi terpendam) yang
menetap/menancap pada diri manusia sejak awal kejadiannya, untuk komitmen terhadap nilai-nilai
keimanan kepadMenurut Langgulung, bahwa ketika Allah menghembuskan/meniupkan ruh pada diri
manusia (pada proses kejadian manusia secara non fisik/immateri), maka pada saat itu pula manusia
(dalam bentuknya yang sempurna) mempunyai sebagian sifat-sifat ketuhanan sebagaimana yang
tertuang dalam al-Asma’ al-Husna, hanya saja kalau Allah serba Maha, sedangkan manusia hanya diberi
sebagiannya. Sebagian sifat-sifat ketuhanan yang menancap pada diri manusia dan dibawanya sejak
lahir itulah yang disebut fitrah. Misalnya: al-’Aliim (Maha Mengetahui), manusia juga diberi
kemampuan/potensi untuk mengetahui sesuatu; al-Rahman (Maha Pengasih) dan al-Rahiim (Maha
Penyayang), manusia juga diberi kemampuan untuk mengasihi dan menyayangi orang lain; al-’Afuw al-
Ghafur (Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun), manusia juga diberi kemampuan untuk memaafkan dan
mengampuni kesalahan orang lain; al-Khaliq (Maha Pencipta), manusia juga diberi kemampuan untuk
mengkreasi sesuatu, membudayakan alam; al-Lathif al-Khabir (Maha Lembut lagi Maha Mengetahui
segala sesuatu yang nampak maupun tersembunyi), manusia juga diberi kemampuan/ potensi untuk
merahasiakan sesuatu atau dirinya dan kemampuan mengetahui fenomena sosial atau rahasia alam; al-
Qadir (Maha Kuasa), manusia juga diberi kemampuan untuk berkuasa; al-’Adil (Maha Adil), manusia juga
diberi kemampuan untuk berlaku adil; al-Murid (Maha Berkehendak), manusia juga diberi potensi untuk
berkehendak, mempunyai motivasi untuk berbuat; al-Hadi (Maha Pemberi Petunjuk), manusia juga
diberi kemampuan untuk mendidik atau memberi pengajaran; demikian seterusnya.

Anda mungkin juga menyukai