Anda di halaman 1dari 43

ASUHAN KEPERAWAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM

MUKOLOSKELETAL PADA KASUS LPB DAN OSTEOPOROSIS

KELOMPOK 3

1. ANNISA MUZRIAH
2. DEDE WIDYA NINGSIH
3. KHUSNUL CHATIMAH
4. JINAN ESTIDA HAYATI UMAJAN
5. HIMATUL MAULA
6. HERIAWAN

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN JENJANG S.1

MATARAM

2020

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kekuatan dan keteguhan hati kepada penyusun untuk menyelesaikan makalah ini. Solawat
beserta salam senantiasa tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW yang menjadi tauladan
para umat manusia yang merindukan keindahan syurga.

Kami menulis makalah ini bertujuan untuk memenuhi dan melengkapi tugas yang
diberikan oleh dosen mata kuliah Keperawan medical bedah III.

Dalam penyelesaian makalah ini, penyusun banyak mengalami kesulitan, terutama


disebabkan kurangnya ilmu pengetahuan. Namun, berkat kerjasama dan kesungguhan
dalam menyelesaikan makalah ini, akhirnya dapat diselesaikan dengan baik. Kami
menyadari, sebagai seorang pelajar yang pengetahuannya tidak seberapa yang masih perlu
belajar dalam penyusunan makalah, bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran demi terciptanya karya ilmiah
yang lebih baik lagi, serta berdayaguna di masa yang akan datang.

.Penulis menyadari pula, bahwa selesainya makalah ini tidak lepas dari dukungan
serta bantuan, baik berupa moral maupun material dari semua pihak terkait. Oleh kerena
itu, dengan segala kerendahan hati kami mengucapkan terimakasih banyak kepada
Dosen dan rekan mahasiswa yang memberikan masukan dan petunjuk serta saran-saran
yang baik.

Mataram, 19 september 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1


1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Masalah 3
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................4
2.1 Konsep Dasar LBP 5
A. Definisi 5
B. Etiologi 5
C. Klasifikasi 5
D. Manifestasi Klinis 6
E. Patofisiologi 9
F. WOC 10
G. Pemeriksaan Penunjang 10
H. Penatalaksanaan 11
2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan 11
A. Pengkajian 11

B. Diagnosa Keperawatan 14

C. Intervensi Keperawatan 15

D. Implementasi…………………………………………………………………21

E. Evaluasi………………………………………………………………………21

2.3 Konsep Dasar osteoporosis 21


A. Definisi 22
B. Etiologi 25
C. Klasifikasi 26
D. Manifestasi Klinis 27

iii
E. Patofisiologi 27
F. WOC 28
G. Pemeriksaan Penunjang 28
2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan 31
A. Pengkajian 31
B. Diagnosa Keperawatan 33
C. Intervensi Keperawatan 34
D. Implementasi…………………………………………………………………36
E. Evaluasi………………………………………………………………………37

BAB III PENUTUP 38

3.1 Kesimpulan 38
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Low back pain (LBP) atau nyeri punggung bawah termasuk salah satu dari
gangguan muskuloskeletal, gangguan psikologis dan akibat dari mobilisasi yang
salah yang disebabkan oleh aktivitas tubuh yang kurang baik. Masalah nyeri
pinggang yang timbul akibat duduk lama menjadi fenomena yang sering terjadi
pada mahasiswa (Idyan, 2007).
LBP menyebabkan timbulnya rasa pegal, linu, ngilu, atau tidak enak pada
daerah lumbal berikut sakrum. LBP diklasifikasikan kedalam 2 kelompok, yaitu
kronik dan akut. LBP akut akan terjadi dalam waktu kurang dari 12 minggu.
Sedangkan LBP kronik terjadi dalam waktu 3 bulan. Yang termasuk dalam faktor
resiko LBP adalah umur, jenis kelamin, faktor indeks massa tubuh yang meliputi
berat badan, tinggi badan, pekerjaan, dan aktivitas / olahraga. Low back pain
myogenic dapat terjadi dengan tanda dan gejala sebagai berikut :
a. adanya nyeri dimulai dari nyeri pada daerah punggung dan menetap. Nyeri
yang dirasakan akan bertambah ketika melakukan aktivitas dan merasakan
nyaman ketika beristirahat.
b. spasme otot biasanya mengenai m.erector spine dan quadratus lumborum dan
rasa kaku pada daerah punggung. ``
c. keterbatasan gerak pada low back pain pergerakanya pada tulang vertebra
menjadi terbatas ketika melakukan gerakan fleksi, ekstensi, lateral fleksi dan
rotasi. Hal ini terjadi karena kencangnya jaringan lunak dan rasa nyeri.
d. kelemahan otot-otot punggung menjadi menurun tergantung pada daerah yang
nyeri. Dan dikarenakan adanya nyeri membatasi terjadinya gerakan yang akan
dilakukan pasien, sehingga terjadi kecenderungan kelemahan otot.
e. gangguan fungsional terganggunya seseorang dalam melakukan aktivitas
sehari-hari.

1
Nyeri punggung bawah adalah salah satu alasan paling umum yang
membuat orang tidak dapat bekerja atau melakukan kegiatannya dengan baik.
Berdasarkan penelitian, Sekitar 80% dari populasi, seseorang dalam xkehidupannya
akan mengalami nyeri punggung bawah. Menurut Jones B yang dikutip oleh
Yulianto A (2008), sebanyak 80% populasi orang dewasa dalam rentang hidupnya
akan mengalami cedera punggung bawah. Keterbatasan yang di akibatkan oleh
nyeri punggung bawah pada seseorang sangat berat. Kehilangan produktivitas
akibat nyeri punggung bawah dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup
besar. Nyeri punggung bawah merupakan penyebab kedua kunjungan ke dokter
setelah penyakit saluran nafas atas. Sekitar 12% orang yang mengalami nyeri
punggung bawah menderita Hernia Nukleus Pulposus (HNP). Penelitian di Spanyol
oleh Fernandez et al (2009) pada orang dewasa diperoleh pravelensi LBP adalah
19,9%. LBP lebih banyak terjadi pada perempuan (67,5%) dari pada laki-laki
(33,5%). Penderita LBP dari kelompok 31-50 tahun 1,5 kali lebih banyak
dibandingkan dengan kelompok umur 16-30 tahun. Hasil penelitian di seluruh
Indonesia ditemukan sekitar 18% yanG berkunjung di Poliklinik Neurologi adalah
pasien LBP dan merupakan urutan kedua tertinggi setelah sefalgia (Meliala et
al,2003). Hasil penelitian secara nasional yang dilakukan di 14 kota di Indonesia
oleh kelompok Nyeri Persatuan Dokter Saraf Seluruh Indonesia (PERDOSSI)
ditemukan 18,13% pasien LBP dengan rata- rata nilai VAS (Visual Analog2 Scale)
sebesar 5,46 ± 2,56 yang berarti nyeri sedang sampai berat (Purba &Susilawaty,
2008).
Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang, dan
porous berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang yang
keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya rendah
atau berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan penurunan kualitas
jaringan tulang yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang (Tandra, 2009).
Osteoporosis adalah kelainan di mana terjadi penurunan massa tulang total.
Terdapat perubahan pergantian tulang homeostasis normal, kecepatan resorpsi
tulang lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang, pengakibatkan penurunan

2
masa tulang total. Tulang secara progresif menjadi porus, rapuh dan mudah patah;
tulang menjadi mudah fraktur dengan stres yang tidak akan menimbulkan pengaruh
pada tulang normal.

1.2 Rumusan malah


1. Apa devinisi dari low back pain (LBP) dan osteoporosis ?
2. Bagaimana etiologi dari LBP dan osteoporosis?
3. Bagaimana patofisiologi dan path way dari LBP dan osteoporosis?
4. Bagaimanakah pemeriksaan penunjang dari LBP dan osteoporosis ?
5. Seperti apa penatalaksanaan medic dari LBP dan osteoporosis?
6. Bagaimanakah konsep Asuhan keperawatan dari LBP dan osteoporosis ?

1.3 Tujuan
1. Untuk memahami apa itu low back pain (LBP) dan osteoporosis
2. Agar mengetahui etiologi dari LBP dan osteoporosis
3. Untuk memahami Bagaimana patofisiologi dan path way dari LBP dan
osteoporosis
4. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari LBP dan osteoporosis
5. Untuk memahami Seperti apa penatalaksanaan medik dari LBP dan osteoporosis
6. Untuk memahami konsep Asuhan keperawatan dari LBP dan osteoporosis

7.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Low Back Pain (LBP)


A. Devinisi Low Back Pain (LBP)
Low Back Pain (LBP) atau nyeri punggung bawah merupakan salah satu
gangguan musculoscletal yang disebabkan oleh aktivitas tubuh yang kurang baik.
Masalah nyeri pinggang yang timbul akibat duduk lama menjadi fenomena yang
sering terjadi pada mahasiswa (Lukman, Nurna Ningsih 2011 ;128).
LPB (Low Back Pain) adalah suatu sindroma nyeri yang terjadi pada regio
punggung bagian bawah yang merupakan akibat dari berbagai sebab. Gangguan ini
paling banyak ditemukan di tempat kerja, terutama pada mereka yang beraktivitas
dengan posisi tubuh yang salah (Anonim, 2003).
LBP adalah nyeri yang dirasakan daerah punggung bawah, dapat merupakan
nyeri lokal maupun nyeri radikuler atau keduanya. Nyeri ini terasa diantara sudut
iga terbawah sampai lipat bokong bawah yaitu di daerah lumbal atau lumbo-sakral
dan sering disertai dengan 10 penjalaran nyeri ke arah tungkai dan kaki. LBP yang
lebih dari 6 bulan disebut kronik (Sadeli et al., 2001).
LBP atau nyeri punggung bawah merupakan salah satu gangguan
muskuloskeletal yang disebabkan oleh aktivitas tubuh yang kurang baik. LBP
adalah salah satu keluhan yang dirasakan oleh sebagian besar pekerja, biasanya
mulai dirasakan pada usia 25 tahun, dan meningkat pada usia 50 tahun (Yunus,
2008).
Menurut Fransisca B. Batticaca (2008:168) Herniasi Diskus Invertebralis
atau disebut juga dengan Herniasi Nukleus Pulposus (HNP) adalah suatu keadaan
yang diakibatkan oleh penonjolan nukleus pulposus dari diskus ke dalam anulus
(cincin fibrosa disekitar diskus), yang disertai dengan kompresi dari akar-akar saraf.
Herniasi dapat terjadi di lumbal, lumbosakral, regio skapula, regio servikal dan
berbagai kolumna vertebralis.

4
Menurut Arif Muttaqin (2008:192) Herniasi Nukleus Pulposus (HNP)
adalah keadaan ketika nukleus pulposus keluar menonjol kemudian menekan ke
arah kanalis spinalis melalui anulus fibrosis yang robek. HNP merupakan suatu
nyeri yang disebabkan oleh proses patologik di kolumna vertebralis pada diskus
invertebralis/diskogenik.
B. Etiologi
Menurut Lukman dan Nurna Ningsih (2011; 128). Penyebab LBP dapat
dibagi menjadi:
1. Regangan lumbosakral akut
2. Ketidak stabilan ligamen lumbosakral dan kelemahan otot
3. Osteoartritis tulang belakang
4. Stenosis tulang belakang
5. Masalah diskus invertebralis
6. Perbedaan panjang tungkai
7. Pada lansia ; akibat fraktur tulang belakang, osteoporosis atau metastasis tulang.
8. Penyebab lain, seperti gangguan ginjal, masalah pelvis, tumor retroperitoneal,
aneurisma abdominal dan masalah psikosomatik.
C. Manifestasi Klinis
Pasien biasanya mengeluh nyeri punggung akut maupun nyeri punggung
kronis dan kelemahan. Selama wawancara awal, dikaji lokasi nyeri, sifatnya, dan
pelajaran sepanjang serabut saraf (sciatika). Nyeri yang berasal dari masalah
muskuloskeletal biasanya akan semakin jelas pada gerakan. Juga dievaluasi cara
jalan pasien, mobiltas tulang belakang, refleks, panjang tungkai, kekuatan motoris,
dan persepsi sensoris, bersama dengan derajat ketidak nyamanan yang dialami.
Peninggian tungkai dalam keadaan lurus yang mengakibatkan nyeri menunjukan
iritasi serabut saraf.
Pemeriksaan fisik dapat menemukan adanya spasme otot paravertebralis
(peningkatan tonus otot tulang postural belakang yang berlebiahan) disertai
hilangnya lengkungan lordotik lumbal yang normal yang mungkin ada deformitas
tulang belakang. Bila pasien diperiksa dalam keadaan telungkup, otot paraspinal

5
akan relaksai dan deformitas yang diakibatkan oleh spasmus akan menghilang.
Kadang – kadang, dasar organik nyeri punggung tak dapat ditemukan. Kecemasan
dan stres dapat membangkitkan spasme otot dan nyeri. Nyeri punggung bawah bisa
merupakan manifestasi depresi atau konflik mental atau reaksi terhadap stresor
lingkungan dan kehidupan. Bila kita memeriksa penderita dengan nyeri punggung
bawah, perawat perlu meninjau kembali hubungan keluarga, variabel lingkungan
dan situasi kerja. (Lukman dan Nurna Ningsih : 2011)
D. Patofisiologi
Pada tahap pertama sobeknya annulus fibrosus itu bersifat sirkumferensial.
Karena adanya gaya traumatic yang berulang, sobekan itu menjadi lebih besar dan
timbul sobekan radial. Apabila hal ini telah terjadi, resiko LBP hanya menunggu
waktu dan trauma berikutnya saja. Gaya presipitasi itu dapat diasumsikan seperti
gaya traumatic ketika hendak menegakan badan waktu terpleset, mengangkat benda
berat, dan sebagainya.
Menjebolnya (herniasi) nucleus puposus dapat mencapai ke korpus tulang
belakang diatas atau dibawahnya. Bisa juga menjebol langsung ke kanalis
vertebralis. Menjebolnya sebagian nucleus pulposus ke dalam korpus vertebra dapat
dilihat pada foto rontgen polos dan dikenal sebagai nodusschmorl.
Sobekan sirkum ferensial dan radial pada annulus fibrosus diskus
intervertebralis berikut dengan terbentuknya nodus schmorl merupakan kelainan
yang mendasari low back pain subkronis atau kronis yang kemudian disusul oleh
nyeri sepanjang tungkai yang dikenal sebagai iskhialgia atau siatika. Menjebolnya
nucleus pulposus ke kanalis vertebralis berarti bahwa nucleus pulposus menekan
radiks yang bersama-sama arteria radipularis yang berada dalam lapisan dura. Hal
itu terjadi jika penjebolan berada di sisi lateral tidak aka nada radiks yang terkena
jika tempat herniasinya berada di tengah.
Pada tingkat L2 dan terus ke bawah tidak terdapat medulla spinalis lagi, maka
herniasi yang berada di garis tengah tidak akan menimbulkan kompresi pada
kolumna anterior. Setelah terjadi HNP, sisa diskusintervertebralis mengalami lisis,
sehingga dua corpora vertebra bertumpang tindih tanpaganjalan.

6
Manifestasi klinis utama yang muncul adalah rasa nyeri di punggung bawah
disertai otot-otot sekitar lesi dan nyeri tekan. HNP terbagi atas HNP sentral dan
HNP lateral. HNP sentral akan menunjukan paraparesis flasid, parestesia, danretansi
urine. Sedangkan HNP lateral bermanifestasi pada rasa nyeri dan nyeri tekan yang
terletak pada punggung bawah, ditengah-tengah area bokong dan betis, belakang
tumit, dan telapak kaki. Kekuatan ekstensi jari kelima kaki berkurang dan reflex
achiler negatife. Pada HNPlateral L4-L5rasa nyeri dan nyeri tekan didapatkan di
punggung bawah, bagian lateralpantat, tungkai bawah bagian lateral dan di dorsum
perdis. Kekuatan ekstensi ibu jarikaki berkurang dan reflek patella negatif.
Sensibilitas dermatom yang sesuai dengan radiks yang terkena menurun.
Pada percobaan tes laseque atau tes mengangkat tungkai yang lurus (straight
legraising), yaitu mengangkat tungkai secara lurus dengan fleksi pada sendi
panggul, akan dirasakan nyeri disepanjang bagian belakang (tanda laseque positif).
Gejala yang sering muncul adalah :
a. Nyeri pinggang bawah yang intermiten (dalam beberapa minggu sampai
beberapa tahun) nyeri sesuai dengan distribusi saraf skiatik.
b. Sifat nyeri khas dari posisi terbaring ke duduk, nyeri mulai dari pantat dan terus
menjalar ke bagian belakang lutut kemudian ke tungkai bawah.
c. Nyeri bertambah hebat karena pencetus seperti gerakangerakan pinggang saat
batuk atau mengejan, berdiri, atau duduk untuk jangka waktu yang lama dan
myeri berkurang klien klien beristirahat berbaring.
d. Penderita sering mengeluh kesemutan (parostesia) atau bahkan kekuatan otot
menurun sesuai dengan distribusi persyarafan yang terlibat.
e. Nyeri bertambah bila daerah L5 - L1 (garis antara dua Krista iliaka) ditekan.

Diskus intervertebralis akan mengalami perubahan sifat ketika usia bertambah tua.
Pada orang muda diskus terutama tersusun atas fibrokartilago dengan matriks
gelatinus. Pada lansia akan menjadi fibrokartilago yang padat dan tak teratur.
Degenerasi diskus merupakan 30 penyebab nyeri punggung yang biasa diskus
lumbal bawah, L4-L5 dan L5-S1, menderita stress mekanis paling berat dan

7
perubahan degenerasi terberat. Penonjolan diskus (herniasi nucleus pulposus) atau
kerusakan sendi faset dapat mengakibatkan penekanan pada akar saraf ketika keluar
dari kanalis spinalis yang mengakibatkan nyeri yang menyebar sepanjang saraf
tersebut. Sekitar 12% orang dengan nyeri punggung bawah menderita hernia
nucleus pulposus (Brunner & Suddarth, 2002)

8
E. Pathway Stress fisik Degenerasi

Trauma
Ligament longitudinal Kadar protein
Respon beb
postolateral dan air
Kompresi dan
fraksinukleus
Pemisahan lempeng Peningkatan
Nucleus lumer tulang rawan intradistal

Serabut annulus Rupture pada annulus


robek

Nucleus

HNP

Lumbal
Servikal
Gangguan saraf Gangguan
motorik saraf sensorik Gangguan saraf
Blok saraf
motorik
ssimpatis
Tetraple Mati rasa, hilang
Kelumpuhan otot sensitivitas Kelumpuhan
pernafasan
Gangguan
Cemas Gangguan
Kesulitan mobilitas fisik Menekan mobilitas
bernapas spinal
Kurang cord
Kelemahan fisik
Pola napas pengetahuan
tidakefektif Syok spinal
Deficit perawatan
Skiatika, nyeri punggung
diri
bawah sampai kaki
Intake nutrisi

Nyeri
Ketidakseimbangan nutrsi kurang dari kebutuhan

9
F. Pemeriksaan Penunjang

1. Sinar-X vertebra; mungkin memperlihatkan adanya fraktur, dislokasi, infeksi,


osteoartritis atau skoliosis 
2. Compoted tomography (CT) Scan; berguna untuk mengetahui penyakit yang
mendasari
3. Ultrasonografi (USG); dapat membantu mendiagnosis penyempitan kanalis
spialis
4. Magneting resonance imaging (MRI); memungkinkan visualisasi sifat dan
lokasi patologi tulang belakang
5. Mielogram dan diskogram; dimana sejumlah kecil bahan kontras disuntikkan ke
diskus interertebralis untuk dapat melihat visualisasi sinar. Dapat dilakukan
untuk diskus yang mengalami degenerasi da protrusi diskus.
6. Venogram epidural; digunakan untuk mengkaji penyakit diskus lumbalis
dengan memperliatkan adanya pergeseran vena epidural.
7. Elektrominogram (EMG) dan pemeriksaan hantaran saraf digunakan untuk
mengevaluasi penyakit serabut saraf tulang belakang (radikulopati). (Lukman &
Ningsih, 2010, Hal. 134)

G. Penatalaksanaan medis
Sebagian besar nyeri punggung dapat hilang sendiri dan akan sembuh dalam
enam minggu dengan tirah baring, penguranga stress dan relaksasi. Klien harus
tetap di tempat tidur dengan matras yang padat/kayu penyangga dan tidak membalik
selama dua sampa tiga hari. Menghindari aktivitas yang dapat menyebabkan stres,
klien diposisikan sedemikian rupa sehinga fleksi lumbal lebih, yang dapat
mengurangi tekanan pada serabut saraf lumbal. Bagian kepala tempat tidur
ditinggikan 30 derajat dan klien sedikit menekuk lututnya atau berbaring miring
dengan lutut dan panggul di tekuk (posisi melingkar) dengan meletakkan bantal

10
diantara lutut dan tungka serta menggunakan sebuah bantal dibawah kepala. Hindari
posisi tengkurap karena dapa memperberat lordisis.
Kadang klien perlu diberikan penanganan konservatif aktf dan fisioterapi.
Traksi pelvis intermiten dengan beban traksi 7-13kg memungkinkan penambahan
fleksi lumbal dan relaksasi otot. Fisioterapi ditujukan untuk mengurangi nyeri dan
spasame otot.
Perlu diberikan obat-obatan untuk menangani nyeri. Analgetik narkotik
untuk meutus lingaran nyeri, relaksan otot, dan obat penenang untuk merilekskan
klien danmengurang spasme otot pasien. (Lukman & Ningsih, 2010, hal. 130)
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Pengkajian
a) Identistas Klien. Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, bangsa,
alamat.
b) Keluhan Utama. Biasanya pasien mengatakan nyeri punggung akut
maupun kronis lebih dari 2 bulan, nyeri sat berjalan dengan menggunakan
tumit, nyeri menyebar kebagian bawah belakang kaki.
c) Riwayat Penyakit Sekarang. Tanyakan pada klien sejak kapan keluhan
dirasakan, kapan timbulnya keluhan & apakah menetap atau hilang
timbul', hal apa yang mengakibatkan terjadinya keluhan, apa saja yang
dilakukan untuk mengurangi keluhan yang dirasakan, tanyakan pada klien
apakah klien sering mengkomsumsi obat tertentu atau tidak.
d) Riwayat penyakit dahulu. Tanyakan pada klien apakah klien dulu pernah
menderita penyakit yang sama sebelumnya, apakah klien pernah
mengalami kecelakaan atau trauma, apakah klien pernah menderita
penyakit gangguan tulang atau otot sebelumnya
e) Riwayat Pekerjaan. Faktor resiko ditempat kerja yang banyak
menyebabkan gangguan otot rangka terutama adalah kerja fisik berat,
penanganan dan cara pengangkatan barang, posisi atau sikap tubuh
selama bekerja, dan kerja statis.

11
2. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum. Meliputi : baik, jelek, sedang.
b) Tanda – tanda Vital. TD : Tekanan darah. N : Nadi. P : Pernapasan. S :
Suhu.
c) Antropometri. BB : Berat badan. TB : Tinggi badan. d) Sistem pengidraan.
Mata : lapang pandang. Hidung : kemampuan penciuman. Telinga :
keadaan telinga dan kemampuan pendengaran.
d) Sistem pernapasan. pernapasan, bersihan jalan nafas, kualitas, suara,dan
bunyi tambahan ronchi, wheezing.
e) Sistem kardiovaskuer. Nilai tekanan darah, nadi, irama, kualitas, dan
frekuensi, bunyi jantung.
f) Sistem gastrointestinal. Nilai kemampuan menelan, nafsu makan dan
minum, peristaltik usus dan eliminasi.
g) Sistem integumen. Nilai warna, turgor, tekstur dari kulit, dan warna
permukaan kuku.
h) Sistem muskuloskletal. Bentuk kepala, ekstermitas atas dan skstermitas
bawah,
i) Sistem endokrin. Keadaan kelenjer tyroid, suhu tubuh, frekuensi urine.
j) Sistem reproduksi. Nilai keadaan genetalia, dan perubahan fisik sistem
reproduksi.
k) Sistem neurologis.
1) Fungsi cerebral.
2) Status mental : orientasi, daya ingat, dan bahasa.
3) Tingkat kesadaran (eye, motorik, verbal) : dengan menggunakan Gaslow
Coma Scale (GCS).
4) Kemampuan bicara.
5) Fungsi kranial.
(a) Nervus I (Olfaktorius) : Suruh klien menutup mata dan menutuo
salah satu lubang hidung, mengidentifikasi dengan benar bau yang
berbeda (misalnya jeruk nipis dan kapas alkohol).

12
(b) Nervus II (Optikus) : Persepsi terhadap cahaya dan warna, periksa
diskus optikus, penglihatan perifer.
(c) Nervus III (Okulomotorius) : Kelopak mata terhadap posisi jika
terbuka, suruh klien mengikuti cahaya
(d) Nervus IV (Troklearis) : Suruh klien menggerakan mata kearah
bawah dan kearah dalam.
(e) Nervus V (Trigeminus) : Lakukan palpasi pada pelipis dan rahang
ketika klien merapatkan giginya dengan kuat, kaji terhadap
kesimetrisan dan kekuatan, tentukan apakan klien dapat merasakan
sentuhan diatas pipi (bayi muda menoleh bila area dekat pipi
disentuh) dekati dari samping, sentuh bagiang mata yang berwarna
dengan lembut dengan sepotong kapas untuk menguji refleks
berkedip dan refleks kornea.
(f) Nervus VI (Abdusen) : Kaji kemampuan klien untuk menggerakan
mata secara lateral.
(g) Nervus VII (Fasialis) : Uji kemampuan klien untuk mengidentifikasi
larutan manis (gula), asam (lemon). Kaji fungsi motorik dengan cara
tersenyumdan menglihatkan giginya.
(h) Nervus VIII (Vestibulocochlearis) : Uji pendengaran.
(i) Nervus IX (Glosofaringeus) : Uji kemampuan klien untuk
mengidentifikasi rasa pada lidah.
(j) Nervus X (Vagus) : Kaji klien refleks menelan, sentuhkan tong spatel
pada lidah ke posterior faring untuk menentukan refleks muntah,
jangan menstimulasi jika ada kecurigaan epiglotitis.
(k) Nervus XI (Asesorius) : Suruh klien memutar kepala kesamping
dengan melawan tahanan, minta klien untuk mengangkat bahunya
kemudian kita tahan apakah klien mampu untuk melawannya.
(l) Nervus XII (Hipoglasus) : Minta klien untuk mengeluarkan
lidahnya,periksa deviasi garis tengah, dengarkan kemampuan anak
untuk mengucapkan ‘R’.

13
l) Fungsi motorik : Massa otot, tonus otot, dan kekuatan oto.
m) Fungsi sensorik : Respon terhadap suhu, nyeri, dan getaran.
n) Fungsi cerebrum : Kemampuan koordinasi dan keseimbangan.

3. Pemeriksaan Penunjang.
a. Neurologik. Eletromiografi (EMG), dilakukan bila dicurigai adanya
disfugsi radiks. Somatosensory Evoked Potensial (SEP) berguna untuk
stenonosis kanal dan mielopati spinal.
b. Radiologik. Foto polos, untuk mengesampingkan adanya kelainan
tulang. Mielografi, Mielo-CT, CT-scan, Magnetic Resonance Imaging
(MRI), untuk mencari penyebab nyeri antara lain tumor, HNP
perlengketan.
c. Laboratorium. Laju Endap Darah, darah perifer lengkap, C-reactive
protein, faaktor rheumatoid, alkalin fosfatase, kalsium (atas indikasi).
Urinalisis, untuk penyakit non spesifik seperti infeksi. Liquor Serebro
spinalis (atas indikasi).
B. Kemungkinan Diagnosa Yang Muncul
1. Nyeri behungan dengan agen injuri
2. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan faktor biologis, fisiologis.
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri kekaun otot.
4. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan nyeri.
5. Kurang pengetahuan berhungan dengan tidak mengetahui sumber informasi.
6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan nyeri

14
C. Rencana Asuhan Keperawatan Medis

N Diagnosa keperawatan NOC NIC


O
1. Nyeri berhungan dengan Setelah dilakukan tindakan a. Lakukan pengkajian nyeri
agen cedera fisik keperawatan 3 x 24 jam pasien secara komprehensif
tidak mengalami nyeri. Kriteria b. Observasi reaksi non verbal
hasil : dari ketidaknyamanan.
a. Mampu mengontrol nyeri. c. Bantu pasien dan keluarga
b. Melaporkan bahwa nyeri untuk mencari dan
berkurang dengan menemukan dukungan.
menggunakan manajemen d. Kontrol lingkungan yang dapat
nyeri. mempengaruhi nyeri seperti
c. Mampe mengenali nyeri. suhu ruangan, penchayaan, dan
d. Menyatakan rasa aman setelah kebisingan.
nyeri berkurang. e. Kajikultur budaya yang
e. Tanda vital dalam rentang mempengaruhi respon nyeri.
normal. f. Kurangi faktor presipitasi
f. Tidak mengalami gangguan nyeri.
tidur. g. Gunakan teknik komunikasi
teraupetik untuk mengetahui
pengalaman nyeri.
h. Kaji tipe dan sumber nyeri
untuk menetukan intervensi.
i. Ajarkan teknik non
farmokologi : nafas dalam,
relaksasi, distraksi, kompres
hangat / dingin.
j. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri.
k. Berikan informasi tentang

15
nyeri seperti penyebab nyeri,
berapa lama nyeri akan
berkurang, dan antisipasi
ketidaknyamanan dari
prosedur.
l. Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik.
2. Ketidak seimbangan Setelah dilakukan tindakan a. Kaji adanya alergi makanan
nutrisi kurang dari keperawatan 3 x 24 jam ketidak b. Kaji intake dan output klien
kebutuhan tubuh seimbangan nutrisi ter atasi. c. Tingkatkan intake makan
berhubungan dengan Kriteria Hasil : melalui : Sajikan makanan
faktor biologis a. Albumim serum. dalam kondisi hangat, Selingi
b. Pre albumim serum. makan dengan minum, Berikan
c. Hematokrit. makan tapi sering.
d. Hemoglobin. d. Kolaborasi dengan ahli gizi
e. Total iron binding capacity. untuk menentukan jumlah
f. Jumlah limfosit. kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan pasien.
e. Yakinkan diet yang dimakan
mengandung tinggi serat untuk
mengandung konstipasi.
f. Kaji tanda – tanda vital klien.
g. Berikan makanan sering tapi
sedikit pada klien.
h. Monitor adanya penurunan BB
dan gula darah.
i. Monitor lingkungan selama
makan.
j. Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak selama jam

16
makan.
k. Berikan semangat dan pujian
positif untuk mendorong
kepatuhan.
l. Monitor turgor kulit.
m. Monitor mual dan
muntah.
n. Informasikan pada klien dan
keluraga tentang manfaat
nutrisi.
o. Anjurkan banyak minum.
3. Gangguan mobilitas fisik Setelah dilakukan tindakan a. Monitoring vital sign sebelum
berhubungan dengan nyeri keperawatan 3 x 24 jam dan sesudah latihan dan lihat
gangguan mobilitas fisik teratasi. respon pasien saat latihan.
Kriteria hasil : b. Koreksi tingkat kemampuan
a. Klien meningkat dalam mobilisasi.
aktifitas fisik. c. Konsultasikan dengan terapi
b. Mengerti tujuan dari fisik tentang rencana
peningkatan mobilitas. ambulansi sesuai.
c. Memverbalisasikan perasaan d. Bantu klien dalam perubahan
dalam meningkatakan gerak.
kekuatan dan kemampuan e. Observasi / kaji terus
berpindah. kemampuan gerak motorik,
d. Memperagakan penggunaan dan keseimbangan.
alat bantu. f. Ajarkan pasien tenaga
kesehatan lain tentang teknik
ambulansi.
g. Anjurkan keluarga klien untuk
melatih dan memberi motivasi.
h. Kaji kemampuan pasien dalam

17
mobilisasi.
i. Kolaborasi dengan tim
kesehatan lain (fisioterapi
untuk pemasangan konset).
j. Latih pasien dalam pemenuhan
kebutuhan ADLS secara
mandiri.
k. Berikan alat bantu jika
diperlukan.
4. Pola nafas tidak efektif 3 x 24 jam pasien menunjukan a. Posisikan pasien untuk
berhubungan Setelah keefektifan jalan nafas. memaksimalkan ventilasi.
dilakukan tindakan Kriteria Hasil : b. Lakukan fisioterapi dada jika
keperawatan dengan nyeri a. Mendemonstrasikan batuk perlu.
efektif dan suara nafas yang c. Keluarkan sekret atau batuk
bersih, tidak ada sianosis dan menggunakan suction.
dyspneu. d. Auskultasi suara nafas, dan
b. Menunjukan jalan nafas yang catat suara tambahan.
paten. e. Atur intake untuk cairan
c. Tanda – tanda vital dalam mengoptimalkan
rentang normal. keseimbangan.
f. Monotor respirasi dan status
O2.
g. Bersihkan mulut, hidung dan
trakea.
h. Pertahankan jalan nafas yang
paten.
i. Observasi adanya tanda –
tanda hipoventilasi.
j. Monitor vital sign.
k. Ajarkan bagaimana batuk

18
efektif.
l. Monitor pola nafas.
5. Kurang pengetahuan Setelah dilakukan tindakan a. Kaji tingkat pengetahuan
berhungan dengan tidak keperawatan 3 x 24 jam pasien pasien dan keluarga.
mengetahui sumber menunjukan pengetahuan tentang b. Jelaskan patofisiologi dari
informasi proses penyakit. penyakit dan bagaimana hal ini
Kriteria Hasil : berhubungan dengan anatomi
a. Pasien dan keluarga fisisologi, dengan cara yang
menyatakanpemahaman tepat.
tentang penyakit, kondisi, c. Gambarkan tanda dan gejala
prognosis dan program yang biasa muncul pada
pengobatan penyakit, dengan cara yang
b. Pasien dan keluaraga mampu tepat.
menjelaskan kembali apa yang d. Gambarkan poses penyakit
di jelaskan perawat / tim dengan cara yang tepat.
kesehatan. e. Identifikasi kemungkinan
penyebab, dengan cara yang
tepat. Sediakan informasi pada
pasien tentang kondisi, dengan
cara yang tepat.
f. Sediakan bagi keluarga
informasi tentang kemajuan
pasien dengan cara yang tepat.
g. Diskusikan pilihan terapi atau
penanganan.
h. Dukung pasien untuk
mengeksplorasi atau
mendapatkan second opinion
dengan cara yang tepat atau
diindikasikan.

19
i. Eksplorasi kemungkinan
sumber atau dukungan, dengan
cara yang tepat.
6. Defisit perawatan diri Setelah dilakukan tindakan a. Monitor kemampuan klien
berhubungan dengan keperawatan 3 x 24 jam defisit untuk perawatan diri yang
nyeri. perawatan diri teratasi. mandiri.
Kriteria Hasil : b. Monitor kebutuhan klien untuk
a. Klien terbebas dari bau badan. alat – alat bantu untuk
b. Menyatakan keamanan kebersihan diri, berpakain,
terhadap kemampuan untuk berhias, toileting dan makan.
melakukan ADLS. c. Sediakan bantuan sampai klien
c. Dapat melakukan ADLS mampu secara utuh untuk
dengan bantuan. melakukan self-care. Dorong
d. untuk melakukan aktivitas
sehari – hari yang normal
sesuai kemampuan yang
dimiliki. Do
e. rong untuk melakukan secara
mandiri, tapi beri bantuan
ketika klien tidak mampu
untuk melakukannya.
f. Berikan aktivitas rutin sehari –
hari sesuai kemampuan.
g. Pertimbangkan usia klien jika
mendorong pelaksanaan
aktivitas sehari – hari.
h. Ajarkan klien / keluarga untuk
mendorong kemandirian,
untuk memberikan bantuan
hanya jika pasien tidak mampu

20
untuk melakukannya.

D. Implementasi.
Implementasi adalah suatu serangkaian tindakan yang dilakukan oleh perawat
untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kedalam
suatu kamus kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
diharapkan (Potter & Perry, 2012).
E. Evaluasi.
Evaluasi adalah mengkaji respon pasien terhadap keberhasilan rencana
keperawatan dalam rangka memenuhi kebutuhan pasien. Tahap ini merupakan
kunci keberhasilan dalam proses keperawatan.
2.3 Konsep Osteoporosis
A. Definisi
Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang, dan
porous berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang
yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa
tulangnya rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan
penurunan kualitas jaringan tulang yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang
(Tandra, 2009).
Osteoporosis adalah kelainan di mana terjadi penurunan massa tulang total.
Terdapat perubahan pergantian tulang homeostasis normal, kecepatan resorpsi
tulang lebih besar dari kecepatan pembentukan tulang, pengakibatkan
penurunan masa tulang total. Tulang secara progresif menjadi porus, rapuh dan
mudah patah; tulang menjadi mudah fraktur dengan stres yang tidak akan
menimbulkan pengaruh pada tulang normal.
Osteoporosis adalah berkurangnya kepadatan tulang yang progresif,
sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Tulang terdiri dari mineral-
mineral seperti kalsium dan fosfat, sehingga tulang menjadi keras dan padat.
Penurunan Massa tulang ini sebagai akibat dari berkurangnya pembentukan,
meningkatnya perusakan (destruksi) atau kombinasi dari keduanya.

21
Osteoporosis akan membuat tulang berlubang-lubang sepperti spons.
Kelainan tulang ini akan meningkatkan risiko patah tulang. Orang lanjut usia
merupakan sasaran paling renta untuk terkena osteoporosis. Ketika wanita
mencapai usia 80 tahun, ia memiliki resiko 40% mengalami satu atau lebih
patah tulang belakang. (Mamat, 2009).
B. Etiologi
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengurangan massa tulang pada usia lanjut:
1. Determinan Massa Tulang
Massa tulang maksimal pada usia dewasa ditentukan oleh berbagai faktor
antara lain :
a) Factor genetic
Perbedaan genetik mempunyai pengaruh terhadap derajat kepadatan
tulang. Beberapa orang mempunyai tulang yang cukup besar dan yang
lain kecil. Sebagai contoh, orang kulit hitam pada umumnya mempunyai
struktur tulang lebih kuat/berat dari pacia bangsa Kaukasia. Jacii
seseorang yang mempunyai tulang kuat (terutama kulit Hitam Amerika),
relatif imun terhadap fraktur karena osteoporosis.
b) Faktor mekanis
Beban mekanis berpengaruh terhadap massa tulang di samping faktor
genetk. Bertambahnya beban akan menambah massa tulang dan
berkurangnya beban akan mengakibatkan berkurangnya massa tulang.
Dengan perkataan lain dapat disebutkan bahwa ada hubungan langsung
dan nyata antara massa otot dan massa tulang. Kedua hal tersebut
menunjukkan respons terhadap kerja mekanik Beban mekanik yang berat
akan mengakibatkan massa otot besar dan juga massa tulang yang besar.
Sebagai contoh adalah pemain tenis atau pengayuh becak, akan dijumpai
adanya hipertrofi baik pada otot maupun tulangnya terutama pada lengan
atau tungkainya; sebaliknya atrofi baik pada otot maupun tulangnya akan
dijumpai pada pasien yang harus istrahat di tempat tidur dalam waktu
yang lama, poliomielitis atau pada penerbangan luar angkasa. Walaupun

22
demikian belum diketahui dengan pasti berapa besar beban mekanis
yang diperlukan dan berapa lama untuk meningkatkan massa tulang di
sampihg faktor genetic.
c) Faktor makanan dan hormon
Pada seseorang dengan pertumbuhan hormon dengan nutrisi yang cukup
(protein dan mineral), pertumbuhan tulang akan mencapai maksimal
sesuai dengan pengaruh genetik yang bersangkutan. Pemberian makanan
yang berlebih (misainya kalsium) di atas kebutuhan maksimal selama
masa pertumbuhan, disangsikan dapat menghasilkan massa tulang yang
melebihi kemampuan pertumbuhan tulang yang bersangkutan sesuai
dengan kemampuan genetiknya.
2. Determinan penurunan Massa Tulang
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penurunan massa tulang pada usia
lanjut yang dapat mengakibatkan fraktur osteoporosis pada dasarnya sama
seperti pada faktor-faktor yang mempengaruhi massa tulang.
a) Faktor genetik
Faktor genetik berpengaruh terhadap risiko terjadinya fraktur. Pada
seseorang dengan tulang yang kecil akan lebih mudah mendapat risiko
fraktur dari pada seseorang dengan tulang yang besar. Sampai saat ini
tidak ada ukuran universal yang dapat dipakai sebagai ukuran tulang
normal. Setiap individu mempunyai ketentuan normal sesuai dengan
sitat genetiknya serta beban mekanis den besar badannya. Apabila
individu dengan tulang yang besar, kemudian terjadi proses penurunan
massa tulang (osteoporosis) sehubungan dengan lanjutnya usia, maka
individu tersebut relatif masih mempunyai tulang tobih banyak dari pada
individu yang mempunyai tulang kecil pada usia yang sama
b) Faktor mekanis
Di lain pihak, faktor mekanis mungkin merupakan faktor yang terpenting
dalarn proses penurunan massa tulang schubungan dengan lanjutnya
usia. Walaupun demikian telah terbukti bahwa ada interaksi panting

23
antara faktor mekanis dengan faktor nutrisi hormonal. Pada umumnya
aktivitas fisis akan menurun dengan bertambahnya usia; dan karena
massa tulang merupakan fungsi beban mekanis, massa tulang tersebut
pasti akan menurun dengan bertambahnya usia.
c) Kalsium
Faktor makanan ternyata memegang peranan penting dalam proses
penurunan massa tulang sehubungan dengan bertambahnya Lisia,
terutama pada wanita post menopause. Kalsium, merupakan nutrisi yang
sangat penting. Wanita-wanita pada masa peri menopause, dengan
masukan kalsiumnya rendah dan absorbsinya tidak bak, akan
mengakibatkan keseimbangan kalsiumnya menjadi negatif, sedang
mereka yang masukan kalsiumnya baik dan absorbsinya juga baik,
menunjukkan keseimbangan kalsium positif. Dari keadaan ini jelas,
bahwa pada wanita masa menopause ada hubungan yang erat antara
masukan kalsium dengan keseimbangan kalsium dalam tubuhnya. Pada
wanita dalam masa menopause keseimbangan kalsiumnya akan
terganggu akibat masukan serta absorbsinya kurang serta eksresi melalui
urin yang bertambah. Hasil akhir kekurangan/kehilangan estrogen pada
masa menopause adalah pergeseran keseimbangan kalsium yang negatif,
sejumiah 25 mg kalsium sehari.
d) Protein
Protein juga merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi
penurunan massa tulang. Makanan yang kaya protein akan
mengakibatkan ekskresi asam amino yang mengandung sulfat melalui
urin, hal ini akan meningkatkan ekskresi kalsium.
Pada umumnya protein tidak dimakan secara tersendiri, tetapi bersama
makanan lain. Apabila makanan tersebut mengandung fosfor, maka
fosfor tersebut akan mengurangi ekskresi kalsium melalui urin.
Sayangnya fosfor tersebut akan mengubah pengeluaran kalsium melalui
tinja. Hasil akhir dari makanan yang mengandung protein berlebihan

24
akan mengakibatkan kecenderungan untuk terjadi keseimbangan kalsium
yang negative
e) Estrogen.
Berkurangnya/hilangnya estrogen dari dalam tubuh akan mengakibatkan
terjadinya gangguan keseimbangan kalsium. Hal ini disebabkan oleh
karena menurunnya eflsiensi absorbsi kalsium dari makanan dan juga
menurunnya konservasi kalsium di ginjal.
f) Rokok dan kopi Merokok dan minum
kopi dalam jumlah banyak cenderung akan mengakibatkan penurunan
massa tulang, lebih-lebih bila disertai masukan kalsium yang rendah.
Mekanisme pengaruh merokok terhadap penurunan massa tulang tidak
diketahui, akan tetapi kafein dapat memperbanyak ekskresi kalsium
melalui urin maupun tinja.
g) Alkohol
Alkoholisme akhir-akhir ini merupakan masalah yang sering ditemukan.
Individu dengan alkoholisme mempunyai kecenderungan masukan
kalsium rendah, disertai dengan ekskresi lewat urin yang meningkat.
Mekanisme yang jelas belum diketahui dengan pasti.
C. Manifestasi klinis
1.  Nyeri dengan atau tanpa adanya fraktur yang nyata.
2. Nyeri timbul secara mendadadak.
3. Nyeri dirasakan ringan pada pagi hari (bangun tidur).
4. Nyeri akan bertambah karena melakukan aktifitas atau pekerjaan sehari-hari
atau karena pergerakan yang salah.
5. Rasa sakit karena oleh adanya fraktur pada anggota gerak.
6. Rasa sakit karena adanya kompresi fraktur pada vertebra.
7. Rasa sakit hebat yang terlokalisasi pada daerah vertebra.
8. Rasa sakit akan berkurang apabila pasien istirahat di tempat tidur.
D. Patofisiologi

25
Setelah menopause, kadar hormon estrogen semakin menipis dan kemudian
tidak diproduksi lagi. Akibatnya, osteoblas pun makin sedikit diproduksi.
Terjadilah ketidakseimbangan antara pembentukan tulang dan kerusakan tulang.
Osteoklas menjadi lebih dominan, kerusakan tulang tidak lagi bisa diimbangi
dengan pembentukan tulang. Untuk diketahui, osteoklas merusak tulang selama
3 minggu, sedangkan pembentukan tulang membutuhkan waktu 3 bulan.
Dengan demikian, seiring bertambahnya usia, tulang-tulang semakin keropos
(dimulai saat memasuki menopause) dan mudah diserang penyakit osteoporosis.

akibatnya
MENOPAUS OSTEOBLAS MAKIN SEDIKIT DIPRODUKSI
E

terjadilah

KETIDAKSEIMBANGAN ANTARA PEMBENTUKAN TULANG DAN KERUSAKAN TULANG

menyebabkan

OSTEOKLAS MENJADI LEBIH DOMINAN DAN KERUSAKAN TULANG


TIDAK LAGI BISA DIIMBANGI DENGAN KERUSAKAN TULANG

SEIRING BERTAMBAH USIA , TULANG – TULANG SEMAKIN KEROPOS


( DIMULAI SAAT MEMASUKI MENOPAUSE

E. Pathway
OSTEOPOROSIS

Genetik, gaya hidup, alcohol,


penurunan produksi hormon

Kemunduran
struktural Penurunan massa
jaringan tulang
26

Osteoporosis ( gangguan
musukuloskeletal )
F. Pemeriksaan penunjang
1. Radiologis
Gejala radiologis yang khas adalah densitas atau masa tulang yang
menurun yang dapat dilihat pada vertebra spinalis. Dinding dekat korpus
vertebra biasanya merupakan lokasi yang paling berat. Penipisa korteks dan
hilangnya trabekula transfersal merupakan kelainan yang sering ditemukan.
Lemahnya korpus vertebra menyebabkan penonjolan yang menggelembung

27
dari nukleus pulposus ke dalam ruang intervertebral dan menyebabkan
deformitas bikonkaf.
2. CT-Scan
CT-Scan dapat mengukur densitas tulang secara kuantitatif yang
mempunyao nilai penting dalam diagnostik dan terapi follow up. Mineral
vertebra diatas 110 mg/cm3 baisanya tidak menimbulkan fraktur vetebra atau
penonjolan, sedangkan mineral vertebra dibawah 65 mg/cm 3 ada pada
hampir semua klien yang mengalami fraktur.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Kadar Ca, P, Fosfatase alkali tidak menunjukkan kelainan yang nyata.
b. Kadar HPT (pada pascamenoupouse kadar HPT meningkat) dan Ct
(terapi ekstrogen merangsang pembentukkan Ct).
c. Kadar 1,25-(OH)2-D3 absorbsi Ca menurun.
d. Eksresi fosfat dan hidroksipolin terganggu sehingga meningkat
kadarnya.
G. Penatalaksanaan (medis dan keperawatan)
Penatalaksanaan penderita osteoporosis terdiri atas:
1. Penyuluhan Penderita
Pada penderita osteoporosis, faktor resiko di luar tulang harus
diperhatikan program latihan kebugaran tubuh (fitness), melompat, dan lari
tidak boleh dilakukan karena resiko besar patah tulang. Berdirilah tegak
kalau jalan, bekerja, menyetrika, menyapu (gunakan sapu dengan tangkai
panjang) dan masak. Duduklah tegak kalau bekerja, masak, sikat gigi dan
mencuci. Tidak boleh mengepel lantai dengan berlutut dan membungkuk
karena resiko patah tulang pinggang cukup besar. Untuk memperkuat dan
mempertahankan kekuatan neuromuskuler memerlukan latihan tiap hari atau
paling sedikit 3 hari sekali. Berdansa santai dan jalan kaki cepat 20 — 30
menit sehari adalah sehat dan aman untuk penderita osteoporosis.
Penderita perlu menyadari besarnya resiko jatuh. Setelah makan atau
tidur, duduk sebentar dulu sebelum berdiri dan pada permulaan berdiri

28
berpegangan dahulu pada tepi meja makan. Mereka yang sering kehilangan
keseimbangan bahan perlu memakai tongkat/walker.
2. Pencegahan
a. Pencegahan primer bertujuan untuk membangun kepadatan tulang dan
neuromuskler yang maksimal. Ini dimulai dari balita, remaja dewasa
umur pertengahan sampai umur 36 tahun. Beberapa hal penting pada
pencegahan primer:
1) Pemberian kalsium yang cukup (1200 mg) sehari selama masa
remaja.
2) Kegiatan fisik yang cukup dalam keadaan berdiri. Minimal jalan kaki
30 menit tiap hari.
3) Mengurangi faktor resiko rapuh tulang seperti merokok, alkohol dan
imobilisasi.
4) Menambah kalsium dalam diet sebanyak 800 mg sehari pada manula.
5) Untuk wanita resiko tinggi penambahan estrogen, difosfonat atau
kalsitonin harus dipertimbangkan.
b. Pencegahan sekunder yaitu pemberian hormon-hormon estrogen
progesterone. Hormon-hormon ini dilaporkan menghentikan setidak-
tidaknya mengurangi kehilangan tulang selama menopause.
c. Pencegahan tersier dilakukan bila penderita mengalami patah tulang
pada osteoporosis atau pada orang yang masuk lanjut usia (lansia).

3. Pemberian Gizi Optimal


Pencegahan primer bertujuan agar kepadatan tulang yang maksimal
tercapai pada umur 36 tahun. Pencegahan sekunder bertujuan menghambat
kehilangan kepada tulang waktu menopause dengan pemberian hormon
pengganti. Selanjutnya kehilangan kepadatan tulang pada lansia dihambat
dengan pencegahan tersier. Pencegahan primer, sekunder dan tersier
dilaksanakan melalui pengaturan gizi yang optimal, dibarengi dengan
aktivitas fisik dan olahraga yang sesuai dengan umur dan stadium kerapuhan

29
tulang penderita. Kebutuhan kalsium sehari-hari untuk mencegah
osteoporosis:
Sebelum menopause kebutuhan sehari 800 -1000 mg Kalsium
Selama menopause kebutuhan sehari 1000-1200 mg Kalsium
Selama menopause kebutuhan sehari 1200 -1500 mg kalsium
4. Upaya Rehabilitasi Medik
Prinsip terapi fisik dan rehabilifasi dapat bermanfaat dalam
penatalaksanaan penderita osteoporosis Latihan/exercise , latihan dapat
mengurangi hilangnya massa tulang dan menambah massa tulang dengan
cara meningkatkan pembentukan tulang yang lebih besar dari pada resorbsi
tulang.
Pengobatan Pada Patah Tulang : Pada orang tua dengan keluhan nyeri
yang hebat pada lokalisasi tertentu seperti pada punggung, pinggul,
pergelangan tangan, disertai adanya riwayat jatuh, maka perlu segera
memeriksakan diri ke dokter untuk mengetahui adanya patah tulang. Apabila
pada pemeriksaan selanjutnya didapatkan adanya patah tulang, maka harus
dipertimbangkan tindakan-tindakan sebagai berikut:
a. Menghilangkan nyeri disertai pemberian obat-obatan untuk membangun
kekuatan tulang, yaitu kalsium dan obat-obat osteoporosis
b. Tindakan pemasangan gips pada patah tulang pergelangan tangan.
Tindakan menarik tulang pada panggul dan dilanjutkan dengan tindakan
operasi pada panggul dengan mengganti kepala panggul pada patah leher
paha.
2.4 Asuhan Keperawatan Osteoporosis
A. Pengkajian
1. Identitas
Dalam pengkajian identitas informasi yang harus di tulis meliputi nama ,
umur , alamat , tanggal lahir , pekerjaan , suku / bangsa , jenis kelamin ,
tanggal masuk rumah sakit , jam masuk rumah sakit , diagnose medis dan
nomor registrasi .

30
2. Riwayat Keperawatan
a. Keluhan Utama
Mengkaji keluhan yang dirasakan pasien saat dilakukan pengkajian.
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
c. Mengkaji keluhan yang dirasakan pasien saat munculnya gejala sampai
pada saat dilakukan pengkajian.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Mengkaji riwayat penyakit yang pernah di alami pasien .
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Mengkaji adanya penyakit keturunan dan penyakit menular dalam
keluarga pasien.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Melihat kondisi umum pasien.
b. Tingkat kesadaran : Memeriksa tingkat kesadaran pasien dan respon
pasien.
c. Tanda tanda vital : Mengukur tekanan darah , nadi , suhu dan
Pernafasan.
d. Head to toe : pemeriksaan head to toe diilakukan dari kepala sampai
kaki , namun data yang lebih di fokuskan meliputi pemeriksaan pada :

1) Sistem pernafasan
Terjadi perubahan pernafasan pada kasus kiposis berat , karena
penekanan pada fungsional paru.
2) Sistem Kardiovaskuler
Suara jantung , tensi meningkat , nadi , suhu.
3) Psikososial
Osteoporosis menimbulkan depresi , ansietas , gangguan tidur dan
ketakutan akan jatuh.
4) Kemampuan bergerak

31
Ekstermitas atas , ekstermitas bawah , pergerakan sendi , dan
kekuatan otot.
5) Sistem Syaraf
Tingkat kesadaran pasien (fungsi selebral ).
6) Sistem Pencernaan
Pembatasan Pergerakan dan deformitas spinal.
7) Sistem Komunikasi
Kemampuan pasien dalam berkomunikasi.
4. Pola Fungsional Gordon
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
1) Kaji pengetahuan pasien tentang penyakit.
2) Kebiasaan minum alkohol, kafein.
3) Riwayat keluarga dengan osteoporosis.
4) Riwayat anoreksia nervosa, bulimia.
5) Penggunaan steroid.
b. Pola nutrisi metabolic
Inadekuat intake kalsium
c. Pola eliminasi
d. Pola aktivitas dan latihan
Fraktur, Badan bungkuk, Jarang berolahraga.
e. Pola tidur dan istirahat
Mengkaji ada tidaknya gangguan pada saat istirahat tidur , frekuensi
tidur dan kualitas tidur .
f. Pola persepsi kognitif
Mengkaji fungsi panca indra dan pengetahuan pasien tentang sakitnya.
g. Pola Konsep diri
Mengkaji persepsi pasien tentang dirinya saat kondisi pasien sedang
sakit .
h. Pola Koping

32
Mengkaji cara pasien saat menghadapi masalah yang mengganggu
misalnya stres, cemas karena penyakitnya
i. Pola Reproduksi Seksual
Mengkaji perkembangan psikoseksual pada pasien.
j. Pola Peran dan Hubungan
Mengkaji peran dan hubungan pasien dengan keluarganya.
5. Pemeriksaan Diagnostik : Memeriksa keadaan pasien dengan menggunakan
X-ray , Bone Mineral Density (BMD) untuk mengukur densitas tulang ,
Serum kalsium, posphor, alkalin fosfatase, Quantitative ultrasound (QUS)
mengukur densitas tulang dengan gelombang suara
6. Program Terapi : Pemberian terapi obat dan terapi fisik sesuai dengan
advice dokter dan penyakit yang di derita pasien .
B. Analisa Data : Mengumpulkan data yang berfokus pada diagnosa yang
diangkat .
C. Diagnosa Keperawatan
1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan , kendali
, atau massa otot.
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi.
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
4. Risiko cedera berhubungan dengan dampak sekunder perubahan skeletal dan
ketidakseimbangan tubuh .

D. Intervensi Keperawatan
1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan ,
kendali atau massa otot .
Tujuan :
Intervensi :
O : Kaji tingkat kemampuan klien untuk bergerak

33
R : untuk mengetahui tingkat kemampuan klien dala menggerakkan anggota
tubuh .
N : Lakukan latihan ROM aktif dan ROM Pasif

R : untuk mempertahankan dan mengembalikan fleksibilitas sendi

E : Ajarkan pasien teknik ambulasi dan berpindah yang aman


R : untuk menumbuhkan kemandirian pasien dalam beraktivitas
K : Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik untuk program latihan
R : untuk mengembangkan kemampuan pasien dalam mobilitas
2. Nyeri berhubungan dengan agen cedera biologi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan nyeri
berkurang .
Intervensi :
O : Monitoring keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan karakteristik termasuk
intensitas (skala 1-10). Perhatikan petunjuk nyeri nonverbal (perubahan
pada tanda vital dan emosi/prilaku)
R : untuk mengetahui tingkat ketidaknyamanan pasien
N : Lakukan teknik relaksasi
R : untuk membantu mengurangi nyeri yang dirasakan pasien
E : Ajarkan pasien teknik nafas dalam ketika nyeri tiba-tiba muncul
R : untuk membantu pasien mengurangi rasa nyeri yang tiba-tiba muncul.
K : Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi dan program terapi , contoh :
analgesik
R : untuk membantu mengurangi nyeri dengan terapi farmakologi sesuai
program terapi
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
O : Observasi tingkat kekuatan dan toleransi terhadap aktivitas
R :untuk mengetahui kebutuhan aktivitas mandiri pasien yang tidak
terpenuhi
N :Bantu pasien dalam melakukan perawatan diri

34
R :untuk membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan dasar dan aktivitas
perawatan diri pasien
E :Dorong kemandirian pasien dalam melakukan aktivitas dan perawatan
mandiri
R :untuk meningkatkan kemampuan kemandirian pasien dalam melakukan
perawatan diri sesuai kemampuan pasien
K :Kolaborasikan dengan keluarga dalam memenuhi kebutuhan mandiri
pasien
R :untuk membantu pasien mendapatkan perawatan dari keluarga
4. Risiko cedera berhubungan dengan dampak sekunder perubahan skeletal
dan ketidakseimbangan tubuh.
Tujuan : Cedera/injuri tidak terjadi.
Intervensi :
O :identifikasi risiko yang meningkatkan kerentanan terhadap cedera.
R :untuk mengetahui faktor resiko dalam meningkatkan keamanan pasien.
N : Manajemen lingkungan yang aman untuk pasien.
R : untuk memfasilitasi keamanan.
E : Ajarkan perilaku yang kondusif.
R : untuk menjaga kesehatan , keseimbangan tubuh.
K : Kolaborasikan dengan tim medis penggunaan alat bantu.
R : untuk membantu pasien dalam menjaga keamanannya.
E. Implementasi Keperawatan
1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan ,
kendali atau massa otot .
a. Mengkaji tingkat kemampuan klien untuk bergerak
b. Melakukan latihan ROM aktif dan ROM Pasif
c. Mengajarkan pasien teknik ambulasi dan berpindah yang aman
d. Mengkolaborasikan dengan ahli terapi fisik untuk program latihan
2. Nyeri berhubungan dengan agen cedera biologi

35
a. Memonitoring keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan karakteristik
termasuk intensitas (skala 1-10). Perhatikan petunjuk nyeri nonverbal
(perubahan pada tanda vital dan emosi/prilaku)
b. Melakukan teknik relaksasi
c. Mengajarkan pasien teknik nafas dalam ketika nyeri tiba-tiba muncul
d. Mengkolaborasikan pemberian obat sesuai indikasi dan program terapi ,
contoh : analgesik
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
a. Mengbservasi tingkat kekuatan dan toleransi terhadap aktivitas.
b. Membantu pasien dalam melakukan perawatan diri.
c. Mendorong kemandirian pasien dalam melakukan aktivitas dan
perawatan mandiri.
d. Mengkolaborasikan dengan keluarga dalam memenuhi kebutuhan
mandiri pasien.
4. Risiko cedera berhubungan dengan dampak sekunder perubahan skeletal
dan ketidakseimbangan tubuh.
a. Mengidentifikasi risiko yang meningkatkan kerentanan terhadap cedera
b. Memanajemen lingkungan yang aman untuk pasien
c. Mengajarkan perilaku yang kondusif
d. Mengkolaborasikan dengan tim medis penggunaan alat bantu

F. Evaluasi
1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kendali ,
kekuatan atau massa otot :
a. Melihat kemampuan pasien dalam menggerakkan anggota tubuhnya
secara mandiri atau dengan di bantu
b. Melihat pasien melakukan gerakan ROM
c. Memantau peningkatan pergerakkan pasien pada saat ambulasi

36
d. Memantau perubahan kemampuan pasien untuk mobilitas setelah
dilakukan terapi
2. Nyeri berhubungan dengan agen cedera biologi
a. Mengobservasi kembali skala nyeri yang dirasakan pasien.
b. Melihat perkembangan dan mengkaji kembali skala nyeri pasien
setelah dilakukan teknik relaksasi
c. Melihat klien dapat mendemonstrasikan teknik nafas dalam yang
diberikan atau tidak.
d. Melihat efek obat setelah diberikan pada pasien.
3. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
a. Mengkaji ulang kebutuhan aktivitas mandiri pasien yang belum
terpenuhi
b. Melihat kembali tingkat kenyamanan pasien terhadap dirinya setelah
dilakukan perawatan diri
4. Risiko cedera berhubungan dengan dampak sekunder perubahan skeletal
dan ketidakseimbangan tubuh.
a. Memantau tidak adanya resiko jatuh pada pasien.
b. Memantau aktivitas yang dilakukan pasien .
c. Memantau reaksi obat yang telah diberikan

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
LBP atau nyeri punggung bawah merupakan salah satu gangguan
muskuloskeletal yang disebabkan oleh aktivitas tubuh yang kurang baik. LBP
adalah salah satu keluhan yang dirasakan oleh sebagian besar pekerja, biasanya

37
mulai dirasakan pada usia 25 tahun, dan meningkat pada usia 50 tahun (Yunus,
2008).
Menurut Fransisca B. Batticaca (2008:168) Herniasi Diskus Invertebralis
atau disebut juga dengan Herniasi Nukleus Pulposus (HNP) adalah suatu keadaan
yang diakibatkan oleh penonjolan nukleus pulposus dari diskus ke dalam anulus
(cincin fibrosa disekitar diskus), yang disertai dengan kompresi dari akar-akar saraf.
Herniasi dapat terjadi di lumbal, lumbosakral, regio skapula, regio servikal dan
berbagai kolumna vertebralis.
LBP menyebabkan timbulnya rasa pegal, linu, ngilu, atau tidak enak pada
daerah lumbal berikut sakrum. LBP diklasifikasikan kedalam 2 kelompok, yaitu
kronik dan akut. LBP akut akan terjadi dalam waktu kurang dari 12 minggu.
Sedangkan LBP kronik terjadi dalam waktu 3 bulan. Yang termasuk dalam faktor
resiko LBP adalah umur, jenis kelamin, faktor indeks massa tubuh yang meliputi
berat badan, tinggi badan, pekerjaan, dan aktivitas / olahraga

38
DAFTAR PUSTAKA

Ackley, B. J. Ladwig, G. B., & Makic, M. B. F. (2017). Nursing Diagnosis Handcbock,


An Evidence-Based Guide to Planning Care. 11th Ed. St. Louis : Elsevier.
Lukman. Ningsih. (2011). Asuhan Keperawatan Pada Klien Sistem Muskuloskeletal.
Jakarta ; EGC
Anonim. (2003). Rehabilitasi Medik Cegah Kecacatan Pasien. Bandung ; Pikiran Rakyat
Cyber Media.
Carpenito Moyet, L. J. (2013). Nursing Diagnosis Application to Clinical Practice. 14th
Ed. Philadelphia : F. A. Davis Company.
Chase JA. Outpatient manajement of low back pain. Orthop Nur 1992 Jan/Feb;11(1):11-
21.
Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 1.
Jakarta : EGC.
Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Volume 3.
Jakarta : EGC.
Muttaqin, A. (2002). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta ; Salemba Medika

39

Anda mungkin juga menyukai