Anda di halaman 1dari 5

MENULIS

1. HAKIKAT MENULIS
Kemampuan menulis merupakan kemampuan yang sangat kompleks, untuk memilih sebuah teks tertulis
yang diinginkan, penulis harus mengerahkan segenap kemampuannya meliputi penguatan aspek-aspek kebahasaan,
isi tulisan, teknik penulisan. Penulis pun dituntut untuk memiliki berbagai kemampuan sekaligus yaitu tentang apa
yang akan ditulis dan bagaimana menyampaikannya dalam bahasa tulis yang baik dan benar.
Namun demikian banyak keuntungan yang akan diperoleh melalui kegiatan menulis. Pertama, dengan
menulis kita dapat lebih mengenali kemampuan dan potensi diri. Kita mengetahui sampai dimana pengetahuan
yang dimiliki tentang suatu topik. Untuk mengembangkan topik itu kita dipaksa berpikir menggali pengetahuan
dan pengalaman yang kadang tersimpan di alam bawah sadar. Kedua, melalui kegiatan menulis kita
mengembangkan berbagai gagasan, kita terpaksa bernalar, menghubung-hubungkan serta membanding-bandingkan
fakta-fakta yang mungkin tidak pernah kita lakukan jika kita tidak menulis. Ketiga, kegiatan menulis memaksa kita
lebih banyak menyerap, mencari, serta menguasai informasi sehubungan dengan topik yang ditulis. Dengan
demikian, kegiatan menulis memperluas wawasan baik secara teoretis maupun mengenai fakta-fakta yang
berhubungan. Keempat, menulis berarti mengorganisasikan gagasan secara sistematis serta mengungkapkannya
secara tersurat. Dengan demikian, kita dapat menjelaskan permasalahan yang semula menjadi samar bagi diri kita
sendiri. Kelima, melalui tulisan kita dapat meninjau serta menilai gagasan kita sendiri secara lebih objektif.
Keenam, dengan menulis kita akan lebih mudah memecahkan permasalahan, yaitu dengan menganalisisnya secara
tersurat, dalam konteks yang lebih konkret. Ketujuh, tugas menulis menguasai suatu topik mendorong kita belajar
secara aktif. Kita belajar sebagai penemu sekaligus pemecah masalah, bukan sekedar menjadi penyadap informasi
dari orang lain. Kedelapan, kegiatan-kegiatan menulis yang terencana akan membiasakan kita berpikir serta
berbahasa secara cermat (Sabarti, Maidar, Sakura, 2003).
Delapan manfaat kegiatan menulis di atas menunjukkan bahwa menulis bukanlah suatu keterampilan
berbahasa yang mudah dan tidak dapat diperoleh secara otomatis meskipun bahasa yang digunakan untuk menulis
isi pesan adalah bahasa pertama. Brown menyatakan kita sepenuhnya memahami bahwa untuk belajar menulis
dengan baik itu sulit, meskipun menulis dalam bahasa sendiri (Brown, 2004).
Cere (1985) mengemukakan bahwa menulis pada hakikatnya merupakan alat komunikasi. Di dalam
komunikasi terdapat empat unsur, yaitu: 1) menulis merupakan bentuk ekspresi diri; 2) menulis merupakan suatu
yang umum disampaikan kepada pembaca; 3) menulis merupakan aturan dan tingkah laku; dan 4) menulis
merupakan sebuah cara belajar. Sebagai bentuk dari ekspresi diri, menulis bertujuan untuk mengomunikasikan,
menyampaikan sebuah ide melewati batas waktu dan ruang. Artinya menulis dapat dilakukan secara baik apabila di
dalam diri penulis terdapat motivasi.
Bagi kebanyakan guru, menulis sering kali dipandang sebagai suatu keterampilan berbahasa yang paling
sulit untuk diajarkan. Guru dituntut untuk mengerahkan segala daya upaya untuk membantu siswanya agar dapat
memperoleh kompetensi dasar menulis melalui berbagai kegiatan pembelajaran yang dirancang guru. Sebaliknya,
bagi siswa, menulis sering kali dipandang sebagai keterampilan berbahasa yang paling sulit untuk dipelajari dan
dikuasai. Siswa dituntut untuk memilki berbagai pengetahuan sekaligus, misalnya isi yang akan ditulis, aspek
kebahasaan dan teknik penulisan. Oleh karena itu, siswa dituntut untuk belajar menulis secara bersungguh-sungguh
karena keterampilan menulis tidak dapat diperoleh secara otomatis meskipun siswa itu memiliki kemampuan
berbahasa secara lisan. Karena sulitnya, pembelajaran menulis sering kali kurang mendapat perhatian dan porsinya
lebih sedikit untuk diajarkan dibandingkan dengan pembelajaran tatabahasa, membaca dan berbicara (Kaswanti,
1990).
Menulis dalam kaitannya dengan pembelajaran bahasa sering diartikan sebagai suatu praktik menulis untuk
menghasilkan suatu jenis teks tertentu yang lebih panjang dari sebuah kalimat tunggal. Menulis dalam pengertian
ini sering disebut composition writing. Hasil dari kegiatan menulis ini akan menghasilkan suatu jenis teks tertentu
(genre), misalnya narasi, eksposisi, deskripsi, recount, reports dan sebagainya.
Kegiatan pembelajaran menulis dalam pengertian composition writing ini dibedakan menjadi dua kategori:
mengarang yang terkontrol (controlled composition) dan mengarang yang bebas (free composition). Di dalam
kegiatan menulis yang terkontrol, kegiatan menulis dikontrol atau dibatasi oleh berbagai hal, misalnya pertanyaan-
pertanyaan yang telah dipersiapkan oleh guru untuk dijawab siswa, kalimat-kalimat atau paragraf yang harus
dilengkapi atau gambar yang harus diikuti sebagai penuntun untuk menulis. Dalam menulis sebuah teks, siswa
dipandu oleh pengontrolnya, misalnya beberapa pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab. Sebaiknya, di dalam
mengarang bebas, kegiatan menulis tidak dikontrol atau dibatasi oleh beberapa hal, misalnya, pertanyaan-
pertanyaan pengontrol, gambar, atau topik tertentu yang telah disiapkan. Di sini siswa benar-benar bebas
mengekplorasikan idenya sesuai dengan minatnya melalui proses atau tahapan-tahapan kegiatan menulis yang
dimulai dari pemilihan topik sampai menghasilkan teks akhir yang diinginkan.

2. Menulis Sebagai Proses


Psikolinguis Eric Lennerberg menyatakan dalam suatu diskusi tentang spesies specific perilaku manusia,
bahwa manusia, pada umumnya belajar berjalan dan berbicara, tetapi berenang dan menulis adalah khusus yaitu
perilaku yang harus dipelajari.
Pernyataan ini ingin menunjukkan kepada kita bahwa kemampuan menulis itu perlu dipelajari, karena
orang tidak belajar menulis “secara alami” sebagaimana mereka belajar berbicara. Proses menulis membutuhkan
seperangkat kompetensi yang pada dasarnya berbeda dari berbicara yang memiliki kaidah retorika yang unik.
Menulis atau produk tertulis seringkali merupakan hasil pemikiran, penyusunan, perevisian, prosedur yang
memerlukan keahlian khusus. Hakikat penyusunan tulisan telah menghasilkan pedagogis menulis yang
memusatkan pebelajar pada bagaimana menggunakan penanda wacana dan konvensi retoris untuk menempatkan
semua itu secara kohesif menjadi teks tertulis, bagaimana mengedit teks dengan tata bahasa yang tepat dan
menghasilkan tulisan.
Di sekolah, menulis adalah suatu keharusan. Tanpa kemampuan mengekspresikan dalam bentuk tulisan,
siswa tentu tidak akan berhasil. Mulai dari usia tingkat sekolah dasar sampai tingkat universitas, kita menulis agar
berhasil dalam menguasai pelajaran. Menulis memulai dari frase pendek (seperti mengisi tes rumpang), hingga
menulis paragraf pendek (seperti menjawab pertanyaan esai), serta berbagai jenis laporan singkat hingga satu
makalah lengkap. Pebelajar sebagai penulis harus memahami teknik menulis, khusus teknik-teknik menulis yang
melibatkan proses penyusunan, pengembangan ide-ide, argumen, logika, sebab dan akibat dan lainnya.
Menurut Brown (2007), setengah abad lalu, para guru “menulis” sebagian besar memperhatikan hasil akhir
tulisan, esai, laporan cerita. Tulisan diharapkan; a) memenuhi standar tertentu retoris, b) mencerminkan tata bahasa
yang akurat, dan c) diatur sesuai dengan apa yang dianggap lazim. Perhatian pada model atau konsep tulisan dan
seberapa baik hasil akhir diukur dengan daftar kriteria termasuk isi, oragnisasi, penggunaan kosakata, penggunaan
tata bahasa, dan mekanis seperti ejaan dan tanda baca.
Kriteria tersebut atau salah satu kriteria tersebut masih menjadi perhatian guru saat ini. Namun akan
menjadi lebih baik jika para guru memandang siswa atau pebelajar sebagai pencipta bahasa, saat mereka fokus
pada isi dan pesan, untuk menjaga motivasi intrinstik siswa. Dengan demikian bisa dikembangkan process
approach dalam menulis. Pendekatan proses ini banyak melakukan hal-hal berikut (diadaptasi dari: Shih, 1986):
a. Fokus pada menulis yang mengarah pada hasil akhir,
b. Membantu siswa memahami proses menulis mereka sendiri,
c. Membantu siswa membangun strategi repertoires (drama, lagu dan sebagainya) untuk prapenulisan,
penyusunan, dan menulis ulang,
d. Memberikan siswa waktu untuk menuliskan menulis ulang,
e. Menempatkan kepentingan pokok dalam proses revisi,
f. Membiarkan siswa menemukan apa yang ingin mereka katakan selama mereka menulis,
g. Memberi umpan balik bagi siswa selama proses mengarang dan tidak hanya pada hasil akhir, karena mereka
berusaha untuk membawa ekspresi mereka lebih dekat dan lebih dekat dengan tujuan,
h. Mendorong umpan balik dari guru dan siswa,
i. Menyertakan pertemuan individu antara guru dan siswa selama proses mengarang.
Jika Anda diminta untuk menulis sesuatu, misalnya sebuah surat kepada editor, sebuah artikel untuk
laporan berkala, dan mengubah sesuatu yang dipikirkan menjadi kata-kata, untuk mempertajam ide-ide utama,
untuk menulis dengan menggunakan struktur dan organisasi yang koheren. Selama konsep pertama telah melalui
proses revisi, tesis dan gagasan Anda berkembang menjadi sebuah hasil akhir. Jika anda telah melakukan hal ini,
maka anda telah menggunakan process approach dalam menulis.
Proses approach adalah suatu usaha untuk mengambil keuntungan dari hakikat kode tulis untuk
memberikan siswa berpikir selama mereka menulis. Pendekatan proses mengutamakan hal-hal seperti berikut
(diadaptasi dari Hedgcock, 2005):
a. Mengizinkan siswa menemukan ide mereka sendiri.
b. Menulis bebas, jurnal dan aktivitas yang lancar.
c. Memberikan siswa tugas-tugas autentik/nyata
d. Memberikan umpan balik formatif (yang berhubungan dengan perkembangan melalui pertemuan).
Beberapa ahli menyatakan bahwa saat ini kita berada dalam era “pasca proses” sementara yang lain melihat
konsep pasca proses pada kenyataanya, hanya menolak “dominasi proses dengan mengabaikan aspek lain dari
menulis dan instruksi menulis. Seperti dalam kebanyakan pendekatan pengajaran bahasa, sangat perlu bagi kita
lebih menekankan proses untuk sebuah hasil. Hasil adalah tujuan akhir, itulah alasan, kita harus melalui proses
prapenulisan, penulisan (penyusunan), revisi dan mengedit.
Menurut Sharwood M. Smith, kegiatan menulis untuk menghasilkan tulisan yang baik pada dasarnya
merupakan suatu proses mental berupa berpikir dan bernalar untuk menyampaikan suatu tujuan. Penulis harus
memikirkan kalimat-kalimat yang akan ditulis, menggabungkan dan menyusunnya agar menghasilkan tulisan yang
komunikatif yaitu logis, sistematis dan jelas. Di samping itu penulis juga harus mendalami pengetahuan tentang
topik yang ditulis, mengingat-ingat peristiwa dan pengalaman agar menghasilkan tulisan yang diinginkan. Hal ini
menjelaskan bahwa menulis bukan suatu kejadian yang spontan dan langsung jadi. Menulis merupakan suatu
proses yang kompleks dan relatif lama. Proses ini sering dilakukan berulang-ulang dan seringkali membuat
penulisnya frustasi.
Proses menulis yang kompleks ini menunjukkan bahwa menulis adalah proses yang nonlinier. Proses ini
mengharuskan penulis mencari dan merumuskan ide-idenya secara berulang kali guna menyelaraskan makna
melalui pemikiran kritis dan kreatif. Agar mendapatkan tulisan yang diharapkan, pemikiran kritis dan kreatif ini
biasanya dilakukan secara berulang-ulang di dalam setiap tahapan kemajuan dari proses menulis tersebut. Proses
menulis seperti ini digambarkan oleh McCuen dan Winkler (1987) seperti sebuah lingkaran yang menggambarkan
tahapan-tahapan kemajuan proses menulis secara bertahap dan kemungkinan terjadinya pengulangan pada setiap
tahapan itu.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kegiatan menulis dilakukan melalui tahapan-tahapan: a) pemilihan
topik, b) perumusan ide-ide pengontrol melalui proses: menemukan, mengingat, mengamati dan mengkaji ide-ide
itu, c) perencanaan dan pengorganisasian, d) memulai menulis, e) merevisi dan mengedit dan, f)
menghasilkan tulisan akhir. Gambar itu juga memberikan gambaran tentang kemungkinan pengulangan setiap
tahapan untuk kemajuan proses menulis, misalnya setelah penulis menentukan suatu topik, topik itu tidak langsung
diputuskan begitu saja, tapi masih perlu dipikirkan lagi. Setelah topik itu dipilih secara pasti, langkah selanjutnya
adalah merumuskan ide-ide pendukungnya.

3. Prinsip-prinsip pembelajaran menulis


Dalam merancang pembelajaran menulis beberapa prinsip yang harus dipahami oleh guru. Brown (2007)
mengemukakan sembilan prinsip yang spesifik yang sekiranya perlu dipedomani guru dalam merancang
pembelajaran menulis.
1) Praktik menulis yang dilakukan penulis yang baik
Dalam merancang pembelajaran menulis guru perlu menerapkan praktik-praktik yang dilakukan oleh
penulisyang baik seperti berikut ini;
a. Fokus pada tujuan atau ide pokok dalam menulis,
b. Pandai menulis atau memperhatikan pembaca,
c. Menyediakan waktu untuk merencanakan apa yang akan ditulis,
d. Menulis ide pokoknya di kertas dan membiarkannya mengalir begitu saja,
e. Mengikuti rencana pengorganisasian umum seperti yang telah mereka tulis,
f. Meminta dan memanfaatkan umpan balik,
g. Tidak terikat pada penampilan struktur tertentu,
h. Merevisi tulisan dengan sukarela atau senang dan efisien,
i. Dengan sabar melakukan berbagai macam revisi sebanyak yang dibutuhkan.
Praktik-praktik menulis yang baik seharusnya dilaksanakan di dalam proses pembelajaran menulis di kelas.
2). Pendekatan Yang digunakan
Prinsip yang kedua berhubungan dengan pendekatan pembelajaran menulis. Pendekatan pembelajaran
menulis ini terdiri atas, pendekatan proses dan pendekatan hasil. Menulis merupakan suatu proses, maka menulis
biasanya dilakukan secara berulang-ulang untuk menghasilkan teks akhir yang diinginkan. Untuk itu guru harus
memberi pengertian yang serius untuk berperan sebagai pembimbing dan responden. Pada saat yang bersamaan,
guru tidak perlu melakukan langkah-langkah yang menuju pada hasil akhir yang tidak terorganisasi dengan baik.
Dalam hal ini guru harus yakin bahwa langkah-langkah dalam pembelajaran menulis dilakukan untuk mendapatkan
hasil menulis yang baik. Untuk itu di dalam proses pembelajaran perlu diterapkan keseimbangan antara pendekatan
proses dan pendekatan hasil.
3) Latar belakang siswa
Prinsip ketiga berkenaan dengan latar belakang siswa. Ini artinya dalam merancang pembelajaran guru
harus dapat mempertimbangkan latar belakang siswa. Termasuk latar belakang budayanya. Dalam pembelajaran
menulis, guru hendaknya tidak berasumsi siswa telah memahami konvensi retorika bahasa L2 yang dipelajari. Jika
ada perbedaan yang jelas antara retorika bahasa L1 siswa dengan retorika dalam bahasa L2, guru sebaiknya
membantu siswa untuk memahami retorika bahasa L2. Hal ini akan membuat siswa menjadi terbiasa dengan
retorika tersebut. Selanjutnya guru harus mengarahkan siswa pada penggunaan retorika bahasa L2 yang secara
bertahap berterima.
4) Keterpaduan Keterampilan Berbahasa
Brown menyarankan bahwa pembelajaran menulis diintegrasikan dengan pembelajaran membaca.
Berdasarkan pengamatan di kelas diketahui bahwa seorang yang gemar atau banyak membaca, biasanya
mempunyai kemampuan yang baik juga dalam menulis. Hal ini dapat terjadi karena siswa dapat belajar menulis
dengan cara mengamati atau mempelajari apa yang telah dibaca. Dengan membaca dan mempelajari contoh-contoh
teks, siswa dapat memperoleh gambaran tentang isi tulisan, bagaimana mereka harus menulis, juga tentang
masalah-masalah yang mungkin akan mereka tulis. Oleh sebab itu, integrasi pembelajaran menulis dengan
membaca sangat menunjang. Hal ini tidak menutup kemungkinan peembelajaran menulis digabungkan dengan
keterampilan yang lain seperti menyimak dan berbicara.

Anda mungkin juga menyukai