Anda di halaman 1dari 11

1

MATA PENCAHARIAN MASYARAKAT PESISIR PALUH MERBAU

(Life History ; Keluarga Pak Ahmad)

(Tim Peneliti 1)

Hari senja dan hamparan ladang menemani sepanjang perjalananku menuju


kediaman Pak Ahmad (55) tahun. Sembari mendorong sepeda tuanya, kami
melangkah perlahan, melewati jalan setapak sekitar 300 meter dari pinggir jalan
utama Paluh Merbau1 yang terletak di Desa Tanjung Rejo 2. Tak lama berjalan,
sampailah saya di rumah Pak Ahmad. Ia langsung memanggil isterinya untuk
membukakan pintu. Senyum bercampur tanda-tanya isterinya menyapa
kedatanganku. Aku memasuki pintu depan rumah Pak Ahmad. Sebuah sepeda tua
rusak, sebilah badik dan golok, tumpukan anyaman atap nipah, cahaya lampu
teplok3 dan tangisan bayi, menyambut kedatanganku. Sembari melihat isterinya
berbisik menanyakan siapa aku pada suaminya. Aku hanya mengumbar senyum,
dan langsung memperkenalkan diri dari kejauhan. Aku kemudian menaiki tangga
kecil dan langsung menyalami isteri, seorang gadis remaja dan gadis kecil. Mereka
adalah anak-anak Pak Ahmad. Sambutan hangat keluarga Pak Ahmad mulai
memecah kesunyian suasana yang menjelang malam.

Jam sudah menunjukkan waktu Shalat Magrib, meskipun tidak terdengar


kumandang azan. Maklum saja, mengingat tempat ibadah cukup jauh dari rumah
Pak Ahmad. Pak Ahmad bergegas menuju ke belakang rumahnya. Aku masih
mengganti pakaianku yang kotor terkena lumpur di bibir tubir 4. Karena pada sore
harinya, aku baru saja menolong salah satu temanku yang terjerembab di dalam
lumpur setinggi hampir 1 meter, saat ia sedang mencari kerang bersama salah
satu keluarga lainnya di Paluh Merbau. Sesaat kemudian, aku juga ikut turun dari
tangga belakang, sambil meminjam sendal pada isteri Pak Ahmad. Aku segera
menuju ke kamar mandi yang terletak di belakang (agak ke samping kanan)
rumahnya untuk membersihkan diri dan berwudhuk. Sumur disini masih sangat
alami yang terbuat dari galian tanah5.

Di rumah Pak Ahmad terdapat beberapa sumur dan galian lubang penampung air.
Satu sumur berfungsi untuk mandi dan mencuci. Sumur lainnya berfungsi untuk
mengaliri air ke areal perladangan sawah. Ada juga sumur tanah yang berfungsi
sebagai tempat bagi hewan ternak (ayam dan itik) untuk minum dan berenang.
Terdapat pula satu sumur lainnya di bagian paling belakang rumah yang berfungsi
untuk kebutuhan buang air. Selain itu di dekat petak persawahan di sekeliling
rumahnya terdapat beberapa galian sumur kecil yang digunakan untuk
menampung air hujan agar lebih mudah saat di aliri ke ladang. Air sumur di sini
1
Paluh Merbau adalah nama salah satu daerah pesisir di Desa Tanjung Rejo (Paluh adalah
istilah untuk menyebut sungai).
2
Tanjung Rejo adalah nama salah satu desa yang terletak di kawasan pesisir (paling kulon)
Kec. Percut Seituan, Deli Serdang-Sumut.
3
Lampu Teplok di rumah Pak Ahmad terbuat dari botol bekas obat cair, diisi minyak tanah
dengan sepotong sumbu kompor sebagai pemicu api.
4
Tubir adalah bibir pantai dalam istilah masyarakat Tanjung Rejo.
5
Sumur tanah adalah jenis sumur alami dimana tanah digali dengan kedalaman sampai
ditemukannya mata air (disini mencapai kedalaman 4-5 meter).
2

tidak bisa digunakan untuk sumber konsumsi, mengingat kadar garam yang
lumayan tinggi (setengah payau). Untuk minum dan memasak, keluarga Pak
Ahmad biasanya harus membeli air dari sumur bor yang dimiliki oleh seorang
warga (milik pribadi). Harga air bersih pun mencapai 5000 rupiah per jergen besar.
Di sebelah kanan (antara dua sumur) terdapat satu rumah kayu lainnya. Rumah
ini dihuni oleh anak kedua Pak Ahmad yang sudah menikah dan memiliki seorang
bayi perempuan. Selesai berwudhuk, aku kembali masuk dan segera
menyelesaikan tanggung jawabku pada Tuhan.

Selesai shalat, aku bersandar di salah satu tiang di ruang tengah rumah Pak
Ahmad. Rumah ini terbuat dari beberapa tiang kayu besar yang berasal dari jenis
pohon Birah yang di budidaya sendiri oleh Pak Ahmad sejak puluhan tahun lalu.
Ruangan depan masih berlantaikan tanah, ruang tengah dibuat agak tinggi
dengan dua anak tangga dari kayu dan berlantai papan serta ruang bawah hampir
persis sama dengan ruang tengah, namun dibuat setingkat lebih rendah. Terdapat
dua kamar tidur yang terletak di kanan ruang tengah dan kanan ruang bawah.
Sedangkan ruangan dapur terpisah sekitar 2 meter persis di belakang halaman
rumah. Angin mulai menembus pori-pori kulitku, yang masuk dari sela dinding
rumah yang terbuat dari anyaman bambu yang disusun secara zig-zag. Nyamuk-
nyamuk berukuran ‘raksasa’ juga tampak mulai bernostalgia dengan tubuhku.
Terpaksa aku beralih memakai jaket sambil mendengar celutuk isteri Pak Ahmad
yang duduk di ruang bawah. “Disini kalau malam memang dingin dan banyak
nyamuk nak”, Aku hanya tersenyum dan berkata rendah “Tak apa bu, sudah
terbiasa juga seperti ini”. Aku tidak sedang berbohong padanya, memang kondisi
seperti ini sering ku alami saat penelitian di lapangan sejak mahasiswa dulu dan
hampir persis seperti suasana di kampung halamanku.

Angin malam yang kencang juga menjadi pemandangan biasa di desa ini.
Mengingat secara geografis Paluh Merbau-sama dengan paluh lainnya-di Desa
Tanjung Rejo adalah kawasan pesisir yang memiliki topografi perladangan, rawa-
rawa hutan bakau dan dikelilingi oleh laut. Hanya tersedia satu jembatan, untuk
masuk ke Desa Tanjung Rejo. Tentu saja angin timur yang berhembus di malam
hari, menjadi teman setia masyarakat disini. Tak lama kemudian, perlahan Pak
Ahmad keluar dari kamarnya dan masih meminggang sarung, sama seperti aku
yang baru selesai beribadah. Ia duduk tepat di depanku dan mulai mengeluarkan
rokok kretek dan membakarnya. Bersamaan dengan gumpalan asap sam liok kioe6
miliknya, kemudian ia mulai berbicara, menanyakan asal dan keluargaku. Belum
selesai aku bicara, isteri Pak Ahmad sudah menyodorkan suguhan kopi panas di
hadapan kami. Lalu, aku melanjutkan pembicaraan dengan singkat, sambil
sesekali memegang gelas untuk memecah kedinginan malam. Pak Ahmad
tersenyum melihat gelagatku, dan sejenak ai mempersilahkan aku minum.

Selesai meneguk kopi, suhu tubuhku dan suasana malam itu sedikit lebih hangat.
Aku mulai berbalik bertanya tentang kehidupannya. Mendengar pertanyaanku, ia
sejenak terdiam. Tatapan kosong matanya memandang ke arah gumpalan asap
rokok, seperti sedang merekam kembali ingatannya di masa lalu, sambil sesekali
menarik dalam-dalam rokok di mulutnya. Sambil menghembuskan asap rokok,
6
Salah satu merek rokok kretek yang banyak dijumpai dijual di Desa Tanjung Rejo.
3

Pak Ahmad mulai bercerita tentang sejarah hidupnya, hingga menetap saat ini di
Paluh Merbau. Pak Ahmad mulai bercerita, jika ia sebenarnya berasal dari
keturunan Aceh7-Mandar8. Ayahnya berasal dari Aceh Pidie, sedangkan Ibunya
berasal dari satu keluarga Suku Mandar perantauan di daerah Bagan Serdang 9.
Sejak kecil, ia dan ibunya sudah ditinggal pergi oleh ayah-nya. Sejak itu pula ia
hidup dan dibesarkan oleh ibunya yang tinggal bersama neneknya di Bagan
Serdang. Ia hanya mengenyam pendidikan dasar, mengingat ketidakmampuan
keluarganya pada saat itu. Sejak tahun 1972, atau saat umurnya baru beranjak
13 tahun, ia sudah bekerja sebagai nelayan dan menjadi anak buah kapal sampai
ia tumbuh dewasa. Pada tahun 1990, ia menikahi gadis desa setempat bernama
Ratnawati (44) tahun. Wanita berparas hitam manis, inilah yang sampai saat ini
setia menjadi isteri dan ibu dari anak-anaknya. Dari pernikahannya dengan Bu
Ratna (panggilan), ia memiliki 6 orang anak, mengingat Bu Ratna mengalami
keguguran saat masih mengandung anak pertama mereka. Anak-anak Pak
Ahmad, masing-masing bernama Zulham (23) tahun, Suwandi (21) tahun, Wardani
(19) tahun, Marlina (17) tahun, Agussalim (14) tahun dan yang paling bungsu
adalah Siti Maryani (9) tahun, serta adik kecilnya yang meninggal dunia (saat
lahir) pada tahun 2007. Anak pertama dan kedua Pak Ahmad, lahir dan
menghabiskan masa kecilnya di Bagan Serdang, sedangkan yang lainnya lahir dan
besar di Paluh Merbau.

Ditengah keseriusan menyimak cerita Pak Ahmad, tiba-tiba keheningan kembali


pecah saat Bu Ratna menyuguhi kami hidangan makan malam. Malam ini kami
makan cukup telat dari biasanya (20.40 WIB). Maklum saja, sebelumnya tidak ada
persiapan karena kedatanganku yang mendadak. Bahkan aku tahu, saat Wardani
dan Marlina keluar rumah dan mengayuh sepeda ayahnya hingga berjarak ± 600
meter hanya untuk membeli bekal makan malam (mi dan telur). Belum lagi
gumpalan asap dan cahaya api tampak jelas menyala dari dapur rumah. Maklum
saja, keluarga Pak Ahmad masih menggunakan alat tradisional berupa tungku api
dan kayu bakar untuk memasak. Disaat bersamaan, datanglah Suwandi bersama
isteri dan bayi kecilnya, kami langsung bersalaman sambil dikenalkan oleh Bu
Ratna. Setelah dipersilahkan makan, lalu aku, Pak Ahmad dan Suwandi makan
bersamaan di ruang tengah yang beralaskan selembar tikar anyaman bewarna
kuning yang agak usang. Sedangkan, isteri Suwandi dan anak-anak Pak Ahmad
lainnya, makan di ruang bawah, kecuali Zulham yang malam itu, tidak tampak.
Menurut tutur Pak Ahmad, Zulham jarang pulang karena sudah bekerja di salah
satu pabrik di Kota Medan10. Dan Suwandi saja ada di rumah karena anaknya
masih kecil, kalau tidak ia juga jarang pulang sejak memilih melaut bersama kapal

7
Aceh adalah salah satu suku-bangsa yang ada dan mendiami wilayah paling barat Pulau
Sumatera yang (berbatasan langsung) dengan Propinsi Sumatera Utara.
8
Mandar adalah salah satu suku yang menetap di Pulau Sulawesi bagian barat. Suku ini
menetap di wilayah Kabupaten Polewali, Mandar dan Majene, Sulawesi Selatan.
9
Bagan Serdang adalah nama salah satu desa yang terletak di Kecamatan Pantai Labu
Kabupaten Deli Serdang-Sumut.
10
Medan adalah salah satu wilayah administratif pemerintahan kota di Propinsi Sumatera
Utara. Medan juga merupakan Kota Metropolitan ketiga terbesar di Indonesia setelah
Jakarta dan Surabaya.
4

di Belawan. Sedangkan Bu Ratna, tidak makan bersama kami. Ia sedang asyik


bercanda dengan cucu pertamanya.

Suara-suara jangkrik yang saling bersahutan, mengiringi makam malam kami.


Seolah tak mau kalah, suara katak-katak sawah juga menggema seperti suara
alunan musik yang sedang dipandu oleh seorang dirigen. Aku sudah terbiasa
dengan menu instan seperti telur dan mi, bahkan aku tidak menyisakan
sedikitpun makanan di piring. Setelah merasa cukup, seraya mencuci tangan, aku
melihat ke arah Bu Ratna yang mengumbar senyum dan dengan nada merendah
ia berkata “Kami terbiasa makan beginian, saat tidak ada ikan di rumah”. Aku
menjawab “Kenapa bisa tidak ada ikan, sedangkan kita tinggal di pesisir?”. Kini
giliran Pak Ahmad yang menjawab “Terkadang kan angin dan gelombang besar di
laut, jadi tidak ada hasil laut yang bisa dibeli. Terkadang juga kita hanya membeli
ikan payau atau kerang dari warga sekitar”. Mendengar penjelasan Pak Ahmad,
aku hanya mangguk-mangguk saja.

Belum juga nasi di perutku diproses oleh lambung, gelagat Pak Ahmad sudah
mulai ingin berbicara lagi denganku. Tanganku meraba bungkus rokok sam liok
kioe miliknya, meskipun aku juga punya bungkusan rokok filter. Aku hanya ingin
mencicipi jenis rokok kretek yang jarang ku temui di luar sana. Ternyata rokok ini,
bisa menambah kehangatan di malam hari. Ia juga membakar rokoknya seraya
kembali bercerita. Sepertinya ia tak ingin melewatkan malam ini, sebelum ia puas
menceritakan kisah hidupnya padaku. Ia mulai bersandar di dinding luar kamar
dan sesekali memegang jaring ikan yang tersangkut tepat diatasnya duduk. Ia
mengisahkan jika ia sudah menghabiskan hampir setengah umurnya di lautan. Ia
menjadi nelayan selama hampir 24 tahun sejak 1972-1996, sejak masih menetap
di Bagan Percut sampai ke Paluh Merbau (Tanjung Rejo).

Informasi dari seorang tauke di Bagan yang kemudian mengantarkan Pak Ahmad
dan puluhan nelayan lainnya ke Paluh Merbau. Kawasan tersebut dahulunya
adalah kawasan hutan rawa. Ia mendengar cerita si tauke, jika di kawasan
tersebut sedang marak-maraknya pembukaan lahan. Oleh karena itu, bagi siapa
yang ingin memiliki lahan, diperbolehkan untuk membuka kawasan hutan disana.
Pak Ahmad dan adiknya serta puluhan nelayan lainnya, akhirnya memutuskan
untuk membuka lahan disana. Mereka pertama kali berangkat ke sana pada awal
tahun 1984 menggunakan perahu boat dengan membawa peralatan seperti parang
dan kapak dan kebutuhan lainnya. Mereka kemudian mulai mendirikan gubuk-
gubuk sebagai tempat berteduh dan beristirahat serta perlahan membuka lahan
yang sebelumnya sudah dibagi luas areal yang sama dengan nelayan lainnya.
Setiap hari mereka menebang pepohonan dan menambak beberapa sudut lahan
yang masih berlumpur atau digenangi air pasang. Setiap seminggu sekali mereka
kembali ke Bagan secara bergantian setiap minggunya, untuk mengunjungi
keluarga dan membeli kebutuhan pokok selama membuka lahan.

Lahan-lahan yang sudah dibuka ditanami berbagai macam tanaman pangan


seperti padi, rempah, sayur-mayur dan lainnya. Ada juga jenis tanaman
perkebunan seperti sawit dan jenis pepohonan seperti birah. Awalnya mereka
secara berkelompok menjaga tanaman di ladang yang sudah dibuka, mereka juga
5

menggali banyak sumur tanah sebagai penampung air. Terutama saat musim
kemarau tiba. Perlahan, satu-persatu nelayan tersebut kemudian mulai membawa
keluarga dan membuka pemukiman di Paluh Merbau. Begitu juga Pak Ahmad,
yang sejak tahun 1996, mulai menetap dan membawa serta isteri dan kedua
anaknya. Meskipun sudah beralih mata pencaharian sebagai petani atau peladang,
tidak jua memutus mata rantai dalam melaut di keluarga Pak Ahmad. Meskipun
tinggal di sekitar ladang, namun suasana pesisir masih sangat terasa, mengingat
secara alamiah kawasan Paluh Merbau merupakan kawasan pesisir pantai yang
berhadapan langsung dengan lautan Samudera Hindia.

............................╩╩╩.............................

Tanpa terasa, sudah cukup lama juga beliau bercerita tentang kehidupannya.
Matanya seakan menahan kantuk saat jam sudah menunjukkan pukul 22.20 WIB.
Pak Ahmad masih begitu bersemangat bercerita. Ia mengeluarkan lagi bungkus
rokoknya, tak terhitung berapa batang rokok sudah ia habiskan selama bercerita.
Tiba-tiba saja, Suwandi mengetuk pintu rumah. Bu Ratna dan anak-anak lainnya
sudah duluan terlelap di dalam kelambu yang tampak sudah berumur cukup tua.
Suwandi terlihat sudah berganti pakaian, tapi sepertinya bukan untuk tidur.
Seketika ia memasang senter di kepalanya sambil berujar “Katanya abang mau
belajar menangkap kepiting, saya mau memasang bubu, apa abang mau ikut?”
ujarnya. Aku sedikit kaget dan menjawab “Tengah-tengah malam seperti ini?”
Dengan mantap ia menjawab “Ia bang, kebetulan air laut sudah mulai pasang dan
biasanya kalau malam kepiting lebih banyak berkeliaran daripada siang hari”.
Tanpa sempat berfikir, aku langsung beranjak mengganti pakaianku dengan
celana training milik Pak Ahmad, ia juga memberikan sepatu kulit padaku. Pak
Ahmad tidak lagi mencari kepiting karena faktor usianya yang sudah cukup tua,
apalagi harus berhadapan dengan angin malam Samudera Hindia.

Aku hanya memegang senter kecil yang diberikan Pak Ahmad, benar-benar aku
tak punya perlengkapan lengkap. Yang aku tahu, jika di sepanjang tubir tersebut
adalah tanah berlumpur yang kedalamannya bisa mencapai 1 meter. Sepatu kulit
dan bergerigi penting dipakai agar tidak mudah terjebak lumpur dan terkena
cangkang-cangkang kerang yang tajam di dalam lumpur. Suwandi bergegas
keluar, aku tahu itu pertanda ia terburu-buru, ku ikuti dari belakangnya, sampai
kami bersamaan. “Kenapa buru-buru bang, ujarku”, ia hanya menjawab, “Air
pasang sangat cepat, jangan sampai kita telat memasang bubu, karena kita sudah
agak telat bergerak” Jawabnya singkat. Aku terus saja mempercepat langkahku,
sampai kami berdua sampai bi dekat tubir. Suara anging yang menghempas
pepohonan bakau cukup terasa bergelegar, angin seakan tak mau bersahabat
malam itu. Dengan gerak cepat, Suwandi membuka kantung goni berisi ikan-ikan
kecil sejenis mujair dan belanak, aku menaruh bubu yang dari tadi kusangkut di
pundakku, ia memilih beberapa cabang bakau yang sudah patah untuk digunakan
sebagai pancang bubu. “Darimana dapat umpan ikan malam-malam begini?”
6

Tanyaku. “Tadi Agussalim bawa pulang dari tambak” jawabnya singkat sambil
terus memasang umpan-umpan tersebut sembari aku jua membantunya
memasang umpan. Tak sampai 10 menit, ia sudah berhasil memasang 18 umpan
bubu. Aku saja, hanya baru selesai memasang tidak sampai separuhnya.

Ia kemudian mengarahkan senter di kepalanya ke arah tubir, air sudah setengah


pasang dan sekitar 6 meter lagi sampai ke bibir tubir. “Ayo bang kita pasang”
Perintahnya cepat. Aku segera mengangkat bubu-bubu tersebut dan perlahan
kemudian mulai turun ke area lumpur. “Bismillah” ujarku singkat. Perlahan kami
memasuki rawa-rawa yang dipenuhi pepohonan bakau, dan cukup gelap. Nyamuk-
nyamuk bakau juga cukup banyak. Belum lagi serangga yang berkeliaran hampir
di semua batang bakau. Suara-suara clakson kapal-kapal besar dan suara mesin
boat nelayan sesekali mengiringi pengembaraan kami malam itu. Dari kejauhan di
sebarang sana, terlihat lampu-lampu yang berkelap-kelip indah. Aku sempat
berpikir lampu itu berasal dari gedung-gedung besar di Kota Medan, tapi
sebenarnya lampu-lampu itu berasal dari Belawan 11. Aku terus saja memasuki
lumpur yang terkadang cukup dalam dan agak susah mengangkat langkah kaki,
dengan beban membawa bubu. Satu-persatu bubu dipajang ke dalam lumpur
yang sudah mulai tergenang air pasang. Kata Suwandi “Bubu harus kita pasang, di
daerah tubir yang sudah tergenang air pasang atau di lobang-lobang lumpur yang
ada genangan air, bang kalau malam hari. Jika tidak bubu-bubu kita akan dirusak
oleh tikus-tikus bakau disini yang ingin mencuri umpan dan bubu harus kita pasang
di dekat akar-akaran bakau, karena di sekitar sini kepiting akan keluar dan
mencari makan”. Ujarnya mantap.

Aku hanya mangguk-mangguk dan benar saja, beberapa ranting bakau bergoyang
keras. Aku sempat terkejut, tapi kemudian Suwandi bertutur, “Itu ulah tikus
bakau bang”, bahkan ia sempat menyenter ke arah pepohonan bakau, dan tampak
tikus-tikus bakau yang hampir seukuran kucing berkeliaran dari satu ranting ke
ranting bakau lainnya. Besar-besar juga tikus disini gumamku dalam hati sambil
memukul nyamuk yang berkeliaran di wajahku. Aku pura-pura tak perduli dan
berlalu saja, kami terus memasang bubu-bubu tersebut yang berjumlah 26 buah.
Aku memasang di beberapa sudut di sepangjang akar bakau. Dari kejauhan juga
terlihat cahaya senter dalam semak hutan bakau. “Apa itu juga orang cari bubu?”
tanyaku pada Suwandi. “Ia bang, itu orang pasang bubu juga, meskipun kalau
malam hari tidak banyak yang memasang bubu”. Ujarnya. Tanpa terasa, Suwandi
sudah memasang semua bubu yang dibawanya, beberapa diantaranya dipasang
pada sepotong kayu yang sudah terpajang di dalam lumpur, yang sebelumnya
digunakan oleh pembubu lainnya. Tanpa terasa juga, air pasang sudah sampai ke
bibir tubir, ia mengambil lagi bubu padaku, dan dengan cepat memasangnya
karena air sudah terlalu pasang. Kami selesai memasang bubu dan kemudian
melangkah perlahan menuju daratan, cukup capek juga melangkah karena air
sudah pasang. Tak lama sampailah kami ke daratan.

Tubuhku mulai menggigil kedinginan, perlahan kami turun ke pinggiran tambak


dan membersihkan sisa lumpur yang menempel di hampir sekujur tubuh. Angin
malam terasa semakin membahana, aku semakin menggigil, dan sesekali menatap
11
Belawan adalah pelabuhan terbesar di Kota Medan.
7

ke arah Suwandi. Aku tak melihat wajah kusam dan rasa kedinginan pada diri
Suwandi. Mungkin saja ia sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini, gumamku
singkat. Sesekali aku berusaha tegar di depannya, meskipun aku sudah terlalu
lelah walau tanpa cairan keringat. Perlahan kami berjalan menyusuri tambak-
tambak dan sampailah kami di sebuah gubuk. Aku merebahkan tubuhku sejenak,
sembari memintanya ikutan istirahat dulu sebentar sebelum pulang. Seketika ia
berujar “Kita pulang langsung ke rumah saja bang, nanti di rumah abang bisa
istirahat dan langsung tidur”. Mendengar ucapannya, aku langsung bangkit dan
kami meneruskan perjalanan pulang ke rumahnya, langkah-langkah kami
menyusuri pematang-pematang tambak sampai pematang ladang.

Sesampai di rumah Pak Ahmad, aku bergegas membersihkan diri di sumur


belakang dan lantas masuk dari pintu belakang yang sengaja tidak dikunci oleh
Pak Ahmad, mengganti pakaianku, memakai jaket dan sarungku, lalu merebahkan
diri tanpa bercakap lagi. Suwandi juga sudah duluan berlalu ke dalam rumahnya.
Sebuah jam yang sudah usang, mengarah pada Pukul 01.12 menit. Sembari
menunggu kantuk, aku mengingat-ingat lagi pengalaman malam itu. Aku benar-
benar menemukan sensasi berburu kepiting di malam hari, meskipun aku belum
tahu hasilnya, karena menurut Suwandi, bubu-bubu tersebut baru akan diangkat
menjelang pagi hari sekitar jam 5 pagi saat air mulai surut. Aku masih belum bisa
tertidur saat itu, lalu kubuka buku dan mulai menuliskan catatan pengalamanku
malam itu bersama Suwandi. Sampai akhirnya aku merasa cukup kantuk dan
dengan mengucap seuntai doa, aku kemudian terlelap bersama sepasang obat
bakar anti nyamuk dan bantal tua yang sudah disediakan oleh Pak Ahmad.

............................╩╩╩.............................

Suara kokok ayam jantan pagi itu menghantarkan aku bangkit dari tempat tidur.
Meskipun singkat, tapi aku tidur cukup pulas malam itu, bahkan aku tak sadar
ada banyak nyamuk nakal di sekitarku. Aku terkejut, dan penuh harapan ingin
sekali ikut memanen hasil bubu yang sudah kami pasang semalam. Tiba-tiba aku
mendengar suara percakapan dari luar rumah. Apa itu Suwandi, pikirku. Apa aku
terlambat bangun, seraya melihat ke arah jam yang masih Pukul 05.40 itu.
Ah..benar saja, saat aku membuka pintu belakang dan berjalan ke arah sumur,
terlihat Suwandi dan Pak Ahmad lagi mengikat kepiting-kepiting hasil tangkapan
semalam. Dari kejauhan Pak Ahmad memanggilku “Dek, kemari dulu, liat kepiting
hasil tangkapan kalian?” Lalu perlahan setelah mencuci muka, aku melangkah
cepat ke tempat mereka duduk diatas bangku panjang yang terbuat dari dua bilah
papan. “Alhamdulillah hasilnya lumayan bang” sahut Suwandi saat aku mendekat.
Kemudian Pak Ahmad bangkit dari tempat duduknya untuk mengambil wudhuk
dan kemudian Shalat Subuh. Aku juga pamitan pada Suwandi untuk shalat dulu.
Selesai shalat, aku bergegas kembali ke tempat Suwandi untuk membantunya.

Tangkapan kami cukup lumayan, tapi belum tahu dapat berapa Kg. Beberapa
kepiting berukuran cukup besar. Aku kemudian belajar mengikat kepiting
8

bersama Suwandi sambil menanti mentari pagi. Cukup dengan sekali contoh
peragaan, aku sudah bisa mengikat kepiting meskipun masih agak sedikit lambat
daripada Suwandi yang sudah bisa mengikat kepiting dengan sebelah tangan saja.
Kepiting-kepiting hasil tangkapan kami semuanya adalah jenis kepiting bakau
(mud crab) atau nama latinnya disebut dengan Scylla serrata. Kepiting-kepiting
tersebut terdiri dari beberapa jenis yang ditandai dengan karakteristik ciri khas
warna cangkang atau capitnya. Ada jenis kepiting yang cangkangnya berwarna
coklat-kehitaman dengan capit hijau berpola bulat. Ada jenis yang capitnya
bewarna merah-keunguan. Ada juga jenis kepiting yang cangkangnya bewarna
hijau dan memiliki capit bewarna orange-kemerahan, terdapat juga jenis yang
capitnya bewarna pucat dengan ujung capit yang kemerah-merahan.

Jenis-jenis kepiting diatas adalah jenis kepiting yang memiliki nilai jual. Bagi
masyarakat Paluh Merbau, klasifikasi jenis kepiting diatas diukur dari besar
kecilnya dan juga kepiting bertelur. Jenis kepiting betina bertelur disebut dengan
kepiting Jumbo atau Ice. Jenis ini ditandai dengan adanya telur yang padat jika
ditekan dari atas cangkang atau dilihat dari bawah kelaminnya. Jenis kepiting ini,
beratnya dihitung mulai dari 2 Ons keatas dan memiliki harga yang relatif lebih
mahal. Ada juga jenis kepiting super. Jenis ini adalah kepiting jantan besar dan
berisi padat, biasanya jenis kepiting ini dimulai dari ukuran ½ Kg sampai 1 Kg,
jika ukuran diatas 1 kg disebut juga dengan nama kepiting AJ. Ada juga kategori
kepiting double, jenis ini berdasarkan klasifikasi ukuran berada di bawah jenis
kepiting super. Dan yang paling banyak dan sering dijumpai adalah jenis kepiting
C (kepiting muda), kode kepiting ini ditandai dari ukuran dari 1-2 Ons, dan
biasanya dijual sebagai benih untuk penangkaran atau budidaya kepiting lunak
(soka). Selain varietes kepiting diatas, di kawasan pesisir Paluh Merbau juga
terdapat jenis kepiting laut (rajungan), jenis ini banyak hidup agak ke tengah laut,
bukan di pesisir atau rawa hutan bakau.

Sambil mengikat kepiting-kepiting hasil buruan kami malam itu, aku terus saja
bertanya pada Suwandi. Suwandi terlihat lihai menandai jenis-jenis kepiting
seusia ukuran diatas, meskipun tanpa timbangan. Dia terlihat hanya memegang
saja kepiting-kepiting tersebut dan sudah mengetahui kodenya. Ia juga mulai
memisahkan kepiting-kepiting tersebut berdasarkan kategori diatas. Dari
penjelasan Suwandi, setelah dihitung dan dipisahkan, cukup banyak yang
tergolong sebagai kepiting C, ada sekitar 34 ekor. 6 ekor yang menurut Suwandi
adalah kepiting bertelur. Selebihnya adalah jenis Double sebanyak 12 ekor. Kami
tak beruntung mendapatkan jenis kepiting berukuran Super. Karena menurut
Suwandi, jenis ini lebih sering ditemukan di daerah lumpur dengan kedalaman air
laut mencapai 1-2 meter dan biasanya masyarakat disini menangkapnya dengan
menggunakan ban-ban mobil bekas yang di pajang di dalam laut, agar menjadi
sarang bagi jenis kepiting besar tersebut, dan biasanya baru diambil setiap 3 hari.
Total hasil buruan kami mencapai 52 ekor, dari jumlah tersebut, 8 ekor tidak bisa
dijual karena sudah patah capit sebelah atau tidak memiliki capit.

Cukup lelah juga mengikat kepiting-kepiting tersebut. Bahkan saat mentari sudah
mulai menyapa, kami juga belum selesai mengikat kepiting-kepiting tersebut.
Diperlambat lagi dengan cengkerama aku dan Suwandi. Menurut penuturan
9

Suwandi, kepiting-kepiting tersebut hidup dan bersarang di sekitar tubir atau


lebih tepatnya di sekitar akar-akaran bakau dengan menggali lubang di dalam
lumpur. Selain jenis kepiting, di sepanjang tubir Paluh Merbau juga hidup
berbagai jenis biota laut lainnya seperti jenis ikan belanak, mujair dan lainnya.
Juga terdapat berbagai jenis kerang seperti Bare, Panggang Pulut, Taram, dan
jenis kerang lainnya.

Untuk menangkap kepiting, kami memasang umpan di dalam bubu. Umpan yang
kami pasang malam itu adalah ikan belanak dan mujair. Selain itu ada juga jenis
ikan gelodok, udang dan jenis biota laut lainnya seperti ular air. Alat Tangkap yang
banyak digunakan oleh pembubu di Paloh Merbau adalah bubu. Bubu terbuat dari
jaring medang yang berbentuk silinder yang diikat menggunakan bambu atau besi
kecil. Terdiri dari dua lobang pintu sebagai tempat untuk kepiting masuk, dan
ditancapkan diatas tanah berlumpur di sekitar akar-akaran bakau dengan sebilah
kayu pada saat air pasang. Sebelum menggunakan alat tangkap jenis bubu, dulu
masyarakat disini menggunakan angkul (jaring yang diikat persegi empat dan
melengkung) dan terdapat sepotong kayu yang digunakan sebagai pegangan.
Sistem ini mengharuskan si penangkap kepiting untuk selalu menjaga angkulnya.
Ada juga cara lain, dimana perburuan kepiting dilakukan pada saat air laut surut
dengan mencari tempat bersarangnya kepiting dan memancing kepiting keluar
menggunakan sebilah besi sepanjang 2-3 meter.

Mencari kepiting sangat di pengaruhi oleh iklim, cuaca dan musim. Ada waktu
tersendiri dimana kepiting-kepiting tersebut bisa banyak atau sangat jarang di
dapat oleh para pembubu. Menurut pengetahuan lokal masyarakat Paluh Merbau,
mencari kepiting paling bagus saat musim perdani yang ditandai dengan pasang
besar air laut. Perdani timur biasanya terjadi di bulan April-Juni, yang ditandai
dengan gelombang pasang air laut pada siang hari, dimana angin bertiup dari arah
timur dan tenggara. Ada juga sebutan perdani barat, arah angin bertiup dari barat
dan utara dan gelompang pasang air laut dominan terjadi pada malam hari. Setiap
tahunnya siklus pasang perdani, terhitung mundur mengikuti bulan. Selain
hitungan bulan, dan arah angin, pasang permadi juga ditandai dari air pasang
besar pada hari pertama perdani. Menurut Suwandi, dalam pasang perdani
terdapat 7 hari pasang mati dan pada 8-22 hari bulan disebut dengan pasang
hitam kekat. Pasang besar biasanya terjadi 2 kali dalam sebulan. Terdapat juga
musim barat kering yang biasanya terjadi pada bulan Januari-Maret, di musim ini
biasanya hasil tangkapan kepiting sangat sedikit, berbeda dari musim pasang
lainnya.

Matahari sudah mulai beranjak. Selesai mengikat kepiting, kami dipersilahkan


oleh isteri Pak Ahmad untuk sarapan pagi. Sarapan pagi itu menggunakan lauk
ikan mujair disambal. Aku, Pak Ahmad dan Suwandi makan berbarengan di di
teras rumah Suwandi. Sambil menikmati hidangan Bu Ratna, saya mengajak
kembali Suwandi dan Pak Ahmad berdiskusi. Kali ini saya bertanya tentang
penghasilan kelaurga Pak Ahmad. Menurut Pak Ahmad, penghasilan mereka tidak
menentu, tergantung dari hasil berbubu dan hasil pertanian. Tapi paling tidak
dalam sehari, mereka bisa mendapatkan 30-50 ribu rupiah. Jika ditotal
perbulannya, rata-rata pendapatan keluarga saya sekitar 1,5-2 juta rupiah.
10

Pendapatan ini jelas tidak sebanding dengan beban pengeluaran keluarga kami
setiap harinya. Hidup serba pas-pasan, dan beban tanggungan kelaurga yang
cukup besar, menjadi faktor utama rendahnya pendidikan anak-anak Pak Ahmad.
Bahkan 4 dari enam anaknya sudah putus sekolah sejak di bangku sekolah dasar
(SD). Zulham berhenti sekolah saat kelas 5 SD, Suwardi kelas 4 SD, Wardani dan
Marlina dan juga hanya sampai duduk di bangku kelas 5 SD. Praktis hanya
Agussalim (kelas 1 SMP) dan Siti (kelas 2 SD) saja yang masih bersekolah.
Menurut Pak Ahmad, selain karena keterbatasan biaya untuk menyekolahkan
anak-anaknya, faktor lingkungan dimana anaak-anak disini mayoritas juga putus
sekolah juga menjadi penyebab anak-anaknya malas untuk bersekolah, mereka
lebih memilih bekerja mencari kepiting dan serabutan lainnya.

Menurut Pak Ahmad, kondisi seperti ini tidak terlepas dari minimnya sumber daya
laut yang bisa kami manfaatkan saat ini, selain tergantung pada kondisi alam juga
akibat dari kerusakan lingkungan di sekitar Paloh Merbau. Dulu di tahun-tahun
pertama saya disini, dengan menangkap kepiting saja dalam 2 hari bisa dapat
hasil sekitar 70 Kg, sekarang tidak lebih dari 5 Kg saja. Menurut Pak Ahmad,
alasannya karena populasi kepiting dan jenis tangkapan laut sudah cukup
berkurang akibat dari kerusakan habitat mereka. Banyak hutan bakau yang
sudah beralih fungsi sebagai tambak dan kebun sawit milik pemodal dari luar
Paloh Merbau. Belum lagi perambahan hutan bakau yang tersisa. Ancaman besar
lainnya adalah faktor alam, dimana terjadinya abrasi pantai yang semakin parah
setiap tahunnya. Selain itu, ancaman penggunaan pukat trawl (pukat harimau)
juga sangat meresahkan kami, dimana kami (nelayan tradisional) disini kesulitan
mendapatkan ikan di perairan dangkal,karena berkurang habitatnya akibat kapal-
kapal besar (milik pemodal) yang menggunakan pukat trawl dan mengurangi
populasi ikan di perairan Paloh Merbau. Hal lain yang sangat meresahkan warga
disini adalah limbah pabrik-pabrik besar di sekitar Kota Medan dan Deli Serdang
yang mencemari sepanjang aliran sungai di Paloh Merbau sehingga mengurangi
habitat dan populasi ikan, udang, kepiting, kerang dan berbagai jenis biota laut
lainnya.

Mendengar penjelasan Pak Ahmad yang sangat serius, tanpa sadar nasi dalam
piring saya sudah habis. Entah megnapa, selama disini selera makan saya cukup
besar, mungkin karena faktor makanan rumahan seperti di kampung saya. Lalu
bergegas saya mencuci tangan, lalu menuju ke dalam rumah Pak Ahmad untuk
mengemasi barang-barang saya, karena saya dan rombongan akan berkumpul di
objek wisata Karang Rejo, yang digunakan sebagai laboratorium pelestarian hutan
Bakau dan penangkaran kerang. Program ini adalah kerjasama antara Masyarakat
Desa Karang Rejo dan Universitas Negeri Medan. Setelah berpamitan, Pak Ahmad
mengatar saya sampai ke lokasi wisata yang hanya berjarak sekitar 1 KM dari arah
rumah Pak Ahmad. Sampai disana, kami memesan segelas kopi pada sebuah
warung kecil dan bercengkerama ringan. Sampai akhirnya seluruh rombongan
kami berkumpul. Kemudian saya mohon pamit dan berterimakasih kepada Pak
Ahmad dan keluarga, yang sudah bersedia menerima saya dalam kehidupan
mereka, walau hanya sehari. Selesai makan siang bersama rombongan, yang juga
11

dihadiri oleh para Dosen dan tamu dari Jerman, kami kemudian pulang kembali
ke tempat tujuan masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai