Anda di halaman 1dari 39

REFERAT

INFEKSI VIRUS DENGUE

Dokter pembimbing :

Pembimbing : dr. Vita Dwi W, Sp.A

Disusun oleh:

Mira Mei Sudarwati 19710139

RUMAH SAKIT UMUM DR.WAHIDIN SUDIRO HUSODO


MOJOKERTO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA


KUSUMA SURABAYA

2021

2
LEMBAR PENGESAHAN

TUGAS REFERAT

SMF ILMU KESEHATAN ANAK

INFEKSI VIRUS DENGUE

Disusun Oleh :

Mira Mei Sudarwati 19710139

TELAH DISETUJUI DAN DAN DISAHAN PADA :

HARI : SABTU

TANGGAL : 23 JANUARI 2021

MENGETAHUI
DOKTER PEMBIMBING

dr. Vita Dwi W, SP.A

BAB I

3
PENDAHULUAN

Infeksi virus dengue merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus

dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Virus yang sekarang dikenal

sebagai genus Flavivirus, family Flaviviride dan mempunyai 4 jenis serotipe,

yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4 (Sri Rezeki dkk, 2004).

Infeksi virus dengue, merupakan masalah kesehatan global. Dalam tiga

dekade terakhir terjadi peningkatan angka kejadian penyakit tersebut di berbagai

negara yang dapat menimbulkan kematian sekitar kurang dari 1%. Kejadian luar

biasa penyakit telah sering dilaporkan dari berbagai negara. Penyakit dengue

terutama ditemukan di daerah tropis dan subtropics dengan sekitar 2,5 milyar

penduduk yang mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit ini. Diperkirakan

setiap tahun sekitar 50 juta manusia terinfeksi virus dengue yang 500.000 di

antaranya memerlukan rawat inap, dan hampir 90% dari pasien rawat inap adalah

anak-anak (Sri Rezeki dkk, 2014).

Manifestasi klinis infeksi virus dengue sendiri, menurut kriteria diagnosis

WHO tahun 2011, dapat bersifat asimtomatik (tanpa gejala nyata) dan simtomatik

(dengan gejala) yang terbagi menjadi, undifferentiated fever, demam dengue

(DD), demam berdarah dengue (DBD), dan Expanded dengue syndrome.

Demam Dengue mempunyai sifat self-limiting disease, yaitu akan sembuh

dengan sendirinya dengan penanganan dan perawatan yang baik serta kondisi

tubuh yang cukup sehat untuk melawan virus dengue ini. Namun, bila Demam

Dengue ini berlanjut menjadi Demam Berdarah Dengue maka memerlukan

4
perawatan khusus di rumah sakit, dengan tujuan menyembuhkan sakitnya dan

mencegah terjadinya syok atau syndrome syok dengue (DSS).

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Dengue merupakan penyakit arboviral yang paling banyak tersebar di

dunia. Infeksi virus dengue disebabkan oleh infeksi 1 dari 4 serotipe virus dengue,

yaitu: DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Virus dengue ditularkan ke manusia

melalui gigitan nyamuk Aedes betina yang terinfeksi. Nyamuk biasanya

mendapatkan virus ini saat menghisap darah orang yang terinfeksi virus dengue

(Sri Rezeki dkk, 2004).

Gambar 2.1 Virus Dengue

2.2 EPIDEMIOLOGI

Penyakit dengue terutama ditemukan di daerah tropis dan subtropics

dengan sekitar 2,5 milyar penduduk yang mempunyai resiko untuk terjangkit

penyakit ini. Diperkirakan setiap tahun sekitar 50 juta manusia terinfeksi virus

dengue yang 500.000 di antaranya memerlukan rawat inap, dan hampir 90% dari

pasien rawat inap adalah anak-anak (Sri Rezeki dkk, 2014)

6
Infeksi virus dengue merupakan penyakit endemik dan dapat terjadi

sepanjang tahun terutama di daerah tropis. Menurut WHO, selama tahun 1968 dan

2009, Indonesia merupakan salah satu daerah endemis DBD tertinggi di Asia

Tenggara. Pada tahun 2016 dari 34 provinsi di Indonesia, jumlah kasus DBD

sebanyak 202.314 penderita dan 1.593 kematian. Sejak Januari hingga Mei 2017,

terdapat 17.877 kasus dengan 115 kematian. Hingga September 2017, tercatat 302

kasus DBD di Surabaya (Kemenkes, 2017).

2.3 IMMUNOPATOGENESIS

Secara umum pathogenesis infeksi virus dengue diakibatkan oleh interaksi

berbagai komponen dari respon imun yang terjadi secara terintegritas. Sel imun

yang paling penting dalam berinteraksi dengan virus dengue yaitu sel dendrit,

monosit atau makrofag, sel endotel dan trombosit. Akibat interaksi tersebut akan

dikeluarkan berbagai mediator antara lain sitokin, peningkatan aktivasi system

komplemen, serta terjadi aktivasi limfosit T. apabila aktivasi sel imun berlebihan,

akan diproduksi sitokin (terutama proinflamasi), kemokin dan mediator inflamasi

lain dalam jumlah banyak. Akibat produksi berlebih dari zat-zat tersebut akan

menimbulkan berbagai kelainan yang akhirnya menimbulan berbagai bentuk

tanda dan gejala infeksi virus dengue (Sri Rezeki, 2014).

A. Masuknya Virus DEN

Dengue ditularkan melalui gigitan nyamuk yang mengandung virus

dengue. Vector dapat berperan sebagai host biologi dan menyebabkan

transmisi biologis yang berarti virus ini butuh menggandakan diri terlebih

dahulu pada vector sebelum virus dapat ditularkan ke target lain. Selain

7
itu, vector juga dapat berperan sebagai media penularan dan disebut

sebagai penularan mekanis, yang berarti virus tidak memerlukan

penggandaan diri didalam vector sebelum ditularkan ke target baru

(Noisakran & Peng, 2007). Setelah menggigit host, nyamuk betina akan

menyalurkan air liur yang mengandung virus ke dalam aliran darah korban

dan virus ini akan bersirkulasi dalam plasma dan bereplikasi dalam limfa

(Lange, 2001).

Gambar 2.2 Nyamuk Ae.aegypti

B. Respon Imun Humoral

Respon imun humoral diperankan oleh limfosit B dengan

menghasilkan antibodi spesifik terhadapat virus dengue. Antibodi spesifik

untuk virus dengue terhadap satu serotipe tertentu juga dapat

menimbulkan reaksi silang dengan serotipe lain selama enam bulan.

Antibodi yang dihasilkan dapat menguntungkan dalam arti melindungi

dari terjadinya penyakit, namun sebaliknya dapat pula menjadi pemicu

terjadinya infeksi yang berat melalui mekanisme antibody-dependent

enhancement (ADE).

Antibodi anti dengue yang dibentuk umumnya berupa

immunoglobulin IgG dengan aktivasi yang berbeda. Antibodi terhadap

protein E dapat berfungsi baik untuk neutralisasi maupun berperan dalam

8
mekanisme ADE. Antibodi terhadap ptotein NS1 berperan dalam

menghancurkan (lisis) sel yang terinfeksi melalui bantuan komplemen.

Diketahui bahwa antibodi terhadap protein pada virion imatur berperan

dalam mekanisme ADE.

Virus dengue mempunyai empat serotipe yang secara antigenik

berbeda. Infeksi virus dengue primer oleh satu serotipe tertentu dapat

menimbulkan kekebalan yang menetap untuk serotipe bersangkutan

(antibodi homotipik). Pada saat yang bersamaan, sebagai bagian dari

kekebalan silang (cross immunity) akan dibentuk antibodi untuk serotipe

lain (antibodi heterotipik). Apabila kemudian terjadi infeksi oleh serotipe

yang berbeda, maka antibodi heterotipik yang bersifat non atau

subneutralisasi berikatan dengan virus atau partikel tertentu dari virus

serotipe yang baru membentuk kompleks imun. Kompleks imun akan

berikatan dengan reseptor Fcγ yang banyak terdapat terutama pada

monosit dan makrofag, sehingga memudahkan virus menginfeksi sel.

Virus bermultiplikasi di dalam sel dan selanjutnya virus keluar dari sel,

sehingga terjadi viremia. Kompleks imun juga dapat mengaktifkan

kaskade sistem komplemen untuk menghasilkan C3a dan C5a yang

mempunyai dampak langsung terhadap peningkatan permeabilitas vascular

(Sri Rezeki, 2014).

9
Gambar 2.3 Model dari antibody-dependent enhancement (ADE)

C. Respon Imun Selular

Respon imun yang berperan yaitu limfosit T (sel T). sama dengan

respon humoral, respon sel T terhadap infeksi virus dengue dapat

menguntungkan sehingga tidak menimbulkan penyakit atau berupa infeksi

ringan, namun juga sebaliknya dapat terjadi hal yang merugikan bagi

pejamu. Sel T spesifik untuk virus dengue dapat mengenali sel T yang

terinfeksi virus dengue dan menimbulkan respons beragam berupa

proliferasi sel T, menghancurkan sel terinfeksi dengue, serta memproduksi

berbagai sitokin.

Pada infeksi sekunder oleh virus dengue serotipe yang berbeda,

ternyata sel T memori mempunyai aviditas yang lebih besar terhadap

serotipe yang sebelumnya dibandingkan dengan serotipe virus yang baru.

Fenomena ini disebut dengan original antigenic sin. Dengan demikian,

fungsi lisis terhadap virus yang baru tidak optimal, sedangkan produksi

sitokin berlebihan. Sitokin yang dihasilkan sel T pada umumnya berperan

dalam memacu respons inflamasi dan meningkatkan permebilitas sel

endotel vascular (Sri Rezeki, 2014).

D. Mekanis Autoimun

10
Autoantibodi yang dikenal dengan sebutan protein E, NS1 dan

prM, dipercaya bahwa NS1 dihasilkan oleh sel yang terinfeksi dan secara

langsung dapat mengaktivasi faktor komplemen. Antibodi yang dihasilkan

tubuh selama infeksi virus DEN menunjukkan adanya reaksi silang dengan

anti NS1 dan sel endotel, hal ini dapat menyebabkan sel endotel

mengekspresikan nitric oxide (NO) dan mengalami apoptosis (Martina et

all, 2009). Adanya mimikri molekular antara platelet dan sel endotel

dengan NS1 atau prM dari virus dengue akan menjelaskan reaksi silang

yang tejadi pada anti NS1 atau antibodi prM dengan host dan berperan

dalam penyerangan platelet dan sel endotel selama perjalanan penyakit ini.

Akibatnya, pada trombosit terjadi penghancuran sehingga menyebabkan

trombositopenia dan pada sel endotel terjadi peningkatan permeabilitas

yang menyebabkan perembesan plasma (Lange, 2007).

Gambar 2.4 Mekanisme Autoantibodi

2.4 MANIFESTASI KLINIS DAN PERJALANAN PENYAKIT

11
Manifestasi klinis infeksi virus dengue menurut kriteria diagnosis WHO

tahun 2011, dapat bersifat asimtomatik (tanpa gejala nyata) dan simtomatik

(dengan gejala) yang terbagi menjadi, undifferentiated fever, demam dengue

(DD), demam berdarah dengue (DBD), dan Expanded dengue syndrome.

Gambar 2.5 Spektrum klinis infeksi virus dengue (WHO, 2011)

A. Undifferentiated Fever (sindrom infeksi virus)

Bayi, anak-anak dan dewasa yang telah terinfeksi virus dengue,

terutama untuk pertama kalinya (infeksi primer), dapat menunjukkan

manifestasi klinis berupa demam sederhana yang tidak khas, yang sulit

dibedakan dengan demam akibat infeksi virus lain. Ruam maculopapular

dapat menyertai demam atau pada saat penyebuhan. Gejala gangguan

saluran napas dan pencernaan sering ditemukan (Sri Rezeki, 2014).

Sindrom infeksi virus ini akan sembuh sendiri (self limited), namun

dikhawatirkan apabila dikemudian hari terkena infeksi yang kedua,

manifestasi klinis yang diderita akan lebih berat berupa demem dengue,

12
demam berdarah dengue atau expanded dengue syndrome (Sri Rezeki,

2014).

B. Demam Dengue

Gejala klasik dari demam dengue yaitu demam tinggi (39C-40°C)

2-7 hari yang timbul mendadak, terus-menerus, kadang-kadang bifasik

(saddle back fever), malaise, gangguan rasa kecap, nyeri kepala berat,

nyeri belakang bola mata, nyeri otot atau sendi, mual, muntah dan

timbulnya ruam. Ruam berbentuk maculopapular yang biasa timbul pada

awal penyakit (1-2 hari) kemudian menghilang tanpa bekas dan

selanjutnya timbul ruam merah halus pada hari ke-6 atau ke-7 terutama di

daerah kaki, telapak kaki dan tangan. Selain itu, dapat juga ditemukan

petekie. Manifestasi perdarahan pada umumnya sangat ringan berupa uji

tourniquet yang positif (≥10 petekie dalam area 2,8 × 2,8 cm). Pada

beberapa kasus demam dengue dapat terjadi perdarahan masif (Sri Rezeki,

2014).

Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukopenia <4000/mm3

dan trombositopenia (100.000-150.000/mm3), jarang ditemukan jumlah

trombosit kurang dari 50.000/mm3 (Sri Rezeki, 2014).

Lama sakit dan beratnya penyakit bervariasi diantara individu.

Masa konvaslesens berlangsung singkat dan sembuh segera, namun rasa

lemah dan mialgia kadang berlangsung lama. Bradikardia dapat ditemukan

13
pada masa konvalesens. Manifestasi perdarahan berat seperti perdarahan

saluran cerna, epitaksis massif, hipermenore jarang seklai ditemukan,

namun apabila ditemukan dapat menyebabkan kematian terutama pada

anak. Demam dengue yang disertai perdarahan harus dibedakan dengan

demam berdarah dengue. Pada penderita demem dengue tidak dijumpai

kebocoran plasma yang dibuktikan dengan adanya hemokonsentrasi, efusi

pleura dan asites (Sri Rezeki, 2014).

C. Demam Berdarah Dengue

Manifestasi klinis DBD dimulai dengan demam tinggi, mendadak,

continue, kadang bifasik, berlangsung antara 2-7 hari disertai dengan

muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, nyeri kepala, mual muntah,

nyeri didaerah subcostal kanan kadang disertai nyeri menelan dengan

faring hiperemis. Demam dapat mencapai suhu 40°C dan dapat disertai

kejang demam (Sri Rezeki, 2014).

Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji touniquet positif,

ptekie spontan yang dapat di temukan di daerah ekstremitas, aksila, wajah

dan palatum mole. Epistaksis dan perdarahan gusi dapat ditemuka, kadang

disertai dengan perdarahan ringan saluran cerna. Ruam maculopapular

atau rubeliformis dapat ditemukan pada fase awal sakit, namun

berlangsung singkat sehingga sering luput dari pengamatan orang tua.

Ruam konvalesens seperti pada demam dengue dapat ditemukan pada

masa penyembuhan. Hematomegali ditemukan sejak fase demam, dengan

pembesaran yang bervariasi antara 2-4 cm bawah arkus kosta dan lebih

sering ditemukan pada DBD dengan syok (Sri Rezeki, 2014).

14
Pada DBD terjadi kebocoran plasma yang secara klinis berbentuk

efusi pleura, apabila kebocoran plasma lebih berat dapat ditemukan asites.

Pemeriksaan rontgen foto dada posisi lateral decubitus kanan, efusi

pleuraterutama di hemithoraks kanan merupakan temuan yang sering

dijumpai. Derajat luasnya efusi pleura seiring dengan beratnya penyakit.

Pemeriksaan ultrasonografi dapat dipakai untuk menemukan asites dan

efusi pleura. Peningkatan nilai hematocrit (≥20% dari data dasar) dan

penurunan kadar protein plasma terutama albumin serum (>0,5 g/dL dari

data dasar) merupakan tanda indirek kebocoran plasma. Kebocora plasma

yang berat menimbulkan berkurangnya volume yang dikenal sebagai

sindrom syok dengue (SSD) yang memperburuk prognosis (Sri Rezeki,

2014).

Grade Tanda dan Gejala

I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi

perdarahan adalah uji bendung

II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan dikulit dan atau

perdarahan lain

III Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat,

tekanan nadi menurun (20mmHg atau kurang) atau hipotensi,

sianosis di sekitar mulut, kulit dingin, lembab dan anak tampak

gelisah

IV Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan

15
darah tidak teratur

Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada setiap

derajat sudah ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi) (Abdul, L,

2016) :

Manifestasi klinis DBD terdiri dari :

1) Fase Demam

Pada kasus ringan semua tanda dan gejala sembuh seiring dengan

menghilangnya demam. Penurunan demam terjadi secara lisis, artinya

suhu tubuh menurun segera, tidak secara bertahap. Menghilangnya

demam dapat disertai berkeringat dan perubahan pada laju nadi dan

tekanan darah, hal ini merupakan gangguan ringan system sirkulasi

akibat kebocoran plasma yang tidak berat. Pada kasus sedang sampai

berat terjadi kebocoran plasma yang bermakna sehingga akan

menimbulkan hipovolemi dan bila berat menimbulkan syok dengan

mortalitas yang tinggi (Sri Rezeki, 2014).

2) Fase Kritis (fase syok)

Terjadi pada saat demam turun, terjadi puncak kebocoran plasma

sehingga pasien mengalami syok hipovolemik. Kewaspadaan dalam

mengantisipasi kemungkinan terjadinya syok yaitu dengan mengenal

tanda dan gejala yang mendahului syok (warning sign). Warning sign

umumnya terjadi menjelang akhir fase demam, yaitu antara hari sakit

16
ke 3-7. Nyeri perut, muntah yang menetap, gelisah, letargi,

pembesaran liver, perdarahan mukosa, akumulasi cairan.

Penurunan jumlah trombosit yang cepat dan progesif menjadi

dibawah 100.000 sel/mm3 serta kenaikan hematokrit di atas data dasar

merupakan tanda awal perembesan plasma yang umumnya

berlangsung selama 24-48 jam. Peningkatan hematocrit mendahului

perubahan tekanan darah serta volume nadi, oleh karena itu

pengukuran hematocrit berkala sangat penting, apabila makin

meningkat berarti kebutuhan cairan intravena untuk mempertahankan

volume intravascular bertambah, sehingga pergantian cairan yang

adekuat dapat mencegah syok hipovolemik (Sri Rezeki, 2014).

Bila syok terjadi, mula-mula tubuh melakukan kompensasi (syok

terkompensasi) yaitu takikardi, takipneu, tekanan nadi < 20 mmHg,

CRT > 2 detik, kulit dingin, produksi urin menurun (<1ml/KgBB/jam)

dan anak gelisah, namun apabila mekanisme tersebut tidak berhasil

pasien akan jatuh ke dalam syok dekompensasi yang dapat berupa

takikardi, hipotensi, nadi cepat dan kecil, pernafasan kusmaul,

sianosis, kulit lembab dan dingin, profunda syok. Perdarahan hebat

yang terjadi menyebabkan penurunan hematocrit dan jumlah leukosit

yang semula leukopenia dapat meningkat sebagai respons stress pada

pasien dengan perdarahan hebat. Beberapa pasien masuk fase kritis

perembesan plasma dan kemudian mengalami syok sebelum demam

turun, pada pasien tersebut peningkatan hematocrit serta

trombositopenia terjadi sangat cepat. Pada pasien DBD baik disertai

17
syok atau tidak dapat terjadi keterlibatan organ misalnya, hepatitis

berat, ensefalitis, miokarditis, dan/atau perdarahan hebat, yang dikenal

sebagai expanded dengue syndrome (Sri Rezeki, 2014).

3) Fase Penyembuhan (fase konvalesens)

Terjadi reabsorbsi cairan dari ruang ekstravaskular ke dalam ruang

intravaskular yang berlangsung secara bertahap pada 48-72 jam

berikutnya. Keadaan umum dan nafsu makan membaik, gejala

gastrointestinal mereda, status hemodinamik stabil dan diuresis

menyusul kemudian. Baridikardia dan perubahan elektrokardiografi

pada umumnya terjadi pada fase ini. Hematocrit kembali stabil atau

mungkin lebih rendah karena efek dilusi cairan yang direabsorbsi.

Jumlah leukosit mulai meningkat segera setelah penurunan suhu tubuh,

akan tetapi pemulihan jumlah trombosit umumnya lebih lambat.

Gangguan pernafasan akibat efusi pleura massif dan asites, edema paru

atau gagal jantung kongestif akan terjadi selama fase kritis dan/atau

fase pemulihan jika cairan intravena diberikan berlebihan (Sri Rezeki,

2014).

18
Gambar 2.6 Perjalanan klinis infeksi dengue

D. Expanded Dengue Syndrome

Semakin banyak kasus infeksi dengue dengan manifestasi yang

tidak lazim/jarang yang dilaporkan dari berbagai negara termasuk

Indonesia, kasus ini disebut dengan expanded dengue syndrome (EDS).

Manifestasi klinis tersebut berupa keterlibatan organ seperti hati, ginjal,

otak, maupun jantung yang berhubungan dengan infeksi dengue dengan

atau tidak ditemukannya tanda kebocoran plasma. Manifestasi yang jarang

ini terutama disebabkan kondisi syok yang berkepanjangan dan berlanjut

menjadi gagal organ atau pasien dengan komorbiditas atau ko-infeksi.

Maka dapat disimpulkan bahwa EDS dapat berupa penyulit infeksi dengue

(kelebihan cairan dan gangguan elektrolit) dan manifestasi klinis yan tidak

lazim (ensefalopati dengue atau ensefalitis, perdarahan hebat, infeksi

ganda, kelainan ginjal dan miokarditis) (Sri Rezeki, 2014).

2.5 DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis infeksi dengue dibagi menjadi kriteria diagnosis klinis

dan kriteria diagnosis laboratoris. Kriteria diagnosis klinis penting dalam

penapisan kasus, tata laksana kasus, memperkirakan prognosis kasus, dan

surveilans. Kriteria diagnosis laboratoris yaitu kriteria diagnosis dengan

19
konfirmasi laboratorium yang penting dalam pelaporan, surveilans, penelitian dan

langkah-langkah tindakan preventif dan promotif.

A. Kriteria Diagnosis Klinis


1) Demam Dengue
Demam tinggi mendadak (biasanya ≥ 39º) ditambah 2 atau lebih

gejala/tanda penyerta:

a. Nyeri kepala

b. Nyeri belakang bola mata

c. Nyeri otot & tulang

d. Ruam kulit

e. Manifestasi perdarahan

f. Leukopenia (Lekosit ≤ 4000 /mm³)

g. Trombositopenia (Trombosit < 100.000 /mm³ )

2) Demam Berdarah Dengue (DBD)

Diagnosis DBD dapat ditegakkan bila ditemukan demam disertai

dengan dua atau lebih manifestasi klinis manifestasi berikut:

a. Demam 2–7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus

b. Adanya manifestasi perdarahan baik yang spontan seperti petekie,

purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan

atau melena; maupun berupa uji tourniquet positif.

c. Nyeri kepala, myalgia, atralgia, nyeri retroorbital

d. Trombositopnia (Trombosit ≤ 100.000/mm³).

e. Hepatomegali

20
f. Adanya kebocoran plasma (plasma leakage) akibat dari

peningkatan permeabilitas vaskular yang ditandai salah satu atau

lebih tanda berikut:

a) Peningkatan hematokrit/hemokonsentrasi ≥ 20% dari nilai

baseline atau penurunan sebesar itu pada fase konvalesens.

b) Efusi pleura, asites atau hipoproteinemia/ hipoalbuminemia.

Tanda bahaya (warning sign) untuk mengantisipasi kemungkinan

terjadinya syok pada penderita DBD sebagai berikut :

a. Klinis

1) Demam turun tetapi keadaan anak memburuk

2) Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen

3) Muntah persisten

4) Letargi, gelisah

5) Perdarahaan mukosa

6) Pembesaran hati

7) Akumulasi cairan

8) Oliguria

b. Laboratorium

1) Peningkatan kadar hematokrit bersamaan dengan

penurunan cepat jumlah trombosit

2) Hematokrit awal tinggi

Demam Berdarah Dengue dengan syok (SSD) di diagnosa dengan

memenuhi kriteria Demam Berdarah Dengue dan ditemukan adanya tanda

21
dan gejala syok hipovolemik baik yang terkompensasi maupun yang

dekompensasi.

a. Tanda dan gejala syok terkompensasi

1) Takikardia

2) Takipnea

3) Tekanan nadi (perbedaan antara sistolik dan diastolik) 2

detik

4) Kulit dingin

5) Produksi urin (urine output) menurun

6) Anak gelisah

b. Tanda dan gejala syok dekompensasi

1) Takikardia

2) Hipotensi (sistolik dan diastolik turun)

3) Nadi cepat dan kecil

4) Pernapasan Kusmaull atau hiperpnoe

5) Sianosis

6) Kulit lembap dan dingin

7) Profound shock: nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak

terukur.

3) Expanded Dengue Syndrome (EDS)

Memenuhi kriteria Demam Dengue atau Demam Berdarah Dengue

baik yang disertai syok maupun tidak, dengan manifestasi klinis

komplikasi infeksi virus dengue atau dengan manifestasi klinis yang

tidak biasa, seperti tanda dan gejala:

22
a. Kelebihan cairan

b. Gangguan elektrolit

c. Ensefalopati

d. Ensefalitis

e. Perdarahan hebat

f. Gagal ginjal akut

g. Haemolytic Uremic Syndrome

h. Gangguan jantung: gangguan konduksi, miokarditis, perikarditis

i. Infeksi ganda (Sri Rezeki, 2014).

B. Kriteria Diagnosis Laboratoris

Kriteria Diagnosis Laboratoris infeksi dengue baik demam dengue,

demam berdarah dengue maupun expanded dengue syndrom terdiri atas:

1. Probable, apabila diagnosis klinis diperkuat oleh hasil pemeriksaan

serologi antidengue (deteksi antibodi) serum tunggal dan/atau

penderita bertempat tinggal/ pernah berkunjung ke daerah endemis

DBD dalam kurun waktu masa inkubasi.

2. Confirmed, apabila diagnosis klinis diperkuat dengan sekurang

kurangnya salah satu pemeriksaan berikut:

a) Isolasi virus Dengue dari serum atau sampel otopsi.

b) Pemeriksaan HI Test dimana terdapat peningkatan titer antibodi 4

kali pada pasangan serum akut dan konvalesen atau peningkatan

antibodi IgM spesifik untuk virus dengue.

c) Positif antigen virus Dengue pada pemeriksaan otopsi jaringan,

serum atau cairan serebrospinal (LCS) dengan metode

23
immunohistochemistry, immunofluoressence atau serokonversi

pemeriksaan IgG dan IgM (dari negatif menjadi positif) pada

pemeriksaan serologi berpasangan (ELISA).

d) Positif pemeriksaan antigen dengue dengan Polymerase Chain

Reaction (PCR) atau pemeriksaan NS1 dengue. Pemeriksaan NS1

antigen virus dengue yaitu suatu glikoprotein yang diproduksi oleh

semua flavivirus yang penting bagi kehidupan dan replica virus.

Protein ini dapat dideteksi sejalan dengan viremia yaitu sejak hari

pertama demam dan menghilang setelah 5 hari (Kemenkes, 2017).

Gambar 2.7 Kinetik NS1 antigen dengue dan IgM serta IgG anti
dengue pada infeksi primer dan sekunder

2.6 PENATALAKSANAAN

Pada dasarnya pengobatan infeksi dengue bersifat simtomatis dan suportif,

yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan

permeabilitas kapiler dan sebagai akibat pendarahan. Pada pasien dengan demam

tinggi, terus-menerus, kurang dari 7 hari yang disertai nyeri kepala, nyeri

retroorbital, myalgia, atralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan baik spontan

maupun hasil uji Tourniquette, jumlah leukosit kurang dari 4.000/mm 3 tanpa atau

dengan jumlah trombosit yang menurun dan apalagi bila diketahui ada kasus

24
dengue di lingkungan tempat tinggal atau di sekolah, maka harus dicurigai pasien

tersebut menderita infeksi dengue.

Pasien infeksi virus dengue yang berobat ke sarana kesehatan dapat

bermanifestasi sebagai demam dengue, demam berdarah dengue, demam berdarah

dengue dengan syok atau expanded dengue syndrome. Oleh karena itu pada

pasien tersangka infeksi virus dengue harus diteliti pasien mana yang bias

dilakukan pengobatan rawat jalan dan pasien mana yang harus menjalani rawat

inap.

Tersangka Infeksi Virus Dengue


Demam 2-7 hari mendadak tinggi continue, nyeri kepala,
myalgia, atralgia, nyeri retroorbital, manifestasi perdarahan,
leukosit <4.000/mm3 dan kasus DBD di lingkungan

Ada Kegawatan Tidak Ada Kegawatan


Tanda syok,
muntah terus
menerus, kejang, Uji Bendung (+) Uji Bendung (-)
kesadaran
menurun, muntah
darah, melena
Jumlah trombosit Rawat Jalan
Jumlah trombosit
Rawat Inap <100.000/µl >100.000/µl Parasetamol

Rawat Jalan Demam menetap ≥ 3 hari

Nilai tanda klinis


Uji bendung
Periksa Hb, Ht, trombosit

Hb dan Ht naik
Trombosit turun

Segera bawa ke
RS

25
A. Tatalaksana Demam Denguep

Pasien demam dengue yang tidak memiliki komorbiditas dan

indikasi sosial, diperlukan sebagai pasien rawat jalan. Pasien diberi

pengobatan simtomatik berupa antipiretik seperti parasetamol dengan

dosis 10 mg/kgBB/kali yang dapat diulang setiap 4-6 jam bila demam

dengan suhu >38°C, hindari pemberian aspirin/NSAID/ibuprofen. Upaya

menurunkan demam dengan metode fisik seperti kompres diperbolehkan,

yang dianjurkan adalah dengan cara “kompres hangat”. Anak dianjurkan

istirahat atau tirah baring, cukup minum (1-2 liter/hari), boleh air putih

atapun susu, jus buah, cairan elektrolit atau air tajin. Cukup minum

ditandai dengan frekuensi buang air kecil setiap 4-6 jam (Sri Rezeki,

2014).

Pasien diharuskan untuk kembali berobat (kontrol) hal ini

mengingat tanda dan gejala yang karakteristik baru timbul setelah

beberapa hari kemudian. Oleh karena iu, pada pasien dengan diagnosis

klinis DD yang ditegakkan pada saat masuk, baik yang kemudian

diperlakukan sebagai pasien rawat jalan maupun rawat inap, masih

memerlukan evaluasi lebih lanjut apakah hanya DD atau merupakan DBD

fase awal. Sehingga orang tua diminta untuk memantau kondisi anak, bila

ditemukan tanda bahaya (warning sign) harus segera kembali ke rumah

sakit tanpa harus menunggu keesokan harinya (Sri Rezeki, 2014).

Apabila cairan intravena dijadikan pilihan terapi, maka dikenal

formula untuk memenuhi cairan rumatan yaitu formula HallidaySegar

dengan rincian sebagai berikut :

26
Berat Badan (Kg) Cairan Rumatan (Volume)/24 jam
10 100 × BB / 24 jam
10-20 1000 + (BB sisa × 50)/24 jam
>20 1500 + (BB sisa × 20)/24 jam

Untuk cairan rumatan ini dapat diberikan solution D5 ½ Saline untuk anak
usia >3 tahun atau D5 ¼ Salin untuk penderita usia ≤ 3 tahun (Ismoedijanto dkk,
2004).

B. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue

Pengobatan DBD bersifat simtomatis dan suportif, terapi suportif

berupa penggantian cairan yang merupakan pokok utama dalam

tatalaksana DBD. Berbeda dengan DD, DBD terjadi kebocoran plasma

yang apabila cukup banyak maka akan menimbulkan syok hipovolemi

(sindrom syok dengue) dengan mortalitas yang tinggi. Dengan demikian

penggantian cairan ditujukan untuk mencegah timbulnya syok (Sri Rezeki,

2014).

Berikut algoritma pemberian cairan pada penderita Demam

Berdarah Dengue :

27
Gambar 2.8 Algoritma Pemberian Cairan DBD Derajat I/II

Gambar 2.9 Algoritma Pemberian Cairan DBD Derajat III

28
Gambar 2.10 Algoritma Pemberian Cairan DBD Derajat IV

1) Tatalaksana DBD Tanpa Syok

a. Fase Demam

Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana

DD, bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral

untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat

diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut

yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan.

Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan

bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada DBD.

b. Fase Kritis

Penggantian Volume Plasma. Dasar patogenesis DBD adalah

perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan suhu (fase afebris,

fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian

volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan

harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan

awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok

mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan berikutnya harus

selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit, dan jumlah

volume urin. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah jumlah

cairan rumatan ditambah 5-8%. Cairan intravena diperlukan, apabila :

29
a) Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam

tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum per oral,

ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat

terjadinya syok.

b) Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan

berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari

derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan

cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCI 0,45%. Bila

terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46%, 1-2

ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan. Pada saat pasien

datang, berikan cairan kristaloid/ NaCI 0,9% atau dekstrosa

5% dalam ringer laktat/NaCI 0,9%, 6-7 ml/kgBB/jam.

Monitor tanda vital, diuresis setiap jam dan hematokrit

serta trombosit setiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12-24

jam. Apabila selama observasi keadaan umum membaik

yaitu anak nampak tenang, tekanan nadi kuat, tekanan

darah stabil, diuresis cukup, dan kadar Ht cenderung turun

minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut, maka

tetesan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila dalam

observasi selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan

dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam dan akhirnya cairan

dihentikan setelah 24-48 jam (Kemenkes, 2017).

2) Tatalaksana DBD Dengan Syok

a. Pemberian Oksigen

30
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada

semua pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan

mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak

seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.

b. Penggantian Volume Plasma Segera

Cairan resusitasi awal adalah larutan kristaloid 20 ml/kgBB

secara intravena dalam 30 menit. Pada anak dengan berat badan

lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal dan umur, bila tidak ada

perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid.

Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit, berikan cairan

koloid 10-20 ml/kg BB secepatnya dalam 30 menit. Pada

umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30ml/kgBB/hari atau

maksimal pemberian koloid 1500ml/hari, dan sebaiknya tidak

diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian cairan resusitasi

kristaloid dan koloid, syok masih menetap sedangkan kadar

hematokrit turun, maka pikirkan adanya perdarahan internal. Maka

dianjurkan pemberian transfusi darah segar/ komponen sel darah

merah. Apabila nilai hematokrit tetap tinggi, maka berikan darah

dalam volume kecil (10ml/kgBB/jam) dapat diulang sampai

30ml/kgBB/24jam, Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus

dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dan kadar hematokrit

(Kemenkes, 2017).

C. Tatalaksana Expanded Dengue Syndrome

1) Tatalaksana kelebihan cairan (volume overload)

31
 Pada keadaan kelebihan cairan perlu dinilai keadaan klinis,

dihitung kembali cairan yang telah diberikan, dan cek A-B-C-S

(Acidosis-Bleeding-Calcium-Sugar) apakah telah dikoreksi.

 Turunkan jumlah cairan menjadi 1 mL/kgBB/ jam, bila tersedia

cairan koloid, ganti kristaloid dengan cairan koloid.

 Pada stadium lanjut dengan ditemukannya tanda edema paru,

furosemid 1 mg/kgBB/dosis segera diberikan bila tekanan

darah stabil serta kadar ureum dan kreatinin normal. Setelah

pemberian furosemid perlu dipantau setiap 15 menit untuk

menilai keberhasilan pengobatan.

 Ukur volume diuresis melalui kateter urin.

 Apabila tidak ada perbaikan setelah pemberian furosemid,

periksa status volume intravaskular (pemantauan CVP).

Apabila volume intravascular baik, pemberian furosemid dapat

diulang untuk kedua kalinya dengan dosis ganda. Namun

apabila masih terjadi oliguria maka harus segera dilakukan

dialisis, berarti pasien dalam keadaan gagal ginjal akut,

keadaan ini mempunyai prognosis yang buruk. Apabila volume

intravaskular tidak adekuat maka cek A-B-C-S dan koreksi

gangguan keseimbangan elektrolit (Sri Rezeki, 2004).

2) Tatalaksana Gangguan Elektrolit


Gangguan elektrolit sering terjadi selama fase kritis dan

tersering yaitu hiponatremia dan hipokalsemia. Sedangkan

hipokalemia sering pada fase konvalesens. Hiponatremia terjadi

32
sebagai akibat dari pemberian cairan hipotonis yang tidak adekuat.

Apabila ada kejang diberikan Natrium 3%, apabila tidak ada kejang

cukup diberikan cairan dekstrose 5%-NaCl 0,9%.

Hipokalsemia disebabkan perembesan kalsium yang mengikuti

albumin masuk ke cairan pleura atau peritoneal. Direkomendasikan

diberikan kalsium glukonas 10% dengan dosis 1 mL/kgBB/dosis

(maksimum 10 mL) diencerkan dengan aquadest, diberikan setiap 6

jam hanya untuk kasus SSD dekompensasi atau pasien dengan

kelebihan cairan. Tidak diperlukan pemberian kalsium untuk kasus

dengue tanpa komplikasi dan tanpa gejala (Sri, Rezeki, 2004).

3) Tatalaksana Ensefalopati

 Mempertahankan oksigenasi dengan pemberian oksigen.

 Mencegah/mengurangi tekanan intrakranial dengan cara sebagai

berikut:

- Berikan cairan intravena dengan volume yang dibatasi (restriksi),

tidak lebih dari 80% kebutuhan rumatan.

- Ganti lebih cepat ke cairan koloid apabila hematokrit masih tetap

tinggi.

- Pemberian diuretik segera pada kasus kelebihan cairan.

- Posisi pasien dalam keadaan lebih tegak, posisi kepala 30 derajat

lebih tinggi dari tubuh.

- Intubasi dini bila diperlukan untuk mencegah hiperkarbia dan

mempertahankan jalan napas.

33
- Steroid 0,15 mg/kgBB/dosis intravena diberikan setiap 6–8 jam,

untuk mengurangi tekanan intrakranial (apabila tidak ada

perdarahan ) .

 Mengurangi produksi amoniak berikan laktulosa 5–10 mL setiap 6

jam.

 Koreksi gangguan asam basa, ketidakseimbangan elektrolit

(hipo/hipernatremia, hipo/hiperkalemia, hipokalsemia), dan

asidois. Vitamin K1 intravena 3 mg untuk umur 5 tahun atau

dewasa.

 Antikonvulsi diberikan untuk mengatasi kejang: fenobarbital,

dilantin, atau diazepam intravena.

 Transfusi darah, bila diperlukan, sebaiknya fresh red packed cell.

Komponen darah yang lain seperti suspensi trombosit dan FFP

tidak dianjurkan karena menyebabkan kelebihan cairan dan

meningkatkan tekanan intrakranial.

 Terapi antibiotik empiris dianjurkan apabila dicurigai terjadi

infeksi bakteri sekunder.

 Hindari pemberian obat-obatan yang tidak diperlukan oleh karena

pada umumnya obat dimetabolisme di dalam hati.

 Plasmapheresis, hemodialisis atau renal replacement therapy

diberikan pada pasien dengan gangguan ginjal.

4) Tatalaksana Perdarahan Masif

 Apabila sumber perdarahan tampak secara klinis, segera

lakukan tindakan untuk menghentikannya, misalnya mimisan

34
berat dapat dihentikan dengan tampon nasal. Tranfusi darah

harus segera diberikan, apabila kadar hematokrit menurun.

Apabila volume darah yang keluar dapat diukur maka ganti

dengan volume yang sama. Namun, apabila sulit diukur berikan

darah segar 10 mL/kgBB atau 5 mL/kgBB fresh packed red

cell, kemudian diperiksa ulang 3 jam pasca transfusi untuk

menentukan apakah diperlukan transfusi lagi atau tidak.

 Pada perdarahan gastrointestinal, pemberian H2 antagonis dan

proton pump inhibitor, kurang efektif.

 Tidak ada bukti nyata khasiat pemberian komponen darah

seperti suspensi trombosit, fresh frozen plasma, atau

cryoprecipitate, malah dapat menyebabkan sindrom kelebihan

cairan.

 Pemberian rekombinan faktor VII pada sebagian kasus dengan

perdarahan masif tanpa gagal organ memberi hasil baik, namun

selain harganya sangat mahal juga sulit didapat (Sri Rezeki,

2014).

2.7 KOMPLIKASI

A. Kelebihan Cairan (fluid overload)

Kelebihan cairan dapat ditemukan saat fase kritis dan fase

konvalesens. Penyulit ini meruapakan hal yang serius oleh karena

dapat menyebabkan edema paru atau gagal jantung yang akan

menyebabkan gagal napas dan kematian. Untuk mencegah komplikasi

tersebut, harus dilakukan monitor ketat dengan memantau pemberian

35
cairan intravena dari minimal sampai rumatan. Edema paru adalah

komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan

yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai

kelima sesuai panduan yang diberikan, pada umumnya tidak akan

menyebabkan edem aparu oleh karena perembesan plasma masih

terjadi. Pada fase penyembuhan edema paru dapat terjadi karena pada

fase ini terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular,

sedangkan volume pemberian intravena tidak disesuaikan. Maka

pasien akan mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada

kelompak mata, dan dijumpai gambaran edema paru pada foto dada.

Kelebihan cairan pada umumnya terjadi karena hanya melihat nilai

kadar hemoglobin dan hematocrit tanpa memperhatikan hari sakit (Sri

Rezeki, 2014).

B. Gangguan elektrolit

Gangguan elektrolit sering terjadi selama fase kritis yaitu

hyponatremia dan hipokalsemia, sedangkan hypokalemia lebih

sering pada fase konvalesens.

 Hiponatremia terjadi sebagai akibat dari pemberian cairan infus

larutan hipotonis yang tidak adekuat.

 Hipokalsemia sebagai akibat perembesan kalsium mengikuti

albumin masuk ke rongga pleura atau peritoneal.

 Hypokalemia disebakan adanya kondisi stress dan pemberian

diuretic.

C. Perdarahan massif (massive bleeding)

36
Perdarahan pada infeksi dengue dapat ringan sampai berat

yang kadang memerlukan perwatan kedaruratan. Perdarahan hebat

umumnya akibat KID dan gagal multiorgan seperti disfungsi hati dan

ginjal, hipoksia yang berhubungan dengan syok yang berat dan

berkepanjangan, asidosis metabolic yang disertai dengan

trombositopenia. Adanya aktivasi koagulasi yang luas menyebakan

pembentukan fibrin intravascular dna oklusi pembuluh darah kecil

yang mengakibatkan timbulnya thrombosis. Peningkatan

penggunaan trombosit pada KID menyebakan makin menurunnya

jumlah trombosit dan factor pembekuan darah sehingga memicu

perdarahan berat (Sri Rezeki, 2014).

D. Ensefalopati-Ensefalitis dengue

Kejang dan demam terjadi pada keadaan syok berat atau

syok yang berkepanjangan dengan perdarahan, tetapi juga dapat

terjadi pada DBD yang tidak disertai syok yang disebakan oleh

peradangan otak (ensefalitis) atau ensefalopati. Kedua keadaan ini

harus dipertimbangkan apabila pasien mengalami demam 2-7 hari

disertai adanya penurunan kesadaran dan atau kejang, terutama

apabila pasien berasal dari daerah endemis dengue. Ensefalitis telah

dilaporkan dalam sejumlah seri kasus dengue, diduga virus dengue

dapat menembus sawar darah otak. Hal ini dibuktikan dengan

banyak peniliti yang berhasil mengisolasi virus dengue dari cairan

serebrospinal atau dari jaringan otak dalam beberapa tahun terakhir

ini (Sri Rezeki, 2014).

37
2.8 PROGNOSIS

Demam Dengue mempunyai sifat self-limiting disease, yaitu akan

sembuh dengan sendirinya dengan penanganan dan perawatan yang baik

serta kondisi tubuh yang cukup sehat untuk melawan virus dengue ini.

Namun, bila Demam Dengue ini berlanjut menjadi Demam Berdarah

Dengue maka memerlukan perawatan khusus di rumah sakit, dengan

tujuan menyembuhkan sakitnya dan mencegah terjadinya syok atau

syndrome syok dengue (DSS). Oleh karena itu, prognosis demam dengue

umumnya baik, dengan angka mortalitas kurang dari 1%, namun apabila

terjadi syok maka angka mortalitas bias lebih buruk.

38
BAB III

KESIMPULAN

Infeksi virus dengu merupakan penyakit arboviral yang paling banyak

tersebar di dunia. Infeksi virus dengue disebabkan oleh infeksi 1 dari 4 serotipe

virus dengue, yaitu: DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Virus dengue ditularkan ke

manusia melalui gigitan nyamuk Aedes betina yang terinfeksi. Nyamuk biasanya

mendapatkan virus ini saat menghisap darah orang yang terinfeksi virus dengue.

Manifestasi klinis infeksi virus dengue menurut kriteria diagnosis WHO tahun

2011, dapat bersifat asimtomatik (tanpa gejala nyata) dan simtomatik (dengan

gejala) yang terbagi menjadi, undifferentiated fever, demam dengue (DD), demam

berdarah dengue (DBD), dan Expanded dengue syndrome.

Kriteria diagnosis infeksi dengue dibagi menjadi kriteria diagnosis klinis

dan kriteria diagnosis laboratoris. Kriteria diagnosis klinis penting dalam

penapisan kasus, tata laksana kasus, memperkirakan prognosis kasus, dan

surveilans. Kriteria diagnosis laboratoris yaitu kriteria diagnosis dengan

konfirmasi laboratorium yang penting dalam pelaporan, surveilans, penelitian dan

langkah-langkah tindakan preventif dan promotif.

39
Pada dasarnya pengobatan infeksi dengue bersifat simtomatis dan suportif,

yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan

permeabilitas kapiler dan sebagai akibat pendarahan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul, L., Agus, F., dkk. 2016. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit. Jakarta : WHO Indonesia

Ismoedijanto, Parwati, S.dkk. 2004. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu


Kesehatan Anak. Surabaya : Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Profil Kesehatan Indonesia


tahun 2016. Jakarta : Kemenkes RI.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Pedoman Pencegahan dan


Pengendalian Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Jakarta : Kemenkes RI.

Sri Rezeki H, dkk. 2004. Tatalaksana Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue.


Jakarta : Departemen Kesehatan RI

Sri Rezeki H, dkk. 2014. Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Virus
Dengue pada Anak. Jakarta : IDAI

40

Anda mungkin juga menyukai