PENDAHULUAN
A.LatarBelakang
Suatu pengajaran yang hanya mengutamakan prinsip individual tidak akan
menguntungkan siswa maupun masyarakat. Kehidupan sebagian besar siswa
dipengaruhi oleh orang lain maupun teman-temannya. Di mana ada orang hidup
bersama-sama, tentu di sana ada kontak sosial. Hubungan sosial antara sesama
manusia merupakan suatu keharusan, sebab dengan kontak sosial orang akan dapat
mengembangkan kepribadiannya dengan lebih sempurna. Dengan kegiatan-kegiatan
ini maka dalam setiap kegiatan mengajar guru dituntut agar sanggup menciptakan
suasana sosial yang membangkitkan kerja sama diantara para siswa dalam
mewujudkan materi pelajaransupaya dapat diserap lebih efektif dan efisien.
Kerja sama antar para siswa sejatinya telah menjadi tuntutan kurikulum
pendidikan, termasuk Kurikulum. Disadari atau tidak, Kurikulum menghadirkan
tantangan baru bagi dunia pendidikan di Indonesia. Perubahan orientasi pendidikan
dengan menempatkan siswa sebagai pusat perhatian menuntut para guru untuk
lebih kreatif dalam mengelola kegiatan pembelajaran. Guru dituntut mampu
menggeser penekanan kegiatan pembelajaran dari “ apa bahan yang akan dipelajari
siswa ” ke “ bagaimana membelajarkan kompetensi dan memperkaya pengalaman
belajar”.
Dalam pembelajaran Sosiologi misalnya, pembelajaran ditekankan pada
pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa
mampu menjelajahi dan memahami lingkungan sekitarnya secara ilmiah. Pendidikan
Sosiologi diarahkan untuk “mencari tahu” dan “berbuat” sehingga dapat membantu
siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang diri sendiri dan
lingkungan sekitarnya. Selanjutnya siswa diharapkan dapat mengembangkan dan
menerapkan pemahaman tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
Salah satu cara untuk mengembangkan sikap sosial siswa khususnya dalam
pelajaran Sosiologi dapat ditempuh dengan menggunakan pendekatan CONTEXTUAL
TEACHING LEARNING dalam kegiatan pembelajaran. Menurut Santyasa,
pembelajaran ini dapat menyediakan peluang untuk menuju pada kesuksesan
praktek-praktek pembelajaran. Sebagai teknologi untuk pembelajaran (technology
for instruction), pembelajaran ini melibatkan partisipasi aktif para siswa dan
meminimisasi perbedaan-perbedaan antar individu.
Dengan melihat kondisi yang ada di lingkungan SMA 6 Muhammadyah
Makassar yang pada dasarnya tidak ada masalah dalam sarana belajar, keadaan
siswa yang kurang antusias dalam mengikuti pelajaran Sosiologi perlu dicarikan
solusi-solusi terutama metode-metode mengajar yang dapat meningkatkan aktifitas
dan hasil belajar siswa. Berdasarkan pengamatan peneliti selama mengasuh
pelajaran Sosiologi, tampak bahwa para siswa memang “kurang bergairah” dalam
belajar Sosiologi. Akibatnya yaitu mereka kurang mampu untuk memecahkan soal-
soal Sosiologi sehingga hasil belajarnya pun kurang memuaskan.
Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi permasalahan tersebut
yakni dengan menggunakan pendekatan contextual teaching learning dalam
pembelajaran Sosiologi . Langkah-langkah pembelajaran CONTEXTUAL TEACHING
LEARNING adalah sebagai berikut:
(1) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara
bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengkonstruksikan sendiri pengetahuan
dan keterampilan barunya .
(2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.
(3) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
(4) Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok).
(5) Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
(6) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
Dengan cara ini diharapkan para siswa diharapkan akan lebih aktif dalam
belajarnya sehingga hasil belajar Sosiologi merekapun akan dapat ditingkatkan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dalam penelitian tindakan kelas ini dicoba untuk
menerapkan pendekatan contextual teaching learning dalam rangka meningkatkan
aktivitas dan hasil belajar Sosiologi para siswa kelas 1 SMA 6 MUHAMMADYAH.
Dengan metode ini diharapkan akan terjadi interaksi antar siswa sehingga mereka
bisa lebih bergairah dan antusias dalam mengikuti pelajaran Sosiologi yang akan
bermuara pada peningkatan penguasaan konsep-konse Sosiologi.
B. Rumusan Masalah dan Pemecahan Masalah
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: “apakah pendekatan Contextual Teaching Learning dapat
meningkatkan motivasi belajar pokok bahasan nilai dan norma sosial pada siswa kelas I
SMA 6 Muhammadyah ?
2. Pemecahan masalah
B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah untuk meningkatkan
motivasi belajar tentang Nilai dan Norma Sosial melalui pendekatan Contextual Teaching
Learning(CTL).
1. Sebagai bahan masukan bagi guru-guru bidang studi sosiologi tentang manfaat
pendekatan Contextual Teaching Learning yang dapat meningkatkan motivasi belajar.
2. Memberikan sumbangan teoretis terhadap perbendaharaan ilmu pengetahuan
khususnya dalam meningkatkan mutu pendidikan.
3. Menjadi bahan informasi bagi peneliti dimasa yang akan datang untuk
mengkaji variabel-variabel lain yang berkaitan dengan peningkatan motivasi belajar
siswa.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, HIPOTESIS TINDAKAN
A. Kajian Pustaka
1. Pengertian Belajar
Belajar adalah suatu proses yang di tandai dengan adanya perubahan pada diri
seseorang. Perubahan sebagai hasil dari proses dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk,
seperti terjadi perubahan pengetahuan, pemahaman, tigkah laku, keterampilan, kebiasaan
serta perubahan aspek-aspek yang ada pada diri individu yang sedang belajar, sehingga
untuk menangkap isi dan pesan belajar secara maksimal, maka dalam belajar tersebut
individu harus mampu menggunakan potensinya pada ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
Komisi pendidikan untuk abad XXI (Unesco 1996:85) melihat bahwa hakikat
pendidikan sesungguhnya adalah belajar (learning). Sehingga dalam keseluruhan proses
pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini
berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung pada
bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak didik. Sekarang timbul
pertanyaan apakah belajar itu sebenarnya? Samakah belajar dengan ;latihan, dengan
menghafal, dengan pengumpulan fakta dan studi-studi lainnya? Tentu saja terhadap
pertanyaan tersebut banyak pendapat yang mungkin satu sama lain berbeda.
Ada beberapa pandangan tentang pengertian belajar diantaranya menurut
Aunurrahman (2009:35) berpendapat bahwa:
“Belajar itu adalah suatu proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman
individu itu sendiri di dalam interaksi dengan lingkungannya.”
Perubahan yang terjadi dalam diri seseorang banyak sekali baik sifat maupun
jenisnya karena itu sudah tentu tidak setiap perubahan dalam diri seseorang merupakan
perubahan dalam arti belajar. Karena perubahan dalam arti belajar harus di mulai dengan
perubahan tingkah laku baik melalui latihan dan pengalaman yang menyangkut aspek
kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk memperoleh tujuan tertentu.
Rasulullah SAW menyatakan dalam salah satu hadistnya bahwa manusia harus
belajar sejak dari ayunan hingga liang lahat. Orang tua wajib membelajarkan anak-
anaknya agar kelak ia mampu hidup mandiri dan mengembangkan dirinya, demikian juga
sebuah syai’r Islam dalam baitnya berbunyi; “belajar sewaktu kecil ibarat melukis di atas
batu.”
Menurut beberapa defenisi di atas seseorang mengalami proses belajar kalau ada
perubahan dari tidak tahu menjadi tahu dalam menguasai ilmu pengetahuan serta adanya
perubahan tingkah laku dari indivu tersebut. Belajar di sini merupakan “ suatu proses” di
mana guru melihat apa yang terjadi selama murid menjalani pengalaman edukatif untuk
mencapai suatu tujuan. Yang harus diperhatikan dari siswa adalah pola perubahan pada
pengetahuan selama pengalaman belajar itu berlangsung.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah proses
perubahan tingkah laku, pola pikir yang baru secara keseluruhan, sebagai akibat dari
pengalaman, dan latihan, dengan perubahan-perubahan yang di hasilkan bersifat relatif
atau dinamis.
Prof. Notonegoro membedakan nilai menjadi tiga macam, yaitu: (1) Nilai
material, yakni meliputi berbagai konsepsi mengenai segala sesuatu yang berguna
bagi jasmani manusia, (2) Nilai vital, yakni meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan
dengan segala sesuatu yang berguna bagi manusia dalam melaksanakan berbagai
aktivitas, dan (3) Nilai kerohanian, yakni meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan
dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan rohani manusia: nilai
kebenaran, yakni yang bersumber pada akal manusia (cipta), nilai keindahan, yakni
yang bersumber pada unsur perasaan (estetika), nilai moral, yakni yang bersumber
pada unsur kehendak (karsa), dan nilai keagamaan (religiusitas), yakni nilai yang
bersumber pada revelasi (wahyu) dari Tuhan. Adapun Ciri-ciri nilai sosial:
1) Nilai sosial merupakan konstruksi abstrak dalam pikiran orang yang tercipta melalui
interaksi sosial,
2) Nilai sosial bukan bawaan lahir, melainkan dipelajari melalui proses sosialisasi,
dijadikan milik diri melalui internalisasi dan akan mempengaruhi tindakan-tindakan
penganutnya dalam kehidupan sehari-hari disadari atau tanpa disadari lagi
(enkulturasi),
3) Nilai sosial memberikan kepuasan kepada penganutnya,
4) Nilai sosial bersifat relative,
5) Nilai sosial berkaitan satu dengan yang lain membentuk sistem nilai,
6) Sistem nilai bervariasi antara satu kebudayaan dengan yang lain,
7) Setiap nilai memiliki efek yang berbeda terhadap perorangan atau kelompok,
8) Nilai sosial melibatkan unsur emosi dan kejiwaan, dan
9) Nilai sosial mempengaruhi perkembangan pribadi.
(a) Sebagai faktor pendorong, hal ini berkaitan dengan nilai-nilai yang berhubungan
dengan cita-cita atau harapan,
(b) Sebagai petunjuk arah mengenai cara berfikir dan bertindak, panduan menentukan
pilihan, sarana untuk menimbang penghargaan sosial, pengumpulan orang dalam
suatu unit sosial,
(c) Sebagai benteng perlindungan atau menjaga stabilitas budaya.
1. Tata cara atau usage. Tata cara (usage); merupakan norma dengan sanksi yang sangat
ringat terhadap pelanggarnya, misalnya aturan memegang garpu atau sendok ketika
makan, cara memegang gelas ketika minum. Pelanggaran atas norma ini hanya
dinyatakan tidak sopan.
2. Kebiasaan (folkways). Kebiasaan (folkways); merupakan cara-cara bertindak yang
digemari oleh masyarakat sehingga dilakukan berulang-ulang oleh banyak orang.
Misalnya mengucapkan salam ketika bertemu, membungkukkan badan sebagai tanda
penghormatan kepada orang yang lebih tua, dst.
3. Tata kelakuan (mores). Tata kelakuan merupakan norma yang bersumber kepada
filsafat, ajaran agama atau ideologi yang dianut oleh masyarakat. Pelanggarnya
disebut jahat. Contoh: larangan berzina, berjudi, minum minuman keras, penggunaan
napza, mencuri, dst.
4. Adat (customs). Adat merupakan norma yang tidak tertulis namun sangat kuat
mengikat, apabila adat menjadi tertulis ia menjadi hukum adat.
5. Hukum (law). Hukum merupakan norma berupa aturan tertulis, ketentuan sanksi
terhadap siapa saja yang melanggar dirumuskan secara tegas. Berbeda dengan norma-
norma yang lain, pelaksanaan norma hukum didukung oleh adanya aparat, sehingga
memungkinkan pelaksanaan yang tegas.
Hubungan antara nilai dengan norma sosial di dalam masyarakat yang terus
berkembang, nilai senantiasa ikut berubah. Pergeseran nilai dalam banyak hal juga
akan mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan ataupun tata kelakuan yang berlaku dalam
masyarakat. Di wilayah perdesaan, sejak berbagai siaran dan tayangan televisi swasta
mulai dikenal, perlahan-lahan terlihat bahwa di dalam masyarakat itu mulai terjadi
pergesaran nilai, misalnya tentang kesopanan. Tayangan-tayangan yang didominasi
oleh sinetron-sinetron mutakhir yang acapkali memperlihatkan artis-artis yang
berpakaian relatif terbuka, sedikit banyak menyebabkan batas-batas toleransi
masyarakat menjadi semakin longgar. Berbagai kalangan semakin permisif terhadap
kaum remaja yang pada mulanya berpakaian normal, menjadi ikut latah berpakaian
minim dan terkesan makin berani. Model rambut panjang kehitaman yang dulu
menjadi kebanggaan gadis-gadis desa, mungkin sekarang telah dianggap sebagai
simbol ketertinggalan. Sebagai gantinya, yang sekarang dianggap trendy dan sesuai
dengan konteks zaman sekarang (modern) adalah model rambut pendek dengan warna
pirang atau kocoklat-coklatan. Jadi berubahnya nilai akan berpengaruh terhadap
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Hal ini sejalan dengan pendapat Jonson (Kunandar 2007: 274 ) ada delapan
komponen utama dalam pembelajaran Contextual Teaching Learning yakni:
(1) melakukan hubungan yang bermakna artinya siswa dapat mengatur diri
sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya
secara individual, orang yang dapat belajar sambil berbuat. (2) melakukan
kegiatan-kegiatan yang signifikan siswa membuat hubungan antara sekolah
dengan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan yang nyata.(3) belajar yang
diatur sendiri (4) siswa bekerjasama guru membantu (5) berfikir kritis dan
kreatif (6) mengasuh dan memelihara pribadi siswa (7) mencapai standar yang
tinggi, mengidentifikasi tujuan dan memotifasi siswa untuk mencapainya (8)
menggunakan penilaian autentik.
Selain itu juga Sofyan dan Amiruddin (2007: 16) mengemukakan bahwa
karakteristik pembelajaran CTL yaitu:
(1) kerjasama; (2) saling menunjang; (3) menyenangkan, tidak
membosankan; (4) belajar dengan bergairah; (5) pembelajaran
terintegrasi; (6) menggunakan berbagai sumber; (7) peserta didik aktif;
(8) sharing dengan teman; dan (9) peserta didik kritis dan kreatif.
1. Konstruktivisme ( Contractivism)
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan CTL. Maksud
konstruktivisme disini adalah pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi
sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak
secara mendadak. Dalam hal ini, manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan
memberi makna melalui pengalaman nyata.
2. Menemukan (Inquiri)
Menemukan merupakan kegiatan inti dari proses pembelajaran CTL.
Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil
mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Dalam hal ini
tugas guru yang harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan
menemukan, apaun materi yang diajarkannya.
Secara umum proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu: (1)
Merumuskan masalah; (2) mengajukan hipotesis; (3) mengumpulkan data; (4)
menguji hipotesis berdsarkan data yang ditemukan; dan (5) membuat kesimpulan.
3. Bertanya (Questioning)
Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan CTL. Dalam proses pembelajaran bertanya dipandang sebagai kegiatan
guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi
siswa kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan
pembelajaran yang berbasis penemuan (inquiri), yaitu menggali informasi,
mengkonfirmasikan apa yang sudah diteliti dan mengarahkan perhatian pada aspek
yang belum diketahui.
Dalam suatu pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat berguna
untuk: (1) menggali informasi tentang kemampuan murid dalam penguasaan materi
pelajaran; (2) membangkitkan motivasi murid untuk belajar; (3) merangsang
keingintahuan murid terhadap sesuatu; (4) memfokuskan murid pada sesuatu yang
diinginkan; dan (5) membimbing murid untuk menemukan atau menyimpulkan
sesuatu.
4. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep masyarakat belajar ini menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh
dari kerjasama dengan orang lain. Hasil pembelajaran diperoleh dari berbagai antar
teman, antar kelompok dan antar yang tahu dengan yang tidak tahu. Masyarakat
belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah, seseorang yang terlibat
dalam masyarakat belajar akan memberi informasi yang diperlukan oleh teman
bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman
belajarnya. Oleh karena itu, dalam kelas CTL guru disarankan selalu melaksanakan
pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar.
5. Pemodelan (Modeling)
Pemodelan maksudnya adalah bahwa dalam sebuah pembelajaran keterampilan
atau pengetahuan tertentu harus ada model yang ditiru. Pemodelan akan lebih
mengefektifkan pelaksanaan pembelajarn dengan pendekatan CTL untuk ditiru,
diadaptasi, atau dimodifikasi. Dengan adanya suatu model untuk dijadikan contoh
biasanya akan lebih dipahami atau bahkan bisa menimbulkan ide baru. Salah satu
contohnya pemodelan dalam pembelajaran misalnya mempelajari contoh
penyelesaian soal, penggunaan alat peraga, cara menemukan kata kunci dalam suatu
bacaan, atau dalam membuat suatu skema konsep. Pemodelan ini tidak selalu oleh
guru, bisa oleh murid atau media yang lainnya.
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang
tentang apa yang sudah kita lakukan di masa yang lalu. Refleksi merupakan respon
terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang diterima, refleksi adalah berpikir
kembali tentang materi yang baru dipelajari, merenungkan lagi aktivitas yang telah
dilakukan atau mengevaluasi kembali bagaimana belajar yang telah dilakukan.
Refleksi berguna untuk mengevaluasi diri, koreksi, perbaikan, atau peningkatan diri.
Contoh dari refleksi adalah membuat rangkuman, meneliti, memperbaiki kegagalan,
mencari alternatif lin cara belajar dan membuat jurnal pembelajaran.
7. Penilaian yang Sebenarnya (Autentic Assesmen)
Asesmen otentik adalah penilaian yang dilakukan secara konperhensif berkenaan
dengan seluruh aktifitas pembelajaran yang meliputi proses dan produk belajar
sehingga seluruh usaha siswa yang telah dilakukan mendapat penghargaan. Penilaian
otentik seharusnya dilakukan dari berbagai aspek dan metode sehingga menjadi
objektif. Misalnya membuat catatan harian melalui observasi untuk menilai aktivitas
dan motivasi, wawancara atau angket untuk menilai aspek afektif dan tes untuk
menilai tingkat penguasaan siswa terhadap materi bahan ajar.
Ada 5 tahapan pembelajaran CTL yang digunakan dalam meningkatkan
pemahaman dan hasil belajar siswa seperti yang dikemukakan oleh Nurhadi (2003: 59)
yaitu:
Tabel 2. 1 Tahapan Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL)
Sumber : buku pembelajaran CTL dan penerapannya dalam KBK (Nurhadi, 2003:59)
Secara rinci kegiatan yang dilakukan guru dan siswa pada setiap tahapan
pembelajaran CTL tersebut yaitu pada tahap kegiatan awal pembelajaran, guru
memulai pembelajaran dengan melaksanakan tahap pertama yaitu orientasi siswa
kepada masalah. Kegiatan yang dilakukan guru pada tahap pertama ini yaitu pertama-
tama guru menjelaskan tujuan pembelajaran kepada siswa yaitu perubahan wujud
benda, kemudian guru menjelaskan perangkat yang dibutuhkan, dan (4) memotivasi
siswa agar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang akan dilakukan.
Pada tahap pelaksanaan pembelajaran atau kegiatan inti pembelajaran, guru
memulai pembelajaran dengan melaksanakan tahap kedua dan ketiga dalam
pembelajaran CTL yaitu mengelola pengetahuan awal siswa terhadap masalah, dan
mengorganisasi, serta membimbing penyelidikan individual dan kelompok. Kegiatan
yang dilakukan dalam kedua tahap ini yaitu (1) meminta siswa untuk mengemukakan
pengetahuan awal yang dimilikinya terhadap materi, (2) guru memotivasi siswa dalam
membangun pengetahuan siswa dari pengalaman baru berdasarkan pada pengetahuan
awal (konstruktivisme), (3) membimbing siswa untuk mengemukakan pertanyaan
terhadap materi (questioning), (4) mengoraganisisasikan siswa kedalam kelompok-
kelompok belajar (learning community), (6) mengumpulkan informasi yang sesuai
melalui observasi yang berhubungan dengan materi dan melaksanakan eksperimen
untuk mendapatkan penjelasan serta pemecahan masalahnya. Sedangkan pada tahap
akhir pembelajaran direncanakan guru melaksanakan tahap 4 dan tahap 5 dalam
langkah-langkah pembelajaran CTL, yaitu menganalasis dan mengevaluasi
pemecahan masalah, serta mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Kegiatan
yang dilakukan dalam tahapan ini antara lain (1) melakukan refleksi terhadap proses
pemecahan masalah yang dilakukan (refleksi), (2) mengukur dan mengevaluasi
penyelidikan siswa dan proses-proses yang mereka gunakan (authentic assessment),
(3) merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dari aktivitas
pemecahan masalah yang telah dilakukan (pemodelan).
B. Kerangka Pikir
Di dalam masyarakat yang terus berkembang, nilai senantiasa ikut berubah.
Pergeseran nilai dalam banyak hal juga akan mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan
ataupun tata kelakuan yang berlaku dalam masyarakat. Di wilayah perdesaan, sejak
berbagai siaran dan tayangan telivisi swasta mulai dikenal, perlahan-lahan terlihat
bahwa di dalam masyarakat itu mulai terjadi pergesaran nilai, misalnya tentang
kesopanan. Tayangan-tayangan yang didominasi oleh sinetron-sinetron mutakhir yang
acapkali memperlihatkan artis-artis yang berpakaian relatif terbuka, sedikit banyak
menyebabkan batas-batas toleransi masyarakat menjadi semakin longgar. Berbagai
kalangan semakin permisif terhadap kaum remaja yang pada mulanya berpakaian
normal, menjadi ikut latah berpakaian minim dan terkesan makin berani. Model
rambut panjang kehitaman yang dulu menjadi kebanggaan gadis-gadis desa, mungkin
sekarang telah dianggap sebagai simbol ketertinggalan. Sebagai gantinya, yang
sekarang dianggap trendy dan sesuai dengan konteks zaman sekarang (modern)
adalah model rambut pendek dengan warna pirang atau kocoklat-coklatan. Jadi
berubahnya nilai akan berpengaruh terhadap norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi yang tepat dalam mengajarkan
materi tentang Nilai dan Norma sosial sehingga siswa dapat memahami secara
mendalam dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu
fenomena materi IPS yang dianggap sulit untuk dipahami adalah materi Nilai dan
Norma Sosial Hal ini disebabkan oleh penyajian materi yang kurang tepat dan
penggunaan strategi yang kurang tepat serta kurang melibatkan siswa dalam proses
pembelajaran. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka perlu adanya pendekatan
pembelajaran yang tepat, Salah satunya adalah dengan pendekatan CTL. Dengan
dasar inilah sehingga peneliti menjadikan sebagai landasan berpikir bahwa dengan
pendekatan CTL dapat membantu murid dalam memahami materi Nilai dan Norma
Sosial sehingga dapat meningkatkan hasil belajar murid. Adapun bentuk skema dari
tindakan penelitian ini adalah sebagai berikut:
PENDEKAKAN CONTEXTUAL
TEACHING AND LEARNING (CTL)
METODE PENELITIAN
1. Pendekatan
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah menggunakan jenis penelitian tindakan kelas, dimana
jenis penelitian ini merupakan kajian sosial dengan maksud untuk meningkatkan
kualitas tindakan didalamnya. Langkah-langkah tindakan yang ditempuh merupakan
kerja yang berulang (siklus-siklus) sebagaimana yang dikembangkan oleh Kenmis
dan MC. Taggar yaitu perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi, hingga diperoleh
pembelajaran yang dapat meningkatkan Motivasi Belajar Nilai dan Norma Sosial
siswa kelas 1 SMA 6 Muhammadyah Makassar.
D. Rancangan Penelitian
Secara garis besar langkah penelitian/rencana implementasi tindakan dalam penelitian
ini mengikuti proses siklus atau daur ulang yang dilakukan menurut model Kemmis dan
Taggart (Wiriaatmadja,2008:66) yang meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan
tindakan, observasi, dan refleksi.
SIKLUS I
Bagan 3.1 Tahap-Tahap Penelitian yang Diadaptasi dari Model Kemmis dan Taggart
(Wiriaatmadja,2008:66).
1. Perencanaan
Pada tahap ini rencana tindakan meliputi penyusunan rancangan pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan Kontekstual, menyediakan lembar materi yang
telah disusun dan digunakan sebagai acuan bagi siswa, merancang pembelajaran
dengan menggunakan alat peraga yang ada disekitar siswa, menyiapkan lembaran
observasi, tes formatif, serta mengkoordinasikan program kerja pelaksanaan
tindakan dengan guru sosiologi SMA 6 Muhammadyah Makassar.
2. Pelaksanaan tindakan
Melaksanakan pembelajaran sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah
disusun bersama peneliti dan guru sebelumnya. Tindakan ini dimaksudkan untuk
memperbaiki keadaan atau kegiatan pembelajaran di kelas yang belum sesuai
dengan yang diharapkan.
3. Observasi
Pada tahap observasi meliputi pengamatan yang dilaksanakan selama kegiatan
tindakan berlangsung. Fokus observasi adalah aktivitas guru dan siswa. Aktivitas
guru dapat diamati mulai pada tahap pembelajaran, saat pembelajaran, dan akhir
pembelajaran.
4. Refleksi
Refleksi dilakukan untuk menganalisis hasil tindakan agar dapat memperbaiki
tindakan berikutnya.
Tindakan pada materi ini berlangsung 2 siklus apabila pada tindakan pertama
tidak berhasil sesuai dengan apa yang ingin dicapai maka akan dilakukan tindakan
kembali sampai memenuhi kriteria pencapaian target yang telah ditentukan, dan
siklus tindakan diakhiri atau dihentikan apabila:
1. Metode Angket
Dalam hubungannya dengan pengumpulan data, maka peneliti menggunakan
kosiener langsung artinya angket diberikan langsung kepada responden untuk
diselesaikan. Maksudnya suatu jawaban angket setiap aitem pertanyaan telah
disediakan jawabannya, responden hanya memilih jawaban yang sesuai dengan
pendapatnya, dengan penggunaan metode angket, maka telah diperoleh data antara
lain: mengenai sikap siswa terhadap hasil evaluasi belajarnya, motivasi belajar siswa
terhadap hasil penilaian sosiologi yang diberikan oleh guru, bagaimana sikap siswa
terhadap hasil belajar.
2. Tes
Tes dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang pemahaman siswa
terhadap pokok bahasan struktur daun dan fungsinya. Tes ini dilaksanakan pada awal
penelitian, pada akhir setiap tindakan dan pada akhir setelah diberikan serangkaian
tindakan.
3. Wawancara.
Wawancara dimaksudkan untuk menggali kesulitan murid dalam memahami
konsep Nilai dan Norma Sosial yang mungkin sulit diperoleh dari hasil pekerjaan
siswa maupun dalam kegiatan pembelajaran.
4. Observasi
Pedoman observasi dalam penelitian ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
No Nilai Kategori
1 0-34 Sangat rendah
2 35-54 Rendah
3 55-64 Sedang
4 65-84 Tinggi
5 85-100 Sangat tinggi
DAFTAR PUSTAKA
Departement Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke III. Jakarta:
Balai pustaka.
Elaine B. Johnson. 2006. Kontextual Teaching And Learning. Bandung: MLC.
SD. Jakarta: Erlangga.
Nurhadi, dkk. 2002. Pembelajaran CTL dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas
Negeri Makassar.
Nurhadi, dkk. 2003. Pembelajaran CTL dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas
Negeri Makassar.
Purwanto, ngalim. 1998. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
PROPOSAL
DI SUSUN OLEH:
DWI REZKY NOVITASARI
10538 0481 07
JURUSAN SOSIOLOGI
2011