Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A.LatarBelakang
Suatu pengajaran yang hanya mengutamakan prinsip individual tidak akan
menguntungkan siswa maupun masyarakat. Kehidupan sebagian besar siswa
dipengaruhi oleh orang lain maupun teman-temannya. Di mana ada orang hidup
bersama-sama, tentu di sana ada kontak sosial. Hubungan sosial antara sesama
manusia merupakan suatu keharusan, sebab dengan kontak sosial orang akan dapat
mengembangkan kepribadiannya dengan lebih sempurna. Dengan kegiatan-kegiatan
ini maka dalam setiap kegiatan mengajar guru dituntut agar sanggup menciptakan
suasana sosial yang membangkitkan kerja sama diantara para siswa dalam
mewujudkan materi pelajaransupaya dapat diserap lebih efektif dan efisien.
Kerja sama antar para siswa sejatinya telah menjadi tuntutan kurikulum
pendidikan, termasuk Kurikulum. Disadari atau tidak, Kurikulum menghadirkan
tantangan baru bagi dunia pendidikan di Indonesia. Perubahan orientasi pendidikan
dengan menempatkan siswa sebagai pusat perhatian menuntut para guru untuk
lebih kreatif dalam mengelola kegiatan pembelajaran. Guru dituntut mampu
menggeser penekanan kegiatan pembelajaran dari “ apa bahan yang akan dipelajari
siswa ” ke “ bagaimana membelajarkan kompetensi dan memperkaya pengalaman
belajar”.
Dalam pembelajaran Sosiologi misalnya, pembelajaran ditekankan pada
pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa
mampu menjelajahi dan memahami lingkungan sekitarnya secara ilmiah. Pendidikan
Sosiologi diarahkan untuk “mencari tahu” dan “berbuat” sehingga dapat membantu
siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang diri sendiri dan
lingkungan sekitarnya. Selanjutnya siswa diharapkan dapat mengembangkan dan
menerapkan pemahaman tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
Salah satu cara untuk mengembangkan sikap sosial siswa khususnya dalam
pelajaran Sosiologi dapat ditempuh dengan menggunakan pendekatan CONTEXTUAL
TEACHING LEARNING dalam kegiatan pembelajaran. Menurut Santyasa,
pembelajaran ini dapat menyediakan peluang untuk menuju pada kesuksesan
praktek-praktek pembelajaran. Sebagai teknologi untuk pembelajaran (technology
for instruction), pembelajaran ini melibatkan partisipasi aktif para siswa dan
meminimisasi perbedaan-perbedaan antar individu.
Dengan melihat kondisi yang ada di lingkungan SMA 6 Muhammadyah
Makassar yang pada dasarnya tidak ada masalah dalam sarana belajar, keadaan
siswa yang kurang antusias dalam mengikuti pelajaran Sosiologi perlu dicarikan
solusi-solusi terutama metode-metode mengajar yang dapat meningkatkan aktifitas
dan hasil belajar siswa. Berdasarkan pengamatan peneliti selama mengasuh
pelajaran Sosiologi, tampak bahwa para siswa memang “kurang bergairah” dalam
belajar Sosiologi. Akibatnya yaitu mereka kurang mampu untuk memecahkan soal-
soal Sosiologi sehingga hasil belajarnya pun kurang memuaskan.
Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi permasalahan tersebut
yakni dengan menggunakan pendekatan contextual teaching learning dalam
pembelajaran Sosiologi . Langkah-langkah pembelajaran CONTEXTUAL TEACHING
LEARNING adalah sebagai berikut:
(1) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara
bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengkonstruksikan sendiri pengetahuan
dan keterampilan barunya .
(2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik.
(3) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya.
(4) Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok).
(5) Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran.
(6) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara.
Dengan cara ini diharapkan para siswa diharapkan akan lebih aktif dalam
belajarnya sehingga hasil belajar Sosiologi merekapun akan dapat ditingkatkan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dalam penelitian tindakan kelas ini dicoba untuk
menerapkan pendekatan contextual teaching learning dalam rangka meningkatkan
aktivitas dan hasil belajar Sosiologi para siswa kelas 1 SMA 6 MUHAMMADYAH.
Dengan metode ini diharapkan akan terjadi interaksi antar siswa sehingga mereka
bisa lebih bergairah dan antusias dalam mengikuti pelajaran Sosiologi yang akan
bermuara pada peningkatan penguasaan konsep-konse Sosiologi.
B. Rumusan Masalah dan Pemecahan Masalah

1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: “apakah pendekatan Contextual Teaching Learning dapat
meningkatkan motivasi belajar pokok bahasan nilai dan norma sosial pada siswa kelas I
SMA 6 Muhammadyah ?
2. Pemecahan masalah

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas maka peneliti merencanakan


pemecahan masalah dengan menggunakan komponen-komponen Contextual Teaching
and Learning (CTL) yaitu konstuktivisme, inquiry, bertanya, masyarakat belajar,
pemodelan, refleksi, dan penilaian yang sebenarnya.

B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah untuk meningkatkan
motivasi belajar tentang Nilai dan Norma Sosial melalui pendekatan Contextual Teaching
Learning(CTL).

C. Manfaat Hasil Penelitian


Beberapa manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah :

1. Sebagai bahan masukan bagi guru-guru bidang studi sosiologi tentang manfaat
pendekatan Contextual Teaching Learning yang dapat meningkatkan motivasi belajar.
2. Memberikan sumbangan teoretis terhadap perbendaharaan ilmu pengetahuan
khususnya dalam meningkatkan mutu pendidikan.
3. Menjadi bahan informasi bagi peneliti dimasa yang akan datang untuk
mengkaji variabel-variabel lain yang berkaitan dengan peningkatan motivasi belajar
siswa.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, HIPOTESIS TINDAKAN

A. Kajian Pustaka

1. Pengertian Belajar
Belajar adalah suatu proses yang di tandai dengan adanya perubahan pada diri
seseorang. Perubahan sebagai hasil dari proses dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk,
seperti terjadi perubahan pengetahuan, pemahaman, tigkah laku, keterampilan, kebiasaan
serta perubahan aspek-aspek yang ada pada diri individu yang sedang belajar, sehingga
untuk menangkap isi dan pesan belajar secara maksimal, maka dalam belajar tersebut
individu harus mampu menggunakan potensinya pada ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik.
Komisi pendidikan untuk abad XXI (Unesco 1996:85) melihat bahwa hakikat
pendidikan sesungguhnya adalah belajar (learning). Sehingga dalam keseluruhan proses
pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini
berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung pada
bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak didik. Sekarang timbul
pertanyaan apakah belajar itu sebenarnya? Samakah belajar dengan ;latihan, dengan
menghafal, dengan pengumpulan fakta dan studi-studi lainnya? Tentu saja terhadap
pertanyaan tersebut banyak pendapat yang mungkin satu sama lain berbeda.
Ada beberapa pandangan tentang pengertian belajar diantaranya menurut
Aunurrahman (2009:35) berpendapat bahwa:
“Belajar itu adalah suatu proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman
individu itu sendiri di dalam interaksi dengan lingkungannya.”
Perubahan yang terjadi dalam diri seseorang banyak sekali baik sifat maupun
jenisnya karena itu sudah tentu tidak setiap perubahan dalam diri seseorang merupakan
perubahan dalam arti belajar. Karena perubahan dalam arti belajar harus di mulai dengan
perubahan tingkah laku baik melalui latihan dan pengalaman yang menyangkut aspek
kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk memperoleh tujuan tertentu.
Rasulullah SAW menyatakan dalam salah satu hadistnya bahwa manusia harus
belajar sejak dari ayunan hingga liang lahat. Orang tua wajib membelajarkan anak-
anaknya agar kelak ia mampu hidup mandiri dan mengembangkan dirinya, demikian juga
sebuah syai’r Islam dalam baitnya berbunyi; “belajar sewaktu kecil ibarat melukis di atas
batu.”
Menurut beberapa defenisi di atas seseorang mengalami proses belajar kalau ada
perubahan dari tidak tahu menjadi tahu dalam menguasai ilmu pengetahuan serta adanya
perubahan tingkah laku dari indivu tersebut. Belajar di sini merupakan “ suatu proses” di
mana guru melihat apa yang terjadi selama murid menjalani pengalaman edukatif untuk
mencapai suatu tujuan. Yang harus diperhatikan dari siswa adalah pola perubahan pada
pengetahuan selama pengalaman belajar itu berlangsung.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah proses
perubahan tingkah laku, pola pikir yang baru secara keseluruhan, sebagai akibat dari
pengalaman, dan latihan, dengan perubahan-perubahan yang di hasilkan bersifat relatif
atau dinamis.

2. Hasil Belajar Sosiologi


Hasil belajar merupakan suatu ukuran berhasil atau tidaknya seorang siswa dalam
proses belajar mengajar. Hasil belajar yang dicapai oleh seseorang dapat menjadi
indikator tentang kemampuan, kesenggupan, penguasaan seseorang terhadap
pengetahuan, keterampilan dan sikap atau nilai yang dimiliki seseorang itu dalam suatu
pembelajaran.
Hasil belajar sosiologi merupakan puncak dari proses belajar. Hasil belajar tersebut
terjadi karena evaluasi guru. Cara menilai hasil belajar sosiologi biasanya menggunakan
tes. Tujuan dari tes adalah mengukur hasil belajar yang dicapai siswa dalam mempelajari
sosiologi. Disamping itu tes juga digunakan untuk menentukan sebersapa jauh
pemahaman materi yang telah di pelajari karena itu tes dapat digunakan sebagai penilaian
diagnostik, formatif dan penentuan tingkat pencapaian.
Keberhasilan seseorang mempelajari sosiologi tidak hanya dipengaruhi minat,
kesadaran, kemauan, tetapi juga bergantung pada kemampuannya terhadap sosiologi serta
diperlukan keterampilan intelektual, misalnya keterampilan berpikir logis dan abstrak
serta mengkaji realitas sosial yang terjadi. Hasil belajar yang dimaksud adalah tingkat
penguasaan untuk mengukur hasil belajar sesuai dengan tujuan pencapaian kognitif
disesuaikan dengan taraf kogitif siswa.
Hasil belajar yang di kemukakan oleh Sudjana (2006:34) bahwa hasil belajar
adalah kemampuan –kemampuan yang dimiliki setelah ia menerima pengalaman belajar.
Hal-hal yang dipengaruhi oleh hasil belajar adalah :
a. Intelegensi dan penguasaan siswa tentang materi yang akan dipelajari.
b. Adanya kesempatan yang diberikan oleh siswa
c. Motivasi
d. Usaha yang dilakukan oleh anak.

B. Nilai dan Norma Sosial


a. Pengertian Nilai Sosial
Satu bagian penting dari kebudayaan atau suatu masyarakat adalah nilai sosial.
Suatu tindakan dianggap sah, dalam arti secara moral diterima, kalau tindakan
tersebut harmonis dengan nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung tinggi oleh
masyarakat di mana tindakan tersebut dilakukan.  Dalam sebuah masyarakat yang
menjunjung tinggi kasalehan beribadah, maka apabila ada orang yang malas
beribadah tentu akan menjadi bahan pergunjingan, cercaan, celaan, cemoohan, atau
bahkan makian.  Sebaliknya, kepada orang-orang yang rajin beribadah, dermawan,
dan seterusnya, akan dinilai sebagai orang yang pantas, layak, atau bahkan harus
dihormati dan diteladani.

Secara harfiah nilai (value) merupakan konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri


manusia, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Horton dan
Hunt (1987) menyatakan bahwa nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu
pengalaman itu berarti apa tidak berarti. Dalam rumusan lain, nilai merupakan
anggapan terhadap sesuatu hal, apakah sesuatu itu pantas atau tidak pantas, penting
atau tidak penting, mulia ataukah hina. Sesuatu itu dapat berupa benda, orang,
tindakan, pengalaman, dan seterusnya. Mengetahui sistem nilai yang dianut oleh
sekelompok orang atau suatu masyarakat tidaklah mudah, karena nilai merupakan
konsep asbtrak yang hidup di alam pikiran para warga masyarakat atau kelompok.

Prof. Notonegoro membedakan nilai menjadi tiga macam, yaitu: (1) Nilai
material, yakni meliputi berbagai konsepsi mengenai segala sesuatu yang berguna
bagi jasmani manusia, (2) Nilai vital, yakni meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan
dengan segala sesuatu yang berguna bagi manusia dalam melaksanakan berbagai
aktivitas, dan (3) Nilai kerohanian, yakni meliputi berbagai konsepsi yang berkaitan
dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan rohani manusia: nilai
kebenaran, yakni yang bersumber pada akal manusia (cipta), nilai keindahan, yakni
yang bersumber pada unsur perasaan (estetika), nilai moral, yakni yang bersumber
pada unsur kehendak (karsa), dan nilai keagamaan (religiusitas), yakni nilai yang
bersumber pada revelasi (wahyu) dari Tuhan. Adapun Ciri-ciri nilai sosial:

1) Nilai sosial merupakan konstruksi abstrak dalam pikiran orang yang tercipta melalui
interaksi sosial,
2) Nilai sosial bukan bawaan lahir, melainkan dipelajari melalui proses sosialisasi,
dijadikan milik diri melalui internalisasi dan akan mempengaruhi tindakan-tindakan
penganutnya dalam kehidupan sehari-hari disadari atau tanpa disadari lagi
(enkulturasi),
3) Nilai sosial memberikan kepuasan kepada penganutnya,
4) Nilai sosial bersifat relative,
5) Nilai sosial berkaitan satu dengan yang lain membentuk sistem nilai,
6) Sistem nilai bervariasi antara satu kebudayaan dengan yang lain,
7) Setiap nilai memiliki efek yang berbeda terhadap perorangan atau kelompok,
8) Nilai sosial melibatkan unsur emosi dan kejiwaan, dan
9) Nilai sosial mempengaruhi perkembangan pribadi.

Selain itu, Nilai Sosial dapat berfungsi:

(a) Sebagai faktor pendorong, hal ini berkaitan dengan nilai-nilai yang berhubungan
dengan cita-cita atau harapan,
(b) Sebagai petunjuk arah mengenai cara berfikir dan bertindak, panduan menentukan
pilihan, sarana untuk menimbang penghargaan sosial, pengumpulan orang dalam
suatu unit sosial,
(c) Sebagai benteng perlindungan atau menjaga stabilitas budaya.

b. Pengertian Norma Sosial

Nilai merupakan pandangan tentang baik-buruknya sesuatu, sedangkan norma


merupakan ukuran yang digunakan oleh masyarakat  untuk mengetahui tindakan
yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang merupakan tindakan yang
wajar dan dapat diterima karena sesuai dengan harapan sebagian besar warga
masyarakat ataukah merupakan tindakan yang menyimpang karena tidak sesuai
dengan harapan sebagian besar warga masyarakat. Norma dibangun di atas nilai
sosial, dan norma sosial diciptakan untuk menjaga dan mempertahankan nilai sosial.
Pelanggaran terhadap norma akan mendapatkan sanksi dari masyarakat. Berbagai
macam norma dalam masyarakat dilihat dari tingkat sanksi atau kekuatan
mengikatnya terdapat:

1. Tata cara atau usage. Tata cara (usage); merupakan norma dengan sanksi yang sangat
ringat terhadap pelanggarnya, misalnya aturan memegang garpu atau sendok ketika
makan, cara memegang gelas ketika minum. Pelanggaran atas norma ini hanya
dinyatakan tidak sopan.
2. Kebiasaan (folkways). Kebiasaan (folkways); merupakan cara-cara bertindak yang
digemari oleh masyarakat sehingga dilakukan berulang-ulang oleh banyak orang.
Misalnya mengucapkan salam ketika bertemu, membungkukkan badan sebagai tanda
penghormatan kepada orang yang lebih tua, dst.
3. Tata kelakuan (mores). Tata kelakuan merupakan norma yang bersumber kepada
filsafat, ajaran agama atau ideologi yang dianut oleh masyarakat. Pelanggarnya
disebut jahat. Contoh: larangan berzina, berjudi, minum minuman keras, penggunaan
napza, mencuri, dst.
4. Adat (customs). Adat merupakan  norma yang tidak tertulis namun sangat kuat
mengikat, apabila adat  menjadi tertulis ia menjadi hukum adat.
5. Hukum (law). Hukum merupakan norma berupa aturan tertulis, ketentuan sanksi
terhadap siapa saja yang melanggar dirumuskan secara tegas. Berbeda dengan norma-
norma yang lain, pelaksanaan norma hukum didukung oleh adanya aparat, sehingga
memungkinkan pelaksanaan yang tegas.

Hubungan antara nilai dengan norma sosial di dalam masyarakat yang terus
berkembang, nilai senantiasa ikut berubah. Pergeseran nilai dalam banyak hal juga
akan mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan ataupun tata kelakuan yang berlaku dalam
masyarakat. Di wilayah perdesaan, sejak berbagai siaran dan tayangan televisi swasta
mulai dikenal, perlahan-lahan terlihat bahwa di dalam masyarakat itu mulai terjadi
pergesaran nilai, misalnya tentang kesopanan. Tayangan-tayangan yang didominasi
oleh sinetron-sinetron mutakhir yang acapkali memperlihatkan artis-artis yang
berpakaian relatif terbuka, sedikit banyak menyebabkan batas-batas toleransi
masyarakat menjadi semakin longgar. Berbagai kalangan semakin permisif terhadap
kaum remaja yang pada mulanya berpakaian normal, menjadi ikut latah berpakaian
minim dan terkesan makin berani. Model rambut panjang kehitaman yang dulu
menjadi kebanggaan gadis-gadis desa, mungkin sekarang telah dianggap sebagai
simbol ketertinggalan. Sebagai gantinya, yang sekarang dianggap trendy dan sesuai
dengan konteks zaman sekarang (modern) adalah model rambut pendek dengan warna
pirang atau kocoklat-coklatan.  Jadi berubahnya nilai akan berpengaruh terhadap
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

3. Pendekatan Contextual Teaching And Learning

a. Hakekat Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL)

Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang


membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata
murid dan mendorong murid membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga (US
Departement of Education, 2001)
Nurhadi (2002:5) mengemukakan bahwa, pembelajaran CTL adalah
konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi dan
mendorong murid membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari dengan
melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran efektif, yakni
konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, permodelan
dan penilaian sebenarnya”

Mulyasa, ( Sofyan dan Amiruddin, 2007:10) mengemukakan 5 (lima)


elemen yang harus diperhatikan dalam pembelajaran CTL, yaitu:
a) Pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh
peserta didik.
b) Pembelajaran dimulai dari keseluruhan (global) menuju bagian-bagian
secara khusus (dari umum ke khusus)
c) Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman, dengan cara (a)
menyusun konsep sementara, (b) melakukan sharing untuk memperoleh
masukan dan tanggapan dari orang lain, dan (c) merevisi dan
mengembangkan konsep.
d) Pembelajaran ditekankan pada upaya mempraktekkan secara langsung apa
yang dipelajari.
e) Adanya refleksi terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan
pengetahuan yang dipelajari.

Selanjutnya Jozua (2003:2) mengemukakan bahwa,


pembelajaran CTL adalah suatu konsep tentang pembelajaran yang
membantu guru-guru untuk menghubungkan isi bahan ajar dengan situasi-
situasi dunia nyata serta penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai
anggota keluarga, warga negara, dan pekerja serta terlibat aktif dalam
kegiatan belajar yang dituntut dalam pelajaran.

Beranjak dari beberapa pengertian di atas, hakekat pembelajaran CTL adalah


konsep belajar yang membantu guru mengaitkan materi pelajaran yang diajarkannya
dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari.
b. Pengertian Pembelajaran CTL
Pembelajaran CTL telah berkembang di negara-negara maju dengan nama
beragam. Di Amerika disebut dengan istilah Contextual Teaching and Learning (CTL)
yang intinya membantu guru untuk mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan
nyata dan memotivasi peserta didik untuk mengaitkan pengetahuan yang dipelajarinya
dengan kehidupan sehari-hari mereka.
Johson (Kunandar, 2007:273) mengartikan bahwa,
pembelajaran CTL adalah suatu proses pendidikan yang bertujuan
membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka
pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan
mereka sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya,
sosialnya, dan budayanya.
The Washington State Consortium for Contextual Teaching and Learning
(Kunandar, 2007:273) mengartikan bahwa,
pembelajaran CTL adalah pengajaran yang memungkinkan siswa
memperkuat, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan
akademisnya dalam berbagai latar sekolah dan di luar sekolah untuk
memecahkan seluruh persoalan yang ada dalam dunia nyata. Pembelajarn
CTL terjadi ketika siswa menerapkan dan mengalami apa yang diajarkan
dengan mengacu pada masalah-masalah rill yang berasosiasi dengan
peranan dan tanggung jawab mereka sebagai anggota keluarga,
masyarakat, siswa, dan selaku pekerja.

Center on Education and Work at the University of Wisconsin Madison


(Kunandar, 2007:274) mengartikan bahwa,
pembelajaran CTL adalah suatu konsepsi belajar mengajar yang
membantu guru menghubungkan isi pelajaran dengan situasi dunia nyata
dan memotivasi siswa membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan
dan aplikasinya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga,
masyarakat, dan pekerja serta meminta ketekunan belajar.

Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Contextual


Teaching and Learning (CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru
menghubungkan antara materi pelajaran yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata
dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Siswa memperoleh pengetahuan
dan keterampilan dan konteks yang terbatas sedikit demi sedikit, dan dari proses
mengontruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya
sebagai anggota masyarakat.
Ciri-ciri pembelajaran CTL antara lain: 1) Adanya kerja sama antar semua pihak;
2) Menekankan pentingnya pemecahan masalah atau problem; 3) bermuara pada
keragaman konteks kehidupan murid yang berbeda-beda; 4) saling menunjang; 5)
menyenangkan tidak membosankan; 6) belajar dengan bergairah; 7) pembelajaran
terintegrasi; 8) menggunakan berbagai sumber; 9) murid aktif; 10) sharing dengan
teman; 11) murid kritis, guru kreatif; dan sebagainya.
c. Karakteristik Pembelajaran CTL
Menurut Wina Sanjaya (2006: 114) terdapat lima karakteristik penting dalam
proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL yaitu:
1. Dalam CTL pembelajaran merupakan proses mengaktifkan pengetahuan
yang sudah ada artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari
pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang
akan diperoleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki
keterkaitan satu sama lain.
2. Pembelajaran yang CTL adalah belajar dalam rangka memperoleh dan
menambah pengetahuan baru. Pengetahuan baru itu diperoleh dengan cara
deduktif, artinya pembelajarn dimulai dengan membelajarkan secara
keseluruhan, kemudian memperhatikan detailnya.
3. Pemahaman pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal tetapi untuk
dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang
lain tentang pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan
tersebut baru pengetahuan itu dikembangkan.
4. Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut. Pengetahuan dan
pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan
siswa, sehingga tampak perubahan prilaku siswa.
5. Melakukan refleksi strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan
sebagai umpan balik terhadap proses perbaikan dan penyempurnaan
strategi.

Hal ini sejalan dengan pendapat Jonson (Kunandar 2007: 274 ) ada delapan
komponen utama dalam pembelajaran Contextual Teaching Learning yakni:
(1) melakukan hubungan yang bermakna artinya siswa dapat mengatur diri
sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya
secara individual, orang yang dapat belajar sambil berbuat. (2) melakukan
kegiatan-kegiatan yang signifikan siswa membuat hubungan antara sekolah
dengan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan yang nyata.(3) belajar yang
diatur sendiri (4) siswa bekerjasama guru membantu (5) berfikir kritis dan
kreatif (6) mengasuh dan memelihara pribadi siswa (7) mencapai standar yang
tinggi, mengidentifikasi tujuan dan memotifasi siswa untuk mencapainya (8)
menggunakan penilaian autentik.

Selain itu juga Sofyan dan Amiruddin (2007: 16) mengemukakan bahwa
karakteristik pembelajaran CTL yaitu:
(1) kerjasama; (2) saling menunjang; (3) menyenangkan, tidak
membosankan; (4) belajar dengan bergairah; (5) pembelajaran
terintegrasi; (6) menggunakan berbagai sumber; (7) peserta didik aktif;
(8) sharing dengan teman; dan (9) peserta didik kritis dan kreatif.

d. Prinsip Penerapan Pembelajaran CTL

Berkaitan dengan faktor kebutuhan individu siswa, untuk menerapkan


pembelajaran CTL, guru perlu memegang prinsip pembelajaran sebagai berikut.
1. Merencanakan pembelajaran sesuai dengan kewajaran perkembangan mental siswa.
Artinya, isi kurikulum dan metodologi yang digunakan untuk mengajar harus
didasarkan pada kondisi sosial, emosional, dan perkembangan intelektual siswa. Jadi,
usia siswa dan karakteristik individual lainnya serta kondisi sosial dan lingkungan
budaya siswa haruslah menjadi perhatian di dalam merencanakan pembelajaran.
Klimer, (Nurhadi, dkk 2003)
2. Membentuk kelompok belajar yang saling tergantung. Artinya, siswa saling belajar
dari sesamanya di dalam kelompok-kelompok kecil dan belajar bekerja sama dalam
tim lebih besar.
3. Menyediakan lingkungan yang mendorong pembelajaran mandiri.
4. Mempertimbangkan keragaman siswa. Artinya di kelas guru harus mengajar siswa
dengan berbagai keragamannya, misalnya latar belakang suku bangsa, status sosial
ekonomi, bahasa utama yang dipakai di rumah, dan berbagai kekurangan yang
mungkin mereka miliki.
5. Memerhatikan multi intelegensia siswa. Artinya dalam pembelajaran CTL guru harus
memerhatikan kebutuhan dan kecerdasan yang dimiliki siswa yang meliputi: (1)
kecerdasan verbal linguistik adalah kemampuan untuk menggunakan kata-kata secara
efektif, baik secara lisan maupun tulisan; (2) kecerdasan logis matematis adalah
kemampuan menggunakan angka secara efektif dan penalaran secara baik; (3)
kecerdasan visual spasial adalah kemampuan untuk mempersepsi pola, ruang, warna,
garis, dan bentuk serta mewujudkan gagasan-gagasan visual dan keruangan secara
grafis; (4) kecerdasan secara kinestetik adalah kemampuan yang menggunakan
gerakan badan untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan serta menyelesaikan
problem; (5) kecerdasan musik adalah kemampuan memahami dan menyusun pola
nada, irama, dan melodi; (6) kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan memahami
diri dan bertindak sesuai dengan kemampuannya; (7) kecerdasan antarpribadi adalah
kemampuan memahami perasaan, maksud, dan motivasi orang lain; dan (8)
kecerdasan naturalis adalah kemampuan memahami dan mengklasifikasikan tanaman,
barang tambang, dan binatang.
6. Menggunakan teknik-teknik bertanya untuk meningkatkan pembelajaran siswa,
perkembangan pemecahan masalah, dan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Agar
pembelajaran CTL mencapai tujuannya, maka jenis dan tingkat pertanyaan yang tepat
harus diungkap/ditanyakan. Pertanyaan harus secara hati-hati direncanakan untuk
untuk menghasilkan tingkat berpikir, tanggapan, dan tindakan yang diperlukan siswa
dan seluruh peserta di dalam proses pembelajaran CTL Frazee, 2001(Nurhadi, dkk,
2003)
7. Menerapkan penilaian auntentik. Penialain auntentik mengevaluasi penerapan
pengetahuan dan berpikir kompleks seorang siswa, daripada hanya sekadar hafalan
informasi aktual. Kondisi alamiah pembelajaran CTL memerlukan penilaian
interdisiplin yang dapat mengukur pengetahuan dan keterampilan lebih dalam dan
dengan cara yang bervariasi dibandingkan dengan penilaian satu disiplin Ananda,
(Nurhadi, dkk, 2003).
e. Komponen Utama Contextual Teaching Learning (CTL)

Adapun komponen utama pembelajaran yang mendasari penerapan pembelajaran


CTL di kelas, yaitu sebagai berikut:

1. Konstruktivisme ( Contractivism)
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan CTL. Maksud
konstruktivisme disini adalah pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi
sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak
secara mendadak. Dalam hal ini, manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan
memberi makna melalui pengalaman nyata.
2. Menemukan (Inquiri)
Menemukan merupakan kegiatan inti dari proses pembelajaran CTL.
Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil
mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Dalam hal ini
tugas guru yang harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan
menemukan, apaun materi yang diajarkannya.
Secara umum proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu: (1)
Merumuskan masalah; (2) mengajukan hipotesis; (3) mengumpulkan data; (4)
menguji hipotesis berdsarkan data yang ditemukan; dan (5) membuat kesimpulan.
3. Bertanya (Questioning)
Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan CTL. Dalam proses pembelajaran bertanya dipandang sebagai kegiatan
guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi
siswa kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan
pembelajaran yang berbasis penemuan (inquiri), yaitu menggali informasi,
mengkonfirmasikan apa yang sudah diteliti dan mengarahkan perhatian pada aspek
yang belum diketahui.
Dalam suatu pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat berguna
untuk: (1) menggali informasi tentang kemampuan murid dalam penguasaan materi
pelajaran; (2) membangkitkan motivasi murid untuk belajar; (3) merangsang
keingintahuan murid terhadap sesuatu; (4) memfokuskan murid pada sesuatu yang
diinginkan; dan (5) membimbing murid untuk menemukan atau menyimpulkan
sesuatu.
4. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep masyarakat belajar ini menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh
dari kerjasama dengan orang lain. Hasil pembelajaran diperoleh dari berbagai antar
teman, antar kelompok dan antar yang tahu dengan yang tidak tahu. Masyarakat
belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah, seseorang yang terlibat
dalam masyarakat belajar akan memberi informasi yang diperlukan oleh teman
bicaranya dan sekaligus juga meminta informasi yang diperlukan dari teman
belajarnya. Oleh karena itu, dalam kelas CTL guru disarankan selalu melaksanakan
pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar.
5. Pemodelan (Modeling)
Pemodelan maksudnya adalah bahwa dalam sebuah pembelajaran keterampilan
atau pengetahuan tertentu harus ada model yang ditiru. Pemodelan akan lebih
mengefektifkan pelaksanaan pembelajarn dengan pendekatan CTL untuk ditiru,
diadaptasi, atau dimodifikasi. Dengan adanya suatu model untuk dijadikan contoh
biasanya akan lebih dipahami atau bahkan bisa menimbulkan ide baru. Salah satu
contohnya pemodelan dalam pembelajaran misalnya mempelajari contoh
penyelesaian soal, penggunaan alat peraga, cara menemukan kata kunci dalam suatu
bacaan, atau dalam membuat suatu skema konsep. Pemodelan ini tidak selalu oleh
guru, bisa oleh murid atau media yang lainnya.
6. Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang
tentang apa yang sudah kita lakukan di masa yang lalu. Refleksi merupakan respon
terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang diterima, refleksi adalah berpikir
kembali tentang materi yang baru dipelajari, merenungkan lagi aktivitas yang telah
dilakukan atau mengevaluasi kembali bagaimana belajar yang telah dilakukan.
Refleksi berguna untuk mengevaluasi diri, koreksi, perbaikan, atau peningkatan diri.
Contoh dari refleksi adalah membuat rangkuman, meneliti, memperbaiki kegagalan,
mencari alternatif lin cara belajar dan membuat jurnal pembelajaran.
7. Penilaian yang Sebenarnya (Autentic Assesmen)
Asesmen otentik adalah penilaian yang dilakukan secara konperhensif berkenaan
dengan seluruh aktifitas pembelajaran yang meliputi proses dan produk belajar
sehingga seluruh usaha siswa yang telah dilakukan mendapat penghargaan. Penilaian
otentik seharusnya dilakukan dari berbagai aspek dan metode sehingga menjadi
objektif. Misalnya membuat catatan harian melalui observasi untuk menilai aktivitas
dan motivasi, wawancara atau angket untuk menilai aspek afektif dan tes untuk
menilai tingkat penguasaan siswa terhadap materi bahan ajar.
Ada 5 tahapan pembelajaran CTL yang digunakan dalam meningkatkan
pemahaman dan hasil belajar siswa seperti yang dikemukakan oleh Nurhadi (2003: 59)
yaitu:
Tabel 2. 1 Tahapan Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL)

Tahapan Kegiatan Guru

Tahap 1 : 1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran.


2. Menjelaskan perangkat yang dibutuhkan.
Orientasi siswa
3. Memotivasi siswa agar terlibat pada aktivitas
kepada masalah
pemecahan masalah yang dipilihnya.
Tahap 2 : 1. Guru mendorong siswa untuk mengemukakan
pengetahuan awal yang dimilikinya terhadap
Mengelola
masalah, kemudian pengetahuan awal siswa
pengetahuan awal
tersebut dijadikan acuan untuk menyelidikinya
siswa terhadap
2. Guru memotivasi siswa dalam membangun
masalah. pengetahuan siswa dari pengalaman baru
berdasarkan pada pengetahuan awal.
(Konstruktivisme)
3. Guru mengemukakan pertanyaan yang mengacu
pada pengembangan kreativitas berfikir siswa
yang berhubungan dengan masalah dengan
mengaitkan antar masalah dengan kenyataan yang
ada dilingkungan siswa. (questioning)
4. Guru mendorong siswa untuk mengemukakan ide
atau gagasan terhadap pemecahan masalah yang
akan dilakukan
Tahap 3 : 1. Membimbing siswa secara individu maupun
dalam kelompok-kelompok belajar dalam
Mengorganisasikan
mengatasi masalah. (learning community)
, serta membimbing
2. Guru membimbing siswa untuk mengumpulkan
penyelidikan
informasi yang sesuai melalui observasi dan
individual dan
eksperimen dengan mengaitkan antara masalah
kelompok
dengan konteks keseharian siswa sehingga dari
mengamati siswa dapat memahami masalah
tersebut (inquiri)
Tahap 4 : 1. Guru membantu siswa melakukan refleksi
terhadap proses pemecahan masalah yang
Menganalisis dan
dilakukan. (refleksi)
mengevaluasi
2. Guru mengukur dan mengevaluasi penyelidikan
proses pemecahan
siswa dan proses-proses yang mereka gunakan.
masalah
(authentic assessment)
Tahap 5 : Guru membantu siswa merencanakan dan
menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video
Mengembangkan
dan model baik secara individual maupun kelompok
dan menyajikan
terhadap proses pemecahan masalah yang telah
hasil karya
dilakukan. (pemodelan)

Sumber : buku pembelajaran CTL dan penerapannya dalam KBK (Nurhadi, 2003:59)
Secara rinci kegiatan yang dilakukan guru dan siswa pada setiap tahapan
pembelajaran CTL tersebut yaitu pada tahap kegiatan awal pembelajaran, guru
memulai pembelajaran dengan melaksanakan tahap pertama yaitu orientasi siswa
kepada masalah. Kegiatan yang dilakukan guru pada tahap pertama ini yaitu pertama-
tama guru menjelaskan tujuan pembelajaran kepada siswa yaitu perubahan wujud
benda, kemudian guru menjelaskan perangkat yang dibutuhkan, dan (4) memotivasi
siswa agar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang akan dilakukan.
Pada tahap pelaksanaan pembelajaran atau kegiatan inti pembelajaran, guru
memulai pembelajaran dengan melaksanakan tahap kedua dan ketiga dalam
pembelajaran CTL yaitu mengelola pengetahuan awal siswa terhadap masalah, dan
mengorganisasi, serta membimbing penyelidikan individual dan kelompok. Kegiatan
yang dilakukan dalam kedua tahap ini yaitu (1) meminta siswa untuk mengemukakan
pengetahuan awal yang dimilikinya terhadap materi, (2) guru memotivasi siswa dalam
membangun pengetahuan siswa dari pengalaman baru berdasarkan pada pengetahuan
awal (konstruktivisme), (3) membimbing siswa untuk mengemukakan pertanyaan
terhadap materi (questioning), (4) mengoraganisisasikan siswa kedalam kelompok-
kelompok belajar (learning community), (6) mengumpulkan informasi yang sesuai
melalui observasi yang berhubungan dengan materi dan melaksanakan eksperimen
untuk mendapatkan penjelasan serta pemecahan masalahnya. Sedangkan pada tahap
akhir pembelajaran direncanakan guru melaksanakan tahap 4 dan tahap 5 dalam
langkah-langkah pembelajaran CTL, yaitu menganalasis dan mengevaluasi
pemecahan masalah, serta mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Kegiatan
yang dilakukan dalam tahapan ini antara lain (1) melakukan refleksi terhadap proses
pemecahan masalah yang dilakukan (refleksi), (2) mengukur dan mengevaluasi
penyelidikan siswa dan proses-proses yang mereka gunakan (authentic assessment),
(3) merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dari aktivitas
pemecahan masalah yang telah dilakukan (pemodelan).

B. Kerangka Pikir
Di dalam masyarakat yang terus berkembang, nilai senantiasa ikut berubah.
Pergeseran nilai dalam banyak hal juga akan mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan
ataupun tata kelakuan yang berlaku dalam masyarakat. Di wilayah perdesaan, sejak
berbagai siaran dan tayangan telivisi swasta mulai dikenal, perlahan-lahan terlihat
bahwa di dalam masyarakat itu mulai terjadi pergesaran nilai, misalnya tentang
kesopanan. Tayangan-tayangan yang didominasi oleh sinetron-sinetron mutakhir yang
acapkali memperlihatkan artis-artis yang berpakaian relatif terbuka, sedikit banyak
menyebabkan batas-batas toleransi masyarakat menjadi semakin longgar. Berbagai
kalangan semakin permisif terhadap kaum remaja yang pada mulanya berpakaian
normal, menjadi ikut latah berpakaian minim dan terkesan makin berani. Model
rambut panjang kehitaman yang dulu menjadi kebanggaan gadis-gadis desa, mungkin
sekarang telah dianggap sebagai simbol ketertinggalan. Sebagai gantinya, yang
sekarang dianggap trendy dan sesuai dengan konteks zaman sekarang (modern)
adalah model rambut pendek dengan warna pirang atau kocoklat-coklatan.  Jadi
berubahnya nilai akan berpengaruh terhadap norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi yang tepat dalam mengajarkan
materi tentang Nilai dan Norma sosial sehingga siswa dapat memahami secara
mendalam dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu
fenomena materi IPS yang dianggap sulit untuk dipahami adalah materi Nilai dan
Norma Sosial Hal ini disebabkan oleh penyajian materi yang kurang tepat dan
penggunaan strategi yang kurang tepat serta kurang melibatkan siswa dalam proses
pembelajaran. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka perlu adanya pendekatan
pembelajaran yang tepat, Salah satunya adalah dengan pendekatan CTL. Dengan
dasar inilah sehingga peneliti menjadikan sebagai landasan berpikir bahwa dengan
pendekatan CTL dapat membantu murid dalam memahami materi Nilai dan Norma
Sosial sehingga dapat meningkatkan hasil belajar murid. Adapun bentuk skema dari
tindakan penelitian ini adalah sebagai berikut:

Nilai dan Norma Sosial


ASPEK SISWA ASPEK GURU

PENDEKAKAN CONTEXTUAL
TEACHING AND LEARNING (CTL)

7 Komponen Utama CTL


1. Konstruktivisme
2. Inkuiri
3. Bertanya
4. Masyarakat Belajar
5. Pemodelan
6. Refleksi
7. Penilaian Sebenarnya

Motivasi Belajar konsep Nilai dan


Norma Sosial Meningkat

Gambar 2.1 Skema kerangka pikir penelitian tindakan


Penerapan Contextual Teaching And Learning (CTL) dalam meningkatkan
motivasi belajar konsep Nilai dan Norma sosial
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

1. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan


pendekatan kualitatif. Dimana tujuan dari pada pendekatan ini untuk menemukan,
mengembangkan dan membuktikan pegetahuan yang diperoleh yaitu khususnya
dalam menerapkan pendekatan Contextual Teaching And Learning untuk
meningkatkan motivasi belajar tentang Nilai dan Norma Sosial siswa kelas 1 SMA 6
Muhammadyah Makassar.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah menggunakan jenis penelitian tindakan kelas, dimana
jenis penelitian ini merupakan kajian sosial dengan maksud untuk meningkatkan
kualitas tindakan didalamnya. Langkah-langkah tindakan yang ditempuh merupakan
kerja yang berulang (siklus-siklus) sebagaimana yang dikembangkan oleh Kenmis
dan MC. Taggar yaitu perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi, hingga diperoleh
pembelajaran yang dapat meningkatkan Motivasi Belajar Nilai dan Norma Sosial
siswa kelas 1 SMA 6 Muhammadyah Makassar.

B. Setting dan Subjek Penelitian


1. Setting Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di SMA 6 Muhammadyah Makassar sebagai
sekolah mitra. Peneliti memilih murid kelas1sebagai responden dengan alasan:
Rendahnya pemahaman murid kelas 1 tentang Nilai dan Norma Sosial.
2. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah guru dan murid kelas 1 SMA 6
Muhammadyah Makassar , serta kejadian-kejadian yang terjadi selama proses
pembelajaran IPS berlangsung, berupa metode, situasi belajar, kondisi murid. Jumlah
murid yang berada di kelas 1 yang dijadikan subjek dalam penelitian ini adalah
berjumlah 25 orang murid, yang masing-masing terdiri dari 18 siswa perempuan dan
7 siswa laki-laki.
C. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini diadakan di SMA 6 Muhammadyah Makassar . Adapun yang


menjadi fokus dalam Penelitian Tindakan Kelas ini adalah: Proses pembelajaran dengan
mengamati proses yang terjadi dalam pembelajaran, meliputi aktivitas guru, siswa, dan
interaksi dari berbagai unsur kegiatan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
CTL.

D. Rancangan Penelitian
Secara garis besar langkah penelitian/rencana implementasi tindakan dalam penelitian
ini mengikuti proses siklus atau daur ulang yang dilakukan menurut model Kemmis dan
Taggart (Wiriaatmadja,2008:66) yang meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan
tindakan, observasi, dan refleksi.

Adapun tahap-tahap penelitian ini dapat digambarkan dalam bagan 2 berikut:

SIKLUS I

Perencanaan Pelaksanaan Observasi

SIKLUS II Belum Berhasil Refleksi


Selesai Berhasil Refleksi

Bagan 3.1 Tahap-Tahap Penelitian yang Diadaptasi dari Model Kemmis dan Taggart
(Wiriaatmadja,2008:66).

Berdasarkan bagan desain penelitian tersebut, maka tahap-tahap penelitian ini


dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Perencanaan
Pada tahap ini rencana tindakan meliputi penyusunan rancangan pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan Kontekstual, menyediakan lembar materi yang
telah disusun dan digunakan sebagai acuan bagi siswa, merancang pembelajaran
dengan menggunakan alat peraga yang ada disekitar siswa, menyiapkan lembaran
observasi, tes formatif, serta mengkoordinasikan program kerja pelaksanaan
tindakan dengan guru sosiologi SMA 6 Muhammadyah Makassar.

2. Pelaksanaan tindakan
Melaksanakan pembelajaran sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah
disusun bersama peneliti dan guru sebelumnya. Tindakan ini dimaksudkan untuk
memperbaiki keadaan atau kegiatan pembelajaran di kelas yang belum sesuai
dengan yang diharapkan.

3. Observasi
Pada tahap observasi meliputi pengamatan yang dilaksanakan selama kegiatan
tindakan berlangsung. Fokus observasi adalah aktivitas guru dan siswa. Aktivitas
guru dapat diamati mulai pada tahap pembelajaran, saat pembelajaran, dan akhir
pembelajaran.

4. Refleksi
Refleksi dilakukan untuk menganalisis hasil tindakan agar dapat memperbaiki
tindakan berikutnya.
Tindakan pada materi ini berlangsung 2 siklus apabila pada tindakan pertama
tidak berhasil sesuai dengan apa yang ingin dicapai maka akan dilakukan tindakan
kembali sampai memenuhi kriteria pencapaian target yang telah ditentukan, dan
siklus tindakan diakhiri atau dihentikan apabila:

1) Hasil pengamatan telah menunjukan bahwa pelaksanaan proses pembelajaran


telah tercapai
2) Hasil wawancara telah memberikan informasi bahwa siswa merasa termotivasi
dalam mengikuti proses pembelajaran.
3) Tes yang telah diberikan pada akhir tindakan dapat diselesaikan siswa baik
siswa yang berkemampuan rendah, sedang, maupun tinggi.

E. Teknik Pengumpulan Data


Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini dilakukan dengan Angket, tes,
wawancara, dan observasi. Keempat teknik tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Metode Angket
Dalam hubungannya dengan pengumpulan data, maka peneliti menggunakan
kosiener langsung artinya angket diberikan langsung kepada responden untuk
diselesaikan. Maksudnya suatu jawaban angket setiap aitem pertanyaan telah
disediakan jawabannya, responden hanya memilih jawaban yang sesuai dengan
pendapatnya, dengan penggunaan metode angket, maka telah diperoleh data antara
lain: mengenai sikap siswa terhadap hasil evaluasi belajarnya, motivasi belajar siswa
terhadap hasil penilaian sosiologi yang diberikan oleh guru, bagaimana sikap siswa
terhadap hasil belajar.
2. Tes
Tes dilakukan untuk mengumpulkan informasi tentang pemahaman siswa
terhadap pokok bahasan struktur daun dan fungsinya. Tes ini dilaksanakan pada awal
penelitian, pada akhir setiap tindakan dan pada akhir setelah diberikan serangkaian
tindakan.

3. Wawancara.
Wawancara dimaksudkan untuk menggali kesulitan murid dalam memahami
konsep Nilai dan Norma Sosial yang mungkin sulit diperoleh dari hasil pekerjaan
siswa maupun dalam kegiatan pembelajaran.
4. Observasi
Pedoman observasi dalam penelitian ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu:

1. Observasi terhadap guru yang difokuskan pada langkah-langkah pembelajaran


dengan menggunakan pendekatan kontekstual sebagai pendekatan mengajar dalam
meningkatkan pemahaman siswa.
2. Observasi terhadap siswa yang difokuskan terhadap peningkatan motivasi
siswa selama proses pembelajaran yang terjadi di kelas dengan menggunakan
pendekatan kontekstual.
F. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengelompokkan data aspek
guru dan aspek siswa. Teknik yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif dan
kuantitatif. Analisis kuantitatif dianalisis dengan statistik deskriptif meliputi skor rata-
rata, persentase, standar minimum, dan standar maksimum yang akan dicapai pada setiap
siklus. Sedangkan analisis kualitatif yang digunakan adalah kategorisasi dengan
menggunakan skala lima berdasarkan tekhnik kategorisasi standar yang diterapakan
departemen pendidikan dan kebudayaan (1999) yang dinyatakan sbb:

No Nilai Kategori
1 0-34 Sangat rendah
2 35-54 Rendah
3 55-64 Sedang
4 65-84 Tinggi
5 85-100 Sangat tinggi

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A. 1991. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia.

Departement Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke III. Jakarta:
Balai pustaka.
Elaine B. Johnson. 2006. Kontextual Teaching And Learning. Bandung: MLC.
SD. Jakarta: Erlangga.

Kunandar. 2007. Guru Profesional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Nurhadi, dkk. 2002. Pembelajaran CTL dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas
Negeri Makassar.
Nurhadi, dkk. 2003. Pembelajaran CTL dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas
Negeri Makassar.
Purwanto, ngalim. 1998. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

Saebani, Beni, ahmad.2006. Sosiologi Hukum. Bandung: CV Pustaka Setia.

Sahabuddin.2007. Mengajar dan Belajar. Makassar: Badan penerbit Universitas Negeri


Makassar.
Sardiman. 1996. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo
persada.
Sardiman. 2008. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Slameto. 1992. Belajar dan FaktorFaktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka cipta.
Soekanto, Soerjono.2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sofyan, Gusarmin dan Amiruddin B. 2007. Modul Diklat Profesi Guru Model-Model
Pembelajaran I. Kendari: Universitas Haluoleo.
Syah, Muhibbin. 2004. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Trianto. 2008. Mendesain Pembelajaran Kontekstual Di kelas. Jakarta: Cerdas Pustaka
Publisher.
Wina Sanjaya. 2006. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Wiriaatmadja, rochiati. 2008. Metode penelitian Tindakan Kelas untuk Meningkatkan
Kinerja Guru dan Dosen. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SOSIOLOGI MELALUI PENDEKATAN
CONTEXTUAL TEACHING LEARNING PADA POKOK BAHASAN NILAI
DAN NORMA SOSIAL PADA SISWA KELAS X SMA 6
MUHAMMADYAH MAKASSAR

PROPOSAL
DI SUSUN OLEH:
DWI REZKY NOVITASARI

10538 0481 07

JURUSAN SOSIOLOGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2011

Anda mungkin juga menyukai