Anda di halaman 1dari 9

PENDIDIKAN PANCASILA

Dosen Pengampu : Agustin Sastrawan Harahap, S . PD, M . PD

Disusun Oleh :

Nama : Putri Yasmi

Nim : 6201111027

Kelas : PJKR II B

PENDIDIKAN JASMANI KESEHATAN & REKREASI

FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2021
SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA

Lahirnya Pancasila adalah judul pidato yang disampaikan oleh Soekarno dalam sidang Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 1 Juni 1945. Dalam pidato inilah konsep
dan rumusan awal "Pancasila" pertama kali dikemukakan oleh Soekarno sebagai dasar negara
Indonesia merdeka. Pidato ini pada awalnya disampaikan oleh Soekarno secara aklamasi tanpa
judul dan baru mendapat sebutan "Lahirnya Pancasila" oleh mantan Ketua BPUPKI Dr. Radjiman
Wedyodiningrat dalam kata pengantar buku yang berisi pidato yang kemudian dibukukan oleh
BPUPKI. Sejak tahun 2017, tanggal 1 Juni resmi menjadi hari libur nasional untuk memperingati
hari "Lahirnya Pancasila".

Menjelang kekalahan Tentara Kekaisaran Jepang di akhir Perang Pasifik, tentara pendudukan
Jepang di Indonesia berusaha menarik dukungan rakyat Indonesia dengan membentuk
Dokuritsu Junbi Cosakai (bahasa Indonesia: "Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan"
atau BPUPK, yang kemudian menjadi BPUPKI, dengan tambahan "Indonesia").

Badan ini mengadakan sidangnya yang pertama dari tanggal 29 Mei (yang nantinya selesai
tanggal 1 Juni 1945). Rapat dibuka pada tanggal 28 Mei 1945 dan pembahasan dimulai
keesokan harinya 29 Mei 1945 dengan tema dasar negara. Rapat pertama ini diadakan di
gedung Chuo Sangi In di Jalan Pejambon 6 Jakarta yang kini dikenal dengan sebutan Gedung
Pancasila. Pada zaman Belanda, gedung tersebut merupakan gedung Volksraad (bahasa
Indonesia: "Perwakilan Rakyat").

Setelah beberapa hari tidak mendapat titik terang, pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno
mendapat giliran untuk menyampaikan gagasannya tentang dasar negara Indonesia merdeka,
yang dinamakannya "Pancasila". Pidato yang tidak dipersiapkan secara tertulis terlebih dahulu
itu diterima secara aklamasi oleh segenap anggota Dokuritsu Junbi Cosakai.

Selanjutnya Dokuritsu Junbi Cosakai membentuk Panitia Kecil untuk merumuskan dan
menyusun Undang-Undang Dasar dengan berpedoman pada pidato Bung Karno tersebut.
Dibentuklah Panitia Sembilan (terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis,
Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Soebardjo, Wahid Hasjim,
dan Mohammad Yamin) yang ditugaskan untuk merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar
Negara berdasar pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, dan menjadikan
dokumen tersebut sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Setelah melalui proses persidangan dan lobi-lobi akhirnya rumusan Pancasila hasil penggalian
Bung Karno tersebut berhasil dirumuskan untuk dicantumkan dalam Mukadimah Undang-
Undang Dasar 1945, yang disahkan dan dinyatakan sah sebagai dasar negara Indonesia
merdeka pada sidang PPKI I tanggal 18 Agustus 1945.

Dalam kata pengantar atas dibukukannya pidato tersebut, yang untuk pertama kali terbit pada
tahun 1947, mantan Ketua BPUPKI Dr. Radjiman Wedyodiningrat menyebut pidato Ir. Soekarno
itu berisi “Lahirnya Pancasila”.

”Bila kita pelajari dan selidiki sungguh-sungguh “Lahirnya Pancasila” ini, akan ternyata bahwa
ini adalah suatu Demokratisch Beginsel, suatu Beginsel yang menjadi dasar Negara kita, yang
menjadi Rechtsideologie Negara kita; suatu Beginsel yang telah meresap dan berurat-berakar
dalam jiwa Bung Karno, dan yang telah keluar dari jiwanya secara spontan, meskipun sidang
ada dibawah penilikan yang keras dari Pemerintah Balatentara Jepang. Memang jiwa yang
berhasrat merdeka, tak mungkin dikekang-kekang! Selama Fascisme Jepang berkuasa dinegeri
kita, Demokratisch Idee tersebut tak pernah dilepaskan oleh Bung Karno, selalu dipegangnya
teguh-teguh dan senantiasa dicarikannya jalan untuk mewujudkannya. Mudah-mudahan
”Lahirnya Pancasila” ini dapat dijadikan pedoman oleh nusa dan bangsa kita seluruhnya dalam
usaha memperjuangkan dan menyempurnakan Kemerdekaan Negara.”

Pengamalan Nilai-nilai Pancasila Dalam Kehidupan Sehari-hari

Sebagai ideologi bangsa, Pancasila terdiri dari seperangkat nilai dan norma yang seyogyanya
terinternalisasi dalam diri setiap rakyat Indonesia. Ya, Pancasila adalah ruh yang menggerakkan
aktivitas keseharian bangsa. Karena itulah pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan
kita sehari-hari menjadi sebuah urgensi. Mengapa demikian? Pancasila dirumuskan oleh para
Founding Fathers negara Indonesia dengan “memeras” sari pati nilai-nilai luhur yang telah sejak
dulu membudaya di nusantara. Nilai-nilai luhur tersebut telah tumbuh dan berkembang di
tengah masyarakat, bahkan jauh sebelum Republik Indonesia berdiri.

Dalam konteks kedudukannya sebagai dasar negara, Pancasila sejatinya adalah identitas bangsa
Indonesia. Kehadirannya membuat bangsa ini utuh. Karena tanpa dasar negara, bangsa
Indonesia tidak memiliki identitas serta arah tujuan yang sama, sehingga ancaman perpecahan
akan lebih mudah terjadi.

1. Pengamalan Nilai Sila Pertama (Ketuhanan)

Nilai ini terkandung pada sila pertama Pancasila yang berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Nilai ketuhanan pada sila pertama tersebut mengandung dua nilai turunan, yaitu nilai
kepercayaan dan nilai ketakwaan.

Nilai kepercayaan diwujudkan dalam bentuk keyakinan dan pengakuan terhadap adanya Tuhan
Yang Maha Esa. Dalam konteks kenegaraan, keyakinan tersebut diwujudkan dengan adanya
enam agama yang secara resmi diakui oleh pemerintah, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu,
Budha, dan Konghucu.

Sementara nilai ketakwaan bermakna kebebasan bagi setiap warga negara untuk beribadah
sesuai agama yang diyakininya tersebut. Hal ini sesuai amanah UUD 1945, terutama Pasal 28E
Ayat 1 yang berbunyi “Setiap warga negara bebas memeluk agama dan beribadah sesuai
agamanya.”

Butir Pengamalan Sila Ke-1 dalam TAP MPR Nomor I/MPR/2003

Untuk membantu memahami nilai ketuhanan tersebut, terdapat butir-butir sila pertama
sebagai penjelas bagi masyarakat. Menurut TAP MPR Nomor I/MPR/2003, berikut ini adalah
butir-butir pengamalan sila pertama Pancasila:
1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
2. Manusia Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan
agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab
3. Mengembangkan sikap saling menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama
dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa
4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa
5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang
menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa
6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaannya masing-masing
7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
kepada orang lain.

2. Pengamalan Nilai Pancasila Sila Ke-2 (Kemanusiaan)

Nilai ini termaktub dalam sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.” Adanya
nilai tersebut mengandung makna bahwa kemanusiaan haruslah diutamakan dalam aktivitas
keseharian masyarakat Indonesia. Terlebih lagi negeri ini berdiri di atas berbagai macam
perbedaan, seperti yang tersurat dalam semboyan negara Indonesia, “Bhinneka Tunggal Ika”.
Nilai kemanusiaan menjamin kita untuk memperlakukan sesama manusia dengan adil tanpa
membedakan suku, ras, golongan, dan agama.

Dalam konteks negara, Indonesia juga menjamin seluruh warga negaranya memiliki kesamaan
kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Jaminan ini sebagaimana tercantum dalam Pasal
27 Ayat 1 UUD 1945. Pasal tersebut berbunyi, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya
dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.”
Butir Pengamalan Sila Ke-2 dalam TAP MPR Nomor I/MPR/2003

Nilai kemanusiaan juga menjamin setiap manusia memiliki persamaan derajat. Hal ini seperti
tercantum dalam makna sila kedua menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu
menghargai dan menghormati antar sesama manusia serta memiliki persamaan derajat.Secara
lebih mendetail, pengamalan sila kedua dijabarkan dalam butir-butir sesuai TAP MPR Nomor
I/MPR/2003, sebagai berikut:

1. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa
2. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia,
tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin,
kedudukan sosial, warna kulit, dan sebagainya
3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia
4. Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa salira
5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain
6. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan
7. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan
8. Berani membela kebenaran serta keadilan
9. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia
10. Mengembangkan sikap saling menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.

3. Pengamalan Nilai Pancasila Ke-3 (Nilai Persatuan)

Sila ketiga Pancasila, “Persatuan Indonesia”, mengandung nilai persatuan ini. Maknanya adalah
bahwa seluruh warga negara Indonesia harus bersatu tanpa memandang perbedaan suku,
bahasa, agama, dan latar belakang budaya lainnya. Menurut Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, nilai persatuan salah satunya dapat diwujudkan dengan cara memiliki jiwa
nasionalisme yang tinggi. Nasionalisme sendiri berarti rasa cinta terhadap tanah air Indonesia.
Butir Pengamalan Sila Ke-3 dalam TAP MPR Nomor I/MPR/2003

Lebih jelasnya, kandungan sila ketiga dijabarkan dalam butir-butir sesuai TAP MPR Nomor
I/MPR/2003, sebagai berikut:

1. Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa


dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi serta golongan
2. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara serta bangsa apabila diperlukan
3. Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa
4. Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia
5. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan pada kemerdekaan, perdamaian abadi,
serta keadilan sosial
6. Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika
7. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.

4. Pengamalan Nilai Pancasila Ke-4 (Nilai Kerakyatan)

Nilai kerakyatan terkandung pada sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Nilai tersebut bermakna
kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Nilai kerakyatan terkait erat dengan pemerintahan di
Indonesia yang menerapkan sistem demokrasi, yaitu, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat. Selain nilai tersebut, sila keempat juga bermakna pengambilan keputusan
dari pendapat-pendapat yang berbeda diutamakan melalui mekanisme musyawarah.

Butir Pengamalan Sila Ke-4 dalam TAP MPR Nomor I/MPR/2003

Pengamalan sila keempat dijabarkan dalam butir-butir sesuai TAP MPR Nomor I/MPR/2003,
sebagai berikut:

1. Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia memiliki
kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama
2. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain
3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama
4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan
5. Menghormati serta menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil
musyawarah
6. Dengan itikad baik serta rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil
keputusan musyawarah
7. Mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi serta golongan di
dalam musyawarah
8. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur
9. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada
Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai kebenaran
dan keadilan, serta mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bangsa
10. Memberi kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercaya untuk melaksanakan
pemusyawaratan.

5. Penerapan Nilai Pancasila Sile Ke-5 Nilai Keadilan

Nilai keadilan tercermin dalam sila kelima Pancasila, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.” Makna nilai tersebut adalah setiap masyarakat Indonesia memiliki hak yang sama
untuk mendapatkan kesejahteraan. Mewujudkan rakyat yang sejahtera tanpa kesenjangan
ekonomi, sosial, budaya, juga politik, merupakan tujuan dari bangsa Indonesia. Dengan
demikian nilai keadilan dapat diwujudkan.

Butir Pengamalan Sila Ke-5 dalam TAP MPR Nomor I/MPR/2003

Untuk memandu pengamalan nilai keadilan, butir-butir sila kelima Pancasila pun dirumuskan
melalui TAP MPR Nomor I/MPR/2003 sebagai berikut:

1. Mengembangkan perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana


kekeluargaan dan kegotongroyongan
2. Mengembangkan sikap adil terhadap sesama
3. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban
4. Menghormati hak orang lain
5. Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri
6. Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap
orang lain
7. Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup
mewah
8. Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan
umum
9. Suka bekerja keras
10. Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan
kesejahteraan bersama
11. Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan
berkeadilan sosial.

Anda mungkin juga menyukai