3. Mencari 3 Negara dan 10 Komoditas Ekspor dan Impor (Turki, India, Spanyol)
1) Turki
2) India
3) Spanyol
Rupiah melemah 22 poin ke posisi Rp14.234 per dolar AS pada Rabu (8/9) pagi. Rupiah melemah
karena penguatan dolar AS. (CNN Indonesia/Safir Makki).
Jakarta, CNN Indonesia -- Nilai tukar rupiah berada di posisi Rp14.235 per dolar AS di
perdagangan pasar spot pada Rabu (8/9) pagi. Mata uang Garuda melemah 22 poin atau
0,16 persen dari perdagangan sebelumnya yang berada di area Rp14.212 per dolar AS.
Sementara, mayoritas mata uang di Asia melemah terhadap dolar AS. Tercatat, yen Jepang
melemah 0,01 persen, , won Korea melemah 0,45 persen, baht Thailand melemah 0,2
persen, peso Filipina melemah 0,19 persen, dan ringgit Malaysia melemah 0,04 persen
Di sisi lain, yuan China menguat 0,06 persen dan dolar Singapura menguat 0,04 persen.
Begitu juga dengan mata uang utama negara maju, mayoritas berada di zona merah. Dolar
Australia menguat 0,19 persen, dolar Kanada menguat 0,13 persen, franc Swiss menguat
0,07 persen, dan poundsterling Inggris bergerak stagnan.
Analis Asia Valbury Futures Lukman Leong memperkirakan rupiah berbalik arah melemah
hari ini. Pasalnya, dolar AS mulai bangkit (rebound) setelah beberapa hari terakhir berada di
zona merah.
"(Dolar AS rebound) akan imbas ke rupiah, rupiah akan melemah," ungkap Lukman kepada
CNNIndonesia.com.
Ia mengatakan dolar AS menguat lantaran imbal hasil (yield) surat utang negara AS
meningkat. Hal ini membuat investor kembali memborong surat utang Negeri Paman Sam
tersebut.
Menurut Lukman, rupiah akan bergerak dalam rentang support Rp14.200 per dolar AS dan
resistance Rp14.325 per dolar AS.
Kuasai Emas Afghanistan Rp14.431 Triliun, Taliban Bisa Jadi Kekuatan Ekonomi Dunia
Muhaimin
SINDONEWS | Jum'at, 27 Agustus 2021 - 00:01 WIB
Para milisi Taliban menduduki istana presiden Afghanistan setelah Presiden Ashraf Ghani melarikan diri,
Minggu (15/8/2021). Foto/Screenshot Al Jazeera/Twitter @latikambourke
KABUL - Taliban sekarang mengusai deposit bijih besi, tembaga, lithium dan emas di
Afghanistan senilai USD1 triliun (lebih dari Rp14.431 triliun). Kekayaan yang sangat besar itu
dapat mendanai dan memenangkan perang mereka selama beberapa dekade mendatang.
Butuh waktu kurang dari dua minggu bagi Taliban untuk menguasai Afghanistan lagi setelah
pasukan Amerika Serikat dan sekutu NATO-nya mundur. Kelompok itu secara resmi
mengambil alih negara Afghanistan pekan lalu.
Ini memicu beberapa adegan yang berkonfrontasi termasuk orang-orang putus asa yang
jatuh dari sayap pesawat saat mereka mencoba melarikan diri. Ada juga pemandangan
sekitar 640 orang berdesakan di ruang kargo pesawat saat mereka melarikan diri.
Sekarang setelah Taliban mengendalikan negara itu, yang menurut perkiraan Pentagon
memiliki deposit bijih besi, tembaga, hingga emas bernilai lebih dari USD1 triliun.
Itu prospek yang menakutkan mengingat mereka berhasil memenangkan perang hanya
dengan modal USD1,6 miliar (lebih dari Rp23 triliun).
Menurut para pejabat militer AS, yang dilansir news.com.au, Kamis (26/8/2021), jumlah nilai
kekayaan Taliban akan meningkat hampir 1.000 kali lipat di tahun-tahun mendatang karena
mengeksploitasi deposit mineral yang kaya di negara itu.
Seorang ahli mengatakan hanya perlu satu dekade bagi Taliban untuk menjadi kekuatan
ekonomi.
Di masa lalu, korupsi, keterpencilan dan ancaman pemberontakan telah mempersulit
penggalian mineral berharga dari tanah Afghanistan.
Studi EIU: Peluncuran Vaksin COVID-19 yang Lambat Bisa Picu Kerugian Global 2,3 T
Dolar
Liputan6.com| Rabu, 25 Agustus 2021 - 17:10 WIB
Sebuah laporan studi yang dirilis oleh Economist Intelligence Unit (EIU) pada Rabu (25/8),
mengatakan bahwa peluncuran vaksin COVID-19 yang lambat bisa menelan kerugian
ekonomi global hingga sebesar $2,3 triliun.
Studi itu juga menemukan bahwa negara berkembang, yang peluncuran vaksinnya jauh di
belakang negara-negara kaya, akan menanggung beban kerugian tersebut.
Dikutip dari AFP, Rabu (25/8/2021) laporan studi tersebut muncul ketika negara-negara
maju memutuskan untuk memberikan suntikan booster vaksin COVID-19 epada warga
mereka, sementara upaya internasional untuk menyediakan vaksin bagi negara-negara
berpenghasilan rendah masih belum memadai.
Studi tersebut menghitung bahwa negara-negara yang gagal memvaksinasi 60 persen
populasi mereka pada pertengahan 2022 akan menderita kerugian, setara dengan dua
triliun euro, selama periode 2022-2025.
"Negara-negara berkembang akan menanggung sekitar dua pertiga dari kerugian ini, lebih
lanjut menunda konvergensi ekonomi mereka dengan negara-negara yang lebih maju," kata
EIU.
Studi ini juga memperingatkan peluncuran vaksin COVID-19 yang tertunda dapat memicu
amarah, meningkatkan risiko masalah sosial di negara berkembang.
Disebutkan juga, negara di wilayah Asia-Pasifik akan menjadi yang terparah secara absolut
dalam kelambatan peluncuran vaksin, terhitung hampir tiga perempat dari kerugian.
Tetapi sebagai persentase dari PDB, Afrika sub-Sahara akan melihat kerugian terburuk.
Sekitar 60 persen populasi negara-negara berpenghasilan tinggi menerima setidaknya satu
dosis vaksin COVID-19 pada akhir Agustus 2021, dibandingkan dengan hanya satu persen di
negara-negara berpenghasilan rendah, menurut studi tersebut.
Diketahui bahwa sebagian besar vaksin COVID-19 membutuhkan hingga dua suntikan untuk
satu penerima.
Namun, "Kampanye vaksinasi mengalami kemajuan pesat di negara-negara berpenghasilan
rendah," kata studi itu.
Penulis laporan studi tersebut, Agathe Demarais menyebutkan, upaya internasional untuk
menyediakan vaksin COVID-19 kepada negara-negara miskin, melalui program COVAX, gagal
memenuhi harapannya yang bahkan sederhana.
"Ada sedikit kemungkinan bahwa kesenjangan akses ke vaksin akan dijembatani dengan
negara-negara kaya hanya menyediakan sebagian kecil dari apa yang dibutuhkan," katanya
dalam sebuah pernyataan.
"Akhirnya, fokus di negara maju bergeser ke arah pemberian dosis vaksin booster, yang
akan menambah kekurangan bahan baku dan kemacetan produksi," tambah Demarais.
EIU menjelaskan, studinya dilakukan dengan menggabungkan prakiraan internal untuk
jadwal vaksinasi COVID-19 di sekitar 200 negara dengan prakiraan pertumbuhan PDB.
Suara.com - Australia diperkirakan akan mengalami resesi pertamanya setelah terkena dampak dari
pandemi virus corona.
Menyadur BBC, Kamis (4/6/2020), ekonomi Australia dalam tiga bulan pertama tahun 2020
mengalami penyusutan sebesar 0,3 persen.
Angka produk domestik bruto (PDB) terbaru menunjukkan bahwa perekonomian Australia
tengah berjuang dari hantaman bencana kebakaran, melemahnya sektor pariwisata dan
permintaan domestik yang menurun, bahkan sebelum pembatasan terkait Covid-19 dimulai.
"Ini adalah pertumbuhan paling lambat sepanjang tahun sejak September 2009, ketika
Australia berada di tengah-tengah krisis keuangan global," ujar Kepala Ekonom Biro Statistik
Australia Bruce Hockman.
Menteri Keuangan Australia Josh Frydenberg mengakui bahwa negaranya kini menuju resesi
dan memperkirakan kondisi bisa jauh lebih buruk.
"Perbendaharaan sedang mempertimbangkan penurunan PDB lebih dari 20 persen pada
kuartal Juni. Ini adalah Armageddon versi ekonomi," kata Frydenberg dikutip dari ABC News.
"Pada kuartal ini, kuartal Maret, kepercayaan konsumen dan bisnis jatuh ke level terendah
dalam catatan. ASX 200 kehilangan sepertiga dari nilai dan pada 16 Maret, terlihat
penurunan harian terbesarnya adalah 9,7 persen berdasarkan catatan," kata dia.
Maret lalu, Reserve Bank of Australia memangkas suku bunga utamanya ke rekor terendah
0,25 persen. Bank sentral juga meluncurkan program pembelian obligasi tanpa batas.
Gubernur Philip Lowe mengatakan negaranya tengah menghadapi kondisi terberat sejak
Depresi Besar.
"Ekonomi Australia sedang melalui periode yang sangat sulit dan mengalami kontraksi
ekonomi terbesar sejak 1930-an."