Anda di halaman 1dari 13

“MAKALAH KARAKTERISTIK LAHAN BASAH RAWA

LEBAK”

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Pengantar Lingkungan Lahan Basah

Disusun oleh:
-Alfina [2110116320001]
-Dewita Herzaleha [2110116120007]
-Muhammad Najmi [2110116310005]
-Najwa Hanifa Hasanah [2110116320013]

Dosen Pengajar:
Dr. Dharmono, M.Si

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN BAHASA & SASTRA


INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
TAHUN AJARAN 2021/2022
A. Pengertian Rawa Lebak

Secara istilah, rawa lebak berasal dari bahasa jawa lebak yang berarti lembah
atau dataran yang rendah. Akan tetapi, secara umum, rawa lebak merupakan suatu
daratan yang setiap tahunnya mengalami genangan minimal selama tiga bulan dengan
genangan minimal 50 cm. rawa lebak juga disebut dengan istilah rawa pedalaman
karena kedudukannya yang menjorok jauh dari muara laut atau sungai. Lahan rawa
lebak sendiri adalah rawa lebak yang sudah dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian,
perikanan, peternakan, atau segala hal yang sudah mendapat campur tangan manusia.

Pada musim hujan, rawa lebak menjadi tergenang karena mendapat luapan
dari sungai besar di sekitarnya berada pada suatu cekungan dan juga memiliki
pengatusan atau drainase yang buruk. Genangan pada rawa lebak biasanya
berlangsung stagnan dan akan sangat sulit untuk mengalir. Pada musim kemarau,
genangan pada rawa lebak menjadi hilang dan rawa menjadi kering. Pada saat itulah
biasanya rawa lebak dimanfaatkan untuk bidang pertanian.

Lebih spesifik, rawa lebak adalah suatu wilayah dataran yang cekung yang
dibatasi oleh satu atau dua tanggul sungai atau antara dataran tinggi dengan tanggul
sungai. Bentang lahan pada rawa lebak seperti pada sebuah mengkuk dengan bagian
tengah yang cekung. Pada saat tergenang, bagian cekungan di tengah memiliki
kedalaman yang paling dalam dan semakin ke tepi akan semakin dangkal. Pada
musim hujan genangan akan mencapai 4-7 meter dan kering pada musim kemarau.
Akan tetapi, pada tengah rawa yang berbentuk cekungan, genangan masih akan tetap
ada walaupun mungkin tidak lebih dari 1 meter.

Di dataran tinggi, lahan rawa lebak terdapat diantara dua bukit. Kondisi lahan
selalu basah dan penuh dengan tumpukan bahan organik karena proses perombakan
bahan organik lebih lambat daripada akumulasi bahan organik pada lahan tersebut.
Bentang alam yang sama dengan rawa lebak tetapi tidak mengalami genangan disebut
dengan rawa labak yang kehilangan identitas. Pada rawa lebak seperti ini, pertanian
malah seperti pada pertanian tadah hujan (rainfed agriculture).

Rawa lebak berbeda dengan rawa pasang surut berdasarkan topografi dan juga
periode genangannya. Lahan pasang surut lebih rata kerena mendapat pengaruh
pasang surut. Selain itu, pada lahan pasang surut periode genangan dapat diprediksi
dengan jelas yaitu pada saat bulan baru atau pada saat bulan purnama. Genangan atau
banjir merupakan sifat bawaan rawa lebak karena sebagai ciri hidroekologi lebak
sehingga menjadi identitas yang membedakan dengan bentang alam yang lain
walaupun berada dalam suatu hamparan yang sama.

Dalam konteks yang lebih luas, rawa lebak dapat juga disebut dengan istilah
wetland, lowland, peatland, inland, dan deepwater land. Wetland digunakan untuk
menunjukkan bahwa wilayah tersebut basah sepanjang tahun dengan curah hujan
2000 mm per tahun dan memiliki bulan basah 6-7 bulan. Lowland digunakan untuk
menunjukkan bahwa wilayah tersebut termasuk dataran rendah, sedangkan peatland
digunakan untuk menggambarkan wilayah tersebut mengandung gambut yang cukup
tebal. Inland dan deep water land digunakan untuk menunjukkan bahwa wilayah
tersebut menjorok ke pedalaman dengan genangan yang terjadi sepanjang tahun.

Bentang alam yang terdapat pada rawa lebak meliputi wilayah tanggul sungai,
dataran banjir, sampai lahan burit termasuk sebagian wilayah rawa pedalaman dan
rawa belakang. Lahan rawa lebak dapat dipilah menjadi lebak dangkal, lebak
tengahan, lebak dalam dan lebak sangat dalam. Secara khusus, lebak merupakan
dataran banjir, dataran meander (sungai berkelok-kelok), dan bekas aliran sungai tua.
(Noor:2007)

B. Ciri-ciri Abiotik dan Biotik Lahan Rawa Lebak


Menurut Haryono, et al (2014:8-14) terdapat ciri abiotik dan biotik pada lahan rawa
lebak, dapat dilihat sebagai berikut;

Abiotik :
1. Lahannya tergenang air dan rejim airnya dipengaruhi oleh hujan dan juga
berasal dari luapan banjir hulu sungai
2. Jenis tanah yang umum di jumpai di lahan rawa lebak ialah tanah mineral dan
gambut
3. Bahan yang membentuk tanah di lahan Lebak berbahan halus berupa lumpur
sungai yg di endapkan setiap kali terjadi banjir
4. Lahan rawa lebak dibagi dalam tiga tipe berdasarkan ketinggian dan lama
penggenangan air yaitu,Lebak dangkal,Lebak tengahan,dan Lebak dalam atau
sangat dalam.
5. Warna tanah coklat sampai sangat gelap atau hitam dengan reaksi tanah di
lapang termasuk masam-sangat masam, kandungan basa rendah

Biotik:
1. Umumnya pada lahan rawa lebak bisa kita jumpai tanaman padi,tanaman buah-
buahan seperti mangga, durian, nangka, dll
2. Di lahan rawa lebak juga terdepat ikan, seperti sepat Siam,ikan gabus, dll
3. Terdapatnya hewan jenis unggas seperti itik dan burung belibis, selain itu juga
terdapat kerbau rawa
4. Di tumbuhi gulma air seperti Enceng gondok, kangkung,dll.

C. Potensi

Rawa lebak terbentuk dari pengendapan yang diakibatkan oleh proses aluvial.
Biasanya rawa lebak terletak di pedalaman dan di belakang rawa pasang surut,
sehingga tidak terkena pengaruh langsung atau tidak langsung dari air pasang surut.
Di sini air berperan dalam menentukan potensi lahan serta pengendali proses
perkembangan tanah. Berdasarkan sifat dan ekologinya, rawa lebak memiliki banyak
potensi yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pangan.

Potensi rawa lebak ditentukan dari bahan-bahan yang diendapkan dari daerah
atasnya, berbeda dengan air yang bahannya relatif tidak ada karena hanya berasal dari
hujan. Secara umum, lahan rawa lebak lebih subur jika dibandingkan dengan lahan
pasang surut. Hal ini dikarenakan lahan rawa lebak tidak bermasalah dengan bahan
sulfidik (pirit). Pembagian lahan tergantung keberadaan air. Keberadaan air pada
lahan rawa lebak tergantung musim, saat musim hujan seluruh lahan rawa lebak akan
tergenang, sedangkan saat musim kemarau air pada lahan akan mulai menyurut.

Lahan rawa lebak memiliki keunggulan dibanding lahan-lahan lainnya. Salah


satu potensi yang dimiliki lahan rawa lebak adalah dapat dimanfaatkan sebagai lahan
pertanian. Pertanian yang dapat dimanfaatkan di lahan rawa lebak adalah pertanian
sawah, palawija, dan sayuran. Pola tanam dan jenis komoditas yang dapat
dikembangkan di lahan rawa lebak sangat bergantung pada tipologi lahannya. (Alwi,
2017:4-6)

Rincian tipologi rawa lebak beserta potensinya ialah sebagai berikut.

1. Lahan rawa lebak dangkal, lahan rawa lebak dangkal merupakan lahan rawa pada
bagian atas/pinggir yang tidak tergenang air pada awal musim kering. Lahan ini
dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pangan dan sayuran yang dilakukan
secara tumpangsari. Pola tanam yang dapat diterapkan yaitu padi-padi, padi-
palawija+sayuran, atau padi-sayuran. Untuk pemanfaatan sebagai sawah dapat
ditanami pada musim hujan maupun musim kemarau. Pada musim kemarau
disebut sawah timur, biasanya ditanami padi yang memiliki umur cenderung lebih
pendek. Palawija, sayuran, dan buah-buahan juga sering ditanam pada lahan rawa
lebak dangkal dengan pola tanam tumpangsari dengan sistem surjan. Pada sistem
surjan, palawija, buah, dan sayur ditanam di bagian yang tinggi, sedangkan pada
bagian yang tergenang air akan ditanami padi. Rawa lebak dangkal akan
mengering pada musim kemarau, sehingga akan ditanami sayuran, palawija, dan
buah-buahan. Jenis buah yang akan ditanam adalah buah semusim, seperti melon
atau semangka.

2. Lahan rawa lebak tengahan, lahan rawa lebak tengahan merupakan lahan rawa
pada bagian tengah yang tidak tergenang air pada pertengahan musim kering.
Lahan ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pangan dan sayuran yang
dilakukan secara tumpangsari. Pola tanam yang dapat diterapkan yaitu padi-padi
atau padi-palawija+sayuran. Pada musim hujan, lahan rawa lebak bagian tengah
sampai dalam akan tergenang air lebih dari 100 cm, biasanya disebut sawah barat.
Sawah barat harus ditanami padi surung pada musim hujan dengan genangan air
100-150 cm. Varietas padi yang termasuk jenis padi surung adalah Alabio, Tapus,
Nagara, termasuk padi hiyang.
3. Lahan rawa lebak dalam, lahan rawa lebak dalam merupakan lahan rawa yang
masih tetap tergenang pada puncak musim kering. Ketinggian muka air akan
menentukan pemanfaatan rawa lebak ini. Jika masih memungkinkan untuk
ditanami tanaman pangan lahan basah, maka akan dimanfaatkan untuk
pengembangan padi. Tetapi, jika tidak memungkinkan, maka akan dimanfaatkan
sebagai kawasan konservasi air.

4. Pengaturan air (water management) menjadi kunci dalam pemanfaatan lahan rawa
lebak. Secara alami, pengaturan air hanya mengandalkan musim, tetapi dengan
adanya teknologi membuat pengaturan air dapat dikembangkan di lahan rawa
lebak, termasuk kepala sawit pada tanaman perkebunan. Rawa lebak yang
tergolong sebagai salah satu lahan yang subur karena adanya luapan banjir,
sehingga terjadi pengkayaan unsur hara. Keadaan ini membuat beberapa pupuk
hanya dibutuhkan dalam jumlah yang cenderung sedikit. Namun demikian,
pemberian pupuk akan memberikan respon baik pada tanaman padi dan
berproduksi lebih tinggi.

D. Ancaman dan Upaya Konservasi


Perubahan iklim yang tidak menentu diikuti dengan sistem L3 yang
memperketat ruang akses masyarakat menjadi sebuah ancaman bagi masyarakat.

Berdasasarkan fenomena tersebut penting untuk menganalisis bagaimana;


(1) sistem nilai dalam pengelolan rawa lebak, sosial dan politik;
(2) menganalisis dinamika akses dalam pengelolaan rawa lebak;
(3) menganalisis sikap komunitas terhadap pengelolaan rawa lebak;
(4) menganalisis resiliensi komunitas terhadap kondisi rawan
pangan di rawa lebak.

Metode penelitian ini dengan menggunakan metode melakukan observasi,


mendalami, dan campuran penyebaran kuesioner. Lokasi penelitian di Desa
Tapus, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi
Sumatera Selatan. Hasil penelitian menunjukan bahwa sistem nilai yang
dilihat berdasarkan norma yang berlaku dalam pengelolaan rawa lebak,
terdapat norma ekonomi dan politik yang tinggi dalam aturan pengelolaan
lebak menjadikan norma rawa sosial mulai memudar. Hal ini ditunjukan
dengan hasil rawa lebak yang tinggi pada saat musim kering produksi padi
mencapai 3 ton GKG dan pada saat banjir panen ikan mencapai 100 kg per
hari menunjukkan potensi ekonomi rawa lebak yang lebak potensi
dimanfaatkan oleh faktor yang memiliki otoritas terkait politik , sehingga
aturan yang dibuat dalam pengelolaan tidak memihak untuk kesejahteraan
masyarakat. Realita seperti ini membuat terjadinya kerenggangan tinggi.
(Macguire dan Cartwright:2008)

E. Karakteristik Masyarakat dan Pemberdayaannya.


Karakteristik masyarakat lahan rawa Lebak secara umum atau khususnya di
Kalimantan Selatan, lebih tepatnya di kabupaten hulu sungai selatan dan hulu sungai
Utara terbagi menjadi 2 kelompok yaitu;

(1) karakteristik Sosial ekonomi dan;


(2) karakteristik sosial budaya masyarakat.

Didalam karakteristik sosial ekonomi terdapat karakteristik individu petani antara lain
:

a) Rata-rata umur relatif tua sekitar 42-46 tahun.


b) Pendidikan rendah rata-rata hanya tamat sekolah dasar.
c) Pengalaman bertani cukup lama sekitar 17 tahun.
d) Anggota keluarga rata-rata 4 jiwa.
e) Pemilikan lahan 0,7-1,0 hektar.
f) Pekerjaan utama bertani, pekerjaan sampingan mencari ikan dan beternak.
g) Padi tanaman utama di lahan rawa lebak
h) kurangnya modal dan tenaga kerja yang besar.
i) Banjir yang disebabkan curah hujan tinggi mengakibatkan petani tidak bisa
menanam padi.
j) Komoditas pertanian antara lain : padi, jagung, kacang tanah, kacang nagara,
umbi-umbian, semangka, dan timun suri serta sayur-sayuran seperti labu,
kacang panjang,kacang buncis, terung, gambas, pare, cabai.
k) memelihara ternak ayam, itik, dan kerbau rawa didukung oleh kondisi
lingkungan yang sangat dinamis (berubah-ubah).

Sedangkan didalam karakteristik sosial budaya masyarakat berawal dari para


penebang kayu dan pencari ikan yang menjadikan rawa lebak sebagai tempat
tinggal sementara. Setelah memahami berbagai fenomena yang terjadi di lahan
rawa lebak, mereka secara bertahap mulai mengembangkan berbagai
komoditas pertanian sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan. Petani
berusaha menyesuaikan terhadap dinamika lahan rawa lebak, interaksi dengan
lingkungan ini membentuk karakter masyarakat yang kuat, karena ditempa
oleh risiko dan spekulasi akibat ketergantungan pada iklim dan musim.

Masyarakat rawa lebak sebagian mengalami perubahan karakter, mereka


cenderung lebih rasional, progresif, dan asertif. Misalnya, petani di Kecamatan
Nagara dan Bararawa, meskipun petani Bararawa tampak lebih rasional, di
antaranya mampu menghindari sikap suka pamer (potlach). Petani Nagara dan
Bararawa tidak lagi tampak introvert (menyendiri, tertutup, pendiam) dan
memiliki tipe ideal untuk dapat berperan dalam proses pembangunan yang
partisipatif. Petani di Tapus Dalam cenderung tampak introvert, tidak
rapi,tidak suka bergotong royong dan kurang taat pada peraturan, namun
mereka bersifat menahan diri dan menghindari ketegangan.
Petani yang bermukim di Mantaas cenderung tampak extrovert, tidak rapi,
tidak dapat menahan diri, tidak berusaha menghindari ketegangan, tidak suka
bergotong royong dan tidak taat pada peraturan. Petani di Nagara dan
Bararawa bersifat lebih mandiri dibandingkan Tapus Dalam dan Mantaas.
Sikap ini tampak saat petugas pertanian yang berkunjung ke daerah Tapus
Dalam dan Mentaas secara spontan selalu mengaitkannya dengan bantuan
modal usaha.

Data karakteristik petani ini dapat dimanfaatkan, terutama dalam memilah


program pertanian yang akan diintroduksikan serta pendekatan yang akan
dikembangkan. Masyarakat petani yang taat pada peraturan dan memiliki
sikap kegotongroyongan yang tinggi, menghindari ketegangan dan dapat
menahan diri akan lebih mudah bekerja sama dan dapat mengelola program
pemerintah dengan baik, sebaliknya pada masyarakat petani yang tidak taat
pada peraturan, cenderung menyukai ketegangan dan tidak dapat menahan
diri.

Pemberdayaan masyarakat
1. Kalender Tanam Rawa
Salah satu masalah pertanaman padi di lahan rawa lebak adalah sulitnya
menentukan saat tanam yang tepat, akibat awal musim hujan (datangnya
genangan air rawa) maupun akhir musim hujan (air rawa surut) yang selalu
berubah-ubah hampir setiap tahunnya. Untuk mengantisipasi hal tersebut
petani sejak dahulu mengandalkan kearifan lokal dan pengalaman mereka
melihat tanda-tanda biologis (perilaku binatang) maupun astronomi
(bintang) yang telah diyakini berpuluh tahun kebenarannya, namun
nampaknya kini telah berubah akibat perubahan iklim. Saat ini
keberhasilan pertanaman padi bisa ditingkatkan dengan memanfaatkan
informasi iklim yang telah dikemas sebagai Kalender Tanam Rawa
(Katam Rawa). Katam Rawa adalah perangkat lunak (software) untuk
memprediksi awal musim tanam padi, kebutuhan pupuk dan benih
(pemilihan varietas) serta serangan organisme pengganggu tanaman di
lahan rawa. Katam Rawa dibuat untuk mengantisipasi perubahan iklim.
Dalam sepuluh tahun terakhir ini dampak perubahan iklim global semakin
nyata antara lain meningkatnya siklus kejadian kekeringan (El Nino) dan
kebanjiran (La Nina) yang terjadi antara 5-7 tahun menjadi 2-3 tahun dan
semakin luas areal yang kena dampaknya. Kejadian ini akan berdampak
terhadap penetapan awal musim tanam yang tepat.

2. Pengelolaan Air
Dalam mengendalikan air rawa, petani mempunyai kearifan lokal yang
telah lama mereka lakukan, yaitu membuat saluran-saluran yang menjorok
ke arah tengah rawa. Saluran tersebut dahulu kala hanya dimanfaatkan
untuk sarana transportasi hasil pertanian, karena lokasi pertanian mereka
bisa berada jauh dari jalan atau sungai besar. Kearifan lokal tersebut dapat
ditingkatkan fungsi dan efektivitasnya, dengan inovasi teknologi Tabat
Bertingkat, yaitu dengan cara membuat sejumlah tabat di sepanjang
saluran, jarak antartabat (50-100 m).

Dengan sistem tabat bertingkat air dalam saluran dapat dipertahankan,


sehingga bisa berfungsi sebagai sarana transportasi hasil pertanian
mengguna kan perahu yang bergantian antartabat, dan sekaligus berfungsi
mempertahan kan lengas tanah di wilayah sekitar saluran. Teknologi tata
air mikro adalah tata saluran yang dibuat di dalam petakan sawah
berdimensi lebar 20-30 cm dan kedalaman 20-30 cm untuk pendistribusian
air. Selain itu, umumnya petani menggunakan pompa untuk mengambil air
dari sungai/sumber lainnya. Upaya mempertahankan kadar air tanah (soil
moisture) dapat dilakukan melalui teknologi, mulsa dan irigasi
tetes.Teknologi mulsa dan irigasi tetes dimaksudkan untuk
mempertahankan kelembapan tanah. Pemilihan teknologi pengelolaan air
di atas sangat tergantung pada tipe lahan rawa lebak, jenis tanaman yang
diusahakan, dan ketersediaan airnya. Pengelolaan air secara makro dalam
skala luas (5.000-10.000 ha) pada lahan rawa lebak memerlukan tanggul
keliling dan pompa-pompa air yang berfungsi mengeluarkan dan
memasukkan air untuk dapat mempertahankan muka air sesuai dengan
keperluan. Sistem pengelolaan air secara makro ini disebut sistem polder.
Sistem polder Alabio yang dibangun sejak tahun 1950 pada kawasan lahan
rawa lebak DAS Nagara (6.000 ha) belum sepenuhnya berhasil. Sejak
tahun 2010 telah diadakan perbaikan dengan penambahan saluran-saluran
dan pintu-pintu air, namun belum dapat beroperasi secara penuh.

3. Penataan Lahan
Dalam memanfaatkan lahan rawa lebak, awalnya hanya komoditas padi
yang diusahakan. Tanaman nonpadi mulai berkembang setelah petani
membuat saluran-saluran, akibat lokasinya mulai masuk menjorok ke
tengah rawa. Tanggul atau tembokan sebagai pembatas saluran secara
intuitif oleh petani kemudian mulai dimanfaatkan untuk menanam
komoditas nonpadi seperti keladi, umbi, dan sebagainya. Cara-cara ini
kemudian menjadi kearifan lokal dalam penataan lahan untuk budi daya
tanaman lahan kering (dryland crop).

Penataan lahan di lahan rawa lebak terdiri atas tiga sistem:


a. sistem sawah
b. sistem tukungan
c. sistem surjan Penataan lahan dimaksudkan untuk optimalisasi
pemanfaatan lahan sehingga mendukung program diversifikasi
tanaman. Dengan demikian, dapat disusun pola tanam alternatif yang
sesuai.
Budi daya padi di lahan rawa lebak Kalimantan berkembang pada
musim kemarau, sebaliknya di Sumatra berkembang pada musim
hujan. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar lahan rawa lebak di
Sumatra mempunyai sistem drainase yang baik. Namun demikian,
pada beberapa lahan rawa lebak seperti Babirik, Kalimantan Selatan
yang sudah menanam padi dua kali setahun dengan pola tanam padi
varietas lokal-unggul di tabukan dan ubi alabio di lahan tembokan.

4. Penggunaan Varietas Unggul


Padi merupakan tanaman pangan paling luas dibudidayakan di lahan rawa
lebak, menyusul kemudian jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau,
dan umbi-umbian. Penggunaan varietas unggul padi di lahan rawa lebak
belum terlalu lama sekitar tahun 1984. Varietas unggul yang digunakan
umumnya belum mempunyai sifat keunggulan khusus (toleran rendaman)
karena merupakan varietas padi yang dirakit untuk lahan irigasi atau lahan
rawa pasang surut, dengan kearifannya petani memilih padi umur pendek,
tinggi ≥100 cm, batang tegak, agar lebih toleran terhadap lingkungan.
Varietas padi toleran terendam 7-15 hari dengan potensi hasil yang tinggi
(4,5-5,0 t/ha) saat ini sudah bisa digunakan oleh petani, Selain padi, petani
di lahan rawa lebak sudah banyak yang mengusahakan palawija, seperti
jagung, namun masih sedikit yang menggunakan varietas unggul. Saat ini
telah tersedia beberapa varietas unggul palawija yang bisa ditanam di
lahan rawa lebak dengan potensi hasil yang baik.

Tanaman hortikultura yang sangat potensial dikembangkan adalah tomat,


cabai, mentimun, kacang panjang, pare, terung, buncis, kubis, lobak,
bawang merah, waluh, dan aneka sayuran cabut seperti sawi, selada,
bayam, dan kangkung, sedangkan tanaman buah-buahan adalah semangka,
blewah, dan melon. Varietas tanaman hortikultura yang telah
dikembangkan di lahan rawa lebak dangkal

5. Penyiapan Lahan
Pada lahan yang sudah dibuka dan diusahakan, yang menjadi masalah
dalam penyiapan lahan adalah gulma. Petani telah mempunyai teknologi
lokal yang cukup arif, yaitu penyiapan lahan sistem tebas kait. Dalam
sistem ini gulma ditebas kemudian dikumpulkan jadi satu (ditumpuk)
untuk menjadi galangan sebagai batas tanah garapan atau batas pemilikan
lahan. Namun, sistem tersebut tidak bisa diterapkan pada wilayah yang
telah menerapkan pola tanam dua kali setahun, karena memerlukan waktu
penyiapan lahan yang cepat dan tepat waktu.

Oleh karena itu, diperlukan teknologi inovatif yang lebih efisien waktu dan
tenaga, yaitu menggunakan alat olah tanah seperti traktor kura-kura.
Pertumbuhan gulma di lahan rawa lebak sangat cepat.
Petani cenderung menggunakan herbisida dalam penyiapan lahan.
Teknologi penyiapan lahan dilahan rawa lebak dapat dibedakan dalam tiga
cara olah tanah, yaitu:
a. Tanpa olah tanah dengan herbisida,
b. Tanah minimum, dan
c. Olah tanah sempurna.

Olah tanah minimum khususnya untuk palawija dengan menggunakan


tajak setelah gulma ditebas, sedangkan olah tanah sempurna khusus
untuk padi dilakukan sampai melumpur. Olah tanah sempurna tidak
diperlukan apabila tanah sudah gembur atau bergambut. Namun, pada
tanah-tanah berat (liat) diperlukan olah tanah sempurna dengan traktor
kura-kura.

6. Persemaian dan Penanaman


Petani padi rawa lebak mempunyai kearifan cara persemaian, yaitu
persemaian kering adalah persemaian yang dilakukan pada petakan tanah
yang tinggi antara lain: pinggir jalan, halaman rumah, dan di atas galangan
yang tidak tergenang. Sekarang persemaian di lahan rawa lebak dapat
dibedakan menjadi tiga cara, yaitu persemaian kering, persemaian basah,
dan persemaian terapung.

Persemaian basah dan terapung merupakan pengembangan cara


penyemaian untuk efisiensi waktu dan mengatasi genangan. Persemaian
basah langsung dilakukan di lahan sawah yang agak tinggi atau
ditinggikan. Sedangkan persemaian terapung dilakukan dengan membuat
rakit dari batang pisang atau bambu yang telah diberi tanah lumpur
dicampur abu. Persemaian terapung dilakukan apabila tidak tersedia lahan
yang tinggi atau karena genangan masih tinggi yang diperkirakan segera
turun secara drastis. Kadang-kadang petani melakukan gabungan antara
persemaian kering dan basah yang dikenal dengan persemaian kering-
basah.

7. Ameliorasi dan Pemupukan


Petani di lahan rawa lebak mempertahankan kesuburan tanahnya dengan
memanfaatkan gulma-gulma in-situ seperti azola (Azolla pinata), kayapu
(Pistia stratiotes), anabaena, kiambang (Salviana molesta, Salviana
natans), dan lain-nya dengan cara dibenamkan (dikomposkan).
Pembenaman atau pengomposan dilakukan sekaligus penyiapan lahan.
Lahan rawa lebak juga dikenal subur karena adanya luapan banjir yang
secara tidak langsung menyebabkan terjadi pengayaan hara, sehingga
kebutuhan bahan amelioran dan pupuk relatif sedikit.

Secara umum, anjuran takaran pupuk yang digunakan untuk padi surung
30 kg N dan 60 kg P2O5/ha yang disebar merata sebelum benih ditugal
(tanam), sedang untuk padi rintak 45-90 kg N, 90 kg P2O5, dan 60 kg
K2O/ha. Khusus untuk tanah gambut agar tidak banyak gabah hampa
maka diperlukan tambahan pupuk mikro Cu dan Zn sekitar 2-5 kg/ha.
Pemanfaatan rumput dan seresah, termasuk gulma-gulma air sebagai
pupuk organik, dengan cara dikomposkan terlebih dahulu, cukup baik
untuk mensubstitusi penggunaan pupuk anorganik.

8. Pengendalian Hama dan Penyakit


Hama utama tanaman padi adalah tikus dan penggerek batang.
Pengendalian hama dilakukan secara terpadu menggunakan teknologi PHT
melalui penggunaan varietas tahan, musuh alami, pergiliran tanaman,
sedangkan penggunaan pestisida kimia dilakukan sebagai tindakan
terakhir. Khusus untuk hama tikus, strategi dan taktik pengendaliannya
dilakukan secara gabungan melalui gropyokan, umpan beracun, fumigasi,
sistem pagar perang kap, dan bubu. Sedangkan penyakit yang banyak
menyerang padi di lahan rawa lebak adalah blas dan bakanae (Gibberella
fujikurol). Blas dan bakanae ini juga dapat dikendalikan dengan
pendekatan pengendalian terpadu dengan cara-cara antara lain penggunaan
varietas tahan, menghindari pemakaian benih dari daerah yang pernah
terserang, pemupukan berimbang, perbaikan sanitasi, perawatan benih
dengan menggunakan fungisida.

9. Teknologi Mitigasi
Mitigasi GRK merupakan upaya untuk mengurangi emisi GRK, di lahan
rawa lebak dapat dilakukan antara lain melalui teknologi inovatif:
a. pengelolaan air,
b. penggunaan mulsa,
c. penggunaan varietas rendah emisi, dan
d. penggunaan bahan amelioran baik organik maupun anorganik

Berdasarkan latar belakang dan tujuan pengembangan pertanian secara


berkelanjutan atau ramah lingkungan, maka sistem pertanian di lahan
rawa lebak diarahkan antara lain:

1. Peningkatan produktivitas melalui optimalisasi lahan dan


intensifikasi pertanian, antara lain perbaikan pengelolaan air,
penataan lahan, pengolahan tanah, pemberian mulsa dan kayu
apu (azolla), penggunaan varietas unggul, dan pemupukan
berimbang.
2. Perbaikan kelembagaan petani dan kelembagaan pendukung,
termasuk revitalisasi kelompok tani,
keuangan/modal/investasi, dan pemasaran.
3. Peningkatan pendapatan petani melalui perbaikan pola tanam,
diversifikasi tanaman, dan peningkatan nilai tambah melalui
pengolahan hasil.
4. Penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui perakitan
teknologi mitigasi dan adaptasi sehingga dihasilkan teknologi
inovasi pertanian yang menghasilkan emisi GRK rendah.
(Nursyamsi, et al:2014:17-21)

F. Kesimpulan

Lahan basah rawa Lebak adalah suatu daratan yang setiap tahunnya
mengalami genangan minimal 50 cm. Rawa Lebak juga disebut dengan
istilah rawa pedalaman karena kedudukannya yang menjorok jauh dari
muara laut atau sungai. Pada musim hujan, rawa Lebak tergenang karena
mendapat luapan dari sungai besar disekitarnya, genangan pada rawa
Lebak biasanya berlangsung stagnan dan akan sangat sulit untuk mengalir
sehingga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan, dan peternakan.
Sedangkan pada musim kemarau genangan pada rawa Lebak hilang dan
rawa menjadi kering sehingga dapat dimanfaatkan untuk bidang
pertanian. Adapun ciri-cirinya terbagi menjadi 2 yaitu abiotik dan biotik.

Lahan rawa Lebak memiliki keunggulan dibandingkan lahan-lahan


lainnya, salah satu potensi yang dimiliki lahan rawa Lebak adalah dapat
dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Jenis pertaniannya ialah pertanian
sawah, palawija dan sayuran. Lahan rawa Lebak terbagi menjadi 4 bagian
yaitu 1) Lahan rawa Lebak dangkal, 2) lahan rawa lebak tengahan,
3)lahan rawa Lebak dalam, dan 4) pengaturan air. Pemanfaatannya
hampir sama yaitu untuk pengembangan pangan, buah, padi dan sayuran,
pola penanaman nya menggunakan simpangsari dan sistem Surjan,
sedangkan Lebak dalam, ketinggian air yang menentukan pemanfaatan
Lebak ini, jika tidak memungkinkan maka akan digunakan sebagai
kawasan konservasi air, lalu pengaturan air menjadi kunci untuk
pemanfaatan rawa lebak karena tidak hanya mengandalkan air hujan
tetapi dengan adanya teknologi membuat pengaturan air dapat
dikembangkan dilahan rawa Lebak. Walaupun manfaatnya yang banyak
tetapi juga terdapat ancaman lahan rawa Lebak yaitu perubahan iklim
yang tidak menentu dan sistem L3 yang memperketat ruang akses
masyarakat.

G. Referensi
Haryono, et al. 2014. Biodiversiti Sumber Daya Lahan Rawa dalam Perspekptif Pengembangan
Pertanian. 8-14. http://repository.pertanian.go.id/handle/123456789/6414

Alwi, M. 2017. Potensi dan Karakteristik Lahan Rawa Lebak. 4-6.


http://repository.pertanian.go.id/handle/123456789/6628

Noor. 2007. Rawa Lebak: Teknologi, pemanfaatan dan Pengembagannya. Jakarta: Rajawali Press.

Nursyamsi, D. 2014. Pengelolaan Lahan Rawa Lebak untuk Pertanian Berkelanjutan. Yogyakarta:
Gadjah mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai