Pionas Tuberculosis
Pionas Tuberculosis
Pionas Tuberculosis
1 Antituberkulosis
Kasus tuberkulosis (TB) dapat digolongkan berdasarkan tempat infeksi, beratnya penyakit, hasil
pemeriksaan bakteriologis dan riwayat pengobatan sebelumnya.
Tempat infeksi
Disebut TB paru adalah bila penyakit mengenai parenkim paru. TB ekstra paru adalah TB tanpa kelainan
radiologis di parenkim paru. Termasuk dalam kelompok ini TB kelenjar getah bening (mediastinum
dan/atau hilus) atau TB dengan efusi pleura. Pasien dengan TB paru dan ekstra paru dicatat sebagai
kasus TB paru. TB ekstra paru di beberapa tempat dikategorikan berdasarkan kelainan pada lokasi yang
paling berat.
Beratnya penyakit
Banyaknya bakteri, luasnya lesi dan lokasi anatomis menentukan beratnya penyakit dan pendekatan
pengobatan. Dianggap kasus berat bila penyakit tersebut mengancam jiwa (misalnya TB perikarditis)
atau adanya risiko gejala sisa yang serius (misalnya: TB medula spinalis) atau keduanya.
Berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, TB ekstra paru dibagi menjadi TB ekstra paru berat dan TB
ekstra paru ringan.
TB ekstra paru berat: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa duplex, TB tulang
belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.
TB ekstra paru ringan: TB kelenjar getah bening, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang
belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
Bakteriologi
Sputum BTA positif, bila:
Dua kali pemeriksaan menunjukkan hasil BTA positif, atau satu kali pemeriksaan dengan hasil BTA positif
dan hasil pemeriksaan radiologis sesuai dengan TB paru, atau satu kali sputum BTA positif dan hasil
kultur positif. Sputum BTA negatif, bila: Dua kali pemeriksaan dengan jarak 2 minggu dengan hasil BTA
negatif. Pemeriksaan radiologis sesuai dengan TB paru dan gejala klinis tidak hilang dengan pemberian
antibiotik spektrum luas selama satu minggu dan dokter memutuskan untuk mengobati dengan
pengobatan regimen anti TB secara penuh.
Riwayat pengobatan sebelumnya
Penting diketahui apakah sebelum ini pasien sudah mendapat pengobatan anti TB atau belum, dengan
alasan:
- Identifikasi pasien dengan risiko resistensi dan pemilihan obat yang tepat.
- Epidemiologi.
* Kasus baru: Pasien yang belum pernah mendapat anti TB atau mendapat anti TB selama kurang dari 4
minggu. Relaps: Pasien yang sudah dinyatakan sembuh setelah menyelesaikan regimen pengobatan, tapi
BTA sputum kembali positif.
* Kasus gagal: Pasien yang tetap BTA positif atau menjadi positif lagi setelah pengobatan selama 5
bulan. Dalam kategori ini termasuk juga pasien dengan BTA negatif pada awal pengobatan, tapi menjadi
positif setelah bulan kedua pengobatan.
* Pengobatan terputus: Pasien yang terputus berobat selama 2 bulan atau lebih dan kembali dengan
keadaan BTA positif (kadang-kadang BTA negatif tapi pemeriksaan radiologi memberikan kesan TB
aktif).
* Kasus kronik: Pasien dengan BTA tetap positif atau menjadi positif lagi setelah menjalani pengobatan
ulang di bawah pengawasan.
Prinsip pengobatan
Regimen pengobatan terdiri dari fase awal (intensif) selama 2 bulan dan fase lanjutan selama 4-6 bulan.
Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, diharapkan terjadi pengurangan jumlah kuman
disertai perbaikan klinis. Pasien yang berpotensi menularkan infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2
minggu. Sebagian besar pasien dengan sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan.
Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih panjang. Efek sterilisasi
obat pada fase ini bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa kuman dan mencegah kekambuhan.
Pada pasien dengan sputum BTA positif ada risiko terjadinya resistensi selektif. Penggunaan 4 obat
selama fase intensif dan 2 obat selama fase lanjutan akan mengurangi risiko resistensi selektif. Pada
pasien dengan sputum BTA negatif atau TB ekstra paru tidak terdapat risiko resistensi selektif karena
jumlah bakteri di dalam lesi relatif sedikit. Pengobatan fase intensif dengan 3 obat dan fase lanjutan
dengan 2 obat biasanya sudah memadai.
Pada pasien yang pernah diobati ada risiko terjadinya resistensi. Paduan pengobatan ulang terdiri dari 5
obat untuk fase intensif dan 3 obat untuk fase lanjutan. Selama fase intensif sekurang-kurangnya 2
diantara obat yang diberikan haruslah yang masih efektif.
Bila tersedia fasilitas kultur, maka kultur sputum harus dilakukan pada awal pengobatan, di akhir bulan
kedua dan pada akhir pengobatan.
Efek samping obat tuberkulostatik dapat dibagi menjadi efek samping mayor dan minor (lihat tabel 5.3).
Jika timbul efek samping minor, maka pengobatan dapat diteruskan dengan dosis biasa atau kadang-
kadang dosis perlu diturunkan. Dapat diberikan pengobatan simptomatik. Jika timbul efek samping berat
(mayor), maka pengobatan harus dihentikan. Pasien dengan efek samping mayor harus ditangani pada
pusat pelayanan khusus.
Obat-obat antituberkulosis
Isoniazid (INH) merupakan obat yang cukup efektif dan murah. Seperti rifampisin, INH harus diberikan
dalam setiap regimen pengobatan, kecuali bila ada kontraindikasi. Efek samping yang sering terjadi
adalah neuropati perifer yang biasanya terjadi bila ada faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti
diabetes melitus, alkoholisme, gagal ginjal kronik dan malnutrisi dan HIV. Efek ini dapat dikurangi dengan
pemberian piridoksin 5-10 mg/hari. Efek samping lain seperti hepatitis dan psikosis sangat jarang terjadi.
Rifampisin merupakan komponen kunci dalam setiap regimen pengobatan. Sebagaimana halnya INH,
rifampisin juga sebaiknya selalu diikutkan kecuali bila ada kontraindikasi.
Pada dua bulan pertama pengobatan dengan rifampisin, sering terjadi gangguan sementara pada fungsi
hati (peningkatan transaminase serum), tetapi biasanya tidak memerlukan penghentian pengobatan.
Kadang-kadang terjadi gangguan fungsi hati yang serius yang mengharuskan penggantian obat terutama
pada pasien dengan riwayat penyakit hati. Selama fase intermiten (fase lanjutan) dilaporkan adanya 6
gejala toks is itas: influenza, sakit perut, gejala pernafasan, syok, gagal ginjal, purpura trombositopenia,
dialami oleh 20-30% pasien. Rifampisin menginduksi enzim-enzim hati sehingga mempercepat
metabolisme obat lain seperti estrogen, kortikosteroid, fenitoin, sulfonilurea dan antikoagulan; interaksi:
lihat Lampiran 1. Penting: efektivitas kontrasepsi oral akan berkurang sehingga perlu dipilih cara KB yang
lain.
Pirazinamid bersifat bakterisid dan hanya aktif terhadap kuman intrasel yang aktif membelah
dan Mycobacterium tuberculosis. Efek terapinya nyata pada dua atau tiga bulan pertama saja. Obat ini
sangat bermanfaat untuk TB meningitis karena penetrasinya ke dalam cairan otak. Tidak aktif
terhadap Mycobacterium bovis. Toksisitas hati yang serius kadang-kadang terjadi.
Etambutol digunakan dalam regimen pengobatan bila diduga ada resistensi. Jika risiko resistensi rendah,
obat ini dapat ditinggalkan. Untuk pengobatan yang tidak diawasi, etambutol diberikan dengan dosis 25
mg/kg bb/hari pada fase intensif dan 15 mg/kg bb bb/hari pada fase lanjutan (atau 15 mg/kg bb/hari
selama pengobatan). Pada pengobatan intermiten di bawah pengawasan, etambutol diberikan dalam
dosis 30 mg/kg bb 3 kali seminggu atau 45 mg/kg bb 2 kali seminggu. Efek samping etambutol yang
sering terjadi adalah gangguan penglihatan dengan penurunan visus, buta warna dan penyempitan
lapang pandang. Efek toksik ini lebih sering bila dosis berlebihan atau bila ada gangguan fungsi ginjal.
Gangguan awal penglihatan bersifat subjektif. Bila hal ini terjadi maka etambutol harus segera
dihentikan sehingga diharapkan fungsi penglihatan akan pulih. Obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan
jika pasien tidak dapat mendeteksi perubahan visus yang terjadi. Pemberian pada anak sebaiknya
dihindari sampai usia 5 tahun, yaitu di saat mereka bisa melaporkan gangguan penglihatan. Pemeriksaan
fungsi mata dianjurkan dilakukan sebelum pengobatan.
Streptomisin saat ini semakin jarang digunakan, kecuali untuk kasus resistensi. Obat ini diberikan secara
intramuskuler dengan dosis 15 mg/kg bb, maksimal 1 gram perhari. Untuk berat badan kurang dari 50 kg
atau usia lebih dari 40 tahun, diberikan 500-750 mg/hari. Untuk pengobatan intermiten yang diawasi,
streptomisin diberikan 1 g tiga kali seminggu dan diturunkan menjadi 750 mg tiga kali seminggu bila berat
badan kurang dari 50 kg. Untuk anak diberikan dosis 15-20 mg/kg bb/ hari atau 15-20 mg/kg bb tiga kali
seminggu untuk pengobatan yang diawasi. Kadar obat dalam plasma sebaiknya diukur terutama untuk
pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Efek samping akan meningkat setelah dosis kumulatif 100 g, yang
hanya boleh dilampaui dalam keadaan yang sangat khusus.
Obat-obat sekunder diberikan untuk TB yang disebabkan oleh kuman yang resisten, atau bila obat primer
menimbulkan efek samping yang tidak bisa ditoleransi. Termasuk obat sekunder adalah sikloserin,
makrolida generasi baru (azitromisin dan klaritromisin), dan kuinolon (siprofloksasin dan ofloksasin).
2HRZES
Relaps BTA positif; gagal BTA
Sisipan Bila pada ahir fase intensif, pengobatan pasien baru BTA positif 1 HRZE
dengan kategori 1 atau pasien BTA positif pengobatan ulang
dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif.
Keterangan:
E=Etambutol; H=Isoniazid; R=Rifampisin; Z=Pirazinamid; S=Streptomisin. Angka sebelum regimen
menunjukkan lamanya pengobatan dalam bulan. Angka indeks menunjukkan frekuensi pemberian per
minggu. Bila tidak ada angka indeks sesudah obat berarti obat diberikan tiap hari.
Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol
yang dikemas dalam bentuk blister.
Satu paket kombipak kategori 1 berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60 blister HRZE untuk fase
intensif, dan 54 blister HR untuk fase lanjutan, masing-masing dikemas dalam dosis kecil dan disatukan
dalam 1 dos besar.
Satu paket kombipak kategori 2 berisi 156 blister harian yang terdiri dari 90 blister HRZE untuk fase
intensif, dan 66 blister HRE untuk fase lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan
dalam 1 dos besar. Disamping itu, disediakan 30 vial streptomisin @ 1,5 g dan pelengkap pengobatan
(60 spuit dan aquabides) untuk fase intensif.
Satu paket kombipak kategori 3 berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60 blister HRZ untuk fase intensif,
dan 54 blister HR untuk fase lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam 1
dos besar.
Satu paket obat sisipan berisi 30 blister HRZE dikemas dalam 1 dos kecil.
Tabel. 5.5 Dosis paduan OAT-KDT
Kategori 1: 2HRZE / 4(HR)3
Tahap l
Tahap intensif tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 m
Berat badan (dalam kg) RHZE (150 / 75 / 400 / 275) RH (150 / 150)
2 tablet 4KDT + 500 mg streptomisin 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT + 2 tablet etambutol
injeksi
Catatan:
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas, dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500 mg
tanpa memperhatikan berat badan
Untuk wanita hamil, lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus
Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7
mL sehingga menjadi 4 mL (1 mL = 250 mg)
Tabel. 5.7 Dosis KDT Sisipan: (HRZE)
Berat badan (dalam kg) Tahap intensif tiap hari selama 28 hari RHZE (150 / 75 / 400 / 275)
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT
Monografi:
ETAMBUTOL
Indikasi:
tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain untuk pengobatan tuberkulosis yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis; pengobatan yang disebabkan oleh Mycobacterium avium complex.
Peringatan:
turunkan dosis pada gangguan fungsi ginjal; lansia; kehamilan; ingatkan pasien untuk melaporkan
gangguan penglihatan.
Kontraindikasi:
hipersensitivitas terhadap zat aktif atau zat rambahan obat, neuritis optik, gangguan visual; ANAK di
bawah 6 tahun (lihat keterangan di atas).
Efek Samping:
neuritis optik, buta warna merah/hijau, neuritis perifer.
Dosis:
DEWASA dan ANAK di atas 6 tahun, 15-25 mg/kgBB sebagai dosis tunggal.
ISONIAZID
Indikasi:
tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Peringatan:
gangguan fungsi hati (uji fungsi hati); gangguan fungsi ginjal; risiko efek samping meningkat pada
asetilator lambat; epilepsi; riwayat psikosis; alkoholisme; hepatitis berat, hepatotoksik, penderita
neuropati perifer, penderita HIV, wanita hamil, menyusui dan post partum, pasien hipersensitif, diabetes
mellitus, intoleransi galaktosa, porfiria.
Interaksi:
lihat Lampiran 1 (isoniazid). Gangguan fungsi hati: pasien atau keluarganya diberitahu cara mengenal
gejala gangguan fungsi hati dan dinasehatkan untuk segera menghentikan obat dan memeriksakan diri
bila timbul nausea persisten, muntah-muntah, lesu atau ikterus. Interaksi dengan obat; Peggunaan
bersamaan dengan antikonvulsan, sedatif, neuroleptik, antikoagulan, narkotika, teofilin, prokainamid,
kortikosteroid, asetaminofen, aluminium hidroksida, disulfiram, ketokonazol, obat bersifat hepatotoksik
dan neurotoksik. Interaksi dengan makanan; tidak diberikan bersamaan dengan makanan, alkohol, keju
dan ikan.
Kontraindikasi:
penyakit hati yang akut; hipersensitivitas terhadap isoniazid; epilepsi; gangguan fungsi ginjal dan
gangguan psikis.
Efek Samping:
mual, muntah, anoreksia, konstipasi, pusing, sakit kepala, vertigo, neuritis perifer, neuritis optik, kejang,
episode psikosis; reaksi hipersensitivitas seperti eritema multiform, demam, purpura, anemia,
agranulositosis; hepatitis (terutama pada usia lebih dari 35 tahun); sindrom SLE, pellagra, hiperglikemia
dan ginekomastia, pendengaran berkurang, hipotensi, flushing.
Dosis:
Tuberkulosis Aktif: DEWASA; 5 mg/kgBB per hari (4-6 mg/kgBB per hari), ANAK :10 mg/kgBB per hari
(10-15 mg/kgBB per hari). Untuk dewasa dengan BB 30-45 kg, dosis per hari 200 mg diberikan dalam
dosis tunggal. Untuk pasien dengan BB >45 kg, dosis per hari 300 mg diberikan dalam dosis tunggal.
Tuberkulosis Latent (Monoterapi): diberikan sedikitnya 6 bulan DEWASA; 300 mg per hari. ANAK; 10
mg/kgBB per hari (maks. 300 mg/hari). Tablet isoniazid 300 mg tidak boleh diberikan untuk anak dengan
BB
PIRAZINAMID
Indikasi:
tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dalam kombinasi dengan anti tuberkulosis
lainnya.
Peringatan:
gangguan fungsi hati; gangguan fungsi ginjal; diabetes mellitus; gout; pasien hipersensitif terhadap
etionamid, isoniazid, niasin, serta pirazinamid.
Interaksi:
lihat Lampiran 1 (pirazinamid). Gangguan fungsi hati: pasien dan pengantarnya diberitahu cara mengenal
gejala gangguan fungsi hati dan dinasehatkan untuk segera menghentikan obat dan memeriksakan diri
bila timbul nausea persisten, muntah-muntah, lesu atau ikterus. Penggunaan bersama dengan
probenesid, allopurinol, ofloksasin dan levofloksasin, obat hepatotoksik. Pirazinamid dapat mengganggu
efek obat antidiaberik oral, serta mengganggu tes untuk menentukan keton urin.
Kontraindikasi:
gangguan fungsi hati berat, porfiria (lihat 11.8.2), hipersensitivitas terhadap pirazinamid, gout, wanita
hamil dan menyusui.
Efek Samping:
hepatotoksisitas, termasuk demam anoreksia, hepatomegali, ikterus, gagal hati; mual, muntah, artralgia,
anemia sideroblastik, urtikaria, flushing, sakit kepala, pusing, insomnia, gangguan vaskular : hipertensi,
hiperurikemia, arthalgia.
Dosis:
15-30 mg/kg BB sekali sehari. Dosis maksimal sehari 3 g. Digunakan pada 2 bulan pertama dari 6 bulan
pengobatan. Untuk pasien dengan gangguan fungsi ginjal 20-30 mg/kg BB tiga kali seminggu.
RIFAMPISIN
Indikasi:
lihat dosis. untuk pengobatan tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dalam
kombinasi dengan obat antituberkulosis lain dan dalam kombinasi dengan obat antilepra untuk
pengobatan lepra dengan mengubah keadaan infeksi menjadi keadaan noninfeksi.
Peringatan:
kurangi dosis pada gangguan fungsi hati; lakukan pemeriksaan uji fungsi hati dan hitung sel darah pada
pengobatan jangka panjang; gangguan fungsi ginjal (jika dosis lebih dari 600 mg/hari) lihat Lampiran 3;
kehamilan dan menyusui lihat Lampiran 4 dan lampiran 5. Penting: pasien yang menggunakan
kontrasepsi oral dianjurkan untuk menggunakan metode tambahan; dapat mengubah warna lensa
kontak, menyebabkan warna kemerahan pada seluruh sekresi tubuh, penderita diabetes melitus, flu
syndrome, sesak napas, syok anafilaksis.
Interaksi:
lihat lampiran 1 (rifampisin). Interaksi obat: peggunaan dengan antasida, opiat, antikolinergik dan
ketokonazol, berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal, obat antiretroviral (non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitors dan protease inhibitors). Interaksi laboratorium: positif palsu dengan metode KIMS
(Kinetic Interaction of Microparticles in Solution).
Efek Samping:
gangguan saluran cerna meliputi mual, muntah, anoreksia, diare; pada terapi intermiten dapat terjadi
sindrom influenza, gangguan respirasi (napas pendek), kolaps dan syok, anemia hemolitik, anemia, gagal
ginjal akut, purpura trombo-sitopenia; gangguan fungsi hati, ikterus; flushing, urtikaria, ruam; gangguan
sistem saraf pusat meliputi sakit kepala, pusing, kebingungan, ataksia, lemah otot, psikosis. Efek
samping lain seperti udem, kelemahan otot, miopati, lekopenia, eosinofilia, gangguan menstruasi; warna
kemerahan pada urin, saliva dan cairan tubuh lainnya; tromboplebitis pada pemberian per infus jangka
panjang.
Dosis:
Tuberkulosis : DEWASA dalam dosis tunggal, BB <50kg adalah 450 mg, BB >50kg adalah 600mg
(pasien dengan gangguan fungsi hati tidak lebih dari 8mg/kgBB). ANAK: 10-20 mg/kgBB sebagai dosis
harian (dosis total tidak lebih dari 600 mg).
Lepra multibasiler: Rifampisin 600mg satu kali sebulan+dapson 100mg satu kali
sehari+klofazimin(Lamprene) 300mg satu kali sebulan+50mg satu kali sehari dengan durasi pengobatan
selama 2 tahun.
Lepra pausibasiller: Rifampisin 600mg satu kali sebulan+dapson 100mg (1-2 mg/kgBB) satu kali sehari
dengan durasi pengobatan 6 bulan.
Catatan:
Oral: Untuk memastikan absorpsi yang optimal, riampisin harus diberikan pada perut kosong (1jam
sebelum atau 2 jam setelah makan). Jika diberikan bersamaan dengan makanan meningkatkan toleransi
gastrointestinal.
SIKLOSERIN
Indikasi:
dalam kombinasi dengan obat-obat lain, tuberkulosis yang resisten terhadap obat-obat pilihan pertama.
Peringatan:
hentikan (atau kurangi dosis) jika muncul dermatitis alergik atau gejala toksisitas pada SSP; kurangi dosis
pada gangguan fungsi ginjal (hindari jika parah); monitor fungsi hematologi, ginjal, dan hati; kehamilan
dan menyusui.
Interaksi:
lihat Lampiran 1 (sikloserin).
Kontraindikasi:
gangguan fungsi ginjal berat, epilepsi, depresi, ansietas berat, keadaan psikotik, ketergantungan alkohol;
porfiria.
Efek Samping:
terutama neurologis, termasuk sakit kepala, pusing, vertigo, mengantuk, tremor, kejang, psikosis, depresi;
ruam; anemia megaloblastik; perubahan pada uji fungsi hati.
Dosis:
dosis awal 250 mg setiap 12 jam selama 2 minggu, naikkan sesuai dengan kadar darah dan respons
sampai maksimal 500 mg setiap 12 jam; ANAK: dosis awal 10 mg/kg bb/hari disesuaikan menurut kadar
darah dan respon.Catatan: diperlukan pemantauan terhadap kadar dalam darah terutama pada kelainan
fungsi ginjal atau jika dosis lebih dari 500 mg per hari atau jika tanda-tanda toksisitas; kadar darah tidak
boleh melebihi 30 mg/liter.
STREPTOMISIN
Indikasi:
tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain; tularemia, plague, pengobatan brusellosis,
pengobatan glanders, enterokokal endokarditis dan streptokokal endokarditis.
Peringatan:
hipersensitivitas; lihat aminoglikosida.
Kontraindikasi:
kehamilan; lihat aminoglikosida.
Efek Samping:
Gangguan kulit/alergi: ruam, indurasi, atau abses di sekitar lokasi suntikan, mati rasa dan kesemutan di
sekitar mulut, vertigo.
Dosis:
injeksi intramuskular, DEWASA: 15 mg/kgBB (12-18 mg/kgBB) per hari (maksimal 1 g) selama 5 hari
dalam seminggu atau 25-30 mg/kgBB 2 kali seminggu. ANAK: 20-40 mg/kgBB sehari (maksimal 1 g)
atau 25-30 mg/kgBB 2 kali dalam seminggu. Selama masa pengobatan dosis kumulatif tidak boleh lebih
dari 120 g. TULAREMIA: Dosis dewasa 1 – 2 g sehari dalam dosis terbagi selama 7 – 14 hari atau
sampai pasien afebris selama 5 – 7 hari. PLAGUE: Dosis dewasa 2 g (30 mg/kgBB) sehari dalam 2 dosis
terbagi minimal selama 10 hari. BRUSELLOSIS: digunakan bersamaan tetrasiklin atau doksisiklin
DEWASA: 1 g streptomisin im 1 atau 2 kali sehari selama minggu pertama dan sekali sehari selama
pengobatan berikutnya. ANAK: > 8 tahun ,20mg/kgBB (sampai dengan 1 g) streptomisin im sehari
umumnya selama 2 minggu. Diberikan bersamaan dengan kotrimoksazol, streptomisin diberikan selama
2 minggu pada awal pengobatan. STREPTOKOKAL ENDOKARDITIS: streptomisin diberikan bersama
dengan penisilin, dengan dosis 1 g 2 kali sehari selama 1 minggu diikuti dengan 500mg 2 kali sehari
selama 1 minggu. Usia 60 tahun keatas 500 mg 2 kali sehari selama 2 minggu bersamaan dengan
penisilin. ENTEROKOKAL ENDOKARDITIS: diberikan bersama penisislin 1 g 2 kali sehari selama 2
minggu diikuti dengan 500 mg 2 kali sehari selama 4 minggu.