BALOK
4.1 Pendahuluan
Balok atau sering disebut juga dengan gelagar, dapat didefenisikan sebagai bagian
dari konstruksi yang mendatar, atau hampir mendatar, yang memikul beban lentur. Balok
umumnya dikelompokkan sebagai struktur planar karena terletak di suatu bidang, dan
biasanya dibebani oleh suatu beban yang tegak lurus pada sumbu memanjangnya
(longitudinal). Pembebanan yang bekerja pada balok ini akan menimbulkan aksi dalam
bentuk gaya geser (shear) dan momen lentur (bending moment), dan menyebabkan balok
melentur sehingga sumbunya berdeformasi berbentuk lengkungan. Contoh lenturan yang
terjadi pada suatu balok dapat dilihat pada Gambar 4.1. Pada gambar tersebur terlihat
bahwa akibat beban yang bekerja, sumbu longitudinal Balok AB yang semula lurus
menjadi melentur membentuk lengkungan (ditunjukkan dengan garis putus-putus).
Lengkungan ini selanjutnya disebut sebagai kurva defleksi (lendutan) balok. Defleksi yang
terjadi pada balok di sembarang titik di sepanjang sumbunya merupakan peralihan titik
tersebut dari posisi semula yang diukur dalam arah sumbu-y. Selanjutnya defleksi ini
diberi notasi ∆.
P
q
A B
A B
∆
Menurut Gere dan Timoshenko (2000), dalam menganalisis balok dikenal dua istilah
yaitu lentur murni (pure bending) dan lentur tak-seragam (nonuniform bending). Lentur
murni adalah lentur pada suatu balok akibat momen momen lentur konstan atau terjadi
File : Tobok SM Aritonang, M.Eng. Balok 1
Diktat Kuliah Elemen Struktur Baja
Jurusan Teknik Sipil Universitas Cenderawasih
hanya di daerah balok dimana gaya geser adalah nol (karena V = dM/dx). Sebaliknya,
lentur tak-seragam adalah lentur yang disertai dengan adanya gaya geser, yang berarti
bahwa momen lentur berubah sepanjang sumbu balok. Balok yang dibebani secara simetris
merupakan contoh balok yang sebagian mengalami lentur murni dan sebagian lainnya
mengalami lentur tak-seragam.
Selanjutnya dalam suatu bangunan konstruksi, balok biasanya digunakan untuk
memikul lantai, menunjang rel-rel jalan keran, sebagai gelagar jembatan, dan sebagainya.
Balok pada struktur dapat juga disebut/dibedakan antara lain sebagai :
a. Gelagar, biasanya balok terpenting dengan jarak antara yang lebar
b. Balok anak, adalah balok dengan jarak antara yang kecil/rapat dan sering berbentuk
rangka.
c. Gording, elemen dari rangka atap yang lebih difungsikan untuk merubah beban
merata (akibat pembebanan tetap dan sementara) menjadi beban-beban terpusat.
Gording ini membentang diantara rangka batang/kuda-kuda.
d. Rusuk, merupakan balok horizontal pada dinding yang terutama dipakai untuk
menahan momen lentur akibat angin pada sisi bangunan industri. Umumnya
menyangga dinding seng maupun baja gelombang.
e. Sttinger, balok jembatan longitudinal yang membentang antara balok-balok lantai.
Adapun jenis penggunaan profil yang sering dijumpai dalam disain dan pekerjaan
konstruksi adalah :
a. Balok Profil, merupakan balok yang terdiri dari satu profil giling tunggal saja.
b. Balok Tersusun, balok yang merupakan penggabungan dari beberapa profil dan plat
baja yang kemudian dirangkai menjadi satu sehingga mampu bekerjasama memikul
beban transversal.
Gaya yang bekerja pada balok merupakan kombinasi dari gaya tarik dan gaya tekan,
sehingga konsep dari komponen struktur tarik dan tekan yang telah dibahas pada bab-bab
terdahulu akan dikombinasikan dalam desain dan analisis pada balok. Batasan
permasalahan yang ditinjau pada bab ini adalah bahwa balok diasumsikan memiliki
kekangan lateral secara menerus pada arah sumbu kuat dan sumbu lemahnya, sehingga
balok hanya mengalami momen lentur murni, atau tidak mengalami tekuk torsi lateral.
Masalah tekuk torsi lateral pada balok akan dibahas pada bab berikutnya.
akan berubah secara linear, atau hampir linear, dari perpanjangan maksimum menjadi
perpendekan maksimum, dan hal ini terjadi pada serat-serat tepi. Oleh karena itu harus
terdapat bagian serat yang tidak mengalami perpanjangan dan perpendekan, dan serat
tersebut terletak pada setengah tinggi balok. Serat ini disebut sebagai Sumbu Netral Balok
(neutral axis) yang penting dipelajari dalam analisis balok. Sumbu netral ini merupakan
pusat berat dari penampang melintang balok.
Gambar 4.2. Tegangan lentur pada balok. Bagian (a) dan (b) menunjukkan bentuk umum
deformasi akibat beban eksternal. Bagian (b) menunjukkan deformasi yang ada pada
penampang melintang, dan (c) mengilustrasikan distribusi tegangan lentur pada
penampang yang sama (Schodek, 1998)
Perpanjangan yang terjadi pada bagian bawah balok diakibatkan oleh adanya
tegangan tarik, sedangkan perpendekannya diakibatkan oleh tegangan tekan. Besar
tegangan yang timbul ini mempunyai hubungan dengan deformasi, dimana untuk material
yang elastik linear tegangan akibat lentur ini akan berbanding langsung dengan deformasi.
Dengan demikian, pada balok tersebut tegangan akan maksimum pada serat-serat terluar
balok. Karena tegangan lentur maksimum ini terdapat pada serat-serat terluar balok, maka
umumnya desain balok ditentukan dengan memusatkan material pada serat-serta tersebut.
Sehingga balok yang tinggi dengan material sebanyak mungkin pada lokasi jauh dari
sumbu netral akan lebih efisien dibanding dengan jenis balok yang lain. Tegangan dan
regangan yang terjadi pada balok akibat momen lentur selanjutnya dapat disederhanakan
seperti terlihat pada Gambar 4.3.
Pada Gambar 4.3 diatas terlihat bahwa tegangan lentur pada suatu titik, atau fy,
berbanding langsung dengan momen (M), berbanding langsung dengan parameter lokasi
(y) dan berbanding terbalik dengan besaran penampang (I), sehingga tegangan tersebut
⇒ M, y,
dapat ditulis sebagai (Schodek, 1998):
fy (4.1)
Perumusan diatas menggambarkan bahwa apabilia M membesar, maka fy membesar.
Demikian pula apabila y membesar, maka fy juga membesar. Sebaliknya, apabila I
membesar, maka fy akan mengecil.
Berikut ini akan dijelaskan perhitungan tegangan lentur sederhana pada suatu titik
sembarang pada balok segiempat. Lihat gambar 4.4, dimana fy pada gambar tersebut adalah
tegangan lentur di titik sejauh y dari sumbu netral, sedangkan fb merupakan tegangan
maksimum yang terjadi pada serat-serat terluar balok. Tegangan tekan yang bekerja pada
setengah bagian atas balok pada dasarnya ekuivalen dengan satu gaya C (sebagai suatu
resultan). Demikian juga dengan hal yang sama juga terjadi pada setengah bagian bawah
balok, dimana tegangan tarik ini digantikan dengan gaya T yang ekuivalen.
Gaya-gaya ekuivalen tersebut jika dianalisis lebih lanjut adalah sebagai berikut:
f b
Gaya tekan = tegangan rata-rata x Luas
C = (4.2a)
f b
Gaya tarik = tegangan rata-rata x Luas
T = (4.2b)
Lengan Momen = jarak antara C dan T
Mengingat gaya-gaya T dan C bekerja pada pusat berat masing-masing (tarik dan tekan),
=
maka lengan Momen (d1) dapat dihitung sebagai:
d1 (4.3)
MR = C d T d
selanjutnya momen tahanan internal (MR) dihitung sebagai :
= f
(4.4)
Dari rumusan MR diatas, Momen tahanan internal pada suatu potongan (yang sama dengan
momen eksternal pada penampang yang sama) dinyatakan dengan tegangan maksimum fb
dan dimensi balok segiempat, sehingga :
fb = (4.5)
Ekspresi umum untuk tegangan lentur pada suatu titik yang berjarak y dari sumbu netral
juga dapat diperoleh dengan meninjau segitiga sebangun pada Gambar 4.5 berikut.
= f
sumbu netral, dan c adalah jarak sumbu netral tersebut ke serat terluar balok, maka:
fb (4.7)
f ⁄
Untuk penampang segiempat yang ditinjau, diperoleh c = h/2, sehingga:
⁄
12) merupakan momen inersia (I) untuk penampang segiempat, maka :
⁄
fy = (4.8)
besaran (bh
fy = (4.9)
Persamaan (4.9) diatas merupakan persamaan yang digunakan untuk menghitung tegangan
lentur pada suatu titik pada penampang balok untuk kondisi yang umum. Mengingat bahwa
tegangan lentur maksimum tercapai pada serat-serat terluar balok, yang berjarak c dari
sumbu netral (lihat Gambar 4.5), maka tegangan lentur maksimum ini dapat dirumuskan
kembali sebagai:
dengan : c = h , sehingga :
fy(maks) = (4.10)
fy(maks) = (4.11)
Jika I h disebut sebagai momen tahanan atau modulus of section (S) untuk
keadaan elastis, maka rumus tegangan lentur (selanjutnya dinotasikan dengan f saja)
menjadi :
f = (4.12)
dihitung sebagai :
f = (4.13)
dengan :
Sx = dan Sy =
sehingga :
f = (4.14)
dimana :
Mx, My = momen lentur arah x dan y
Sx, Sy = modulus penampang arah x dan y
Ix, Iy = momen inersia arah x dan y
cx, cy = jarak dari titik berat ke tepi serat arah x dan y
P=30 kN
WF 300.150.8.13
A
L=2,5 m
Penyelesaian
Data profil WF 300.150.8.13 :
h = 29,8 cm (tinggi profil)
,⁄ 424 cm
424 10
mm
Ix = 6320 cm4
Sx =
M = P L 30 2,5 75 kN. m 75 10 N. mm
Momen lentur maksimum:
Mmaks = 75 kN.m
—
A
L=2,5 m
Tegangan lentur maksimum terjadi pada penampang dimana momennya maksimum, yaitu
pada Titik A, khususnya pada titik terluar penampang.
176,886 MPa
Tegangan lentur maksimum dihitung sebagai berikut:
fmaks =
Gambar diagram tegangan lentur :
fmaks = -176,88 MPa
Sumbu netral
+
WF 300.150.8.13 fmaks = +176,88 MPa
Bila tegangan leleh telah tercapai pada serat terluarnya [lihat Gambar 4.7(b)], maka
kekuatan momen nominal (Mn) disebut sebagai momen leleh (My), yaitu momen lentur
Gambar 4.8. Perilaku elatik dan plastik pada balok (Schodek, 1998)
keadaan plastis penuh pada penampang balok disebut sebagai momen plastik (Mp), dan
Mp = f & y dA f Z
besarnya dihitung sebagai :
(4.16)
dinyatakan dengan:
ξ
= (4.17)
Faktor bentuk ξ merupakan sifat dari bentuk penampang lintang dan tidak tergantung dari
sifat materialnya (Salmon dan Johnson, 1990).
Bila kekuatan momen plastik Mp tercapai, maka penampang profil tersebut tidak
dapat lagi memberikan resistansi tambahan terhadap rotasi, sehingga berprilaku sebagai
sebuah sendi yang selanjutnya disebut sebagai sendi plastis (plastic hinge). Keberadaan
sendi plastis akan membuat suatu struktur menjadi tidak stabil dan menciptakan situasi
yang tidak stabil, yang disebut sebagai mekanisme runtuh (collapse mechanism).
Tinjau Gambar 4.10 berikut. Sudut rotasi θ bersifat elastik pada daerah beban layan
M sampai serat terluar mencapai fy pada My. Kemudian bersifat tak elastik parsial hingga
tercapainya momen plastik Mp. Setelah itu terjadi sendi plastik dan kurva M-θ mencapai
horizontal dan defleksi pada balok akan meningkat. Pada kondisi runtuh, deformasi elastik
akibat lentur pada segmen di antara ujung-ujung dan pertengahan bentang dapat diabaikan
bila dibandingkan dengan rotasi θu yang terjadi pada sendi plastiknya. Oleh karena itu,
analisis dapat memperlakukan dua benda tegar (rigid) yang memiliki diskontinuitas
angular θu pada pertengahan bentangnya. Selanjutnya menurut Salmon dan Johnson
(1990), pencegahan keruntuhan pada balok secara lateral stabil adalah dengan memberikan
batasan terhadap jarak antara titik-titik tumpuan lateral, batas rasio lebar/tebal flens tekan
dan batas rasio kedalaman/tebal badan.
Gambar 4.10. Perilaku plastik dan kurva M-θ (Salmon dan Johnson, 1990)
Penyelesaian
Perhitungan untuk momen leleh penampang:
bh f
My
=
= Ch Th
bh f
Mp
=
Maka Faktor bentuk (ξ) dihitung sebagai berikut:
⁄
ξ = ⁄
= 1,5
Penyelesaian
Dari tabel profil baja diperoleh harga modulus penampang elastis sebagai berikut:
Sx = 775 cm3
Sy = 112 cm3
Y
Tf = 11 mm
h= 350 mm
X
Tw = 7 mm
b=175 mm
Mp(x) = 2 +b t f h - t
t h - t f h - t .
Tinjauan terhadap sumbu-x:
= b t f )h - t *
t f h - t h - t
= )b t *)h - t *
t h - t h - t
Zx =
1,08
maka:
,
kx =
Mp(x) = 2 +2 b t b f
)h - 2t * t f t .
Tinjauan terhadap sumbu-y:
= b f b t
t f )h - 2 t *
= b b t
t )h - 2 t *
Zy =
1,54
maka:
,
ky =
5 M ≥ M
Design (LRFD) dinyatakan sebagai (Salmon dan Johnson, 1990):
(4.18a)
5
dimana :
= faktor reduksi kekuatan, untuk lentur = 0,90.
Mn = kekuatan momen nominal
Mu = momen beban layanan terfaktor
Dalam hal ini, SNI 03-1729-2002 juga mengatur hal yang sama. Menurut SNI 03-
1729-2002, suatu komponen struktur yang memikul lentur terhadap sumbu kuat (sumbu-x),
dan dianalisis dengan metode elastis (sesuai Butir 7.4 SNI 03-1729-2002) harus
5M ≥ M !
memenuhi:
dengan 5 = 0,9 dan Mux adalah momen lentur terfaktor terhadap sumbu-x (dalam N.mm).
(4.18b)
Sementara itu untuk komponen struktur yang memikul momen lentur pada sumbu
5M ≥ M
lemahnya (sumbu-y) dan dianalisis dengan metode elastis harus memenuhi :
(4.18b)
dengan Muy adalah momen lentur terfaktor terhadap sumbu-y (dalam N.mm).
Penampang Kompak
Kekuatan nominal Mn untuk penampang kompak yang secara lateral stabil dapat
dinyatakan sebagai berikut (SNI 03-1729-2002 Pasal 8.2.3):
Mn = Mp (4.19)
Z = modulus plastik
Penampang Tak-Kompak
Kekuatan nominal Mn untuk penampang tak-kompak yang secara lateral stabil dengan λ =
λr adalah kekuatan momen yang tersedia bila serat terluarnya berada pada tegangan leleh fy
Mn = Mr = (2f - f" 3S
karena adanya tegangan sisa, sehingga dinyatakan sebagai:
(4.20)
dimana Mr merupakan momen sisa dan modulus penampang elastik (S) sama dengan
momen inersia (I) dibagi jarak sumbu netral ke serat terluarnya (c). Sementara fr
merupakan tegangan sisa (residual stress) yang besarnya ditetapkan fr = 70 Mpa untuk
penampang gilas panas dan fr = 115 Mpa untuk penampang yang dilas.
Selanjutnya kekuatan nominal Mn untuk penampang tak-kompak yang secara lateral stabil
dengan λp < λ ≤ λr harus diinterpolasi secara linier diantara Mp dan Mr, dan dinyatakan
= M# - 2M# - M" 3 8 9
sebagai berikut (SNI 03-1729-2002 Pasal 8.2.4):
λ$λ
λ$λ
Mn (4.21)
Penampang Langsing
Bila λ > λr, maka kuat lentur nominal penampang pelat sayap (flens) adalah (SNI 03-1729-
= M" λ
2002 Pasal 8.2.4):
λ
Mn (4.22)
b
Potongan 1-1
Penyelesaian Profil WF
= 1,2D%
1,6D% 1,2)10*
1,6)17* 39,2 kN/m
Menghitung beban ultimit terfaktor:
qu
= )b t *)h - t *
t h - t h - t
Besaran penampang profil WF:
= b b t
t )h - 2 t *
Zx
= h - 2)r
t *
Zy
hw
b = 175 mm
7,95
Pelat sayap :
λf '
10,973
=
λp
( √
28,37
=
λr
( $ √ $
=
diperoleh : λf < λp → Penampang kompak
42,85
Pelat badan:
λw
'
108,44
=
λp
( √
164,6
=
λr
( √
=
diperoleh : λw < λp → Penampang kompak
Mp = Z! f
Kekuatan nominal Mn untuk penampang kompak dihitung sebagai berikut:
= )b t *)h - t *
t h - t h - t
dimana:
= 840847 mm3
196 kN. m
Dari hasil perhitungan diperoleh:
Mp = 201,803 kN.m > &
Berarti profil WF 350.175.7.11 aman/kuat untuk digunakan !!.
qu
A B
L= 8 m
Penyelesaian
= 1,2D%
1,6D% 1,2)12*
1,6)25* 54,4 kN/m
Menghitung beban ultimit terfaktor:
qu
b = 350 mm
9,21
Pelat sayap :
λf
'
8,39
=
λp
( √
20,066
=
λr
( $ √ $
=
22,66
Pelat badan:
λw '
82,96
=
λp
( √
125,93
=
λr
( √
=
Kesimpulan: karena pada flens diperoleh λp < λf < λp, berarti Penampang tak-kompak
= M# - 2M# - M" 3 8λ 9
Kekuatan nominal Mn untuk penampang tak-kompak dihitung sebagai berikut:
λ$λ
$λ
Mn
Mp = Z! f
Momen plastik dihitung sebagai berikut:
= )b t *)h - t *
t h - t h - t
= 2493182 mm3
483,55 kN. m
Dari hasil perhitungan diperoleh:
= 1005,334 kN.m >
&
Mp
Kesimpulan: profil WF 350.350.12.19 terlalu kuat !!.
konstruksinya dengan pelengkungan ke atas (lentur negatif) atau penebalan pleat atau
lapisan lantai. Hanya defleksi yang terjadi akibat beban-beban yang bekerja setelah
konstruksi selesai saja yang dapat mengakibatkan retaknya dinding, partisi maupun langit-
langit (plafon).
Telah banyak tersedia metode analisis struktural untuk menghitung besar defleksi
pada penampang balok untuk berbagai distribusi pembebanan dan variasi momen inersia
baik untuk struktur statik tertentu maupun statik tak-tentu. Menurut Salmon dan Johnson
∆maks = β
(1990), secara umum defleksi maksimum pada suatu batang elastik dinyatakan sebagai:
*%
+
(4.23)
dimana :
W = beban layanan total sepanjang bentang balok
L = panjang balok
E = modulus elastisitas
I = momen inersia
β1 = koefisien yang tergantung pada derajat kekangan tumpuan, variasi dalam momen
inersia di sepanjang bentangan dan distribusi pembebanan.
Selanjutnya rumus defleksi maksimum yang terjadi pada balok untuk berbagai
distribusi pembebanan dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut.
,%
∆c = ∆maks =
+
,%
∆c = +
-%
∆c = ∆maks = +
-.%$ /
∆maks =
√
%+
, %
∆c = ο +
∆maks = 0,00652
,ο%
+
, %
∆c = ∆maks =
ο
+
,ο %
∆c = ∆maks =
1 +
Rumus defleksi yang ada pada Tabel 4.1 tersebut dapat pula dinyatakan dalam
bentuk lain, yaitu dengan melibatkan parameter momen yang bekerja pada balok. Sebagai
contoh untuk balok yang memikul beban terbagi rata q, dimana momen maksimum yang
q L
terjadi adalah:
Mmaks =
q L
maka diperoleh hubungan untuk defleksi di tengah bentang (L/2) yaitu:
,% %
∆L/2
+ +
=
%
+
= (4.24)
Selanjutnya SNI 03-1729-2002 pasal 6.4.3 menetapkan batas-batas lendutan/defleksi
untuk keadaan kemampu-layanan. Batasan lendutan ini harus sesuai dengan struktur,
fungsi penggunaan, sifat pembebanan serta elemen-elemen yang didukung oleh struktur
tersebut. Batas lendutan yang ditetapkan oleh SNI 03-1729-2002 dapat dilihat pada Tabel
4.2 berikut.
Tabel 4.2.
Batas lendutan maksimum (SNI 03-1729-2002)
Keterangan : L adalah panjang bentang, h adalah tinggi tingkat, beban tetap adalah beban
mati dan beban hidup, beban sementara meliputi beban gempa dan beban angin.
Penyelesaian
Profil balok yang digunakan adalah WF 350.175.7.11 dengan data profil sebagai berikut:
tf = 11 mm
Ag = 63,14 cm2
Sx = 775 cm3
Ix = 13600 cm4
h=350 mm hw=300 mm
7 mm
b = 175 mm
Untuk pemeriksaan syarat lendutan, hanya beban hidup saja yang diperhitungkan. Dari
Soal 4.4 diketahui bahwa beban hidup LL = 17 kN/m dan bentang balok L = 6 m. Momen
Pemeriksaan lendutan:
,% % ., /
∆ =
+ +
Penyelesaian
Data profil WF 350.350.12.19 :
Ix = 40300 cm4
Untuk pemeriksaan syarat lendutan, hanya beban hidup saja yang diperhitungkan. Dari
Soal 4.5 diketahui bahwa beban hidup LL = 25 kN/m dan bentang balok L = 8 m. Momen
Pemeriksaan lendutan:
,% % . /
∆ =
+ +
Selain itu, dapat juga diasumsikan bahwa tegangan geser mempunyai distribusi
terbagi rata di seluruh lebar balok, meskipun tegangan tersebut bervariasi terhadap
tingginya. Tegangan geser ini disebut sebagai tegangan geser horizontal. Tegangan geser
horizontal juga bervariasi di sepanjang bentang balok, khususnya apabila tegangan lentur
di sepanjang bentang balok bervariasi. Hal ini terlihat pada Gambar 4.12 berikut.
Pada perencanaan balok, khususnya balok dengan bentangan yang pendek, kekuatan
balok terhadap geser yang terjadi adalah sangat menentukan. Hal ini berbeda dengan balok
panjang yang ditentukan oleh defleksi dan balok dengan panjang menengah yang biasanya
ditentukan oleh kekuatan lentur. Adapun penurunan persamaan umum tegangan geser telah
diberikan oleh Gere dan Timoshenko (2000) dan akan disajikan berikut ini. Tinjaulah
Gambar 4.13, yaitu potongan dari suatu penampang balok WF yang memikul beban
terpusat. Perhatikan potongan dz pada Gambar 4.13(a), yang terlihat sebagai benda bebas
dalam Gambar 4.13(b).
Bila dikehendaki tegangan geser satuan v pada suatu penampang y1 dari sumbu
dC′ = vt dz
netralnya, maka dari Gambar 4.13(c) terlihat bahwa:
(4.25)
C′ = & f dA
Gaya horizontal yang timbul dari momen lenturnya adalah:
C′ + dC′ = & )f
df* dA
dC′ = & df dA
dengan pengurangan :
(4.26)
2
& dA & y dA
df =
2 2
dC′ = (4.27)
Subsitusi Persamaan (4.27) ke Persamaan (4.25) dan penyelesaian untuk tegangan geser v
' & y dA
akan memberikan:
2
= & y dA
Q
maka dapat diperoleh persamaan tegangan geser:
45
'
v = (4.29)
dengan :
fv = tegangan geser yang terjadi
V = gaya geser yang dialami penampang profil balok
Q = momen statik terhadap sumbu-x dari luas penampang lintang di antara serat
terluar pada y2 [Gambar 4.13(b)] dan lokasi tertentu pada y1 dimana tegangan
geser tersebut akan ditetapkan.
I = momen inersia seluruh penampang profil terhadap sumbu netral
Pada perencanaan balok profil WF yang umum, perhitungan tegangan geser dapat
disederhanakan sebagai harga rata-rata pada luas badan bruto dengan mengabaikan alat
penyambung. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.14, dimana terlihat bahwa tegangan
geser yang terjadi pada badan profil (web) jauh lebih besar dibandingkan dengan yang
terjadi pada sayap profil (flens/flange). Selain itu, tegangan geser maksimum aktual hanya
sedikit lebih besar daripada tegangan geser rata-rata. Dengan demikian, tegangan geser
2'
pada penampang WF dapat dinyatakan menjadi:
4 4
fv = (4.30)
Vu ≤ 5 V
pelat badan yang memikul geser perlu (Vu) sebagai berikut:
(4.31)
5 = faktor reduksi, dimana untuk pelat badan yang memikul geser 5 0,90.
dengan :
Vn = τ A
Selanjutnya kuat geser nominal pelat badan harus dihitung sebagai berikut:
(4.32)
dengan:
Vn = 0,6 f A
juga dengan Pasal 8.8.3 SNI 03-1726-2002):
(4.33)
Persamaan (4.33) tersebut berlaku apabila rasio h/tw memenuhi syarat SNI 03-1729-2002
' ≤ 1,10C
Pasal 8.8.2 berikut:
6+
(4.34)
= 5
dengan :
kn
Nilai koefisien kn ini dapat diambil sebagai 5,0 untuk balok tanpa pengaku transversal
(lihat Salmon dan Johnson, 1990), sehingga dengan harga E = 200000 Mpa, maka
' ≤
Persamaan (4.34) dapat dinyatakan kembali menjadi:
(
(4.35)
L=7m
Apabila mutu baja yang digunakan adalah BJ. 37, maka periksa apakah profil tersebut
mampu memikul beban yang bekerja, dan juga terhadap defleksi yang terjadi apabila 60%
dari qu adalah beban hidup dan balok difungsikan untuk memikul dinding.
Penyelesaian
q L 40 7 245 kN. m
Menghitung momen ultimit terfaktor:
Mu =
tf = 13 mm
h=400 mm hw=342 mm
8 mm
b = 200 mm
7,69
Pelat sayap :
λf
'
10,973
=
λp
( √
28,37
=
λr
( $ √ $
=
diperoleh : λf < λp → Penampang kompak
42,75
Pelat badan:
λw '
108,44
=
λp
( √
164,6
=
λr
( √
=
diperoleh : λw < λp → Penampang kompak
Mp = Z! f
Kekuatan nominal Mn untuk penampang kompak dihitung sebagai berikut:
= )b t *)h - t *
t h - t h - t
dimana:
q L 40 7 140 kN
Menghitung gaya geser ultimit Vu:
Vu =
42,75
Periksa kelangsingan penampang terhadap geser:
λw '
71,005
=
( √
diperoleh : <
=
' (
Selanjutnya untuk pemeriksaan syarat lendutan, hanya beban hidup saja yang
Pemeriksaan lendutan:
,% % . /
∆ =
+ +
berbanding 1. Adapun pada daerah beban interior, penyebaran beban sebenarnya pada
badan balok terjadi pada jarak (N+5k) sampai dengan (N+7k).
Beberapa tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi pelelehan lokal badan ini
adalah dengan memperbesar pelat landasan, atau dengan mendesain pengaku landasan,
atau dengan memilih balok yang mempunyai pelat badan lebih tebal. Pelelehan lokal badan
ini harus diperiksa di semua titik yang mengalami beban terpusat dan di tumpuan.
Untuk pemeriksaan pelelehan lokal badan ini, SNI 03-1729-2002 Pasal 8.10
Ru ≤ 5R
menetapkan bahwa Gaya tumpu perlu (Ru) pada pelat badan harus memenuhi:
(4.36)
5
dengan:
= faktor reduksi kekuatan, ditentukan berdasarkan Tabel 6.4-2 SNI 03-1729-2002
Rn = kuat tumpu nominal pelat badan akibat beban terpusat atau setempat
Ru = reaksi terfaktor.
Apabila Persamaan (4.36) diatas terpenuhi, maka tidak diperlukan pengaku (stiffener) pada
pelat badan.
Kuat tumpu nominal Rn untuk berbagai kondisi ditentukan berdasarkan SNI 03-
1729-2002 Pasal 8.10, sebagai berikut:
1. Lentur pelat sayap
Rb = 6,25 t f
Kuat tumpu terhadap lentur pelat sayap adalah:
(4.37)
dengan tf adalah tebal pelat sayap yang dibebani gaya tekan tumpu.
Rb = )5k
N*f t
a. bila jarak beban terpusat terhadap ujung balok lebih besar dari tinggi balok :
(4.38)
b. bila jarak beban terpusat terhadap ujung balok lebih kecil atau sama dengan
Rb = )2,5k
N*f t
tinggi balok:
(4.39)
dengan:
k = tebal pelat sayap ditambah jari-jari peralihan, mm
N = dimensi longitudinal pelat perletakan atau tumpuan, minimal sebesar
k, mm.
= 0,79 t E1
3 2 ' F C
a. bila beban terpusat dikenakan pada jarak lebih dari d/2 dari ujung balok:
7 ' , + '
'
Rb (4.40)
b. bila beban terpusat dikenakan pada jarak kurang dari d/2 dari ujung balok dan
untuk N/d ≤ 0,2:
= 0,39 t E1
3 2 ' F C
7 ' , + '
'
Rb (4.41)
= 0,39 t E1
4 2 - 0,2 ' FC
7 ' , + '
'
Rb (4.42)
+1
0,4 %⁄ .
8 + ' ' ⁄'
Rb = (4.43)
+0,4 .
8 + ' ' ⁄'
%⁄
Rb = (4.44)
dengan:
Cr = 3,25 untuk M ≤ My ; Cr = 1,62 untuk M > My
HE f
Kuat pelat badan terhadap tekuk lentur akibat gaya tekan adalah:
, '
Rb = (4.45)