Full Text
Full Text
Full Text
Sarma N. Lumbanraja
Department of Obstetrics and Gynecology, Faculty of Medicine University of Sumatera Utara, Medan, Indonesia,
2018
Pendahuluan
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satuindikator untukmelihatderajat ke- sehatan perempuan.1
Terdapat dua kategori kematian ibu yaitu disebabkan oleh penyebab langsung obstetri
yaitukematianyangdiakibatkanlangsungoleh kehamilan dan persalinannya, dan kematian yang disebabkan oeh
penyebab tidak langsung yaitukematianyangterjadipada ibuhamil yangdisebabkanolehpenyakitdanbukanoleh
kehamilan atau persalinannya.2 Berdasarkan Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka
kematianibu(yangberkaitandengankehamilan, persalinan, dan nifas) sekitar 359/100.000 kelahiran hidup. Angka ini
meningkat dibandingkan dengan tahun 2007 yaitu sekitar 228/100.000kelahiranhidup.Triasutamakematian ibu
adalah perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (HDK) dan infeksi. Dari Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014,
hampir 30% kematian ibu di Indonesia pada tahun 2010 disebabkanolehHDK.1Penyakithipertensidalam kehamilan
merupakan kelainan vaskular yang terjadi sebelum kehamilan atau timbul dalam kehamilan atau pada masa nifas.
Tujuan utama dari tatalaksana preeklampsia adalah keselamatan ibu. Keputusan antara manajemen aktif dan
konservatif bergantung kepada usia kehamilan, status fetal, kondisi maternal, adanya ketuban pecah, dan
ketersediaan serta akses ke spesialis obstetri atau bidan. 3
Manajemen Konservatif
Wanita hamil dengan preeklamsia dengan gejala pemberat biasanya akan dilakukan tindakan terminasi
segera untuk menghindarkan komplikasi maternal maupun fetal yang ada. Preeklamsia sendiri merupakan penyakit
yang progresif dan tidak memiliki terapi definitif selain terminasi yang merupakan hal yang terbaik bagi si ibu,
tetapi tidak pula pada fetus, terkadang keputusan untuk menunda terminasi dapat dipertimbangkan untuk
mendapatkan hasil luaran neonatus yang lebih baik pula.
Pada wanita dengan onset terjadinya preeklamsia dengan usia kehamilan di bawah 24 minggu akan
menunjukkan hasil yang buruk apabila dilakukan manajemen konservatif. Dua puluh lima hingga enam puluh tiga
persen dari wanita dengan manajemen konservatif pada usia kehamilan pada trimester dua akan mengalami
komplikasi yang serius seperti sindroma HELLP, insufisiensi renal, solusio plasenta, edema pulmonum, dan
eklamsia. Angka survival pada neonatus dengan usia kehamilan 25 minggu mencapai 70%. 4
Pada uji klinik terandomisasi dengan wanita hamil dengan usia kehamilan ≥ 28 minggu sebagai sampel
menunjukkan bahwa pennundaan terminasi dengan tujuan improvisasi keadaan hasil luaran janin dengan
manajemen konservatif, tidak ada peningkatan dari komplikasi maternal. Pada neonatus yang lahir dari ibu dengan
manajemen ekspektatif memiliki berat lahir yang lebih tinggi, angka insiden yang lebih rendah masuk ke ruang
perawatan intensif, angka kejadian komplikasi neonatal yang lebih sedikit (Respiratory distress syndrome atau
necrotizing enterocolitis).4
Sebuah tinjauan sistematis uji klinis terandomisasi beberapa penelitian dengan sampel wanita hamil
dengan usia gestasi <34 minggu yang dilakukan manajemen ekspektatif, menunjukkan angka komplikasi serius <
5% yang sama dengan mereka yang menjalani prosedur terminasi segera. Hasil jangka panjang yang pernah
ditemukan pada anak-anak yang lahir dari ibu preeklamsia dengan manajemen konservatif adalah pada usia 4,5
tahun terjadi peningkatan frekuensi IQ yang tergolong subnormal (78 - 93) atau abnormal (<78) yaitu sebanyak
30%. Lima puluh empat persen dari anak- anak tersebut memiliki hasil yang normal dari semua tes perkembangan.
Tujuh persen dari mereka menjalani sekolah khusus, yang mana 7 kali lipat lebih besar daripada anak-anak dengan
usia yang sama di Negara Belanda.4
Hasil dari HYPITAT (Hypertension and Preeclampsia Intervention Trial at Term) II pada pasien
preeklamsia dengan usia gestasi < 34 minggu menunjukkan bahwa manajemen konservatif memiliki hubungan
dengan peningkatan kondisi perinatal tanpa meningkatkan risiko terhadap ibu. Namun, manajemen konservatif ini
dapat dilakukan hanya ketika tekanan darah relatif mudah dikontrol dengan obat antihipertensi dan kondisi
maternal yang tidak membutuhkan magnesium sulfat. Kelahiran dilakukan segera ketika terjadi eklampsia,
disfungsi multi organ, IUGR (Intra Uterine Growth Restriction), atau hasil tes fetal yang abnormal. 5
Norwitz dkk merekomendasikan mereka yang memenuhi kriteria untuk dilakukannya manajemen
ekspektatif adalah sebagai berikut (1) Kelainan laboratorium yang transien. Dimana wanita PE berat yang
asimtomatis dengan hanya kriteria laboratorium yang abnormal ( SGOT atau SGPT meningkat dua kali lipat,
platelet < 100.000 sel/µL) dapat dilakukan manajemen ekspektatif apabila kelainan ini membaik dalam waktu 24-
48 jam dirawat di rumah sakit. (2) Preeklamsia berat dengan proteinuria > 5g/24 jam tanpa gejala pemberat lainnya
bukan merupakan indikasi terminasi. (3) Preeklamsia berat dengan hanya restriksi pertumbuhan janin atau Fetal
Growth Restriction (FGR) jika memenuhi kriteria FGR ringan yaitu dengan taksiran berat ≥5th percentile dan
<10th percentile untuk usia kehamilan; mereka dengan usia kehamilan <32 minggu; reassuring fetal testing
(reassuring nonstress test, amniotic fluid index (AFI) >5.0 cm atau maximal vertical pocket>2.0 cm), dan tidak ada
absent or reversed diastolic flow yang persisten pada Doppler velocimetry arteri umbilikalis. (4) Preeklamsia berat
dengan hanya kriteria tekanan darah yang terpenuhi dengan pemberian antihipertensi untuk mengontrol tekanan
darah.5
Adapun kontraindikasi manajemen konservatif adalah sebagai berikut: ketidak stabilan hemodinamik
maternal (syok); Nonreassuring fetal testing (nonreassuring nonstress test atau skor biofisik, taksiran berat janin
untuk usia kandungan < 5 persentil, oligohidramnion dengan AFI <5.0 cm atau maximal vertical pocket <2.0 cm,
dan atau absent or reversed diastolic flow persisten pada Doppler velocimetry arteri umbilikalis); hipertensi berat
persisten yang tidak respon dengan medikamentosa; nyeri kepala hebat, gangguan visus atau nyeri epigastrik;
eklamsia; edema pulmonum; gagal ginjal dengan peningkatan kreatinin serum ≥1 mg/dL dan/atau jumlah urin <
0.5 mL/kg/jam dalam 2 jam yang tidak respon dengan hidrasi cairan 500 cc intravena; solusio plasenta; hasil lab
yang abnormal seperti peningkatan transaminase 2x lipat dalam 6-12 jam; penurunan hitung jumlah trombosit yang
progresif <100,000 cells/µL; koagulopati tanpa penyebab pasti; persalinan prematur; KPD; permintaan ibu untuk
terminasi segera; HELLP syndrome.6
Lahirkan bayi
Preeklampsia onset dini (<34 minggu) memerlukan penggunaan obat antihipertensi secara hati-hati. Selain
itu, diperlukan tirah baring dan monitoring baik terhadap ibu maupun bayi. 8 Pasien preeklampsia biasanya sudah
mengalami deplesi volume intravaskuler, sehingga lebih rentan terhadap penurunan tekanan darah yang terlalu
cepat. Selain itu, menurunkan tekanan darah tidak mengatasi proses primernya. Tujuan utama terapi antihipertensi
adalah untuk mengurangi risiko ibu, yang meliputi abrupsi plasenta, hipertensi urgensi yang memerlukan rawat
inap, dan kerusakan organ target.3
Daftar Pustaka
1. Nursal D, Tamela P. Faktor Risiko Kejadian Preeklampsia Pada Ibu Hamil di RSUP dr. M. Djamil Padang.
2015.
2. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan : Diagnosis dan
Tatalaksana Preeklampsia. 2016
3. Wagner L. Management and Diagnosis of Preeclampsia. 2012.
4. Norwitz ER., Funai EF. Expectant management of severe preeclampsia. 2011. Available from:
http://cursoenarm.net/UPTODATE/contents/mobipreview.htm?16/50/17184
5. Dekker G. Management of Preeclampsia : an update. 2017.
6. Publications Committee, Society for Maternal-Fetal Medicine. Evaluation and management of severe
preeclampsia before 34 weeks' gestation. Am J Obstet Gynecol 2011; 205:191.
7. American College of Obstetrician and Gynecologist. Hypertension in Pregnancy. 2013.
8. Churchill D. Interventionist versus expectant care for severe preeclampsia before term. 2010.