Anda di halaman 1dari 11

ASUHAN KEPERAWATAN COPD

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah

Keperawatan Gawat Darurat (B)

Dosen Pengampu : Ns.

Disusun Oleh :

Nurul Aliyyah Rahmah 1810711003


Dini Sholihatunnisa 1810711030
Amalia Tiara Kusuma 1810711032
Jumiati Lestari 1810711039
Dinar Aufia F.H 1810711051

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

2021
1. Pemeriksaan penunjang apa saja yang dilakukan ?

1. Uji Faal Paru dengan Spirometri dan Bronkodilator (post-bronchodilator)

Uji faal paru berguna untuk menegakkan diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan
menentukan prognosa. Pemeriksaan ini penting untuk memperlihatkan secara obyektif adanya
obstruksi saluran nafas dalam berbagai tingkat. Spirometri digunakan untuk mengukur volume
maksimal udara yang dikeluarkan setelah inspirasi maksimal, atau disebut Forced vital capacity
(FVC). Spirometri juga mengukur volume udara yang dikeluarkan pada satu detik pertama pada
saat melakukan manuver tersebut, atau disebut dengan Forced Expiratory Volume in 1 second
(FEV1). Rasio dari kedua pengukuran inilah (FEV1/FVC) yang sering digunakan untuk menilai
fungsi paru.

Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan dari FEV1 dan FVC serta nilai
FEV1/FVC < 70%. Pemeriksaan post-bronchodilator dilakukan dengan memberikan
bonkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, dan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai
FEV1. Bila perubahan nilai FEV1 <20%, maka ini menunjukkan pembatasan aliran udara yang
tidak sepenuhnya reversibel. Uji ini dilakukan saat PPOK dalam keadaan stabil (diluar
eksaserbasi akut). Dari hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator dapat
digunakan untuk menentukan klasifikasi penyakit PPOK berdasarkan derajat obstruksinya.
Klasifikasi berdasarkan GOLD kriteria adalah:

1. Stage I : Ringan

Pemeriksaan spirometri post-bronchodilator menunjukan hasil rasio FEV1/FVC < 70% dan nilai
FEV1 ≥ 80% dari nilai prediksi.

2. Stage II : Sedang

Rasio FEV1/FVC < 70% dengan perkiraan nilai FEV1 diantara 50-80% dari nilai prediksi.

3. Stage III : Berat

Rasio FEV1/FVC < 70%, dan nilai menunjukkan FEV1 diantara 30-50% dari nilai prediksi.

4. Stage IV : Sangat Berat


Rasio FEV1/FVC < 70%, nilai FEV1 diperkirakan kurang dari 30% ataupun kurang dari 50%
dengan kegagalan respirasi kronik.

2. Foto Torak PA dan Lateral

Foto torak PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit paru lain. Pada
penderita emfisema dominan didapatkan gambaran hiperinflasi, yaitu diafragma rendah dan rata,
hiperlusensi, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar, dan jantung yang
menggantung/penduler (memanjang tipis vertikal). Sedangkan pada penderita bronkitis kronis
dominan hasil foto thoraks dapat menunjukkan hasil yang normal ataupun dapat terlihat corakan
bronkovaskuler yang meningkat disertai sebagian bagian yang hiperlusen.

3. Analisa Gas Darah (AGD)

Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas darah sangat penting dilakukan dan wajib
dilakukan apabila nilai FEV1 pada penderita menunjukkan nilai < 40% dari nilai prediksi dan
secara klinis tampak tandatanda kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan seperti sianosis
sentral, pembengkakan ekstrimitas, dan peningkatan jugular venous pressure. Analisa gas darah
arteri menunjukkan gambaran yang berbeda pada pasien dengan emfisema dominan
dibandingkan dengan bronkitis kronis dominan. Pada bronkitis kronis analisis gas darah
menunjukkan hipoksemi yang sedang sampai berat pada pemberian oksigen 100%. Dapat juga
menunjukkan hiperkapnia yang sesuai dengan adanya hipoventilasi alveolar, serta asidosis
respiratorik kronik yang terkompensasi. Gambaran seperti ini disebabkan karena pada bronkitis
kronis terjadi gangguan rasio ventilasi/perfusi (V/Q ratio) yang nyata. Sedangkan pada emfisema,
rasio V/Q tidak begitu terganggu oleh karena baik ventilasi maupun perfusi, keduanya menurun
disebabkan berkurangnya jumlah unit ventilasi dan capillary bed. Oleh karena itu pada emfisema
gambaran analisa gas darah arteri akan memperlihatkan normoksia atau hipoksia ringan, dan
normokapnia. Analisa gas darah berguna untuk menilai cukup tidaknya ventilasi dan oksigenasi,
dan untuk memantau keseimbangan asam basa.

4. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan bakteriologi Gram pada sputum diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan
memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama
eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.

5. Pemeriksaan Darah rutin

Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui adanya faktor pencetus seperti leukositosis
akibat infeksi pada eksaserbasi akut, polisitemia pada hipoksemia kronik.

6. Pemeriksaan penunjang lainnya

Pemeriksaan Electrocardiogram (EKG) digunakan untuk mengetahui komplikasi pada jantung


yang ditandai oleh kor pulmonale atau hipertensi pulmonal. Pemeriksaan lain yang dapat namun
jarang dilakukan antara lain uji latih kardiopulmoner, uji provokasi bronkus, CT-scan resolusi
tinggi, ekokardiografi, dan pemeriksaan kadar alpha-1 antitryipsin.

2. Apa saja faktor risiko COPD yang didapatkan dari kasus di atas?

Asap rokok dari berbagai partikel gas yang noxius atau berbahaya, asap rokok merupakan
salah satu penyebab utama, kebiasaan merokok merupakan faktor resiko utama dalam terjadinya
PPOK. Asap rokok yang dihirup serta merokok saat kehamilan juga berpengaruh pada kejadian
PPOK karena mempengaruhi tumbuh kembang paru janin dalam uterus. Sejak lama telah
disimpulkan bahwa asap rokok merupakan faktor risiko utama dari bronkitis kronis dan
emfisema. Serangkaian penelitian telah menunjukkan terjadinya percepatan penurunan volume
udara yang dihembuskan dalam detik pertama dari manuver ekspirasi paksa (FEV1) dalam
hubungan reaksi dan dosis terhadap intensitas merokok, yang ditunjukkan secara spesifik dalam
bungkus-tahun (rata-rata jumlah bungkus rokok yang dihisap per hari dikalikan dengan jumlah
total tahun merokok). Walaupun hubungan sebab akibat antara merokok dan perkembangan
PPOK telah benar-benar terbukti, namun reaksi dari merokok ini masih sangat bervariasi.
Merokok merupakan prediktor signifikan yang paling besar pada FEV1, hanya 15% dari variasi
FEV1 yang dapat dijelaskan dalam hubungan bungkus-tahun. Temuan ini mendukung bahwa
terdapat faktor tambahan dan atau faktor genetik sebagai kontributor terhadap dampak merokok
pada perkembangan obstruksi jalan nafas.
Asap rokok mengandung tiga zat kimia yang paling berbahaya, yaitu tar, nikotin, dan
karbon monoksida. Tar atau getah tembakau adalah campuran beberapa zat hidrokarbon. Nikotin
adalah komponen terbesar dalam asap rokok dan merupakan zat aditif. Karbon monoksida adalah
gas beracun yang mempunyai afinitas kuat terhadap hemoglobin pada sel darah merah sehingga
membentuk karboksihemoglobin. Di samping ketiga senyawa tersebut, asap rokok juga
mengandung senyawa piridin, amoniak, karbon dioksida, keton, aldehida, cadmium, nikel, zink,
dan nitrogen oksida. Pada kadar yang berbeda, semua zat tersebut bersifat mengganggu membran
berlendir yang terdapat pada mulut dan saluran pernafasan. Asap rokok bersifat asam (pH 5,5),
dan nikotin berada dalam bentuk ion tetapi tidak dapat melewati membran secara cepat sehingga
pada selaput lender (mukosa) pipi terjadi absorpsi nikotin dari asap rokok17 . Pada asap rokok
terdapat 4000 zat kimia berbahaya bagi kesehatan. Sehingga, merokok dapat mengganggu
kejernihan mukosa silia yang digunakan sebagai mekanisme pertahanan utama dalam melawan
infeksi. Hal ini juga dapat memperbaiki menempelnya bakteri dan infeksi. Asap rokok
merupakan polutan bagi manusia dan lingkungan di sekitarnya. Asap rokok lebih berbahaya
terhadap perokok pasif daripada perokok aktif. Asap rokok berbahaya terhadap mereka yang
bukan perokok, terutama pada tempat tertutup. Asap rokok yang dihembuskan oleh perokok aktif
dan terhirup oleh perokok pasif, lima kali lebih banyak mengandung karbon monoksida, empat
kali lebih banyak mengandung tar dan nikotin.

Selain memiliki riwayat merokok 1 pak selama 40 tahun kebelakang klien juga memiliki riwayat
pneumonia, pneumonia adalah peradangan paru oleh bakteri dengan gejala berupa panas tinggi
disertai batuk berdahak, nafas cepat (frekuensi nafas >50 Kali/menit) sesak serta gejala lainnya.

Referensi :

Ismail, L., Sahrudin, S., & Ibrahim, K. (2017). Analisis faktor risiko kejadian penyakit paru
obtruktif kronik (PPOK) di wilayah kerja Puskesmas Lepo-Lepo Kota Kendari tahun
2017. (Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat), 2(6).

Lindayani, L. P., & Tedjamartono, T. D. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK).


3. Asuhan Keperawatan

ANALISA DATA

No DATA MASALAH ETIOLOGI


Ds : Ketidakefektifan bersihan Peningkatan produksi
Pasien mengeluh batuk jalan nafas (Domain 11. sekret
berdahak Kelas 2. Kode diagnosis
Do : 00081)
 Sputum pasien berwarna
kuning tidak terdapat
hemoptysis
 Pasien memiliki riwayat
merokok 1 pak/hari
selama 40 tahun ke
belakang
 Riwayat pneumonia
1  Suara nafas terdengar
pada regio kanan atas dan
ditemukan crakles
 Pasien tidak mampu
menyelesaikan satu
kalimat utuh dalam satu
tarikan nafas
 RR : 37x/menit
 HR : 138x/menit
 SaO2 78 % tanpa bantuan
oksigen
 Terdapat clubbing finger
 Penurunan kesaharan
Ds : Ketidakefektifan Pola Hiperventilasi
Klien mengeluh sesak Napas (Domain 4. Kelas
Do : 4. Kode diagnosis 00032)
 Pasien terlihat
menggunakan otot bantu
2
nafas
 RR : 37x/menti
 HR : 138x/menit
 SaO2 78% tanpa bantuan
 Terdapat clubbing finger
Ds : Nyeri Akut (Domain 12.
 Pasien mengeluh nyeri Kelas 1. Kode diagnosis Agen cedera biologis
dada 00132) (obstruksi paru
 Nyeri dada dirasakan
sejak sebulan yang lalu

3 Do :
 Nyeri dada pasien
merupakan nyeri pleuritic
 TD : 148/71 mmHg
 HR : 138x/menit
 Suhu : 38x/menit
 RR: 37x/menit

DIAGNOSIS KEPERAWATAN

No Diagnosa Keperawatan Kode Diagnosis

1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d Peningkatan (Domain 11. Kelas 2. Kode
produksi sekret diagnosis 00081)

2. Ketidakefektifan Pola Napas b.d hiperventilasi (Domain 4. Kelas 4. Kode


diagnosis 00032)

3. Nyeri Akut b.d Agen cedera biologis (obstruksi paru (Domain 12. Kelas 1. Kode
diagnosis 00132)
RENCANA KEPERAWATAN

Tanggal No Tujuan dan kriteria hasil Rencana tindakan Paraf


DX
20/08/2 1 Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Nafas
1 keperawatan selama 3x24 jam (3140)
diharapkan masalah
ketidakefektifan bersihan jalan  Posisikan pasien
nafas dapat teratasi dengan untuk memaksimalkan
kriteria hasil : ventilasi
 Lakukan fisioterapi
Status Pernafasan: dada
Kepatenan Jalan Nafas  Buang secret dengan
(0410) memotivasi pasien
untuk melakukan
 Frekuensi pernafasan batuk atau menyedot
dipertahankan pada lender
37x/menit (2)  Motivasi pasien untuk
ditingkatkan ke bernafas pelan, dalam,
20x/menit (4) dan batuk
 Suara nafas tambahan  Auskultasi suara
dipertahankan pada nafas, catat area yang
Suara nafas terdengar ventilasinya menurun
pada regio kanan atas atau tidak ada dan
dan ditemukan crakles adanya suara nafas
(2) ditingkatkan ke tambahan
tidak terdapat suara  Posisikan untuk
nafas tambahan (4) meringankan sesak
 Batuk dipertahankan nafas
pada pasien mengeluh  Kelola pemberian
batuk berdahak (2) bronkodilator, aerosol
ditingkatkan ke tidak sebagaimana mestinya
batuk (4)  Monitor status
 Akumulasi sputum pernafasan dan
dipertahankan pada oksigen
sputum pasien
berwarna kuning,
Riwayat pneumonia (2)
ditingkatkan ke tidak
adanya sputum (4)
Status Pernafasan:
Pertukaran Gas (0402)

 Saturasi oksigen
dipertahankan pada
78% tanpa bantuan
oksigen (2)
ditingkatkan ke 98-
100% (5)
 Sianosis dipertahankan
pada terdapat clubbing
finger (2) ditingkatkan
ke tidak terdapat
clubbing finger (4)
 Gangguan kesadaran
dipertahankan pada
terjadi penurunan
kesadaran (2)
ditingkatkan ke pasien
sadar sepenuhnya (4)

20/08/2 2 Setelah dilakukan tindakan Monitor pernafasan (NIC


1 keperawatan selama 3x24 jam hlm 236 : 3350)
diharapkan masalah 1. Monitor kecepatan,
ketidakefektifan pola nafas irama, kedalaman, dan
dapat teratasi dengan kriteria kesulitan bernafas
hasil : 2. Catat pergerakan
Status pernafasan: Ventilasi dada,
(NOC hlm 560 : 0043) ketidaksimetrisan, dan
1. Penggunaan otot bantu penggunaan otot
nafas dari yang bantu nafas
sebelumnya mengalami 3. Monitor pola nafas
deviasi yang berat dari dan suara nafas
kisaran normal tambahan
ditingkatkan menjadi 4. Monitor saturasi
deviasi ringan dari oksigen
kisaran normal 5. Berikan bantuan
2. Retraksi dinding dada terapi nafas bila
dari yang sebelumnya dibutuhkan
mengalami deviasi
yang berat dari kisaran Bantuan Ventilasi (NIC hlm
norma ditingkatkan 84 : 3390)
menjadi deviasi ringan 1. Pertahankan
dari kisaran normal kepatenan jalan nafas
3. Gangguan suara pada 2. Mulai dan
saat auskultasi dari pertahankan oksigen
yang sebelumnya tambahan seperti yang
mengalami deviasi telah ditentukan
yang berat dari kisaran 3. Posisikan pasien
normal ditingkatkan untuk mengurangi
menjadi deviasi ringan dipsnea
dari kisaran normal 4. Posisikan untuk
4. Suara nafas tambahan meminimalkan usaha
dari yang sebelumnya bernafas (misal,
mengalami deviasi mengangkat kepala
yang berat dari kisaran tempat tidur dan
norma ditingkatkan memberikan over bed
menjadi deviasi ringan table bagi pasien
dari kisaran normal untuk bersandar)
20/08/2 3 Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri (NIC:
1 keperawatan selama 3x24 jam 198: 1400)
diharapkan masalah nyeri akut 1. Lakukan pengkajian
dapat teratasi dengan kriteria nyeri komprehensif
hasil : yang meliputi lokasi,
Tingkat Nyeri (NOC: 577 : karakteristik, durasi,
2102) frekuensi, kualitas,
1. Nyeri yang dilaporkan intensitas atau berat
dipertahankan pada nyeri, dan faktor
berat (skala 2) pencetus.
ditingkatkan ke ringan 2. Observasi adanya
(skala 4) petunjuk nonverbal
2. Tekanan darah mengenai
dipertahankan pada ketidaknyamanan
deviasi sedang dari 3. Ajarkan penggunaan
kisaran normal (skala teknik non
3) ditingkatkan ke tidak farmakologi
ada deviasi dari kisaran
normal (skala 5) Pemberian Analgesik (NIC
3. Denyut nadi radial 2210: 247)
dipertahankan pada 1. Tentukan lokasi,
deviasi berat dari karakteristik, kualitas
kisaran normal (skala dan keparahan nyeri
3) ditingkatkan ke tidak sebelum mengobati
ada deviasi dari kisaran pasien
normal (skala 5) 2. Cek perintah
1. Frekuensi pernafasan pengobatan meliputi
dipertahankan pada obat, dosis, dan
deviasi berat dari frekuensi obat
kisaran normal (skala analgesic yang
2) ditingkatkan ke diresepkan
deviasi ringan dari 3. Cek adanya alergi
kisaran normal (skala obat
4) 4. Tentukan pilihan obat
analgesik berdasarkan
Tanda-tanda vital (NOC: 563
tipe dan keparahan
: 0802)
nyeri.
1. Suhu tubuh
5. Monitor tanda-tanda
dipertahankan pada
deviasi sedang dari vital sebelum dan
kisaran normal (skala sesudah pemberian
3) ditingkatkan ke tidak anlgesik
ada deviasi dari kisaran 6. Berikan kebutuhan
normal (skala 5) kenyamanan dan
aktivitas lain yang
dapat membantu
relaksasi untuk
memfasilitasi
penurunan nyeri

Anda mungkin juga menyukai