ABSTRAK Abstract
Kehadiran Pengadilan Internasional The presence of permanent the International Criminal Court is a
permanen merupakan realisasi dari upaya realization of the efforts of the international community to provide
masyarakat internasional untuk memberikan protection against human rights from extraordinary crimes against
perlindungan terhadap hak asasi manusia humanity. The court established under the Rome Statute has been
dari kejahatan-kejahatan luar biasa terhadap ratified by 123 countries. Indonesia is not a country which ratified
kemanusiaan. Pengadilan yang didirikan the Rome Statute which came into force on 1 July 2002. The issues
berdasarkan Statuta Roma tersebut telah to be discussed in this paper are the jurisdiction of the International
diratifikasi oleh 123 negara. Indonesia tidak Criminal Court compared to the Indonesian Human Rights Court
termasuk negara yang meratifikasi statuta and the urgency of the roma statute in relation to sovereignty for
roma tersebut yang telah mulai berlaku
Indonesia. The research method is done by normative juridical
sejak1 Juli 2002. Permasalahan yang akan
approach with data collection method through literature study which
dibahas pada tulisan ini adalah yurisdiksi
then analyzed as a legal issue to discuss urgency of ratification of
Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional
dibandingkan dengan Pengadilan Ham di roma statute for Indonesia. From the discussion it is concluded that the
Indonesia dan urgensi statuta roma dalam jurisdiction of the International Criminal Court is more complete than
kaitan dengan kedaulatan bagi indonesia. the Human Rights Court in Indonesia and the urgency of ratification
Metode Penelitian dilakukan dengan of rome statute if associated with the sovereignty of the state should
pendekatan yuridis normatif dengan metode not be feared because the court only to complete as complementary
pengumpulan data melalui studi kepustakaan principles in the statutes of Rome.
yang kemudian dianalisa sebagai suatu
Keywords : Urgency, Ratification, Rome Statute, Indonesia
isu hukum untuk membahas urgensi
ratifikasi statuta roma bagi indonesia. Dari
pembahasan disimpulkan bahwa Yurisdiksi Latar Belakang
Mahkamah Pidana Internasional lebih
lengkap dari Pengadilan HAM di Indonesia
dan urgensi ratifikasi statuta roma jika P erhatian masyarakat dunia terhadap hak asasi manusia
memunculkan usaha untuk membentuk pengadilan pidana
internasional permanen. Pengalaman buruk perang dunia
dikaitkan dengan kedaulatan negara tidak
perlu dikhawatirkan karena mahkamah pertama dan kedua yang menimbulkan jutaan korban jiwa
hanya untuk melengkapi sebagaimana memaksa “ditabraknya” prinsip-prinsip hukum umum seperti
prinsip komplementaris dalam statuta legalitas dan retroaktif demi menyeret para pelaku kejahatan
roma. terhadap kemanusiaan ke pengadilan pidana adhoc untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Kata kunci : Urgensi, Ratifikasi, Statuta
Roma, Indonesia Proses persiapan pembentukan Mahkamah Pidana
Internasional sudah dimulai sejak berakhirnya perang dunia I
dan dilanjutkan setelah perang dunia II.(Romli Atmasasmita,
2004, p. 24). Dalam kurun waktu 50 (lima puluh) tahun terakhir
378 UIR Law Review Volume 02, Nomor 02, Oktober 2018
Danel Aditia Situngkir . Urgensi Ratifikasi Statuta Roma Bagi Indonesia
UIR Law Review Volume 02, Nomor 02, Oktober 2018 379
Danel Aditia Situngkir . Urgensi Ratifikasi Statuta Roma Bagi Indonesia
380 UIR Law Review Volume 02, Nomor 02, Oktober 2018
Danel Aditia Situngkir . Urgensi Ratifikasi Statuta Roma Bagi Indonesia
3. Negara telah mencoba membawa orang Sedangkan pengertian pihak (party) juga ditemu-
tersebut kepada penuntutan di pengadilan kan dalam pasal 2 (g) Konvensi Wina 1986: “party”
namun terdapat kesalahan hukum. means a State or an international organization which
has consented to be bound by the treaty and for which
4. Kasus tersebut memenuhi situasi tertentu.
the treaty is in force;
Artinya pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Melihat dari pengertian diatas, maka Negara
Pidana Internasional hanya dapat menggantikan pihak adalah Negara yang menyatakan terikat pada
yurisdiksi pengadilan nasional jika pengadilan ketentuan yang diatur dalam perjanjian internasional.
nasional telah memenuhi kriteria prinsip Bentuk tindakan yang menyatakan suatu Negara
admissibility. terikat pada perjanjian internasional, yaitu :
1. Penandatanganan (Signatured) (United Nations,
Ugensi Statuta Roma Dalam Kaitan Dengan 1969, pt. 12 ayat 1)
KedaulatanBagi Indonesia Persetujuan dari Negara untuk terikat oleh
Gambaran umum mengenai proses pembentukan perjanjian dinyatakan oleh tanda tangan
perjanjian internasional dapat dilihat sebagai berikut : perwakilan apabila:
(United Nations, 1969, pts. 9-11) a. Perjanjian menyatakan bahwa tanda tangan
akan memiliki efek mengikatnya perjanjian.
UIR Law Review Volume 02, Nomor 02, Oktober 2018 381
Danel Aditia Situngkir . Urgensi Ratifikasi Statuta Roma Bagi Indonesia
b. Jika tidak ditetapkan, negara yang terlibat 1986 :“third state” and “third organization”
negosiasi sepakat bahwa tanda tangan mean respectively: a State, or an international
harus memiliki efek terikatnya negara dalam organization, not a party to the treaty;
perjanjian internasional. Negara bukan peserta merupakan negara
c. Efek tanda tangan muncul dari kekuatan yang tidak terlibat dalam perjanjian
penuh perwakilannya. internasional, maka dari itu sebuah perjanjian
tidak menciptakan baik kewajiban atau hak
2. Pertukaran instrument-instrument (exchange
untuk negara ketiga tanpa persetujuan.
of instrumentsconstituting a treaty) : (United
(United Nations, 1969, pt. 34)
Nations, 1969, pt. 13)
Lalu kemudian bagaimana dengan indonesia?
Persetujuan dari Negara untuk terikat oleh
Indonesia bukan negara pihak dalam Statuta Roma.
perjanjian didasari oleh instrumen yang
Untuk menjawab hal tersebut pastinya pemerintah
dipertukarkan apabila instrumen menetapkan
punya alasan sendiri mengapa indonesia sampai hari
bahwa pertukaran tersebut akan memiliki efek
ini belum meratifikasi statuta roma.
mengikatnya perjanjian internasional atau jika
negara-negara itu sepakat bahwa pertukaran Sebagaimana telah diuraikan diatas ratifikasi me-
instrumen dinyatakan sebagai syarat mengikatnya rupakan bentuk penundukan suatu negara terhadap
perjanjian internasional suatu ketentuan hukum (konvensi) internasional,
artinya bilamana suatu negara meratifikasi suatu
3. Ratification, acceptance or approval (United konvensi makaia terikat dengan hak dan kewajiban
Nations, 1969, pt. 14) yang terdapat dalam konvensi tersebut. Selain ratifikasi,
Persetujuan untuk terikat dengan sebuah pengesahan perjanjian internasional dapat pula
perjanjian yang diungkapkan oleh ratifikasi, dalam bentukaksesi sebagaimana disebutkan dalam
penerimaan atau persetujuan. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000tentang Perjanjian
a. Persetujuan dari negara untuk terikat dengan Internasional. Jika ratifikasi dilakukan apabila negara
perjanjian yang diungkapkan oleh ratifikasi yangakan mengesahkan suatu perjanjian internasional
ketika: turut menandatanganinaskah perjanjian maka aksesi
dilakukan apabila negara yang mengesahkansuatu
1. Perjanjian menentukan demikian. perjanjian internasional tidak turut menandatangani
2. Negara yang bernegosiasi sepakat bahwa naskah perjanjian.Namun secara umum istilah ratifi-
perjanjian harus diratifikasi. kasi lebih banyak digunakan dalam praktekpengesa-
3. Wakil dari Negara telah menandatangani han peraturan perjanjian internasional. Ratifikasi
perjanjian untuk subyek ratifikasi. berarti konfirmasi dari suatu negara bahwa suatu
4. Niat Negara untuk menandatangani perjanjian yangdiratifikasinya tidak bertentangan
perjanjian tunduk pada ratifikasi muncul dengan kepentingan negaranya Dalam kerangka
dari kekuatan penuh perwakilannya atau Hukum Tata Negara ratifikasi merupakan pernyataan
diungkapkan selama negosiasi. untukmenegaskan bahwa perjanjan internasional yang
b. Persetujuan dari Negara untuk terikat oleh telah disepakati tidak bertentangan dengan hukum
perjanjian dinyatakan oleh penerimaan atau nasional. (Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Mahkamah
persetujuan di bawah kondisi serupa dengan Pidana Internasional, 1998, pp. 25–36)
yang berlaku untuk ratifikasi. Proses ratifikasi Statuta Roma merupakan upaya
Pengertian negara bukan pihak (third state) pencegahan terjadinya kejahatan dengan akibat
dapat dilihat dalam Pasal 2 (h) Konvensi Wina yang lebih besar di kemudian hari, juga memberikan
1969 :“third state” means a State not a party perlindungan dan reparasi bagi korban. Beranjak
to the treaty. dari pengalaman pengadilan adhoc yang pernah
Sedangkan pengertian Negara bukan pihak ada, dimana pertanggungjawaban dirasakurang
(third state) dalam pasal 2 (h) Konvensi Wina mencukupi karena selalu dipengaruhi unsur politik,
382 UIR Law Review Volume 02, Nomor 02, Oktober 2018
Danel Aditia Situngkir . Urgensi Ratifikasi Statuta Roma Bagi Indonesia
tujuan tersembunyi, yakni melindungi orang dari Menurut Pasal 17 ayat 1 Statuta, dimana tindakan
tanggung jawab pidana. (Office of the Prosecutor Negara memutuskan untuk tidak mengadili, tidak
ICC, 2013, p. 13) menuntut, Mahkamah Pidana Internasional
Indikator yang dapat digunakan untuk melihat akan menilai apakah proses dipengaruhi oleh
ketidakinginan yang sungguh-sungguh dari ketidakinginan atau ketidakmampuan. Ketika
pengadilan nasional tempat terjadinya suatu orang sudah diadili oleh pengadilan domestik
kejahatan yang diatur dalam statuta yaitu : penentuan tentang keabsahan kasus didasarkan
(United Nations, 1998, p. 17) pada pengecualian terhadap prinsip ne bis in
idem dimaksud dalam Pasal 20 (3) Statuta Roma.
a. Peradilan dilaksanakan dengan maksud
untuk melindungi seseorang dari dari Mengesampingkan segala bentuk ketidakmam-
pertanggungjawaban pidana atas kejahatan puan dari pengecualian terhadap prinsip nebis
yang telah dilakukannya. in idem menunjukkan bahwa apabila sistem
domestik dipengaruhi oleh ketidakmampuan,
b. Proses peradilan ditunda-tunda tanpa ada
proses peradilam pidana tidak mencapai akhir,
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan
maka Mahkamah Pidana Internasional dapat
sehingga bertentangan dengan maksud dan
mengambil alih pengadilan domestik yang sedang
tujuan diajukannya seseorang ke hadapan
berjalan.(Danel Aditia Situngkir, 2013, p. 78)
pengadilan.
c. Proses peradilan tidak dilaksanakan secara Melihat paparan diatas dapat dilihat bahwa
bebas dan independen. upaya penegakan hukum pidana internasional
melalui Mahkamah Pidana Internasional merupakan
2. Ketidakmampuan (inability) langkah maju bagi perlindungan hak asasi manusia.
Statuta mengidentifikasi 3 (tiga) keadaan untuk Melihat sebelumnya pembentukan pengadilan pidana
menyatakan ketidakmampuan Negara tersebut, internasional cenderung lebih bermuatan politis
yaitu : (Markus Benzing, 2003, p. 613) dengan mengenyampingkan asas legalitas dan asas
a. Negara tidak dapat memperoleh terdakwa. retroaktif, kehadiran Mahkamah Pidana Internasional
diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hukum demi
b. Negara tidak dapat memperoleh bukti yang
menjaga perdamaian dan kedamaian internasional.
diperlukan dan kesaksian untuk menem-
Namun melihat bagaimana pemberlakuan yurisdiksi
patkan orang-orang yang diduga bertanggung
Mahkamah Pidana Internasional terhadap Negara
jawab untuk diadili.
bukan peserta Statuta Roma dengan diberikannya
c. Negara tidak mampu melaksanakan proses wewenang kepada Dewan Keamanan PBB sesuai
peradilan. BAB VII Piagam PBB untuk mengajukan suatu situasi
Runtuhnya sistem peradilan suatu negara kepada Mahkamah Pidana Internasional.
dapat diasumsikan dimana otoritas negara
telah kehilangan kontrol kekuasaanya dalam Kesimpulan
halmelaksanakan administrasi peradilan atau
1. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional
dimana pihak berwenang, tidak dapat melaksa-
dibandingkan dengan Pengadilan Ham di
nakan kewenangan sebagaimana mestinya.
Indonesia dapat dilihat dari yurisdiksi personal,
Kantor Jaksa menguraikan beberapa indikator yurisdiksi kriminal, yurisdiksi temporal dan
yang dapat menjadi bentuk ketidakmampuan. yurisdiksi teritorial. Yurisdiksi Mahkamah Pidana
Diantaranya keadaan faktual, seperti tidak adanya Internasional memiliki persamaan yurisdiksi
kondisi keamanan bagi para saksi, korban, atau personal dimana dianut prinsip individual criminal
pelaku dari proses hukum, atau kurangnya sarana responsibility dan commaders responsibility.
yang memadai untuk investigasi dan penuntutan Sementara untuk yurisdiksi kriminal Mahkamah
yang efektif. (Office of the Prosecutor ICC, 2013, Pidana Internasional memiliki yurisdiksi lebih
p. 15) banyak yaitu 4 (empat) kejahatan yaitu the
384 UIR Law Review Volume 02, Nomor 02, Oktober 2018
Danel Aditia Situngkir . Urgensi Ratifikasi Statuta Roma Bagi Indonesia
crime of genocide; crimes against humanity; Dendy Sugono, dkk. (2008). Kamus Bahasa Indonesia.
war crimes; the crime of aggression sedangkan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
dalam Pengadilan HAM hanya 2 kejahatan Nasional (Vol. 1). https://doi.org/10.1017/
yaitu kejahatan genosida; kejahatan terhadap CBO9781107415324.004
kemanusiaan. Yurisdiksi Temporal Mahkamah Eddy OS Hiariej. (2010). Pengadilan atas Beberapa
Pidana Internasional dengan tegas menolak asas Kejahatan Serius Terhadap HAM. Jakarta:
non retroaktif sementara dalam Pengadilan HAM Penerbit Erlangga.
menganut asas retroaktif. Yurisdiksi teritorial Henry Campbell Black. (1968). Black’s Law Dictionary.
dari Mahkamah Pidana Internasional tidak hanya ST. PAUL, MINN. WEST PUBLISHING CO.
pada teritorial di negara yang meratifikasi statuta
Parthiana, I. W. (2006). Hukum Pidana Internasional
roma, tetapi juga di negara lain dengan kriteria
(I). Bandung: CV. Yrama Widya.
tertentu, demikian juga dengan Pengadilan HAM.
Peter Mahmud Marzuki. (2005). Penelitian Hukum.
Namun ekstrateritorial di Pengadilan HAM sangat
Jakarta: Prenada Media Grup.
sulit dilaksanakan karena terbatas pada pelaku
WNI yang melakukan kejahatan di negara lain, Romli Atmasasmita. (2004). Pengantar Hukum Pidana
tentunya akan bersinggungan dengan hukum Internasional (II). Jakarta: PT. Hecca Mitra
nasional negara tempat terjadinya kejahatan Utama.
tersebut.
Jurnal dan Sumber Lain
2. Proses ratifikasi Statuta Roma merupakan upaya
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Mahkamah Pidana
pencegahan terjadinyakejahatan dengan akibat
Internasional. (1998). Draft Naskah Akademis
yang lebih besar di kemudian hari. Pandangan dan Rancangan Undang-Undang tentang
bahwa Mahkamah Pidana Internasional akan Pengesahan ICC 1998 (Vol. 1998).
merongrongkedaulatan hukum nasional melalui
Markus Benzing. (2003). The Complementarity Regi-
intervensi kewenangan Mahkamah terhadap
me of the International Criminal Court: Inter-
pengadilan/sistem hukum suatu negara
national Criminal Justice between State Sove-
kuranglah tepat. Karena sesuai ketentuan Statuta
reignty and the Fight against Impunity. Max
Roma bahwa Mahkamah hanya melengkapi
Planck Yearbook a/United Nations Law, 7,
(komplementaris) pengadilan nasional. Mahka-
2003.
mah baru menerapkan yurisdiksinya jika jika
pengadilan nasional telah memenuhi kriteria Office of the Prosecutor ICC. (2013). Policy Paper
on Preliminary Examinations. International
prinsip admissibility. Prinsip admissibility ini harus
Criminal Court.
memenuhi 2 (dua) kriteria yaitu ketidakinginan
dan ketidakmampuan.
Statuta/Perjanjian Internasional
United Nations. (1969). Vienna Convention on the
DAFTAR PUSTAKA Law of Treaties 1969. In Treaty series (Vol.
Buku-Buku 1155, p. 331). https://doi.org/10.1163/
Amiruddin. (2012). Pengantar Metode Penelitian 157180309X451114
Hukum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. United Nations. Rome Statute of the International
Ardhiwisastra, Y. B. (1999). Imunitas Kedaulatan Criminal Court Rome Statute of the International
Negara di Forum Pengadilan Negeri Asing. Criminal Court, 2187 Treaty Series § (1998).
Bandung: Alumni. https://doi.org/10.2139/ssrn.1689616
Danel Aditia Situngkir. (2013). Yurisdiksi Mahkamah UnitedNations. (1945). UN Charter (full text) |
Pidana Internasional (International Criminal United Nations. 1945, 2017(January 1942),
Court) Terhadap Negara Bukan Peserta Statuta 1–21. Retrieved from http://www.un.org/en/
Roma. Andalas. sections/un-charter/un-charter-full-text/index.
html
UIR Law Review Volume 02, Nomor 02, Oktober 2018 385