Anda di halaman 1dari 35

ANALISIS PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI

KHUSUS DAN DANA BAGI HASIL TERHADAP ALOKASI


BELANJA LANGSUNG DI KOTA JAMBI

TUGAS

SEMINAR PENDANAAN DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

DISUSUN OLEH :
TESAR ARLIN
P2C119029

PROGRAM MAGISTER ILMU EKONOMI PASCASARJANA


UNIVERSITAS JAMBI
2020
DAFTAR ISI

Halaman

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1


1.1. Latar Belakang .................................................................. 1
1.2. Rumusan masalah.............................................................. 6
1.3. Tujuan penelitian............................................................... 7
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................ 7
BAB II LANDASAN TEORI ................................................................ 8
2.1. Konsep Keuangan Daerah ................................................ 8
2.2. Pendapatan Daerah ........................................................... 9
2.3. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ....................................... 10
2.4. Konsep Dana Alokasi Khusus (DAK) ............................. 14
2.5. Konsep Dana Bagi Hasil (DBH) ...................................... 16
2.6. Belanja Langsung ............................................................. 17

BAB III PEMBAHASAN ......................................................................... 21


3.1 Perkembangan PAD, DAK, DBH dan Belanja Langsung
di Kota Jambi .................................................................... 21
3.1.1 Kondisi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di
Kota Jambi............................................................. 21
3.1.2 Kondisi Dana Alokasi Khusus (DAK) di Kota
Jambi ..................................................................... 22
3.1.3 Kondisi Dana Bagi Hasil (DBH) di Kota Jambi ... 24
3.1.4 Kondisi Belanja Langsung di Kota Jambi ............. 26
3.2 Pengaruh PAD, DAK, dan DBH terhadap Belanja
Langsung ........................................................................... 28

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN.................................................. 31


4.1 Kesimpulan ......................................................................... 31
4.2 Saran ................................................................................... 31
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan nasional adalah tolak ukur kesejahteraan dan kemakmuran

rakyat suatu Negara. Semakin besar tingkat pembangunan suatu Negara

mengindikasikan Negara tersebut semakin maju dan berkembang. Konteks

pembangunan nasional merupakan salah satu aspek yang masuk dalam teori makro

ekonomi. Tinggi rendah angka pembangunan dilihat dari trend pertumbuhan ekonomi

tiap tahun. Pertumbuhan ekonomi meliputi segenap aktivitas produksi barang dan jasa

dalam periode tertentu dan menentukan angka pendapatan nasional suatu Negara serta

kesejahteraan masyarakatnya (Putro, 2010). Indonesia dalam lingkup yang lebih

spesifik merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari banyak daerah. Salah satu

daerah di Indonesia yang memiliki angka pertumbuhan ekonomi yang baik adalah

Provinsi Jambi. Provinsi Jambi adalah salah satu daerah dengan sektor pertambangan

dan penggalian sebagai tulang punggung utama dalam memaksimalkan pertumbuhan

ekonomi daerahnya.

Pertumbuhan ekonomi daerah dapat dikalkulasi serta diprediksikan melaui

besaran angka yang tercantum dalam Tabel produk domestik regional bruto (PDRB).

PDRB diartikan sebagai totalitas dari akumulasi barang dan jasa yang dihasilkan

daerah pada siklus perekonomiannya. PDRB atas dasar harga konstan dijadikan acuan

dalam mengkalkulasi angka pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Pemerintah daerah

1
memacu angka pertumbuhan ekonomi dengan memaksimalkan pemberdayaan segenap

sumber daya potensial yang ada, serta membuka peluang kerja sama pada masyarakat

(sebagai investor dan/atau pekerja) guna memperluas kesempatan kerja. Pembangunan

asset tetap di bidang infrastruktur, jalan raya, airport, transit, sistem saluran air, dan

lainnya sarana publik lainnya sangat berkontribusi besar terhadap tingkat produktivitas.

Berdasarkan data dari BPS Provinsi Jambi, pertumbuhan ekonomi di Provinsi

Jambi selama tahun 2014 sampai tahun 2018 yang tertinggi tercatat pada tahun 2014

yaitu sebesar 7,82 persen. Dilihat dari rata-rata pertumbuhan ekonomi dari tahun 2014-

2018 adalah sebesar 5,68 persen. Kota jambi merupakan salah satu dari tiga

kabupaten/kota yang memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi. Selama tahun 2014

sampai tahun 2018, rata-rata pertumbuhan ekonomi di Kota jambi yaitu 6,14 persen.

Tingginya pertumbuhan ekonomi di Kota Jambi diduga dipengaruhi oleh beberapa

faktor antara lain pendapatan asli daerah (PAD), dana alokasi khusus (DAK), dana bagi

hasil (DBH) dan belanja langsung.

Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Kota jambi dibutuhkan

kekuatan otonomi daerah tersebut. Kebijakan otonomi daerah membutuhkan modal

yang besar guna merealisasikan pembangunan dan laju pertumbuhan ekonomi. Belanja

daerah dalam konteks pertumbuhan ekonomi berfokus pada anggaran belanja modal.

Belanja modal sebagai bagian dari belanja yang dilakukan oleh daerah. Anggaran

belanja modal adalah satu kesatuan elemen belanja yang terkandung di dalam belanja

langsung. Belanja langsung adalah salah satu dari dua bagian utama belanja daerah

selain belanja tidak langsung. Perbedaan belanja langsung dan belanja modal terletak

2
pada luas lingkupnya, di mana belanja langsung mencakup aspek yang lebih luas,

sedangkan belanja modal lebih sempit.

Belanja langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan

belanja modal. Belanja modal adalah bagian belanja langsung yang berkontribusi besar

pada pertumbuhan ekonomi, karena secara spesifik berfokus pada pembangunan aset

tetap. Aset tetap merupakan kekayaan pemerintah daerah yang akan memiliki umur

ekonomis jangka panjang dengan asumsi akan memberikan pendapatan di masa yang

akan datang.

Nurudeen and Usman (2010), menyimpulkan bahwa meningkatnya belanja

pemerintah, khususnya pada bidang transportasi, komunikasi dan kesehatan

berbanding lurus dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Sedangkan Nworji et

al (2012), menyimpulkan bahwa pengalokasian belanja langsung berpengaruh positif

pada pertumbuhan ekonomi, di sisi lain belanja langsung pada bidang pelayanan

masyarakat dan sosial berpengaruh positif signifikan pada pertumbuhan ekonomi.

Tabel 1.1 Perkembangan Realisasi Belanja Tidak Langsung dan Belanja


Langsung Pemerintah Kota Jambi pada Tahun 2014-2018
Belanja Daerah
Tahun Belanja Tidak Perkembangan Belanja Langsung Perkembangan
Langsung (Rp Juta) (%) (Rp Juta) (%)
2014 724.448 - 296.097 -
2015 811.572 12,02 343.909 16,14
2016 735.466 -9,37 367.739 6,92
2017 633.792 -13,82 419.316 14,02
2018 649.163 2,42 445.809 6,31
Rata-
Rata
710.888 -2,19 374.574 10,86
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi, 2019

3
Berdasarkan table 1.1 dapat dilihat bahwa rata-rata perkembangan belanja

langsung di Kota Jambi lebih tinggi dibandingkan rata-rata perkembangan belanja

tidak langsung dengan rata-rata perkembangan belanja langsung sebesar 10,86 persen.

Selanjutnya berdasarkan rata-rata realisasi belanja langsung dengan belanja tidak

langsung dapat dikatakan bahwa rata-rata realisasi belanja tidak langsung lebih besar

dari rata-rata realisasi belanja langsung dengan rata-rata realisasi belanja langsung

hanya sebesar Rp. 374.574 juta pertahunnya. Seharusnya belanja langsung diduga

menjadi faktor tingginya laju pertumbuhan ekonomi Kota Jambi. Akan tetapi jika

dilihat perkembangan dari tahun ke tahun belanja langsung tidak seiring dengan

peningkatan dan penurunan pertumbuhan ekonomi di Kota Jambi.

Pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi

dilakukan atas beban APBD. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan

pelayanan kepada masyarakat berdasarkan asas desentralisasi, daerah diberi

kewenangan untuk memungut pajak/retribusi dan mengelola sumber daya alam.

Sumber dana bagi daerah terdiri dari PAD, Dana Perimbangan (DBH, DAU, dan DAK)

dan Pinjaman Daerah. Tiga sumber tersebut langsung dikelola oleh Pemerintah Daerah

melalui APBD, melalui kerjasama dengan Pemerintah Pusat (Halim, 2009).

Kota jambi dalam perkembangannya terus mengalami peningkatan dalam

pendapatan dan belanja daerah. Pendapatan daerah kota jambi selama tahun 2014-2018

mampu mengalami peningkatan terus menerus, pada tahun 2014 pendapatan daerah

Kota jambi sebesar Rp 1.316.877 juta dan pada tahun 2018 mengalami peningkatan

menjadi sebesar Rp 1.624.887 juta. Peningkatan pendapatan ini disumbang oleh

4
peningkatan beberapa komponen pendapatan daerah, diantaranya PAD, DAK dan

DBH. PAD pada tahun 2018 sebesar Rp 338.891 juta dengan kontribusi terhadap

pendapatan daerah hanya sebesar 20,86 persen, kemudian dana perimbangan berbentuk

DAK sebesar Rp 66.775 juta dengan kontribusi terhadap pendapatan daerah sebesar

4,11 persen dan dana transfer pemerintah berupa dana bagi hasil (DBH) sebesar Rp

212.487 juta dengan kontribusi sebesar 13,07 persen. Ketiga anggaran ini tidak cukup

besar untuk dialokasikan ke belanja langsung dalam membiayai belanja pembangunan

infrastruktur. Seharusnya jika realisasi PAD dapat ditingkatkan lagi dengan menggali

potensi penerimaan pajak dan retribusi dan memanfaatkan dana DAK dan DBH yang

ditransfer dari pusat untuk dialokasikan ke belanja langsung maka dapat meningkatkan

anggaran pembangunan pada belanja langsung dan peningkatan belanja langsung

tersebut akan berdampak terhadap peningkatan laju pertumbuhan ekonomi.

Realisasi APBD melalui belanja langsung menarik untuk dicermati, karena

pengeluaran ini mempunyai efek relatif besar terhadap perekonomian. Bertitik tolak

pada fungsi utama anggaran pemerintah yakni fungsi alokasi, fungsi distribusi dan

stabilisasi. Realisasi belanja langsung harus benar-benar diperhatikan, sebab terdapat

konsekuensi yang harus ditanggung. Konsekuensi yang pertama adalah apabila

realisasi belanja langsung dilakukan tepat waktu. Perekonomian sebuah wilayah akan

menerima efek penggandaan dari belanja pemerintah tersebut. Begitu sebaliknya,

dengan realisasi terlambat maka potensi penggandaan tersebut juga akan tertunda.

Tertundanya pembentukan produksi domestik akan berdampak pula pada tertundanya

penerimaan pendapatan yang diterima masyarakat (Hasanudin, 2010).

5
Sejalan dengan Saragih (2003) yang menyatakan bahwa pemanfaatan belanja

hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif, misal untuk melakukan aktivitas

pembangunan. Pemerintah hendaknya lebih banyak untuk program-program layanan

publik. Kedua pendapat tersebut menyiratkan pentingnya mengalokasikan belanja

untuk berbagai kepentingan publik.

PAD, DAK dan DBH sebagai sumber penerimaan daerah Kota Jambi dan

menjadi sumber anggaran untuk alokasi belanja langsung yang dinilai mempunyai

manfaat untuk pembangunan ekonomi, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut

untuk melihat pengaruh PAD, DAK, dan DBH terhadap alokasi belanja langsung di

Kota Jambi.

Berdasarkan uraian sebelumnya maka penulis tertarik untuk menganalisa

belanja langsung sebagai komponen belanja daerah dalam penelitian dengan judul

“Analisis Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil

terhadap Alokasi Belanja Langsung di Kota Jambi“.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan fenomena diatas, maka rumusan masalah yang akan diteliti adalah

sebagai berikut :

1. Bagaimanakah perkembangan PAD, DAK, DBH dan belanja langsung di Kota

Jambi?

2. Bagaimanakah pengaruh PAD, DAK, dan DBH terhadap Belanja Langsung

berdasarkan penelitian terdahulu?

6
1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk menganalisis perkembangan PAD, DAK, DBH dan belanja langsung di

Kota Jambi.

2. Untuk menganalisis pengaruh PAD, DAK, dan DBH terhadap Belanja

Langsung berdasarkan penelitian terdahulu.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperluas

pengetahuan mengenai keuangan sektor publik dalam hal ini yaitu ilmu

keuangan daerah mengenai pengelolaan keuangan daerah pada Pemerintah

Kota jambi khususnya mengenai Belanja Langsung.

2. Praktisi

Hasil penelitian ini diharapakan menjadi pertimbangan bagi pemerintah daerah

dalam merumuskan kebijakan anggaran, khususnya dari aspek belanja langsung

yang memberikan dampak riil terhadap pembangunan daerah.

7
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Keuangan Daerah

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58 tahun 2005,

Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka

penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk

didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban

daerah tersebut dalam rangka Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah. (APBD)

Mamesa dalam Halim (2007), keuangan daerah adalah semua hak dan

kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, juga segala satuan, baik berupa uang

maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum

dimiliki/dikuasai oleh Negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain

sesuai ketentuan/peraturan perundangan yang berlaku

Pada prinsipnya keuangan daerah memiliki unsur pokok, yaitu :

1. Hak daerah

2. Kewajiban Daerah

3. Kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban tersebut.

Disamping memiliki ketiga unsur tersebut, pengertian keuangan daerah selalu

melekat dengan pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yaitu

suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan. Selain

itu, APBD merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan

8
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata dan

bertanggung jawab.

Tercapainya perekonomian daerah yang mandiri sebagai usaha bersama asas

kekeluargaan berdasarkan demokrasi ekonomi yang berlandaskan pancasila dan

undang – undang dasar 1945 dengan peningkatan kemakmuran yang merata.Keuangan

daerah merupakan masalah yang kompleks, berkisar pada penerimaan dan pengeluaran

daerah untuk dapat menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan daerah dengan

sebaik-baiknya dan dalam rangka melaksanakan otonomi daerah sebagaimana diatur

dalam undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Sumber-

sumber penerimaan daerah yang pokok bagi daerah Indonesia terletak pada bidang

perpajakan, termasuk iuran pembangunan daerah dan retribusi daerah. Jadi, pajak dan

retribusi daerah merupakan sumber biaya yang sangat menentukan dalam usaha

mengembangkan pemerintahan daerah.

2.2 Pendapatan Daerah

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan

Keuangan Daerah Pasal 20, Pendapatan adalah semua penerimaan rekening kas umum

negara/daerah yang menambah ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran yang

bersangkutan yang menjadi hak pemerintah dan tidak perlu dibayar kembali oleh

daerah.

Menurut UU Nomor 33 Tahun 2004, pendapatan daerah adalah hak pemerintah

daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun

bersangkutan. Sehubungan dengan hal tersebut, pendapatan daerah yang dianggarkan

9
dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) merupakan perkiraan yang

terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan. Seluruh

pendapatan daerah yang dianggarkan dalam APBD dianggarkan secara bruto, yang

mempunyai makna bahwa jumlah pendapatan yang dianggarkan tidak boleh dikurangi

dengan belanja yang digunakan dalam rangka menghasilkan pendapatan tersebut

dan/atau dikurangi dengan bagian pemerintah pusat/daerah lain dalam rangka bagi

hasil.

Menurut Kadjatmiko dalam Halim (2004), dalam rangka penyelenggaraan

pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat yang didasarkan pada azas

desentralisasi, daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak dan retribusi (tax

assignment) serta bantuan keuangan (grant transfer). Pendapatan daerah terdiri atas

PAD , dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.

2.1.3 Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut UU No.33 Tahun 2004 adalah

pendapatan yang diperoleh daerah dan dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PAD merupakan salah satu

sumber pendapatan daerah yang diperoleh dari sumber-sumber penerimaan di daerah.

Pelaksanaan pembangunan di daerah membutuhkan dana yang cukup banyak dan

dalam hal ini daerah tidak bisa hanya menggantungkan dana perimbangan dari pusat,

sehingga daerah harus dapat menggali potensi daerahnya untuk dapat digunakan

sebagai pembiayaan pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan daerah dalam

era otonomi daerah demi meningkatkan pendapatannya. Dengan adanya PAD, maka

10
dapat dijadikan indikator penting untuk menilai tingkat kemandirian Pemerintah

Daerah di bidang keuangan. Adapun sumber-sumber PAD terdiri dari:

Pajak daerah merupakan salah satu elemen PAD yang memberikan kontribusi

yang besar terhadap penerimaan PAD. Pajak daerah menurut UU No.34 Tahun 2000

adalah: “iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa

imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai

penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan pembangunan daerah”. Pengelompokkan

pajak didasarkan atas sifat atau ciri tertentu pada setiap pajak, sehingga dapat

dikelompokkan menjadi (Waluyo dan Ilyas, 2002):

1. Pembagian berdasarkan golongan : pajak langsung, pajak tidak langsung.

2. Pembagian berdasarkan sifatnya : pajak subyektif, pajak obyektif.

3. Pembagian berdasarkan pemungutannya : pajak pusat, pajak daerah.

Pengelompokkan pajak didasarkan atas sifat atau ciri tertentu pada setiap pajak,

sehingga dapat dikelompokkan menjadi (Waluyo dan Ilyas, 2002):

4. Pembagian berdasarkan golongan : pajak langsung, pajak tidak langsung.

5. Pembagian berdasarkan sifatnya : pajak subyektif, pajak obyektif.

6. Pembagian berdasarkan pemungutannya : pajak pusat, pajak daerah.

Pajak daerah berdasarkan tingkatan Pemerintah Daerah, yaitu pajak daerah

tingkat propinsi dan pajak daerah tingkat Kabupaten/Kota. Penggolongan pajak diatur

dalam UU No.34 Tahun 2000 tentang perubahan Undang-undang Republik Indonesia

tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Pasal 2 ayat 1 dan 2) serta Peraturan

11
Pemerintah No.65 Tahun 2001 tentang obyek, subyek, dasar pengenaan pajak dan

ketentuan tarif dari pajak daerah yang berlaku, baik sebelum maupun sesudah

berlakunya UU No.34 Tahun 2000 adalah:

1. Pajak Daerah Tingkat I (Propinsi), terdiri dari:

a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air.

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air.

c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air

Permukaan.

2. Pajak Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota), terdiri dari: pajak hotel, pajak restoran,

pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan bahan

galian golongan c dan pajak parkir.

Sumber PAD juga meliputi retribusi atau perizinan yang diperbolehkan dalam

undang-undang. Retribusi daerah merupakan salah satu jenis penerimaan daerah yang

dipungut sebagai pembayaran atau imbalan langsung atas pelayanan yang diberikan

oleh Pemerintah Daerah kepada masyarakat (Saragih, 2003). Menurut UU No.34

Tahun 2000 tentang pajak dan retribusi daerah, yang dimaksud retribusi adalah

pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus

disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang/badan.

Jadi retribusi lebih menyerupai harga dalam proses jual beli secara bebas. Akan tetapi

retribusi bukan merupakan seluruh harga barang atau jasa yang dinikmati oleh

pembayar retribusi sebagai pajak yang bersifat khusus. Retribusi juga harus

12
berdasarkan peraturan daerah yang harus disetorkan pada kas negara atau daerah.

Retribusi pada umumnya bersifat paksaan, tergantung apakah ia mempergunakan jasa

dari daerah atau tidak. Bila ia mempergunakan maka harus membayar retribusi

berdasarkan ketentuan dalam peraturan daerah yang bersangkutan.

Sumber penerimaan retribusi daerah kabupaten atau kota terdiri dari: retribusi

pelayanan kesehatan, retribusi pelayanan persampahan atau kebersihan, retribusi

penggantian cetak kartu penduduk dan akte sipil, retribusi pelayanan pemakaman dan

pengabuan mayat, retribusi parkir ditepi jalan umum, retribusi pemakaian kekayaan

daerah, retribusi terminal, retribusi pasar, retribusi rumah potong hewan, retribusi

tempat rekreasi, retribusi penjualan produksi usaha daerah, retribusi izin mendirikan

bangunan dan retribusi izin gangguan.

Kekayaan daerah yang dipisahkan adalah suatu badan usaha yang dibentuk oleh

daerah untuk mengembangkan perekonomian daerah dan untuk menambah

penghasilan daerah. Sumber penerimaan ini berasal dari hasil perusahaan milik daerah

dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan. Jenis pendapatannya

meliputi bagian laba perusahaan milik daerah, bagian laba lembaga keuangan bank,

bagian laba lembaga keuangan non bank dan bagian laba atas penyertaan modal atau

investasi. Bagian laba Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) merupakan penerimaan

yang berupa bagian laba BUMD, yang terdiri dari laba Bank Pembangunan Daerah dan

bagian laba BUMD lainnya. Posisi Perusahaan Daerah atau BUMD sangat penting dan

strategis sebagai salah satu institusi milik daerah dalam meningkatkan penerimaan

13
PAD. Pemerintah Daerah juga dapat melakukan upaya peningkatan PAD melalui

optimalisasi peran BUMD yang diharapkan dapat berfungsi sebagai pemicu utama.

Pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari luar pajak dan

retribusi daerah atau lain-lain milik Pemerintah Daerah yang sah dan disediakan untuk

menganggarkan penerimaan daerah. Jenis pendapatan ini meliputi hasil penjualan aset

tetap daerah yang tidak dipisahkan, penerimaan jasa giro, penerimaan bunga deposito,

denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, dan penerimaan ganti rugi atas kerugian

atau kehilangan kekayaan daerah, serta keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap

mata uang asing (Halim, 2004).

2.4. Konsep Dana Alokasi Khusus (DAK)

Pengertian DAK menurut PP 55/2005, Pasal 1 adalah dana yang bersumber dari

pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk

membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai

dengan prioritas nasional. Menurut Sidik et.al. (2004) DAK merupakan transfer dana

yang bersifat spesifik, yaitu untuk tujuan-tujuan tertentu yang sudah digariskan

(specific grant).

Dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pasal 38 bahwa besaran DAK ditetapkan

setiap tahun dalam APBN. Pada Pasal 39, DAK dialokasikan kepada daerah tertentu

untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah.

Dalam Permendagri Nomor 30 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan

Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, menerangkan bahwa penggunaan dana

14
perimbangan untuk DAK agar dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai

kebutuhan fisik, sarana dan prasarana dasar yang menjadi urusan daerah antara lain

program kegiatan pendidikan dan kesehatan dan lain-lain sesuai dengan petunjuk

teknis yang ditetapkan oleh menteri teknis terkait sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

Pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria

khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan

kemampuan keuangan daerah dalam APBD. Kriteria khusus ditetapkan dengan

memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah. Kriteria

teknis ditetapkan oleh kementerian negara/departemen teknis. Dalam Kuncoro

(2004), DAK ditujukan untuk daerah khusus yang terpilih untuk tujuan khusus.

Karena itu alokasi yang didistribusikan oleh pemerintah pusat sepenuhnya

merupakan wewenang pusat untuk tujuan nasional khusus. Kebutuhan khusus dalam

DAK meliputi:

1. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik di daerah terpencil yang tidak

mempunyai akses yang memadai ke daerah lain Kebutuhan prasarana dan

sarana fisik di daerah yang menampung transmigrasi.

2. Kebutuhan prasarana dan sarana fisik yang terletak di daerah

pesisir/kepulauan dan tidak mempunyai prasarana dan sarana yang

memadai.

Daerah penerima DAK wajib menyediakan dana pendamping sekurang-

kurangnya 10% (sepuluh persen) dari alokasi DAK yang dianggarkan dalam APBD.

15
Namun daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan menyediakan

dana pendamping.

2.5. Konsep Dana Bagi Hasil (DBH)

Sumber-sumber penerimaan perpajakan yang dibagihasilkan meliputi Pajak

Penghasilan (PPh) pasal 21 dan pasal 25/29 orang pribadi, Pajak Bumi dan Bangunan

(PBB), serta Bagian Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Sementara

itu, sumber-sumber penerimaan SDA yang dibagihasilkan adalah minyak bumi, gas

alam, pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 115 Tahun 2000, bagian daerah dari

PPh, baik PPh pasal 21 maupun PPh pasal 25/29 orang pribadi, ditetapkan masing-

masing sebesar 20 persen dari penerimaannya. Dua puluh persen bagian daerah

tersebut terdiri dari 8 persen bagian Propinsi dan 12 persen bagian Kabupaten/Kota.

Pengalokasian bagian penerimaan pemerintah daerah kepada masing-masing daerah

Kabupaten/Kota diatur berdasarkan usulan gubernur dengan mempertimbangkan

faktor-faktor seperti jumlah penduduk, luas wilayah, serta faktor lainnya yang relevan

dalam rangka pemerataan.

Sementara itu, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2000,

bagian daerah dari PBB ditetapkan 90 persen, sedangkan sisanya sebesar 10 persen

yang merupakan bagian pemerintah pusat, juga seluruhnya sudah dikembalikan kepada

daerah. Dari bagian daerah sebesar 90 persen tersebut, 10 persennya merupakan upah

pungut, yang sebagian merupakan bagian pemerintah pusat. Sementara itu, bagian

daerah dari penerimaan BPHTB berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 ditetapkan

16
sebesar 80 persen, sedangkan sisanya 20 persen merupakan bagian pemerintah pusat.

Dalam UU tersebut juga diatur mengenai besarnya bagian daerah dari penerimaan SDA

minyak bumi dan gas alam (migas), yang masing-masing ditetapkan 15 persen dan 30

persen. Sementara itu, penerimaan SDA pertambangan umum, kehutanan, dan

perikanan, ditetapkan masing-masing sebesar 80 persen untuk provinsi.

2.6. Belanja Langsung

Belanja langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan

belanja modal. Belanja pegawai untuk pengeluaran honorarium/upah dalam

melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah. Belanja barang dan jasa

merupakan pengeluaran untuk pembelian/pengadaan barang yang nilai manfaatnya

kurang dari 12 (dua belas) bulan dan/atau pemakaian jasa dalam melaksanakan

program dan kegiatan pemerintahan daerah. Pembelian/pengadaan barang dan/atau

pemakaian jasa mencakup belanja barang pakai habis, bahan/material, jasa kantor,

premi asuransi, perawatan kendaraan bermotor, cetak/penggandaan, sewa

rumah/gedung/gudang/parkir, sewa sarana mobilitas, sewa alat berat, sewa

perlengkapan dan peralatan kantor, makanan dan minuman, pakaian dinas dan

atributnya, pakaian kerja, pakaian khusus dan hari-hari tertentu, perjalanan dinas,

perjalanan dinas pindah tugas dan pemulangan pegawai.

Belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka

pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai

manfaat lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan,

seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi

17
dan jaringan, dan asset tetap lainnya. Nilai pembelian/pengadaan atau pembangunan

aset tetap berwujud yang dianggarkan dalam belanja modal hanya sebesar harga

beli/bangun aset.

Untuk periode tahun 2000-2003 belanja langsung dikenal sebagai pengeluaran

pembangunan, yang terdiri dari 21 sektor. Sedangkan sejak periode tahun 2004-2006

belanja pembangunan terdiri dari tiga komponen belanja, yaitu belanja administrasi

umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta belanja modal yang digunakan untuk

membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya secara langsung dinikmati

oleh masyarakat. Ketiga komponen belanja ini di kategorikan sebagai belanja publik.

Namun kini sejak periode tahun 2007 dalam struktur APBD hanya terdiri dari

3 komponen belanja, yaitu belanja langsung, belanja tidak langsung dan pembiayaan

daerah. Belanja langsung terdiri dari belanja pegawai, barang dan jasa serta belanja

modal. Sedangkan belanja tidak langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja bunga,

subsidi, hibah, bantuan sosial, bagi hasil, bantuan keuangan dan pengeluaran tidak

terduga, serta pembiayaan daerah

Pengeluaran daerah dipengaruhi besar kecilnya pengeluaran rutin atau belanja

tidak langsung dan pembangunan atau belanja langsung. Pengeluaran daerah

digunakan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan melaksanakan

program-program pembangunan daerah.

Seluruh pembiayaan yang dialokasikan melalui berbagai tingkat penganggaran

diupayakan untuk dapat dikelola secara optimal agar secara terkait satu sama lain dapat

menghasilkan efektifitas dan efisiensi yang tinggi. Dengan pemaduan penggunaan

18
seluruh sumber daya diharapkan kendala keterbatasan sumber daya dapat diatasi.

Pemaduan perencanaan sektoral dan regional diharapkan dapat memadukan

kepentingan sektoral dan daerah dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran

pembangunan (Kartasasmita, 1997) dalam Syahputra (2009).

Sejalan dengan diselenggarakannya otonomi daerah, daerah harus dapat

mengembangkan daerahnya sendiri agar apa yang menjadi

tujuandiselenggarakannya otonomi daerah dapat terlaksana. Untuk itu

diperlukanbanyak dana yang harus dikeluarkan Pemerintah Daerah dalam

menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah, yang

salahsatunya adalah belanja modal. Dengan demikian belanja modal merupakan faktor

penting dalam menyelenggarakan pembangunan daerah.

Menurut Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan

Keuangan Daerah menyebutkan bahwa : “Belanja modal adalah pengeluaran yang

dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud

yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk digunakan dalam

kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan

bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya”. Dalam PSAP No.2

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 71 Tahun 2010, dijelaskan bahwa yang

dimaksud dengan belanja modal adalah “Pengeluaran anggaran untuk memperoleh aset

tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi”.

Berdasarkan beberapa pengertian belanja modal diatas, dapat disimpulkan

bahwa yang dimaksud dengan belanja modal adalah pengeluaran pemerintah yang

19
ditujukan untuk kelancaran pembangunan di daerah yang manfaatnya melebihi satu

tahun anggaran dan akan menambah kekayaan daerah serta selanjutnya akan

menambah belanja operasional dan pemeliharaan.

Aset tetap merupakan prasayarat utama dalam memberikan pelayanan publik

oleh daerah. Untuk menambah aset tetap, pemerintah daerah mengalokasikan dana

dalam bentuk belanja modal dalam APBD. Alokasi belanjamodal ini didasarkan pada

kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baikuntuk kelancaran pelaksanaan tugas

pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Biasanya setiap tahun diadakan

pengadaan aset tetap oleh pemerintahan daerah, sesuai dengan prioritas anggaran dan

pelayanan publik yang memberikan dampak jangka panjang secara finansial.

Adapun jenis belanja modal menurut PSAP No.2 Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia No. 71 Tahun 2010 terbagai ke dalam enam pos, yaitu :

1. Belanja Jalan, Irigasi, dan lainnya

2. Belanja aset tetap lainnya

3. Belanja aset lainnya

4. Belanja Tanah

5. Belanja Mesin

6. Belanja Gedung dan Bangunan.

20
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Perkembangan PAD, DAK, DBH dan Belanja Langsung di Kota Jambi

3.1.1 Kondisi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kota Jambi

Pendapatan asli daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh dari sektor

pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengeloalaan

kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Selanjutnya untuk kondisi PAD di Kota Jambi dapat kita lihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3.1 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kota Jambi Tahun
2001-2018
Pendapatan Asli Daerah Perkembangan
Tahun
(Rp. Juta) (%)
2001 22.037 -
2002 27.353 24,12
2003 23.436 -14,32
2004 32.133 37,11
2005 35.947 11,87
2006 43.323 20,52
2007 45.524 5,08
2008 54.086 18,81
2009 55.671 2,93
2010 70.842 27,25
2011 99.000 39,75
2012 113.090 14,23
2013 149.042 31,79
2014 246.428 65,34
2015 264.068 7,16
2016 287.525 8,88
2017 397.327 38,19
2018 338.891 -14,71
Rata-Rata 128.096 19,06
Sumber : Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2001-2018

21
Berdasarkan pada tabel 3.1 perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di

Kota Jambi selama tahun 2001 sampai tahun 2018 mengalami fluktuatif. Rata-rata

perkembangan PAD di Kota Jambi adalah sebesar 19,06 persen. Perkembangan

tertinggi PAD di Kota Jambi tercatat pada tahun 2014 dengan perkembangan sebesar

65,34 persen. Tingginya perkembangan pada tahun tersebut disebabkan adanya

kebijakan dari Walikota Jambi untuk menggali potensi pajak dan retribusi daerah

secara intensif sehingga pada tahun tersebut ditemukan potensi pajak dan retribusi

daerah yang besar. Sedangkan perkembangan PAD terendah tercatat pada tahun 2009

yaitu sebesar 2,93 persen. Rendahnya perkembangan PAD pada tahun tersebut

disebabkan potensi pajak yang dapat dihimpun tidak terlalu besar.

Selanjutnya PAD juga pernah mengalami penurunan yang terjadi pada tahun

2003 sebesar -14,32 persen dan tahun 2018 sebesar 14,71 persen. Penurunan terjadi

disebabkan rendahnya kesadaran bagi wajib pajak untuk membayar pajak dengan tepat

waktu. Seharusnya wajib pajak harus membayar pajak secara tepat waktu karena

apabila wajib pajak tidak tepat waktu membayar pajak maka penerimaan pajak tidak

mencapai target dan pemerintah Kota Jambi akan sulit untuk memenuhi kebutuhan

anggaran belanja yang berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi baik berdampak

secara lanngsung maupun tidak langsung.

3.1.2. Kondisi Dana Alokasi Khusus (DAK) di Kota Jambi

Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan

APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu

22
mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas

nasional. Kegiatan khusus tersebut berkaitan dengan pembangunan infrastruktur dan

kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan daerah. Selanjutnya untuk mengetahui

kondisi DAK di Kota Jambi dapat kita lihat pada tabel berikut ini :

Tabel 3.2 Perkembangan Dana Alokasi Khusus (DAK) di Kota Jambi Tahun
2001-2018
Dana Alokasi Khusus Perkembangan
Tahun
(Rp. Juta) (%)
2001 3.348 -
2002 4.126 23,24
2003 4.787 16,02
2004 6.680 39,54
2005 8.147 21,96
2006 18.300 124,62
2007 29.367 60,48
2008 36.136 23,05
2009 36.436 0,83
2010 33.236 -8,78
2011 34.673 4,32
2012 40.010 15,39
2013 48.535 21,31
2014 50.248 3,53
2015 54.922 9,30
2016 58.873 7,19
2017 62.824 6,71
2018 66.775 6,29
Rata-Rata 33.190 22,06
Sumber : Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan 2001-2018

Dapat kita lihat pada tabel 3.2 perkembangan Dana Alokasi Khusus (DAK) di

Kota Jambi selama tahun 2001 sampai tahun 2018 mengalami fluktuatif. Rata-rata

perkembangan DAK di Kota Jambi adalah sebesar 22,06 persen. Perkembangan

tertinggi DAK di Kota Jambi tercatat pada tahun 2006 dengan perkembangan sebesar

23
124,62 persen. Tinggi perkembangan DAK di Kota Jambi tahun 2006 dikarenakan

adanya program khusus yang menjadi prioritas nasional dan membutuhkan anggaran

yang sangat besar. Sedangkan penurunan DAK tercatat pada tahun 2010, yaitu turun

sebesar -8,78 persen. Penurunan terjadi dikarenakan program kegiatan khusus yang

dilaksanakan di Kota Jambi pada tahun 2010 tidak banyak membutuhkan anggaran dan

nilai anggarannya lebih kecil dari tahun sebelumnya. Penggunaan dana perimbangan

untuk DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kebutuhan fisik,

sarana dan prasarana dasar yang menjadi urusan daerah antara lain program kegiatan

pendidikan dan kesehatan dan lain-lain, sehingga semakin besar DAK yang diterima

dari pusat maka semakin besar anggaran belanja yang dipergunakan untuk menunjang

peningkatan pertumbuhan ekonomi.

3.1.3. Kondisi Dana Bagi Hasil (DBH) di Kota Jambi

Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan sumber-sumber penerimaan perpajakan

yang dibagihasilkan meliputi Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 dan pasal 25/29 orang

pribadi, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Bagian Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan (BPHTB). Sementara itu, sumber-sumber penerimaan SDA yang

dibagihasilkan adalah minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan, dan

perikanan. Selanjutnya untuk mengetahui bagaimana perkembangan DBH di Kota

Jambi selama tahun 2001 sampai tahun 2015 dapat dilihat pada tabel berikut ini :

24
Tabel 3.3 Perkembangan Dana Bagi Hasil (DBH) di Kota Jambi Tahun 2001-2018
Dana Bagi Hasil Perkembangan
Tahun
(Rp. Juta) (%)
2001 27.366 -
2002 31.263 14,24
2003 35.467 13,45
2004 49.758 40,29
2005 62.837 26,29
2006 84.980 35,24
2007 90.489 6,48
2008 96.775 6,95
2009 94.128 -2,74
2010 114.162 21,28
2011 147.594 29,28
2012 158.089 7,11
2013 156.768 -0,84
2014 163.324 4,18
2015 180.237 10,36
2016 190.987 5,96
2017 201.737 5,63
2018 212.487 5,33
Rata-Rata 116.580 13,44
Sumber : Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan 2001-2018

Dapat kita lihat pada tabel 3.3 perkembangan Dana Bagi Hasil (DBH) di Kota

Jambi selama tahun 2001 sampai tahun 2018 mengalami fluktuatif. Rata-rata

perkembangan DBH di Kota Jambi adalah sebesar 13,44 persen. Perkembangan

tertinggi DBH di Kota Jambi tercatat pada tahun 2004 dengan perkembangan sebesar

40,29 persen. Tingginya perkembangan DBH pada tahun 2004 disebabkan besarnya

penerimaan yang diterima oleh pemerintah pusat dari hasil Pajak Penghasilan (PPh)

pasal 21 dan pasal 25/29 orang pribadi, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Bagian

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari Kota Jambi, sehingga

25
pembagian hasil dari penerimaan juga meningkat besar. Sedangkan penurunan DBH

tertinggi tercatat pada tahun 2009, yaitu turun sebesar -2,74 persen. Penuraunan yang

terjadi pada tahun 2009 disebabkan pengalihan kewenangan pemerintah pusat dalam

mengelola Pajak Bumi dan Bangunan ke pemerintah daerah.

3.1.4. Kondisi Belanja Langsung di Kota Jambi

Belanja langsung mengalami perubahan-perubahan dalam belas tahun terakhir

yang diatur oleh undang-undang. Untuk periode tahun 2000-2003 belanja langsung

dikenal sebagai pengeluaran pembangunan, yang terdiri dari 21 sektor. Sedangkan

sejak periode tahun 2004-2006 belanja pembangunan terdiri dari tiga komponen

belanja, yaitu belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta

belanja modal yang digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan

dampaknya secara langsung dinikmati oleh masyarakat. Ketiga komponen belanja ini

di kategorikan sebagai belanja publik.

Dibawah ini disajikan perkembangan Belanja Langsung Kota Jambi, sebagai

gambaran perkembangan belanja langsung daerah Kota Jambi sebagai acuan untuk

kebijakan anggaran di masa yang akan datang.

26
Tabel 3.4 Perkembangan Belanja Langsung di Kota Jambi Tahun 2001-2018
Belanja Langsung Perkembangan
Tahun
(Rp. Juta) (%)
2001 42.808 -
2002 48.734 13,84
2003 55.930 14,77
2004 61.786 10,47
2005 63.288 2,43
2006 102.354 61,73
2007 130.711 27,70
2008 159.068 21,69
2009 187.425 17,83
2010 215.782 15,13
2011 224.139 3,87
2012 248.437 10,84
2013 272.722 9,78
2014 296.097 8,57
2015 343.909 16,15
2016 367.739 6,93
2017 419.316 14,03
2018 445.809 6,32
Rata-Rata 204.781 15,42
Sumber : Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2001-2018

Berdasarkan pada tabel 3.4 dapat dilihat bahwa perkembangan belanja

langsung di Kota Jambi periode tahun 2001-2018 mengalami perkembangan yang

fluktuatif setiap tahunnya. Jika dihitung rata-rata dalam 18 tahun terakhir maka

diperoleh rata-rata perkembangan sebesar 15,42 persen. Jika dilihat dari

perkembangannya pertahun maka pada tahun 2006 adalah pertumbuhan realisasi

belanja langsung yang tertinngi yaitu mencapai 641,73 persen. Tingginya

perkembangan belanja langsung pada tahun 2006 dikarenakan adanya program khusus

prioritas nasional yaitu pembangunan infrastruktur jalan yang membutuhkan anggaran

27
sangat besar dari DAK pemerintah pusat. Sedangkan perkembangan paling rendah

adalah pada tahun 2005 yaitu hanya 2,43 persen. Rendahnya perkembangan tersebut

disebabkan tidak banyaknya program pembangunan infrastruktur yang dijalankan oleh

pemerintah Kota Jambi

Semakin meningkatnya belanja langsung Kota Jambi memberikan gambaran

bahwa, semakin besar alokasi belanja pemerintah daerah dalam belanja pembangunan

di Kota Jambi, belanja langsung ini berperan dalam program-program pemerintah

dalam pembangunan daerahnya, sehingga dengan meningkatkan alokasi belanja

langsung maka akan mendukung pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan

di daerahnya.

3.2 Pengaruh PAD, DAK, dan DBH terhadap Belanja Langsung

Pengaruh PAD, DAK, dan DBH terhadap belanja langsung memiliki hasil yang

berbeda-beda karena perbedaan objek dan tahun penelitian.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan Budhi (2015)

dalam jurnalnya yang berjudul “Pengaruh PAD dan Dana Bagi Hasil terhadap

Pertumbuhan Ekonomi melalui belanja langsung di Provinsi Bali”. Data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder di Kabupaten/Kota Provinsi

Bali. Periode pengamatan yaitu 7 tahun, terdiri dari tahun 2007-2013. Hasil yang

berkaitan dengan penulisan ini yaitu diperoleh hasil yang menunjukkan PAD

berpengaruh signifikan terhadap Belanja Langsung dan Dana Bagi Hasil yang terdiri

dari DAU, DAK dan DBH tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Langsung.

28
Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa PAD berpengaruh signifikan terhadap

belanja langsung.

Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Hermawan, Made dan

Wirshandono (2016) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Pendapatan Asli

Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dan Dana Alokasi Khusus (DAK)

Terhadap Pengalokasian Belanja Modal (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Se-

Malang Raya). Berdasarkan hasil pengujian diperoleh hasil bahwa secara parsial

hanya PAD yang berpengaruh terhadap Belanja Modal sedangkan DAU dan DAK

tidak berpengaruh terhadap Belanja Modal. Namun hasil secara simultan

menunjukkan bahwa terdapat pengaruh PAD, DAU, dan DAK terhadap Belanja

Modal. Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa PAD berpengaruh signifikan

terhadap belanja modal bagian dari belanja langsung.

Ernayani (2017) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Pendapatan Asli

Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil terhadap

Belanja Daerah (Studi Kasus pada 14 Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Timur

Periode 2009-2013)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; Pendapatan Asli Daerah

memiliki pengaruh terhadap belanja daerah. Dana Alokasi Umum memiliki pengaruh

terhadap belanja daerah, dan dana bagi hasil juga mempengaruhi belanja daerah,

sedangkan dana alokasi khusus tidak berpengaruh pada belanja daerah. Secara

bersama-sama Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus

dan Dana Bagi Hasil mempengaruhi belanja daerah di Kabupaten / Kota Provinsi

Kalimantan Timur. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa R-square adalah 0,892

29
atau 89,2% berarti bahwa belanja daerah dapat dipengaruhi oleh variabel pendapatan

daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan dana bagi hasil, sedangkan

sisanya 10,8% dipengaruhi oleh factor lainnya yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa PAD, DAK dan DBH berpengaruh

signifikan terhadap belanja derah yang didalamnya ada komponen belanja

langsung.

Hartanto (2013) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Pengaruh Pad,

Dau Dan Dak Terhadap Belanja Modal Dan Belanja Barang Dan Jasa Kota Dan

Kabupaten Di Provinsi Jawa Timur Tahun 2006-2012. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa PAD dan DAU berpengaruh signifikan terhadap belanja modal.

Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa PAD berpengaruh signifikan terhadap

belanja modal bagian dari belanja langsung.

30
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya dapat dismpulkan sebagai

berikut ::

1. Berdasarkan perkembangan PAD, DAK, DBH dan belanja langsung di Kota

Jambi selama tahun 2001-2018 cenderung mengalami fluktuasi. Rata-rata

perkembangan PAD di Kota Jambi adalah sebesar 19,06 persen. Rata-rata

perkembangan DAK di Kota Jambi adalah sebesar 22,06 persen. Rata-rata

perkembangan DBH di Kota Jambi adalah sebesar 13,44 persen. Sedangkan

rata-rata belanja langsung dalam 18 tahun terakhir maka diperoleh rata-rata

perkembangan sebesar 15,42 persen

2. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya bahwa variabel yang paling dominan

berpengaruh terhadap belanja langsung adalah variabel pendapatan asli daerah.

4.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang didapat, maka saran yang

dapat diberikan oleh peneliti pada penelitian ini, yaitu sebagai berikut :

1. Pemerintah seharusnya dapat meningkatkan belanja langsung dengan

meningkatkan penerimaan daerah. Penerimaan daerah yang dimaksud adalah

PAD dan DAK. Kedua variabel tersebut menjadi penerimaan daerah yang dapat

dialokasikan ke belanja langsung. Cara meningkatkan PAD yaitu dengan

31
mengoptimalkan potensi pajak dan retribusi daerah. Sedangkan cara untuk

meningkatkan DAK yaitu membuat banyak program pemerintahan yang

menjadi prioritas nasional.

2. Disarankan pada pemerintah daerah agar DBH yang diperoleh dari pusat

dipertimbangkan kembali, karena terjadi ketimpangan perimbangan dana dari

pusat ke daerah, di mana dana perimbangan (DBH) yang diterima pusat lebih

besar daripada daerah sehingga, DBH yang dialokasikan dari pusat ke daerah

belum mampu memaksimalkan belanja langsung (pembangunan) pemerintah

daerah dan belum berhasil merealisasikan tingkat pertumbuhan ekonomi yang

sesuai dengan tujuan otonomi daerah.

3. Belanja langsung yang baik adalah belanja langsung yang dialokasikan tepat

sasaran. Caranya yaitu mengalokasikan belanja langsung untuk pembangunan

infrastruktur jalan, sarana dan parasarana pendidikan dan kesehatan. Ketiga

bidang tersebut sangat penting untuk menunjang pembangunan ekonomi dan

pembangunan sumber daya manusia.

32
DAFTAR PUSTAKA

Dewi dan Budhi. 2015. Pengaruh PAD dan Dana Bagi Hasil terhadap Pertumbuhan
Ekonomi melalui belanja langsung di Provinsi Bali. E-Jurnal Ekonomi
Pembangunan Universitas Udayana Vol. 4, No. 11 November 2015

Ernayani, (2017). Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana
Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil terhadap Belanja Daerah (Studi Kasus pada
14 Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Timur Periode 2009-2013). Jurnal
Sosial Humaniora Dan Pendidikan VOL. 1 NO.1

Halim, Abdul &Syukriy Abdullah. (2004). Pengaruh Dana Alokasi Umum dan
Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Pemda: Studi Kasus Kabupaten dan
Kota di Jawa dan Bali. Jurnal Ekonomi STEI No.2/Tahun XIII/25.

Halim, Abdul &Syukriy Abdullah. (2006). Hubungan dan Masalah Keagenan di


Pemerintahan Daerah: Sebuah Peluang Penelitian Anggaran dan Akuntansi.
Jurnal Akuntansi Pemerintah 2(1): 53-64.

Hartanto, 2013. Analisis Pengaruh Pad, Dau Dan Dak Terhadap Belanja Modal Dan
Belanja Barang Dan Jasa Kota Dan Kabupaten Di Provinsi Jawa Timur Tahun
2006-2012. Modernisasi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2013

Hasanudin, M. 2010. Kajian Ekonomi Regional Propinsi Jambi Tahun 2010.Jambi:


BI Seksi Statistik Dan Kajian Ekonomi Moneter

Hermawan, Made, Wirshandono. (2016). Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD),


Dana Alokasi Umum (DAU), Dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Terhadap
Pengalokasian Belanja Modal (Studi Empiris pada Pemerintah Daerah Se-
Malang Raya). Journal Riset Mahasiswa xxxxxxx (JRMx) ISSN: 2337-56xx.
Volume: xx, Nomor: xx

Putro, Nugroho S. 2010. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli


Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Pengalokasian Anggaran
Belanja Modal (Studi Kasus Pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa
Tengah). Jurnal.Fakultas Ekonomi Universitas Diponogoro

Saragih, JuliPanglima. (2003). Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam


Otonomi. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.

33

Anda mungkin juga menyukai