Anda di halaman 1dari 9

KONSEP HUKUM KELUARGA ISLAM

Makalah ini dibuat Guna Memenuhi Tugas yang di Berikan oleh Dosen Pemandu

Mata Kuliah Antropologi dan Sosiologi Hukum Keluarga Islam

Prodi Hukum Keluarga Islam (6)

Semester V

Oleh :

KELOMPOK I

JUMASRIADI
01.18.1151
DANDI WAHYUDIN
01.18.1157
MUH. TAHIR
01.18.1155
MUH. RASDAN
01.18.1160
MUH. TAUFIK
01.18.1154

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

IAIN BONE

2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Karena

atas petunjuk dan kemudahan yang diberikan kepada kami dalam penyelesaian

salah satu tugas kuliah kami yaitu pembuatan makalah dalam hal ini materi yang

kami bahas mengenai mengenai “Konsep Hukum Keluarga Islam”

Tak lupa saya curahkan sholawat dan salam kepada junjungan Nabi

Muhammad SAW yang juga telah memberi petunjuk bagi kita semua, sehingga

bisa terselamatkan dari lembah kesesatan. Dalam penyusunan makalah ini, tak

semudah apa yang kami bayangkan. Banyak kesulitan dan hambatan yang kami

lalui dalam penyusunan makalah ini. Tapi berkat Izin dan Rahmat Allah SWT

saya mampu menyelesaikannya.

Harapan kami sebagai penyusun makalah, yaitu semoga apa yang terdapat

dalam lembaran kertas ini, dapat memberi manfaat bagi para pembaca. Tak lupa

pula kami haturkan maaf atas segala kekurangan dan kesalahan yang terdapat

dalam makalah ini. Karena pemilik kesempurnaan yang sesungguhnya adalah

Allah SWT.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Penulis

Kelompok I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 2

C. Tujuan Penulisan 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Hak Dan Kewajiban 3

B. Hak Suami Istri 4

C. Kewajiban Suami Istri 15

D. Pengertian Hadanah 20

BAB III PENUTUP

A. Simpulan 28

B. Saran 28

DAFTAR PUSTAKA 29
BAB II

PEMBAHASAAN

A. Batas Minimal Usia Perkawinan

1. Batas Usia Perkawinan Menurut Hukum Islam

a. Pemgertian Baligh

Baligh diambil dari bahasa Arab yang berarti sampai, yakni sampai
memasuki dewasa. baligh dalam fiqh Islam adalah batasan seseorang mulai
dibebani kewajiban- kewajiban hukum syar’i (taklif) atau mukallian syar’an
secara umum baligh dapat ditandai ketika seseorang dapat membedakan mana
yang baik mana yang salah, karenanya kata baligh selalu disandingkan dengan
kata aqil atau aqilbaligh. ‘Aqil Baligh menjadi kunci sah perjalanan manusia
dalam menjalankan ibadah muamalah di hadapan tuhan, baik ibadah mahdhah
atau goiru mahdhah seperti keharusan shalat atau transaksi antara manusia.
Dalam Islam Baligh ditandai dengan beberapa keadaan perkembangan
manusia, menurut ulama fiqh baligh ialah sebagai syarat untuk menjadi
mukallaf yakni seorang yang sudah dikenai hukum. Baligh merupakan istilah
dalam hukum Islam yang menyatakan ia telah dewasa.
b. Batas Usia

Mengenai batas usia pernikahan Islam tidak secara konkrit menjelaskan


tentang usia pernikahan, hal ini masih menjadi perbincangan bagi para ulama,
oleh sebab itu penulis akan menjelaskan tentang batas usia pernikahan
berdasarkan hukum Islam.
Pada dasarnya pernikahan dilihat dari seorang yang telah mampu dalam
berpikir yakni membedakan yang benar dan yang salah. Maka seseorang yang
akan menikah dianggap dewasa karena dianggap mampu dalam membina
rumah tangga agar terhindar dari pertengkaran yang menyebabkan perceraian.
Oleh sebab itu Islam tidak menjelaskan secara konkrit tentang batas
usia pernikahan karena Suatu pernikahan dianggap sah, apabila telah
memenuhi syarat dan rukun. Meskipun masalah kedewasaan atau batas usia
perkawinan tidak termasuk ke dalam syarat dan rukun nikah, namun para
ulama berbeda pendapat dalam menghadapi hal ini, karena faktor kedewasaan
atau umur merupakan kondisi yang amat penting.
Batas usia pernikahan memang tidak dijelaskan, tapi bukan berarti
secara mutlak Islam memperbolehkan perkawinan usia muda. Pada dasarnya
dalam al-Quran dan al- Sunnah tidak ada keterangan yang jelas tentang batasan
umur pernikahan. Kedua sumber tersebut hanya menegaskan bahwa seorang
yang akan melangsungkan pernikahan haruslah merupakan orang yang sudah
layak dan dewasa sehingga bisa mengatur dan menjalani kehidupan rumah
tangganya dengan baik. Dengan kedewasaan itu pula pasangan suami istri akan
mampu menunaikan hak dan kewajibannya secara timbal balik.
2. Batas Usia Perkawinan Menurut Hukum Positif

H Mengenai kedewasaan adalah masalah yang sangat penting, khususnya


dalam pernikahan karena terkadang hal itu membawa pengaruh dalam kehidupan
dan keberhasilan rumah tangga, karena orang yang dewasa secara mental dan fisik
belum tentu ia dapat membina rumah tangga, apalagi orang yang masih muda dan
bukan waktunya untuk berumah tangga. Belum tentu ia dapat menyelesaikan
persoalan- persoalan yang datang dalam rumah tangga, oleh karena itu
kedewasaan sangatlah penting dalam pernikahan.
Menurut William James dan Carilange menyatakan emosi adalah hasil
persepsi seseorang pada perubahan- perubahan yang terjadi pada tubuh sebagai
respon terhadap rangsangan-rangsangan yang dating dari luar. Usia pernikahan
yang dilakukan secara matang maka dapat menghasilkan keturunan yang baik dan
juga sehat, sehingga tercipta perkawinan yang bahagia tanpa ada perpisahan
dengan sebuah perceraian karena diakibatkan dengan ketidak stabilan dan
ketidakmatangan jiwa dan emosional dan fisik kedua belah pihak yakni suami dan
istri.
Maka pernikahan yang belum genap dewasa mengakibatkan respon dalam
fisik yang kurang baik dan lemah dalam melakukan hubungan antara suami dan
isteri sehingga menimbulkan pernikahan yang kurang harmonis, keturunan yang
kurang baik15 bahkan berisiko bagi ibu yang akan melahirkan, sebab tidak stabil
dan matang, dalam segi emosional bahkan mental.
Berdasarkan pengertian diatas, usia menurut hukum positif sebenarnya
telah ditetapkan dalam Undang-Undang No 16 Tahun 2019 laki-laki yang ingin
menikah harus berusia 19 tahun dan bagi perempuan yang ingin menikah berusia
19 tahun. Dengan tujuan memberikan kepastian dalam pernikahan dan manfaat.
Akan tetapi masyarakat Indonesia jarang sekali mematuhi hukum yang berlaku
padahal hukum
ditetapkan demi kemaslahatan diri kita sendiri. Akibatnya pernikahan
diusia dini masih sering kali terjadi.
Dalam kitab undang undang hukum perdata telah dijelaskan dalam pasal
29 seorang pria yang belum mencapai umur 18 tahun dan seorang wanita yang
belum mencapai umur genap 15 tahun, tidak diperkenankan untuk mengikat
dirinya sendiri dalam pernikahan, akan tetapi jika ada persoalan yang
mengharuskan pernikahan tersebut maka presiden lebih berkuasa meniadakan
larangan ini dengan memberikannya dispensasi pernikahan.16Maka pernikahan
boleh dilakukan pada usia yang tidak ditentukan jika dalam keadaan darurat dan
harus dinikahkan pada usia dini.
Adapun dalam pasal 330 KUHPerdata seseorang yang belum mencapai 21
tahun dianggap belum dewasa apabila ia belum menikah, akan tetapi jika ia sudah
menikah kemudian ia berpisah belum genap mencapai 21 tahun maka ia tidak bisa
kembali ke kedudukan belum dewasa.
Kemudian Batas usia dalam kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 15
menyebutkan usia pernikahan sama dengan Undang-Undang No 16 Tahun 2019
namun dengan tambahan alasan pasal 15 ayat 1 yang berbunyi: demi
kemaslahatan keluarga dan rumah tangga pernikahan hanya boleh dilakukan
sekurang-kurangnya 19 tahun bagi laki-laki danperempuan.
Menurut badan kependudukan dan keluarga berencana nasional mereka
memberi rekomendasi pernikahan ideal bagi laki-laki yakni 25 tahun dan 21 tahun
bagi perempuan, karena menurutnya usia itu tidak bertentangan dengan undang-
undang perlindungan anak yang mana usia 18 tahun tergolong belum dewasa,
kemudian usia 20-25 tahun bagi wanita dan usia 25-25 tahun bagi pria dianggap
masa yang paling baik untuk berumah tangga.19
Pada dasarnya penentuan umur dalam perkawinan dapat dikatakan semata-
mata didasarkan pada kematangan jasmani atau fungsi biologis secara psikis
tentang hubungan
antara suami istri yang akan menimbulkan trauma psikis kepanjangan
dalam jiwa anak atau yang menyesali kehidupannya kenapa ia harus ada dalam
pernikahan selai itu ikatan perkawinan akan hilang dan juga hak ia berpendidikan
9 tahun akan hilang hak bermain atau yang biasa dilakukan oleh remaja-remaja
seusianya.
B. Administrasi Pencatatan Perkawinan

Perkawinan merupakan suatu hal yang sudah umum dikenal dalam


peradaban manusia. Perkawinan menjadi kebutuhan dasar yang harus dipenuhi,
karena menyangkut eksistensi manusia untuk melanjutkan garis keturunannya.
Kebebasan untuk menentukan pasangan hidup berada di tangan manusia
seutuhnya. Negara tidak berhak melakukan intervensi soal urusan perkawinan
sebagaimana yang dilakukan ayah terhadap anak gadisnya. Akan tetapi,
bagaimana dengan ketentuan negara yang mengatur persoalan pencatatan
perkawinan? Dalam hal ini harus ditegaskan bahwa pencatatan perkawinan
bukanlah termasuk usaha negara untuk mengintervensi ruang-ruang privat warga
negaranya. Pencatatan perkawinan merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh
negara untuk mengatur administrasi yang bersangkutan dengan warga negaranya.
Negara mengatur masyarakat demi kepentingan dan kemaslahatan bersama.
Kepastian hukum menjadi salah satu tujuan penting diadakannya aturan tentang
pencatatan perkawinan. Adanya pencatatan perkawinan menjamin hak-hak
masing-masing warga negara dapat terpenuhi.
Pencatatan perkawinan sama halnya dengan pencatatan peristiwa hukum
lainnya, misalnya kelahiran dan kematian yang dinyatakan dalam daftar
pencatatan yang telah disediakan. Di Indonesia, ketentuan tentang pencatatan
perkawinan tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat
(1) dan ayat (2) yang berbunyi:
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaan itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Bunyi Pasal 2 dari Undang-Undang Perkawinan tersebut ternyata


menimbulkan polemik di kalangan para ilmuan: apakah pencataan perkawinan
menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan? Terkait dengan hal ini, ada dua
pendapat sarjana hukum. Pendapat pertama cenderung ingin memisahkan
penafsiran Pasal 2 ayat (1) dengan ayat
(2), bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaan itu, sedangkan pendaftaran adalah syarat
administratif saja. Tidak dilakukannya pencatatan perkawinan tidak akan
mengakibatkan cacat atau tidak sahnya suatu perkawinan. Pendapat kedua
menafsirkan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) itu bukan dari sudut yuridis saja, yakni
terkait sahnya suatu perkawinan, tetapi juga dikaitkan dengan aspek sosiologis.
Oleh karena itu, Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) itu tidak dapat dipisahkan, karena
keduanya saling terkait. Dua ayat tersebut diibaratkan seperti rajutan yang saling
jalin-menjalin, yang jika salah satu jalinannya lepas maka akan berkurang
kekuatan rajutan tersebut dan bahkan akan hilang sama sekali. Sebab, sebuah
pernikahan pada hakikatnya akan melahirkan akibat hukum yang melekat pada
suami dan istri.8 Oleh karena itu, mencatatkan perkawinan merupakah sesuatu
yang mesti dilakukan demi terwujudnya kemaslahatan dan kepastian hukum.9
Dicatatkannya sebuah perkawinan akan membantu menjaga masing masing pihak
mendapatkan haknya, dan sekaligus menjadi bukti otentik jika ada perselisihan
ataupun wanprestasi.
Selain itu, akta perkawinan juga merupakan salah satu alat bukti yang sah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberadaan akta perkawinan secara
hukum memegang peranan yang sangat penting, khususnya dalam upaya
mempertahankan dan melindungi hak-hak seseorang serta untuk membuktikan
bahwa suatu peristiwa hukum telah dilakukan. Oleh karena itu, ketika terjadi
tuntutan atau gugatan dari pihak lain tentang keabsahan suatu perbuatan hukum,
maka peranan alat vbukti (dalam hal ini adalah akta perkawinan) menjadi sangat
penting.10 Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 memiliki alasan tersendiri.
Undang-undang ini merupakan respons dari masalah sosial yang terjadi di
masyarakat. Banyaknya praktek perkawinan di bawah tangan (pernikahan yang tidak
dicatatkan) atau pernikahan sirri ternyata menimbulkan permasalahan yang masif di
masyarakat. Banyak perempuan dan anak-anak yang menjadi korban dari perkawinan
yang tidak memiliki bukti otentik atau surat nikah.

Akan tetapi sayangnya, aturan tentang keharusan melakukan pencatatan perkawinan


tidak disertai dengan sanksi yang bisa membuat pihak yang melanggar peraturan itu
menjadi jera. Jika merujuk pada peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan tata
cara perkawinan, yaitu PP No. 9 Tahun 1975, khususnya Pasal 45, disebutkan bahwa
hukuman terhadap pelanggaran pencatatan perkawinan hanya dikenai hukuman denda
setinggi-tingginya 7.500 (tujuh ribu lima ratus rupiah).

Dari sini tampak jelas bahwa negara tidak tegas dengan aturan yang ada.
Penjelasan tersebut juga menunjukkan pelanggaran terhadap pelanggaran
pencatatan perkawinan tidak mengakibatkan tidak sahnya perkawinan, tetapi
hanya dikenakan hukuman.
C. Relasi Suami Istri dalam Keluarga
1. Peran dan kedudukan sebagai suami dan istri
a. Peran dan kedudukan sebagai suami dan istri dalam berumah tangga
berkaitan dengan hak/kewajiban suami istri. Hal ini sebagaimana termuat
dalam al-Qur’an: An-Nisa’: 34 )Artinya: Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian

yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah
Telah memelihara (mereka).
Ayat ini turun berkenaan dengan Sa’ad bin Rabi’ dimana istrinya, Habibah
binti Zaid bin Khārijah bin Abi Hurairah durhaka kepadanya lalu ia
menamparnya, kemudian bapaknya berkata, “Wahai Rasulullah Saw apakah
aku harus memisahkannya karena ia telah menamparnya?,” lalu Nabi Saw
bersabda, “Hendaknya istrinya membalas hal serupa (qiṣaṣ) kepada
suaminya”. Istrinya pun pergi bersama ayahnya untuk membalasnya, belum
sempat mereka pergi jauh Nabi Saw bersabda, “Kembalilah kalian karena Jibril
5
telah mendatangiku, Allah menurunkan ayat ini. ” Nabi Saw bersabda, “Kami
menginginkan satu perkara tetapi Allah menginginkan yang lain.”
6
Abu Waraq berkata, “Ayat itu turun tentang Jamilah binti Ubai dan tentang
suaminya Tsabit bin Qais bin Syammas.” Al Kalbi berkata, “Ayat itu turun
tentang Umairah binti Muhamad bin Maslamah dan tentang suaminya Saad bin
Rabi’. ” Ada juga yang menyebutkan sebabnya adalah perkataan Ummu
8
Salamah yang telah lewat. Susunan ayat itu berbicara tentang keutamaan laki-
laki atas wanita dalam hal warisan, lalu turunlah ayat 22 surah An-Nisa’.
Diantara tugas kaum lelaki ialah memimpin kaum wanita dengan melindungi
dan memelihara mereka, sebagai konsekwensi tugas ini lelaki diwajibkan
berperang dan perempuan tidak. Lelaki diwajibkan memberi nafkah sedangkan
perempuan tidak. Suami berperan dan berkedudukan sebagai pemimipin
(qawwam) bagi istrinya. Kepemimimpinan tersebut adalah kepemimipinan
yang mencakup makna pelindung, penanggung jawab, pengatur, pemenuhan
kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan dan pembinaan. Sedangkan
peranan istri adalah wajib menjaga amanah yang telah dititipkan suami
kepadanya.
2. Suami dan Istri sebagai teman/partner hidup. Hal tersebut berkaitan dengan
awal penciptaan manusia. Sebagaimana termuat dalam QS: An-Nisa’: 1

Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah


menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu.
Dalam tafsirnya Sayyid Qutub memaknai (nafs al-wahidah dan jawz)
berdasarkan tafsiran ayat di atas yang berarti pasangan (suami bagi istri dan
istri bagi suami) yang dapat memberikan ketenangan jiwa dan ketentraman
hati.
Sedangkan Ibrahim al-bagdadi menafsirkan dengan asal yang satu (aslun
wahid) yang berarti Adam sedangkan jawz artinya Hawa. Tafsir ayat
menunjukkan bahwa relasi suami istri adalah suatu keluarga yang hidup
berkumpul, bersama-sama, tidak berdiri sendiri. Seorang laki-laki juga tidak
dapat disebut suami bila tidak memiliki istri dan sebaliknya. Suami istri selalu
berpasangan. Sebagai pasangan/patner hidup dalam sebuah keluarga maka
peran dan kedudukan suami dan istri juga sebagai penasehat yang bijaksana,
pendorong dan motivator bagi pasangannya.
D. Poligami, Perceraian, Kewarisan

Anda mungkin juga menyukai