Anda di halaman 1dari 25

Modul 5

Skenario 5: Belajar Sepanjang Hayat


Bu Salma, 57 tahun, diantar anaknya ke puskesmas karena mengeluh pusing sejak 2 hari
yang lalu. Selain pusing bu Salma juga mengeluh sakit kepala yang cukup mengganggu. Dokter
puskesmas menanyakan keluhan lain yang dirasakan Bu Salma. Dari anamnesis didapatkan Bu
Salma sudah menderita hipertensi sejak 2 tahun yang lalu, tapi 6 bulan terakhir tidak lagi
kontrol ke puskesmas. Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD: 140/95 mmHg, denyut nadi: 90
x/mnt, frekuensi nafas: 18 x/mnt, suhu: 37ºC. Pemeriksaan dada dan abdomen dalam batas
normal.
Dokter meresepkan obat anti hipertensi, analgetik dan vitamin untuk Bu Salma dan
menerangkan obat harus diminum sesuai aturan yang ada pada resep. Dokter menjelaskan saat
ini Bu Salma masih bisa diobati dengan satu jenis obat hipertensi, bila ada keluhan yang
dirasakan setelah minum obat ia dianjurkan untuk segera melapor dan dianjurkan untuk
kontrol teratur ke puskesmas.
Saat itu, di puskesmas juga ada dokter muda yang sedang menjalankan kepaniteraan
klinik. Dokter puskesmas mengingatkan untuk kembali mempelajari mengenai cara penulisan
resep yang benar termasuk bagaimana cara menghitung dosis untuk pasien anak dan dewasa.
Dokter puskesmas juga menjelaskan ada beberap tahapan yang harus dilewati agar obat aman
dikonsumsi masyarakat, mulai dari uji terhadap bahan obat di laboratorium, uji praklinik pada
hewan coba dan uji klinik pada manusia yang membutuhkan biaya. Beberapa obat bahkan
harus ditarik dari peredaran di masyarakat karena setelah uji klinik fase IV (Post Marketing Drug
Surveilance), ternyata menimbulkan efek samping yang serius, seperti talidomid yang cukup
fenomenal.
Melihat kenyataan ini, dokter harus memiliki ilmu yang memadai tentang bagaimana
hubungan efek obat terhadap tubuh yang dipelajari dalam ilmu farmakologi klinik. Selain itu
dokter juga dituntut untuk mempertimbangkan kondisi ekonomi pasien yang diobati dan
memilihkan obat yang efektif dengan harga terjangkau. Dokter juga harus memantau
perkembangan ilmu kedokteran dan senantiasa belajar agar dapat menjalankan perannya
dengan baik.
Bagaimana Anda menjelaskan kondisi di atas?

TERMINOLOGI
1. Hipertensi: peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg atau tekanan
diastolik sedikitnya 90 mmHg.
2. Analgetik: obat yang digunakan untuk mengurangi atau meredakan nyeri.
3. Uji Praklinik: tahap penelitian yang terjadi sebelum uji klinik atau pengujian pada
manusia, untuk mengevaluasi keamanan suatu produk yang baru.
4. Uji Klinik: pengujian khasiat dan keamanan obat pada manusia yang dapat “menjamin”
apakah hasil in vitro atau hasil pada hewan coba sama dengan pada manusia.
5. Post Marketing Drug Surveilance: proses di mana obat-obatan yang dipasarkan dipantau
untuk reaksi obat yang merugikan (ADR) pasca uji klinis.
6. Talidomid: obat imunomodulator untuk menangani jenis kanker tertentu, penolakan
organ transplan, dan sejumlah masalah kulit, termasuk komplikasi kusta.

IDENTIFIKASI MASALAH
1. Mengapa Bu Salma (57 tahun) mengeluh pusing dan sakit kepala yang mengganggu
sejak 2 hari yang lalu?
2. Bagaimana hubungan antara keluhan Bu Salma dengan hasil anamnesisnya?
3. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik Bu Salma?
4. Mengapa dokter meresepkan obat antihipertensi, analgetik, dan vitamin untuk Bu
Salma?
5. Bagaimana interaksi obat yang mungkin terjadi antara antihipertensi dan analgesik?
6. Bagaimana keluhan yang kemungkinan dirasakan oleh Bu Salma setelah meminum
obat?
7. Mengapa Bu Salma dianjurkan kontrol teratur ke puskesmas?
8. Bagaimana kriteria penulisan resep yang benar?
9. Bagaimana cara menghitung dosis pasien anak dan dewasa?
10. Bagaimana tahapan yang perlu dilakukan agar obat aman dikonsumsi oleh masyarakat?
11. Bagaimana maksud dari menguji bahan obat di laboratorium?
12. Mengapa uji praklinik dilakukan kepada hewan coba?
13. Bagaimana prosedur dari uji klinik obat kepada manusia yang membutuhkan biaya?
14. Mengapa setelah uji klinik fase IV, suatu obat masih dapat ditarik dari peredaran?
15. Bagaimana efek samping dari talidomid yang cukup fenomenal?
16. Bagaimana hubungan efek obat dengan tubuh yang dipelajari di farmakologi klinik?
17. Bagaimana pertimbangan kondisi ekonomi pasien dalam pemberian obat?
18. Bagaimana hubungan antara perkembangan ilmu kedokteran dengan pemberian obat?

ANALISIS MASALAH
1. Nyeri kepala adalah nyeri yang dirasakan di daerah kepala atau merupakan suatu
sensasi tidak nyaman yang dirasakan pada daerah kepala. Nyeri kepala umumnya
diklasifikasikan sebagai nyeri kepala primer dan nyeri kepala sekunder, kemudian dibagi
menjadi beberapa jenis nyeri kepala tertentu. Gangguan nyeri kepala primer adalah
nyeri kepala yang sifatnya “idiopatik”, nyeri kepala yang tidak terkait dengan kondisi
patologi atau penyebab lain yang mendasari. Berdasarkan pemeriksaan neurologis dan
tes pencitraan biasanya normal, tidak peduli seberapa parah gejala. Kejadian nyeri
kepala primer lebih sering terjadi dibandingkan nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala
sekunder adalah nyeri kepala yang dikaitkan dengan kondisi patologis yang mendasari,
seperti adanya tumor otak, aneurisma, penyakit inflamasi. Dengan pemeriksaan
neurologis dan tes pencitraan telah terbukti membantu dalam diagnostik nyeri kepala
sekunder.

Nyeri kepala sekunder merupakan nyeri kepala yang dikarenakan penyakit lain sehingga
terdapat peningkatan tekanan intrakranial atau nyeri kepala yang jelas terdapat
kelainan anatomi maupun struktur.
A. Nyeri kepala karena trauma pada kepala dan / atau leher
B. Nyeri kepala karena gangguan vaskular pada kranial atau servikal
C. Nyeri kepala karena gangguan non vaskular pada intrakranial
D. Nyeri kepala karena suatu substansi atau withdrawal
E. Nyeri kepala karena infeksi
F. Nyeri kepala karena gangguan homeostasis
G. Nyeri kepala atau nyeri wajah karena gangguan pada kranial, leher, mata, telinga,
hidung, rongga sinus, gigi, mulut, atau struktur wajah atau kranial lainnya

Sensitisasi nyeri kepala terdapat di nosiseptor meningeal dan neuron trigeminal sentral.
Sebagian besar pembuluh darah intrakranial mendapatkan inervasi sensoris dari
ganglion trigeminal, dan menghasilkan neuropeptida yang akan mengaktivasi nosiseptor
– nosiseptor. Neuropeptida yang dihasilkan seperti CGRP (Calcitonin Gene Related
Peptide) yang paling besar dan diikuti oleh SP (substance P), NKA (Neurokinin A), PACAP
(Pituitary Adenylate Cyclase Activating Peptide, nitricoxide (NO), molekul prostaglandin
E2 (PGEJ2), bradikinin, serotonin (5-HT) dan adenosin triphosphat (ATP).

Batang otak merupakan organ yang memiliki peranan penting dalam transmisi dan
modulasi nyeri baik secara ascending maupun descending. Periaquaductal grey matter,
locus coeruleus, nucleus raphe magnus dan reticular formation yang berada di batang
otak akan mengatur integrasi nyeri, emosi dan respons otonomik. Sehingga dapat
dikatakan batang otak merupakan generator dan modulator sefalgi.
1. Rangsangan yang menganggu diterima oleh nosiseptor (reseptor nyeri) polimodal dan
mekanoreseptor di meninges dan neuron ganglion trigeminal
2. Pada innervasi sensoris pembuluh darah intrakranial (sebagian besar berasal dari
ganglion trigeminal) di dalamnya mengandung neuropeptida seperti CGRP / Calcitonin
Gene Related Peptide, Substance P, Nitric oxide, bradikinin, serotonin yang semakin
mengaktivasi / mensensitisasi nosiseptor
3. Rangsangan di bawa menuju cornu dorsalis cervical atas
4. Transmisi dan modulasi nyeri terletak pada batang otak (periaquaductal grey matter,
nucleus raphe magnus, formasio retikularis)
5. Hipotalamus dan sistem limbik memberikan respon perilaku dan emosional terhadap
nyeri
6. Pada talamus hanya terjadi persepsi nyeri
7. Dan terakhir pada korteks somatosensorik dapat mengetahui lokasi dan derajat
intensitas nyeri

Sebagian besar literatur menunjukkan bahwa stres dan gangguan emosional sebagai
pemicu utama serangan nyeri kepala. Pendapat tersebut didukung oleh berbagai
penelitian yang menemukan bahwa peristiwa kehidupan yang penuh stres dan emosi
yang intens adalah pemicu yang paling umum di seluruh sampel, di kedua jenis kelamin.
Stres akut dapat mempengaruhi jalur modulatory biologis yang menyebabkan
peningkatan sensitivitas korteks migrain. Namun demikian, ada kurangnya bukti
eksperimental. Selanjutnya, Shoonman et al. gagal menemukan bukti untuk
menghubungkan perubahan obyektif dalam parameter yang diukur terkait dengan stres,
seperti kortisol saat serangan migrain, meskipun fakta bahwa pasien disebutkan secara
subjektif menyatakan bahwa mengalami stres sebelum nyeri kepala. Dominasi stres
yang dirasakan di banyak studi dapat dijelaskan oleh temuan Houle et al. yang
mendeteksi bahwaa efek kumulatif dari tingkat stres yang tinggi dikombinasikan dan
durasi tidur yang rendah yang mempengaruhi aktivitas nyeri kepala, dengan demikian,
menunjukkan stres yang bertindak sebagai pemicu ditingkatkan ketika berinteraksi
dengan faktor lain.

Nyeri kepala adalah penyakit yang sering terjadi, dapat mempengaruhi orang di semua
kelompok umur di seluruh dunia, yang menyebabkan prestasi kerja rendah dan
gangguan kualitas hidup. Pada penelitian di Iran menyimpulkan bahwa frekuensi nyeri
kepala primer menunjukkan tren menurun dengan meningkatnya usia, sementara nyeri
kepala sekunder tampaknya meningkat secara signifikan dengan usia, terutama setelah
50 tahun.
Pola tidur akan berubah sejalan dengan pertambahan usia. Bayi baru lahir mengalami
tidur REM yang lebih panjang dibanding anak-anak dan dewasa. Bayi cukup bulan akan
menghabiskan sekitar 50% total waktu tidurnya pada tidur REM. Pada usia dewasa, total
tidur REM yaitu 20 sampai 25% waktu tidur. Gangguan tidur berupa berkurangnya
kuantitas dan kualitas tidur yang dapat menyebabkan terjadinya migrain umumnya
dipicu oleh perubahan neurotransmitter, kadar serotonin mempengaruhi tidur REM dan
migrain, dimana serotonin bekerja mengatur tidur REM. Selama serangan migrain
terjadi pemecahan produk serotonin, 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA), maka akan
terjadi gangguan tidur.

2. Dari anamnesis didapatkan Bu Salma sudah menderita hipertensi sejak 2 tahun yang
lalu, tapi 6 bulan terakhir tidak lagi kontrol ke puskesmas. Hipertensi adalah
meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari 140 mmHg dan atau diastolik lebih
besar dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam
keadaan cukup istirahat (tenang). Hipertensi didefinisikan oleh Joint National Committee
on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure sebagai tekanan yang
lebih tinggi dari 140 / 90 mmHg.

Hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi berbagai faktor
resiko yang dimiliki seseorang. Faktor pemicu hipertensi dibedakan menjadi yang tidak
dapat dikontrol seperti riwayat keluarga, jenis kelamin, dan umur. Faktor yang dapat
dikontrol seperti obesitas, kurangnya aktivitas fisik, perilaku merokok, pola konsumsi
makanan yang mengandung natrium dan lemak jenuh.

Hipertensi dapat mengakibatkan komplikasi seperti stroke, kelemahan jantung, penyakit


jantung koroner (PJK), gangguan ginjal dan lain-lain yang berakibat pada kelemahan
fungsi dari organ vital seperti otak, ginjal dan jantung yang dapat berakibat kecacatan
bahkan kematian. Hipertensi atau yang disebut the silent killer yang merupakan salah
satu faktor resiko paling berpengaruh penyebab penyakit jantung (cardiovascular).

Penderita hipertensi tidak memiliki gejala khusus, gejala yang dialami antara lain pusing
atau sakit kepala (nyeri kepala), tengkuk pegal, wajah merah, sukar tidur, mudah lelah,
sesak napas, suka marah-marah, gelisah dan keringat berlebih. orang akan menyadari
bahwa dirinya menderita hipertensi setelah dilakukan pemeriksaan tekanan darah.
Peningkatan tekanan darah salah satunya akan menyebabkan pusing atau sakit kepala
(nyeri pada kepala), sehingga dapat mempengaruhi aktivitas. Sakit kepala akibat
tekanan darah tinggi menyebabkan sakit kepala yang luar biasa. Seluruh kepala seperti
dicengkeram yang dapat menyebar keleher dan bahu.
Nyeri kepala pada pasien hipertensi terjadi ketika serat afferent primer menginervasi
meningeal atau pembuluh darah serebral aktif, kebanyakan dari serat nociceptive
dilokasikan didalam bagian pertama dari ganglion trigeminal atau ganglia servikal atas.
Rangsangan terhadap struktur nyeri dibawah tentorium radiks servikalis bagian atas
dengan cabang-cabang saraf perifer menimbulkan nyeri pada daerah belakang, pada
area oksipital,area sub-oksipital dan servikal bagian atas. Rasa nyeri ini ditransmisi oleh
saraf cranial IX, X dan spinal C1, C2, C3. Oksipitalis mayor akan menjalarkan nyerinya
kefrontal pada sisi ipsilateral. Input eksteroseptif dan nosiseptif dari reflex
trigeminoservikal trigeminoservikal ditransmisikan melalui jalur polisinaptik, mencapai
motor neuron servikal, bahwa nyeri didaerah leher dapat dirasakan atau diteruskan
kearah kepala dan sebaliknya.

Pembuluh darah yang keluar dari jantung akan mengalami tekanan yang tinggi untuk
bisa mengalirkan darah keseluruh organ tubuh. Tekanan darah tinggi itu juga akan
terjadi pada pembuluh darah yang mengarah ke otak. Tekanan darah yang tinggi pada
pembuluh darah otak, akan menyebabkan lapisan endotel pada otak rusak. Saat terjadi
kerusakan pada lapisan endotel pembuluh darah otak maka akan membuat suatu
kepingan darah yang menyumbat pada pembuluh darah otak, membuat otak banyak
memproduksi serotonin dan adenergik secara berlebihan yang membuat pembuluh
darah semakin melebar. Dengan adanya sumbatan dan pelebaran pembuluh darah pada
otak akan menyebabkan aliran darah akan terganggu, akan membuat banyak kerusakan
atau radang pada banyak saraf di otak. Saat terjadi radang, maka secara otomatis otak
akan memproduksi prostaglandin yang dianggap oleh otak sebagai respon nyeri.

Sirkulasi aliran darah pada tubuh terganggu dan mempengaruhi peningkatan tekanan
darah. Jaringan yang sudah terganggu akan mengalami penurunan oksigen dan
meningkatkan karbondioksida. Sehingga terjadilah metabolisme anaerob didalam
tubuh, dimana asam laktat dapat meningkat dan menstimulasi nyeri kepala diotak.
Penyebab lain dari nyeri kepala pada hipertensi karena adanya pergeseran jaringan
intrakarnial, dimana nyeri kepala merupakan suatu cara tubuh untuk memberiakan
alarm atau respon bahwa didalam tubuh sedang mengalami masalah pada kesehatan.
Penderita hipertensi yang mengalami sakit kepala yang sangat hebat secara tiba-tiba
bisa menjadikan salah satu tanda adanya masalah penyakit yang lebih serius,
diantaranya penyakit jantung (kardiovaskuler), gangguan pada sistem ginjal, bahkan bisa
terjadi pecahnya pembuluh darah kapiler diotak atau disebut dengan stroke dan bisa
mengakibatkan kematian.

3. Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD: 140/95 mmHg, denyut nadi: 90 x/mnt, frekuensi
nafas: 18 x/mnt, suhu: 37ºC. Pemeriksaan dada dan abdomen dalam batas normal.
Menurut klasifikasi hipertensi pada JNC, Bu Salma tergolong dalam hipertensi stage-1.
Sedangkan, menurut klasifikasi hipertensi berdasarkan usia, tekanan darah Bu Salma
mencapai batas maksimal dari nilai normal di usia beliau.
4. Bu Salma memiliki riwayat hipertensi dan tidak terkontrol selama 6 bulan terakhir, maka
pengobatan dikembalikan ke awalnya, dengan pengobatan monoterapi (juga dari hasil
pemeriksaan fisik, tekanan darah Bu Salma tidak melebihi batas maksimal tekanan
darah berdasarkan usia). Terapi farmakologi hipertensi diawali dengan pemakaian obat
tunggal. Tergantung level TD awal, rata-rata monoterapi menurunkan TD sistole sekitar
7-13 mm Hg dan diastole sekitar 4-8 mmHg. Apabila respon terhadap monoterapi awal
ini tidak adekuat, maka terdapat beberapa pilihan: 1. Jika terdapat respon terhadap
monoterapi dosis awal dan belum terkontrol dengan monoterapi (TD 10/5 mmHg di atas
target) maka dosis obat harus dinaikkan. Jika respon tidak adekuat, namun tekanan
darah mulai mendekati target maka dapat ditambahkan kombinasi obat jenis lain secara
terpisah atau dalam bentuk tablet kombinasi. Jika tidak terdapat respon terhadap
monoterapi obat awal yang diberikan, maka obat tersebut dapat distop dan digantikan
dengan obat golongan lain.

Panduan dalam pemilihan dosis obat antihipertensi dimulai dengan satu obat kemudian
dititrasi hingga mencapai dosis maksimal. Jika tujuan tekanan darah tidak dicapai
dengan penggunaan satu obat meskipun titrasi dengan dosis maksimum yang
disarankan, tambahkan obat kedua dari daftar (thiazide-jenis diuretik, CCB, ACEI, atau
ARB) dan titrasi sampai dengan maksimum yang disarankan dosis obat kedua untuk
mencapai tujuan tekanan darah. Jika tujuan tekanan darah tidak tercapai dengan 2 obat,
pilih obat ketiga dari daftar (thiazide-jenis diuretik, CCB, ACEI, atau ARB), hindari
penggunaan kombinasi ACEI dan ARB. Titrasi obat sampai ketiga untuk maksimum dosis
yang dianjurkan untuk mencapai tujuan tekanan darah. Mulailah dengan 2 obat pada
saat yang sama, memulai terapi dengan 2 obat secara bersamaan, baik sebagai obat 2
yang terpisah atau sebagai kombinasi pil tunggal. Titrasi obat ketiga sampai dengan
maksimum dosis yang dianjurkan untuk mencapai tujuan tekanan darah. Berdasarkan
panduan kombinasi dengan> 2 obat dilakukan ketika tekanan darah sistolik > 160 mmhg
dan atau tekanan darah diastolik > 100 mmhg. Pertimbangkan kombinasi lainnya apabila
tekanan darah sistolik > 20 mm hg di atas target dan atau tekanan darah diastolik > 10
mmhg di atas target. Jika tidak bisa dicapai target penurunan tekanan darah setelah
kombinasi 2 obat dapat digunakan kombinasi 3 obat. Pilihan obat ketiga dapat
menggunakan thiazide-jenis diuretik, CCB, ACEI, atau ARB), hindari penggunaan
gabungan ACEI dan ARB. Titrasi obat sampai ketiga dengan dosis maksimum yang
disarankan.

Terdapat beberapa alasan mengapa pengobatan kombinasi pada hipertensi dianjurkan


di antaranya dikarenakan mempunyai efek aditif, mempunyai efek sinergisme,
mempunyai sifat saling mengisi, penurunan efek samping masing-masing obat,
mempunyai cara kerja yang saling mengisi pada organ target tertentu dan adanya “fixed
dose combination” akan meningkatkan kepatuhan pasien.
Berdasarkan gambar diatas tiazid diuretic efektif dikombinasikan dengan ARB, Ca
antagonis atau ACEI. ARB efektif dikombinasi dengan tiazid, Ca antagonis dan tidak
direkomendasikan di kombinasikan dengan ACEI. Kemudian Ca antagonis efektif
dikombinasikan dengan ARB, tiazid diuretic atau ACEI. ACEI efektif dikombinasikan dengan
tiazid diuretic, Ca antagonis dan tidak direkomendasikan di kombinasikan dengan ARB.
Obat golongan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) bekerja menghambat
perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga bekerja dengan menghambat aktivitas
saraf simpatis dengan menurunkan pelepasan noradrenalin, menghambat pelepasan endotelin,
meningkatkan produksi substansi vasodilatasi seperti NO, bradikinin, prostaglandin dan
menurunkan retensi sodium dengan menghambat produksi aldosteron. Contoh golongan ACEI
adalah captopril, enlapril dan Lisinopril.
Golongan obat Angiotensin Receptor Blocker (ARB) menyebabkan vasodilatasi,
peningkatan ekskresi Na+ dan cairan (mengurangi volume plasma), menurunkan hipertrofi
vaskular sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Contoh golongan ARB adalah
candesartan, losartan dan valsartan.
Golongan obat beta bloker bekerja dengan mengurangi isi sekuncup jantung, selain itu
juga menurunkan aliran simpatik dari SSP dan menghambat pelepasan rennin dari ginjal
sehingga mengurangi sekresi aldosteron. Contoh golongan beta bloker adalah atenolol dan
metoprolol.
Golongan obat calcium canal bloker (CCB) memiliki efek vasodilatasi, memperlambat
laju jantung dan menurunkan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan tekanan darah.
Contoh golongan CCB adalah nifedipine, amlodipine dan diltiazem.
Golongan obat Thiazid diuretic bekerja dengan meningkatkan ekskresi air dan Na+
melalui ginjal yang menyebabkan berkurangnya preload dan menurunkan cardiac output. Selain
itu, berkurangnya konsentrasi Na+ dalam darah menyebabkan sensitivitas adrenoreseptor–alfa
terhadap katekolamin menurun, sehingga terjadi vasodilatasi atau resistensi perifer menurun.
Contoh golongan Thiazid diuretic adalah hidroclorotiazid dan indapamide.
Analgesik diberikan atas dasar sakit kepala dan pusing yang dialami (sebagai anti nyeri).
Vitamin diberikan juga untuk menjaga daya tahan tubuh.

5. Analgesik memiliki efek tertentu dengan interaksinya terhadap obat antihipertensi.


Dalam suatu penelitian, dikatakan terjadi peningkatan beberapa mmHg pada pasien
yang menerima obat kombinasi analgesik dengan antihipertensi. Dalam penelitian ini,
pasien yang menerima NSAID menunjukkan peningkatan tekanan darah sistolik 2 mmHg
dibandingkan dengan penerima asetaminofen. Terjadi peningkatan tekanan darah
sistolik 3 mmHg pada sub-sampel dari mereka yang secara bersamaan diresepkan ACE-I
atau CCB dan 6 mmHg pada mereka yang diberi resep beta-adrenergik blocker.
Ibuprofen dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah sistolik, dibandingkan dengan
naproxen dan celecoxib, masing-masing 3 dan 5 mmHg. Tidak terdeteksi perubahan
signifikan dalam terapi antihipertensi pada pengguna NSAID memberi kesan dokter
tidak memperhatikan perubahan tekanan darah yang diakui halus meskipun cukup
untuk meningkatkan risiko.

Mirip dengan hasil saat ini, penelitian sebelumnya melaporkan peningkatan hingga 7
mmHg pada tekanan darah pada pasien yang stabil dengan antagonis beta-adrenergik
dan telah memulai terapi NSAID. Menariknya, dalam penelitian ini, peningkatan tekanan
darah yang terkait dengan NSAID paling tinggi pada pasien yang diberi resep antagonis
beta-adrenergik dibandingkan dengan obat antihipertensi lainnya. Alasan untuk variasi
tekanan darah di antara antihipertensi ini dapat dikaitkan dengan tingkat
penghambatan prostaglandin (PG) dan perbedaan di antara obat-obatan ini dalam
mekanisme antihipertensinya. Mekanisme yang diusulkan untuk menjelaskan efek ini
dengan antagonis beta-adrenergik adalah bahwa penghambatan PG oleh NSAID dapat
meningkatkan sensitivitas terhadap efek vasokonstriktor dari stimulasi sistem saraf
simpatik. Memblokir reseptor beta meningkatkan sensitivitas ini terhadap sistem saraf
simpatis alfa, yang mengakibatkan hilangnya efek penurunan tekanan darah dari
antagonis beta-adrenergik. Selanjutnya, beberapa antagonis beta-adrenergik
mengurangi laju filtrasi glomerulus. Dalam jangka panjang, hal ini dapat meningkatkan
sensitivitas terhadap peningkatan tekanan darah oleh NSAID. Efek ini memiliki implikasi
penting bagi pasien dengan gagal jantung dan hipertensi yang telah diresepkan
antagonis beta-adrenergik.
Peningkatan tekanan darah yang diamati dengan NSAID pada pengguna ACE-I
setuju dengan penelitian sebelumnya yang melaporkan peningkatan 5 sampai 10 mmHg
pada tekanan darah sistolik. Penghambatan PG oleh NSAID disebutkan sebagai
mekanisme yang menjelaskan hilangnya efek penurunan tekanan darah dari ACE-I.
Karena PG memediasi efek antihipertensi ACE-I setidaknya sebagian, penghambatan PG
oleh NSAID dapat mengganggu kontrol tekanan darah yang dicapai oleh ACE-I.
Mirip dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini tidak menemukan efek NSAID
pada tekanan darah pada pasien yang menggunakan diuretik. Pedoman hipertensi saat
ini merekomendasikan memulai pasien dengan diuretik thiazide karena dikaitkan
dengan hasil klinis yang lebih baik dan tingkat kematian yang lebih rendah daripada obat
antihipertensi lainnya. Selain itu, diuretik seringkali lebih murah daripada obat
antihipertensi lainnya. Tidak adanya efek NSAID merupakan penguatan lebih lanjut
untuk penggunaan diuretik untuk mengontrol tekanan darah pada pasien yang
menggunakan NSAID.
Penelitian ini memiliki keterbatasan yang harus dipertimbangkan ketika
menginterpretasikan hasil. Pasien yang termasuk dalam penelitian ini berasal dari satu
sistem kesehatan dan mungkin tidak mewakili praktik lain. Oleh karena itu, penelitian ini
harus direplikasi dalam pengaturan klinis lainnya. Bias merupakan ancaman terhadap
validitas hasil ini terutama ketika membandingkan kelompok NSAID dan asetaminofen.
Acetaminophen memiliki efek pressor ringan yang mungkin telah mengurangi efek
relatif dari NSAID. Meskipun demikian, acetaminophen sering digunakan sebagai
alternatif untuk NSAID dan oleh karena itu dipercaya itu adalah pembanding non-NSAID
yang masuk akal. Kesimpulannya, dibandingkan dengan acetaminophen, insiden
penggunaan NSAID (terutama ibuprofen) dikaitkan dengan sedikit peningkatan tekanan
darah sistolik pada pasien hipertensi. Efek pada pasien yang diresepkan diuretik atau
beberapa antihipertensi dapat diabaikan.
Jadi, ada kemungkinan obat yang akan diresepkan dokter adalah asetaminofen
atau NSAID dengan obat antihipertensinya adalah jenis diuretik karena memiliki efek
yang lebih rendah dibandingkan kombinasi obat lainnya.

6. Efek samping ACEI yang dapat muncul meliputi pusing, sakit kepala, diare, hiperkalemia,
rash, batuk-batuk (lebih kurang dibanding ACE-inhibitor), abnormal taste sensation
(metallic taste). Efek samping beta bloker meliputi kelelahan, insomnia, halusinasi,
menurunkan libido dan menyebabkan impotensi. Efek samping CCB yang mungkin
timbul adalah pusing, bradikardi, flushing, sakit kepala, peningkatan SGOP dan SGPT,
dan gatal gatal juga pernah dilaporkan. Efek samping yang mungkin timbul dari thiazide
diuretik meliputi peningkatan asam urat, gula darah, gangguan profil lipid dan
hiponatremia.

7. Kontrol teratur Bu Salma diperlukan untuk memantau hipertensi beliau. Tujuan umum
pengobatan hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan morbiditas yang
berhubungan dengan hipertensi. Target penurunan tekanan darah berdasarkan JNC VIII
dibagi menjadi dua kelompok yaitu <150/90 mmHg pada kelompok usia ≥60 tahun dan
<140/90mmHg pada kelompok usia <60 tahun. Selain itu, dengan kontrol teratur, dokter
dapat mempertimbangkan bagaimana tatalaksana yang sebaiknya diberikan kepada Bu
Salma. Pengobatan hipertensi primer terbagi menjadi dua yaitu nonfarmakologi dan
farmakologi. Terapi nonfarmakologi meliputi pengurangan berat badan untuk individu
yang obes atau gemuk, mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop
Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium, diet rendah natrium, aktifitas fisik
dan mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Terapi farmakologi dengan menggunakan obat-
obatan antihipertensi yang dapat dimulai dengan satu obat atau kombinasi obat.

8. Kriteria penulisan resep yang benar atau rasional adalah 4T + 1W (tepat pilihan obat,
tepat dosis, tepat bentuk sediaan obat, tepat penderita, waspada efek samping).

9. Dosis obat adalah jumlah obat yang diberikan kepada penderita dalam satuan berat
(gram, milli gram, mikrogram) atau satuan isi (liter, mililiter) atau unit-unit lainnya (unit
internasional). Kecuali bila dinyatakan lain maka yang dimaksud dengan dosis obat yaitu
sejumlah obat yang memberikan efek terapeutik pada penderita dewasa, juga disebut
dosis lazim atau dosis medicinalis atau dosis terapeutik. Bila dosis obat yang diberikan
melebihi dosis terapeutik terutama obat yang tergolong racun ada kemungkinan terjadi
keracunan, dinyatakan sebagai dosis toksik. Dosis toksik ini dapat sampai
mengakibatkan kematian disebut sebagai dosis letal. Obat-obat tertentu memerlukan
dosis permulaan (inisial dose) atau dosis awal (loading dose) yang lebih tinggi dari dosis
pemeliharaan (maintenance dose). Dengan memberikan dosis permulaan yang lebih
tinggi dari dosis pemeliharaan (misalnya dua kali), kadar obat yang dikehendaki dalam
darah dapat dicapai lebih awal. Hal ini dilakukan antara lain pada pemberian oral
preparat sulfa (sulfasoxasol, Trisulfa pyrimidin), diberikan dosis permulaan 2 gram dan
diikuti dengan dosis pemeliharaan 1 gram tiap 6 jam waktu berikutnya.

a. Dosis Terapi adalah dosis yang diberikan dalam keadaan biasa dan dapat
menyembuhkan orang sakit.
b. Dosis Maksimum merupakan batas dosis yang relatif masih aman yang diberikan
kepada penderita. Dosis terbesar yang dapat diberikan kepada orang dewasa untuk
pemakaian sekali dan sehari.
c. Dosis Toksik adalah dosis yang diberikan melebihi dosis terapeutik, sehingga dapat
menyebabkan terjadinya keracunan obat
d. Dosis Letal (Lethal dose) yaitu dosis atau jumlah obat yang dapat mematikan bila
dikonsumsi. Bila mencapai dosis ini orang yang mengkonsumsi akan mengalami
kelebihan dosis (Over dose)
e. Initial Dose merupakan dosis permulaan yang diberikan pada penderita dengan
konsentrasi/kadar obat dalam darah dapat dicapai lebih awal.
f. Loading Dose adalah dosis obat untuk memulai terapi, sehingga dapat mencapai
konsentrasi terapeutik dalam cairan tubuh yang menghasilkan efek klinis.
g. Maintenance Dose adalah dosis obat yang diperlukan untuk memelihara dan
mempertahankan efek klinik atau konsentrasi terapeutik obat yang sesuai dengan
regimen dosis. Diberikan dalam tiap obat untuk menggantikan jumlah obat yang
dieliminasi dari dosis sebelumnya. Penghitungan dosis pemeliharaan yang tepat dapat
mempertahankan suatu keadaan stabil konsentrasi obat di dalam tubuh.

Dosis Maksimum. Kecuali dinyatakan lain, dosis maksimum adalah dosis


maksimum dewasa (20-60 tahun) untuk pemakaian melalui mulut, injeksi sub kutan dan
rektal. Untuk orang lanjut usia karena keadaan fisik sudah mulai menurun, pemberian
dosis obat harus lebih kecil dari dosis maksimum.
Dosis maksimum gabungan (DM sinergis) Jika dalam satu resep terdapat dua
atau lebih zat aktif (bahan obat) yang kerjanya pada reseptor atau tempat yang sama
maka jumlah obat yang digunakan tidak boleh melampaui jumlah dosis obat-obat yang
berefek sama tersebut, baik sekali pemakaian ataupun dalam pemberian dosis harian.
Contoh obat yang memiliki efek yang sama - Atropin sulfat dengan ekstrak belladoina -
Pulvis opii dengan pulvis overi - Kofein dan aminofilin - Arsen trioxida dan Natrii arsenas.
CARA-CARA MENGHITUNG DOSIS OBAT UNTUK ANAK
1. Didasarkan perbandingan dengan dosis obat untuk orang dewasa (tidak dapat
diperlukan bagi semua obat)
a. Menurut perbandingan umur (dibandingkan dengan umur orang dewasa 20-
24 tahun) seringkali kurang tepat
b. Menurut perbandingan berat badan (dibandingkan dengan berat badan orang
dewasa 70kg)
c. Menurut perbandingan Luas Permukaan Tubuh (LPT) (dibandingkan dengan
LPT dewasa 1,73 m2)
2. Didasarkan atas ukuran fisik anak secara individual. Dasar ini dipergunakan
bagi banyak jenis obat. Perhitungan dosis secara individual ini lebih baik daripada
perhitungan/perbandingan dengan dosis dewasa. Ada dua cara untuk menghitung dosis
individual untuk anak, yaitu:
a. Sesuai dengan berat badan anak dalam Kg.
b. Sesuai dengan LPT anak dalam m2 (LPT anak dapat diperhitungkan dari tinggi
dan berat badan anak menurut rumus Du Bois & Du Bois atau dapat dilihat pada
Nomogram Du Bois & Du Bois (lihat Nomogram)
c. memakai rumus R.O.Mosteller

10.
11. Sintesis dan screening molekul  Sintesis dan screening molekul, merupakan tahap
awal dari rangkaian penemuan suatu obat. Pada tahap ini berbagai molekul atau
senyawa yang berpotensi sebagai obat disintesis, dimodifikasi atau bahkan direkayasa
untuk mendapatkan senyawa atau molekul obat yang diinginkan. Oleh karena penelitian
obat biasanya ditargetkan untuk suatu daerah terapetik yang khas, potensi relatif pada
produk saingan dan bentuk sediaan untuk manusia bisa diketahui. Serupa dengan hal
tersebut, ahli kimia medisinal mungkin mendalami kelemahan molekul tersebut sebagai
hasil usaha untuk mensintesis senyawa tersebut.
Pengembangan bahan obat diawali dengan sintesis atau isolasi dari berbagai
sumber yaitu dari tanaman (glikosida jantung untuk mengobati lemah jantung), jaringan
hewan (heparin untuk mencegah pembekuan darah), kultur mikroba (penisilin G sebagai
antibiotik pertama), dan dengan teknik bioteknologi dihasilkan human insulin untuk
menangani penyakit diabetes.
Dengan mempelajari hubungan struktur obat dan aktivitasnya maka pencarian
zat baru lebih terarah dan memunculkan ilmu baru yaitu kimia medisinal dan
farmakologi molekular. Setelah diperoleh bahan calon obat, maka selanjutnya calon
obat tersebut akanmelalui serangkaian uji yang memakan waktu yang panjang dan biaya
yang tidak sedikit sebelum diresmikan sebagai obat oleh Badan pemberi izin.
Selain itu, penelusuran literatur juga harus dilakukan untuk memberikan
pengertian tentang mekanisme pelapukan yang mungkin terjadi dan kondisi-kondisi
yang dapat meningkatkan peruraian obat. Informasi ini dapat menyarankan suatu cara
stabilisasi, kunci uji stabilitas atau senyawa acuan stabilitas. Informasi tentang cara atau
metode yang diusulkan dari pemberian obat, seperti juga melihat kembali literatur
tentang formulasi, bioavaibilitas, dan farmakokinetika dari obat-obat yang serupa,
seringkali berguna bila menentukan bagaimana mengoptimumkan bioavaibilitas suatu
kandidat obat baru. Jika suatu senyawa atau molekul aktif telah dibuktikan secara
farmakologis, maka senyawa tersebut selanjutnya memasuki tahap pengembangan
dalam bentuk molekul optimumnya.

12. Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini diperoleh informasi
tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan toksisitas calon obat. Pada
mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian ikatan obat pada reseptor
dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya dipandang perlumenguji
pada hewan utuh.
Hewan yang baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci,
marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan primata, hewan-hewan ini
sangat berjasa bagi pengembangan obat.
Pada tahap ini sering kali dilakukan pengujian yang melibatkan teratogenitas,
mutagenesis dan karsinogenitas, di samping pemeriksaan LD50, toksisitas akut dan
kronik. Dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil
farmakokinetik dan toksisitas calon obat.
Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian ikatan obat
pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya dipandang
perlu menguji pada hewan utuh. Hewan-hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan
obat. Karena hanya dengan menggunakan hewan utuh dapat diketahui apakah obat
menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan atau tidak.
Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi:
a. Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis
b. Kerusakan genetik (genotoksisitas atau mutagensis)
c. Pertumbuhan tumor (onkogenesis atau karsinogenesis)
d. Kejadian cacat waktu lahir (teratogenik)
Selain toksisitasnya, uji pada hewan dapat mempelajari sifat farmakokinetika
obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Semua hasil pengamatan
pada hewan tersebut menentukan apakah calon obat tersebut dapat diteruskan dengan
uji pada manusia atau tidak. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi
farmasi dalam pembuatan formula obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat
yang akan diuji pada manusia.
Di samping uji pada hewan untuk mengurangi penggunaan hewan percobaan
telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk menentukan khasiat obat contonya
uji aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell line, uji antimikroba pada
pembenihan mikroba, uji antioksidan dengan DPPH, uji antiinflamasi, dll untuk
menggantikan uji khasiat pada hewan. Akan tetapi belum semua uji dapat dilakukan
secara in vitro.
Uji toksisitas sampai saat ini masih tetap dilakukan pada hewan percobaan,
belum ada metode lain yang menjamin hasil yang dapat menggambarkan toksisitas pada
manusia. Di samping itu, uji pada hewan percobaan ini juga dirancang dengan perhatian
khusus pada kemungkinan pengujian obat itu lebih lanjut pada manusia atau uji klinis.
Oleh karenanya, pada uji pra-klinis ini dirancang dengan pertimbangan:
a. Lamanya pemberian obat itu menurut dugaan lepada manusia
b. Kelompok umur dan kondisi fisik manusia yang dituju dengan pertimbangan
khusus untuk anak-anak, wanita hamil atau orang usia lanjut.
c. Efek obat menurut dugaan pada manusia.
Setelah melewati uji pra klinis, maka senyawa atau molekul kandidat calon obat
tersebut menjadi IND (Investigasional New Drug) atau obat baru dalam penelitian.
Setelah calon obat dinayatakan mempunyai kemanfaatan danaman pada hewan
percobaan maka selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik).

13. Uji klinik terdiri dari 4 fase yaitu:


Fase I  Calon obat diuji pada sukarelawan sehat untuk mengetahui apakah sifat yang
diamati pada hewan percobaan juga terlihat pada manusia. Pada fase ini ditentukan
hubungan dosis dengan efek yang ditimbulkannya dan profil farmakokinetik obat pada
manusia.
Fase II  Calon obat diuji pada pasien tertentu diamati efikasi pada penyakit yang
diobati. Yang diharapkan dari obat adalah mempunyai efek yang potensial dengan efek
samping rendah atau tidak toksik. Pada fase ini mulai dilakukan pengembangan dan uji
stabilitas bentuk sediaan obat.
Fase III  Melibatkan kelompok besar pasien. Di sini obat baru dibandingkan efek dan
keamanannya terhadap obat pembanding yang sudah diketahui.
Fase IV  Setelah obat dipasarkan masih dilakukan studi pasca pemasaran (post
marketing surveillance) yang diamati pada pasien dengan berbagai kondisi, berbagai
usia dan ras. Studi ini dilakukan dalam jangka panjang untuk melihat terapetik dan
pengalaman jangka panjang dalam menggunakan obat.

14. Setelah hasil studi IV dievaluasi masih memungkinkan obat ditarik dari perdagangan jika
membahayakan. Sebagai contoh cerivastatin (suatu antihiperkolesterolemia yag dapat
merusak ginjal), entero-vioform (kliokuinol suatu anti-disentri amuba yang pada orang
Jepang bisa menyebabkan kelumpuhan pada otot mata), fenil pranol amin/PPA yang
sering terdapat pada obat flu harus diturunkan dosisnya dari 25 mg menjadi tidak lebih
dari 15 mg karena dapat meningkatkan tekanan darah dan 18 kontraksi jantung,
triglitazon (antidiabetes yang bisa merusak hati), dan Viox (rofecoxib) yang bisa merusak
jantung.
Penemuan obat baru chemotheraupetica (New Chemical Entity/NCE) saat ini
cenderung mengalami penurunan karena diberlakukannya syarat yang sangat ketat
untuk dapat diterima, diregistrasi dan diizinkan beredar sebagai obat. Hal ini berlaku di
negara-negara Eropa, AS dan negara maju lainnya. Persyaratan ketat ini memerlukan
penelitian farmakologi dan kemanan yang jauh lebih luas dan dengan sendirinya
memerlukan biaya yang sangat tinggi. Jangka penemuan obat baru sejak awal
ditemukan suatu bahan kimia harus sampai menjadi obat baru yang diizinkan beredar
memerlukan waktu 10-12 tahun dan biaya peneltian lebih kurang USD 350-800 juta.
Semula uji klinik banyak senyawa calon obat dinyatakan tidak dapat digunakan.
Akhirnya obat baru hanya lolos satu atau lebih kurang 10.000 senyawa yang disintesis
karena risikonya lebih besar dari manfaatnya atau kemanfaatnnya lebih kecil dari obat
yang sudah ada. Keputusan untuk mengakui obat baru dilakukan oleh badan pengatur
nasional di Indonesia oleh BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), di AS adalah
FDA (Food and Drug Administration), di Kanada oleh Health Canada, di Inggris oleh
MHRA (Medicine and Healthcare Product Regulatory Agency), di negara Eropa lain oleh
EMEA (European Agency for the Evaluation of Medicinal Product) dan di Australia oleh
TGA (Therapeutics Good Administration). Untuk dapat dinilai oleh badan tersebut,
industri pengusul harus menyerahkan data dokumen uji praklinik dan klinik yang sesuai
dengan indikasi yang diajukan, efikasi dan keamanannya harus sudah ditentukan dari
bentuk produknya (tablet, kapsul, dll) yang telah memenuhi persyaratan produk melalui
kontrol kualitas.

15. Interaksi Thalidomide dengan Obat Lain:


 Menurunkan jumlah ketiga sel darah (sel darah merah, sel darah putih, dan
trombosit), jika digunakan bersamaan dengan interferon.
 Meningkatnya efek samping obat barbiturat dan chlorpromazine, antara lain
nyeri otot, sendi, atau tulang, serta tidak nafsu makan.
 Meningkatnya risiko penggumpalan darah, jika digunakan dengan
axitinib, bleomycin, doxorubicin, prednison, tamoxifen, vincristine, dan raloxifen.
 Meningkatnya efek kantuk, jika digunakan diphenhydramine, diazepam,
zolpidem, codeine, risperidone, dan amitriptyline.

Efek Samping dan Bahaya Thalidomide


Thalidomide dapat menyebabkan efek samping yang bersifat ringan. Beberapa
efek samping yang dapat muncul akibat penggunaan thalidomide adalah:
 Gejala neuropati perifer, Sakit kepala.
 Mual, Konstipasi, Sakit maag.
 Tidak nafsu makan, Kulit kering, Gelisah.
 Nyeri di bagian tulang, otot, dan persendian.
Thalidomide juga dapat menyebabkan efek samping lain, seperti tremor, sesak
napas, detak jantung meningkat atau melambat, dan muntah yang disertai bercak
darah.
16. Efek obat terhadap tubuh yang dipelajari di farmakologi klinik adalah farmakokinetik
dan farmakodinamik. Farmakokinetik adalah tentang perjalanan obat mulai sejak
diminum hingga keluar melalui organ ekskresi di tubuh manusia. Fase-fase
farmakokinetik secara umum terbagi menjadi Adsoprsi, Distribusi, Metabolisme, dan
Ekstensi. Farmakodinamik adalah efek biokimiawi, fisiologi obat serta mekanisme
kerjanya terhadap tubuh.

17. Kesehatan adalah hak asasi manusia. UUD 1945 menjamin bahwa setiap penduduk
Indonesia berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal sesuai dengan
kebutuhan, tanpa memandang kemampuan membayar. Sebagai anggota dari komunitas
peradaban dunia, Indonesia juga memiliki tanggung jawab untuk mencapai target
Millennium Development Goals (MDGs) 2000–2015. Komitmen pencapaian MDGs ini
telah dituangkan dalam berbagai target Rencana Strategis Kementerian Kesehatan
periode 2010–2014.
Dengan pencapaian target MDGs, diharapkan terjadi peningkatan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Tetapi, sampai saat ini Indonesia masih
terbelit berbagai masalah di bidang yang strategis tersebut. Jumlah penduduk miskin
dengan status kesehatan yang rendah masih sangat besar dan tekanan beban ganda
penyakit semakin berat dengan meningkatnya prevalensi penyakit degeneratif di tengah
insidensi penyakit infeksi yang masih tinggi. Dengan masuknya berbagai teknologi baru
yang umumnya lebih mahal, membuat biaya pelayanan kesehatan terus meningkat. Di
sisi lain, anggaran kesehatan yang tersedia masih terbatas dan belum memadai.
Peningkatan biaya pelayanan kesehatan yang tidak dapat diimbangi dengan
peningkatan anggaran tersebut membuat pencapaian target MDGs, bahkan upaya
pembangunan kesehatan secara umum, menghadapi kendala. Untuk mengatasi hal ini,
perlu dilakukan reformasi di bidang kesehatan, termasuk reformasi pembiayaan
kesehatan.
Reformasi Kesehatan Masyarakat sebagai salah satu prioritas nasional dijabarkan
dalam beberapa area perubahan yang antara lain meliputi pembiayaan untuk
pemenuhan kebutuhan dasar pelayanan medis dan penyelenggaraan pelayanan
kesehatan dasar promotif dan preventif; penyediaan obat esensial KIA/KB, malaria,
tuberkulosis, HIV/AIDS, dan penyakit lainnya; serta penyediaan sumberdaya kesehatan
untuk pelayanan kesehatan dasar. Titik tolak reformasi kesehatan yang dilakukan secara
terpadu tersebut adalah untuk meniadakan, atau setidaknya mempersempit, disparitas
derajat kesehatan di antara berbagai kelompok masyarakat.
Ruang lingkup Reformasi Kesehatan Masyarakat mencakup antara lain
penyusunan kebijakan strategis dan perencanaan berbasis bukti yang dapat menjamin
terlaksananya alokasi sumber daya yang efektif. Untuk itu, perlu dilakukan upaya
peningkatan efisiensi guna mencapai efektivitas-biaya (cost-effectiveness) setinggi
mungkin, yang ditunjukkan dengan perolehan hasil terbaik dengan biaya terendah.
Guna mencapai hasil terbaik dengan biaya terendah ini perlu digunakan kaidah
farmakoekonomi sebagai alat bantu. Dalam penyusunan Daftar Obat Esensial Nasional
(DOEN) atau Formularium Rumah Sakit, misalnya untuk pemilihan jenis obat yang akan
dimasukkan ke dalamnya perlu dilakukan pembandingan efektivitas terapi, termasuk
frekuensi manfaat dan efek samping yang tidak diinginkan dari dua atau lebih obat yang
berbeda, sekaligus biaya (dalam unit moneter) yang diperlukan untuk satu periode
terapi dari masing-masing obat tersebut. Dalam hal ini, biaya obat untuk satu periode
terapi adalah banyaknya rupiah yang harus dikeluarkan untuk pembelian obat atau
pembayaran perawatan kesehatan sampai seorang pasien mencapai kesembuhan.
Dengan demikian, pemilihan obat tidak hanya didasarkan pada harga per satuan
kemasan.
Dalam sistem jaminan kesehatan masyarakat yang berlaku di Indonesia saat ini,
Jamkesmas dan/atau Jamkesda, proporsi biaya obat dialokasikan maksimal 30% dari
biaya perawatan kesehatan. Kenyataannya, konsumsi obat nasional mencapai 40% dari
belanja kesehatan secara keseluruhan dan merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.
Karena itu, peningkatan efektivitas-biaya obat, bahkan di tingkat pemerintah
daerah atau tingkat lokal rumah sakit, pada ujungnya akan memberikan dampak yang
berarti terhadap efisiensi biaya perawatan kesehatan nasional. Dan, dengan
menerapkan peningkatan efektivitasbiaya dan upaya lain berdasarkan kaidah
farmakoekonomi pada penetapan kebijakan kesehatan secara menyeluruh, peningkatan
efisiensi biaya perawatan kesehatan nasional yang dicapai akan maksimal.
Farmakoekonomi ini disusun terutama untuk membantu para pengambil
kebijakan baik di tingkat Pusat (Kementerian Kesehatan), Daerah (Provinsi dan
Kabupaten/Kota) maupun fasilitas pelayanan (Rumah Sakit) serta instansi yang terkait
pelayanan kesehatan, termasuk asuransi kesehatan lainnya, dalam memilih obat yang
secara obyektif memiliki efektivitas-biaya paling tinggi. Contoh-contoh perhitungan yang
diberikan terutama menampilkan analisis yang terkait dengan biaya obat. Namun
demikian, pedoman yang merupakan bagian dari Penilaian Teknologi Kesehatan (PTK—
Health Technology Assessment, HTA) ini dapat juga digunakan sebagai salah satu
pedoman untuk melakukan analisis ekonomi yang lebih luas, hingga mencakup
teknologi kesehatan secara keseluruhan, dan dengan metode yang lebih dari sekadar
efektivitas biaya.

18. Perkembangan ilmu kedokteran dengan pemberian obat berjalan beriringan, seiring
diidentifikasi dan diklasifikasikannya penyakit baru, berbagai obat akan dikembangkan
untuk mengatasinya. Dengan munculnya inovasi baru dari berbagai penelitian yang
dilakukan, berbagai obat dapat diperbaharui atau dikombinasikan atau diolah agar
menyesuaikan dengan patofisiologi penyakit-penyakit tersebut.

Anda mungkin juga menyukai