Anda di halaman 1dari 17

1.

Ginjal
A. Definisi

Gagal ginjal adalah hilangnya fungsi ginjal. Karena ginjal memiliki peran
vital dalam mempertahankan homeotastis, maka gagal ginjal menyebabkan efek
sistemik multipel. Dengan demikian, gagal ginjal harus diobati secara agresif.
Gagal ginjal yang terjadi secara mendadak disebut gagal ginjal akut. Gagal
ginjal akut biasanya reversibel. Gagal ginjal yang berkaitan dengan menurunnya
fungsi ginjal secara progresif ireversibel disebut gagal ginjal kronik. Gagal ginjal
kronik biasanya timbul beberapa tahun setelah penyakit atau kerusakan ginjal,
tetapi pada situasi tertentu dapat muncul secara mendadak. Gagal ginjal kronik
akhirnya menyebabkan dialysis ginjal, transplantasi, atau kematian (Corwin,
1997).

B. Fungsi

1). Ekskresi bahan yang tidak diperlukan

Ekskresi produk buangan meliputi produk sampingan dari metabolisme


karbohidrat (misalnya: air, asam) dan metabolisme protein (urea, asam urat dan
kreatinin), bersama dengan bahan yang jumlahnya melebihi kebutuhan tubuh
(misalnya air).
2). Pengaturan homeostatis

Ginjal berperan penting dan secara aktif mempertahankan keseimbangan


ionik, osmotik, pH, asam-basa, keseimbangan cairan dan elektrolit yang paling
tepat di seluruh bagian tubuh.
3). Biosintesa dan metabolisme hormon

Hal ini meliputi biosintesa (misalnya, renin, aldosteron, erythropoietin dan


1,25-dihidroksi vitamin D) serta metabolisme hormon (misalnya insulin, steroid,
dan hormon-hormon tiroid). Oleh karena itu ginjal terlibat dalam pengaturan
tekanan darah, metabolisme kalsium dan tulang serta eritropoiesis (Kenward dan
Tan, 2003).
C. Klasifikasi

1. Gagal ginjal akut

Gagal ginjal akut ditandai dengan gejala yang timbul secara tiba-tiba dan
penurunan secara cepat volume urin. Laju filtrasi glomerulus dapat secara tiba-
tiba menurun sampai di bawah 15 ml/menit. Gagal ginjal akut akan mengakibatkan
peningkatan kadar serum urea, kreatinin dan bahan-bahan yang lain. Walaupun
sering bersifat reversibel, tetapi secara umum mortalitasnya tinggi (Kenward dan
Tan, 2003).
2. Gagal ginjal kronis

Gagal ginjal kronis ditandai dengan berkurangnya fungsi ginjal secara


perlahan, berkelanjutan, tersembunyi, serta bersifat irreversibel. Baik pada gagal
ginjal akut maupun kronis, terjadi penurunan atau kehilangan fungsi pada seluruh
nefron (Kenward dan Tan, 2003).

D. Gejala klinis

1) Gagal ginjal akut

Tanda-tanda dan gejala klinis sering tersamar dan tidak spesifik, walaupun
hasil pemeriksaaan biokimiawi serum selalu menunjukkan ketidaknormalan.
Gambaran klinis dapat meliputi perubahan volume urine (oliguria, polyuria),
kelainan neurologist (lemah, letih, gangguan mental), gangguan pada kulit
(misalnya gatal–gatal, pigmentasi, pallor), tanda pada kardiopulmoner (misalnya
sesak, pericarditis), dan gejala pada saluran cerna (mual, nafsu makan menurun,
muntah) (Kenward dan Tan, 2003).
2) Gagal ginjal kronis

Tanda–tanda dan gejala gagal ginjal kronis meliputi nokturia, edema,


anemia (ironresistant, normochromic, normocytic), gangguan elektrolit, hipertensi,
penyakit tulang (renal osteodystrophy), perubahan neurologist (misalnya lethargia,
gangguan mental), gangguan fungsi otot (misalnya kram otot, kaki pegal) dan
uraemia (misalnya nafsu makan berkurang, mual, muntah, pruritus). Istilah
‘uraemia’ (urea dalam darah) yang menggambarkan kadar urea darah yang tinggi,
sering digunakan sebagai kata lain untuk gagal ginjal akut maupun kronis
(Kenward dan Tan, 2003
E. Patogenesis

1. Gagal ginjal akut

Penyebab gagal ginjal akut dapat dibagi menjadi pre-renal, renal dan post-
renal:
a) Penyebab pre-renal

Misalnya septicaemia, hypovolaemia, cardiogenic shock, hipotensi akibat


obat.

b) Penyebab renal
Misalnya glomerulonephritis, myoglobinuria, interstitial nephritis akut, gejala uraemia
hemolitik, obstruksi intrarenal, obat yang bersifat nephrotoksik, hipertensi yang makin
meningkat (accelerated hypertemtion).
c) Penyebab post-renal

Misalnya, obstruksi saluran kemih akibat hipertrofi prostate, batu ginjal dan
batu pada saluran kemih, tumor pada saluran ginjal, penggumpalan darah
(Kenward dan Tan, 2003).
2. Gagal ginjal kronis

Penyebab umum meliputi: glomerulonephritis kronis, diabetic


nephropathy, hipertensi, penyakit renovaskuler, interstinal nephritis kronis,
penyakit ginjal keturunan, penyempitan saluran kemih berkepanjangan (Kenward
dan Tan, 2003).
F. Diagnosis

Penilaian terhadap fungsi ginjal dilakukan dengan uji fungsi ginjal. Uji
fungsi ginjal hanya menggambarkan penyakit ginjal secara kasar atau garis besar
saja, dan lebih dari setengah bagian ginjal harus mengalami kerusakan sebelum
terlihat nyata adanya gangguan pada ginjal.

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk memperkirakan fungsi


ginjal dan menunjukkan apakah ada penyakit ginjal jenis apa pun ini meliputi
d) Penyebab post-renal

Misalnya, obstruksi saluran kemih akibat hipertrofi prostate, batu ginjal dan
batu pada saluran kemih, tumor pada saluran ginjal, penggumpalan darah
(Kenward dan Tan, 2003).

3. Gagal ginjal kronis


Penyebab umum meliputi: glomerulonephritis kronis, diabetic
nephropathy, hipertensi, penyakit renovaskuler, interstinal nephritis kronis,
penyakit ginjal keturunan, penyempitan saluran kemih berkepanjangan (Kenward
dan Tan, 2003).

G. Diagnosis

Penilaian terhadap fungsi ginjal dilakukan dengan uji fungsi ginjal. Uji
fungsi ginjal hanya menggambarkan penyakit ginjal secara kasar atau garis besar
saja, dan lebih dari setengah bagian ginjal harus mengalami kerusakan sebelum
terlihat nyata adanya gangguan pada ginjal.
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal
dan menunjukkan apakah ada penyakit ginjal jenis apa pun ini meliputi :

1. Kreatinin Serum (KS )


Kreatinin serum merupakan produk sampingan dari metabolisme otot
rangka normal. Laju produksinya bersifat tetap dan sebanding dengan jumlah
massa otot tubuh. Kreatinin diekskresi terutama oleh filtrasi glomeruler dengan
sejumlah kecil yang diekskresi atau reabsorpsi oleh tubulus. Bila massa otot tetap,
maka adanya perubahan pada kreatinin mencerminkan perubahan pada klirensnya
melalui filtrasi, sehingga dapat dijadikan indikator fungsi ginjal. Nilai kreatinin
serum yang normal berbeda menurut jenis kelamin, usia, dan ukuran. Kadar
kreatinin serum hanya berguna bila diukur pada kadar tunak (steady state) perlu
sekitar 7 hari (Kenward dan Tan, 2003).

2. Klirens kreatinin ( Klkr )

Dalam keadaan normal, kreatinin tidak diekskresi atau direabsorpsi oleh


tubulus ginjal dalam jumlah yang bermakna. Oleh karena itu ekskresi terutama
ditentukan oleh filtrasi glomeruler, sehingga laju filtrasi glomeruler (LFG) dapat
diperkirakan melalui penentuan kliren kreatinin endogen. Ketepatan klirens
kreatinin sebagai ukuran dari laju filtrasi glomeruler menjadi terbatas pada
gangguan ginjal.

Walaupun demikian, secara umum uji klirens kreatinin masih merupakan


uji fungsi ginjal yang terpilih.
Pengukuran klirens kreatinin penderita yaitu melalui:

Nilai kreatinin serum yang normal berbeda menurut jenis kelamin, usia, dan
ukuran. Kadar kreatinin serum hanya berguna bila diukur pada kadar tunak (steady
state) perlu sekitar 7 hari (Kenward dan Tan, 2003).
3. Klirens kreatinin ( Klkr )

Dalam keadaan normal, kreatinin tidak diekskresi atau direabsorpsi oleh


tubulus ginjal dalam jumlah yang bermakna. Oleh karena itu ekskresi terutama
ditentukan oleh filtrasi glomeruler, sehingga laju filtrasi glomeruler (LFG) dapat
diperkirakan melalui penentuan kliren kreatinin endogen. Ketepatan klirens
kreatinin sebagai ukuran dari laju filtrasi glomeruler menjadi terbatas pada
gangguan ginjal. Walaupun demikian, secara umum uji klirens kreatinin masih
merupakan uji fungsi ginjal yang terpilih.
Pengukuran klirens kreatinin penderita yaitu melalui:

a. Pengumpulan urin selama 24 jam

Merupakan metode yang paling tepat dalam pengukuran klirens kreatinin


penderita adalah melalui pengumpulan urin selama jangka waktu 24 jam dan
pengambilan cuplikan plasma di antara jangka waktu tersebut. Selanjutnya dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut :
UxV
Klkr = } ml/menit
S

U = kadar kreatinin urin (mikromol/liter) V = laju


aliran urin (ml/menit)
S = kadar kreatinin serum (mikromol/liter)
b. Rumus Cockroft dan Gault
Merupakan cara yang sangat berguna untuk memperkirakan kadar kreatinin
serum dan mencatat faktor yang mempengaruhi massa otot penderita (usia, jenis
kelamin dan berat badan) dan memungkinkan perkiraan klirens kreatinin dari data rata-
rata populasi.

Persamaan Cockroff dan Gault:

Pada pria:

(140 – umur)xBB(kg)
Klkr ( ml/menit) = xF
72xkreatininserum(mg / dl)
Pada wanita:

(140 – umur)xBB
Klkr ( ml/menit) = }x F
72xkreatininserum(mg / dl)

BB = berat badan
F = faktor perkalian yang besarnya untuk laki-laki = 1; untuk wanita = 0,85
(Woodley, 1995).

4. Urea

Urea disintesa dalam hati sebagai produk sampingan metabolisme makanan


dan protein endogen. Eliminasinya dalam urin menggambarkan rute ekskresi
utama nitrogen. Laju produksinya lebih beragam dibandingkan kreatinin. Urea
disaring oleh glomerulus dan sebagian direabsorpsi oleh tubulus. Kadar di atas 10
mmol/liter mungkin mencerminkan gangguan ginjal walaupun kecenderungan
dalam individu lebih penting dibandingkan dengan satu hasil pengukuran semata.
Urea adalah pengukuran yang kurang tepat menggambarkan fungsi ginjal tetapi
sering digunakan sebagai perkiraan kasar, karena dapat mermberikan informasi
mengenai keadaan umum penderita beserta tingkat hidrasinya (Kenward dan Tan,
2003).
H. Algorithma pengobatan pasien Chronic Kidney Disease (CKD)

Tekanan Darah >130/80 MMHG


Jika TD>15-20/10MMHG melebihi sasaran, kombinasi thp1 dan 2, Sasaran
tekanan darah=<130/80mmHg, atau<125/75mmHg untuk penderita proteinuria

TAHAP 1 Periksa Scr dan K selama 1 minggu.


Pertama berikan ACEI atau ARB Jika Scr atau K>30%, hentikan obatnya

TD tidak pada sasaran


(<130/80mmHg,atau<125/75mmHg untuk pasien proteinuria)
TAHAP 2
berikan diuretik

Algorithma pengobatan hipertensi pada pasien CKD dapat dilihat pada alur
algorithma di bawah ini (Gambar 1).
Jika CrCl•30ml/min,tambahkan diuretik Jika CrCl•30ml/min, tambahkan loop
thiazide diuretika

TD masih tidak berada pada sasaran

TAHAP 3
Berikan calcium channel blocker (CCB) yang lama kerjanya. Berikan ȕ-blocker dosis rendah sebagai
ganti CCB jika pasien angina, gagal hati atau arrhythmia mengharuskan untuk menggunakannya.

TD masih tidak berada pada sasaran

Denyut nadi •84 Denyut nadi <84

TAHAP 4 TAHAP 4
Berikan ȕ-blocker dosis rendah atau Į-ȕ blocker Berikan calcium channel blocker lain (misalnya
(jika sudah tidak digunakan lagi). NOTE:: dihydropyridine CCB jika nonhydropine
Penggunaan ȕ-blocker dan CCB digunakan). NOTE : Penggunaan ȕ-blocker dan
nondihydropiridine lebih baik dihindari dalam CCB nondihydropiridine lebih baik dihindari dalam
waktu yang lama dan pada kondisi tidak normal waktu yang lama dan pada kondisi tidak normal

TD masih tidak berada pada sasaran

TAHAP 5
Berikan Į-blocker yang lama kerjanya, Į-agonist, atau vasodilator. NOTE : Į-agonists sentral (misalnya
clonidin) tidak harus digunakan bersama ȕ-blocker pada kondisi bradycardia yang tinggi.

Gambar 1. Algorithma Hipertensi pada Pasien CKD (Dipiro et al., 2005


Algorithma pengobatan diabetik CKD dapat dilihat pada alur algorithma di
bawah ini (Gambar 2).

Hiperlipidemia Hipertensi

- Diet kolesterol Modifikasi gaya hidup per


- Mengurangi berat badan JNC VII
- Olahraga

Farmakologi zat rendah lipid Diabetes Dikurangi TD ” 130/85 atau


<125/75mmHg jika
>3g proteinuria dengan
ACEI

Diet protein 0,6g/kg/hari

Proteinuria Kontrol metabolik

UAE setahun sekali


Kontrol intensitas glicemik
(Sasaran : glukosa darah puasa
:normal 70-120mg/dl)
Mikroalbuminuria x 2 (30- Albuminuria x 1
300mg/hari) (>300mg/hari)

ITerapi ACEI (atau ARB) Injeksi insulin ganda Dilanjutkan infus insulin
atau
setiap hari SC dengan syring

Titrasi terapi untuk mendapat efek


maksimal UAE
Memperkecil hipoglikemia
- Memeriksa glukosa darah
sampai 4 kali perhari
Periksa serum K+,Cr, dan
UAE

Gambar 2. Algorithma Pengobatan Penyakit Ginjal Diabetik


(Diabetik CKD) (Dipiro et al., 2005
Algorithma pengobatan nondiabetik CKD dapat dilihat pada alur algorithma di
bawah ini (Gambar 3).
Nondiabetik individual

Mengatur nutrisi (mengurangi Mengatur tekanan darah Mengatur proteinuria


protein)

Scr 1,2-2,5mg/dl
GFR 25-55 mL/min
Hasil yang
diharapkan Protinurea 1-
3g/hari
TD<130/85mmHg
Scr<1,2mg/dl
Scr>2,5mg/dl Diatur TD dari
GFR >55ml / Modifikasi
GFR 13-24ml/min 125/75 mmHG
min gaya hidup
atau MAP/ARB <
per JNC VII
92
Lanjutkan dg Batasi dengan ACEIProteinuria
Proteinuria
menambah protein <1g/hari >3 g/hari
dengan hingga 0,6 -Mencapai TD
protein gm/kg/d rendah
-Seleksi
farmakologi di Diatur TD Diatur TD
bawah pada 130/85 pada 125/75
rekomendasi mmHG atau mmHg atau
JNC VII MAP/ARB MAP/ARB
<100 <92 dengan
Scr/GFR Tambahkan Scr ACEI
stabil dan/ atau kurangi
GFR
Berikan diuretik jika
pada laporan cairan
menunjukkan :
Lanjutkan dg Batasi protein
menambah sampai -CrCl<30mL/min
dengan 0,8gm/kg/hari loop diuretik loop
protein diuretik+thiazide
atau metolazon

Berikan ȕ-blocker,
clonidin, minoxidil,
atau Į-blocker

Gambar 3. Algorithma Pengobatan Penyakit Ginjal Nondiabetik


(Nondiabetik CKD) (Dipiro et al., 2005)
I. Efek volume distribusi, klirens terhadap konsentrasi obat dalam plasma

Volume distribusi dan klirens dapat berubah tanpa ada keterkaitan antar keduanya
(independen). Meskipun demikian pada beberapa status penyakit dapat mengubah
klirens dan volume distribusi. Terdapat beberapa kondisi yang dapat meningkatkan
atau menurunkan Vd. Volume distribusi dan obat-obat yang terdistribusi terutama
dalam air tubuh, akan meningkat pada pasien dengan kondisi yang dapat
mengakibatkan akumulasi cairan, misalnya gagal ginjal, gagal jantung kongestif,
gagal hati dengan asites, proses inflamasi. Sebaliknya dehidrasi akan menyebabkan
penurunan Vd obat. Obat yang sangat kuat terikat pada protein plasma misalnya
fenitoin, akan mempunyai Vd lebih besar apabila pada pasien gagal ginjal atau
pendesakan ikatan protein. Sebaliknya digoksin akan mempunyai Vd lebih kecil
pada pasien kegagalan ginjal, karena terjadi peningkatan fraksi obat bebas di dalam
jaringan. Perubahan dalam Vd secara langsung mempengaruhi konsentrasi obat
dalam plasma keadaan tunak. Apabila Vd menjadi lebih kecil 50%, maka
konsentrasi obat dalam plasma akan meningkat dua kalinya, sebagai tindak lanjut
dosis dikurangi setengahnya (Parfati dkk., 2003).
Perubahan aliran darah ke ginjal atau hati dapat mengakibatkan perubahan klirens.
Apabila Vd, dosis, interval dosis semuanya tetap, tetapi klirens menjadi lebih besar,
maka konsentrasi obat dalam plasma pada keadaan tunak menjadi lebih kecil,
selanjutnya koreksi dilakukan dengan meningkatkan dosis atau interval waktu
diperkecil. Sebaliknya apabila klirens lebih kecil, maka konsentrasi obat dalam plasma
pada keadaan tunak menjadi lebih besar, koreksi yang dilakukan adalah dosis
diperkecil atau interval diperpanjang, sesuai dengan persamaan di bawah ini :

Cl(GL)
Do(GL)= xDo(N )
Cl(N )

Atau apabila dosis tetap, interval waktu berubah :

Cl (N )
t(GL)= xt(N )
Cl(GL)
Keterangan :

Do(GL) = Dosis pada gagal ginjal

Do(N) = Dosis pada ginjal normal

Cl(GL) = Klirens pada gagal ginjal


Cl(N) = Klirens pada ginjal normal (Parfati dkk., 2003).

2. Rasionalitas Obat

Obat yang digunakan untuk mengobati penderita penyakit ginjal memiliki


karakteristik berikut:
a. Tidak menghasilkan metabolit aktif
b. Disposisi obat tidak dipengaruhi oleh perubahan keseimbangan cairan
c. Disposisi obat tidak dipengaruhi oleh perubahan ikatan protein
d. Respon obat tidak dipengaruhi oleh perubahan kepekaan jaringan
e. Mempunyai rentang terapi yang lebar
f. Tidak bersifat nefrotoksik
Obat yang terutama menyebabkan nefrotoksis meliputi: AINS,radiocontrast
media, kaptropril, siklosporin, aminoglikosida, sisplatin, analgesik non-narkotika
(misalnya asetaminofen, aspirin, ibuprofen), rifampisin, litium, simetidin.
Anjuran dosis didasarkan pada tingkat keparahan gangguan ginjal, yang
biasanya dinyatakan dalam istilah Laju Filtrasi Glomeruler (LFG). Perubahan
dosis yang paling sering dilakukan adalah dengan menurunkan dosis atau
memperpanjang interval pemberian obat, atau kombinasi keduanya (Kenward dan
Tan, 2003).
Masalah yang terkait dengan kerasionalitasan obat:
Anjuran dosis didasarkan pada tingkat keparahan gangguan ginjal, yang
biasanya dinyatakan dalam istilah Laju Filtrasi Glomeruler (LFG). Perubahan
dosis yang paling sering dilakukan adalah dengan menurunkan dosis atau
memperpanjang interval pemberian obat, atau kombinasi keduanya (Kenward dan
Tan, 2003).
Masalah yang terkait dengan kerasionalitasan obat:

a. Ketepatan pengobatan

Aturan pengobatan perlu dikaji untuk memastikan kesesuaiannya dengan


kondisi yang diobati.
b. Pentingnya pengobatan

Apakah pengobatan benar-benar diperlukan oleh pasien.

c. Ketepatan dosis
Menyangkut pedoman dosis (termasuk dosis maksimum dan minimum) dan
variabel pasien yang mempengaruhi dosis (termasuk tinggi, berat, usia, fungsi
ginjal dan hati, dan lain-lain).
d. Efektivitas pengobatan
Penilaian prospektif efektivitas aturan pengobatan akan mengidentifikasi
respons terhadap pengobatan dan efek samping terkait obat, yang mungkin diperlukan
penyesuaian dosis atau kajian pilihan obat.

e. Jangka waktu pengobatan

Beberapa terapi obat harus dilanjutkan untuk seumur hidup, sementara obat
yang lain perlu diberikan untuk suatu pengobatan jangka waktu tertentu.
f. Efek samping

Efek samping obat yang dapat diantisipasi perlu dicegah atau ditangani
dengan tepat. Efek samping yang tidak terduga perlu diidentifikasi dan dinilai
untuk memutuskan apakah pengobatan dapat dilanjutkan, harus dihentikan (dan
pengobatan alternatif diberikan) dan apakah pengobatan tambahan perlu
diresepkan untuk mengatasi efek samping obat.
g. Interaksi obat

Interaksi obat dapat termasuk: interaksi obat-penyakit, interaksi obat-obat,


interaksi obat-diet atau interaksi obat-uji laboratorium.
h. Kompatibilitas/ketercampuran obat

Masalah obat yang tidak tercampurkan (OTT) secara fisika maupun kimia
dapat muncul dengan akibat hilangnya potensi, meningkatnya toksisitas atau efek
samping yang lain (Kenward dan Tan, 2003).
i. Jangka waktu pengobatan

Beberapa terapi obat harus dilanjutkan untuk seumur hidup, sementara obat
yang lain perlu diberikan untuk suatu pengobatan jangka waktu tertentu.
j. Efek samping

Efek samping obat yang dapat diantisipasi perlu dicegah atau ditangani
dengan tepat. Efek samping yang tidak terduga perlu diidentifikasi dan dinilai
untuk memutuskan apakah pengobatan dapat dilanjutkan, harus dihentikan (dan
pengobatan alternatif diberikan) dan apakah pengobatan tambahan perlu
diresepkan untuk mengatasi efek samping obat.
k. Interaksi obat

Interaksi obat dapat termasuk: interaksi obat-penyakit, interaksi obat-obat,


interaksi obat-diet atau interaksi obat-uji laboratorium.
l. Kompatibilitas/ketercampuran obat
Masalah obat yang tidak tercampurkan (OTT) secara fisika maupun kimia
dapat muncul dengan akibat hilangnya potensi, meningkatnya toksisitas atau efek
samping yang lain (Kenward dan Tan, 2003).

J. Penyesuaian dosis pada gangguan ginjal

a. Ranitidin

Ranitidin merupakan obat golongan antagonis reseptor H2 (H2RAs) yang


direkomendasikan untuk dilakukan penyesuaian dosis saat diberikan pada pasien. dengan
penurunan klirens kreatinin (GFR). Sesuai referensi, untuk pasien dengan CrCl < 10
ml/min/1,73 m2, dosis ranitidin yang direkomendasikan sebesar 50-100% dosis normal untuk
pemakaian oral dan 50 mg tiap 12 jam untuk pemakaian intravena (Ashley, 2018). Pada
penelitian ini, terdapat 70 kali peresepan ranitidin, dimana 97,10% (67 kali pemberian
ranitidin) diantaranya sudah diberikan dengan dose adjustment. Penyesuaian dosis ranitidin
perlu dilakukan pada pasien CKD. Dalam suatu penelitian disebutkan bahwa pada pasien
dengan penurunan GFR, terjadi peningkatan signifikan pada AUC dan waktu paruh eliminasi
(t1/2) dari konsentrasi obat H2RAs dalam serum (P 80 ml / menit / 1,73m2, AUC ranitidine
meningkat 200% pada GFR 30 ml / min / 1,73m2, dan 300% pada GFR 20 ml / menit /
1,73m2. Peningkatan AUC ini menjadi dasar diperlukannya penyesuaian dosis ranitidin karena
berhubungan dengan potensi munculnya efek samping obat yang tidak diinginkan. Dalam
penelitian yang sama disebutkan juga bahwa efek perlindungan H2RA terhadap saluran
pencernaan tidak berbeda signifikan baik diberikan dengan dosis yang telah disesuaikan
maupun dengan dosis yang belum disesuaikan (Manlucu dkk., 2005). Sementara penelitian lain
menyebutkan bahwa waktu paruh ranitidin pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
meningkat menjadi 7,3 jam yaitu setara dengan 2,4 kali waktu paruh ranitidin pada pasien
dengan fungsi ginjal normal (Hammad dkk., 2016). Hal ini menunjukkan terjadinya penurunan
eliminasi ranitidin pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, yang berisiko meningkatkan
efek samping obat yang tidak diharapkan. (Y. dkk., 2009).

b. Ketorolak

Ketorolak termasuk obat golongan NSAIDs yang bekerja menghambat prostaglandin,


dimana obat-obat tersebut dilaporkan menyebabkan nefrotoksisitas. Terjadi peningkatan 2,5
kali lipat risiko CKD pada penggunaan ketorolak jangka pendek, yang menyiratkan bahwa
penggunaan NSAIDs potensi tinggi ini dapat memfasilitasi progresivitas penyakit CKD pada
pasien (Ingrasciotta dkk., 2015). Ketorolak dan metabolitnya diekskresikan terutama oleh
ginjal. Menurut referensi, dosis ketorolak yang direkomendasikan untuk pasien dengan CrCl
20-50 ml/min/1,73 m2 sebesar 15 mg tiap 6 jam atau maksimum 60 mg/hari, sedangkan untuk
pasien dengan CrCl < 20 ml/min/1,73 m2, direkomendasikan untuk menghindari penggunaan
ketorolak (Ashley, 2018). Pada penelitian ini, ketorolak diresepkan sebanyak 48 kali, dimana
95,83% (46 kali peresepan) di antaranya tidak dilakukan dose adjustment. Penggunaan
ketorolak tanpa penyesuaian dosis pada pasien CKD dapat meningkatkan risiko efek obat yang
tidak diinginkan antara lain perdarahan pada saluran pencernaan, peningkatan frekuensi kemih,
oliguria, gagal ginjal akut, hiponatremi, hiperkalemi serta meningkatkan ureum dan kreatinin
serum (Ashley, 2018).

Efek samping obat yang tidak diinginkan tidak ditemukan pada pasien yang
mendapatkan ketorolak dalam penelitian ini. Sukralfat Pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal, sukralfat harus digunakan dengan hati- hati karena adanya kandungan aluminium yang
terabsorbsi dan terakumulasi. Pada pasien CKD dengan hemodialisis, sukralfat hanya boleh
digunakan dalam periode singkat karena aluminium yang terabsorbsi dapat terikat dengan
protein plasma dan tidak dapat terdialisis (Ashley, 2018). Akumulasi aluminium dan
toksisitasnya telah dilaporkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal yang menggunakan
sukralfat. Risiko toksisitas ini kemungkinan merupakan komplikasi penggunaan sukralfat
jangka panjang. Oleh karena itu, pasien dengan gagal ginjal atau insufisiensi ginjal yang
menjalani terapi sukralfat jangka panjang harus mendapatkan pengawasan terkait tanda-tanda
toksisitas aluminium (Hemstreet, 2001). Pada penelitian ini, ditemukan sebanyak 36 kali
peresepan sukralfat suspensi dimana dose adjustment obat tidak dilakukan pada tiap peresepan.
Efek samping sukralfat seperti konstipasi dan insomnia ditemukan pada beberapa pasien.

c. Levofloxacin

merupakan antibiotik golongan floroquinolon generasi ke 3. Farmakokinetik obat


golongan ini menunjukkan adanya eliminasi obat yang signifikan melalui ginjal. Pada pasien
dengan CKD, proses eliminasi tersebut dapat berkurang sehingga memungkinkan terjadinya
akumulasi obat dalam darah yang dapat memicu terjadinya efek samping obat yang tidak
diinginkan. Sesuai referensi, untuk pasien dengan CrCl 20-50 ml/min/1,73 m2, dosis awal
yang direkomendasikan sebesar 250-500 mg dilanjutkan dengan 125 mg-250 mg tiap 12-24
jam. Sedangkan untuk pasien dengan CrCl 10-20 ml/min/1,73 m2, dosis awal yang
direkomendasikan sebesar 250-500 mg dilanjutkan dengan 125 mg tiap 12-48 jam. Sementara
itu, untuk pasien dengan CrCl 10-20 ml/min/1,73 m2, dosis awal yang direkomendasikan
sebesar 250-500 mg dilanjutkan dengan 125 mg tiap 24-48 jam (Ashley, 2018). Pada
penelitian ini, levofloxacin diresepkan sebanyak 24 kali, dimana 95,83% (23 kali peresepan) di
antaranya diberikan dengan dose adjustment.

K. Hemodialisis, Continous Renal Replacement Therapy (CRRT)

Pasien yang sakit kritis memiliki tingkat metabolisme yang jauh lebih tinggi
daripada biasanya karena tubuh mereka berusaha untuk pulih dari penyakit. Banyak
yang septik dan hipotensi. Mereka membutuhkan obat vasoaktif dan pembersihan
limbah terus menerus sambil menerima cairan dalam jumlah besar secara bersamaan,
seperti infus obat dan agen nutrisi dan inotropik untuk mengobati hipotensi.
Penghapusan cepat air plasma dalam jumlah besar, seperti yang terjadi selama
hemodialisis intermiten (IHD), tidak diindikasikan karena dapat memperburuk
hipotensi.

Sebaliknya, pasien hipotensi kritis memerlukan terapi penggantian ginjal yang


membuang limbah dan air dengan hati-hati sambil menyebabkan sedikit atau tidak ada
hipotensi. Terapi yang paling sering digunakan adalah terapi penggantian ginjal
berkelanjutan (CRRT). Dalam bentuk hemodialisis yang lambat ini, darah pasien
dikeluarkan dan dipompa melalui hemofilter, yang menyerupai alat dialiser. CRRT
membantu mencegah fluktuasi hemodinamik yang umum terjadi pada IHD yang lebih
cepat. Juga, hemofilter CRRT mengandung banyak serat berlubang tempat darah
dipompa; pori-pori ini memungkinkan pembuangan produk limbah yang lebih kecil
dan lebih besar, elektrolit, dan zat lain (seperti sitokin pro dan antiinflamasi),
tergantung pada terapi yang ditentukan dan ukuran molekul zat tersebut. Meskipun
membran hemofilter dapat menghilangkan zat ini, pori-pori membrannya terlalu kecil
untuk menghilangkan molekul yang lebih besar dari sel darah dan protein.

CRRT adalah terapi penggantian ginjal alternatif yang efektif untuk membuang
limbah dan kelebihan air plasma pada pasien sakit kritis — terutama mereka yang
hipotensi dan tidak dapat mentolerir perubahan cairan dan elektrolit yang cepat dari
hemodialisis. Ini memberikan kontrol status cairan secara terus menerus, menjaga
stabilitas hemodinamik, memberikan nutrisi kaya protein sambil mencapai kontrol
uremik, menjaga keseimbangan elektrolit, dan membantu mencegah perubahan air
intraserebral. Ini perlahan-lahan menghilangkan air plasma (ultrafiltrasi) melalui
ultrafiltrasi, dicapai dengan menghasilkan tekanan transmembran di hemofilter yang
melebihi tekanan onkotik plasma. Perbedaan tekanan menyebabkan pembuangan air
dari darah.

 Jenis CRRT

Empat jenis terapi CRRT adalah hemodialisis vena kontinu, hemofiltrasi vena
kontinu, hemodiafiltrasi vena kontinu, dan ultrafiltrasi kontinu lambat.

 Mendapatkan akses

Kateter dialisis sementara dimasukkan untuk mengeluarkan dan


mengembalikan darah pasien. Kateter dipasang di vena besar — biasanya vena
subklavia, femoralis, atau jugularis interna. Vena jugularis interna lebih disukai karena
memungkinkan akses ke darah di dekat atrium kanan dan paling kecil
kemungkinannya menyebabkan infeksi. (Dengan kateter subklavia, stenosis subklavia
dapat terjadi.) Kateter dialisis sementara dianggap sebagai jalur sentral, sehingga
teknik steril yang ketat harus digunakan selama akses atau manipulasi kateter.

Kateter yang berfungsi dengan baik sangat penting untuk CRRT yang efisien.
Jika darah tidak dapat dikeluarkan dengan kecepatan aliran yang memadai, terapi tidak
akan efektif. Laju aliran darah tipikal dalam CRRT berkisar dari 150 hingga 250 mL /
menit — jauh lebih lambat daripada laju IHD tipikal 300 hingga 400 mL / menit. Tarif
yang lebih rendah cukup karena CRRT berjalan 24 jam / hari selama beberapa hari,
bukan hanya beberapa jam, seperti pada IHD.

 Menjaga keseimbangan cairan selama CRRT

Ahli nefrologi menentukan volume ultrafiltrasi yang akan dikeluarkan setiap


jam, berdasarkan tekanan darah pasien, asupan cairan harian, keluaran cairan (jika
ada), dan cairan tambahan yang diperoleh pasien. Volume pembuangan yang dipesan,
yang dapat berkisar dari tidak ada hingga 100 mL atau lebih setiap jam, diprogram ke
dalam mesin CRRT.
Dokter harus menilai efek pembuangan cairan setiap jam. Jumlah total cairan
harian yang dikeluarkan dapat melebihi 75 mL / jam untuk membawa pasien
mendekati berat normalnya (“kering”). Namun, status klinis harus dipertimbangkan
saat menentukan pengeluaran volume cairan setiap jam. Seorang pasien yang sangat
hipotensi mungkin tidak mentolerir pengeluaran 75 mL / jam. Jadi meskipun perintah
tersebut meminta penghapusan 75 mL / jam, air plasma mungkin perlu dibuang dalam
jumlah yang lebih kecil pada awalnya, seperti 25 hingga 50 mL /, diikuti dengan
penilaian toleransi pasien. Jumlah ini, bersama dengan asupan jam sebelumnya,
diprogram ke dalam mesin CRRT sebagai kerugian bersih setelah dihitung jumlah
berdasarkan keseimbangan cairan.

Kebanyakan pasien mengalami kelebihan cairan selama CRRT; banyak yang


secara signifikan berada di atas berat “kering” karena ketidakmampuan untuk
menangani volume cairan harian yang besar yang diinfuskan (seperti nutrisi parenteral,
produk darah, antibiotik, dan cairan perawatan). Selain itu, banyak pasien yang sakit
kritis tidak dapat memobilisasi cairan secara efektif karena perpindahan cairan
intravaskular dan fungsi ginjal yang tidak memadai.
 Mencegah pembekuan di sirkuit
Pembekuan di sirkuit adalah komplikasi umum CRRT. Beberapa metode dapat
digunakan untuk mempertahankan paten sirkuit. Infus heparin tidak mahal dan
sederhana, meskipun tidak selalu seefisien metode antikoagulasi lainnya. (Dengan
semua jenis CRRT, tujuannya bukan untuk antikoagulan pasien tetapi untuk mencegah
perdarahan dan menghindari pembekuan sirkuit.) Heparin diinfuskan secara terus
menerus ke sisi arteri dari sirkuit CRRT (disebut prefilter) segera sebelum darah
memasuki hemofilter. Studi koagulasi target harus dilakukan untuk membantu
mempertahankan waktu pembekuan teraktivasi pada 140 hingga 180 detik dan waktu
tromboplastin parsial teraktivasi (aPTT) pada 55 hingga 100 detik, atau sekitar dua kali
nilai normal.
Argatroban, penghambat trombin, dapat digunakan pada pasien yang
mengalami trombositopenia yang diinduksi heparin. Meskipun sangat efektif dalam
antikoagulasi CRRT, ini lebih mahal daripada heparin. Seperti heparin, itu dimasukkan
ke dalam prefilter. Selama pemberian argatroban, pantau faktor koagulasi secara
teratur; seperti yang diperintahkan, pertahankan aPTT sekitar dua kali nilai normal.

Anda mungkin juga menyukai