Anda di halaman 1dari 70

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN

Disusun oleh :

Kelompok 6

Perikanan B 2015

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR

2018
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM

TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN

Disusun oleh :

Della Fauzia Kundari 230110150094


Muhammad Wildan Maulana. 230110150096
Galuh Chandra Kiran Ramadhanti 230110150100
Mohammad Farid Najibul Wafa 230110150124
Nur Silmi Nafisah 230110150125
Satria Galuh 230110150135

Perikanan B 2015

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR

2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat Menyelesaikan Laporan Akhir
Praktikum Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan.
Pada pembuatan laporan akhir praktikum ini, penulis banyak mendapat
kesulitan. Oleh karena itu, penyusun ingin menyampaikan banyak terimakasih
kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan serta dukungannya dalam
pembuatan dan penyusunan laporan akhir praktikum ini.
Semoga segala masukkan dan dukungan dari semua pihak yang telah
diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT. Harapan penulis
semoga laporan ini dapat bermanfaaat bagi semua pihak.

Jatinangor, Mei 2018

Kelompok 6

i
DAFTAR ISI

BAB Halaman
DAFTAR GAMBAR .......................................................................... iiv
DAFTAR TABEL ................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................... vi
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Tujuan .......................................................................................... 2
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bekasam ...................................................................................... 3
2.2 Bakso Ikan .................................................................................. 6
2.3 Abon Ikan.................................................................................. 10
2.4 Ebi ............................................... Error! Bookmark not defined.
2.5 Petis Udang ................................ Error! Bookmark not defined.
2.6 Kecimpring ........................................................................ 11

III METODE PELAKSANAAN


3.1 Metode Pelaksanaan Pembuatan Bekasam........................... 15
3.2 Metode Pelaksanaan Pembuatan Bakso IkanError! Bookmark not defined.16
3.3 Metode Pelaksanaan Pembuatan Abon Ikan ...................... 17
3.4 Metode Pelaksanaan Pembuatan Ebi ................................. 18
3.5 Metode Pelaksanaan Pembuatan Petis Udang ..................... 19
3.6 Metode Pelaksanaan Pembuatan Kecimpring ...................... 20
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Praktikum ....................................................................... 23
4.1.1 Hasil Praktikum Bekasam .................................................. 23
4.1.2 Hasil Praktikum Bakso Ikan .............................................. 23
4.1.3 Hasil Praktikum Abon Ikan .................................................... 25
4.1.4 Hasil Praktikum Ebi ........................................................... 26
4.1.5 Hasil Praktikum Petis Udang ............................................. 26
4.1.6 Hasil Praktikum Kecimpring.................................................. 27
4.2 Pembahasan Praktikum ...................................................... 28
4.2.1 Pembahasan Praktikum Bekasam ...................................... 28
4.2.2 Pembahasan Praktikum Bakso Ikan ................................... 34
4.2.3 Pembahasan Praktikum Abon Ikan .................................... 37
4.2.4 Pembahasan Praktikum Ebi ............................................... 40
4.2.5 Pembahasan Praktikum Petis Udang ................................. 41
4.2.6 Pembahasan Praktikum Kecimpring .................................. 43
V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ..................................................................................... 47

ii
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 51
LAMPIRAN ......................................................................................... 53

iii
DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman
1. Ikan Nila .............................................................................................. 4
2. Petis Udang ........................................................................................ 12

iv
DAFTAR TABEL

No Judul Halaman
1. Hasil pengamatan berdasarkan diskusi tiap kelompok ........................... 24
2. Hasil Pengamatan Bakso Ikan Kelas B .................................................... 24
3. Data hasil pengamatan kelompok 6 ......................................................... 25
4. Data hasil pengamatan Kelas ................................................................... 26
5. Data Hasil Pengamatan Ebi Kelas B 2015 ............................................... 27
6. Data Hasil Pengamatan Petis Udang Kelas B 2015 ................................. 27
7 . Berat bahan-bahan yang dipakai .............................................................. 28
8. Bobot kecimpring..................................................................................... 28
9. Hasil pengamatan kecimpring ikan kelas B ............................................. 29
10. Data Hasil Pengamatan Petis Udang Kelas B 2015 .................................. 27

v
DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman
1. Praktikum Pembuatan Bekasam .............................................................. 55
2. Praktikum Pembuatan Bakso Ikan ........................................................... 56
3. Praktikum Pembuatan Abon Ikan ............................................................ 58
4. Praktikum Pembuatan Ebi........................................................................ 60
5. Praktikum Pembuatan Petis Udang .......................................................... 62
6. Praktikum Pembuatan Kecimpring Ikan .................................................. 63

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ikan merupakan sumber protein hewani dan juga memiliki kandungan gizi
yang tinggi di antaranya mengandung mineral, vitamin, dan lemak tak jenuh.
Protein dibutuhkan tubuh untuk pertumbuhan dan pengganti sel-sel tubuh kita
yang telah rusak. Selain air, protein merupakan bagian utama dari susunan
(komposisi) tubuh manusia. Protein dalam ikan berguna untuk mempercepat
pertumbuhan badan (baik tinggi maupun berat), meningkatkan daya tahan tubuh,
mencerdaskan otak/mempertajam pikiran dan meningkatkan generasi / keturunan
yang baik. Di samping itu protein yang terkandung dalam ikan mempunyai mutu
yang baik, sebab sedikit mengandung kolesterol dan sedikit lemak.
Zat gizi yang ada pada ikan mudah rusak, sehingga diperlukan
keterampilan dalam melakukan pengolahan ikan. Pengolahan ikan ini dilakukan
untuk memperbaiki cita rasa dan meningkatkan daya tahan ikan mentah serta
memaksimumkan manfaat hasil tangkapan maupun hasil budidaya. Sebagai
Negara bahari, Indonesia dilimpahi dengan potensi sumber daya. Potensi tersebut
sangat beragam dalam jumlah yang besar, salah satu dari sumber daya laut yang
menjadi kekayaan Indonesia adalah ikan. Ikan adalah satu diantara bahan
makanan protein yang paling mudah mengalami pembusukan. Pembusukan ikan
terjadi setelah ikan ditangkap atau mati, dimana pembusukan dapat menyebabkan
perubahan dalam bau dan rasa yang berakibat menurunnya mutu ikan.
Hasil perikanan banyak dimanfaatkan oleh industri pangan untuk diolah
menjadi produk yang siap dikonsumsi. Hal tersebut didukung oleh wilayah
perairan Indonesia yang luas sehingga dapat menghasilkan komoditi laut yang
melimpah serta memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Menurut data yang didapat
dari warta perikanan Indonesia (KKP 2015), hasil produksi ikan di Indonesia
tahun 2012 mencapai lebih dari 15 juta ton. Pengolahan ditujukan untuk
mempertahankan sifat segar ikan dengan suhu rendah. Penerapan suhu rendah
antara lain yaitu dengan pendinginan dan pembekuan. Penerapan suhu rendah

1
2

untuk menghindarkan hasil perikanan terhadap kerusakan yang disebabkan oleh


autolisa atau karena pertumbuhan mikroba. Baik aktifitas enzim maupun
pertumbuhan mikroba sangat dipengaruhi oleh suhu. Pada kondisi tertentu
aktifitasnya menjadi optimum dan pada kondisi lain aktifitasnya dapat menurun,
terhambat bahkan terhenti.
Proses pengolahan dan pengawetan ikan bertujuan untuk mempertahankan
mutu dan kesegaran ikan selama mungkin dengan cara menghambat atau
menghentikan sama sekali penyebab pembusukan (kemunduran mutu) maupun
penyebab kerusakan ikan (misalnya aktifitas enzim, mikroorganisme, atau
oksidasi oksigen) agar ikan tetap baik sampai di tangan konsumen. Namun,
pengembangan ikan sebagai produk bernilai tambah sampai saat ini masih cukup
rendah. Diversifikasi produk olahan bertujuan meningkatkan konsumsi ikan
dengan cara menganekaragamkan olahan hasil perikanan. Diversivikasi produk ini
diharapkan dapat menarik minat orang untuk gemar mengkonsumsi ikan karena
kecenderungan bahwa masyarakat malas (segan) memakan ikan karena rasa dan
bau amis yang melekat pada ikan. Dengan diversifikasi olahan maka bau dan rasa
dapat disesuaikan dengan selera. Selain itu, diversifikasi merupakan usaha untuk
memberikan nilai tambah pada ikan sehingga akan meningkatkan harga jual yang
pada akhirnya dapat memberikan pendapatan para pengolah.

1.2 Tujuan
Berikut merupakan tujuan dari praktikum teknologi pengolahan hasil
perikanan :
a. Mengetahui alur proses dan prosedur pembuatan produk perikanan
diantaranya bekasam, bakso ikan, abon, ebi, petis ikan, dan kecimpring ikan.
b. Mengkarakterisasi organoleptik produk perikanan diantaranya bekasam,
bakso ikan, abon, ebi, petis ikan, dan kecimpring ikan.
c. Mengetahui perubahan dan proses yang terjadi pada produk perikanan selama
masa penyimpanan atau selama proses fermentasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bekasam
Klasifikasi Ikan Nila (Orechromis niloticus) menurut Saanin (1984) adalah
sebagai berikut :
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Kelas : Osteichthyes
Sub kelas : Acanthoptherigi
Ordo : Percomorphi
Famili : Cichlidae
Genus : Oreochromis
Spesies : Oreochromis niloticus

Gambar 1. Ikan Nila


(Sumber : mediatani.com)

Berdasarkan morfologinya, ikan Nila umumnya memiliki bentuk tubuh


panjang dan ramping, linea lateralis yang terputus di bagian tengah badan
kemudian berlanjut, dan sisik berukuran besar. Matanya besar, menonjol, dan
bagian tepinya berwarna putih. Sirip punggungnya berwarna hitam dan sirip
dadanya juga tampak hitam. Bagian pinggir sirip punggung berwarna abu-abu
atau hitam. Ada sepasang sirip dada dan sirip perut yang berukuran kecil. Sirip
anus hanya satu buah dan berbentuk agak panjang. Bentuk hidung dan rahang

3
4

belakang ikan Nila jantan melebar dan berwarna biru muda. Pada ikan betina,
bentuk hidung dan rahang belakang agak lancip dan berwarna kuning terang. Sirip
punggung dan sirip ekor ikan Nila jantan berupa garis putus-putus. Sementara itu,
pada ikan Nila betina, garisnya berlanjut (tidak putus) dan melingkar (Amri dan
Khairuman 2002).
Bekasam merupakan produk olahan ikan dengan cara fermentasi
menggunakan kadar garam tinggi dan bakteri asam laktat. Proses pembuatan
bekasam di daerah Kalimantan Selatan umumnya dikenal dengan nama samu.
Ikan yang dapat digunakan sebagai bekasam merupakan jenis ikan air tawar
seperti lele, ikan mas, ikan tawes, ikan gabus, ikan nila, ikan wader dan mujaer
(Adawyah, 2006). Bahan tersebut difermentasi selama satu minggu sampai
menghasilkanaroma dan rasa yang khas bekasam.
Ikan nila merupakan ikan konsumsi yang melimpah dan banyak
dikonsumsi dalam bentuk segar, oleh karena itu perlu alternatif pengolahan untuk
memperpanjang masa simpan salah satunya seperti bekasam. Ikan yang digunakan
berbeda-beda tergantung kelimpahan di suatu daerah. Menurut Setiadi (2001)
pembuatan bekasam umumnya menggunakan ikan teri dan ikan tawes.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kalista dkk (2012) ikan yang digunakan
adalah ikan lele dumbo, sedangakan ikan bandeng digunakan pada penelitian
Hadiyanti dan P. R. Wikandari (2013). Jenis ikan yang berbeda akan berpengaruh
pada kandungan protein di dalamnya. Rahayu et al (1992) dalam Kalista dkk
(2012), menyatakan bahwa selama fermentasi protein ikan akan terhidrolisis
menjadi asam-asam amino dan peptide, kemudian asam-asam amino akan terurai
lebih lanjut menjadi komponen-komponen lain yang berperan dalam pembentuk
citarasa produk.
Pada proses pengolahan bekasam umumnya menggunakan bahan
tambahan berupa karbohidrat untuk berhasilnya fermentasi yang berlangsung
secara anaerob. Karbohidrat akan diuraikan menjadi gula sederhana dan
selanjutnya menjadi alkohol dan asam, hasil fermentasi inilah yang akan menjadi
bahan pengawet ikan dan memberi rasa serta aroma produk bekasam. Karbohidrat
yang ditambahkan pada umumnya nasi, beras sangria (samu) dan tape ketan.
5

Bekasam biasanya disajikan untuk pelengkap lauk yang sebelumnya dibumbui


lagi dengan cabe, gula dan lain-lain.
Bekasam yang dihasilkan mempunyai karakteristik daging ikan seperti
ikan segar dengan daging ikan yang semakin kenyal, rasa asam asin khas bekasam
dengan aroma tertentu. Bekasam hampir serupa dengan beberapa produk
fermentasi ikan yang dijumpai di beberapa negara lainnya seperti, burong isda,
burong bangu (Philipina), pla-ra, pla-chom, som-fak (Thailand), heshiko,
nakazuke (Jepang). Pada dasarnya pembuatan bekasam adalah salah satu upaya
pengawetan ikan yang memanfaatkan bakteri asam laktat. Penelitian tentang
bakteri asam laktat pada produk fermentasi berkembang dengan ditemukan
manfaat bakteri asam laktat dalam bahan pangan antara lain penghasil bakteriosin
dan manfaat lainnya dalam memberikan efek fisiologis tertentu yang membawa
manfaat bagi kesehatan antara lain sebagai antikolesterol, mencegah kanker, dan
antihipertensi (Wikandari dkk, 2012).
Bakteri Asam Laktat (BAL) adalah mikroba dominan yang ditemukan
dalam fermentasi ikan. BAL penghasil antimikroba dapat digunakan sebagai
kultur pencegah untuk keamanan makanan secara mikrobiologi dan juga
memainkan peran penting dalam pengawetan makanan fermentasi. Akan tetapi
informasi tentang aplikasi BAL asal produk fermentasi ikan, khususnya bekasam
ini masih terbatas, karena belum banyak yang diketahui tentang senyawa-senyawa
antimikroba yang dihasilkan oleh BAL asal bekasam ini.
Pada dasarnya prinsip pembuatan bekasam ada 3 tahap yaitu :
a. Proses penggaraman
Bertujuan untuk mencegah terjadinya pembentukan amoniak dari senyawa
nitrogen dan berperan dalam menyeleksi mikroba sehingga pembusukan dapat
diminimalisir dan daya simpan produk lebih panjang. Seleksi mikroba berperan
dalam menghambat bakteri pembusuk, namun mendukung pertumbuhan dan
aktifitas bakteri fermentasi yang bersifat halofilik (suka garam) atau halotoleran
(tahan garam)
6

b. Penambahan Karbohidrat
Bertujuan untuk merangsang pertumbuhan bakteri asam laktak yang
berperan dalam menguraikan karbohidrat menjadi senyawa-senyawa sederhana
yaitu asam laktat, asam asetat, asam propionta dan etil alkohol. Senyawa-senyawa
tersebut berfungsi sebagai pengawet dan pemberi rasa asam pada bekasam.
Sumber karbohidrat yang umum digunakan adalah nasi, kerak nasi, beras sangrai,
dan tapai beras.
c. Proses Fermentasi
Bertujuan sebagai proses pemecahaan karbohidrat dan asam amino secara
anaerobik. Polisakarida lebih dahulu dipecah menjadi gula sederhana sebelum
dimanfaatkan dalam fermentasi. Proses fermentasi glukosa terdiri dari 2 tahap
yaitu pemecahan glukosa menjadi asam piruvat dilanjutkan tahap perubahan asam
piruvat menjadi produk akhir yang spesifik, misalnya asam laktat, etanol, asam
asetat, asam format, dan sebagainya. Degradasi protein secara anaerobik
dilakukan oleh enzim proteolitik. Protein yang terhidrolisis menjadi asam amino
dan peptida akan terurai menjadi komponen-komponen lain yang berperan dalam
pembentukan cita rasa produk dan digunakan sebagai sumber energi dan karbon
oleh mikroorganisme anaerob. Mikroorganisme yang berperan dalam produk
fermentasi bekasam, diantaranya pediococcus cereviceae, pediococcus halophilus,
pediococcus pentosaceus, lactococcus garvieae, lactobacillus plantarum,
streptococcus bovis, staphylococcus epidermidis, weisella cibaria, micrococcus sp
dan bacillus sp.

2.2 Bakso Ikan


Bakso merupakan produk pangan yang terbuat dari daging atau ikan yang
dihaluskan, dicampur dengan tepung, dibentuk bulat-bulat sebesar kelereng atau
lebih besar dan dimasak dalam air panas hingga bakso tersebut mengapung.
Masyarakat lebih mengenal bakso sebagai makanan sepinggan yang dihidangkan
dengan pelengkap lain seperti mie, sayuran, pangsit, dan kuah. Makanan ini
sangat populer dan digemari oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari banyaknya
penjual mie bakso, mulai dari restoran sampai ke warung-warung kecil dan
7

gerobak dorong. Harga satu porsi mie bakso sangat bervariasi tergantung dari
kualitas baksonya. Kualitas bakso sangat ditentukan oleh kualitas bahan-bahan
mentahnya, terutama jenis dan mutu ikan, jumlah tepung yang digunakan, atau
perbandingannya dalam adonan dan faktor-faktor lain, seperti pemakaian bahan-
bahan tambahan dan cara pemasakannya, juga sangat mempengaruhi mutu bakso
yang akan dihasilkan .
Bakso ikan merupakan bakso yang mulai digemari oleh masyarakat,
karena bahan baku pembuatannya yaitu daging Ikan selain halal juga telah umum
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Bakso ikan terkenal dengan aromanya
yang khas. Bakso ikan paling enak dinikmati. Jenis ikan yang bagus adalah ikan
yang memiliki duri menyebar dan mudah dikeluarkan durinnya, serta yang
memiliki serat yang banyak. Contoh ikan yang bagus untuk diolah menjadi bakso
adalah ikan tenggiri, ikan kakap, ikan tuna. Biasa yang digunakan oleh pabrik
bakso ikan adalah ikan mata goyang, dan ikan kuniran dikarenakan harganya yang
murah. Akan tetapi pada kegitan praktikum ini kami menggunakan ikan patin
sebagai bahan bakunya, Jenis daging yang digunakan biasanya berupa fillet ikan
segar dan fillet ikan beku .
Ikan yang digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan bakso ikan
haruslah dipilih dari jenis yang memiliki kadar gizi dan kelezatan yang tinggi,
tidak terlalu amis, dan benar-benar masih segar. Beberapa jenis ikan, baik ikan air
tawar, air payau ataupun air asin (laut) dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan bakso ikan. Beberapa jenis ikan air tawar yang dapat digunakan dalam
pembuatan bakso ikan, antara lain adalah lele, ikan mas, ikan patin dan nila
merah. Sedangkan Ikan air payau adalah bandeng, payus, dan mujair .
Persyaratan bahan baku (ikan) yang terpenting adalah kesegarannya.
Semakin segar ikan yang digunakan, semakin baik pula mutu bakso yang
dihasilkan. Berbagai jenis ikan yang digunakan untuk membuat bakso, terutama
ikan yang berdaging tebal dan mempunyai daya elastisitas seperti tenggiri, kakap,
cucut, bloso, ekor kuning dan lain-lain. Selain bahan baku dari ikan segar, bakso
juga dapat dibuat dari produk yang sudah setengah jadi yang dikenal dengan nama
Suzimi (daging ikan lumat).
8

Berdasarkan pendapat Daniati (2005), fungsi bahan dan bumbu-bumbu


tambahan adalah sebagai berikut :
a. Tepung tapioka
Tepung digunakan sebagai bahan tambahan dalam pembuatan bakso, tepung
yang digunakan dalam pembuatan bakso berfungsi sebagai pengikat dan perekat
bahan lain. Kualitas tepung yang digunakan sebagai bahan makanan sangat
berpengaruh terhadap makanan yang dihasilkan. Tepung yang baik kualitasnya
dapat dilihat berdasarkan ciri-ciri yaitu berwarna putih, tidak berbau apek,
teksturnya halus. Agar baksonya lezat, teksturnya bagus, bermutu tinggi, jumlah
tepung yang digunakan sebaiknya sekitar 10-15% dari berat daging.
b. Rempah (bumbu)
Bumbu yang umum digunakan dalam pembuatan bakso ikan meliputi :
bawang putih, bawang merah, merica, dan garam.

- Bawang merah
Bawang merah (Alllium cepa) berasal dari Iran dan Pakistan Barat yang
kemudian dibudidayakan didaerah dingin, sub-tropik maupun tropik Umbinya
dapat dimakan mentah, untuk bumbu masak, acar, obat tradisional, kulit umbinya
dapat digunakan sebagai zat pewarna dan daunnya dapat digunakan sebagai
campuran sayur. Senyawa berkhasiat dalam bawang relative utuh dan tidak
mengalami kerusakan sekalipun dimasak, penggunaan bawang merah pada
pembuatan bakso ikan bertujuan untuk meningkatkan citarasa dari bakso yang
dihasilkan.

- Bawang putih
Bawang putih (Allium sativum) berasal dari daerah Asia Tengah, bawang
putih mempunyai bau yang tajam karena umbinya mengandung sejenis minyak
atsiri (Methyl allyl disulfida) sehingga akan memberikan aroma yang harum.
Umbinya dapat digunakan sebagai campuran bumbu masak serta penyedap
berbagai masakan. Bawang putih yang digunakan sekitar 1% dari berat daging
ikan.
9

- Merica
Merica (Piper Nigrum) sering disebut juga dengan lada. Merica putih
maupun lada hitam mengandung senyawa alkaloid piperin yang berasa pedas.
Minyak atsiri yang terdapat dalam merica, yakni filandrenmembuat bau pedasnya
menyengat, terutama jika dicium dari jarak dekat. Merica yang digunakan sekitar
1% dari berat daging ikan.

- Garam
Garam dapur mempunyai istilah kimia natrium clorida (NaCl). Pada
umumnya digunakan untuk memantapkan rasa dalam pembuatan makanan
termasuk dalam pembuatan bakso. Mencermati bentuk dari garam, ada garam
padat berbentuk batang, garam kasar atau garam rosok, dan garam halus yang
sering digunakan sebagai garam meja. Fungsi garam adalah memberi rasa gurih
pada bakso, garam yang bermutu baik adalah berwarna putih, bersih dari kotoran.
Garam yang digunakan sekitar 2,5% dari berat ikan.

c. Standar Nasional Indonesia (SNI)


Kriteria bakso Ikan yang baik dapat dilihat dari syarat mutu bakso yang
terdapat didalam SNI 01-3818-1995 berdasarkan Anonim (2010c), adalah
- Bentuk : bulat halus, berukuran seragam, bersih dan cemerlang,
- Warna : putih merata tanpa warna asing lain
- Rasa : lezat, enak, rasa ikan dominan
- Aroma : bau khas ikan segar rebus dominan sesuai jenis ikan
- Tekstur : kompak, elastis, tidak liat atau membal.

d. Faktor Yang Mempengaruhi Pembuatan Bakso Ikan


Kualitas bakso ditentukan oleh bahan baku. Bahan baku akan
mempengaruhi mutu bakso yang dihasilkan. Berbagai macam tepung yang
digunakan dan perbandingannya didalam adonan, sedangkan faktor lain yang
mempengaruhi kualitas bakso diantaranya adalah bahan-bahan tambahan yang
digunakan serta cara memasaknya (Daniati, 2005).
10

Menghasilkan bakso daging yang lezat dan bermutu tinggi jumlah tepung
yang digunakan sebaiknya paling banyak 15%-30% dari berat daging. Idealnya,
tepung tapioka, yang ditambahkan sebanyak 10% dari berat daging.

2.3 Abon Ikan


Pengolahan ikan merupakan salah satu cara untuk menyelamatkan hasil
panen yang disertai dengan usaha peningkatan penerimaan konsumen melalui
rasa, aroma, penampakan produk. Pengolahan ikan juga bertujuan untuk
menghambat kegiatan zat-zat dan mikroorganisme yang dapat menimbulkan
kemunduran mutu dan kerusakan (Moeljanto 1982). Abon ikan merupakan salah
satu penganekaragaman pengolahan hasil perikanan. Usahanya mudah dikerjakan
dan hanya memerlukan peralatan yang sederhana. Demikian pada skalanya dapat
disesuaikan dengan tingkat kemampuan modal, tenaga dan pemasarannya.
Dibandingkan dengan produk olahan tradisional lainnya, abon ikan mempunyai
daya awet yang relative lama, yaitu masih bisa diterima panelis dengan
penyimpanan selama 50 hari pada suhu kamar.
Standarisasi Nasional Indonesia (1995), mendefinisikan abon sebagai
suatu jenis makanan kering berbentuk khas yang terbuat dari daging ikan yang
direbus, disayatsayat, dibumbui, digoreng dan dipres. Bahan baku abon biasanya
dibuat dari daging sapi, ayam, domba dan saat ini sudah dibuat dari daging ikan.
Bahan utama yang digunakan pada abon ikan adalah daging ikan. Daging ikan
yang digunakan adalah daging ikan nila dan ikan lele. Ikan nila telah banyak
dilakukan diversifikasi pengolahan produk, salah satunya adalah abon. Abon
merupakan produk olahan yang sudah cukup dikenal luas oleh masyarakat.
Ikan Lele adalah sejenis ikan yang hidup di air tawar. Lele mudah dikenali
karena tubuhnya yang licin, agak pipih memanjang, serta memiliki "kumis" yang
panjang, yang mencuat dari sekitar bagian mulutnya (Andrianto 2005). Ikan lele
merupakan salah satu bahan makan bergizi yang mudah dihidangkan sebagai lauk.
Kandungan gizi ikan lele sebanding dengan daging ikan lainnya. Beberapa jenis
ikan, termasuk ikan lele mengandung protein lebih tinggi dan lebih baik
dibandingkan dengan daging hewan. Nilai gizi ikan lele meningkat apabila diolah
11

dengan baik. Kandungan gizi ikan (termasuk ikan lele) dan lele goreng menurut
hasil analisis komposisi bahan makan per 100 gram.

2.4 Ebi Ikan


Pemindangan merupakan salah satu cara, juga pengawetan ikan secara
tradisional yang telah lama dikenal. Dalam proses pemindangan, ikan (juga udang
dan kerang) diawetkan dengan cara mengukus atau merebusnya dalam lingkungan
bergaram dan bertekanan normal, dengan tujuan menghambat aktivitas atau
membunuh bakteri pembusuk maupun aktivitas enzim.

Selain proses pengolahan tersebut, terdapat cara pengolahan lain yaitu


setelah ikan atau udang direbus lalu dikeringkan sehingga didapat ikan atau udang
asin rebus kering.
Ebi merupakan salah satu produk olahan hasil perikanan yang diolah
dengan cara, udang direbus dengan atau tanpa gaam, kemudian dikeringkan,. Ebi
adalah udang yang telah dikeringkan dan dikuliti, melalui suatu proses
pengolahan yang relatif sederhana. Pengolahan ebi dilakukan pada skala usaha
kecil atau tingkat rumah tangga. Karena bentuknya yang kering dengan kadar air
yang rendah, maka ebi dapat disimpan dalam jangka waktu lama sehingga
memudahkan dalam distribusi, transportasi dan penjualannya. Ebi atau udang
kering biasanya digunakan sebagai penambah citarasa dalam berbagai menu dan
jenis masakan (Sufi, 2005). Sebaiknya ebi diolah dari bahan mentah bermutu
tinggi dan telah dipilih menurut jenisnya agar diperoleh produk bermutu tinggi
yang seragam.

2.5 Petis Udang


Petis udang adalah hasil olahan dari campuran udang segar yang
mengalami perlakuan pencucian, penggilingan atau pencincangan dan pemasakan
bersama dengan bahan tambahan (SNI, 1992).
12

Gambar 2. Petis Udang


Petis udang biasa dibuat dari bahan dasar kaldu udang yang ditambah bahan
pengental berupa tepung tapioka dan tepung beras serta bumbubumbu berupa
bawang merah, bawang putih, daun salam, lengkuas, sereh, jahe, daun jeruk purut,
garam gula merah, gula pasir dan vetsin (Suprapti, 2001).

2.6 Kecimpring
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang
yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Data ini, bisanya
diperoleh dari perpustakaan atau laporan-laporan peneliti terdahulu. Data
sekunder disebut juga data tersedia (Hasan, 2012).
Kecimpring ikan adalah makanan kudapan berupa keripik yang tipis dan
dibuat dari singkong. Kecimpring merupakan makanan yang cukup digemari
masyarakat khususnya masyarakat di Jawa Barat. Kandungan gizi kecimpring
dianggap kurang seimbang karena bahan utama pembuatnya adalah singkong.
Sehingga nilai gizi yang mendominasi pada kecimpring adalah karbohidrat.
Dengan dilakukannya fortifikas daging ikan diharapkan mampu meningkatkan
nilai gizi kecimpring khususnya protein yang terkandung dalam ikan.
Kecimpring merupakan makanan tradisional yang terbuat dari bahan dasar
singkong atau ketan. Dalam pembuatan kecimpring masih sangat berkaitan
dengan pengolahan yang sangat sederhana, dimana masih memerlukan proses
pengeringan dengan penjemuran di bawah terik matahari dalam proses
13

pengolahannya. Kecimpring merupakan makanan tradisional yang kurang begitu


digemari oleh masyarakat luas terutama kalangan masyarakat menengah ken atas
mengingat cita rasa dari kecimpring tersendiri yang kurang begitu lezat bila
dibandingkan dengan produk olahan modern lainnya seperti biskuit, brownies,
cake dan semacamnya. Kecimpring sudah menjadi makanan wajib yang biasa
disajikan sebagai hidangan makanan ringan oleh masyarakat pedesaan terutama
dalam suatu perayaan atau pesta di suatu wilayah tersebut. Sehingga kecipring
lebih dikenal oleh masyarakat pedesaan dibanding masyarakat perkotaan. Maka
dari itu kecimpring menjadi makanan yang memiliki karakter tersendiri di suatu
lingkungan di pedesaan.
Produk dari kecimpring masih dapat dilakukan suatu pengembangan atau
diversifikasi pengolahan sehingga dapat memiliki nilai tambah. Kecimpring dapat
diberi penambahan bumbu yang dapat menigkatkan cita rasa serta meningkatkan
mutu dari kecimpring menjadi lebih bervariasi dan berkualitas. Selain itu
penambahan protein dari ikan dapat memperkaya kandungan nutrisi yang
terkandung didalam kecimpring terutama kandungan proteinnya. Salah satu ikan
yang dapat ditambahkan dalam kecimpring yakni ikan nila yang merupakan ikan
air tawar yang memiliki kandungan gizi yang cukup baik mengingat ikan nila
memiliki banyak rendemen dagingnya.
Ikan nila merupakan salah satu ikan air tawaw yang paling banyak
diminati dan tersedia di berbagai daerah di Indonesia. Ikan nila memiliki nilai
ekonomis tinggi serta mengandung kandungan protein tinggi. Ikan sebagai bahan
pangan mempunyai nilai gizi yang tinggi dengan kandungan mineral, protein,
vitamin, lemak tak jenuh dan protein yang tersusun atas asam-asam amino
esensial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tubuh dan kecerdasan manusia.
Maka dari itu kecimpring sangat tepat jika diperkaya oleh kandungan protein yang
terdapat dalam ikan nila.
Tujuan praktikum pembuatan kecimpring ikan adalah untuk mengetahui
proses pembuatan kecimpring dengan fortifikasi daging ikan nila dari takaran
jumlah ikan nila yang berbeda dan untuk mengetahui tingkat kesukaan kecimpring
fortifikasi daging ikan nila dengan uji organoleptik. Kecimpring ini sebenarnya
14

bukan produk asli hasil pengolahan ikan. Penambahan daging ikan diharapkan
dapat menambah nilai gizi kecimpring yang dihasilkan. Penting adanya penelitian
mengenai fortifikasi ikan pada kecimpring karena dengan adanya fortifikasi nilai
gizi suatu produk dapat meningkat.
BAB III
METODOLOGI

3.1 Bekasam
3.1.1 Alat praktikum
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum pembuatan bekasam ini
adalah sebagai berikut :
a. Baskom, untuk tempat ikan.
b. Pisau, untuk menyiangi dan memotong ikan.
c. Toples, untuk wadah penyimpanan selama proses fermentasi.
d. Katel, untuk menggoreng bekasam.
e. Kompor, untuk menggoreng bekasam

3.1.2 Bahan praktikum


Bahan yang digunakan dalam praktikum pembuatan bekasam ini adalah
sebagai berikut :
a. Ikan nila, sebagai bahan baku utama pembuatan bekasam.
b. Garam, sebagai pengontrol mikroorganisme.
c. Beras sangrai (samu), sebagai sumber karbohidrat mikroorganisme.
d. Minyak goreng, untuk menggoreng bekasam.

3.2.3 Prosedur
a. Ikan disiangi dibuang sisik dan isi perut, dicuci bersih untuk
menghilangkan lemdir dan darah.
b. Ikan digarami dengan melumuri seluruh tubuh ikan dan bagian perut. Ikan
dibiarkan selama 20 jam.
c. Pengolahan samu. Beras digongseng/disangrai sampai kekuningan,
kemudian ditumbuk sampau agak kasar.
d. Ikan yang sudah digarami diangkat dan ditiriskan, kemudian pemberian
beras gongseng/semu pada bagian ikan sesuai praktikum.
e. Ikan dimasukkan dalam toples dan di fermentasi selama 7 hari.

15
16

3.2 Bakso Ikan


3.2.1 ALAT DAN BAHAN
a. Baskom digunakan sebagai wadah pencampuran bahan-bahan
b. Food Processor digunakan untuk melumatkan daging ikan
c. Ikan Nila digunakan sebagai bahan utama
d. Ikan Lele digunakan sebagai bahan utama
e. Tepung Tapioka digunakan sebagai bahan tambahan/bumbu
f. B. Putih 2,5% digunakan sebagai bahan tambahan/bumbu
g. B. Merah 2,5 digunakan sebagai bahan tambahan/bumbu
h. Lada Bubuk 0,25% digunakan sebagai bahan tambahan/bumbu
i. Es serut 15% digunakan untuk mempertahankan kesegaran ikan
3.2.2. PERLAKUAN UNTUK MASING-MASING KELOMPOK
A. Ikan Nila + tepung tapioka 25% (dari berat daging ikan)
B. Ikan Nila + tepung tapioka 27,5% (dari berat daging ikan)
C. Ikan Nila + tepung tapioka 30% (dari berat daging ikan)
D. Ikan Nila + tepung tapioka 32,5% (dari berat daging ikan)
E. Ikan Nila + tepung tapioka 35% (dari berat daging ikan)
F. Ikan Lele + tepung tapioka 25% (dari berat daging ikan)
G. Ikan Lele + tepung tapioka 27,5% (dari berat daging ikan)
H. Ikan Lele + tepung tapioka 30% (dari berat daging ikan)
I. Ikan Lele + tepung tapioka 32,5% (dari berat daging ikan)
J. Ikan Lele + tepung tapioka 20% (dari berat daging ikan)

3.2.3 PENGAMATAN
1. Hitung rendemen filet, bobot adonan dan jumlah bakso yang diperoleh
(dari tiap kelompok)
2. Deskripsikan karakteristik organoleptic bakso ikan (kenampakan, aroma,
tekstur, rasa) dari semua perlakuan
3. Amati karakteristik fisik : elastisitas dan kekenyalan dengan folding test
4. Buat peringkat produk bakso ikan dengan jujur dan tidak terpengaruh
teman/faktor lain, dari = yang paling suka (1), amat suka (2), suka (3),
agak suka (4) dan tidak suka (5)
17

3.3 Abon Ikan


3.3.1 Alat dan Bahan
Praktikum Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan pembuatan Abon Ikan
berlangsung dengan didukung sarana dan prasarana selama praktikum berupa alat
dan bahan yang tersedia.

3.3.2 Alat Praktikum


Alat yang digunakan pada saat Praktikum Teknologi Pengolahan Hasil
Perikanan pembuatan Abon Ikan adalah sebagai berikut :
a. Cobek, sebagai alat untuk menghaluskan bumbu-bumbu.
b. Pisau, sebagai alat untuk memotong.
c. Dandang, sebagai alat untuk merebus.
d. Alat Pres, sebagai alat untuk pengepres untuk mengurangi minyak pada
abon ikan.
e. Wajan, sebagai alat menumis dan menggoreng abon ikan.
f. Saringan, sebagai alat peniris minyak.

3.3.3 Bahan Praktikum


Bahan yang digunakan pada saat Praktikum Teknologi Pengolahan Hasil
Perikanan pembuatan Abon Ikan adalah sebagai berikut :

a. Ikan Nila, sebagai bahan baku abon ikan.


b. Ikan Lele, sebagai bahan baku abon ikan.
c. Bawang Merah 2,5%, sebagai bumbu abon ikan.
d. Bawang Putri 2,5%, sebagai bumbu abon ikan
e. Asam Jawa 1,0%, sebagai bumbu abon ikan
f. Gula Pasir 10%, sebagai bahan tambahan untuk rasa abon ikan.
g. Cabe 2,5% (sesuai selera), sebagai bumbu abon ikan.
h. Jahe 1,0%¸ sebagai bumbu abon ikan.
i. Ketumbar 0,5%, sebagai bumbu abon ikan.
j. Lengkuas 2,5%, sebagai bumbu abon ikan.
k. Santan 10% (dalam ml), sebagai bahan tambahan untuk rasa abon ikan.
l. Salam/Serai 2lembar/2batang, sebagai bumbu abon ikan.
18

m. Garam, sebagai bahan tambahan untuk rasa abon ikan.

3.3.4 Perlakuan Masing – Masing Kelompok


Adapun setiap kelompok mempunyai perlakuan yang berbeda yaitu
sebagai berikut :
a. Abon Manis
b. Abon Asin Sedang
c. Abon Pedas
d. Abon Pedas Sedang
e. Abon Manis Sedang

3.4 Ebi
3.4.1 Alat Praktikum

Adapun alat yang digunakan pada praktikum ebi akan dijabarkan di bawah
ini sebagai berikut :
a. Wadah Plastik untuk wadah ebi yang sudah direbus
b. Timbangan, sebagai alat ukur berat rendemen ebi
c. Panci, untuk wadah untuk perebusan ebi
d. Kompor, sebagai alat pemanas untuk perebusan ebi

3.4.2 Bahan Praktikum

Adapun bahan yang digunakan pada praktikum ebi akan dijabarkan di


bawah ini sebagai berikut.

a. Udang segar, sebagai bahan baku pembuatan ebi


b. Garam, untuk pemberi citarasa sesuai perlakuan
c. Air, untuk Pelarut garam

3.4.3 Perlakuan Untuk Masing-Masing Kelompok

Prosedur pengolahan ebi terdiri dari 10 perlakuan yaitu sebagai berikut :


A = udang – direbus dalam larutan garam 4% selama 15 menit – dijemur –
dikupas
19

B = udang – direbus dalam larutan garam 4% selama 15 menit – dikupas –


dijemur
C = udang – dikupas – direbus dalam larutan garam 4% selama 15 menit –
dijemur
D = udang – dikupas – direndam dalam larutan garam 4% selama 15 menit –
direbus dalam air tawar 15 menit – dijemur
E = udang direndam dalam larutan garam 4% selama 15 menit – direbus
dalam air tawar 15 menit – dikupas – dijemur
F = udang – direbus dalam larutan garam 4% selama 10 menit – dijemur –
dikupas
G = udang – direbus dalam larutan garam 4% selama 10 menit – dikupas –
dijemur
H = udang – dikupas – direbus dalam larutan garam 4% selama 10 menit –
dijemur
I = udang – dikupas – direndam dalam larutan garam 3% selama 10 menit –
direbus dalam air tawar 10 menit – dijemur
J = udang direndam dalam larutan garam 3% selama 10 menit – direbus
dalam air tawar 10 menit – dikupas – dijemur

3.5 Petis Udang


3.5.1 Alat
Adapun alat yang digunakan pada proses pembuatan petis udang
diantaranya :
a. Wajan, sebagai Tempat menyimpan media
b. Baskom, sebagai Tempat menyimpan ekstrak udang
c. Pisau, sebagai Untuk memotong bahan
d. Talenan, sebagai dasar bahan yang akan dipotong
3.5.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan pada proses pembuatan petis udang
diantaranya :
20

a. Bahan utama dari pembuatan petis ini adalah larutan limbah cair
pengolahan ebi/ekstrak masing-masing 250 ml
b. Bahan tambahan, tepung tapioca (2% dari ekstrak), gula merah (25% dari
ekstrak)

3.6 Kecimpring
3.6.1 Alat Praktikum
Alat yang digunakan untuk membuat kecimpring ikan adalah sebagai
berikut :
a. meat grinder digunakan sebagai alat untuk menghaluskan daging ikan
b. baskom digunakan untuk membuat adonan kecimpring
c. pisau digunakan untuk mengupas bumbu-buumbu dan menyiangi ikan
d. dandang digunakan sebagai tempat ditempelkannya kecimpring saat
dikukus
e. talenen digunakan untuk mengiris rempah-rempah yang digunakan
f. garpu digunakan untuk menipiskan dan merapatkan adonan yang telah
dibentuk
g. tampah/nyiru digunakan untuk menyimpan dan menjemur adonan
kecimpring yang telah dibentuk
h. dijemur dibawah terik sinar matahari
i. digoreng kecimpring diatas minyak panas hingga berwarna coklat muda
dan matang

3.6.2 Bahan Praktikum


Bahan praktikum yang digunakan untuk membuat kecimpring ikan adalah
sebagai berikut :

a. Daging ikan digunakan sebagai bahan tambahan dan pemberi rasa daging
pada kecimpring
b. Singkong parut mentah digunakan sebagai bahan pembuat kecimpring
c. Garam 2% digunakan sebagai bumbu
d. Bawang putih 2 % digunakan sebagai bumbu
21

e. Ketumbar 1 % digunakan sebagai bumbu


f. Gula pasir 1 % digunakan sebagai bumbu
g. Minyak goreng digunakan untuk media penggorengan kecimpring

3.6.2 Prosedur
Prosedur pembuatan kecimpring ikan adalah sebagai berikut :
a. singkong dikupas dandicuci dalam air mengalir, kemudian diparut
b. daging ikan digiling
c. dihaluskan bumbu-bumbu yang digunakan
d. singkong dicampur dengan lamutan daging ikan sesuai perlakuan dan
bumbu halus
e. adonan mentah dibentuk sesuai kenginan, diletakkan pada loyang yang
sudah dilapisi minyak dan dipipihkan (menggunakan garpu) dengan
ketebalah yang sama
f. pengukusan dilakukan ketika air sudah mendidih. Adonan yang sudah
dicetak pada loyang diuapkan/dikukus dengan posisi loyang menghadap ke
bawah
g. diuapkan sampai warna berubah menjadi transparan (matang) kemudian
diangkan dan ditiriskan diatas tampah/nyiru
h. kemudian dijemur dibawah terik sinar matahari
i. kecimpring digoreng hingga warna kecoklat muda, hingga renyah
Perlakuan untuk masing-masing kelompok dibedakan dari persentse ikan nila
yang ditambahkan, diantaranya :
Kelompok 1 = 4,0 %
Kelompok 2 = 8,0 %
Kelompok 3 = 12,0 %
Kelompok 4 = 16,0 %
Kelompok 5 = 20,0%
Kelompok 6 = 3,5 %
Kelompok 7 = 6,5 %
Kelompok 8 = 9,5 %
22

Kelompok 9 = 12,5 %
Kelompok 10 = 15,5 %
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1 Bekasam
Kelompok :6
Nama produk : Bekasam
Bahan baku : Ikan Nila
Tanggal Pengujian : 22 Maret 2018
Tabel 1. Hasil pengamatan berdasarkan diskusi tiap kelompok
Keterangan Hasil Pengamatan (Kelompok)

Deskripsi
Karakteristik 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Organoleptik

Kenampakan 3 4 3 4 4 - 4 1 3 4
Aroma 3 2 1 3 4 - 2 2 2 4
Tekstur 2 3 2 4 4 - 2 2 3 3
Rasa 4 3 2 3 3 - 4 3 2 2

4.1.2 Bakso Ikan


Nama Produk : Bakso Ikan
Bahan Baku : Daging Ikan Lele
Perlakuan : Ikan lele + tepung tapioca 30% (dari berat daging ikan)
Tanggal Pengujian : 4 Mei 2017
Tabel 2. Hasil Pengamatan Bakso Ikan Kelas B
Hasil Pengamatan
Keterangan
A B C D E
Bobot Adonan (g) 410 440 450,75 500 464
Jumlah Bakso Ikan 19 22 19 20 37
(buah)

23
24

Deskripsi Karakteristik
Organoleptik
1. Kenampakan
a. Warna putih putih putih putih putih
b. Permukaan kasar kasar kasar kasar kasar
c. Keseragaman beragam beragam beragam beragam beragam
Bentuk
2. Aroma agak amis sedap sedap dominan sedap
lada
3. Tekstur kenyal kenyal kenyal kenyal keras
4. Rasa kurang Agak Dominan Kurang Dominan
asin hambar lada asin lada
Elastisitas AA AA AA AA AA
Peringkat 4 4 2 3 3
Keterangan Hasil Pengamatan
F G H I J
Bobot Adonan 612 230 500 430,5 367
Jumlah Bakso Ikan 29 32 24 21 22
Deskripsi Karakteristik
Organoleptik
1. Kenampakan
a. Warna Abu-abu Abu-abu Abu-abu Abu-abu Abu-abu
b. Permukaan kasar kasar kasar kasar kasar
c. Keseragaman beragam beragam hampir beragam beragam
Bentuk seragam
2. Aroma sedap kurang khas bakso kurang kurang
sedap ikan, sedap sedap sedap
3. Tekstur kenyal agak kenyal kurang lembek
kenyal kenyal
4. Rasa kurang kurang sedikit hambar agak
asin asin gurih dan hambar
pedas,
kurang
25

asin
Elastisitas A A AA AA B
Peringkat 3 4 2 5 5

4.1.3 Abon Ikan


Hasil pengamatan organoleptik abon ikan setiap kelompok dapat dilihat
pada tabel hasil pengamatan.

Tabel 3. Data hasil pengamatan kelompok 6


Pengujian

Karakteristik Organoleptik
Peringkat
Kelompok

Kenampakan
Aroma Tekstur Rasa
Warna
6 9 7 7 9 9
165
Bobot Adonan
gram
100
Berat Abon Ikan
gram

Tabel 4. Data hasil pengamatan Kelas

Karakterisik Kelompok
No
Organoleptik
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Warna 3 7 7 7 9 9 9 9 9 9
2 Aroma 5 9 7 5 7 7 9 9 9 9
3 Tekstur 5 7 9 5 7 7 9 9 9 7
4 Rasa 3 9 7 7 9 9 7 7 9 9
Peringkat 3 9 7 7 9 9 9 9 9 9
149 190 106 132 188 100 118 77 190
Berat abon gram gram gram gram gram gram gram gram gram
26

4.1.4 Ebi
Perlakuan yang dilakukan oleh kelompok 6B adalah Udang yang direbus
dalam larutan garam 4% selama 10 menit kemudian dijemur setelah itu dikupas.

 Bobot udang = 250 gram (sebelum direbus)


= 175 gram (setelah direbus)
= 118,64 gram (setelah dijemur)
= 57,95 gram (setelah dikupas)
 Garam = 4% x bobot udang
= 4% x 250
= 10 gram
Hasil pengamatan dari data pembuatan ebi kelas dapat dilihat pada tabel
berikut ini :

Tabel 5. Data Hasil Pengamatan Ebi Kelas B 2015

Bobot
Bobot Susut
awal Bobot setelah
Kelompok setelah Bobot
udang dijemur (gr)
direbus (gr) (gr)
(gr)
1 250 200 40,77 209,23
2 250 190 19,75 230,25
3 250 110 20 230
4 250 262 21 229
5 250 150 25 225
6 250 175 57,97 192,1
7 250 75 - -
8 250 100 23 227
9 250 80 11 239
10 250 200 29 221

4.1.5 Petis Udang


Hasil pengamatan dari data pembuatan ebi kelas dapat dilihat pada tabel
berikut ini :
Tabel 6. Data Hasil Pengamatan Petis Udang Kelas B 2015

Pengujian
27

Kelompok Ketrangan Karakteristik Organoleptik


ke- Peringkat
Bobot Udang Kenampakan Aroma Rasa Tekstur Elastisitas
(gram)
Warna

1. Coklat kehitaman Khas Udang Asin, sedikit manis Sedikit kental Elastis 2
2. 100 Coklat kehitaman Khas Udang Asin Kental Elastis 2
3. 100 Coklat Khas Udang Rasa udang Kental Elastis 2
4. 360 Coklat tua Dominan Dominan udang, Kental Elastis 2
Udang sedikit manis
5. 370 Coklat muda Khas Udang Manis, khas Udang Encer Elastis 2
6. 365 Coklat pekat Sedikit Kental dan lengket Asin Elastis 3
beraroma
udang
7. 130 Coklat tua Khas udang Sangat asin Kental Elastis 4
8. 180 Coklat gelap Khas udang Asin Kental Elastis 2
9. 360 Coklat tua Khas udang Agak kental Khas udang Elastis 2
10. 400 Coklat Khas udang Manis Kental Elastis 2

4.1.6 Kecimpring
Nama produk : Kecimpring ikan
Bahan baku : daging ikan dan singkong parut
Perlakuan : 3,5% daging ikan
Tanggal pengujian : senin, 23 April 2018
Perlakuan kelompok 6 adalah daging ikan sebanyak 3,5% dari parutan
singkong. Dibawah ini adalah bobot masing-masing bahan yang dipakai oleh
kelompok 6 untuk pembuatan kecimpring ikan

Tabel 7. Berat bahan-bahan yang dipakai


No Bahan Bobot Bahan
1 Singkong parut 400 gram
2 3,5 % Rendemen daging ikan 14 gram
3 1% garam 4 gram
4 1% ketumbar 4 gram
5 2% bawang putih 8 gram
6 1% gula pasir 4 gram
Jumlah 434 gram

Tabel 8. Bobot kecimpring


28

Setelah Setelah Setelah Susut Susut


dikukus dijemur digoreng Bobot bobot
setelah setelah
dikukus digoreng
440 gram 350 gram 250 gram 90 gram 100 gram

Hasil pengamatan kecimpring ikan kelas B adalah sebagai berikut :


Tabel 9. Hasil pengamatan kecimpring ikan kelas B
Keterangan Hasil Pengamatan (kelompok)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Bobot adonan 440 456 472 488 504 438 450 462 474 486
(gram)
Setelah dikukus 430 440 410 488 280 440 483 464 280 375
(gram)
Telah dijemur 210 140 180 220 250 350 200 450 220 280
(gram)
Telah digoreng 160 133 115 178 200 250 150 212 200 180
(gram)
Deskripsi karakteristik organoleptik
1. Kenampakan: 9 9 9 7 7 7 7 7 5 7
warna
2. Aroma 9 7 7 7 9 7 7 9 5 9
3. Rasa 9 7 9 5 7 9 7 9 7 7
4. Kerenyahan 9 7 9 7 7 3 5 3 3 8
Elastisitas 7 3 5 9 7 7 5 5 7 5
Peringkat 9 7 9 7 7 7 7 7 5 7
Susut Bobot 280 323 357 310 304 188 300 250 274 306
(gram)
Susust Bobot 63,3 70,8 75,6 63,5 60,3 42,9 66,6 54,1 57,8 62,9
(%)

4.2 Pembahasan
4.2.1 Bekasam
Ikan yang digunakan dalam praktikum pembuatan bekasam adalah ikan
nila. Proses pembuatan bekasam ini diawali dengan penyiangan dan pencucian
ikan sampai bersih untuk membersihkan bakteri pembusuk dari tubuh ikan.
Kemudian ikan dilumuri oleh garam terlebih dahulu, yang berfungsi sebagai
penyeleksi mikroorganisme agar membantu bakteri fermentasi tumbuh.
Mikroorganisme yang tumbuh dengan keberadaan garam pada bekasam adalah
29

bakteri asam laktat yang termasuk pada golongan mikroorganisme amilotik.


Garam juga memiliki fungsi lainnya saat proses fermentasi yakni mengurangi
kadar air. Borgstrom (1995) dalam Kalista dkk (2012) mengatakan adanya
garam dalam ikan akan mendenaturasi protein, sehingga terjadi koagulasi yang
dapat membebaskan air.
Setelah dilumuri garam, ikan dilurmuri oleh beras sangrai. Beras
sangrai merupakan sumber karbohidrat yang bertujuan untuk merangsang
pertumbuhan bakteri asam laktat yang sudah diseleksi pada perlakuan
sebelumnya. Bakteri asam laktat akan menguraikan karbohirat menjadi
senyawa yang lebih sederhana dan berfungsi sebagai pengawet. Senyawa ini
diantaranya adalah asam laktat, asam asetat, asam propionate, dan etil alkohol,
yang merupakan hasil penguraian pati (Rahayu et al 1992 dalam Kalista dkk
2012).
Bekasam disimpan selama 7 hari dalam toples tertutup, untuk
mendukung proses fermentasi secara anaerob. Bekasam dengan proses
fermentasi spontan mempunyai aktivitas Angiotensin Converting Enzyme
Inhibitor (ACEI) (Wikandari dkk 2012 dalam Wikandari dan L. Yuanita 2016).
Setelah penyimpanan selesai di minggu berikutnya, bekasam digoreng, yang
bertujuan untuk pematangan dan menghentikan proses fermentasi. Fermentasi
oleh mikroba dapat dihentikan dengan beberapa cara seperti dioksidasi,
dipanaskan, didinginkan ataupun dikonsumsi. Waktu fermentasi harus tepat
dan sesuai, karena apabila terlalu cepat, fermentasi akan belum sempurna, dan
apabila terlalu lama fermentasi tidak akan dihentikan, sehingga asam amino
akan berubah menjadi amoniak dan hidrogen sulfida yang bersifat racun, asam
lemak dan gliserol berubah menjadi asam butirat dan glukosa berubah menjadi
alkohol.
Bekasam diamati karakteristik organoleptiknya berdasarkan
kenampakan, aroma, tekstur dan rasa kemudian diberi peringkat. Uji
organoleptik merupakan pengujian berdasarkan tingkat kesukaan, dan parameter
yang digunakan adalah sifat fisik daging yang dapat diamati, diraba, dicium
aromanya yang menurut Winarno (1995) dalam menentukan rasa suatu
30

makanan diperlukan penunjang lain diantaranya adalah penciuman.


Kenampakan produk bekasam kelas perikan B berwarna kecoklatan. Warna
coklat dapat terbentuk karena reaksi maillard. Menurut Nuraini dkk (2014),
reaksi maillard adalah reaksi yang terjadi antara asam amino dengan gula
pereduksi apabila dipanaskan bersama-sama. Gula pereduksi dalam praktikum
ini adalah glukosa yang merupakan senyawa sederhana dari karbohidrat (beras
sangrai) yang dihasilkan dari proses fermentasi, sedangkan asam amino
merupakan senyawa sederhana dari protein ikan. Sehingga dapat disimpulkan,
semakin coklat warna produk bekasam pada tiap kelompok maka semakin
banyak gula pereduksi dan asam amino yang dihasilkan selama proses
fermentasi bereaksi. Pada kelompok kami, bekasam yang telah disimpan
selama 1 minggu tidak di uji organoleptic karena tumbuh jamur pada
bekasamnya. Penyebab jamur tumbuh dalam bahan makanan salah satunya
adalah lembabnya kondisi makanan atau toples tempat penyimpanannya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa jamur yang tumbuh pada bekasam ini
disebabkan oleh kurangnya pengeringan setelah ikan di cuci, yang
menimbulkan kondisi lembab pada toples sehingga jamur dapat tumbuh, karena
toples disimpan di suh ruangan.
Karakteristik lain yang diamati adalah aroma. Secara umum aroma yang
dihasilkan dari praktikum bekasam kelas B beraroma asam dan sedikit
beraroma seperti ikan asin. Pada produk berkaitan dengan bakteri asam laktat.
Asam laktat dan senyawa asam lainnya yang menimbulkan aroma asam
merupakan produk yang dihasilkan dari hidrolisis pati. Pada kelompok 1-5
dengan perlakuan beras sangrai sebanyak 50% memiliki aroma asam yang
lebih sedikit daripada kelompok 6-10 yang perlakuan beras sangrainya 55%.
Semakin menyengat bau asam yang tercium dari produk maka dapat
diasumsikan nilai pH semakin rendah dan asam laktat yang dihasilkan saat
fermentasi lebih banyak. Praktikum ini semua kelompok menggunakan
perlakuan garam yang sama yakni sebanyak 5% dari total bobot ikan. Hal ini
dilakukan kemungkinan untuk menghindari terciumnya aroma ikan asin yang
berlebih. Manurut Wikandari (2013) rasa dan aroma yang seimbang antara
31

asam dan gurih disebabkan jumlah bakteri asam laktat (BAL) pada konsentrasi
garam 7.5% lebih rendah 1 log cycle dibandingkan BAL pada konsentrasi
garam 5%, sehingga asam yang dihasilkan (pH 4.02) tidak menjadi dominan
dan dapat seimbang dengan rasa dan aroma gurih yang dihasilkan pada proses
degaradasi protein.
Tekstur bekasam dari setiap kelompok kebanyakan masih lembek pada
bagian dalamnya. Ada pula sebagian yang terlalu kering pada bagian luarnya
tapi masih lembek bagian dalamnya. Hal ini disebabkan oleh kurang sesuai nya
suhu penggorengan, sehingga pematangan tidak merata ke seluruh bagian
dalam daging ikan. Tekstur yang kering atau garing diakibatkan dari proses
penggorengan sedangkan tekstur lembek atau lengket waktu penggorengan
terlalu cepat, dan juga disebabkan oleh suasana asam. Suasana asam juga
diduga mempengaruhi kekompakan daya lengket daging ke tulang menjadi
berkurang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rieboy et al (2007) dalam Nuraini
dkk (2014), selain mempengaruhi citarasa produk, asam laktat yang dihasilkan
dari proses fermentasi juga dapat meningkatkan kekompakan tekstur. Pada
kelompok 2, 5, 9 dan 10 tekstur bekasam yang telah digoreng masih lembek
bahkan terlalu lembek. Lembek itu disebabkan karena kadar air yang masih
tinggi. Kadar air berkaitan dengan perlakuan garam yang diberikan.
Kemungkinan saat pelumuran daging oleh garam tidak merata ke seluruh
bagian daging, sehingga daya serap garam terhadap kandungan air tidak sesuai
pada semua bagian daging ikan.
Rasa dari bekasam yang dibuat perikanan B rata-rata asam dan asin. Namun
rasa yang paling tinggi nilai peringkatnya sesuai uji organoleptik, adalah
bekasam pada kelompok 5 dengan nilai kenampakan, aroma, tekstur, dan rasa
masing masing 4, 4, 4, dan 3. Hal ini menunjukkan pemberian beras sangrai
sebesar 50% dari bobot daging merupakan perlakuan yang palingbaik dalam
praktikum ini. Selain itu, prosedur praktikum yang sesuai dan tepat, menjadi
penyebab produk kelompok 5 paling baik hasilnya. Menurut panelis kelompok
6B rasa dan aroma merupakan organoleptik paling utama dalam menentukan
peringkat terhadap produk.
32

a. Farid

Farid menyimpulkan, dari berbagai perlakuan dan sampel bekasam setiap


kelompok di kelas bahwa bekasam kelompok 3 dengan perlakuan 5% garam
dan 50% beras sangrai merupakan bekasam paling baik. Bekasam ini memiliki
karakteristik kenampakan yang baik, aroma segar dan kuat, teksturnya renyah
dan baik, serta rasa yang enak dan terasa segar di mulut. Kelompok 3
melakukan prosedur praktikum dengan baik dan tepat, sehingga cita rasa yang
dihasilkan lebih baik daripada kelompok lain bahkan dengan kelompok yang
perlakuannya sama. bekasam kelompok 3 teksturnya jauh lebih renyah dan
tidak lembek daripada kelompok lainnya. Bekasam dengan perlakuan beras
sangrai 55% memberi aroma fermentasi yang terlalu kuat sehingga kurang
disukai.
b. Della
Della menyimpulkan, dari berbagai perlakuan dan sampel bekasam setiap
kelompok di kelas bahwa bekasam kelompok 3 dengan perlakuan 5% garam
dan 50% beras sangrai merupakan bekasam paling baik. Bekasam ini memiliki
karakteristik kenampakan yang baik, aroma segar dan kuat, teksturnya renyah
dan baik, serta rasa yang enak dan terasa segar di mulut. Kesesuaian dan
ketepatan prosedur praktikum yang dilakukan kelompok 3 menjadikan cita rasa
bekasam yang dihasilkan lebih baik daripada kelompok lain bahkan dengan
kelompok yang perlakuannya sama.
c. Satria
Satria menyimpulkan, dari berbagai perlakuan dan sampel bekasam setiap
kelompok di kelas bahwa bekasam kelompok 3 dengan perlakuan 5% garam
dan 50% beras sangrai merupakan bekasam paling baik dan enak rasanya.
Bekasam ini memiliki karakteristik kenampakan yang baik, aroma segar dan
kuat, teksturnya renyah dan baik, serta rasa yang enak dan terasa segar di
mulut. Akan tetapi, untuk tekstur bekasam yang paling baik adalah bekasam
kelompok 1, yang teksturnya tidak terlalu renyah seperti bekasam kelompok 3.
Kenampakan yang paling baik adalah bekasam kelompok 9, dengan warna
coklat yang normal dan menggugah selera.
33

d. Aril
Aril menyimpulkan, dari berbagai perlakuan dan sampel bekasam setiap
kelompok di kelas bahwa bekasam kelompok 3 dengan perlakuan 5% garam
dan 50% beras sangrai merupakan bekasam paling baik dan enak rasanya.
Bekasam ini memiliki karakteristik kenampakan yang baik, aroma segar dan
kuat, teksturnya renyah dan baik, serta rasa yang enak dan terasa segar di
mulut. Akan tetapi, untuk tekstur bekasam yang paling baik adalah bekasam
kelompok 7 dan 8, yang cukup renyah. Kenampakan yang paling baik adalah
bekasam kelompok 9, dengan warna coklat yang normal dan menggugah
selera.
e. Silmi
Silmi menyimpulkan, dari berbagai perlakuan dan sampel bekasam setiap
kelompok di kelas bahwa bekasam kelompok 3 dengan perlakuan 5% garam
dan 50% beras sangrai merupakan bekasam paling baik. Bekasam ini memiliki
karakteristik kenampakan yang baik, aroma segar dan kuat, teksturnya renyah
dan baik, serta rasa yang enak dan terasa segar di mulut. Kesesuaian dan
ketepatan prosedur praktikum yang dilakukan kelompok 3 menjadikan cita rasa
bekasam yang dihasilkan lebih baik daripada kelompok lain bahkan dengan
kelompok yang perlakuannya sama.
f. Kiran
Kiran menyimpulkan, dari berbagai perlakuan dan sampel bekasam setiap
kelompok di kelas bahwa bekasam kelompok 3 dengan perlakuan 5% garam
dan 50% beras sangrai merupakan bekasam paling baik dan enak rasanya.
Bekasam ini memiliki karakteristik kenampakan yang baik, aroma segar dan
kuat, teksturnya renyah dan baik, serta rasa yang enak dan terasa segar di
mulut. Akan tetapi, untuk tekstur bekasam yang paling baik adalah bekasam
kelompok 1, yang teksturnya tidak terlalu renyah seperti bekasam kelompok 3.
Kenampakan yang paling baik adalah bekasam kelompok 9, dengan warna
coklat yang normal dan menggugah selera.
g. Wildan
34

Wildan menyimpulkan, dari berbagai perlakuan dan sampel bekasam setiap


kelompok di kelas bahwa bekasam kelompok 3 dengan perlakuan 5% garam
dan 50% beras sangrai merupakan bekasam paling baik. Bekasam ini memiliki
karakteristik kenampakan yang baik, aroma segar dan kuat, teksturnya renyah
dan baik, serta rasa yang enak dan terasa segar di mulut. Kesesuaian dan
ketepatan prosedur praktikum yang dilakukan kelompok 3 menjadikan cita rasa
bekasam yang dihasilkan lebih baik daripada kelompok lain bahkan dengan
kelompok yang perlakuannya sama.

4.2.2 Bakso Ikan


Hasil yang didapat dari setiap kelompok setelah melakukan pembuatan
bakso ikan adalah berbeda-beda karena setiap kelompok memiliki perlakuan yang
berbeda sehingga hasil yang didapat pun berbeda. Bobot adonan yang paling
banyak yaitu pada kelompok 6 yaitu sebanyak 612 gram dengan jumlah bakso 29
buah. Sedangkan kelompok 5 memiliki jumlah bakso paling banyak yaitu 37 buah
yang hanya memakai 464 gram bobot adonannya. Hal tersebut terjadi dikarenakan
pada saat proses pembentukan adonan menjadi bakso kelompok 6 membentuk
bakso dengan ukuran yang cukup besar, sedangkan kelompok 5 membentuk
adonan tersebut menjadi bakso yang ukurannya lebih kecil dari kelompok 6
sehingga bakso yang dihasilkan lebih banyak.
a. M. Wildan
Hasil pengamatan uji organoleptik terhadap bakso ikan pada tabel diatas
yang pertama dari segi kenampakan berupa warna, permukaan, keseragaman
bentuknya yaitu untuk warna hasilnya berbeda nyata antara bakso dengan bahan
baku ikan nila dengan ikan lele. Bakso yang terbuat dari bahan baku ikan nila
memiliki warna putih pada semua kelompok. Sedangkan bakso yang
menggunakan bahan baku ikan lele memiliki warna abu-abu pada semua
kelompok. Permukaan bakso ikan memiliki hasil yang berbeda-beda pada setiap
kelompoknya. Hal itu terjadi karena adanya perbedaan formulasi bahan olahan
yang digunakan untuk membuat bakso ikan. Sedangkan, untuk keragaman
bentuknya hasilnya ada yang tidak seragam dan ada juga yang seragam.
35

Terjadinya ketidakseragaman karena terdapat banyaknya orang yang terlibat saat


proses pembentukan bakso ikan.

b. Della Fauzia K
Hasil pengamatan uji organoleptik selanjutnya yaitu aroma, tekstur dan
rasa. Tidak adanya perbedaan dari semua kelompok pada uji aroma dikarenakan
bahan baku setiap kelompok yang sama yaitu ikan sehingga aroma yang
dihasilkan berupa khas ikan. Tekstur yang didapatkan dalam pembuatan bakso
ikan berbeda-beda, ada yang lembek, kurang kenyal, agak kenyal, kenyal, dan
keras. Berdasarkan tabel diatas, hampir semua kelompok memiliki tekstur yang
kenyal, hanya 3 kelompok yang memiliki tekstur kurang baik, yaitu kelompok 7
agak kenyal, kelompok 9 kurang kenyal dan kelompok 10 lembek karena tepung
tapiokanya terlalu sedikit hanya 20%. Perbedaan tekstur bakso ikan dipengaruhi
oleh presentase tepung tapioka yang digunakan. Semakin banyak tepung tapioka
bakso akan semakin kenyal namun akan menghilangkan rasa khas ikan tersebut.
Sedangkan semakin sedikit tepung tapioka yang digunakan, maka bakso akan
lembek. Sehingga diperlukan ketepatan dalam pemberian tepung tapioka.
Penambahan tepung tapioka yang mengandung karbohidrat dan protein, tepung
tapioka digunakan sebagai bahan pengental dan pengikat adonan, sehingga akan
terbentuk tekstur bakso yang baik.
c. Aril Pranata
Selain itu tekstur bakso ditentukan oleh kandungan air, kadar lemak, dan
jenis karbohidrat. Kandungan air yang tinggi akan menghasilkan bakso dengan
tekstur yang lembek, begitu juga dengan kadar lemak yang tinggi akan
menghasilkan bakso dengan tekstur yang berlubang-lubang (Octavianie 2002).
Bahan-bahan bakso terdiri dari bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama
bakso adalah daging ikan, sedangkan bahan tambahan bakso adalah bahan
pengisi, garam, es atau air es, bumbu-bumbu seperti lada, serta bahan penyedap
(Sunarlim 1992). Sedangkan menurut (Soekarto 1990), kekenyalan adalah
kemampuan produk pangan untuk pecah akibat gaya tekan.
36

Kekenyalan/keempukan terbentuk sewaktu pemasakan, dimana protein


akan mengalami denaturasi dan molekul-molekulnya mengembang. Kondisi
tersebut mengakibatkan gugus reaktif pada rantai polipeptida terbuka dan
selanjutnya akan terjadi pengikatan kembali pada gugus reaktif yang sama atau
berdekatan (Winarno 1988). Rais (2011) juga menyatakan bahwa kemampuan
mengikat pada tepung yang baik akan menghasikan kekenyalan pada adonan
setelah pemasakan.
d. Nur Silmi Nafisah
Pengujian organoleptik lainnya adalah rasa. Dilihat dari hasil tabel
pengamatan, rasa yang dihasilkan dari bakso ikan berbeda beda, namun tetap ada
rasa khas ikannya. Pemberian rasa pada bakso didapatkan dari bahan-bahan
tambahan seperti: garam, bawang putih, dan lada bubuk (merica). Bumbu
merupakan salah satu faktor yang mendukung keberhasilan pembuatan bakso dan
berfungsi memperbaiki atau memodifikasi rasa serta daya simpan produk olahan
ikan. Penambahan bumbu ini berfungsi untuk meningkatkan nilai cita rasa dan
aroma pada bakso. Rohman (2010) menyatakan bahwa garam berfungsi sebagai
pemberi cita rasa, sebagai pengawet dan memberikan kesan kenyal dalam
pengolahan daging bakso. Pemakaian garam dalam pembuatan bakso berkisar
antara 3 – 5% dari berat daging. Berdasarkan tingkat elastisitas dan peringkat,
bakso ikan yang paling disukai adalah bakso ikan kelompok 3 (bahan baku ikan
nila) dan kelompok 8 (bahan baku ikan lele). Keduanya memiliki peringkat 2 dan
nilai elastisitasnya AA.
e. Farid N.W
Pada proses pembuatan bakso yang paling penting adalah proses
pencampuran bahan. Pencampuran bahan ini ditambahkan es. Penggunaan es
sebanyak 10–15% dari berat daging atau bahkan 30% dari berat daging (Palupi,
1986). Es yang ditambahkan berfungsi untuk menjaga suhu food processor agar
tidak naik. Suhu alat ini perlu dijaga agar proses emulsi dapat berjalan dengan
baik dan lancar.
Faktor yang sangat penting pada pembuatan emulsi daging adalah suhu.
Suhu menentukan efektivitas ekstraksi yang bersifat larut dalam larutan garam
37

serta menentukan stabilitas emulsi yang dihasilkan. Penambahan es batu pada


proses pegiilingan daging dapat membantu dalam menstabilkan suhu. Peningkatan
suhu selama proses pelumatan daging akan mencairkan es, sehingga suhu daging
atau adonan dapat dipertahankan. Selain itu, penambahan es atau air juga penting
untuk menjaga kelembaban produk akhir agar tidak kering, meningkatkan sari
minyak (juiceness) dan keempukan daging (Forrest et al. 1975). Jumlah es yang
ditambahkan ke dalam adonan akan mempengaruhi kadar air, daya mengikat air,
kekenyalan dan kekompakan bakso (Indarmono 1987). Oleh sebab itu,
penggunaan es atau air es harus dibatasi.
f. Satria Galuh
Salah satu tujuan penambahan air dan es pada produk emulsi daging
adalah menurunkan panas produk yang dihasilkan akibat gesekan selama
penggilingan, melarutkan dan mendistribusikan garam ke seluruh bagian massa
daging secara merata, mempermudah ekstraksi protein otot, membantu proses
pembentukan emulsi, dan mempertahankan suhu adonan agar tetap rendah. Jika
panas ini berlebih maka emulsi akan pecah, karena panas yang terlalu tinggi
mengakibatkan terjadinya denaturasi protein. Akibatnya produk tidak akan
bersatu selama pemasakan (Aberle et al. 2001).

4.2.3 Abon Ikan


Pembahasan praktikum abon ikan masing-masing individu yaitu sebagai
berikut :
a. M. Farid N
Perbedaan perlakuan antar kelompok menghasilkan produk abon ikan lele
dan abon ikan nila memiliki keberagaman citarasa dan karakteristik yang khas.
Pada praktikum pembuatan abon ikan ini menggunakan 2 bahan baku ikan yaitu
ikan nila dan ikan lele. Masing-masing kelompok diberi perlakuan dan ikan yang
berbeda perlakuan diantaranya yaitu Abon Manis, Abon Asin Pedas, Abon Pedas,
Abon pedas sedang, Abon Manis sedang. Setiap perlakuan diberi bahan tambahan
yang sama hanya saja komposisi dari bahan tambahan berupa Gula, Garam, Cabe
berbeda tergantung dari perlakuan. Bahan tambahan abon ikan berupa bumbu
38

dapur, bawang dan santan agar didapatkan cita rasa yang pas untuk lidah orang
Indonesia
Kelompok 6 mendapatkan perlakuan Abon Nila Ikan Pedas, yaitu dengan
komposisi cabe sebanyak 5%, garam 3%, serta gula 10%. Berat dari bahan baku
berupa daging ikan nila sebanyak 165gram. Berat abon ikan setelah jadi sebanyak
100 gram. Terdapat pengurangan berat sebesar 65gram yaitu karena proses
penggorengan yang menyebabkan banyak berkurangnya kadar air pada abon.
Pada penilaian organoleptik abon ikan kelompok 6 karakteristik warna mendapat
nilai 9 dengan deskripsi warna cokelat muda yang menandakan adanya proses
browning tetapi tidak terjadi overcook. Karakteristik aroma mendapatkan nilai 7
dengan deskripsi Aroma harum khas abon. Karakteristis Tekstur mendapat nilai 7
dengan dekripsi halus dan enak saat dikunyah namun tidak terlalu berserat. Dan
karakteristik rasa mendapat nilai 9 dengan deskripsi rasa kuat, asin tetapi kurang
pedas.
b. M. Wildan
Faktor yang menyebabkan warna coklat pada abon yaitu gula yang
merupakan salah satu bahan atau bumbu dalam pembuatan abondan kandungan
karbohidrat yang tinggi sehingga menyebabkan warna abon menjadi coklat karena
terjadi reaksi millard. Reaksi millard adalah reaksi pencoklatan non enzimatis
yang merupakan reaksi antara protein dengan gula-gula preduksi (Muchtadi et al.
1992 dalam Tato 2014).
c. Nur Silmi N
Uji organoleptik salat satunya adalah aroma. Hasil dari pengujian aroma
didapatkan hasil yang sama yaitu khas abon ikan. Aroma produk daging berasal
dari sejumlah bahan yang ada dalam lemak dan bersifat menguap ketika
dipanaskan. Bumbu yang digunakan dalam produk abon dapat memberikan aroma
yang khas. Bawang merah memiliki bau dan cita rasa yang khas yang ditimbulkan
oleh senyawa yang mudah menguap dari jenis sulfur. Ketumbar dapat
memberikan aroma yang diinginkan dan menghilangkan bau amis pada ikan.
Kombinasi gula, garam dan bumbu-bumbu yang llainnya menimbulkan aroma
yang khas pada produk akhir (Purnomo 1995 dalam Tato 2014).
39

d. Aril
Uji organoleptik salah satunya adalah rasa. Rasa merupakan salah satu
aspek penting dalam menentukan suka dan tidak sukanya panelis terhadap suatu
produk. Umunya masyarakat indonesia menyukai makanan yang mempunya cita
rasa gurih, manis dan pedas. Menurut Winarno (1997) rasa enak disebabkan
adanya asam amino pada protein serta lemak yang terkandung didalam makanan.
Rasa juga dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain kimia, suhu konsentrasi
dan interaksi dengan komponen rasa lainnya (Fachruddin 2003)
e. Della Fauzia K
Penggunaan gula sebagai bahan tambahan cita rasa ikan memiliki andil
yang lebih dalam menentukan karaktersitik rasa abon yang dimiliki setiap
kelompok. Proses penggorengan yang dilakukan sangat menentukan apakah gula
tersrap dan menghasilkan warna coklat yang sesuai, ataukah coklat muda atau
malah coklat gelap. Karena apabila guna dipanaskan akan menghasilkan
karamelisasi, sehingga produk abon ikan akan memiliki cita rasa dan kenampakan
yang khas. Dalam hal ini kelompok 6 memiliki peluang sebagai abon dengan
standar abon ikan di pasaran.
f. Satria Galuh D
Kelompok yang mempunya nilai perikat bagus diantaranya kelompok 2, 5,
6, 7, 8, 9, 10 yaitu mendapat nilai peringkat 9 (sangat suka). Hasil ini didapatkan
dengan cara masing-masing kelompok mencicipi abon milih semua kelompok
untuk menilai karakteristik abon tersebut dan membandingkannya dengan
kelompoknya sendiri. Hanya satu kelompok yang mendapatkan peringkat 3 yaitu
kelompok 1 dengan nilai karakteristik warna 3, aroma 5, tekstur 5, dan rasa 3.
Sementara kelompok 3 dan 4 mendapatkan peringkat 7.

4.2.4 Ebi
Ebi merupakan produk olahan hasil perikanan yang diperoleh dengan cara
merebus udang dengan atau tanpa garam, kemudian dikeringkan. Praktikum
pengolahan ebi udang kali ini menggunakan teknik pemindangan yang dimana
pemindangan adalah proses mengawetkan bahan makanan berupa ikan, udang,
40

ataupun kerrang dengan cara mengukus atau merebusnya dalam lingkungan


bergaram dan bertekanan normal. Dalam teknisnya terdapat beberapa perlakuan
dengan mengatur kadar garam, lama perendaman dan lama perebusan. Selain itu,
tiap kelompok juga memiliki perlakuan tahap pengolahan ebi yang berbeda-beda,
seperti mengupas kulitnya sebelum atau sesudah direbus dan merendam larutan
garam atau merebus dengan larutan garam.
Berdasarkan data hasil pengamatan kelompok, dengan perlakuan udang
sebanyak 250 gram yang direbus di dalam larutan garam sebanyak 4% yang
kemudian dijemur lalu dikupas, didapatkan hasil ebi yang berwarna orange
keputihan beraroma sangat amis dengan rasa sedikit asin dan tekstur yang kering.
Warna udang menjadi orange ini merupakan hasil dari perebusan yang
memunculkan pigmen warna dari udang itu sendir. Sebelum dimasak, astaxanthin
yang ada di kulit terluar udang masih terlindung dengan rantai protein yang
disebut cristacyanin. Namun panas akan mengurai ikatan rantai protein ini.
Penambahan garam ditujukan untuk menambah cita rasa dan berfungsi untuk
menghambat aktivitas atau membunuh bakteri pembusuk maupun aktivitas enzim.
Nilai rendemen yang dihasilkan yaitu sebesar 76.84%. Semakin besar nilai
rendemen maka ebi yang dihasilkan akan semakin bagus, begitu pula sebaliknya.
Ebi dengan rendemen lebih besar berarti kandungan air didalamnya lebih sedikit
dan akan membuatnya lebih awet dan lebih padat dengan kandungan gizi,
sehingga dapat dikatakan bahwa rendemen ebi yang lebih besar akan lebih baik
kualitasnya.
Berdasarkan data kelas dengan perlakuan yang berbeda-beda didapatkan
perbedaan hasil pengolahan ebi baik dari susut bobot, kenampakan warna, aroma,
tekstur, rasa, dan tingkat kesukaannya. Susut bobot (Rendemen) yang diperoleh
oleh tiap kelompok dipengaruhi oleh perlakuan secara tahapan proses
pengerjaannya. Seperti contoh, Udang yang direbus bersamaan dengan kulit dan
kepala udang akan menyimpan lebih banyak air dan garam saat direndam atau
direbus dalam larutan garam dibandingkan dengan udang yang dikupas terlebih
dahulu. Hal ini mempengaruhi lama penjemur, tekstur, rasa, dan jumlah rendemen
pada hasil olahan. Rendemen udang yang direbus terlebih dahulu kemudian
41

dikupas lalu dijemur akan berbeda dengan udang yang direbus kemudian dijemur
lalu dikupas, terlebih lagi bila udang dikupas terlebih dahulu kemudian direbus
dan dijemur. Untuk perlakuan konsentrasi garam, lama perebusan, dan
perendaman akan mempengaruhi warna, rasa, tekstur, dan aroma. Warna
dipengaruhi oleh lama proses perebusan yang dimana panas akan memecah ikatan
pelindung pigmen udang yang berupa ikatan protein. Rasa dipengaruhi oleh
konsentrasi garam dimana garam akan mengurangi kadar air dan mengeluarkan
cita rasa udang. Aroma amis pada udang akan hilang bila diberi garam dan
dimasak hingga matang, hal demikian ditujukan untuk menghambat pertumbuhan
bakteri pembusuk dan aktivitas enzim.
Berdasarkan aroma yang dihasilkan kelompok 6 mendapati hasilnya
berbau amis yang dimana abis ini dapat diakibatkan oleh penjemuran yang tidak
sempurna karena penjemuran yang tidak sempurna akan mengakibatkan
terjadinya proses oksidasi yang membuat ebi menjadi bau tengik.
Berdasarkan tekstur yang dihasilkan oleh kelompok 6 mendapati hasilnya
keras dan kering. Hal ini dikarenakan ebi yang dikeringkan dengan cara dijemur
mengalami pengerasan. Pengerasan ini diakibatkan karena pada suhu 100o C
menyebabkan protein terkoagulasi dan air dari dalam daging akan keluar. Factor
yang mempengaruhi penjemuran pada praktikum kali ini adalah proses tahapan
pengolahan ebi yang dimana terdapat perlakuan ebi dijemur terlebih dahulu
kemudian dikupas.
Jika dilihat dari parameter rasa yang diperoleh oleh kelompok 6 ebi ini
memiliki rasa yang sedikit asin. Hal tersebut dapat diakibatkan oleh perlakuan ebi
yaitu udang masih terbungkus kulit dan konsentrasi serta lama perebusannya.
Udang yang masih terbungkus kulit tidak secara langsung tergarami dan garam
yang masuk pun tidak efektif.

4.2.5 Petis Udang


Petis merupakan komponen dalam masakan Indonesia yangdibuat dari
produk sampingan pengolahan makanan berkuah(biasanya dari pindang, kupang,
atau udang) yang dipanasi hinggacairan kuah menjadi kental seperti saus yang
42

lebih padat. Dalampengolahan selanjutnya, petis ditambah karamel gula batok.


Inimenyebabkan warnanya menjadi cokelat pekat cenderung hitamdan rasanya
manis.
Dari hasil praktikum yang telah dilakukan oleh kelompok 2 petis yang
dihasilkan memilik tekstur yang kental dengan warna hitamkecoklatan, aroma
khas udang yang kuat, dan dengan rasa yang asin.Rasa, warna, aroma dan tekstur
tersebut diperoleh dari cita rasaudang dengan penambahan bumbu-bumbu dan
gula merahdengan pemasakan yang relatif lama. Jika di bandingkan dengan hasil
yang di dapatkan oleh kelompok 10, perbedaan hasil terletak pada rasa yang
dihasilkan, kelompok 2 memiliki rasa asin sementara kelompok 10 mendapatkan
hasil rasa manis. Hal ini disebabkan oleh perbedaan bobot udang dengan
pemberian garam dan gula yang sama, dapat dilihat kelompok 2 memiliki berat
100gram sedangkan kelompok 10 memiliki berat udang 400gram jelas akan
mengalami perbedaan rasa.
Ebi atau disebut juga ‘udang kering’ merupakan proses pengolahan udang
secara tradisional dengan memanfaatkan metode pengeringan. Istilah ‘ebi’ diambil
dari bahasa Jepang yang juga merupakan salah satu negara pembuat produk ini.
Udang merupakan produk yang paling banyak dikonsumsi di dunia karena
rasanya enak, mudah diperoleh dan praktis dikonsumsi. Produksi udang tangkap
di Indonesia menurut KKPdalam WPI (2010) sebesar 208.539 ton pada tahun
2005 menjadi 236.922 ton pada tahun 2008. Budidaya udang sebesar 280.629 ton
pada tahun 2005 menjadi 409.590 ton pada tahun 2008. Konsumsi udang nasional
sebesar 0,65 kg/kapita/tahun terdiri dari konsumsi udang segar sebesar 0,59
kg/kapita/tahun dan udang awetan (ebi) sebesar 0,06 kg/kapita/tahun.
Proses perebusan dan pengeringan memiliki peranan penting dalam
pembuatan produk ini. Perebusan dengan pengadukan secara periodik bertujuan
mendapatkan udang rebus sesuai spesifikasi mutu udang rebus serta bebas dari
bakteri patogen. Potensi bahaya pada tahap perebusan adalah mutu mengalami
penurunan karena suhu perebusan terlalu tinggi dan proses dilakukan terlalu lama.
Suhu merupakan faktor yang berpengaruh dalam pembuatan makanan.
Peningkatan suhu sebesar 10oC dapat mempercepat proses penurunan mutu
43

sebanyak dua kali lipat. Bahaya lainnya dapat berupa kontaminasi bakteri patogen
karena suhu perebusan terlalu rendah atau waktu perebusan terlalu singkat.
Pengeringan bertujuan mempertahankan daya awet produk ebi dengan cara
mengurangi aktivitas air, mengurangi berat dan volume sehingga menghemat
ruang pengangkutan, pengepakan, serta mempermudah transportasi. Pengeringan
juga berperan meningkatkan nilai sensori suatu produk pangan, seperti menambah
aroma, kerenyahan, kekenyalan, dan parameter sensori lainnya. Pengeringan yang
berlebihan atau kurang baik dapat menyebabkan kemunduran mutu karena
kandungan air melewati tingkat kekeringan dan terjadi kontaminasi bakteri
patogen. Penurunan kandungan air pada bahan pangan akan meningkatkan
konsentrasi protein, lemak, karbohidrat dan mineral-mineral.
Dari hasil praktikum yang telah dilaksanakan oleh kelompok 2 di dapatkan
karakteristik organoleptik ebi berwarna orange, aroma menyengat ikan, tekstur
keras, rasa udang namun sedikit pahit dengan kadar air sebesar 13,48. Jika di
bandingkan dengan kelompok 3 yang memiliki karakteristik sama namun kadar
air yang sangat jauh berbeda yaitu 47,69. Hal ini disebabkan karena proses
pengeringan yang berbeda, proses pengeringan yang dilakukan oleh kelompok 2
yaitu dengan dijemur di bawah terik matahari seharian, mungkin cara kelompok 3
pengeringan tidak dilakukan seharian. Kadar air berpengaruh juga terhadap
tekstur yang dihasilkan, tekstur yang dihasilkan oleh kelompok 2 kering
sedangkan kleompok 3 memiliki tekstur agak lunak, hal tersebut karena
kandungan air yang cukup banyak pada udang kelompok 3.

4.2.6 Kecimpring
Tingkat kesukaan dari panelis terhadap suatu produk dapat dinilai
berdasarkan karakteristik organoleptiknya. Karakteristik organoleptik yang
diamati pada kecimpring ikan meliputi kenampakan, aroma, tekstur dan rasa
kecimpring yang sudah digoreng. Kenampakan kecimpring ikan kelompok 6
terlihat baik. Ukurannya seragam, warna kecimpring setelah digoreng berwarna
coklat muda dan permukaannya seragam bekas garpu serta kecimpring ikan
kelompok 6 tidak berlubang. Persentase daging ikan nila pada kecimpring sangat
44

mempengaruhi terhadap warna yang erat kaitannya dengan reaksi pencoklatan.


Menurut deMan (1997), kecepatan dan pola reaksi pencoklatan ini dipengaruhi
pertama-tama oleh sifat asam amino atau protein yang bereaksi dan sifat
karbohidrat juga oleh suhu, pH, kandungan air, oksigen, logam, fosfat, belerang
dioksida dan inhibitor lainnya yang berarti bahwa setiap jenis makanan dapat
menunjukan pola pencoklatan yang berbeda. Perbedaan tingkat warna di tiap
perlakuan kecimpring dengan penambahan daging ikan nila disebabkan karena
kandungan protein pada daging ikan nila yang terkena suhu tinggi pada proses
penggorengan dan lama penggorengan.
Aroma makanan banyak menentukan kelezatan bahan makanan tersebut.
Pada umumnya aroma yang diterima oleh hidung dan otak lebih banyak
merupakan berbagai campuran empat bau utama yaitu harum, asam, tengik dan
hangus. Aroma dapat dengat cepat memberikan hasil atau penilaian terhadap
produk (Soekarto, 1985). Aroma kecimpring ikan kelompok 6 beraroma khas ikan
namun tidak pekat hanya sedikit beraroma karena ikan yang difortifikasi sebanyak
3,5 %. Tekstur merupakan salah satu penentu diterima atau tidaknya suatu produk.
Tekstur permukaan kecimpring ikan bergerigi karena habis dicetak menggunakan
garpu. Tekstur dipengaruhi oleh kadar air, kadar lemak, tipe dan banyaknya
struktur dari karbohidrat (selulosa, pati dan material pektin) dan protein yang
terkandung dalam bahan tersebut. Perubahan tekstur disebabkan karena hilangnya
kadar air atau lemak atau karena pemecahan dari emulsi atau gel, hidrolisis dari
polimerik karbohidrat dan koagulasi atau hidrolisis protein (Fellows, 2000 dalam
Novianty 2006). Kerenyahan kecimpring ini kurang karena kecimprin lebih tebal,
namun masih dapat dimakan dan aman bagi gigi manusia. Selanjutnya rasa dari
kecimpring ikan kelompok 6 dapat dikatakan enak karena asinnya meresap dan
pas serta rasa ikannya terasa. Rasa ikan yang ada tidak terlalu pekat dan berbau
amis. Kecimpring kelompok 6 rasanya baik dan layak utuk dijual dipasaran dan
dimakan oleh orang banyak. Rasa merupakan kriteria yang menentukan diterima
atau tidaknya suatu produk makanan. Walaupun parameter yang lain lebih baik
tetapi rasanya tidak disukai atau tidak enak maka produk akan ditolak konsumen.
45

Kenampakan merupakan karakteristik pertama yang dapat dinilai karena


dapat dengan mudah dilakukan berdasarkan hasil penilaian visual dan terkadang
menjadi faktor penentu tingkat kesukaan (Winarno, 2004).
Penambahan daging ikan berpengaruh terhadap kenampakan kecimpirng
karena ikan mengandung kadar protein yang cukup tinggi. Adanya protein (gugus
amina primer) dengan gula pereduksi yang berasal dari karbohidrat pada suhu
tinggi akan menghasilkan bahan berwarna cokelat yang disebut sebagai reaksi
Maillard atau pencoklatan non enzim (Winarno, 2004).
Singkong mengandung pati sebesar 35% (Litbang Pertanian, 2011).
Menurut Muchtadi dan Sugiyono (2014) apabila didalam bahan pangan yang
digoreng terdapat kandungan pati, maka suhu tinggi dapat menyebabkan
terjadinya gelatinisasi pada pati. Granula pati yang semula utuh akan pecah dan
membentuk tekstur yang lebih mengembang. Pengembangan granula pati
disebabkan karena terjadinya imbibisi (proses masuknya air kedalam sel) air
kedalam granula pati (Winarno, 2004). Menurut Suarman (1996) dalam Tababaka
(2004), pati merupakan bahan yang memegang peranan utama dalam proses
pemekaran produk karena proses gelatinisasi mempengaruhi volume granula pati
membentuk struktur elastis yang dapat mengembang pada tahap penggorengan.
a. Della Fauzia Kundari
Produk akhir kecimpring ikan kelas B rata-rata memiliki warna kecoklatan
yang pas dan tidak ada yang gosong setelah digoreng. Tekstur kecimpring ikan
kelas B pun berbeda-beda. Ada yang renyah dan ada yang keras. Perbedaan itu
karena adanya perbedaan cetakkan kecimpring ikan setiap kelompok. Kecimpring
ikan yang paling renyah adalah kecimpring ikan kelompok 1. Hal ini karena
kecimpring ikan kelompok 1 ketebalannya rendah dan terjemur sempurna. Artinya
kandungan airnya rendah karena telah menguap ketika dijemur. Perlakuan yang
berbeda menyebabkan perbedaan rasa pada kecimpring ikan. Namun tidak
memberikan perlakuan yang signifikan karena semua kecimpring diberi daging
ikan. Kecimpring semua kelompok terasa enak, perbedaannya hanya pada rasa
dan aroma kecimpring. Ada yang beraroma pekat ikan dan ada juga yang
beraroma ikan tipis. Berdasarkan data kelas, kecimpring yang memiliki susut
46

bobot 40-57% memiliki kerenyahan yang kurang yang bernilai 3 sedang kan yang
memiliki susut bobot lebih dari 60% mempunyai kerenyahan yang tinggi.
b. Mohammad Farid Najibul Wafa
Hasil data kelas tentang praktikum pembuatan kecimpring ikan berbeda-
beda setiap kelompok karena pemberian perlakuan yang berbeda juga. Semua
kecimpring setiap kelompok di uji organoleptik dengan parameter kenampakan
warna, aroma, rasa, dan kerenyahan. Warna kecimpring ikan di kelas B tidak ada
yang bermasalah karena tidak ada yang overcook atau gosong. Aroma kecimpring
ikan berbeda-beda tergantung perlakuan. Perlakuan kelompok 6 adalah yang
paling sedikit daging ikannya yaitu 3,5%. Maka kandungan proteinnya pun lebih
sedikit dari kelompok yang lain. Perlakuan ini menyebabkan aroma ikan dan rasa
ikan tidak terlalu pekat. Kerenyahan dipengaruhi oleh ketebalan cetakan
kecimpring. Kelompok yang paling renyah adalah kelompok 1 dengan susur
bobot 63,3% dan perlakuan daging ikan 4%.
c. Nursilmi Nafisah
Aroma kecimpring dipngaruhi oleh bahan – bahan yang digunakan. Uji
organoleptik parameter aroma kecimpring pada semua kelompok menghasilkan
aroma kecimpring yang beraroma khas kecimpring hal ini menunjukan
penambahan daging ikan tidak terlalu berpegaruh pada aroma. Uji organoleptik
parameter rasa kecimpring hampir semua kelompok menghasilkan kecimpring
yang gurih dan asin.. Kerenyahan kecimpring dipengaruhi oleh ketebalan saat
membentuk adonan. Uji organoleptik parameter kerenyahan kecimpring pada
semua kelompok menghasilkan kecimpring renyah dan beberapa ada yang agak
keras. Kerenyahan kecimpring yang keras terjadi karena saat pembentukan
adonan terlalu tebal sehingga kecimpring menjadi keras.
d. Satria Galuh
Faktor-faktor yang mempengaruhi kerenyahan kecimpring ikan ini ada
tiga yaitu. Pertama ketebalan cetakan kecimpring ikan. Apabila terlalu tebal akan
menyebabkan kecimpring yang keras dan kerenyahannya rendah. Kedua lamanya
penjemuran yaitu melepaskan kadar air didalam kecimpring. Ketiga adalah lama
penggorengan harus tepat sehingga kecimrping menjadi renyah. Kelompok 6,8
47

dan 9 adalah kelompok yang memiliki kerenyahan rendah dan memiliki susut
bobot berturut-turut adalah 42,92%, 54,11%, 57,81%.
Aril Pranata 156
Seseorang yang melakukan uji organoleptik harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut yaitu penguji harus dalam keadaan bahagia agar keadaan psikologi
pada saat itu tidak mempengaruhi rasa, setiap menguji satu produk setelahnya
harus disterilkan dengan air mineral tawar setelah itu baru boleh mencicipi produk
yang lain. Hal ini dilakukan agar rasa dari produk yang sebelumnya tidak terbawa
ketika menguji produk yang lainnya. Dari segi aroma, meskipun telah
ditambahkan ikan nila kedalam adonan ,bau ikan menghilang dan yang tercium
hanya aroma khas kecimpring yang terbuat dari singkong. Ada dua hal yang
menyebabkan bau ikan nila tidak tercium diantaranya akrena penambahan ikan
yang sedikit konsentrasinya sehingga aroma yang tercium didominasi oleh
singkong. Penyebab kedua adalah karena adanya perlakuan penggorengan yang
menyebabkan aroma ikan nila menghilang karena protein dari ikan terdenaturasi.
e. Galuh Chandra Kiran R
Kecimpring yang sudah digoreng selanjutnya diuji organole[tik. Uji
organoleptik atau uji indera ini merupakan cara pengujian menggunakan indera
manusia dalam menentukan kualitas suatu produk hasil pengolahan sehingga
dapat diketahui ukuran daya penerimaan terhadap produk tersebut. pengujian
organoleptik mempunyai peranan yang penting dalam penerapan mutu. Indikasi
yang dapat diketahui dari pengujian organoleptik adalah kebusukan, kemunduran
mutu dan kerusakan lainnya dari produk tersebut. Berdasarkan hasil uji
organoleptik dan kesepakatan semua kelompok terdapat perbedaan warna namun
tidak gosong. Hal ini karena senyawa dari bahan makanan yang digorengt tidak
tahan panas dan akan terurai (Ketaren 1986). Daging ikan nila yang dimasukkan
pada kecimpring memiliki banyak protein yang mengakbiatkan kecimpring pun
memiliki kandungan protein dari daging ikan nila tersebut.
f. M Wildan Maulana
Berdasarkan uji karakteristik fisik kecimpring ikan nila hasil kesepakatan
kelompok, dari segi kerenyahan ada yang mekar, cukup mekar, dan kurang mekar.
48

Tingkat kemekaran ini ada hubungannya dengan ketebalan kecimpring, lama


waktu penjemuran dan lama waktu penggorengan. Selain itu juga dapat
disebabkan oleh adanya penambahan daging ikan. Daging ikan mengandung
banyak air sehingga jika pengolahan kecimpring kurang baik dapat menghasilkan
keicimpring yang kurang mekar sehingga terasa keras. Aroma yang paling pekat
adalah kecimpring ikan pada kelompok yang perlakuannya lebih dari 10% daging
ikan. Begitupun dengan rasa ikan juga paling terasa pada kecimpring ikan
kelompok yang memiliki perlakuan daging ikan lebih dari sama dengan 10%.

.
BAB V
KESIMPULAN

5.1 Bekasam
Kesimpulan yang diperoleh dari hasil praktikum ini adalah bekasam
merupakan produk olahan dari ikan yang diberi perlakuan penggaraman dan
fermentasi. Kadar bahan dan lama waktu fermentasi yang dilakukan akan
mempengaruhi tekstur, rasa, warna dan hasil akhir dari bekasam tersebut.

5.2 Bakso Ikan


Kesimpulan yang didapatkan dari hasil praktikum ini adalah bakso ikan
merupakan produk olahan dari ikan yang dilumatkan dan dicampurkan dengan
tapioka maupun bahan tambahan lainnya. Kadar bahan yang diberikan akan
mempengaruhi tekstur dari bakso tersebut.

5.3 Abon Ikan


Perbedaan perlakuan antar kelompok menghasilkan produk abon ikan lele
dan abon ikan nila memiliki keberagaman citarasa dan karakteristik yang khas.
Pada praktikum pembuatan abon ikan ini menggunakan 2 bahan baku ikan yaitu
ikan nila dan ikan lele. Masing-masing kelompok diberi perlakuan dan ikan yang
berbeda perlakuan diantaranya yaitu Abon Manis, Abon Asin Pedas, Abon Pedas,
Abon pedas sedang, Abon Manis sedang. Setiap perlakuan diberi bahan tambahan
yang sama hanya saja komposisi dari bahan tambahan berupa Gula, Garam, Cabe
berbeda tergantung dari perlakuan. Bahan tambahan abon ikan berupa bumbu
dapur, bawang dan santan agar didapatkan cita rasa yang pas untuk lidah orang
Indonesia

5.4 Ebi
Ebi adalah produk olahan hasil perikanan berupa udang yang diawetkan
dengan cara direbus atau dikukus dengan atau tanpa garam yang kemudian
dikeringkan. Semakin besar rendemen maka semakin bagus pula ebi yang
dihasilkan karena ini berarti kadar air didalam ebi semakin sedikit yang dimana
akan berpengaruh terhadap rasa, aroma, tekstur, dan daya simpan ebi tersebut.

49
50

5.5 Petis Udang


Petis merupakan komponen dalam masakan Indonesia yangdibuat dari
produk sampingan pengolahan makanan berkuah (biasanya dari pindang, kupang,
atau udang) yang dipanasi hinggacairan kuah menjadi kental seperti saus yang
lebih padat. Dalampengolahan selanjutnya, petis ditambah karamel gula batok.
Inimenyebabkan warnanya menjadi cokelat pekat cenderung hitam dan rasanya
manis.

5.6 Kecimpring
Kecimpring bukan merupakan produk asli olahan ikan, namun difortifikasi
dengan daging ikan agar kandungan proteinnya meningkat dan rasanya menjadi
lebih enak seteleh ditambah bahan baku daging ikan. Daging ikan ini tidak
berpengaruh besar terhadap kerenyahan, tekstur dan warna, tapi berpengaruh pada
aroma, rasa dan kandungan kecimpring itu sendiri mengingat kecimpring
berbahan dasar singkong yang tidak memiliki nilai protein. Kerenyahan
dipengaruhi oleh ketebalan cetakkan kecimpring itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Aberle, H. B. Forrest, J. C., E. D. Hendrick., M. D. Judge dan R. A. Merkel. 2001.


Principle of Meat Science. 4th Edit. Kendal/Hunt Publishing, Iowa.
Adawyah, R. 2006. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi
Adawyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara, Jakarta.
Aisyah, S. 1999. Kemampuan Pembentukan Gel Surimi Ikan Nila Hitam.
(Oreochromis niloticus) dan Ikan Lele (Clarias bathracus L.). Skripsi, PHP,
FPIK, Bogor.
Amri, K., Khairuman. 2002. Buku Pintar Budidaya 15 Ikan Konsumsi.
Agromedia. Jakarta.
Andrianto, I.T.T., 2005. Pedoman Praktis Budidaya Ikan Lele. Absolut.
Yogyakarta.
Asana, Farida, dkk. 2013. Laporan Praktikum: Pembuatan Bakso. Peternakan.
Universitas Halu Oleo: Kendari
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2011. Inovasi Pengolahan
Singkong Meningkatkan Pendapatan dan Diversifikasi Pangan. Agro
Inovasi. Jakarta

Barokah, Sugih dkk. 2017. Fortifikasi Daging Nila Terhadap Karakteristik


Organoleptik Dan Kimia Kecimpring. Jurnal perikanan dan kelautas vol 8
no 1/juni 2017

Estiasih, T.dan K.Ahmadi. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Bumi Aksara,


Jakarta
Forrest, J. G., E. D. Alberle., H. B. Hendrick., M. D. Judge dan R. A. Merkel.
1975. Principles of Meat Science. W. H. Freeman, San Fansisco
Iman M, Fauzi dkk. 2017. Fortifikasi daging ikan Nila terhadap Karakteristik
Organoleptik dan Kandungan Gizi Kecimpring. Jurnal Perikanan dan
kelautas vol 8 no 2/Desember 2017 (161-167)

Indarmono, T. P. 1987. Pengaruh Lama Pelayuan Dan Jenis Daging Karkas Serta
Jumlah Es Yang Ditambahkan Ke Dalam Adonan Fisikokimia Bakso Sapi.
Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Irawan, A. 2005. Pengawetan Ikan dan Hasil Perikanan. Aneka: Solo.
Kalista, A., A. Supriadi, S. H. Rachmawati J. 2012. Bekasam Ikan Lele Dumbo
(Clarias gariepinus) dengan Penggunaan Sumber Karbohidrat yang Berbeda.
Jurnal Fishtech Volume 1 Nomor 1 Tahun 2012.

51
52

Muchtadi,T.R dan Sugiyono. 2014. Prinsip Proses dan Teknologi Pangan.


Alfabeta. Bandung

Novianty,H. 2006. Fortifikasi Daging Ikan Patin Terhadap Mutu Kecimpring


Ikan. Skripsi. Universitas Padjadjaran.

Nuraini, A., R. Ibrahim dan L. Rianingsih. 2014. Pengaruh Penambahan


Konsentrasi Sumber Karbohidrat dari Nasi dan Gula Merah yang Berbeda
Terhadap Mutu Bekasam Ikan Nila Merah (Oreochromis niloticus). Jurnal
Saintek Perikanan Volume 10 Nomor 1 Tahun 2014.
Octavianie, Y. 2002. Kandungan Gizi dan Palatabilitas bakso Campuran Daging
dan Jantung Sapi. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Saanin H. 1984. Taksonomi dan kunci identifikasi ikan. Jakarta: Bina
Setiadi, A.N. 2001. Mempelajari Penggunaan Cairan Pikel Ketimun sebagai
Sumber Bakteri Asam Laktat pada Pembuatan Bekasam Ikan Tawes.
Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soekarto,S.T. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil
Pertanian. Bhratara Karya Aksara.

Sugiarto, A. (2008). Buku Pintar Ikan Hias Populer. Jakarta: Agromedia pustaka.
Sunarlin, R. 1992. Karakteristik Mutu Bakso Daging Sapi dan Pengaruh
Penambahan Natrium Klorida Asam Laktat Dan Natrium Tipolofosfat
Terhadap Perbaikan Mutu. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Tababaka,R. 2004. Pemanfaatan Tepung Tulang Ikan Patin (Pangasius sp)
Sebagai Bahan Tambahan Kerupuk.

Wikandari, P. R. dan L. Yuanita. 2016. Pengaruh Degradasi Enzim Proteolitik


Terhadap Aktivitas Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor Bekasam
dengan Lactobacillus plantarum B1765. Jurnal Agritech Voume 36 Nomor
2 Tahun 2016.
Winarno,F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT.Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Praktikum Pembuatan Bekasam

Beras Sangrai Garam

Ikan Nila Penyiangan ikan nila

Penyisikan Ikan Penyimpanan Bekasam

53
54

Alur Proses Pembuatan Bekasam

Insang disiangi dan dibuang isi perutnya, dicuci bersih untuk menghilangkan
lender dan darah

Ikan digarami, seluruh tubuh ikan dilumuri serta bagian perutnya

Dimasukkan dan dicampurkan beras yang telah disangrai sampai kekuningan


dan ditumbuk

Ikan dimasukkan ke dalam toples, ditutup rapat dan di fermentasi selama 7 hari

Setelah 7 hari, ikan di ambil, dibersihkan dari beras dengan cara di lap lalu
digoreng
55

Lampiran 2. Praktikum Pembuatan Bakso Ikan


Alat Pembuatan Bakso

Kain Lap Baskom Sendok

Pisau Talenan Spatula

Bahan Pembuatan Bakso

Bahan utama ikan lele


Bawang Putih Bawang Merah

Tepung tapioka Garam Lada bubuk

Dokumentasi Kegiatan

Pemiletan daging ikan Penggilingan daging Pencampuran daging


filet ikan ikan dan bumbu
56

Pencampuran daging Pembentukan adonan


ikan dan bumbu menjadi bakso Perebusan Bakso

Hasil Bakso Ikan Lele


Alur Proses Pembuatan Bakso Ikan

Diagram Alir Prosedur Pembuatan Bakso Ikan

Difilet ikan, dibuang kulitnya, dicuci hingga bersih

Ditimbang masing-masing daging sesuai perlakuan

Ditambahkan garam pada daging ikan dan dilumatkan sampai lumat dan
homogen

Ditambahkan bumbu-bumbu dan tepung hingga adonan homogen

Dicetak adonan menjadi bentuk bola-bola yang sama besar menggunakan


sendok dan tangan, kemudian direndam air panas (40oC - 50oC ) selama 20
menit

Dimasukan bakso ikan ke dalam air mendidih hingga mengapung ke


permukaan
57

Lampiran 3. Praktikum Pembuatan Abon Ikan


Bahan-bahan Praktikum

Ikan Nila Bawang merah dan putih

Bumbu-bumbu Santan
Alat dan Kegiatan Praktikum

Katel Timbangan
58

Saringan Kegiatan praktikum

Alur Proses Pembuatan Abon

Dibuang isi perut, insang, sisik ikan dan dicuci bersih

Ikan dikukus ikan selama 20-30 menit

Ikan didinginkan, dipisahkan antara daging , tulang dan kulit ikanng

Daging dicincang halus (suwir-suwir)

Dicampurkan bumbu dan daging ikan, tumis hingga setengah matang

Panaskan minyak, daging ikandigoreng matang kecokelatan

Daging ditiriskan dan dipres hingga tekstur seperti serat-serat daging

Abon disewir-sewir dan dikemas pada saat dingin


59

Lampiran 4. Praktikum Pembuatan Ebi

Penimbangan Ebi Perebusan Ebi Penirisan Ebi Pengeringan Ebi

Alur proses pembuatan Ebi

Udang

Ditimbang bobot awal

Direbus dalam larutan garam 4% selama 10 menit, setelah itu ditimbang

Dijemur, setelah itu ditimbang

Dikupas, setelah itu ditimbang

Dihitung rendemen

Dilakukan uji kadar air

Ebi
60

Lampiran 5. Praktikum Pembuatan Petis Udang

Penyangraian tepung tapioca Penumisan Petis

Air hasil rebusan udang Penumisan Petis

Alur proses pembuatan Petis Udang

Limbah larutan pengolahan ebi/ekstrak dipanaskan, disaring menjadi 250 ml


ekstrak

Tepung tapioka disaring

Gula merah diiris kemudian dikaramel dengan api kecil

Tepung tapioca, caramel gula merah dicampurkan dengan ekstrak (yang 250
ml), dipanaskan dengan api sedang sambil terus diaduk sampai homogeny
selama ± 10-20 menit
61

Lampiran 6. Praktikum Pembuatan Kecimpring Ikan

Parutan singkong bawang putih yang dihaluskan

Bumbu yang digunakan Bumbu yang telah ditimbang

Penimbangan bumbu Penimbangan kecimpring


62

Alur Proses Pembuatan Kecimpring

singkong dikupas dandicuci dalam air mengalir, kemudian diparut

daging ikan digiling

dihaluskan bumbu-bumbu yang digunakan

singkong dicampur dengan lamutan daging ikan sesuai perlakuan dan bumbu
halus

adonan mentah dibentuk sesuai kenginan, diletakkan pada loyang yang sudah
dilapisi minyak dan dipipihkan (menggunakan garpu) dengan ketebalah yang
sama

pengukusan dilakukan ketika air sudah mendidih. Adonan yang sudah dicetak
pada loyang diuapkan/dikukus dengan posisi loyang menghadap ke bawah

diuapkan sampai warna berubah menjadi transparan (matang) kemudian


diangkan dan ditiriskan diatas tampah/nyiru

dijemur dibawah terik sinar matahari

digoreng kecimpring diatas minyak panas hingga berwarna coklat muda dan
matang

Anda mungkin juga menyukai