Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN THALASEMIA

DI RUANG MERAK
RSD IDAMAN BANJARBARU

Untuk Menyelesaikan Tugas Profesi Keperawatan Dasar


Profesi
Program Profesi Ners

Disusun Oleh:
Rizka Nazillah
NIM:11194692110119

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MULIA
BANJARMASIN
2021
LEMBAR PERSETUJUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN. N DENGAN THALASEMIA


DI RUANG MERAK RUMAH SAKIT DAERAH IDAMAN KOTA BANJARBARU

Tanggal

Disusun oleh :
Rizka Nazillah NIM. 11194692110119

Banjarmasin, …………………….
Mengetahui,
Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,

(……………………………..) (……………………………..)
NIK. NIK.
KONSEP ANATOMI DAN FISIOLOGI THALASEMIA
A. Anatomi dan Fisiologi Thalasemia

1. Pengertian Hemoglobin
Hemoglobin merupakan pigmen yang mengandung zat besi terdapat
dalam sel darah merah dan berfungsi terutama dalam 13 pengangkutan
oksigen dari paru- paru ke semua sel jaringan tubuh. (Pearce, 2009).
a. Tahap Pembentukan Hb
Tahap pembentukan Hb dimulai dalam eritroblast dan terus
berlangsung sampai tingkat normoblast dan retikulosit. Dari penyelidikan
dengan isotop diketahui bahwa bagian hem dari hemoglobin terutama
disintesis dari asam asetat dan glisin. Sebagian besar sintesis ini terjadi
didalam mitokondria. Langkah awal sintesis adalah pembentukan
senyawa pirol, selanjutnya 4 senyawa pirol bersatu membentuk senyawa
protoporfirin yang kemudian berikatan dengan besi membentuk molekul
hem, akhirnya keempat molekul hem berikatan dengan satu molekul
globin. Satu globin yang disintesis dalam ribosom retikulom endoplasma
membentuk Hb ( Azhar, 2009).
Sintesis Hb dimulai dari suksinil koA yang dibentuk dalam siklus
krebs berikatan dengan glisin yang dipengaruhi oleh enzim asam
aminolevolinat (ALA) molekul pirol. Koenzim pada reaksi tersebut yaitu
piridoksal fosfat (vitamin B6) yang dirangsang oleh eritropoetin, kemudian
empat pirol bergabung untuk membentuk protoporfirin IX yang kemudian
bergabung dengan rantai polipeptida panjang yang disebut globin yang
disintesis di ribosom membentuk sub unit yang disebut rantai Hb (Azhar,
2009).
Pembentukan Hb dalam sitoplasma terjadi bersamaan dengan
proses pembentukan DNA dalam inti sel. Hb merupakan unsur 14
terpenting dalam plasma eritrosit. Molekul Hb terdiri dari globin,
protoporfirin dan besi. Globin dibentuk disekitar ribosom sedangkan
protoporfirin dibentuk disekitar mitokondria, besi didapat dari transferin.
Pada permulaan sel, eritrosit berinti terhadap reseptor transferin.
Gangguan dalam pengikatan besi untuk membentuk Hb akan
mengakibatkan terbentuknya eritrosit dengan sitoplasma yang kecil dan
kurang mengandung Hb. Tidak berhasilnya sitoplasma sel eritrosit berinti
mengikat fe untuk pembentukan Hb dapat disebabkan oleh rendahnya
kadar fe untuk pembentukan Hb dapat disebabkan oleh rendahnya kadar
fe dalam darah ( Azhar, 2009).
b. Metabolisme zat besi
Zat besi merupakan unsur yang penting dalam tubuh dan hampir
selalu berikatan dengan protein tertetu seperti hemoglobin, mioglobin.
Kompartemen zat besi yag terbesar dalam tubuh adalah hemogolbin
yang dalam keadaan normal mengandung kira-kira 2 gram zat besi.
Hemoglobin mengandung 0,34% berat zat besi, dimana 1 mL
eritrosit setara 1 mg zat besi. Feritin merupakan tempat peyimpana
terbesar zat besi dalam tubuh. Fungsi ferritin adalah sebagai peyimpana
zat besi terutama dalam hati, limpa, da sumsum tulang. Zat besi yang
berlebihan akan disimpan dan bila diperlukan dapat dimobilisasi kembali.
Hati merupakan tempat peyimpanan ferritin terbesar di dalam tubuh dan
berperan dalam mobilisasi ferriti serum. Pada penyakit hati akut 15
maupu kronis, kadar ferritin meningkat, ini disebabkan pengambilan
ferritin dalam sel hati terganggu dan terdapat pelepasan ferittin dari sel
hati yang rusak. Pada penyakit keganasan, sel darah kadar ferritin serum
meningkat disebabkan meningkatnya sintesis ferritin oleh sel leukemia
pada keadaan infeksi dan inflamasi, terjadi gangguan pelepasan zat besi
dari sel retikuloedotelial yang mekaismenya belum jelas, akibatya kadar
ferritin intrasel dan serum meningkat. Ferritin disintesis dalam sel
retikuloedotelial dan di sekresikan ke dalam plasma. Sintesis ferritin di
pengaruhi kosentrasi cadangan besi intrasel dan berkaitan pula dengan
cadangan besi intra sel (hemosiderin). Zat besi dalam plasma sebagian
diberikan dengan transferrin, yang berfunsi sebagai transport zat besi.
Tranferrin merupakan suatu glikoprotein, setiap molekul transferrin
mengandung 2 atom fe. Zat besi yang berikatan dengan transferrin akan
terukur sebagai kadar besi serum yang dalam keadaan normal hanya 20-
45% transferrin yang jenuh dengan zat besi, sedangkan kapasitas daya
ikut transferrin seluruhnya disebut daya ikat besi total (total iron binding
capacity, TIBC) (Kiswari, 2014)
B. Kebutuhan Dasar Manusia
Virginia Henderson memperkenalkan definition of nursing (definisi
keperawatan). Menyatakan bahwa definisi keperawatan harus menyertakan
prinsip keseimbangan fisiologis. Henderson sendiri kemudian mengemukakan
sebuah definisi keperawatan yang ditinjau dari sisi fungsional. Menurutnya tugas
perawat adalah membantu individu yang sakit dan yang sehat dalam
melaksanakan berbagai aktivitas guna mendukung kesehatan dan
penyembuhan yang dapat dilakukan secara mandiri oleh individu bila ia memiliki
kekuatan, kemampuan, dan pengetahuan yang dibutuhkan. Di samping itu,
Henderson juga mengembangkan sebuah model keperawatan yang dikenal
dengan “The Activities of Living”. Model tersebut menjelaskan bahwa tugas
perawat adalah membantu individu dengan meningkatnya kemandiriannya
secepat mungkin. Perawat menjalankan tugasnya secara mandiri, tidak
tergantung pada dokter. Akan tetapi perawat tetap menyampaikan rencananya
pada dokter sewaktu mengunjungi pasien.
Menurut Henderson, kebutuhan dasar manusia terdiri atas 14 komponen
yang merupakan komponen kerja dalam melakukan asuhan keperawatan. Ke-14
kebutuhan tersebut adalah sebagai berikut. Bernafas secara normal, makan dan
minum secara cukup, eliminasi, bergerak dan mempertahankan posisi yang
dikehendaki, istirahat dan tidur, memilih cara berpakaian dan melepas pakaian,
menjaga suhu tubuh tetap dalam batas normal, menjaga tubuh tetap bersih dan
rapih, menghindari bahaya lingkungan, berkomunikasi dengan orang lain,
beribadah sesuai keyakinan, bekerja dengan tata cara yang mengandung unsur
prestasi, bermain dan berpartisipasi dalam berbagai bentuk rekreasi, belajar
mengetahui atau memuaskan rasa keingintahuan yang mengacu pada
perkembangan dan kesehatan normal.
Keempat belas kebutuhan dasar manusia diatas dapat diklasifikasikan
menjadi empat kategori, yaitu komponen-komponen biologis, psikologis,
sosiologis dan spiritual. Kebutuhan dasar poin 1 - 9 termasuk komponen
kebutuhan biologis. Poin 10 dan 14 termasuk komponen kebuuhan psikologis.
Poin 11 termasuk kebutuhan spiritual. Sedangkan poin 12 dan 13 termasuk
komponen kebutuhan sosiologis. Dari 14 kebutuhan menurut teori Henderson
penulis mengambil kebutuhan belajar.
1. Kebutuhan belajar
Pembelajaran merupakan upaya mendapatkan pengetahuan, sikap, dan
keterampilan. Proses belajar mengajar merupakan proses yang aktif,
membutuhkan keterlibatan baik pengajar maupun peserta didik dalam upaya
meraih hasil yang diinginkan yaitu perubahan dalam perilaku. Belajar
merupakan upaya menguasai sesuatu yang berguna untuk kehidupan.
Upaya pendidikan kesehatan klien merupakan aspek utama praktik
keperawatan, dan merupakan fungsi keperawatan mandiri yang penting.
Pendidikan klien meliputi berbagai aspek yakni, upaya promosi, perlindungan
dan pemeliharaan kesehatan. Hal tersebut meliputi penyuluhan tentang
upaya mengurangi faktor resiko, meningkatkan kesejahteraan individu dan
mengambil langkah-langkah perlindungan kesehatan tertentu.
a. Pengertian belajar
Belajar merupakan proses yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru sebagai hasil
pengalaman interaksi dengan lingkungan. Belajar merupakan upaya
menguasai sesuatu yang berguna untuk hidup. Upaya yang dilakukan
dalam berlajar adalah menghapal, mengingat, dan menghasilkan. Belajar
dapat membuat individu menguasai pengetahuan, keterampilan, dan
sikap. Dimana dalam proses ini dapat meneriman informasi dengan
tujuan akhir terjadi perubahan dalam perilaku peserta didik.
Perawat sebagai pendidik dan pasien sebagai peserta didik sama-
sama memiliki tanggung jawab pada kegiatan proses belajar mengajar.
Pengetahuan adalah “power”, dengan membagi pengatahuan pada
pasien maka perawat “mengempower” pasien untuk mencapai tingkat
kesejahteraan klien yang maksimal. Dengan adanya informasi yang
diberikan, diharapkan dapat mengubah perilaku dari pasien untuk
menerima informasi yang baru (Niman, 2017).
b. Ciri-ciri kegiatan belajar
1) Terjadi perubahan baik aktual maupun potensial pada diri individu
yang belajar.
2) Perubahan diperoleh karena usaha dan perjuangan.
3) Perubahan didapat karena kemampuan baru yang berlangsung relatif
lama.
c. Fase belajar
Secara teori Gagne, (2002) dikenal 4 fase belajar dalam teori belajar.
Fase tersebut meliputi:
1) Fase penerimaan (Apprehending phase)
Pada fase ini, individu akan memberikan perhatian, menerima dan
merekam stimulus pembelajaran.
2) Fase penguasaan (Acquisition phase)
Pada fase ini, individu akan membuktikan adanya perubahan
kemampuan atau karena telah melakukan proses pembelajaran.
3) Fase pengendapan (Storange phase)
Individu pada fase pengendapan akan menyimpan dalam ingatan
proses pembelajaran yang telah dilakukan.
4) Fase pengungkapan kembali (Retrieval phase)
Pada fase ini, individu akan mengungkapkan kembali apa yang telah
dipelajari.
2. Model Pembelajaran
Model pembelajaran adalah pola yang menggambarkan tahapan
pembelajaran. Ada beberapa model pembelajaran yaitu :
a. Model interaksi sosial (Social interaction model)
Model ini menitik beratkan pada hubungan individu dengan
masyarakat atau individu lainnya. Berdasarkan model ini, strategi
pembelajaran yaitu: kerja kelompok, dan role play seperti penyuluhan
yang diberikan kepada keluarga pasien maupun kumpulan dari pasien
thalasemia. Proses penyuluhan dapat dilakukan di unit rawat jalan (self
help group)
b. Model proses informasi (Information processing model)
Orientasi dari model ini adalah kemampuan individu memproses
informasi. Contoh strategi pembelajaran yaitu: ceramah. Dalam model ini
ceramah dapat diberikan di unit rawat jalan maupun rawat inap.

c. Model personal
Model ini berorientasi pada individu dan pengembangan dari
individu. Dimana pada model ini menerapkan afektif, kognitif, dan
psikomotor. Contoh strategi pembelajaran yaitu: pasien diminta untuk
memparagakan ulang dan menjelaskan kembali apa yang telah
disampaikan, serta pasien dapat membuat jadwal untuk pengobatan.
3. Bidang pembelajaran
Pembelajaran terjadi dalam tiga bidang, yaitu: kognitif (pemahaman),
afektif (sikap), dan psikomotor (keterampilan motorik).
a. Pembelajaran kognitif
Pembelajaran kognitif meliputi seluruh perilaku intelektual dan
membutuhkan pemikiran. Pada perilaku kognitif yaitu perilaku
memperoleh pengetahuan.
b. Pembelajaran afektif
Pembelajaran afektif berhadapan dengan ekspresi perasaan dan
penerimaan sikap, opini atau nilai.
c. Pembelajaran psikomotor
Pembelajaran psikomotor melibatkan perolehan keterampilan yang
membutuhkan integritas aktivitas mental dan otot, seperti kemampuan
jalan atau menggunakan alat makan (Jenita, 2017).
4. Faktor yang mempengaruhi belajar
Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar juga dapat dikelompokkan
menjadi faktor internal dan eksternal.
a. Faktor internal
Faktor ini berasal dari dalam diri individu, terdiri dari:
1) Faktor fisiologis
a) Kematangan fisik
Fisik yang sudah matang atau siap untuk belajar akan
mempermudah dan memperlancar proses belajar atau sebaliknya.
Pada pasien thalasemia adanya gangguan motorik yang
menyebabkan terganggunya tumbuh kembang pada anak.

b) Keadaan indra
Keadaan indra yang sehat atau normal, terutama penglihatan dan
pendengaran akan memperlancar dan mendukung proses belajar
atau sebaliknya.
c) Keadaan kesehatan
Kondisi badan tidak sehat termasuk kecacatan ataupun
kelemahan, misalnya: kurang gizi, sakit-sakitan, kurang vitamin,
gangguan bicara atau cacat tubuh lain, akan menjadi kendala dan
menghambat proses belajar atau sebaliknya. Demikan hal yang
dialami pada anak thalasemia, pada saat anak thalasemia harus
melakukan transfusi darah dikarenakan kondisi hemoglobin yang
kurang didalam tubuh sehingga mengakibatkan penimbunan zat
besi dalam tubuh yang disebabkan transfusi darah secara teratur.
2) Faktor psikologi
a) Motivasi
Belajar yang dilandasi motivasi yang kuat dan berasal dari dalam
diri individu akan memperlancar proses belajar atau sebaliknya.
Hal ini akan membuat pasein akan lebih giat dalam memahami
dan mempelajari lebih lanjut pembelajaran yang diberikan.
b) Emosi
Emosi yang stabil, terkendali, dan tidak emosional akan
mendukung proses belajar.
c) Sikap
Sikap negatif terhadap mata pelajaran, fasilitator kondisi fisik dan
dalam menerima pelajaran dapat menghambat atau kendala
dalam proses belajar atau sebaliknya.
d) Minat
Bahan pelajaran yang menarik minat akan mempermudah individu
untuk mempelajari dengan sebaik-baiknya atau sebaliknya.
e) Bakat
Seseorang yang tidak berbakat pada bidang tertentu, apabila
memasuki jurusan atau mengikuti pelajaran yang tidak sesuai
bakatnya akan menimbulkan hambatan dalam proses belajar atau
sebaliknya.
f) Intelegensi
Diantara berbagai faktor yang dapat memengaruhi belajar, faktor
intelegensi sangat besar pengaruhnya dalam proses dan
kemajuan belajar individu. Apabila individu memiliki intelegensi
rendah, sulit untuk memperoleh hasil belajar yang baik atau
sebaliknya.
g) Kreativitas
Individu yang memiliki kreativitas ada usaha untuk memperbaiki
kegagalan sehingga akan merasa aman bila menghadapi
pelajaran.
b. Faktor eksternal
Faktor ini berasal dari luar diri individu, yang terdiri dari faktor sosial, yaitu
faktor manusia lain yang berada diluar dari subjek yang sedang belajar.
1) Orang tua
Orang tua yang mampu mendidik dengan baik, mampu
berkomunikasi dengan baik, penuh perhatian terhadap anak dan
mampu menciptakan hubungan baik dengan anak-anaknya, akan
berpengaruh besar terhadap keberhasilan belajar anak tersebut atau
sebaliknya.
2) Manusia yang hadir
Manusia yang hadir pada saat seseorang sedang belajar dapat
mengganggu proses belajar. Namun sebaliknya, kehadiran sesorang
yang memiliki latar belakang dengan penyakit yang sama akan
membantu dalam proses belajar menjadi lebih baik.
3) Alat bantu
Dapat berupa film, video, atau kaset yang diputar dan ditampilkan
sehingga dapat mengganggu individu yang sedang belajar. Namun
sebaliknya, alat bantu yang diberikan dalam bentuk visual untuk
menunjang proses pembelajar akan sangat membantu.
Konsep Dasar Thalasemia
A. Definisi
Thalasemia merupakan suatu sindrom kelainan darah yang diwariskan
(inherited) dan merupakan kelompok penyakit hemoglobinopati, yaitu kelainan
yang disebabkan oleh gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam
atau dekat gen globin. Kelainan hemoglobin pada penderita thalasemia akan
menyebabkan eritrosit mudah mengalami destruksi, sehingga usia sel-sel darah
merah menjadi lebih pendek dari normal yaitu berusia 120 hari (Marnis, Indriati,
& Nauli, 2018).
Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan ditandai oleh
defisiensi produk rantai globulin pada hemoglobin (Suriadi, 2010). Penyakit
thalasemia merupakan salah satu penyakit genetik tersering di dunia. Penyakit
genetic ini diakibatkan oleh ketidakmampuan sumsum tulang membentuk protein
yang dibutuhkan untuk memproduksi hemoglobin (Potts & Mandleco, 2007).
Hemoglobin merupakan protein kaya zat besi yang berada di dalam sel darah
merah yang berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru-paru keseluruh
bagian tubuh (McPhee & Ganong, 2010) dalam (Rosnia Safitri, Juniar Ernawaty,
2015).
B. Klasifikasi
Klasifikasi dari penyakit thalassemia menurut Suriadi (2006) yaitu :
1. Thalassemia alfa
Thalassemia alfa merupakan jenis thalassemia yang mengalami penurunan
sintesis dalam rantai alfa.
2. Thalassemia beta
Thalassemia beta merupakan jenis thalassemia yang mengalami penurunan
pada rantai beta. Sedangkan berdasarkan jumlah gen yang mengalami
gangguan,
Hockenberry & Wilson (2009) mengklasifikasikan Thalasemia menjadi :
1. Thalasemia Minor
Thalasemia minor merupakan keadaan yang terjadi pada seseorang yang
sehat namun orang tersebut dapat mewariskan gen Thalasemia pada anak-
anaknya. Thalasemia trait sudah ada sejak lahir dan tetap akan ada
sepanjang hidup penderita. Penderita tidak memerlukan transfusi darah
dalam hidupnya.
2. Thalasemia Intermedia
Thalasemia intermedia merupakan kondisi antara Thalasemia mayor dan
minor. Penderita Thalasemia ini mungkin memerlukan transfusi darah secara
berkala, dan penderita Thalasemia jenis ini dapat bertahan hidup sampai
dewasa.
3. Thalasemia Mayor
Thalasemia jenis ini sering disebut Cooley Anemia dan terjadi apabila kedua
orangtua mempunyai sifat pembawa Thalasemia (Carrier). Anak-anak dengan
Thalasemia mayor tampak normal saat lahir, tetapi akan menderita
kekurangan darah pada usia 3-18 bulan. Penderita Thalasemia mayor akan
memerlukan transfusi darah secara berkala seumur hidupnya dan dapat
meningkatkan usia hidup hingga 10-20 tahun. Namun apabila penderita tidak
dirawat penderita Thalasemia ini hanya bertahan hidup sampai 5-6 tahun
(Potts & Mandleco, 2007). (Bakta, 2003; Permono, dkk, 2006; Hockenberry &
Wilson, 2009). Thalasemia mayor biasanya menjadi bergejala sebagai
anemia hemolitik kronis yang progresif selama 6 bulan kehidupan. Transfusi
darah reguler diperlukan pada penderita ini untuk mencegah kelemahan yang
amat dan gagal jantung yang disebabkan oleh anemia (Nelson, 2000) dalam
(Putri, 2015)
C. Etiologi
Thalassemia merupakan penyakit anemia hemolitik herediter yang
diturunkan secara resesif. ditandai oleh defisiensi produksi globin pada
hemoglobin. Dimana terjadi kerusakan sel darah merah di dalam pembuluh
darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (kurang dari 100 hari). kerusakan
tersebut karena hemoglobin yang tidak normal (hemoglobinopatia). Sebagian
besar penderita thalassemia terjadi karena factor turunan genetic pada sintesis
hemoglobin yang diturunkan oleh orang tua (Suriadi, 2006).
Sementara menurut Ngastiyah (2006) Penyebab kerusakan tersebut karena
hemoglobin yang tidak normal (hemoglobinopatia) dan kelainan hemoglobin ini
karena adanya gangguan pembentukan yang disebabkan oleh gangguan
structural pembentukan hemoglobin (hemoglobin abnormal) misalnya pada HbS,
HbF, HbD dan sebagainya, selain itu gangguan jumlah (salah satu/beberapa)
rantai globin seperti pada thalassemia.
Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin alfa dan beta, yang
diperlukan dalam pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat
yang diturunkan. Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen
dari kedua orang tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut
hanya menjadi pembawa tetapi tidak menunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini.
D. Patofisiologi
Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi bone marrow memproduksi RBC
yang lebih. Dalam stimulasi yang konstan pada bone marrow, produksi RBC
secara terus-menerus pada suatu dasar kronik, dan dengan cepatnya destruksi
RBC, menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi
dan destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi hemoglobin.
Kelebihan produksi dan destruksi RBC menyebabkan bone marrow menjadi tipis
dan mudah pecah atau rapuh.
Penyebab anemia pada talasemia bersifat primer dan sekunder. Penyebab
primer adalah berkurangnya sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif
disertai penghancuran sel-sel eritrosit intrameduler. Penyebab sekunder adalah
karena defisiensi asam folat, bertambahnya volume plasma intravaskuler yang
mengakibatkan hemodilusi, dan destruksi eritrosit oleh system retikuloendotelial
dalam limfa dan hati. Penelitian biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA
pada gen sehingga produksi rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang.
Tejadinya hemosiderosis merupakan hasil kombinasi antara transfusi berulang,
peningkatan absorpsi besi dalam usus karena eritropoesis yang tidak efektif,
anemia kronis serta proses hemolysis.
E. Pathway
Mempengaruhi paru-paru
sepsis (pneumonia)

Sumber : (Nurarif & Kusuma, 2016) (PPNI, 2016)


E. Manifestasi Klinis
Pada beberapa kasus Thalassemia dapat ditemukan gejala-gejala seperti:
badan lemah, kulit kekuningan (jaundice), urin gelap, cepat lelah, denyut jantung
meningkat, tulang wajah abnormal dan pertumbuhan terhambat serta permukaan
perut yang membuncit dengan pembesaran hati dan limpa
Pasien Thalassemia mayor umumnya menunjukkan gejala-gejala fisik berupa
hambatan pertumbuhan, anak menjadi kurus, perut membuncit akibat
hepatosplenomegali dengan wajah yang khas, frontal bossing, mulut tongos
(rodent like mouth), bibir agak tertarik, dan maloklusi gigi. Perubahan ini terjadi
akibat sumsum tulang yang terlalu aktif bekerja untuk menghasilkan sel darah
merah, pada Thalassemia bisa menyebabkan penebalan dan pembesaran tulang
terutama tulang kepala dan wajah, selain itu anak akan mengalami pertumbuhan
yang terhambat. Akibat dari anemia kronis dan transfusi berulang, maka pasien
akan mengalami kelebihan zat besi yang kemudian akan tertimbun di setiap
organ, terutama otot jantung, hati, kelenjar pankreas, dan kelenjar pembentuk
hormon lainnya, yang dikemudian hari akan menimbulkan komplikasi. Perubahan
tulang yang paling sering terlihat terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah.
Kepala pasien Thalassemia mayor menjadi besar dengan penonjolan pada tulang
frontal dan pelebaran diploe (spons tulang) tulang tengkorak hingga beberapa kali
lebih besar dari orang normal.
F. Komplikasi
Berikut ini adalah beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penderita
thalassemia.
1. Komplikasi Jantung, Kerusakan jantung akibat terlalu banyak zat besi dapat
menyebabkan penurunan kekuatan pompa jantung, gagal jantung, aritmia
atau detak jantung yang tidak beraturan, dan terkumpulnya cairan di jaringan
jantung. Ada beberapa pemeriksaan rutin yang harus dilakukan penderita
thalasemia beta mayor, yaitu pemeriksaan tiap enam bulan sekali untuk
memeriksa fungsi jantung, dan setahun sekali pemeriksaan menyeluruh
untuk memeriksa konduksi aliran listrik jantung menggunakan
electrocardiogram oleh dokter spesialis jantung. Perawatan untuk
meningkatkan fungsi jantung dapat dilakukan dengan terapi khelasi yang
lebih menyeluruh dan mengonsumsi obat penghambat enzim konversi
angiotensin.
2. Komplikasi pada Tulang Sumsum tulang akan berkembang dan
memengaruhi tulang akibat tubuh kekuerangan sel darah merah yang sehat.
Komplikasi tulang yang dapat terjadi adalah sebagai berikut:
a. Nyeri persendian dan tulang
b. Osteoporosis
c. Kelainan bentuk tulang
d. Risiko patah tulang meningkat jika kepadatan tulang menjadi rendah.
3. Pembesaran Limpa (Splenomegali), Pembesaran limpa terjadi karena limpa
sulit untuk mendaur ulang sel darah yang memiliki bentuk tidak normal dan
berakibat kepada meningkatnya jumlah darah yang ada di dalam limpa,
membuat limpa tumbuh lebih besar. Transfusi darah yang bertujuan
meningkatkan sel darah yang sehat akan menjadi tidak efektif jika limpa telah
membesar dan menjadi terlalu aktif, serta mulai menghancurkan sel darah
yang sehat. Splenectomy atau operasi pengangkatan limpa merupakan satu-
satunya cara untuk mengatasi masalah ini.Vaksinasi untuk mengatasi
potensi infeksi yang serius, seperti flu dan meningitis, disarankan untuk
dilakukan jika anak Anda telah melakukan operasi pengangkatan limpa, hal
ini dikarenakan limpa berperan dalam melawan infeksi. Segera temui dokter
jika anak Anda memiliki gejala infeksi, seperti nyeri otot dan demam, karena
bisa berakibat fatal.
4. Komplikasi pada Hati, Kerusakan hati akibat terlalu banyak zat besi dapat
menyebabkan terjadinya beberapa hal, seperti fibrosis atau pembesaran hati,
sirosis hati atau penyakit degeneratif kronis di mana sel-sel hati normal
menjadi rusak, lalu digantikan oleh jaringan parut, serta hepatitis. Oleh
karena itu, penderita thalassemia dianjurkan untuk memeriksa fungsi hati tiap
tiga bulan sekali. Pencegahan infeksi hati dapat dilakukan dengan
mengonsumsi obat antivirus, sedangkan mencegah kerusakan hati yang
lebih parah dapat dilakukan terapi khelasi.
5. Komplikasi pada Kelenjar Hormon, Sistem hormon diatur oleh kelenjar
pituitari yang sangat sensitif terhadap zat besi. Para penderita thalassemia
beta mayor, walaupun telah melakukan terapi khelasi, dapat mengalami
gangguan sistem hormon. Perawatan dengan terapi pergantian hormon
mungkin diperlukan untuk mengatasi pertumbuhan dan masa pubertas yang
terhambat akibat kelenjar pituitari yang rusak. Ada beberapa komplikasi pada
kelenjar hormon yang dapat terjadi usai pubertas seperti berikut ini:
a. Kelenjar tiroid – hipertiroidisme atau hipotiroidisme
b. Pankreas – diabetes.
G. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis untuk Thalassemia terdapat dua yaitu secara screening test dan
definitive test. Di daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui
sebagai gangguan Thalassemia (Wiwanitkit, 2007).
1. Screening test
a. Interpretasi apusan darah
Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat dideteksi pada
kebanyakkan Thalassemia kecuali Thalassemia α silent carrier.
Pemeriksaan apusan darah rutin dapat membawa kepada diagnosis
Thalassemia tetapi kurang berguna untuk skrining.
b. Pemeriksaan osmotic fragility (OF)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragiliti eritrosit.(Wiwanitkit,
2007).
c. Indeks eritrosit
Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicari tetapi hanya
dapat mendeteksi mikrositik dan hipokrom serta kurang memberi nilai
diagnostik. Maka metode matematika dibangunkan (Wiwanitkit, 2007).
d. Model matematika
Membedakan anemia defisiensi besi dari Thalassemia β berdasarkan
parameter jumlah eritrosit digunakan. Beberapa rumus telah dipropose
tetapi kebanyakkannya digunakan untuk membedakan anemia defisiensi
besi dengan Thalassemia β (Wiwanitkit, 2007).
2. Definitive test
a. Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan pelbagai jenis tipe hemoglobin di dalam
darah. Pada dewasa konstitusi normal hemoglobin adalah Hb A1 95-98%,
Hb A2 2-3%, Hb F 0.8-2% (anak di bawah 6 bulan kadar ini tinggi
sedangkan neonatus bisa mencapai 80%). Nilai abnormal bisa digunakan
untuk diagnosis Thalassemia seperti pada Thalassemia minor Hb A2 4-
5.8% atau Hb F 2-5%, Thalassemia Hb H: Hb A2 <2% dan Thalassemia
mayor Hb F 10-90%. Pada negara tropikal membangun, elektroporesis bisa
juga mendeteksi Hb C, Hb S dan Hb J (Wiwanitkit, 2007).
b. Kromatografi hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik dengan Hb C.
Pemeriksaan menggunakan high performance liquid chromatography
(HPLC) pula membolehkan penghitungan aktual Hb A2 meskipun terdapat
kehadiran Hb C atau Hb E. Metode ini berguna untuk diagnosa
Thalassemia β karena ia bisa mengidentifikasi hemoglobin dan variannya
serta menghitung konsentrasi dengan tepat terutama Hb F dan Hb A2
(Wiwanitkit, 2007).
c. Molecular diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis Thalassemia.
Molecular diagnosis bukan saja dapat menentukan tipe Thalassemia malah
dapat juga menentukan mutasi yang berlaku (Wiwanitkit, 2007).
H. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan Thalasemia bergantung pada jenis dan tingkat keparahan dari
gangguan. Seseorang pembawa atau yang memiliki sifat alfa atau beta
Thalasemia cenderung ringan atau tanpa gejala dan hanya membutuhkan sedikit
atau tanpa pengobatan. Terdapat tiga standar perawatan umum untuk
Thalasemia tingkat menengah atau berat, yaitu transfusi darah, terapi besi dan
chelation, serta menggunakan suplemen asam folat. Selain itu, terdapat
perawatan lainnya adalah dengan transplantasi sum-sum tulang belakang,
pendonoran darah tali pusat, dan HLA (Children's Hospital & Research Center
Oakland, 2005).
1. Transfusi darah
Transfusi yang dilakukan adalah transfusi sel darah merah. Terapi ini
merupakan terapi utama bagi orang-orang yang menderita Thalasemia
sedang atau berat. Khusus untuk penderita beta Thalasemia intermedia,
transfusi darah hanya dilakukan sesekali saja, tidak secara rutin. Sedangkan
untuk beta Thalasemia mayor (Cooleys Anemia) harus dilakukan secara
teratur (Children's Hospital & Research Center Oakland, 2005). Terapi
diberikan secara teratur untuk mempertahankan kadar Hb di atas 10 g/dl
(Arnis, 2016).
Dosis yang digunakan untuk transfusi PRC pada anak adalah 10-15
mL/kgBB/hari apabila Hb >6,0 g/dL, sedangkan pada Hb <5,0 g/dL, transfusi
PRC dapat dilakukan dengan dosis 5 mL/kgBB dalam 1 jam pertama.
(Wahidiyat,2016)
2. Terapi Khelasi Besi (Iron Chelation)
Hemoglobin dalam sel darah merah adalah zat besi yang kaya protein.
Apabila melakukan transfusi darah secara teratur dapat mengakibatkan
penumpukan zat besi dalam darah. Kondisi ini dapat merusak hati jantung,
dan organ-organ lainnya. Untuk mencegah kerusakan ini, terapi khelasi besi
diperlukan untuk membuang kelebihan zat besi dari tubuh. Terdapat dua
obat-obatan yang digunakan dalam terapi khelasi besi menurut National
Hearth Lung and Blood Institute (2008) yaitu:
a. Deferoxamine
Deferoxamine adalah obat cair yang diberikan melalui bawah kulit
secara perlahan-lahan dan biasanya dengan bantuan pompa kecil yang
digunakan dalam kurun waktu semalam. Terapi ini memakan waktu lama
dan sedikit memberikan rasa sakit. Efek samping dari pengobatan ini
dapat menyebabkan kehilangan penglihatan dan pendengaran.
b. Deferasirox adalah pil yang dikonsumsi sekali sehari. Efek sampingnya
adalah sakit kepala, mual, muntah, diare, sakit sendi, dan kelelahan.
3. Suplemen Asam Folat Asam folat adalah vitamin B yang dapat membantu
pembangunan sel-sel darah merah yang sehat. Suplemen ini harus tetap
diminum di samping melakukan transfusi darah ataupun terapi khelasi besi.
a. Transplantasi sum-sum tulang belakang Bone Marrow Transplantation
(BMT) sejak tahun 1900 telah dilakukan. Darah dan sumsum
transplantasi sel induk normal akan menggantikan sel-sel induk yang
rusak. Sel-sel induk adalah sel- sel di dalam sumsum tulang yang
membuat sel-sel darah merah. Transplantasi sel induk adalah satu-
satunya pengobatan yang dapat menyembuhkan Thalasemia. Namun,
memiliki kendala karena hanya sejumlah kecil orang yang dapat
menemukan pasangan yang baik antara donor dan resipiennya (Okam,
2001).
b. Pendonoran darah tali pusat (Cord Blood) Cord
Cord blood adalah darah yang ada di dalam tali pusat dan plasenta.
Seperti tulang sumsum, itu adalah sumber kaya sel induk, bangunan blok
dari sistem kekebalan tubuh manusia. Dibandingkan dengan pendonoran
sumsum tulang, darah tali pusat non-invasif, tidak nyeri, lebih murah dan
relatif sederhana (Okam, 2001).
4. HLA (Human Leukocyte Antigens)
Human Leukocyte Antigens (HLA) adalah protein yang terdapat pada
sel dipermukaan tubuh. Sistem kekebalan tubuh kita mengenali sel kita
sendiri sebagai 'diri' dan sel „asing' sebagai lawan didasarkan pada protein
HLA ditampilkan pada permukaan sel kita. Pada transplantasi sumsum
tulang, HLA ini dapat mencegah terjadinya penolakan dari tubuh serta Graft
versus Host Disease (GVHD). HLA yang terbaik untuk mencegah penolakan
adalah melakukan donor secara genetik berhubungan dengan penerima
(Okam, 2001).
I. Penatalaksanaan Keperawatan
Pada dasarnya perawatan thalasemia sama dengan pasien anemia lainnya,
yaitu memerlukan perawatan tersendiri dan perhatian lebih. Masalah pasien
yang perlu diperhatikan adalah risiko terjadi komplikasi akibat tranfusi yang
berulang-ulang, gangguan rasa aman dan nyaman, kurangnya pengetahuan
orang tua mengenai penyakit dan cemas orang tua terhadap kondisi anak
(Ngastiyah, 2005).
Menurut Suriadi (2006) tindakan keperawatan yang dapat dilakukan terhadap
pasien dengan thalassemia di antaranya membuat perfusi jaringan pasien
menjadi adekuat kembali, mendukung anak tetap toleran terhadap aktivitasnya,
memenuhi kebutuhan nutrisi yang adekuat dan membuat keluarga dapat
mengatasi masalah atau stress yang terjadi pada keluarga.
Selain tindakan keperawatan yang di atas tadi, perawat juga perlu
menyiapkan klien untuk perencanaan pulang seperti memberikan informasi
tentang kebutuhan melakukan aktivitas sesuai dengan tingkat perkembangan
dan kondisi fisik anak, jelaskan terapi yang diberikan mengenai dosis dan efek
samping, jelaskan perawatan yang diperlukan di rumah, tekankan untuk
melakukan control ulang sesuai waktu yang di tentukan (Suriadi, 2006).

J. Pengkajian Fokus Keperawatan


1. Pengkajian Keperawatan
a. Asal Keturunan/Kewarganegaraan
b. Umur, pada thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala tersebut
telah terlihat sejak anak berumur kurang dari 1 tahun.
c. Riwayat kesehatan anak
d. Pertumbuhan dan perkembangan, sering didapatkan data mengenai
adanya kecenderungan gangguan terhadap tumbuh kembang sejak anak
masih bayi, karena adanya pengaruh hipoksia jaringan yang bersifat
kronik.
e. Riwayat kesehatan keluarga.
f. Riwayat ibu saat hamil (Ante Natal Core – ANC)
g. Pola makan, karena adanya anoreksia, anak sering mengalami susah
makan, sehingga berat badan anak sangat rendah dan tidak sesuai
dengan usianya.
h. Pola aktivitas, anak terlihat lemah dan tidak selincah anak usianya. Anak
banyak tidur / istirahat, karena bila beraktivitas seperti anak normal
mudah merasa lelah.
2. Pengkajian Fisik
a. Keadaan umum = Anak biasanya terlihat lemah dan kurang bergairah
serta tidak selincah anak seusianya yang normal.
b. Kepala dan bentuk muka.Anak yang belum/tidak mendapatkan
pengobatan mempunyai bentuk khas, yaitu kepala membesar dan bentuk
mukanya adalah mongoloid, yaitu hidung pesek tanpa pangkal hidung,
jarak kedua mata lebar, dan tulang dahi terlihat lebar.
c. Mata dan konjungtiva terlihat pucat kekuningan.
d. Mulut dan bibir terlihat pucat kehitaman.
e. Dada, pada inspeksi terlihat bahwa dada sebelah kiri menonjol akibat
adanya pembesaran jantung yang disebabkan oleh anemia kronik.
f. Perut, kelihatan membuncit dan pada perabaan terdapat pembesaran
limpa dan hati ( hepatosplemagali).
g. Pertumbuhan fisiknya terlalu kecil untuk umurnya dan BB nya kurang dari
normal. Ukuran fisik anak terlihat lebih kecil bila dibandingkan dengan
anak-anak lain seusianya.
h. Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas Ada
keterlambatan kematangan seksual, misalnya, tidak adanya pertumbuhan
rambut pada ketiak, pubis, atau kumis.
i. Kulit, warna kulit pucat kekuning- kuningan. Jika anak telah sering
mendapat transfusi darah, maka warna kulit menjadi kelabu seperti besi
akibat adanya penimbunan zat besi dalam jaringan kulit (hemosiderosis)
(Wiayaningsih, 2013)
K. Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif
2. Perfusi perifer tidak efektif
3. Intoleransi aktivitas
4. Resiko gangguan integritas kulit / jaringan
5. Resiko infeksi
6. Gangguan citra tubuh
7. Gangguan tumbuh kembang
Masalah keperawatan Luaran Intervensi
Setelah diberikan tindakan keperawatan I.01011 Managemen jalan nafas
selama 1 x 8 jam diharapkan keluhan pasien
dapat teratasi dengan kriteria hasil : Observasi :
L.01004 Pola Nafas 1. Monitor pola nafas.
1. Dipsnea pasien dari cukup meningkat (2) 2. Monitor bunyi nafas
menjadi cukup menurun (4) Terapeutik :
2. Pernafasan cuping hidung dari cukup 1. Posisikan semi fowler atau fowler.
meningkat (2) menjadi cukup menurun (4) 2. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu.
3. Frekuensi pola nafas dari cukup 3. Berikan oksigen
memburuk (2) menjadi cukup membaik (4). Kolaborasi :
4. Kedalaman nafas dari cukup memburuk 1. Kolaborasi pemberian bronkodilator,
(2) menjadi cukup membaik (4) ekspetoran,mukolitik.

Setelah diberikan tindakan keperawatan I.02079 Perawatan Sirkulasi


selama 1 x 8 jam diharapkan keluhan pasien Observasi :
dapat teratasi dengan kriteria hasil : 1. Periksa sirkulasi perifer.
L.02011 Perfusi Perifer 2. Identifikasi faktor resiko gangguan
1. Denyut nadi perifer dari menurun (1) sirkulasi.
menjadi meningkat (5). Terapeutik :
2. Warna kulit pucat dari meningkat (1) 2. Hindari pengukuran tekanan darah pada
menjadi menurun (5). ekstremitas dengan keterbatasan perfusi.
3. Pengisian kapiler dari memburuk (1) 3. Lakukan hidrasi.
menjadi membaik (5). Edukasi :
1. Anjurkan berolahraga rutin
2. Anjurkan program diet untuk memperbaiki
sirkulasi
Setelah dilakukan asuhan keperawatan I.05178 Manajemen Energi
selama 2 x 24jam diharapkan keluhan klien Observasi :
dapat diatasi, dengan kriteria hasil : 1. Monitor kelelahan fisik dan emosional
L.05047 Toleransi Aktifitas 2. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan
1. Kemudahan dalam melakukan aktifitas selama melakuka aktifitas.
sehari-hari dari menurun (1) menjadi cukup 3. Monitor respon kardiopulmonal
meningkat (4). Terapeutik :
2. Dispnea setelah aktifitas dari meningkat (1) 1. Lakukan latihan rentang gerak pasif/aktif
menjadi cukup menurun (4). 2. Berikan aktivitas distraksi yang
3. Frekuensi nafas dari eburuk (1) menjadi menenangkan
membaik (5). 3. Melibatkan kelurga pasien dalam
pemenuhan ADL
Edukasi :
1. Anjurkan melakukan aktivitas secara
bertahap
2. Jelaskan aktifitas yang boleh dan tidak
boleh dilakukan.
Kolaborasi :
1. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan nutrisi.
Setelah dilakukan Tindakan keperawatan I.11353 Perawatan Integritas Kulit
selama 1x24 jam diharapkan Gangguan Observasi:
Integritas Kulit dan Jaringan teratasi dengan 1. Identifikasi penyebab gangguan integritas
kriteria hasil : kulit (misalya perubahan sirkulasi,
L.14125 Integritas Kulit dan Jaringan perubahan status nutrisi, penurunan
1. Hidrasi dari menurun (1) menjadi kelembaban, suhu lingkungan ekstrem,
meningkat (5). penurunan mobilitas.
2. Kerusakan lapisan kulit dari meningkat (1) Terapeutik:
menjadi menurun (5). 1. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring.
3. Kerusakan jaringan dari meningkat (1) Edukasi :
menjadi menurun (5). 1. Anjurkan minum air yang cukup.
4. Pertumbuhan rambut dari memburuk (1) 2. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi.
menjadi membaik (5). 3. Anjurkan meningkatkan asupan buah dan
sayur.
Setelah dilakukan Tindakan keperawatan I.14539 Pencegahan Infeksi
selama 3x24 jam, diharapkan risiko infeksi Observasi :
teratasi dengan kriteria hasil: 1. Monitor tanda dan gejala infeksi local dan
L.14137 Tingkat Infeksi sistemik
1. Demam, dari sedang (3) ke menurun (5). Terapeutik :
2. Kemerahan, dari sedang (3) ke menurun 1. Batasi jumlah pengunjung.
(5). 2. Berikan perawatan kulit pada area edema.
3. Nyeri, dari cukup meningkat (2) ke 3. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak
menurun (5). dengan pasien dan lingkungan pasien.
4. Bengkak, dari sedang (3) ke menurun (5) 4. Pertahankan teknik aseptic pada pasien
berisiko tinggi
Edukasi :
1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi.
2. Ajarkan cara mencuci tangan yang benar.
3. Ajarkan etika batuk.
4. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau
luka operasi.
5. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi.
6. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian imunisasi, jika
perlu.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, I.09305 Promosi Citra Tubuh.
diharapkan citra tubuh klien meningkat dengan Observasi :
kriteria hasil : 1. Identifikasi harapan citra tubuh
L. 09067 Citra Tubuh berdasarkan tahap perkembangan.
1. Kemampuan melihat bagian tubuh dari 2. Identifikasi budaya, agama, jenis kelamin,
menurun (1) menjadi meningkat (5) dan umur terkait citra tubuh.
2. Verbalisasi kecacatan bagian tubuh dari 3. Identifikasi perubahan citra tubuh yang
menurun (1) menjadi meningkat (5) menyebabkan isolasi sosial.
3. Verbalisasi perasaan negative tentang 4. Monitor frekuensi terhadap kritik pada diri
perubahan tubuhdari meningkat (1) sendiri.
menjadi menurun (5). 5. Monitor apakah pasien bisa melihat
4. Menyembunyikan bagian tubuh berlebihan bagian tubuh yang berubah
dari meningkat (1) menjadi menurun (5). Terapeutik :
5. Verbalisasi kekhawatiran pada 1. Diskusikan perubahan tubuh dan
penolakan/reaksi orang lain dari meningkat fungsinya.
(1) menjadi menurun (5) 2. Diskusikan perbedaan penampilan fisik
terhadap harga diri.
3. Diskusikan kondisi stress yang
mempengaruhi citra tubuh.
4. Diskusikan cara mengembangkan
harapan citra tubuh secara realistis.
5. Diskusikan persepsi pasien dan keluarga
tentang perubahan citra tubuh
Edukasi :
1. Jelaskan kepada keluarga tentang
perawatan perubahan citra tubuh.
2. Anjurkan mengungkapkan gambaran diri
terhadap citra tubuh.
3. Latih fungsi tubuh yang dimiliki.
4. Latih peningkatan penampilan diri (mis.
Berdandan).
5. Latih pengungkapan kemampuan diri
kepada orang lain maupun kelompok
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x I.10339 Perawatan Perkembangan
24 jam diharapkan citra tubuh klien meningkat Observasi :
dengan kriteria hasil : 4. Identifikasi pencapaian tugas
L.10101 Status Perkembangan perkembangan anak
1. Keterampilan / perilaku sesuai usia, dari Terapeutik :
menurun (1) menjadi meningkat (5) 1. Minimalkan kebisingan ruangan.
2. Kemampuan melakukan perawatan 2. Pertahankan lingkungan yang
diri, dari menurun (1) menjadi mendukung perkembangan optimal.
meningkat (5) 3. Motivasi anak berinteraksi dengan anak
3. Respon sosial, dari menurun (1) lain.
menjadi meningkat (5) 4. Dukung anak mengekspresikan diri
melalui penghargaan positif atau umpan
balik atas usahanya.
5. Mempertahankan kenyamanan anak.
6. Bernyanyi bersama anak lagu-lagu yang
disukai
Edukasi :
1. Jelaskan orang tua/pengasuh tentang
milestone perkembangan anak dan
perilaku anak
2. Anjurkan orang tua berinteraksi dengan
anak.
DAFTAR PUSTAKA

Arnis, Yuliastati. & Amelia. (2016). Keperawatan Anak. Jakarta Selatan: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes. (2018). Pedoman nasional pelayanan kedokteran tata laksana
thalasemia.
Kemenkes RI. (2019). Hari thalasemia sedunia 2019:putuskan mata rantai
thalasemia Mayor.
Kiswari, Rukman. (2014). Hematologi & Transfusi. Jakarta: ERLANGGA.
Nurarif, Amin Huda, & Hardi Kusuma. (2016). NANDA NIC-NOC. Jogjakarta:
Percetakan Medication Publishing Jogjakarta.
Putri, Mega septiana. (2015). Hubungan Pengetahuan Ibu..., Danang Wisanggeni,
S1 Keperawatan UMP.
Rosnia Safitri, Juniar Ernawaty, Darwin. Karim. (2015). Hubungan Kepatuhan
Tranfusi dan Konsumsi Kelasi Besi Terhadap Pertumbuhan Anak.
Sugiono. (2012). Metode Penelitian Kualitatif dan R&D. bandung: Alfabeta.

Anda mungkin juga menyukai