Anda di halaman 1dari 17

Sagu dan ubi-ubian bukan lagi makanan utama masyarakat Papua.

Beras kini populer, bahkan


hingga wilayah pedalaman. Jika tidak diantisipasi, ketahanan pangan bakal terancam. Terbentang
tantangan bagi para pemangku kepentingan untuk menguatkan potensi pangan lokal
Papua. Masyarakat di Tanah Papua—mencakup Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat—sedang
mengalami proses perubahan, termasuk dalam makanan pokoknya. Makanan pokok mereka berupa
sagu dan umbi-umbian perlahan-lahan tergantikan ke beras yang notabene bukan makanan asli
Papua. Ironisnya, konsumsi beras yang terus meningkat ini belum bisa tercukupi dari produksi
petani setempat. Akibatnya, ketergantungan suplai beras dari daerah lain semakin besar. Konsumsi
beras di Provinsi Papua Barat dan Papua rata-rata mencapai 132.000 ton per tahun. Dari besaran itu,
sekitar 74 persen merupakan beras yang didatangkan dari luar daerah atau luar negeri. Kemampuan
pasokan petani lokal masih sangat kecil, yakni hanya 26 persen per tahun. Itu pun umumnya
dihasilkan oleh para petani pendatang. Mereka sebagian besar

Konsumsi beras di Provinsi Papua Barat dan Papua rata-rata mencapai 132.000 ton per tahun. Dari
besaran itu, sekitar 74 persen merupakan beras yang didatangkan dari luar daerah atau luar negeri.
Kemampuan pasokan petani lokal masih sangat kecil, yakni hanya 26 persen per tahun. Itu pun
umumnya dihasilkan oleh para petani pendatang. Mereka sebagian besar warga transmigran di
Kabupaten Manokwari, Sorong, Sorong Selatan, Nabire, dan Merauke. Ketergantungan terhadap
beras lebih besar terutama terjadi di Provinsi Papua Barat. Bahkan, di wilayah ini beras sudah
menjadi makanan pokok bukan hanya di perkotaan, melainkan kini sudah masuk ke penduduk
pedalaman. Buktinya dapat dilihat pada hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS). Data tahun 2010
menunjukkan, asupan kalori penduduk Papua Barat mayoritas (46 persen) berasal dari biji-bijian
yang di dalamnya termasuk beras. Sebaliknya, makanan lokal yang berasal dari umbi-umbian
ternyata asupan kalorinya hanya 9,65 persen. Sementara itu kondisi di Provinsi Papua konsumsi
beras dan makanan lokal hampir berimbang. Asupan kalori biji-bijian dan umbi-umbian antara 28
persen dan 29 persen.

Semakin meningkatnya ketergantungan ini tidak lepas dari beberapa sebab. Salah satunya adalah
meningkatnya pendatang yang mencari rezeki di tanah ini. Bahkan, di Papua Barat proporsi
penduduk pendatang sudah mencapai 47 persen. Besarannya hampir berimbang dengan penduduk
asli. Selain itu juga berubahnya pola makanan penduduk asli Papua. Beras sudah menjadi makanan
pokok sehari-hari warga asli, terutama di perkotaan. Meningkatnya konsumsi beras bagi kedua
provinsi ini bukanlah sesuatu yang salah. Apalagi beras memiliki kandungan kalori jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan sagu ataupun umbi-umbian. Namun, fenomena ini akan menjadi masalah
tatkala tidak disertai dengan penguatan pangan lokal. Bila hal ini sampai terjadi, ketahanan pangan
tanah Papua menjadi genting. Bahkan, lingkaran kemiskinan akan terus berputar. Kecenderungan ini
sudah mulai terasa di wilayah Pegunungan Papua. Angka ketergantungan kalori terhadap beras
sangat tinggi, yakni sudah mencapai 80-90 persen. Artinya, ketahanan pangan di Papua sangat
mengkhawatirkan di masa mendatang karena konsumsi beras di tingkat rumah tangga bertambah
besar, sedangkan konsumsi pangan lokal cenderung menurun (Kiloner Wenda, 2012).

Kondisi pangan lokal dan kerawanan pangan sangat erat hubungannya. Hal ini karena daya dukung
agraris yang ada di Papua sangat minim. Baik infrastruktur penunjang pertanian seperti irigasi dan
transportasi, kelembagaan pertanian, serta keterampilan mengolah lahan pertanian relatif masih
belum berkembang. Belum lagi akses petani terhadap pasar masih banyak menghadapi kendala.
Jadi, tidak cukup hanya mengejar angka kecukupan gizi (AKG) sebesar 2.000 kilo kalori per hari lalu
harus dengan beras. Jika mayoritas masyarakat sangat tergantung terhadap beras, potensi
kerawanan pangan menjadi lebih besar terutama di daerah pedalaman. Mudahnya mendapat beras
karena penjatahan beras miskin di pedalaman lambat laun dapat mengurangi hasrat masyarakat
untuk mengolah lahan pertanian atau mengonsumsi pangan lokal. Bila suatu saat stok pangan lokal
berkurang dan suplai beras tersendat bukan tidak mungkin akan memicu kelaparan di daerah
pelosok. Agar terhindar dari bahaya kelaparan di masa mendatang, Papua harus kembali
mengembangkan makanan lokal. Saat ini, diversifikasi pangan sudah mulai dilakukan sebagian
masyarakat Papua. Salah satu indikasinya belum pernah terjadi gejolak harga beras karena
kelangkaan pasokan barang.

Indikasi ini tentu menggembirakan bagi ketahanan pangan. Namun, hal itu masih sebatas dugaan
yang dapat berarti sebaliknya. Bisa jadi, masyarakat sudah sangat nyaman dengan konsumsi dan
suplai beras dari daerah lain. Kucuran beras untuk masyarakat miskin yang harganya sangat
terjangkau meskipun jauh di daerah pedalaman, sangat membantu mereka. Akibatnya, harga tidak
lagi menjadi persoalan selama suplainya lancar. Ini merupakan ujian besar bagi pengembangan
pangan lokal. Potensi untuk meningkatkan pangan lokal sebenarnya ada. Menurut Jurnal Litbang
Pertanian (2003), luas hutan sagu di Papua mencapai 980.000 hektar, sedangkan kebun sagu yang
sudah dikelola masyarakat mencapai 14.000 hektar. Bahkan, angkanya kemungkinan lebih besar
seperti yang ditunjukkan oleh hasil penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Umbi dan Sagu
Universitas Negeri Papua (Unipa), Manokwari.

”Survei di Kabupaten Sorong Selatan menunjukkan, dalam satu hektar hutan sagu rata-rata terdapat
40 pohon sagu yang produktif. Satu pohon sagu paling sedikit menghasilkan 100 kilogram. Jadi,
kalikan saja potensi luasan lahan dengan hasil produksinya,” tutur Rochani, dosen Fakultas Ekonomi
Unipa yang turut serta dalam penelitian sagu. Apabila mengacu pada penelitian Unipa, setidaknya
produksi sagu di Papua bisa mencapai lebih dari 3,9 juta ton dari total area hutan dan kebun sagu.
Angka sebesar itu sangat berlimpah untuk penguatan pangan lokal, setidaknya untuk selang-seling
dengan makanan pokok lain. Namun, kenyataannya produksi sagu kini tidak lebih dari 1 persen dari
total potensinya. Jalan menuju budidaya sagu sebenarnya juga sudah terintis oleh pihak swasta.
Buktinya, ada investor dari luar daerah sedang membangun pabrik sagu skala besar satu-satunya di
Papua. ”Nanti pada bulan Agustus 2012 akan beroperasi pabrik Sagu PT Austrindo Nusantara Jaya
di Kabupaten Sorong Selatan. Luasan area usaha sagu sekitar 40.000 hektar,” terang Runaweri F
Hendrik, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Papua Barat.

Sagu dapat dipanen setelah berumur 8-12 tahun. Tanaman ini hanya cukup ditanam sekali. Setelah
12 tahun pun dapat dipanen terus-menerus, tanpa perlu membuka lahan baru. Perawatannya pun
sederhana, tanpa perlu pupuk dan pestisida lazimnya budidaya pertanian modern. Lain sagu, lain ubi
jalar. Meskipun tidak seterpuruk sagu, ubi jalar (Ipomoea batatas) yang merupakan makanan pokok
asli Papua pun terancam menurun produksinya. Kondisinya menurun terutama di daerah yang
jumlah warga pendatangnya lebih banyak. Di Provinsi Papua Barat yang persentase warga
perantaunya hampir 50 persen, produksi ubi jalar rata-rata menurun 2.700 ton per tahun. Berbeda
dengan Provinsi Papua, produksi ubi manis di Papua Barat rata-rata masih naik sekitar 14.600 ton
setahun. Meski demikian, naiknya produksi tersebut bukanlah prestasi karena di saat bersamaan
kebutuhan konsumsi beras juga meningkat tajam yang mencapai 43 persen per tahun. Artinya,
naiknya produksi ubi jalar tidak mereduksi laju konsumsi beras di masyarakat

Inilah pekerjaan rumah pemerintah. Pemerintah perlu turun tangan membenahi pangan lokal ini. Jika
tidak, sagu dan ubi akan ditinggalkan. Dan, makanan pokok penduduk Papua bukan lagi sagu,
melainkan beras. (Litbang Kompas)

Jakarta, Gatra.com - Sagu atau Metroxylon sagu Roth merupakan salah satu
makanan pokok masyarakat Papua yang erat kaitannya dengan budaya
masyarakat setempat atau kearifan lokal.

"Bagi masyarakat Papua, sagu adalah makanan pokok salah satu


representasi budaya masyarakat atau kearifan lokal Papua yakni pohon
sagu," kata Laksanto Utomo, Ketua Tim Peneliti Sagu Papua, menyampaikan
hasil penelitian timnya di Jakarta, Selasa (9/7).

Sagu merupakan makanan pokok bagi masyarakat Papua yang sudah turun
temurun sejak nenek moyang mereka mengenal cocok tanam. Sedangkan
sagu terkait kearifkan lokal karena bukan hanya menjadi sumber bahan
pangan pokok, tetapi tiap bagian pohonnya digunakan masyarakat untuk
berbagai keperluan hidup, misalnya akarnya menjaga tata air, batangnya
untuk kayu hingga berbagai kerajinan tangan, serta daunnya untuk atap
rumah hingga makanan ternak dan obat.

Selain itu, lanjut Laksanto, dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk
"Inovasi Sagu Sebagai Makanan Pokok dan Bahan Dasar Makanan dalam
Menciptakan Ketahanan Pangan Masyarakat Adat di Papua", patinya untuk
makanan pokok serta menjadi sumber berbagai bahan baku industri pangan,
kosmetik, energi altenatif (biotanol), dan lainnya.

Permasalahan timbul ketika masyarakat Papua "migrasi" ke nasi akibat


berasisasi pada era Orde Baru (Orba). "Jadi harusnya pemerintah pusat dulu
tidak terlalu dalam tentukan makanan pokok, harus ke kearifkan lokal,"
ujarnya

Bukan hanya itu, lahan sagu juga mulai terganggu atau berkurang akibat
berbagai kebijakan terkait pembangunan dan berbagai hal lainnya. Bahkan,
diprediksi sekitar 2.832 hektare lahan hutan sagu akan terkikis oleh
pembangunan.

"Artinya, lahan yang tersisa tinggal 470,5 hektare di 6 distrik, Kabupaten


Jayapura. Rincian potensi lahan yang hilang dari 6 distrik itu lebih dari 70%,"
katanya.

Lebih mengerikan lagi, lanjut Laksanto, di Distrik Sentani Barat dan Demta
disebutkan potensi lahan sagu akan lenyap 100%. Sementara di Sentani yang
hutan sagunya paling besar, prediksi kehilangannya juga besar menjadi
1.507 hektare atau terkikis hingga sekitar 77%.

Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Cendrawasih (Uncen)


Papua, Dr. Hendrik H.J. Krisifu, yang menjadi penanggap dalam FGD ini,
menyampaikan, di Papua itu terdapat sejumlah makanan pokok selain sagu,
yakni umbi-umbian di antaranya keladi dan petatas.

Makanan pokok masyarakat adat Papua tergantung zonasi mereka berada.


Masyarakat adat yang ada di zona pegunungan tinggi dan zona kaki gunung
dan dataran tinggi mengonsumsi umbi-umbian.

"Zona rawa-rawa konsumsi sagu. Zona dataran rendah pesisir pantai


dan pulau-pulau konsumsi umbi-umbian dan sagu," ungkapnya.

Senada dengan Laksanto, Hendrik mengungkapkan, sudah ada regulasi yakni


peraturan pemerintah daerah (perda) untuk mencegah terganggunya lahan
atau hutan sagu. Pertama, Perda Kabupaten Jayapura Nomor 3 Tahun 2000
tentang Pelestarian Kawasan Hutan Sagu dan Perda Provinsi Papua Nomor
27 Tahun 2013 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Pokok
Berkelanjutan.
Namun aturan itu tidak berjalan sesuai harapan. Sebaliknya, berasisasi
menjadikan masyarakat Papua beralih dari makanan pokoknya. Hendrik
memperkirakan kemungkinan 80-90% warga sudah beralih ke nasi.

Bukti sudah tingginya konsumsi beras di Papua, lanjut Hendrik, masyarakat


sempat melakukan aksi unjuk rasa ketika terjadi keterlambatan beras raskin.
"Kalau persentasinya saya tidak tahu persis tapi kalau melihat seperti itu, 80-
90%," katanya

Ketua LPPM Usahid Jakarta, Prof. Dr. Ir. Hj. Giyatmi, juga selaku penanggap
hasil penelitian, menyampaikan, sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 18
Tahun 2012 hasil revisi dari UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan,
ketahanan pangan terwujud dari kedaulatan dan kemandirian pangan.

Giyatmi mengungkapkan, tingginya konsumsi beras di Indonesia seiring


berasisasi puluhan tahun lalu mengakibatkan pemerintah harus menjaga
komoditas ini. Jika tidak terpenuhi dari dalam negeri, maka dilakukan impor.

"Beras sebagai makanan pokok bangsa Indonesia secara umum, beras itu
komoditas ekonomi tetapi juga sekaligus komiditas politik karena begitu
stabilitas terganggu sedikit saja, demo mungkin bisa sampai pada impeach,
misalkan. Ini komoditas yang sangat dijaga," ujarnya.

Menurut Giyatmi, sesuai indeks ketahanan pangan yang dirilis The


Economist Intelligence Unit (EIU) bahwa peringkat Indonesia terus membaik.
Pada tahun 2016 berada di posisi 71 dari 133 negara. Kemudian, naik ke
peringkat 69 pada 2017 dan tahun 2018 ke peringkat 58. "Jadi trennya
positif," katanya

Sedangkan untuk peringkat pertama negara yang mempunyai ketahanan


pangan terbaik adalah Singapura. Negeri singa itu menempati posisi teratas
karena indeks ketahanan pangan ini tidak menyoal darimana asal pangan
itu, apakah produksi sendiri atau impor.

"Rangking pertama dunia adalah Singapur. Dia tidak punya lahan, 90%
komoditas pangannya adalah impor. Tapi kenapa punya pangan? Karena
mereka punya duit sehingga bisa beli," ujarnya.

Giyatmi mengungkapkan, ada sejumlah hal yang menyebabkan


berkurangnya produksi pangan, di antaranya menyusutnya lahan dan
tingginya kehilangan pascapanen. Ini menjadi tantangan para akademisi dan
teknolog untuk membuat teknologi yang bisa meminimalisir.

Selanjutnya, faktor tingginya urbanisasi ?dari daerah ke kota seiring


menurunnya minat generasi muda untuk menjadi petani sehingga beberapa
tahun lalu fakultas pertanian sejumlah perguruan tinggi sempat tutup akibat
sepi peminat.

"Data ketahanan pangan dari BKP ini dilihat perkembangan 2015-2018, hijau
ketahanan pangan bagus, kuning rentan, Papu merah karena ukurannya
beras. Ini terkait karena zamannya Pak Harto, belum sejahtera bila belum
makan nasi," ungkapnya.

Berasisasi berdampak beralihya warga Papua dari mengonsumsi sagu atau


umbi-umbian. Untuk mengembalikannya, memerlukan upaya jitu, di
antaranya pengembangan atau inovasi industri pangan lokal yang aman,
bergizi, sehat hingga soal kehalalan.

Menurutnya, harus ada upaya untuk mengembalikan ke pangan lokal


melalui berbagai modifikasi olahan makanan. Ini juga harus dibarengi
dengan peningkatan jumlah produksi pangan lokal. Pasalnya, pada 2030
mendatang jumlah penduduk Indonesia akan mencapai sekitar 300 jiwa
sebagaimana prediksi dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Dengan jumlah tersebut bisa dibayangkan berapa banyak beras yang harus
disediakan dan dicadangkan. Jika rata-rata konsumsi beras 124 kg per kapita
per tahun, maka Indonesia diperkirakan memerlukan 37,2 juta ton untuk
dikonsumsi.

Angka tersebut menjadikan Indonesia harus memiliki lahan seluas 11 juta


hektare dengan asumsi produktivitas padinya minimal 5,3 juta ton per
hektare dan menghasilkan beras sebanyak 37,2 juta ton. Tapi semakin
banyaknya penduduk, lahan pertanian pun berkurang di antaranya alih
fungsi lahan menjadi perumahan dan sebagainya.

"Terpenuhi atau tidak Sudah saatnya Indonesia memiliki sumber karbohidrat


beraneka ragam, memanfatkan secara optimal kearifan lokal salah satunya
adalah sagu," ungkapnya.

Dari sisi karbohidrat, sagu lebih tinggi dari beras karena mengandung 85%
sementara beras hanya 79%, kalorinya juga tidak kalah sekitar 300-an, kaya
serat sehingga baik bagi penderita pencernaan, dan bagus untuk penderita
diabetes.

Wakil Dekan Fakultas Teknologi Pangan dan Kesehatan Usahid Jakarta, Dr.
Rahmawati, mengatakan, bahwa sesuai hasil penelitian yang dipaparkan
Laksanto, Papua menjadi daerah sagu terluas di dunia.

"Sagu penunjang untuk perkonomian. Ketersedian sagu ini sangat besar,


55% sagu dunia ada di Indonesia. Jadi lebih 50% ada di Papua. Sagu memang
satu modal untuk ketahanan pangan Indonesia," katanya.

Untuk menarik masyarakat kembali ke sagu, tentu harus melakukan


modifikasi, misalnya menjadi beras analog yang saat ini sedang populer.
Namun, untuk saat ini bahannya baru dari jagung dan umbi-umbian. "Ini bisa
lebih dikaji untuk penerapan di sagu," katanya.
JAKARTA, KOMPAS — Pengabaian ragam pangan lokal telah mengarahkan Indonesia
ke dalam ancaman krisis. Selain ketergantungan pada impor gandum dan beras,
beberapa daerah juga teridentifikasi rentan pangan. Kasus gizi buruk dan bencana
kesehatan di Asmat, Papua, baru-baru ini bisa jadi alarm adanya masalah pangan ini.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise,


kepada Kompas, Senin (26/2), mengatakan, masyarakat Papua, termasuk Asmat, pada
masa lalu hidup dengan pangan lokal dari umbi-umbian dan sagu. Namun, semenjak
ada program bantuan beras untuk rakyat miskin (raskin) dari pemerintah pada 2003,
peralihan konsumsi masyarakat ke beras semakin cepat.

”Semenjak adanya raskin, masyarakat Papua tidak lagi mengolah pangan lokal, tetapi
menunggu jatah bulanan raskin,” ujarnya.

Perubahan perilaku konsumsi ini tidak hanya terjadi di perkotaan dengan ketersediaan
beras cukup tinggi, tetapi juga di kampung-kampung terpencil. ”Jadi, bilamana stok
raskin terlambat masuk ke daerah terpencil karena masalah transportasi, bisa terjadi
bencana seperti di Asmat, juga di kampung lainnya,” ujar Yohana.

Yohana berpendapat, solusi terbaik untuk mengatasi soal pangan di Papua adalah
kembali pada kearifan lokal. ”Masyarakat harus diajak untuk kembali menanam dan
menokok sagu, yang justru lebih sehat daripada beras,” katanya.

Sangat kaya

Kasus di Papua menunjukkan besarnya risiko dari penyeragaman pangan ke beras.


”Pola konsumsi sumber karbohidrat masyarakat Indonesia saat ini mengarah pada
beras dan gandum. Padahal, negeri ini memiliki begitu banyak potensi sumber pangan
lokal, yang dari aspek gizi bisa lebih baik,” kata ahli ketahanan pangan dari Departemen
Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor (IPB), Drajat Martianto.

Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Indonesia memiliki


77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber minyak atau lemak, 26
jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, serta 110 jenis
rempah dan bumbu. Keragaman sumber pangan ini merupakan yang tertinggi di dunia
setelah Brasil.

Sumber karbohidrat bisa berasal dari umbi-umbian, seperti ubi jalar dan talas. Selain itu,
Indonesia juga memiliki karbohidrat dari buah, yaitu sukun dan pisang. Sementara
karbohidrat dari batang tanaman terdapat pada sagu.

Guru Besar Agronomi Fakultas Pertanian IPB Bintoro mengatakan, sagu merupakan
tanaman asli Indonesia yang potensinya berlimpah. ”Luas lahan sagu kita mendekati 6
juta hektar. Setiap 1 hektar bisa menghasilkan 20-40 ton tepung sagu kering,” kata
Bintoro yang juga Ketua Umum Masyarakat Sagu Indonesia.

Menurut Bintoro, produktivitas sagu sangat tinggi. Untuk menghasilkan 30 juta ton padi
dibutuhkan sawah 12 juta hektar. Untuk hasil sama, hanya dibutuhkan 1 juta hektar
lahan sagu. ”Satu juta hektar saja lahan sagu kita panen bisa memberi makan seluruh
rakyat Indonesia setahun. Jadi, jika kebijakan pangan kita tidak bias beras, tidak ada
kekurangan pangan di Papua,” ujarnya.

Selain tinggi produktivitasnya, sagu juga bisa tumbuh di lahan marjinal, termasuk di
lahan gambut dan rawa-rawa. Dengan karakteristik ini, sagu bisa menjadi jawaban
sumber pangan seiring terjadinya perubahan iklim yang memicu tingginya variabilitas
cuaca. ”Namun, kenyataannya, sagu saat ini diabaikan. Setiap ada pembangunan,
termasuk cetak sawah baru yang saat ini gencar dilakukan, juga mengorbankan lahan
sagu. Ini, misalnya, terjadi di Lingga, Kepulauan Riau,” kata Bintoro.

Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi membantah


bahwa cetak sawah baru meminggirkan keragaman pangan lokal. ”Cetak sawah baru
biasanya di lahan tersendiri yang tidak mengganggu tanaman pangan lain,” katanya.

Meski demikian, berdasarkan pantauan di sejumlah daerah, cetak sawah baru sering
menggusur lahan pangan lain, utamanya sagu. Misalnya, di Provinsi Maluku. Menurut
data Fakultas Pertanian Universitas Pattimura (Unpatti), Ambon, dalam 50 tahun
terakhir terjadi penyusutan lahan sagu di Maluku hingga 50 persen. Survei terakhir pada
2006, sagu di Maluku hanya tinggal 40.514 hektar. Peneliti sagu Unpatti, Marcus
Luhukay, mengatakan, penyusutan ini disebabkan pembukaan lahan pertanian sawah,
permukiman, dan pembangunan gedung pemerintahan.

Sebagai contoh, pada 2015, hutan sagu seluas 350 hektar di Desa Besi, Kecamatan
Seram Utara, Maluku Tengah, diubah menjadi sawah. Lahan sagu juga dibabat untuk
pembangunan Kota Piru di Kabupaten Seram Bagian Barat dan Bula di Kabupaten
Seram Bagian Timur.

Menurut Marcus, program pemerintah yang hanya fokus pada pengembangan padi
tidak cocok diterapkan di semua wilayah Maluku. Hal ini justru akan mempercepat
peralihan pangan masyarakat, yang pada akhirnya bergantung pada kiriman beras dari
luar daerah.

Penyeragaman pangan juga terjadi di Kabupaten Sumba Timur dengan pencetakan


sawah baru di Desa Pinduharani, Kecamatan Tabundung. ”Kalau Sumba dipaksakan
untuk swasembada beras, jelas itu tidak mungkin. Lahan yang cocok untuk sawah di
Sumba sangat terbatas karena kondisi iklim yang kering,” kata Direktur Stimulant
Institute Sumba Stephanus Makambombu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sumba Timur tahun 2016, produksi beras lokal
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras masyarakat Sumba Timur hanya 32,5
persen dari total konsumsi 125.427 ton.

Ketua Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB Suryo Wiyono


mengatakan, persoalan pangan di Indonesia terjadi karena tiga lapis bias. Pertama, bias
pangan harus beras. Kedua, bias beras harus dari padi sawah. Ketiga, budidaya padi
harus lewat pupuk dan obat kimia.

Menurut Suryo, budidaya padi memiliki banyak keterbatasan sehingga tak mungkin
menjadi satu-satunya tumpuan untuk memenuhi kebutuhan pangan. ”Tidak semua
wilayah Indonesia cocok untuk padi. Hanya Jawa, Bali, dan sebagian Sumatera serta
Sulawesi secara klimatologi dan ekologi cocok bagi budidaya padi sawah. Padahal,
Jawa dan Bali yang jadi tumpuan produksi padi nasional mengalami konversi lahan
masif,” kata Suryo.

Kebutuhan gizi

Drajat Martianto mengatakan, aneka ragam sumber bahan lokal rata-rata memiliki
karbohidrat tinggi dan dalam bentuk tepung kandungannya setara dengan beras dan
terigu. Selain itu, hampir semua sumber bahan pangan lokal itu juga memiliki kadar
protein rendah—kecuali tepung jagung—selain juga bebas gluten, protein yang biasanya
ada di gandum dan kerap memicu masalah kesehatan. Beberapa sumber pangan ini,
seperti jagung kuning, ubi jalar, dan ubi kayu kuning, memiliki kandungan beta karoten
tinggi yang berguna sebagai antioksidan.

”Sudah sepuluh tahun belakangan saya mempraktikkannya. Rata-rata sekarang hanya


mengonsumsi nasi seminggu sekali, nyatanya lebih sehat. Jika pola ini diterapkan
seluruh masyarakat, kebutuhan beras akan jauh berkurang,” ujarnya.

Menurut Drajat, pola makan juga terkait dengan aspek budaya. ”Misalnya, di Nusa
Tenggara Timur, jagung yang dulu jadi makanan pokok kini identik dengan masyarakat
miskin. Kalau mereka punya uang, akan pilih beras. Fenomena ini terjadi di mana-mana
karena kebijakan kita selama ini bias beras. Ini tantangan berat untuk mengubah
persepsi dan selera masyarakat yang telanjur terbentuk. Dibutuhkan perubahan perilaku
konsumen dan juga pengambil kebijakan,” kata Drajat.

eras merupakan makanan pokok mayoritas rakyat Indonesia. Walaupun bukan satu-
satunya, beras sangat populer dan dianggap sebagai makanan pokok berkasta tinggi.
Beras menjadi indikator pemenuhan karbohidrat yang berkelas. Sehingga makanan
pokok lain dianggap tidak setara dengan beras.
Padahal, di negeri ini masih banyak makanan pokok lain yang menjadi sumber asupan
karbohidrat seperti jagung, sagu, ketela, kentang, dan umbi-umbian lainnya.
Perbedaan struktur lahan dan tingkat kesuburan serta ketersediaan air membentuk
beragam konsumsi makanan pokok yang berbeda-beda di Indonesia.
Mempertahankan makanan pokok sumber karbohidrat sesuai budaya konsumsi
masing-masing daerah akan sangat membantu dari ketergantungan terhadap beras.

Perlakuan anak emas terhadap komoditas beras tidak luput dari peran pemerintah
dalam upaya peningkatan status gizi masyarakat. Dalam sejarah pemerintahan di
Indonesia para PNS, TNI, dan Polri mendapatkan tunjangan bulanan khusus berupa
beras. Bahkan, bantuan sosial untuk rakyat miskin sangat populer dengan istilah
bantuan beras untuk rakyat miskin (raskin), bukan bantuan makanan pokok untuk
rakyat miskin. Mindset inilah yang tertanam dalam benak masyarakat sehingga
menganggap yang tidak mampu mengonsumsi beras adalah kelompok masyarakat
yang belum sejahtera.

BETAHITA.ID - Sejumlah wilayah jadi sasaran Program Lumbung Pangan atau Food
Estate pemerintah, salah satunya Provinsi Papua. Suara kehawatiran pun
muncul. Food estate di Bumi Cendrawasih ini dikhawatirkan akan mengakibatkan ruang
hidup Orang Asli Papua menjadi terampas.

Kekhawatiran nasib masa depan ruang hidup Orang Asli Papua, dan deretan
permasalahan baru yang muncul atas hadirnya Program Ketahanan Pangan di Papua
ini terurai dalam Kertas Posisi yang diterbitkan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)
berjudul Food Estate di Papua: Perampasan Ruang Berkedok Ketahanan Pangan?,
pada Senin (28/6/2021) kemarin.

Dalam Kertas Posisi tersebut Walhi menilai pemerintah menganggap Papua yang kaya
hanya sebagai objek pembangunan. Kapitalisme dengan beragam wajah hadir dan
diproteksi melalui berbagai produk hukum dan kebijakan. Perjuangan panjang dan
suara lantang Orang Asli Papua untuk merebut daulat atas tanah, air, udara dan hak
dasar lainnya kembali menemui tantangan yang bernama kebijakan pembangunan food
estate. Papua seolah tanah tak bertuan.

Masyarakat Adat, Orang Asli Papua hingga Pemerintah Otonomi Khusus sama sekali tidak
dilibatkan dalam perencanaan kebijakan program food estate. Pemerintah merencanakan
kembali program food estate di Papua. Luasnya sekitar 2.684.680,68 hektare. Lokasinya
berada di Kabupaten Merauke, Boven Digoel dan Mappi.

Dari luasan tersebut, 2.684.461,54 hektare di antaranya merupakan kawasan hutan,


yang terdiri dari Hutan Lindung, Hutan Produksi dan Hutan Produksi Konversi. Sisanya
Areal Penggunaan Lain (APL). Artinya, bila program ini benar-benar dijalankan, akan
ada lebih dari 2 juta hektare kawasan hutan yang akan dikonversi dan dibabat.

Hal ini jelas akan memperpanjang daftar deforestasi di Tanah Papua. Pada 2019,
Papua setidaknya telah kehilangan sekitar 22.700 hektare hutan primer. Ini sebanding
dengan 14,8 juta ton emisi CO2.

Rerata luas deforestasi Indonesia antara 2001-2019 sekitar 500 ribu hektare. Pada
2019, tutupan hutan primer tersisa sekitar 86 juta hektare, atau berkurang sekitar 9,6
juta hektare sejak 2001.

Setidaknya sekitar 1,4 juta hektare hutan alam tersisa di lahan perkebunan sawit di
Tanah Papua, dan semuanya menunggu untuk dikonversi jadi perkebunan sawit. Bila
proyek ini tetap dijalankan, maka kurang lebih 1,4 juta hektare deforestasi akan terjadi
tanah Papua. Bahkan, rencana food estate yang berada di lokasi dengan tingkat
bahaya banjir tinggi seluas 596 ribu hektare.

Program food estate di Papua bukan suatu hal baru. Sebelumnya, pada era
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, program serupa telah coba
dilaksanakan. Dengan nama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).

Bercermin dari MIFFE, program ini bukannya meraih sukses, malahan melahirkan
banyak persoalan dibanding manfaat bagi Masyarakat Adat dan Orang Asli Papua.
Sagu sebagai makanan pokok mayoritas masyarakat Papua dikesampingkan.
Pemerintah malah mengembangkan komoditi yang sama sekali tidak mencerminkan
keberpihakan pada masyarakat Papua.

Hal ini kian diperparah, yang mana MIFFE malah meminggirkan kekhususan Papua,
dimulai dari desain kebijakan yang sentralistik, hingga abai pada hak atas tanah dan
sumber daya alam Masyarakat Adat dan Orang Asli Papua. Program tersebut malah
memberi akselerasi penguasaan ruang pada korporasi.

Paling tidak terdapat 36 perusahaan yang terlibat menggarap food estate dalam
program MIFEE. Tujuh perusahaan diantaranya telah memulai kegiatan usaha
pertanian skala luas, yakni Wilmar International, Medco Group, Rajawali Group,
Murdaya Poo Group, PT. Bangun Tjipta Sarana, Sinar Mas Group dan Artha Graha
Group.

Mengutip tulisan Goldstein, mengenai refleksi terhadap kebijakan food estate di


Indonesia, proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah, yang
merupakan Mega Rice Project sepanjang tahun 1995-1999, dianggap sebagai salah
satu penyebab bencana lingkungan hidup terbesar dalam rekam jejak Indonesia.
Karena selain mengakibatkan kebakaran lahan gambut skala besar, proyek tersebut
bahkan tidak menghasilkan beras.

Pengembangan MIFEE juga tidak luput dari permasalahan. Obidzinski dkk. menguji
klaim pemerintah yang menyatakan bahwa MIFEE akan memiliki dampak lingkungan
yang terbatas. Kenyataannya sekitar 50 persen lahan pertanian yang direncanakan
berasal dari wilayah hutan yang sebagian besar terdiri dari hutan primer dan sekunder.

Berdasarkan alokasi lahan konsensi, proyeksi total emisi karbon yang terlepas
diperkirakan mencapai 770 juta ton per tahun yang 70 persennya berasal dari konversi
area hutan. Selain itu juga ditemui hilangnya keanekaragaman hayati.

Dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup di Provinsi Papua,


pasal 63 UU Otsus Papua menyebutkan bahwa pembangunan di Provinsi Papua
dilakukan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan,
pelestarian lingkungan, manfaat, dan keadilan dengan memperhatikan rencana tata
ruang wilayah.

Hal tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 3 huruf d sampai g Perdasus Nomor 21
Tahun 2008, bahwa pengelolaan hutan berkelanjutan bertujuan, d. mengembangkan
keanekaragaman hasil hutan yang menjamin kelestarian fungsi hutan; e. menjamin
kelestarian dan keseimbangan ekologi; f. mempertahankan dan mengembangkan
keanekaragaman hayati; dan g. mengurangi emisi karbon dan mencegah perubahan
iklim global.

Sayangnya, kehadiran P.24 justru tidak sejalan dengan amanat pasal 63 UU Otsus
Papua maupun Perdasus Nomor 21 Tahun 2008 serta pengalaman berbagai
proyek food estate di Indonesia.

Hal ini terlihat dari adanya istilah Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Cepat yang
dapat menggantikan posisi KLHS serta mereduksi esensi dari KLHS sebagai kajian
sistematis, menyeluruh, dan partisipatif. Padahal sejatinya, KLHS difungsikan sebagai
dasar pengkajian, pembentukan alternatif dan rekomendasi kebijakan tata ruang dan
pembangunan untuk menjamin keberlanjutan sebagaimana amanat pasal 15 UU Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Mengingat sifatnya yang memegang kualifikasi penting dan tinggi dalam pengambilan
keputusan strategis, maka manakala KLHS menyatakan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup telah terlampaui, maka kebijakan, rencana, dan/atau
program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS;
serta segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi. Namun, faktanya, dalam
proyek food estate, KLHS justru dilakukan setelah lokasinya ditentukan.

Aiesh Rumbekwan, Direktur Eksekutif WALHI Papua menyebut kegagalan proyek food
estate pada rezim sebelumnya tidak membuat pemerintah jera mengulang kebijakan
dan program serupa. Menurutnya, belajar dari pengalaman MIFFE, pembangunan food
estate yang rakus lahan menjadi salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak dasar
Masyarakat Adat dan Orang Asli Papua. Mengulang program ini dengan kebijakan baru
sama artinya, mendesain sebuah skema pelanggaran HAM baru terhadap Masyarakat
Adat dan Orang Asli Papua.

"Program ini akan semakin menjauhkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat, hak atas tanah dan hak untuk hidup. Bahkan potensi konversi dan deforestasi
akan menjauhkan relasi sakral kami dengan alam. Bagi kami orang Papua, hutan
seperti mama, ia menyediakan berbagai kecukupan, bahkan beragam ritual bergantung
pada kelestarian alam," kata Aiesh.

Argumentasi pemerintah mendorong program food estate bersandar pada alasan


ketahanan pangan, seharusnya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan rakyat
dan lingkungan hidup. Apalagi bertentangan dengan kekhususan Papua yang
ditegaskan dalam UU Nomor 21 Tahun 2001 dan beragam Perdasus Papua.

"Berdasarkan kajian perundang-undangan kekhususan Papua dan perumusan


kebijakan program food estate yang tidak partisipatif merupakan sebuah pelanggaran
terhadap otonomi khusus di Papua. Pemerintahan Joko Widodo seolah memilih jatuh
pada lubang yang sama. Jatuh pada kesalahan penghormatan otonomi khusus, jatuh
pada kekeliruan yang terjadi periode food estate pada program MIFFE," ujar Even
Sembiring, Manajer Kajian Kebijakan Walhi Nasional.

Bagi Walhi Nasional maupun Walhi Papua, penolakan terhadap program food
estate merupakan suatu konsekuensi logis. Terlebih hal tersebut bukan merupakan
solusi untuk menjawab persoalan pokok yang dihadapi Papua.

Satu-satunya cara bagi Pemerintah untuk memperlihatkan keberpihakannya terhadap


Papua adalah menaruh fokus pada pekerjaan pemenuhan daulat Orang Asli Papua
atas tanah, hutan dan hak lainnya. Kebutuhan terhadap produk hukum yang
menegaskan pengakuan, penghormatan, perlindungan, pemberdayaan dan
pengembangan hak-hak Orang Asli dan Masyarakat Adat Papua merupakan kebutuhan
mendesak. Pemerintah bersama Pemerintah Otonomi Khusus harus segera
merealisasikan kebutuhan tersebut.
Berdasarkan paparan di atas, Walhi menilai proyek food estate yang diwacanakan
pemerintah harus ditolak. Alasan ini berangkat dari pengalaman masa lalu, dimana
proyek serupa yang pernah dijalankan selalu menemui kegagalan dan mengakibat
dampak negatif pada manusia dan lingkungan hidup.

Walhi juga berpendapat, Program Food estate ini bahkan dapat dikategorikan sebagai
cermin semakin kokohnya kuasa kapitalisme di Tanah Papua. Orang Asli Papua tidak
ditempatkan sebagai manusia sesungguhnya, Tanah Papua dan masyarakatnya hanya
diposisikan sebagai objek pembangunan.

Walhi menilai food estate hanya akan semakin mempermudah perampasan hak Orang
Asli Papua atas tanah dan alamnya. Lebih jauh, program ini akan semakin
memarjinalisasi Orang Asli Papua, menjauhkan bahkan memisahkannya dari identitas
aslinya.

Semangat otonomi khusus bagi Provinsi Papua guna menyelenggarakan pemerintahan


dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya
bagi kemakmuran rakyat Papua juga diabaikan. Pelaksanaan program ini di Papua
hanya akan mempertegas kedok palsu otonomi khusus.

Bagi Masyarakat Adat Papua, hutan adalah mama yang memberi kehidupan.
Mencukupi kebutuhan dan menyediakan segala yang diperlukan. Secara konstitusional,
Pasal 18B ayat (2), 28I ayat (3) dan 32 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menentukan negara berkewajiban
mengakui, menghormati, dan melindungi Masyarakat Adat beserta hak-hak yang
menyertainya.

Selanjutnya, Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam menentukan pembangunan tidak mengabaikan
pengakuan, penghormatan dan perlindungan keberadaan Masyarakat Adat dan hak-
haknya. Hal ini dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012
yang dalam amarnya menyatakan bahwa hutan adat merupakan hutan hak
(masyarakat hukum adat) dan tidak lagi berstatus hutan negara.
Jauh sebelum lahirnya Putusan MK 35/2012, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus Papua) telah mengakui keberadaan
masyarakat adat Papua. Pasal 1 huruf r UU Otsus Papua mendefinisikan Masyarakat
Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya hidup dalam
wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa
solidaritas yang tinggi di antara para anggotanya.

Sedangkan Orang Asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun
ras Melanesia yang terdiri dari suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau orang yang
diterima dan diakui sebagai orang asli Papua oleh masyarakat adat Papua.

Kehancuran hutan dan alam Papua merupakan konsekuensi buruk program food
estate yang sama artinya memperlihatkan komitmen buruk mitigasi perubahan iklim
Indonesia. Program ini akan menaruh manusia beserta entitas lainnya dalam ancaman
bencana ekologis dan perubahan iklim.

Food estate hanya sebuah program yang menguntungkan dan melayani ambisi oligarki,
menajamkan kuku kuasa kapitalisme. Bukan untuk kesejahteraan Papua dan
masyarakatnya.

Anda mungkin juga menyukai