Anda di halaman 1dari 4

KASUS

Pasien bernama Tn. S berumur 33 tahun, tanggal 2 Januari 2017 pada pukul 20.00 WIB dilarikan
ke Rumah Sakit G oleh istrinya yang langsung dirujuk ke ruang ICU, keadaan umumnya
komposmentis Nadi:60 suhu:37°C TD:120/90mmHg RR:20x/menit,  pasien mengeluh lemas
pada seluruh tubunya akibat diare, frekuensi BAB sebanyak 7-8x sehari, feses encer berwarna
kuning, dan terdapat sedikit lendir, mukosa mulut terlihat kering, turgor kulit tidak elastis, serta
konjungtiva anemis

Pada saat perkenalan dengan pasien, perawat menyapa pasien, memperkenalkan diri dan
menanyakan kepada pasien siapa yang menemani pasien. Sebelum meninggalkan pasien,
perawat memberi tahu apabila membutuhkan sesuatu bisa memencet bel. Pada saat pengkajian,
perawat menanyakan keadaan pasien dengan mempertahankan kontak mata dengan pasien,
perawat juga menanykan hal yang lebih mendetail tentang apa yang dirasakan ibu mengenai
sering pusing saat siang atau saat lapar. Setelah mendiskusikan gejala dengan perawat lainnya
didapatkan diagnosis pasien menderita diare dan resiko ketidakseimbangan cairan elektrolit.
Perawat juga melakukan perencanaan pada pasien. Pada tahap implementasi perawat meminta
kontrak dan menjelaskan apa yang akan dilakukan kepada pasien, tidak lupa perawat
menanyakan kepada pasien apakah ada yang ingin ditanyakan. Pasien bertanya apakah infus
tersebut berbahaya atau tidak, pasien juga menanyakan apakah ada efek samping pada infus
tersebut. Perawat menjelaskan bahwa tidak ada efek samping, namun saat dimasukkan jarum
akan terasa sedikit sakit. Setelah menjelaskan hal tersebut perawat menanyakan pemahaman
pasien dan meminta kerja sama dengan pasien. Setelah pasien memahami apa yang akan
dilakukan. Perawat dengan terampil memasang infus, sebelum memasang perawat memberi
pemahaman bahwa reaksi sakit saat dipasang infus memang hal yang lumrah dan tidak ada efek
samping. Setelah selesai memasang infus, perawat memberi tahu pasien untuk tidak banyak
bergerak agar infusnya tidak lepas. 3 hari kemudian perawat mengecek kembali dan keadaan
pasien sudah mulai membaik

ANALISA
TEORI LOCSIN
Teknologi sedang semakin dikembangkan dan digunakan dalam perawatan kesehatan di
seluruh dunia, terutama dalam pengaturan perawatan intensif. Sejak awal 1960-an, perawat
berlatih dalam pengaturan perawatan intensif telah secara dramatis dipekerjakan teknologi dalam
proses keperawatan dimana mereka merawat yang sakit kritis, untuk mengamankan dan
mempertahankan hidup pasien. Teknologi adalah alat yang digunakan untuk mengetahui orang
sebagai peserta dalam perawatan mereka. Jadi tantangan penting bagi keperawatan dalam
pengaturan perawatan intensif adalah dengan menggunakan teknologi kompeten dan
menyelaraskan teknologi, keperawatan dan perawatan manusia (Locsin, 2015).
Kompetensi teknologi sebagai merawat dalam keperawatan adalah koeksistensi harmonis
antara teknologi dan peduli dalam keperawatan. Harmonisasi konsep-konsep ini menempatkan
praktek keperawatan dalam konteks kesehatan modern dan mengakui bahwa konsep-konsep ini
dapat hidup berdampingan. Teknologi membawa pasien lebih dekat dengan perawat. Sebaliknya,
teknologi juga dapat meningkatkan kesenjangan antara perawat dan merawat. Ketika teknologi
digunakan untuk mengetahui orang terus menerus di saat ini, proses dari kehidupan keperawatan.
Dengan terobosan teknologi terjadi pada tingkat yang semakin meningkat sehingga merevolusi
kesehatan manusia dan perawatan kesehatan. Kemajuan teknologi telah secara drastis mengubah
struktur dan organisasi dari industri kesehatan.

Kemajuan teknologi dibuat untuk membantu perawat melakukan pekerjaan mereka dan
merawat pasien lebih efisien dan aman. Perawatan hari ini tidak sama seperti 30 tahun yang lalu.
Dari kemajuan teknoloi seperti robot pendamping yang dirancang untuk memberikan bantuan
yang berguna dan dapat diterima secara sosial untuk orang-orang yang membutuhkan perhatian
khusus. Adapun manfaat teori ini di dalam dunia keperawatan yaitu dengan kemajuan teknologi
telah dibuat untuk membantu perawat melakukan pekerjaan mereka dan merawat pasien lebih
efisien dan memberikan lingkungan yang aman bagi pasien.

Terapi intravena adalah salah satu tindakan yang paling banyak dilakukan dirumah sakit
(60 %) dan perawat bertanggung jawab pada pengelolaan terapiintravena ini. Sayangnya dalam
pengelolaan pasca pemasangan infus masih seringterjadi komplikasi lokal dan komplikasi
sistemik. Caring adalah inti dari profesikeperawatan untuk memberikan asuhan keperawatan
yang baik bagi klien, danpersepsi adalah salah satu faktor terbentuknya sikap dan perilaku dan
jugapenginterpretasian individu terdahap sesuatu hal yang diamati.

Pada kasus terlihat bahwa Perawat memasang infus dengan terampil dan kratif, hal
tersebut berarti perawat sudah melakukan strategi untuk meningkatkan kompetensi
penggunaan pada teknologi. Penggunaan ilmu dan teknologi yang tepat dapat berdampak
positif pada pasien yang mempengaruhi kenyamanandan kondisi pasien menjadi lebih
membaik.Hal ini didukung pendapat Locsin(2007) yang menjelaskan bahwa melalui
penggunaan kompetensi yang kompeten dapat meningkatkan kemampuan perawat dalam
hal untuk mengetahui, merawat, dan dapat menghadirkan diri kepada pasien. (Anggraeni &
Ismail, 2018)
Serta di dalam kasus juga dijelaskan bahwa pasien bisa memencet bel yang ada di
sampingnya bila membutuhkan bantuan perawat, hal itu juga didukung dalam teori Locsin,
bahwa pemanfaatan teknologi dapat meningkatkan asuhan keperawatan.
Daftar pustaka
Anggraeni, L., & Ismail, S. (2018). PENGALAMAN PERAWAT TENTANG CARING
BERBASIS TEKNOLOGI PADA PASIEN KRITIS DI INTENSIVE CARE UNIT.
Jurnal Perawat Indonesia, 2(2), 70. https://doi.org/10.32584/jpi.v2i2.68
SANTOSO, T. (2013). Pengaruh Pemanfaatan Teknologi Informasi Blog Edukatif tentang
Hipertensi dan Telepon terhadap Perilaku Diet Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas
Wirobrajan Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 4.

Anda mungkin juga menyukai