Anda di halaman 1dari 11

BAB XIII

PENGOBATAN RASIONAL

DISUSUN OLEH :

Arni Gustiani (18 10 001)


Gloriana Lai Tumonglo (18 10 004)
Femi Tampake (19 11 009)

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI (STIFA)

PELITA MAS

PALU

TAHUN 2021
A. Pendahuluan
DRP (Drug Related Problem) merupakan keadaan yang tidak
diinginkan pasien terkait dengan terapi obat serta hal-hal yang
mengganggu tercapainya hasil akhir yang sesuai dan dikehendaki
untuk pasien. Tujuh penggolongan DRp menurut Cipolle adalah
penggunaan obat yang tidak diperlukan, kebutuhan akan terapi obat
tambahan, obat yang tidak efektif, dosis terapi yang digunakan terlalu
rendah, adverse drug reactoin, dosis terapi yang trlalu tinggi, dan
ketidakpatuhan. Hal-hal yang terkait dengan DRP seharusnya dapat
dicegah dan dikurangi keberadaannya melalui pengenalan secara
awal terhadap adanya DRP oleh seorang farmasis.
Pemberian informasi obat memiliki peranan penting dalam rangka
memperbaiki kualitas hidup pasien dan menyediakan pelayanan
bermutu bagi pasien. Kualitas hidup dan pelayanan bermutu dapat
menurun akibat adanya ketidakpatuhan terhadap program
pengobatan. Penyebab ketidakpatuhan tersebut salah satunya
disebabkan kurangnya informasi tentang obat. Selain itu, regimen
pengoatan yang kompleks dan kesulitan mengikuti regimen
pengobatan yang diresepkan merupakan masalah yang
mengakibatkan ketidakpatuhan terhadap pengobatan. Selain maslah
kepatuhan, pasien juga dapat mengalami efek yang tidak diinginkan
dari penggunaan obat. Dengan diberikannya informasi obat kepada
pasien maka maslah terkait obat seperti penggunaan obat tanpa
indikasi, indikasi yang tidak terobati, dosis obat terlalu tinggi, dosis
subterapi, serta interaksi obat dapat dihindari.
Jenis informasi yang diberikan apoteker pada pasien yang
mendapat resep baru meliputi nama dan gambaran obat, tujuan
pengobatan, cara dan waktu penggunaan, saran ketaatan dan
pemantauan sendiri, efek sam[ing dan efek merugikan, tindakan
pencegahan, kontraindikasi, dan interaksi, petunjuk penyimpanan,
informasi pengulangan resep dan rencanapemantauan lanjutan.
Selain itu, diskusi penutup juga diperlukan untuk mengulang kembali
dan menekankan hal-hal terpenting terkait pemberian informasi
mengenai obat.
B. Pengertian Drug Related Problem (DRP)
Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak
diharapkan, berupa pengalaman pasien yang melibatkan atau diduga
melibatkan terapi obat dan pada kenyataannya atau potensial
mengganggu keberhasilan penyembuhan yang diharapkan. Drug
Related Problem merupakan maslah yang terkait obat dapat
mempengaruhi morbiditas dan mortalitas kualitas hidup pasien serta
berdampak juga terhadap ekonomi dan sosial pasien.
Pharmaceuticaal care Network Europe mendefinisikan masalah terkait
obat (DPRs) adalah kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi obat
yang secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinik kesehatan
yang diinginkan.
C. Komponen primer dari Drug Related Problems:
1. Pasien mengalami keadaan yang tidak dikehendaki.
Pasien mengalami keluhan medis, gejala, diagnose penyakit
kerusakan, cacat atau sindrom dan dapat mengakibatkan
gangguan psikologis, fisiologis, sosial, bahkan kondisi ekonomi.
2. Ada hubungan antara keadaan yang tidak dikehendaki dengan
terapi obat.
Sifat hubungan ini tergantung akan kekhususan Drug
Related Problems (DRPs). Hubungan yang biasanya terjadi antara
keadaan yang tidak dikehendaki dengan terapi obat adalah
kejadiaan itu akibat dari terapi obat atau kejadian itu
membutuhkan terapi obat( Cipolle et al., 1998). Drug Related
Problems (DRPs) terdiri dari DRPs actual dan DRPs potensial.
DRPs actual adalah problem yang sedang terjadi berkaitan
dengan terapi obat yang sedang diberikan pada pasien. DRPs
potensial adalah problem yang diperkirakan akan terjadi yang
berkaitan dengan terapi obat yang sedang digunakan oleh pasien
(Yunita et al., 2004).
D. Kategori umum Drug Related Problems (DRPs) :
1. Membutuhkan obat tambahan.
Penyebabnya yaitu pasien membutuhkan obat tambahan
misalnya untuk profil aksi atau pramedikasi, memiliki penyakit
kronik yang memerlukan pengobatan kontinu, memerlukan terapi
kombinasi untuk menghasilkan efek sinergis atau potensiasi dan
atau ada kondisi kesehatan baru yang memerlukan terapi obat.
2. Menerima obat tanpa indikasi yang sesuai atau tidak perlu obat.
Hal ini dapat terjadi sebagai berikut: menggunakan obat
tanpa indikasi yang tepat, dapat membaik kondisinya dengan terapi
non obat, minum beberapa obat padahal hanya satu terapi obat
yang diindikasikan atau minum obat untuk mengobati efek samping.
3. Menerima obat yang salah.
Kasus yang mungkin terjadi adalah: obat tidak efektif,
ketidaktepatan pemilihan obat, alergi, adanya resiko kontraindikasi,
resisten terhadap obat yang diberikan, kombinasi obat yang tidak
perlu dan atau obat bukan yang paling aman.
4. Dosis terlalu besar.
Beberapa penyebabnya adalah dosis salah, frekuensi tidak
tepat, dan jangka waktu tidak tepat.
5. Dosis terlalu kecil
Penyebabnya antara lain: dosis terlalu kecil untuk
menghasilkan respon yang diinginkan, jangka waktu terlalu pendek,
pemilihan obat, dosis, rute pemberian, dan sediaan yang tidak
tepat.
6. Pasien mengalami adverse drug reactions.
Penyebab umum untuk kategori ini: pasien menerima obat
yang tidak aman, pemakaian obat tidak tepat, interaksi dengan oba
tlain, dosis dinaikkan atau diturunkan terlalu cepat sehingga
menyebabkan adverse drug reaction dan atau pasien mengalami
efek yang tak dikehendaki yang tidak diprediksi.
7. Pasien mengalami kondisi keadaan yang tidak diinginkan akibat
tidak minum obat secara benar (non compliance).
8. Pasien mengalami kondisi keadaan yang tidak diinginkan akibat
tidak minum obat secara benar (non compliance).
Beberapa penyebabnya adalah: obat yang dibutuhkan tidak ada,
pasien tidak mampu membeli, pasien tidak memahami instruksi,
pasien memilih untuk tidak mau minum obat karena alas an pribadi
dan atau pasien lupa minum obat (Cipolle et al., 1998).
Identifikasi dan pemecahan masalah pada Drug Related Problems
(DRPs) tergantung pada beberapa faktor. Faktor pertama adalah
adanya semua data esensial dan farmasis bertugas menentukan data
apa yang dibutuhkan (Cipolle et al., 1998).
E. Data yang penting mengenai pasien dapat digolongkan dalam
tiga kategori :
1. Karakter klinis dari penyakit atau kondisi pasien, meliputi: umur,
seks, etnis, ras, sejarah sosial, status kehamilan, status kekebalan,
fungsi ginjal, hati dan jantung, status nutrisi, serta harapan pasien.
2. Obat lain yang dikonsumsi pasien, berkaitan dengan terapi obat
pada saat ini dan masa lalu, alergi obat, profil toksisitas, adverse
drug reaction, rute dan cara pemberian obat, dan persepsi
mengenai pengobatannya.
3. Penyakit, keluhan, gejala pasien meliputi masalah sakitnya pasien,
keseriusan, prognosa, kerusakan, cacat, persepsi pasien mengenai
proses penyakitnya.
Data dapat diperoleh dari beberapa sumber misalnya pasien
sendiri, orang yang merawat pasien, keluarga pasien, medical record,
profil pasien dari farmasis, data laboratorium, dokter, perawat dan
profesi kesehatan lainnya (Cipolle et al., 1998).
Secara umum perhatian farmasis terhadap Drug Related
Problems sebaiknya diprioritaskan pada pasien geriatri,pasien
pediatri, ibu hamil dan menyusui, serta pasien yang mendapatkan
obat dengan indeks terapi sempit(Yunita et al., 2004).
Farmasis mempunyai tanggung jawab untuk mengidentifikasi,
mencegah dan memecahkan Drug Related Problems (DRPs),
walaupun hal tersebut tidak selalu mudah dicapai. Faktor kepatuhan
pasien ikut bertanggung jawab atas kesembuhannya. Sebab itu
farmasis juga harus dapat melakukan konseling, edukasi dan
informasi kepada pasien (Cipolle et al., 1998).
Masalah terkait obat dapat mempengaruhi morbiditas dan
mortalitas kualitas hidup pasien serta berdampak juga terhadap
ekonomi dan social pasien. Pharmaceutical Care Network Europe
mendefinisikan masalah terkait obat (DRPs) adalah kejadian suatu
kondisi terkait dengan terapi obat yang secara nyata atau potensial
mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan (Pharmaceutical
Care Network Europe., 2006).
F. Klasifikasi DRP (Drug Related Problem)
Pharmaceutical Care Network Europe (The PCNE Classification
V5.01) mengelompokkan masalah terkait obat sebagai berikut
(Pharmaceutical Care Network Europe., 2006) :
1. Reaksi obat yang tidak dikehendaki/ROTD (Adverse Drug
Reaction/ADR)
Pasien mengalami reaksi obat yang tidak dikehendaki
seperti efek samping atau toksisitas.
2. Masalah pemilihan obat (Drug choice problem)
Masalah pemilihan obat di sini berarti pasien memperoleh
atau akan memperoleh obat yang salah (atau tidak memperoleh
obat) untuk penyakit dan kondisinya. Masalah pemilihan obat
antara lain: obat diresepkan tapi indikasi tidak jelas, bentuk
sediaan tidak sesuai, kontraindikasi dengan obat yang digunakan,
obat tidak diresepkan untuk indikasi yang jelas.
3. Masalah pemberian dosis obat (Drug dosing problem)
Masalah pemberian dosis obat berarti pasien memperoleh
dosis yang lebih besar atau lebih kecil dar ipada yang
dibutuhkannya.
4. Masalah pemberian/penggunaan obat (Drug use/administration
problem)
Masalah pemberian/penggunaan obat berarti tidak
memberikan/tidak menggunakan obat sama sekali atau
memberikan/menggunakan yang tidak diresepkan.
5. Interaksi obat (Interaction)
Interaksi berarti terdapat interaksi obat-obat atau obat-
makanan yang bermanifestasi atau potensial.
6. Masalah lainnya (Others)
Masalah lainnya misalnya: pasien tidak puas dengan terapi,
kesadaran yang kurang mengenai kesehatan dan penyakit,
keluhan yang tidak jelas(memerlukan klarifikasi lebih lanjut),
kegagalan terapi yang tidak diketahui penyebabnya, perlu
pemeriksaan laboratorium.

G. PERESEPAN OBAT YANG RASIONAL


Peresepan obat yang rasional sangat di dambakan berbagai
pihak, baik oleh dokter, apoteker, maupun pasien, sehingga diperoleh
peresepan obat yang efektif dan efisien (Mundariningsih, dkk., 2007).
Salah satu indikator keberhasilan peresepan obat rasional di rumah
sakit antara lain persentase penggunaan antibiotik, persentase
penggunaan obat generik, dan persentase penggunaan obat esensial
(ketaatan penggunaan formularium) benar-benar diterapkan sesuai
aturan (Anonim, 2006).
Obat yang digunakan di rumah sakit umumnya adalah obat
generik, karena harga obat nama dagang lebih mahal antara 3-5 kali
dari pada obat generik. Penulisan resep di rumah sakit pemerintah
selain mengacu pada Formularium Rumah Sakit, juga mengacu pada
Peraturan Menteri Kesehatan nomor 085/Menkes/ Per/ I/ 1989
tentang kewajiban menuliskan resep dan atau menggunakan obat
generik di rumah sakit umum pemerintah (Supardi, dkk., 2005)
H. PENGGUNAAN OBAT RASIONAL
Penggunaan obat rasional dalam pelayanan kesehatan di
Indonesia masih merupakan masalah. Penggunaan polifarmasi
dimana seorang pasien rata-rata mendapatkan 3,5 obat, lebih dari
50% menerima 4 atau lebih obat untuk setiap lembar resepnya,
penggunaan antibiotika yang berlebihan ( 43% ), waktu konsultasi
yang singkat yang rata-rata berkisar hanya 3 menit saja serta
miskinnya compliance pasien merupakan pola umum yang terjadi
pada penggunaan obat tidak rasional di Indonesia. Selain itu dari
penelitian lain didapatkan bahwa rata-rata jumlah obat untuk setiap
kasus pada anakanak di bawah 5 tahun yang terdiagnosa adalah 3,68
obat, pada anak-anak lebih dari 5 tahun 3,58 obat, dimana satu dari 4
obat yang dituliskan dalam resep adalah obat injeksi. Secara umum
obat diberikan untuk jangka waktu 3 hari termasuk juga antibiotika.
Keadaan ini menunjukkan bahwa antibiotika diberikan dengan dosis
subterapeutika. Penelitian lain menggambarkan betapa luasnya
penggunaan obat yang diresepkan secara tidak rasional termasuk
penggunaan antibiotika yang berlebihan di tingkat pelayanan
kesehatan primer.Hal lain yang didapatkan adalah 25-27% antibiotika
yang diresepkan di rumah sakit pendidikan pada negara-negara
berkembang indikasinya tidak tepat, baik ditinjau dari pemilihan
antibiotika, dosis ataupun lamanya pemberian maupun dari kombinasi
antibiotika yang diberikanpun yang tidak sesuai.
Di negara berkembang, terapi dalam bentuk injeksipun dapat
merupakan salah satu contoh penggunaan obat yang tidak rasional.
Suatu penelitian menunjukkan bahwa pada beberapa negara, anak-
anak pada usia 2 tahun telah menerima rata-rata 20 obat injeksi,
dimana 5% merupakan imunisasi dan sisanya 95 % merupakan
injeksi yang diberikan dalam kaitannya dengan terapi.5 Selain itu labih
dari 50 % dari injeksi yang diberikan tidaklah aman, dimana resiko
penularan penyakit melalui darah seperti HIV dan hepatitis B dan C
menjadi meningkat.Hal ini menyebabkan terjadinya ketidak efisienan
dan tidak efektifnya anggaran untuk obat. Indonesia mulai
menerapkan konsep obat esensial pada tahun 1980 dan konsep ini
diimplementasikan pada sektor kesehatan masyarakat. Ke tidak
sesuaian, inefisiensi dan tidak efektifnya penggunaan obat banyak
sekali terjadi pada fasilitas kesehatan di negeara-negara berkembang.
Penggunaan obat tidak rasional yang sering terjadi sebagai akibat
dari tidak terpenuhinya resep yang diberikan oleh petugas kesehatan,
pengobatan sendiri yang menggunakan obat-obat yang harus
menggunakan resep, penggunaan yang berlebihan dan penggunaan
antibiotika yang salah, penggunaan obat injeksi yang berlebihan,
penggunaan yang berlebih dari obat-obatan yang relatif aman,
penggunaan obat yang mahal dan tidak terpenuhinya kebutuhan obat
pada pasien tidak mampu. Obat esensial diseleksi untuk memenuhi
kebutuhan mayoritas penduduk untuk pelayanan diagnostik,
profilaktik, terapeutik dan rehabilitatif dengan menggunakan kriteria
risk-benefit ratio, cost effectiveness, kualitas, cara pemberian yang
praktis sesuai dengan keinginan, kebutuhan yang dapat diterima oleh
pasien.
Banyak negara memiliki anggaran yang terbatas sehingga
berdampak pada terbatasnya alokasi dana yang diperuntukkan bagi
sektor kesehatan termasuk juga pengadaan obat.4 Oleh karena itu
penting untuk melakukan optimasi pengeluaran untuk pembelian obat
melalui seleksi terhadap daftar obat esensial dan melakukan promosi
terhadap penggunaan obat rasional. Optimasi dari penggunaan
anggaran yang terbatas dan promosi penggunaan obat rasional
dilakukan untuk memperbaiki kualitas, meningkatkan akses dan
kewajaran dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Tantangan agar
petugas kesehatan dalam hal ini dokter untuk dapat memberikan
resep yang rasional tidak hanya pada keterbatasan pengetahuan saja
karena hal tersebut tidak cukup untuk mengubah perilaku. Program
pelatihan haruslah disertai dengan program lainnya antara lain
supervisi, audit medik, dukungan peraturan, insentif bagi yang
menerapkan penggunaan obat yang rasional serta pendidikan pada
seluruh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Cipolle, J.R., Strand, L., dan Morley, P.C. (2008).  Pharmaceutical Care
Practice the Clinician’s Guid . Edisi ke 2. New York-Toronto:
McGraw-Hill. Hal 178-179

Cipolle, J.R., Strand, L., dan Morley, P.C. (1998).  Pharmaceutical Care
Practice. McGrawHill. New York. Hal: Chapter 1

Zuidlaren. Classification For Drug Related Problems. Pharmaceutical Care


Network Europe Foundation. 2010

Anda mungkin juga menyukai