Anda di halaman 1dari 146

BUKU AJAR

FARMASI RUMAH
SAKIT
Dosen pengasuh :

Dr. joni Tandi., M.Kes., Apt

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat &
karunia dan dengan seizin-Nya kami dapat menyelesaikan buku Farmasi rumah sakit.
Sesuai dengan tugas yang diamanahkan kepada kami, buku ini dapat kami selesaikan
secara tuntas & tentunya dengan karunia-Nya jugalah penulis dapat menyelesaikan
penulisan buku Farmasi rumah sakit ini tepat pada waktunya.

Dalam penulisan buku Farmasi rumah sakit ini penulis tentunya banyak
mendapatkan support dan bantuan, baik bimbingan maupun informasi, oleh sebab itu
pada kesempatan ini tak lupa ingin penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya terhadap semua pihak yang telah memberikan bantuan kepada penulis mata
kuliah Farmasi rumah sakit & juga selaku dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi
Pelita Mas Palu yang telah memberi bantuan secara spiritual maupun material dan
seluruh rekan-rekan yang telah memberikan masukan serta bantuan terhadap kami
dalam proses pengerjaan pembuatan buku ini.

Harapan kami semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi ilmu
pengetahuan khususnya dibidang kefarmasian. Buku Farmasi rumah sakit ini kami
akui masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami mengharapkan masukan-
masukan, kritcik & saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan laporan
buku ini, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi buku ini, sehingga
kedepannya menjadi lebih baik.

Palu,Januari
2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Cover …………………………………………………………………….…………....i

Kata pengantar……………………………………………………………….………..ii

Daftar isi……………………………………………………………………...………iii

BAB 1 Organisasi rumah sakit………………………………………………………..1

BAB 2 Pengelolaan perbekalan farmasi di Rumah Sakit.…….……………………..9

BAB 3 Instalasi farmasi rumah sakit……………………………………………...…19

BAB 4 Ifers……………………………………………………………………..…...26

BAB 5 Formularium rumah sakit………………………………………………..…..36

BAB 6 Format dan penampilan formularium………………………………………..45

BAB 7 Komite farmasi dan terapi……………………………………………...……49

BAB 8 Organisasi rumah sakit ………………………………………….…………60

BAB 9 Perencanaan, Pengadaan dan penyimpanan…………………………………69

BAB 10 Central Sterile Suplly Departerment……………………………………….81

BAB 11 Pelayanan Informasi Obat………………………………………………….91

BAB 12 Pedoman pelayanan informasi obat…………………………………..…...100

BAB 13 DRP (Drug Related Problem)……………………………………..……...107

BAB 14 Penggunaan obat yang Rasional………………………………………......116

Daftar Pustaka…………………………………………………………………...….127

iii
BAB 1

ORGANISASI RUMAH SAKIT

1
1.1 Pengertian Organisasi Rumah Sakit
Yang di maksud dengan organisasi di rumah sakit adalah sebuah
struktur yang di bangun oleh suatu elemen perusahaan atau dari rumah sakit
sendiri tersebut yang memiliki tingkatan- tingkatan dan juga memiliki tugas
masing-masing dan mereka saling membutuhkan satu sama lain. Dan
organisasi tersebut berdiri di bawah naungan pemerintah maupun tidak.
Rumah sakit yang tidak berda naungan pemerintah adalah rumah sakit swasta.
Mereka berdiri dari orang yang memiliki rumah sakit tersebut.

1.2 Visi dan misi rumah sakit


1.2.1 Visi

Menjadi Rumah Sakit yang memiliki kualitas prima dalam pelayanan,


pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat di bidang
kesehatan yang bertaraf internasional

1.2.2 Misi

1. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang paripurna, bermutu, dan


terjangkau oleh semua lapisan masyarakat yang berorientasi pada
keselamatan pasien dan kepuasan pelanggan.

2. Melaksanakan Pelayanan, pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada


masyarakat dibidang kesehatan dalam rangka membangun sumber daya
manusia melalui pemenuhan dan pembinaan dokter, dokter spesialis,
tenaga kesehatan, dan tenaga ahli lainnya yang relevan yang memiliki
karakter yang profesional, visioner, inovatif, dan berakhlak mulia dengan
melalui kerjasama dengan berbagai lembaga lain

3. Menyelenggarakan penelitian kesehatan yang inovatif dalam rangka


penapisan dan pengembangan teknologi dibidang kesehatan yang visioner
demi kemaslahatan masyarakat.

2
1.3 Struktur Rumah Sakit Dan Tata Kerja Instalasi Rumah Sakit
Direktur

Dr. I kom adi sujendra, sp.pd

Wadir , umum dan keuangan

Nursila SE.M.SI

Ka bag. Umum Dan


perlengkapan

Dra. Andi adriati

Umum &
kepegawaian
Ka, su, bag Umum rismawaty,
Triyani W.N.M.PA SKM(PJ)
Rumpu.SKM.MPH Lenniarty p,
AMKL

Eliana skm
syamiani, AMKL

Ka. Inst. Sanitasi


administrasi
Syamsuddin. A MKL

Logistik

Indang w. AMKL
(PJ)

3
Pelayanan air Pelayanan air Pengolahan Sanitasi
bersih limbah sampah umum

Moh rapik (pj) Lendang w,amkl


Lenniarty amkl (pj) Haryati skm (pj) (kodinator)
Yulianti, skm
Mis dawati T , skm Wily rumbayan, Kurnia sapaatni skm
Syamsiani, amkl skm
M nurliansyah amkl Perayanti skm
Ekar. Gadinza Itha puspitasari ,
Eliana skm skm
1.4 TUGAS RUMAH SAKIT
Tugas rumah sakit umum adalah melaksanakan upaya pelayanan
kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan
penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu
dengan peningkatan dan pencegahan serta pelaksanaan upaya rujukan.

1.5 FUNGSI RUMAH SAKIT ADALAH

1. melaksanakan pelayanan medis,pelayanan penunjang medis.

2. membantu penelitian dan pengembangan kesehatan.

3. melaksanakan pendidikan para medis.

4. melaksanakan pelayanan penyuluhan kesehatan.

1.6 DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM


Direktur Rumah Sakit Umum mempunyai Tugas Pokok : Membantu
dalam pengelolaan Rumah Sakit dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat.
Dalam menyelenggarakan tugas, Direktur RSUD Massenrempulu mempunyai
fungsi sebagai berikut ;

1. Perumusan kebijakan rumah sakit

2. Penyusunan Rencana Strategik Rumah Sakit

4
3. Penyelenggaraan pelayanan umum dibidang kesehatan
1.7 BAGIAN TATA USAHA
 Kepala Bagian Tata Usaha
Kepala Bagian Tata Usaha mempunyai Tugas Pokok:Memberikan
pelayanan teknis dan administrasi kepada semua unsur dilingkungan
kantor Rumah Sakit.

Dalam menyelenggarakan tugas, Kepala Bagian Tata Usaha


mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Penyusunan kebijakan bidang teknis administrasi perencanaan,
adminstrasi umum dan kepegawaian serta adminstrasi keuangan
dan asset Rumah Sakit
2. Pembinaan, pengkoordinasian , pengendalian, pengawasan
program dan kegiatan

1.8 Kepala Seksi Pelayanan Medik

Kepala Seksi Pelayanan Medik, mempunyai Tugas Pokok :


menyiapkan perumusan dan fasilitasi medis di RS
Dalam menyelenggarakan tugas Kepala Seksi Pelayanan Medik mempunyai
tugas :
1. Penyusunan program dan kegiatan seksi Pelayanan Medik ;
2. Pelaksanaan program dan kegiatan seksi Pelayanan Medik;
3. Pembinaan, pengendaliaan, pengawasan program dan kegiatan seksi
Pelayanan Medik

1.9 Kepala Seksi Pelayanan Keperawatan


kepala seksi pelayanan keperawatan, mempunyai tugas pokok:
menyiapkan perumusan dan fasilitai pelayanan keperawatan di RS dalam
menyelenggarakan tugas kepala seksi pelayanan keperawatan mempunyai
tugas:

5
1. Penyusunan program dan kegiatan seksi Pelayanan Keperawatan;
2. Pelaksanaan program dan kegiatan seksi Pelayanan Keperawatan;
3. Pembinaan, Pengkoordinasian, pengendaliaan, pengawasan program dan
kegiatan seksi Pelayanan Keperawatan

1.10 KEPALA SEKSI PERLENGKAPAN MEIK DAN NON MEDIK


Kepala Seksi Perlengkapan Medik dan Non Medik, mempunyai Tugas
Pokok :menyiapkan perumusan dan fasilitasi Perlengkapan Medik dan Non
Medik di RS.
Dalam menyelenggarakan tugas Kepala Seksi
Perlengkapan Medik dan Non Medik mempunyai tugas :
1. Penyusunan program dan kegiatan seksi Perlengkapan Medik dan Non
Medik;
2. Pelaksanaan program dan kegiatan seksi Perlengkapan Medik dan Non
Medik;
3. Pembinaan, Pengkoordinasian, pengendaliaan, pengawasan program dan
kegiatan seksi.

1.11 Kepala Bidang Pelayanan

Kepala Bidang Pelayanan, mempunyai Tugas Pokok : merencanakan


operasionalisasi memberi tugas, memberi petunjuk, menyelia, mengatur,
mengevaluasi dan melaporkan penyelenggaraan tugas bidang pelayanan.
Dalam menyelenggarakan tugas, kepala bidang pelayanan mempunyai fungsi :
1. Penyelenggaraan program dan kegiatan pelayanan medik;
2. Penyelenggaraan program dan kegiatan pelayanan keperawatan;
3. Penyelenggaraan dan pengadaan perlengkapan medik dan non medik.

1.12 Kepala Seksi Pelayanan Medik


Kepala Seksi Pelayanan Medik, mempunyai Tugas Pokok

6
yaitu menyiapkan perumusan dan fasilitasi medis di RS
Dalam menyelenggarakan tugas Kepala Seksi Pelayanan Medik mempunyai
tugas :
1. Penyusunan program dan kegiatan seksi Pelayanan Medik ;
2. Pelaksanaan program dan kegiatan seksi Pelayanan Medik;
3. Pembinaan, pengendaliaan, pengawasan program dan kegiatan seksi
Pelayanan Medik.

1.13 Kepala Seksi Pelayanan Keperawatan


kepala seksi pelayanan keperawat an, mempunyai tugas pokok:
menyiapkan perumusan dan fasilitas pelayanan keperawatan di RS dalam
menyelenggarakan tugas kepala seksi pelayanan keperawatan mempunyai
tugas:
1. Penyusunan program dan kegiatan seksi Pelayanan Keperawatan;
2. Pelaksanaan program dan kegiatan seksi Pelayanan Keperawatan;
3. Pembinaan, Pengkoordinasian, pengendaliaan, pengawasan program dan
kegiatan seksi Pelayanan Keperawatan
1.14 Kepala bidang penunjang
Kepala Bidang Penunjang, mempunyai Tugas Pokok : Merencanakan
operasionalisasi , memberi tugas, memberi petunjuk, menyelia, mengatur,
mengevaluasi dan melaporkan penyelenggaraan tugas bidang penunjang.
Dalam menyelenggarakan tugas Kepala Bidang Penunjang mempunyai tugas
yaitu :
1. Penyelenggaraan program dan kegiatan logistik dan diagnostik;
2. Penyelenggaraan program dan kegiatan pelayanan sarana dan Prasarana;
3. Penyelenggaraan program dan kegiatan pengendalian instalasi.
4. Penyusunan program dan kegiatan seksi Logistik dan Diagnostik
5. Pelaksanaan program dan kegiatan seksi Logistik dan Diagnostik;

7
1.15. Kepala Seksi Logistik dan Diagnostik
Kepala Seksi Logistik dan Diagnostik , mempunyai Tugas Pokok :
menyiapkan perumusan dan fasilitasi Perlengkapan Logistik dan Diagnostik
di RS. Dalam menyelenggarakan tugas Kepala Seksi Logistik dan Diagnostik
mempunyai tugas :
1. Penyusunan program dan kegiatan seksi Logistik dan Diagnostik ;
2. Pelaksanaan program dan kegiatan seksi Logistik dan Diagnostik;
3. Pembinaan, Pengkoordinasian, pengendaliaan, pengawasan program dan
kegiatan seksi Logistik dan Diagnostik
1.16 Kepala Seksi sarana dan Prasarana
Kepala seksi Sarana dan Prasarana, mempunyai Tugas Pokok :
menyiapkan perumusan dan fasilitasiPerlengkapan sarana dan Prasarana
di RS. Dalam menyelenggarakan tugas Kepala Seksi Sarana dan
Prasarana mempunyai tugas :
1. Penyusunan program dan kegiatan seksi Sarana dan Prasarana;
2. Pelaksanaan program dan kegiatan seksi Sarana dan Prasarana;
3. Pembinaan, Pengkoordinasian, pengendaliaan, pengawasan program dan
kegiatan seksi Sarana dan Prasarana.

1.17 Kepala Seksi Pengendalian Instalasi


Kepala seksi Pengendalian Instalasi, mempunyai Tugas Pokok :
Mempersiapkan, memperbaiki, dan memelihara sarana dan prasarana
Instalasi RS Dalam menyelenggarakan tugas Kepala Seksi Pengendalian
Instalasi mempunyai tugas :

1. Pelaksanaan program dan kegiatan seksi Pengendalian Instalasi;

2. Pembinaan, Pengkoordinasian, pengendaliaan, pengawasan program dan


kegiatanPengendalian Instalasi.

8
BAB 2

PENGELOLAAN PERBEKALAN
FARMASI DI RUMAH SAKIT

9
2.1 Latar Belakang
Obat merupakan salah satu komponen penting dan tidak tergantikan dalam
pelayanan kesehatan, baik pelayanan kesehatan primer maupun pelayanan
kesehatan yang lebih tinggi. Menurut WHO (2011), belanja obat merupakan
bagian terbesar dari anggaran kesehatan. Di beberapa negara maju biaya obat ini
berkisar antara 10-20% dari anggaran kesehatan, seperti di Jerman 15% dan
Jepang 19%. Sedangkan di negara berkembang biaya ini lebih besar lagi antara
25-65%, seperti di Indonesia sebesar 40%.
Keberadaan obat merupakan kondisi pokok yang harus terjaga
ketersediaannya karena ketersediaan obat merupakan salah satu hal yang
mempengaruhi pelayanan kesehatan, dan dengan persepsi masyarakat tentang
hasil dari pelayanan kesehatan adalah menerima obat setelah berkunjung ke
sarana kesehatan. Bila diumpamakan, tenaga medis adalah tentara yang sedang
berperang di medan tempur, maka obat adalah amunisi yang mutlak harus
dimiliki untuk mengalahkan musuh-musuhnya. Oleh karena vitalnya obat dalam
pelayanan kesehatan, maka pengelolaan yang benar, efektif dan efisien sangat
diperlukan oleh petugas di Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota (Depkes RI, 2007).
Manajemen pengelolaan obat merupakan suatu siklus kegiatan yang dimulai
dari perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,
pengendalian, pencatatan dan pelaporan, penghapusan, sampai monitoring dan
evaluasi yang saling terkait antara satu dengan yang lain. Dalam siklus tersebut,
perencanaan merupakan tahap awal dan sebagai tahap yang penting dan
menentukan, karena perencanaan kebutuhan obat akan mempengaruhi pengadaan,
pendistribusian dan penggunaan obat di unit pelayanan kesehatan. Apabila lemah
dalam perencanaan maka akan mengakibatkan kekacauan dalam siklus
manajemen secara keseluruhan, yang menimbulkan dampak seperti pemborosan,
tidak tersedianya obat, tidak tersalurnya obat, obat rusak, dan lain sebagainya
(Kemenkes RI, 2010b).

10
Dalam melakukan kegiatan perencanaan obat ini, komponen input juga
menjadi penentu berupa struktur organisasi yang jelas, tenaga perencana yang
cukup dan berkualitas, prosedur yang tepat, serta anggaran yang tersedia untuk
menghasilkan keluaran yang diharapkan, yaitu tersedianya jenis dan jumlah obat
yang tepat sesuai kebutuhan, menghindari terjadinya kekosongan obat,
meningkatkan penggunaan obat secara rasional, dan meningkatkan efisiensi
penggunaan obat (Febriawati, 2013).
Manajemen perencanaan obat yang efektif dan efisien akan mendukung mutu
pelayanan kesehatan di rumah sakit. Rumah sakit sebagai salah satu sarana
kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan dengan tujuan untuk
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Manajemen obat di
rumah sakit dilakukan oleh instalasi farmasi rumah sakit. Instalasi farmasi rumah
sakit sebagai satu-satunya unit di rumah sakit yang bertugas dan bertanggung
jawab sepenuhnya pada pengelolaan semua aspek yang berkaitan dengan
obat/perbekalan kesehatan yang beredar dan digunakan di rumah sakit tersebut
(Siregar dan Amalia, 2004).
2.2 Pengelolaan obat
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan nomor 27/Menkes/SK/IX/2004,
pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai
ketentuan perundangan yang berlaku meliputi perencanaan, pengadaan,
penyimpanan, dan penggunaan. Tujuan pengelolaan obat adalah memelihara dan
meningkatkan penggunaan obat secara rasional dan ekonomis di unit-unit
pelayanan kesehatan melalui penyediaan obat-obatan yang tepat jenis, tepat
jumlah dan tepat waktu dan tempat (Depkes, 2004).
2.3 Tahap Perencanaan
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor1197/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah
Sakit menyebutkan bahwa perencanaan pengadaan merupakan proses kegiatan
dalam pemilihan jenis, jumlah dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan

11
kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan obat dengan
menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar
perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi
metode konsumsi dan epidemiologi disesuaikan dengan anggaran yang tersedia
(Depkes, 2004).
Metode konsumsi didasarkan pada analisa data konsumsi obat tahun
sebelumnya. Untuk menghitung jumlah obat yang dibutuhkan berdasarkan
metoda konsumsi perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Pengumpulan dan pengolahan data
2) Analisa data untuk informasi dan evaluasi
3) Perhitungan perkiraan kebutuhan obat
4) Penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi dana
Metode epidemiologi didasarkan pada frekuensi penyakit, jumlah kunjungan,
dan standar pengobatan yang digunakan. Langkah-langkah dalam metoda ini
adalah:
1) Memanfaatkan pedoman pengobatan.
2) Menentukan jumlah penduduk yang akan dilayani.
3) Menentukan jumlah kunjungan kasus berdasarkan frekuensi penyakit.
4) Menghitung jumlah kebutuhan obat (Soerjono et al, 2004).
2.4 Tahap Pengadaan
Pengadaan merupakan salah satu wujud dari pelaksanaan pekerjaan
kefarmasian. Dalam Peraturan Pemerintah No.51 (2009), terdapat pasal yang
mengatur bahwa: ”Dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas
pelayanan kefarmasian, apoteker dapat dibantu oleh Apoteker Pendamping atau
Tenaga Teknis Kefarmasian”. Pada bab ketentuan umum, dijelaskan bahwa yang
termasuk Tenaga Teknis Kefarmasian adalah Sarjana Farmasi, Ahli Madya
Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah Farmasi atau Asisten Apoteker
(PP No.51, 2009). Pengadaan adalah sebuah tahapan yang penting dalam
manajemen pengelolaan obat dan menjadi sebuah prosedur rutin di dalam sistem

12
manajemen obat. Proses pengadaan yang efektif akan menjamin ketersediaan obat
dalam jumlah yang benar dan harga yang pantas serta kualitas obat yang terjamin
(Omi, 2002).
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam melakukan pengadaan, antara
lain:
1) Waktu pembelian, untuk mencegah kekosongan persediaan.
2) Lokasi, perlu memperhitungkan lokasi PBF berada. Bila waktu yang
diperlukan untuk pengiriman singkat, maka waktu pembelian dapat
dilakukan pada saat barang hampir habis.
3) Frekuensi dan volume pembelian. Makin kecil volume atau jumlah barang
yang dibeli, makin tinggi frekuensi dalam melakukan pembelian (Anief,
2003).
Adapun yang harus dilakukan saat penerimaan barang atau obat,
diantaranya:
1) Menerima barang atau obat dan dokumen-dokumen pendukungnya, antara
lain surat pesanan atau surat kontrak, surat kiriman, faktur barang atau obat.
2) Memeriksa barang atau obat dengan dokumen-dokumen yang bersangkutan
baik dari segi jumlah, mutu, tanggal kadaluwarsa, merk, harga dan
spesifikasi lain bila diperlukan.
3) Obat-obatan yang diterima dibuatkan berita acara atau tanda penerimaan dan
pemeriksaan obat sesuai dengan hasil pemeriksaan menggunakan formulir
daftar permintaan atau penyerahan obat. Berita acara pemeriksaan
penerimaan obat adalah dokumen tanda bukti pemeriksaan pada penerimaan
obat yang mencantumkan tanggal penerimaan, jenis, keadaan, banyaknya,
sumber dan lain-lain yang bersangkut dengan obat tersebut.
4) Pencatatan untuk menjamin obat-obat yang ada dalam persediaan digunakan
secara efisien, perlu dilakukan pencatatan-pencatatan atas persediaan obat
tersebut. Dengan adanya pencatatan yang dikerjakan secara teratur dan
terusmenerus, diharapkan Apotek, PBF, industri farmasi dan farmasi rumah

13
sakit akan dapat mengikuti perkembangan persediaan bahan-bahan atau obat
jadi dengan baik. Oleh karena itu, sangat penting mencatat semua barang
(bahan atau obat) yang ada di dalam persediaannya agar dapat mengikuti
perkembangan keadaaan usahanya dari waktu ke waktu (Soerjono et al,
2004).
2.5 Tahap Penyimpanan
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor1027/Menkes/SK/IX/2004 yang perlu diperhatikan pada penyimpanan:
1) Obat atau bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam
hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain maka,
harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas
pada wadah yang baru, wadah sekurang-kurangnya memuat no batch dan
tanggal kadaluarsa.
2) Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak dan
menjamin kestabilan bahan (Depkes, 2004). Perlu diperhatikan lokasi dari
tempat penyimpanan di gudang untuk menjamin bahwa barang atau obat
yang disimpan mudah diperoleh dan diatur sesuai penggolongan barang,
kelas terapi obat atau khasiat obat dan sesuai abjad (Soerjono et al, 2004).
Tujuan penyimpanan obat-obatan adalah:
1) Memelihara mutu obat-obatan.
2) Menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab.
3) Menjaga kelangsungan persediaan.
4) Memudahkan pencarian dan pengawasan (Aditama, 2003).
Kegiatan penyimpanan obat meliputi:
1) Penyiapan sarana penyimpanan Ketersediaan sarana yang ada di unit
pengelola obat dan perbekalan kesehatan bertujuan untuk mendukung
jalannya organisasi. Adapun sarana yang minimal sebaiknya tersedia adalah
sebagai berikut :
a) Gedung dengan luas 300 m2 – 600 m2

14
b) Kendaraan roda dua dan roda empat, dengan jumlah 1 – 3 unit
c) Komputer + Printer dengan jumlah 1 – 3 unit
d) Telepon & Facsimile dengan jumlah 1 unit
e) Sarana penyimpanan
(1) Rak : 10 - 15 unit
(2) Pallet : 40 - 60 unit
(3) Lemari : 5 - 7 unit
(4) Lemari Khusus : 1 unit
(5) Cold chain (medical refrigerator)
(6) Cold Box
(7) Cold Pack
(8) Generator
f) Sarana Administrasi Umum
g) Sarana Administrasi Obat dan Perbekalan Kesehatan:
(1) Kartu Stok
(2) Kartu Persediaan Obat
(3) Kartu Induk Persediaan Obat
(4) Buku Harian Pengeluaran Barang
(5) SBBK (Surat Bukti Barang Keluar)
(6) LPLPO (Laporan Pemakaian dan Laporan Permintaan Obat)
(7) Kartu Rencana Distribusi
(8) Lembar bantu penentuan proporsi stok optimum
2) Pengaturan tata ruang
Untuk mendapatkan kemudahan dalam penyimpanan, penyusunan,
pencarian dan pengawasan obat, maka diperlukan pengaturan tata ruang
gudang dengan baik. Pengaturan tata ruang selain harus memperhatikan
kebersihan dan menjaga gudang dari kebocoran dan hewan pengerat juga
harus diperhatikan ergonominya.
3) Penyusunan obat

15
Obat disusun menurut bentuk sediaan dan alfabetis. Untuk
memudahkan pengendalian stok maka dilakukan langkah-langkah sebagai
berikut :
a) Menggunakan prinsip First Expired date First Out (FEFO) dan First In
First Out (FIFO) dalam penyusunan obat yaitu obat yang masa
kadaluwarsanya lebih awal atau yang diterima lebih awal harus
digunakan lebih awal sebab umumnya obat yang datang lebih awal
biasanya juga diproduksi lebih awal dan umurnya relatif lebih tua dan
masa kadaluwarsanya mungkin lebih awal.
b) Menyusun obat dalam kemasan besar di atas pallet secara rapi dan
teratur. Untuk obat kemasan kecil dan jumlahnya sedikit disimpan
dalam rak dan pisahkan antara obat dalam dan obat untuk pemakaian
luar dengan memperhatikan keseragaman no batch.
c) Menggunakan lemari khusus untuk menyimpan narkotika dan
psikotropika.
d) Menyimpan obat yang stabilitasnya dapat dipengaruhi oleh
temperatur udara, cahaya dan kontaminasi bakteri pada tempat yang
sesuai. Perhatikan untuk obat yang perlu penyimpanan khusus.
e) Mencantumkan nama masing-masing obat pada rak dengan rapi.
f) Apabila persediaan obat cukup banyak, maka obat tetap dalam box
masingmasing.
4) Pengamatan mutu obat. Mutu obat yang disimpan di ruang penyimpanan
dapat mengalami perubahan baik karena faktor fisik maupun kimiawi
yang dapat diamati secara visual. Jika dari pengamatan visual diduga ada
kerusakan yang tidak dapat ditetapkan dengan cara organoleptik, harus
dilakukan sampling untuk pengujian laboratorium (Aditama, 2003).
2.6 Tahap Distribusi
Distribusi merupakan kebijakan dari kegiatan penyimpanan yang berguna
untuk memenuhi kebutuhan logistik bagian-bagian dalam suatu organisasi. Untuk

16
mendukung efektifitas dan efisiensi kerja tiap bagian maupun organisasi secara
keseluruhan, dalam penyaluran kebutuhan logistik harus memperhatikan dan
mengimplementasikan beberapa asas penyaluran logistik.
2.7 Tahap Penggunaan
Pemakaian atau penggunaan obat adalah suatu kegiatan yang berkaitan
dengan penggunaan obat yang meliputi:
1) Pembinaan cara penggunaan obat yang benar.
2) Adanya daftar sinonim untuk obat-obatan tertentu
3) Adanya daftar nama seluruh obat beserta kadar obat yang tersedia baik di
gudang atau ruang pelayanan maupun di ruang dokter.
4) Lampiran, daftar kadar obat.
5) Adanya perlengkapan kemasan (kantong plastik atau botol, pot dan etiket).
6) Setiap pengeluaran obat-obatan dari ruangan pelayanan harus dicatat dalam
kartu status penderita yang kemudian dibukukan dalam buku pemakaian obat
obatan dan alat kesehatan (Siregar & Amalia, 2003).

17
BAB 3

18
INSTALASI FARMASI RUMAH
SAKIT (INFRS)
3.1 Definisi IFRS

Instalasi Farmasi Rumah Sakit adalah suatu bagian/unit/divisi atau fasilitas


dirumah sakit, tempat penyelenggaraan semua kegiatan pekerjaan kefarmasian
yang ditujukan untuk keperluan rumah sakit itu sendiri (Siregar dan Amalia,
2004). Instalasi Farmasi Rumah Sakit dikepalai oleh seorang apoteker dan dibantu
oleh beberapa orang apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, dan merupakan tempat atau fasilitas penyelenggaraan
yang bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan serta pelayanan kefarmasian
(Siregar dan Amalia, 2004).
3.2 Perbedaan IFRS dan farmasi komunitas (apotek)
1. Rumah sakit adalah suatu institusi dari dan untuk komunitas, ia sangat
dipengaruhi oleh kebutuhan , pengharapan dan permintaan anggota
masyarakatnya. Oleh karena itu, ada kekuatan sosio medico-ekonomik
dan organisasi RS yang menekankan pada praktik farmasi di RS. Inilah
salah satu alasan yang meyakinkan perbedaan praktik farmasi RS yang
signifikan dari praktik farmasi komunitas ( apotek ).
2. Farmasi RS harus dianggap sebagai salah satu dari banyak bagian
(departemen) pada sebuah RS yang mempunyai berbagai fungsi dasar
umum. Fungsi dasar umum dari berbagai bagian (departemen) RS
termasuk IFRS sebagai berikut :
a. Memberikan dan mengevaluasi pelayanan dalam mendukung
pelayanan medis yang mengikuti dan sesuai dengan tujuan dan
kebijakan RS.

19
b. Menerapkan dalam pelayanan departemental, filosofi, tujuan,
kebijakan, dan standar dari rumah sakit.
c. Mengadakan dan menerapkan suatu rencana kewenangan
administrative departemental yang secara jelas menetapkan
tanggung jawab dan tugas untuk tiap kategori personil
d. Berpartisipasi dalam mengoordinasikan berbagai fungsi
departemen dengan berbagai fungsi dari semua departemen dari
berbagai pelayanan lain di RS.
e. Menilai persyaratan bagi departemen dan membuat
rekomendasi serta menerapkan kebijakan dan prosedur untuk
memelihara staf yang cukup dan kompeten.
f. Menyediakan cara dan metode yang dengannya personel dapat
bekerja dengan kelompok lain dalam mengartikan tujuan RS dan
departemen untuk penderita dan komunitas.
g. Mengembangkan dan memelihara suatu sistem yang efektif dari
rekam dan laporan klinik dan atau administrative.
h. Menilai kebutuhan fasilitas, perbekalan dan peralatan, serta
merapatkan suatu sistem untuk evaluasi, pengendaliaan dan
pemeliharaan
i. Berpartisipasi dalam dan taat pada rencana pengoprasian
keuangan untuk RS
j. Memprakarsai , menggunakan dan atau berpartisipasi dalam
proyek studi atau penelitian yang ditujukan untuk peningkatan
pelayanan penderita dan peningkatan pelayanan administratif
dan pelayanan RS lainnya
k. Mengadakan dan menerapkan suatu program pendidikan
berkelanjutan bagi semua personel
l. Berpartisipasi dalam dan atau memberi kemudahan kepada

20
semua program pendidikan termasuk pengalaman praktik
mahasiswa dalam departemen.
m. Berpartisipasi dalam dan taat pada program
keselamatan/keamanan RS
Dalam kerangka fungsi dasar inilah, apoteker RS melaksanakan
tugas dan fungsinya.Tanggung jawab apoteker adalah
mengembangkan pelayanan farmasi yang luas, tinggi dalam mutu,
terkoordinasi dengan tepat, untuk memenuhi kebutuhan dari
berbagai departemen diagnosis dan terapi, pelayanan keperawatan,
staf medis dan RS secara keseluruhan, dan demi kepentingan
pemberian pelayanan penderita yang lebih baik.. Dari uraian diatas
jelas bahwa keragaman fungsi, bobot tanggung jawab, volume, dan
keragaman kegiatan dari IFRS dan adanya hubungan timbale balik
dan harmonisasi antar departemental, yang menyebabkan
perbedaan besar antara IFRS dan farmasi komunitas ( apotek ) .
3. Farmasi RS dewasa ini telah berkembang secara signifikan sehingga
menyebabkan perlunya pendidikan dan pelatihan khusus pada tingkat
pascasarjana.
4. Pengetahuan spesialisasi farmasi RS yang berguna telah berkembang
melalui pustaka-pendidikan dan pelatihan
5. Telah berkembang pula suatu korps ( kesatuan) apoteker praktisi karir RS
yang sangat memenuhi syarat dan telah mengadopsi suatu filsofi
pelayanan professional yang baik dan telah mengembangkan standar praktik
yang tinggi.
6. Apoteker yang berpraktik dalam RS memerlukan pendidikan atau
pengalaman khusus agar mampu melaksanakan praktiknya dengan
keefektifan yang maksimal. Tidak seperti dalam praktik farmasi komunitas
( apotek ), apoteker RS wajib berfungsi dalam suatu organisasi dengan

21
tanggung jawab tambahan, yang pada hakekatnya di luar pelayanan
penderita. Tanggung jawab tambahan ini mencangkup pendidikan, penelitian,
dan kesehatan masyarakat.
7. Apoteker RS harus memperhatikan hubungan professional setiap hari
dengan profesionalisme terspesialisasi tinggi dan terlatih dengan terampi.
Apoteker bertemu dengan dokter spesialis pada posisi sama dan dalam
pertemuan resmi PFT dan dalam kunjungan medis keruangan perawatan
penderita yang mendiskusikan semua hal yang berkaitan dengan obat.
Apoteker RS berhubungan langsung secara tetap dengan profesi
keperawatan dalam praktik harian mereka, berkaitan dengan obat penderita
dan pelayanan informasi yang dibutuhkan perawat
8. Apoteker RS dalam praktik harian selalu ada kontak professional dengan :
a. Ahli mikrobiologi, biokimia, dan kimia klinik, berkaitan dengan obat
b. Ahli fisika, dan ahli radiologi, berkaitan dengan sediaan farmasi, zat
diagnostic dan media kontras radioaktif 
c.  Ahli farmakologi klinik dan dokter peneliti,dalam halo bat investigasi,
interaksi, dan berbagai reaksi obat
d. Spesialisasi sosiologi medis, pustakawan rekaman medic, dietetic
medis, rekayasa metode, dan administrasi RS, se$ara rutin da!am
pengoprasian suatu IFRS yang modern.
9. Telah lama diakui bahwa apoteker RS memerlukan pendidikan dan
pelatihan tambahan dan perlu diadakan program pelatihan residen untuk
mencapai berbagai hal tersebut diatas.
10. Adanya kecenderungan kearah spesialisasi dalam IFRS, antara !ain :
a. Spesialis administrasi, untuk penyempurnaan administrasi IFRS

b. Spesialisasi informasi obat, untuk mendukung dan menyempurnakan


pelayanan klinik yang luas

c. Spesialisasi farmasi klinik, untuk membantu dalam pemilihan dan

22
penggunaan obat yang rasional. Apoteker yang telah terlatih sebagai
spesialis farmasi klinik dapat menspesialisasikan lebih lanjut upaya dan
keahlian mereka dalam bidang khusus terapi obat seperti da!am
pediatric, psikofarmasi, geriatric, farmakokinetik, onkologi, perawatan
kritis, terapi intravena, nutrisi, dan bidang spesialisasi lainnya
d. Spesialisasi sistem distribusi obat, untuk penerapan, pengembangan ,
pengelolaan sistem distribusi yang sesuai.
e. Spesialis manufaktur dan pegembangan produk, juga di perlukan studio bat
investigasi, formulasi produk sterildan tidak steril yang di produksi di IFRS.
f. Spesialis apoteker nuklir, untuk menangani, membuat dan memformu!asi
bentuk sedian baru dan untuk melakukan penelitian pada sejumlah besar
sediaan diagnotik dan farmasi terapi radioaktif yang tersedia dewasa ini.
g. Spesialis computer, untuk mengembangkan sistem meningkatkan efisiensi
dalam,pengadaan pelayanan yang lebih baik 
h. Spesialis peneliti, untuk berpartisipasi dalam keanekaragaman penelitian
yang luas y ang menantang di IFRS Dalam RS modern, telah
berkembang kecenderungan yang sehat kearah yang disebut praktik
kelompok da!am IFRS, analog dengan kelompok praktik medis. Dewasa
ini, sejumlah spesialis dalam berbagai bidang praktik farmasi RS yang
berbeda membentuk tim apoteker dalam RS yang progresif. Keuntungan
konsep ini ada!ah memperkuat peranan professiona! apoteker RS dan
memberi mereka jalan masuk ke kelompok profesional yang membentuk
tim pelayanan kesehatan.. Dalam semua uraian yang tertera diatas, nyata
sekali perbedaan yang signifikan antara IFRS dan apotekernya dari
farmasi komunitas (apotek) dalam segala aspek. Oleh karena itu,
farmasi komunitas (apotek) luar yang berprofesi didalam RS yang tidak
mematuhi kebijakan serta prosedur RS secara keseluruhan dan tidak
dibawah kendali yang ketat dari IFRS, merupakan benda asing yang
merusak sistem pelayanan keseluruhan di RS.

23
3.3Tugas dan Fungsi  Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)
Berdasarkan Kepmenkes No. 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar
Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, tugas pokok farmasi Rumah Sakit adalah
sebagai berikut:
1. Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal
2. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan farmasi profesional berdasarkan
prosedur kefarmasian dan etik profesi
3. Melaksanakan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)
4. Memberi pelayanan bermutu melalui analisa, dan evaluasi untuk
meningkatkan mutu pelayanan farmasi
5. Melakukan pengawasan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku
6. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan di bidang farmasi
7. Mengadakan penelitian dan pengembangan di bidang farmasi
8. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan
formularium rumah sakit.
Fungsi farmasi rumah sakit yang tertera pada Kepmenkes No.
1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah
Sakit adalah sebagai berikut:
a. Pengelolaan Perbekalan Farmasi
b. Pelayanan Kefarmasian dalam Penggunaan Obat dan Alat Kesehatan
3.4 Visi misi IFRS
Visi :

Pelayanan  Farmasi  profesional  dari  aspek  manajemen  maupun  klinik deng


an orientasi kepada,kepentingan sebagai individu, berwawasan lingkungan d
an keselamatan kerja berdasarkan kode etik.
Misi :
Bertanggung jawabatas  pengelolaan Instalasi  Farmasi  Rumah Sakit yang ber
daya guna dan berhasil guna,Melaksanakan  pelayanan  kefarmasian  yang  be

24
rorientasi  pada
tercapainya hasil pengobatan yang optimal bagi pasien.Berperan serta
dalam program-programpelayanan kesehatan diRumah Sakit untuk 
meningkatkan kesehatan seluruh lapisan masyarakat,  baik pasien maupun ten
aga kerja Rumah Sakit.

BAB 4

25
INFRS SEBAGAI UNIT
PRODUKSi

4.1 Pengertian Instalasi Farmasi Rumah Sakit


Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah suatu unit di rumah sakit tempat
penyelenggaraan semua kegiatan pekerjaan kefarmasian yang ditujukan untuk
keperluan rumah sakit dan pasien. Pekerjaan kefarmasian yang dimaksud adalah
kegiatan yang menyangkut pembuatan, pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengelolaan perbekalan farmasi (perencanaan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan, distribusi, pencatatan, pelaporan, pemusnahan/penghapusan),
pelayanan resep, pelayanan informasi obat, konseling, farmasi klinik di ruangan.
IFRS merupakan suatu organisasi pelayanan di rumah sakit yang memberikan
pelayanan produk yaitu sediaan farmasi, perbekalan kesehatan dan gas medis h
abis pakai serta pelayanan jasa yaitu farmasi klinik (PIO, Konseling, Meso,
Monitoring Terapi Obat, Reaksi Merugikan Obat) bagi pasien atau keluarga
pasien.
IFRS adalah fasilitas pelayanan penunjang medis, di bawah pimpinan seorang
Apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan kompeten secara profesional, yang bertanggung jawab atas seluruh
pekerjaan serta pelayanan kefarmasian, yang terdiri atas pelayanan paripurna,
mencakup perencanaan; pengadaan; produksi; penyimpanan perbekalan
kesehatan/sediaan farmasi; dispensing obat berdasarkan resep bagi penderita
rawat inap dan rawat jalan; pengendalian mutu dan pengendalian distribusi dan

26
penggunaan seluruh perbekalan kesehatan di rumah sakit; serta pelayanan farmasi
klinis (Siregar dan Amalia, 2004).

4.2 Tugas, Tanggung Jawab dan Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit
1. Tugas IFRS
Melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi dan pengelolaan
perbekalan kesehatan. Sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan yang
dimaksud adalah obat, bahan obat, gas medis dan alat kesehatan, mulai dari
pemilihan, perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,
pendistribusian, pengendalian, penghapusan, administrasi dan pelaporan serta
evaluasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan rawat jalan dan rawat inap.
IFRS berperan sangat sentral terhadap pelayanan di rumah sakit
terutama pengelolaan dan pengendalian sediaan farmasi dan pengelolaan
perbekalan kesehatan.
2. Tanggung jawab IFRS
Mengembangkan pelayanan farmasi yang luas dan terkoordinasi
dengan baik dan tepat untuk memenuhi kebutuhan unit pelayanan yang
bersifat diagnosis dan terapi untuk kepentingan pasien yang lebih baik.
3. Fungsi IFRS
IFRS berfungsi sebagai unit pelayanan dan unit produksi. Unit
pelayanan yang dimaksud adalah pelayanan yang bersifat manajemen
(nonklinik) adalah pelayanan yang tidak bersentuhan langsung dengan pasien
dan tenaga kesehatan lain. Pelayanan IFRS yang menyediakan unsur logistik
atau perbekalan kesehatan dan aspek administrasi.
IFRS yang berfungsi sebagai pelayanan nonmanajemen (klinik)
pelayanan yang bersentuhan langsung dengan pasien atau kesehatan lainnya.
Fungsi ini berorientasi pasien sehingga membutuhkan pemahaman yang lebih
luas tentang aspek yang berkaitan dengan penggunaan obat dan penyakitnya

27
serta menjunjung tinggi etika dan perilaku sebagai unit yang menjalankan
asuhan kefarmasian yang handal dan profesional.

4.3 Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit

PANITIA FARMASI TERAPI


KEPALA IFRS

KEPALA ADM DAN TU

LITBANG DIKLAT DISTRIBUSI LOGISTIK FARMASI


KLINIK

PENELITIAN PENDIDIKAN RAWAT JALAN PERLENGKAPAN KONSELING

PIO
PENGABMAS PELATIHAN ICU/ICCU PERENCANAAN
PENGADAAN
PTO
IRD
GUDANG EPO

KAMAR OK
PRODUKSI
BANGSAL

28
1. Kepala IFRS adalah Apoteker yang bertanggung jawab secara keseluruhan
2. terhadap semua aspek penyelenggaraan pelayanan kefarmasian dan
pengelolaan sediaan farmasi dan pengelolaan perbekalan kesehatan di rumah
sakit.
3. Panitia Farmasi dan Terapi adalah salah satu bagian yang tidak terpisahkan
dari IFRS sehingga tidak mempunyai jalur fungsional terhadap IFRS
melainkan jalur koordinasi dan bertanggung jawab kepada pimpinan rumah
sakit. Tugas PFT adalah melakukan monitoring dan evaluasi terhadap
pelayanan dan pengelolaan sediaan farmasi dan pengelolaan perbekalan
kesehatan di rumah sakit. Panitia ini terdiri unsur tenaga kesehatan profesional
(Dokter, Dokter Gigi, Apoteker, Ners) sehingga kredibilitas dan akuntabilitas
terhadap monitoring dan evaluasi pelayanan dan pengelolaan sediaan farmasi
dan pengelolaan perbekalan kesehatan dapat dipertanggungjawabkan.
4. Farmasi Klinik membidangi aspek yang menyangkut asuhan kefarmasian
terutama pemantauan terapi obat. Bidang ini membawahi konseling pasien,
pelayanan informasi obat dan evaluasi penggunaan obat baik pasien di
ruangan maupun pasien ambulatory.
5. Logistik mempunyai tugas dalam hal menyiapkan dan memantau
perlengkapan perbekalan kesehatan, perencanaan dan pengadaan, sistem
penyimpanan di gudang, dan produksi obat dalam kapasitas rumah sakit
nonsteril dan aseptik.
6. Distribusi mempunyai tugas bertanggung jawab terhadap alur distribusi
sediaan farmasi dan pengelolaan perbekalan kesehatan (obat, bahan baku obat,
alat kesehatan dan gas medis) kepada pasien rawat jalan, IRD, ICU/ICCU,
kamar operasi, bangsal atau ruangan.

29
7. Diklat mempunyai tugas dalam memfasilitasi tenaga pendidikan kesehatan
dan nonkesehatan yang akan melaksanakan praktek kerja sebagai tuntutan
kurikulum dan melaksanakan pelatihan.
8. Pendidikan dan pelatihan adalah suatu proses atau upaya peningkatan
pengetahuan dan pemahaman di bidang kefarmasian atau bidang yang
berkaitan dengan kefarmasian secara kesinambungan untuk meningkatkan
pengetahuan, keterampilan dan kemampuan di bidang kefarmasian.
9. Pendidikan dan Pelatihan merupakan kegiatan pengembangan sumber daya
manusia Instalasi Farmasi Rumah Sakit untuk meningkatkan potensi dan
produktivitasnya secara optimal, serta melakukan pendidikan dan pelatihan
bagi calon tenaga farmasi untuk mendapatkan wawasan, pengetahuan dan
keterampilan di bidang farmasi rumah sakit.
10. Litbang mempunyai tugas memfasilitasi penelitian dan pengabdian pada
masyarakat.
11. Penelitian yang dilakukan di rumah sakit yaitu: Penelitian farmasetik,
termasuk pengembangan dan menguji bentuk sediaan baru. Formulasi, metode
pemberian (konsumsi) dan sistem pelepasan obat dalam tubuh Drug Released
System.
12. Berperan dalam penelitian klinis yang diadakan oleh praktisi klinis, terutama
dalam karakterisasi terapetik, evaluasi, pembandingan hasil Outcomes dari
terapi obat dan regimen pengobatan.
13. Penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan, termasuk penelitian
perilaku dan sosioekonomi seperti penelitian tentang biaya keuntungan cost-
benefit dalam pelayanan farmasi.
14. Penelitian operasional operation research seperti studi waktu, gerakan, dan
evaluasi program dan pelayanan farmasi yang baru dan yang ada sekarang.
15. Pengembangan Instalasi Farmasi Rumah Sakit di rumah sakit pemerintah
kelas A dan B (terutama rumah sakit pendidikan) dan rumah sakit swasta
sekelas, agar mulai meningkatkan mutu perbekalan farmasi dan obat-obatan

30
yang diproduksi serta mengembangkan dan melaksanakan praktek farmasi
klinik.
16. Pimpinan dan Tenaga Farmasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus berjuang,
bekerja keras dan berkomunikasi efektif dengan semua pihak agar
pengembangan fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit yang baru itu dapat
diterima oleh pimpinan dan staf medik rumah sakit.
4.4 Ruang Lingkup
Ruang lingkup IFRS yaitu memberikan pelayanan farmasi berupa pelayanan
nonklinik dan klinik. Pelayanan nonklinik biasanya tidak secara langsung
dilakukan sebagai bagian terpadu, pelayanan ini sifatnya administrasi atau
manajerial seperti pengelolaan sediaan farmasi dan pengelolaan perbekalan
kesehatan dan interaksi profesional dengan tenaga kesehatan lainnya.
Pelayanan klinik mencakup fungsi IFRS yang dilakukan dalam program
rumah sakit yaitu Pelayanan obat di apotik/depo, konseling pasien, pelayanan
informasi obat, evaluasi penggunaan obat, monitoring efek samping obat,
pemantauan terapi obat.
1. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan
Pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan merupakan
suatu siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan, perencanaan, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, penghapusan,
administrasi dan pelaporan serta evaluasi yang diperlukan bagi kegiatan
pelayanan, dengan tujuan:

a. Mengelola perbekalan farmasi yang efektif dan efisien.

b. Menerapkan farmakoekonomi dalam pelayanan.

c. Meningkatkan kompetensi/kemampuan tenaga farmasi.

d. Mewujudkan sistem informasi manajemen berdaya guna dan tepat guna.

e. Melaksanakan pengendalian mutu pelayanan.

31
2. Farmasi Klinik
Pelayanan farmasi klinik adalah pelayanan langsung yang diberikan
kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan
risiko terjadinya efek samping karena obat.
Pelayanan farmasi klinik meliputi:
a. Pengkajian pelayanan dan resep Pelayanan resep dimulai dari penerimaan,
pemeriksaan ketersediaan, pengkajian resep, penyiapan perbekalan
farmasi termasuk peracikan obat, pemeriksaan, penyerahan disertai
pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan resep, dilakukan
upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat (medication
error). Tujuan pengkajian pelayanan dan resep untuk menganalisa adanya
masalah terkait obat, bila ditemukan masalah terkait obat harus
dikonsultasikan kepada dokter penulis resep.
b. Penelusuran riwayat penggunaan obat Penelusuran riwayat penggunaan
obat adalah proses untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh
obat/sediaan farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan, riwayat
pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam
medik/pencatatan penggunaan obat pasien.
c. Pelayanan informasi obat (PIO) PIO adalah kegiatan penyediaan dan
pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak
bias, terkini dan komprehensif yang diberikan kepada dokter, apoteker,
perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar
rumah sakit.
Kegiatan yang dilakukan pada PIO meliputi:
1) Menjawab pertanyaan.
2) Menerbitkan buletin, leaflet, poster, newsletter.
3) Menyediakan informasi bagi komite/subkomite farmasi dan terapi.
4) Sehubungan dengan penyusunan formularium rumah sakit.

32
5) Bersama dengan Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit
(PKMRS) melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan
rawat inap.
6) Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kefarmasian dan
tenaga kesehatan lainnya.
7) Melakukan penelitian.
d. Konseling
Konseling obat adalah suatu proses diskusi antara apoteker dengan
pasien/keluarga pasien yang dilakukan secara sistematis untuk
memberikan kesempatan kepada pasien/keluarga pasien
mengeksplorasikan diri dan membantu meningkatkan pengetahuan,
pemahaman, dan kesadaran sehingga pasien/keluarga pasien memperoleh
keyakinan akan kemampuannya dalam penggunaan obat yang benar
termasuk swamedikasi. Tujuan umum konseling adalah meningkatkan
keberhasilan terapi, memaksimalkan efek terapi, meminimalkan risiko
efek samping, meningkatkan cost effectiveness dan menghormati pilihan
pasien dalam menjalankan terapi.
e. Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang
dilakukan apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan
untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji
masalah terkait obat, memantau terapi obat dan reaksi obat yang tidak
dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang rasional, dan menyajikan
informasi obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya.
Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar rumah sakit
atas permintaan pasien yang biasa disebut dengan pelayanan kefarmasian
di rumah (home pharmacy care). Sebelum melakukan kegiatan visite
apoteker harus mempersiapkan diri dengan mengumpulkan informasi

33
mengenai kondisi pasien dan memeriksa terapi obat dari rekam medis atau
sumber lain.
f. Pemantauan terapi obat (PTO)
PTO adalah suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan
terapi obat yang aman, efektif, dan rasional bagi pasien. Tujuan
pemantauan terapi obat adalah meningkatkan efektivitas terapi dan
meminimalkan risiko ROTD.
g. Monitoring efek samping obat (MESO)
MESO merupakan kegiatan pemantauan setiap respons terhadap obat
yang tidak dikehendaki (ROTD) yang terjadi pada dosis lazim yang
digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa, dan terapi.
Efek samping obat adalah reaksi obat yang tidak dikehendaki yang terkait
dengan kerja farmakologi.
h. Evaluasi penggunaan obat (EPO) EPO merupakan program evaluasi
penggunaan obat yang terstrukturi dan berkesinambungan secara kualitatif
dan kuantitatif.
i. Dispensing sediaan khusus
Dispensing sediaan khusus steril dilakukan di instalasi farmasi rumah
sakit dengan tekhnik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas
produk dan melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta
menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat. Tujuan dilakukan
dispensing sediaan khusus adalah untuk menjamin sterilitas dan stabilitas
produk, melindungi petugas dari paparan zat berbahaya, dan menghindari
terjadinya kesalahan pemberian obat.

34
BAB 5

35
FORMULARIUM RUMAH SAKIT

5.1 Definisi Formularium


Formularium merupakan suatu dokumen yang secara terus menerus
direvisi, memuat sediaan obat dan informasi penting lainnya yang merefleksikan
keputusan klinik mutakhir dari staf medik rumah sakit.
5.2 Keuntungan sistem formularium

36
Keuntungan dalam penggunaan sistem formularium antara lain :
1.  Dokter dan staf profesional lainnya dengan keahlian bidang pokok utama untuk
tiap kategori secara rutin dapat mengetahui ketersediaan obat bagi perawatan
penderita.
2.  Bahan edukasi tentang obat. Formularium harus memuat sejumlah pilihan terapi
obat yang wajar, yang jenisnya dibatasi agar anggota staf dapat mengetahui dan
mengingat obat formularium yang mereka gunakan secara rutin.
3. Keuntungan ekonomi pada rumah sakit tumbuh dalam berbagai cara, dengan
formularium yang dibatasi, IFRS dapat mempertahankan suatu pembelian dan
sistem pengendalian perbekalan yang lebih efisien.
5.3 Pengadaan suatu sistem formularium
Agar suatu sistem formularium dapat diterapkan dan dijalankan dengan baik,
terlebih dahulu harus ada peraturan RS yang mencantumkan tentang kewajiban,
kewenangan, tugas, fungsi, hak, dan tanggung jawab PFT
5.4 Asas pedoman dan asas pengelolaan sistem formularium
a. Asas pedoman
Asas pedoman yang digunakan sebagai pedoman bagi dokter, apoteker,
perawat, dan pimpinan RS yang menerapkan sistem formularium :
1. Pimpinan RS dan komite medik harus membentuk suatu PFT yang
multidisiplin, dan menetapkan kegunaan, organisasi, fungsi, lingkup,
tanggung jawab, kewajuban serta hak PFT
2. Sistem formularium harus didukung oleh staf medik berdasarkan rekomendasi
dari PFT
3. Staff medik harus mempunyai kebijakan dan prosedur tertulis tersebut agar
menguasai dan menerapkan sistem formularium
4. Nama generik obat harus tertera dalam formularium, walaupun nama dagang
merupakan penggunaan yang umum dalam RS. Dokter harus benar-benar
didorong atau dianjurkan untuk menulis obat dengan nama generic

37
5. Staf medik dan perawat harus mengetahui akan keberadaan dan pemberlakuan
sistem formularium, prosedur dan perubahan prosedur pelaksanaan sistem
formularium
6. Harus dibuat ketentuan untuk menilai penggunaan obat oleh staf medik yang
tidak masuk dalam formularium
7. Penerimaan dan penerapan sistem formularium oleh staf medis sangat
penting
b. Asas pengelolaan sistem formularium
Terdiri dari tiga kategori : evaluasi penggunaan obat (EPO), pemeliharaan
formularium, dan seleksi produk obat.
Evaluasi Penggunaan Obat
1. Adalah suatu proses evaluasi yang dilakukan secara terus menerus, sah secara
organisasi, terstruktur, yang bertujuan untuk memastikan bahwa obat
digunakan secara tepat, aman dan bermanfaat.
2. EPO selain merupakan salah satu teknik pengelolaan sistem formularium juga
merupakan bagian dari program jaminan mutu penggunaan obat.
3. Agar efektif sebelum dilakukan EPO harus dibuat terlebih dahulu : kriteria
penggunaan obat dan pedoman pengobatan
Pemeliharaan Formularium
Formularium dipelihara atau dimutakhirkan dengan melalui tiga proses,
yaitu :
1. Pengkajian golongan terapi obat
2. Penambahan ke atau penghapusan dari formularium
3. Penggunaan obat non formularium ( untuk kasus tertentu)
Seleksi produksi obat :
1. Meliputi evaluasi dan penilaian mengenai data bioavailabilitas dan
bioekuivalensi (BABE), karakteristik penyimpanan, dispensing dan
konsumsi, serta informasi produk yang relevan.

38
2. Apoteker wajib menjamin mutu produk obat yang diadakan oleh RS
dan digunakan di RS
3. Dengan penerapan kesetaraan generik dan kesetaraan terapi di RS,
mutu produk obat harus dijamin setara, sehingga dapat dipertahankan
terapi obat yang bermutu tinggi dengan rasio manfaat-biaya yang
paling tinggi
5.5. Isi dan organisasi formularium
Sesuai tujuan tersebut, formularium terdiri atas tiga bagan pokok :
1. Bagian pertama : informasi tentang kebijakan dan prosedur RS yang
berkaitan dengan obat
2. Bagian kedua : monografi obat yang diterima masuk formularium
3. Bagian ketiga : informasi khusus
Contoh bagian pertama :
a. Surat keputusan pimpinan RS tentang pemberlakuan formularium
Uraian singkat tentang PFT, termasuk keanggotaan, tugas, fungsi,
tanggung jawab, hak dan wewenang
b. Peraturan RS yang mengatur tentang penulisan resep/order dokter,
dispensing, dan konsumsi/pemberian obat
c. Kebijakan tentang pelaksanaan penggantian kesetaraan generik dan
kesetaraan terapi
d. Penghentian order obat otomatis (automatic stop order)
e. Informasi tentang penggunaan formularium
f. Uraian singkat tentang sistem formularium
Contoh bagian ke dua :
a. Megadung ringkasan informasi obat yang cukup informatif dan
dapat digunakan sebagai acuan praktis bagi profesional kesehatan di
RS
b. Informasi mencakup nama generik, nama dagang, bentuk sediaan,
kekuatan, kemasan dan ukuran yang disediakan oleh RS, formulasi zat

39
aktif untuk produk kombinasi, rentang dosis bagi dewasa dan atau
pediatrik, perhatian atau catatan khusus, informasi harga, indikasi
penggunaan, jadwal pemberian, kontra indikasi, efek samping, dan
informasi penting yang harus diberikan kepada penderita.
Contoh bagian ketiga :
a. Daftar singkatan yang telah disetujui RS
b. Aturan untuk menghitung dosis pediatrik
c. Pedoman menghitung dosis untuk penderita dengan gangguan fungsi
ginjal
d. Tabel interaksi obat
5.6 .Manfaat Formularium
Formularium yang dikelola dengan baik mempunyai manfaat untuk rumah
sakit. Adapun manfaat dimaksud antara lain :
1. Meningkatkan mutu dan ketepatan penggunaan obat di rumah sakit
2. Merupakan bahan edukasi bagi professional kesehatan tentang terapi obat
yang rasional
3. Memberikan rasio manfaat-biaya yang tertinggi, bukan hanya sekedar mencari
harga obat yang termurah
4. Memudahkan professional kesehatan dalam memilih obat yang akan
digunakan untuk perawatan pasien
5. Memuat sejumlah pilihan terapi obat yang jenisnya dibatasi sehingga
professional kesehatan dapat mengetahui dan mengingat obat yang mereka
gunakan secara rutin
6. IFRS dapat melakukan pengelolaan obat secara efektif dan efisien.
Penghematan terjadi karena IFRS tidak melakukan pembelian obat yang tidak
perlu. Oleh karena itu, rumah sakit mampu membeli dalam kuantitas yang
lebih besar dari jenis obat yang lebih sedikit. Apabila ada dua jenis obat yang
indikasi terapinya sama, maka dipilih obat yang paling cost effective.

40
Kegiatan yang dilakukan oleh apoteker dalam menjalankan peran tersebut
antara lain:
a. Merekapitulasi usulan obat yang akan dibahas dalam rapat penyusunan
formularium
b. Mengkaji informasi dari pustaka ilmiah yang terkait dengan obat yang
diusulkan
c. Menyajikan data ketersediaan dan harga obat
d. Melakukan evaluasi terhadap usulan yang masuk
e. Menyiapkan informasi yang akan dimuat dalam formularium
f. Berpartisipasi aktif dalam rapat pembahasan penyusunan formularium
g. Berpartisipasi aktif dalam sosialisasi formularium
h. Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap implementasi formularium
secara berkesinambungan
i. Melakukan pengkajian penggunaan obat.
5.7 Penilaian
Setiap obat baru yang diusulkan untuk masuk dalam formularium harus
dilengkapi dengan informasi tentang kelas terapi, indikasi terapi, bentuk sediaan
dan kekuatan, bioavailabilitas dan farmakokinetik, kisaran dosis, efek samping
dan efek toksik, perhatian khusus, kelebihan obat baru ini dibandingkan dengan
obat lama yang sudah tercantum di dalam formularium, uji klinik, atau kajian
epidemiologi yang mendukung keunggulannya, perbandingan harga dan biaya
pengobatan dengan obat atau cara pengobatan terdahulu. Kecuali yang memiliki
data bioekuivalensi (BE) dan/ atau rekomendasi tingkat I evidence-based
medicine (EBM).
Obat yang terpilih masuk dalam formularium adalah obat yang
memperlihatkan tingkatan bukti ilmiah yang tertinggi untuk indikasi dan
keamanannya. Bila dari segolongan obat yang sama indikasinya memperlihatkan
tingkatan bukti ilmiah khasiat dan keamanan yang sama tinggi, maka

41
pertimbangan selanjutnya adalah dalam hal ketersediaannya di pasaran, harga dan
biaya pengobatan yang paling murah.

5.8 Pemilihan Obat


Tahap pemilihan obat merupakan tahap yang paling sulit dalam proses
penyusunan formularium karena keputusan yang diambil memerlukan
pertimbangan dari berbagai faktor :
1. Faktor Institusional ( Kelembagaan )
Obat yang tercantum dalam formularium adalah obat yang sesuai dengan
pola penyakit, populasi penderita dan kebijakan lain rumah sakit.
2. Faktor Obat
Obat yang tercantum dalam formularium harus mempertimbangkan
efektivitas, keamanan, profil farmakokinetik dan farmakodinamik,
ketersediaan obat dan fasilitas untuk penyimpanan atau pembuatan, kualitas
produk obat, reaksi obat yang merugikan serta kemudahan dalam penggunaan.
Produk obat telah memiliki izin edar dari Departemen Kesehatan
3. Faktor biaya
Setelah pertimbangan ilmiah dibuat, Komite Farmasi dan Terapi harus
mempertimbangkan biaya terapi obat secara keseluruhan. Hal ini termasuk
biaya sediaan obat, biaya penyiapan obat, biaya pemberian obat dan biaya
monitoring selama penggunaan obat. Obat terpilih adalah obat dengan biaya
terapi keseluruhan yang peling rendah.
5.9 Penggunaan Obat Non-Formularium
Secara umum, hanya obat formularium yang disetujui untuk digunakan
secara rutin dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit. Prinsip yang
mendasari adanya proses untuk menyetujuui pemberian obat non formularium
adalah pada keadaan dimana penderita sangat memerlukan terapi obat yang
tidak tercantum di formularium, sebagai contoh :

42
a. Perkembangan terapi yang sangat memerlukan adanya obat baru yang belum
terakomodir dalam formularium
b. Obat-obat yang sangat mahal dan penggunaannya dikendalikan secara ketat
Mekanisme proses pengajuan obat non formularium :
a. Dokter pengusul mengisi formulir dan disetujui oleh Kepala
Departemen/Bagian
b. Formulir diajukan ke Komite Farmasi dan Terapi
c. Penilaian oleh Komite Farmasi dan Terapi terhadap usulan yang disampaikan
d. Usulan yang disetujui disampaikan ke Instalasi Farmasi Rumah Sakit untuk
diadakan
e. Usulan yang tidak disetujui dikembalikan ke SMF
Penilaian terhadap usulan obat non formularium cukup dilakukan oleh
pelaksana harian Komite Farmasi dan Terapi (ketua, sekretaris dan salah satu
anggota) agar tidak menghambat proses penyediaan obat non formularium.
5.10 Proses Penyusunan Formularium
Proses penyusunan formularium di rumah sakit dilakukan dengan mengikuti
tahapan di bawah ini :
1. Rekapitulasi usulan obat dari SMF berdasarkan standar terapi atau standar
pelayanan medik
2. Mengelompokkan usulan obat berdasarkan kelas terapi
3. Membahas usulan tersebut dalam rapat Komite Farmasi dan Terapi, jika
diperlukan dapat meminta masukan dari pakar
4. Rancangan hasil pembahasan Komite Farmasi dan Terapi dikembalikan ke
masing-masing SMF untuk mendapatkan umpan balik
5. Membahas hasil umpan balik dari masing-masing SMF
6. Menetapkan daftar obat yang masuk ke dalam formularium
7. Susun kebijakan dan pedoman untuk implementasi

43
8. Lakukan edukasi mengenai formularium kepada staf dan lakukan monitoring.
Komite Farmasi dan Terapi bertanggung jawab dalam penyusunan/revisi
formularium yang dibantu secara aktif oleh IFRS
5.11 Pemberlakuan Formularium
Kepatuhan penggunaan formularium memerlukan dukungan dari
pimpinan rumah sakit berupa surat keputusan tentang pemberlakuan
formularium. Sosialisasi harus dilakukan kepada seluruh profesional
kesehatan dengan cara : pertemuan, surat edaran, dan penyerahan buku
formularium ke masing-masing SMF.

44
BAB 6

45
FORMAT DAN PENAMPILAN
FORMULARIUM
6.1 FORMAT DAN PENAMPILAN FORMULARIUM

Format formularium sangat penting karena dapat menentukan kepraktisan


penggunaan sehari-hari dan efisiensi biaya penerbitan. Formularium
denganukuran buku saku mudah dibawa oleh professional kesehatan dan hal itu
dapatmeningkatkan penggunaan obat formularium.

Formularium rumah sakit mempunyai komposisi sebagai berikut :

1. Sampul luar dengan judul formularium obat, nama rumah sakit, tahun berlaku
2. Daftar isi
3. Sambutan
4. Kata Pengantar
5. SK KFT, SK Pemberlakuan Formularium
6. Petunjuk penggunaan formularium
7. Informasi tentang kebijakan dan prosedur rumah sakit tentang obat
8. Monografi obat
9. Informasi khusus
10. Lampiran (formulir, indeks kelas terapi obat, indeks nama obat)

Penampilan dan bentuk fisik suatu formularium yang dicetak mempunyai


pengaruh penting dalam penggunaannya. Formularium secara visual harus
menaarik dan mudah dibaca. Cara meningkatkan penampilan dan kemudahan
menggunakan formularium :

46
1. Menggunakan warna kertas berbeda untuk tiap nagian/seksi formularium
2. Menggunakan indeks pinggiran
3. Membuat formularium seukuran saku baju praktik
4. Mencetak tebal atau menggunakan bentuk huruf yang berbeda untuk nama
generic obat.

6.2 DISTRIBUSI FORMULARIUM RUMAH SAKIT

Formularium didistribusikan kepada :

1. Unit pelayanan untuk penderita rawat inap , rawat jalan, rawat darurat.
2. Instalasi farmasi dan seluruh satelit/depo farmasi
3. Pimpinan rumah sakit
4. Pusat pelayanan informasi obat
5. Bagian/SMF/UPF/Departemen
6. Anggota staf medic dan apoteker
7. Perpustakaan
8. Bagian pengadaan
9. Bagian lain yang dianggap

6.3 EVALUASI OBAT UNTUK FORMULARIUM

Evaluasi obat untuk formularium terdiri atas nama generik, nama dagang,
sumber pemasok obat, penggolongan farmakologi, indikasi terapi, bentuk
sediaan, daya ketersediaan hayati, dan data farmakokinetik, rentang dosis dari
berbagai rute pemberian, efek samping dan toksisitas, perhatian khusus,
keuntungan dan kerugian, serta rekomendasi. Berdasarkan pertimbangan
tersebut, maka dapat diberikan rekomendasi tentang obat dengan kategori
sebagai berikut :

1. Kategori tidak dikendalikan, yaitu obat yang dapat digunakan oleh semua staf
medik.

47
2. Kategori dipantau, yaitu obat yang dapat digunakan oleh semua staf medik,
tetapi penggunaanya dipantau oleh IFRS.
3. Kategori terbatas, yaitu obat yang dapat digunakan oleh staf-staf medik
tertentu atau oleh departemen tertentu.
4. Kategori bersyarat, yaitu obat yang dapat digunakan oleh semua staf medik
pada periode tertentu.
5. Ketegori dihapus, yaitu obat yang dihapus dari formularium yang ada.

6.4 Kriteria Untuk Penerimaan dan Penghapusan Produk Obat KE dari


Formularium Rumah Sakit.

Beberapa kriteria umum untuk penerimaan dan penghapusan produk obat


KE / dari formularium sebagai berikut :

1. Faktor institusional (kelembagaan)


2. Faktor Obat
3. Faktor Harga
4. Kriteria lain
Produk obat memenuhi syarat farmakope indonesia atau persyaratan lain
yang ditetapkan dalam rumah sakit.
a. Komposisi produk obat yang masuk dalam formularium tidak boleh
dirahasiakan
b. Kemanfaatan dan keamanan terbukti, dari pengalaman klinik diberbagai
rumah sakit.
c. Bukti data unjuk kerja yang baik dari berbagai rumah sakit.
d. Produk obat mengandung zat aktif tunggal.

6.5 METODE PENINGKATAN KEPATUHAN PENGGUNAAN


FORMULARIUM RUMAH SAKIT

48
Telah diuraikan, focus pelaksanaan system formularium adalah formularium
yang merupakan dokumen kumpulan produk obat yang dipertimbangkan melalui
PFT yang paling berguna dalam perawatan penderita yang merefleksikan
pertimbangan klinik mutakhir dari staf informasi tentang produk obat yang
disetujui digunakan dirumah sakit. Oleh karena itu, formularium wajib digunakan
dan diaptuhi oleh staf medic dalam menulis resep/order obat bagi pendrita
(siregar,2003).

BAB 7

49
KOMITE FARMASI DAN TERAPI
7.1 DEFINISI KOMITE FARMASI TERAPI (PFT/KFT)
Komite medik adalah wadah non struktural yang keanggotaannya dipilih
dari Ketua Staf Medis Fungsional (SMF) atau yang mewakili SMF yang ada di
Rumah Sakit. Komite Medis berada dibawah dan bertanggung jawab kepada
Direktur.
Panitia Farmasi dan Terapi adalah sekelompok penasehat dari staf medik
dan bertindak sebagai garis komunikasi organisasi antara staf medik dan Instalasi
Farmasi Rumah Sakit (IFRS). Pembentukan suatu PFT yang efektif akan
memberikan kemudahan dalam pengadaan sistem formularium yang membawa
perhatian staf medik pada obat yang terbaik dan membantu mereka dalam
menyeleksi obat terapi yang tepat bagi pengobatan penderita tertentu. Panitia ini
difungsikan rumah sakit untuk mencapai terapi obat yang rasional.
PFT memberi rekomendasi atau membantu memformulasi program yang
didesain untuk memenuhi kebutuhan staf profesional (dokter, perawat, apoteker,
dan praktisi pelayanan kesehatan lainnya) untuk melengkapi pengetahuan tentang
obat dan penggunaan obat. PFT meningkatkan penggunaan obat secara rasional
melalui pengembangan kebijakan dan prosedur yang relevan untuk seleksi obat,
pengadaan, penggunaan, dan melalui edukasi tentang obat bagi penderita dan staf
profesional.
Susunan anggota PFT dapat beragam di berbagai rumah sakit dan biasanya
bergantung pada kebijakan, lingkup fungsi PFT, dan besarnya tugas dan fungsi

50
suatu rumah sakit. Ketua PFT dipilih dari dokter yang diusulkan oleh komite
medik dan disetujui pimpinan rumah sakit. Ketua PFT adalah dokter praktisi
senior yang dihormati dan disegani karena pengabdian, prestasi ilmiah, bersikap
objektif, dan berperilaku yang menjadi panutan. Ketua adalah seorang anggota
staf medik yang memahami benar dan pendukung kemajuan pelayanan IFRS, dan
ia adalah dokter yang mempunyai pengetahuan mendalam tentang terapi obat.
Sekretaris panitia adalah kepala IFRS atau apoteker senior lain yang ditunjuk oleh
kepala IFRS. Susunan anggota PFT harus mencakup dari tiap SMF yang besar,
misalnya penyakit dalam, bedah, kesehatan anak, kebidanan dan penyakit
kandungan, dan SMF lainnya.
7.2 KEGUNAAN
Kegunaan utama dari PFT adalah :
1. Perumus kebijakan-prosedur
Panitia farmasi dan terapi memformulasi kebijakan berkenaan dengan
evaluasi, seleksi, dan penggunaan terapi obat, serta alat yang berkaitan di
rumah sakit.
2. Edukasi
Panitia farmasi dan terapi memberi rekomendasi atau membantu
memformulasi program yang didesain untuk memenuhi kebutuhan staf
profesional (dokter, perawat, apoteker, dan praktisi pelayan
kesehatanlainnya) untuk melengkapi pengetahuan mutakhir tentang obat dan
penggunaan obat.
7.3 ANGGOTA DAN KRITERIA ANGGOTA
Anggota PFT yang mempunyai hak suara harus terdiri atas sekurang-
kurangnya dokter, apoteker, perawat, unsur pimpinan, koordinatorjaminan
mutu, dan berbagai ahli jika diperlukan. Anggota panitia diangkat oleh
pimpinan rumah sakit atas usul komite medik.
Ketua PFT adalah seorang dokter praktisi senior yang sudah
berpengalaman dan memiliki prestasi, dan dipilih dan diusulkan oleh komite

51
medik. Sekretaris panitia adalah kepala IFRS atau apoteker senior yang lain
yang ditunjuk oleh kepala IFRS.
7.4 STRUKTUR ORGANISASI
Keanggotaan di PFT terdiri atas 8 hingga 15 orang, dan semua anggota
mempunyai hak suara yang sama. Di rumah sakit umum yang besar (tipe A dan
B) harus memiliki organisasi PFT yang terdiri atas keanggotaan inti yang
mempunyai suara sebagai pengarah dan pengambil keputusan. Dibawah ini
contoh struktur organisasi suatu panitia farmasi terapi.

7.5 FUNGSI DAN LINGKUP


Fungsi suatu PFT sebagai pedoman diantaranya adalah :
1. Berfungsi sebagai kapasitas evaluasi, edukasi, dan penasehat bagi staf
medik dan pimpinan rumah sakit semua hal yang berkaitan dengan obat.
2. Mengembangkan dan menetapkan formularium obat yang diterima sebagai
revisi tetap.
3. Menetapkan program dan prosedur utuk membantu memastikan obat yang
aman dan bermanfaat.
4. Menetapkan program dan prosedur utuk membantu memastikan manfaat
biaya terapi obat.
5. Merencanakan dan menetapkan program edukasi yang berkaitan dengan
obat.
6. Berpartisipasi dalam kegiatan jaminan mutu berkaitan dengan drug
managemen cycling.
7. Memantau dan mengevaluasi obat yang merugikan.
8. Memprakarsai atau memimpin program dan studi evaluasi penggunaan
obat dan lain sebagainya.
9. Bersama IFRS merencanakan dari pengadaan hingga distribusi yang
efektif.

52
10. Bertanggungjawab penuh terhadap pengadaan edukasibagi staf profesional
rumah sakit.
11. Membantu IFRS dalam menetapkan kebijakan dan peraturan mengenai
penggunaan obat.
12. Mengevaluasi suatu obat untuk dimasukan dalam formularium rumah sakit.
13. Menetapkan kategori obat di rumah sakit.
14. Mengkaji penggunaan obat di rumah sakit dan meningkatkan standar
optimal untuk terapi obat di rumah sakit.
15. Membuat rekomendasi tentang obat yang disediakan dalam daerah
perawatan penderitakebijakan baru yang perlu disediakan.

7.6 AGENDA RAPAT PFT


Agenda dibuat oleh sekretaris dengan persetujuan ketua PFT jauh hari. Suatu
agenda dapat terdiri atas :
1. Notulen pertemuan terakhir.
2. Kajian bagian tertentu dari formularium untuk pemutakhiran dan
penghapusan produk.
3. Obat baru yang diusulkan dalam formularium.
4. Pengkajian protokol obat investigasi.
5. Pengkajian reaksi obat merugikan yang dilaporkan rumah sakit sejak
pertemuan terakhir.
6. Pengkajian temuan dalam EPO dan tindakan perbaikannya.
7. Keamanan obat di rumah sakit.
7.7 KEWENANGAN PFT
PFT berwenang sepenuhnya melaksanakan formularium rumah sakit,
merumuskan, dan mengendalikan pelaksanaan semua kebijakan, ketetapan,
prosedur, aturan yang berkaitan dengan obat. Komite medik adalah lembaga
yang berwenang yang memberdayakan PFT. Dan setiap kegiatan dan rapat,
komite medik wajib memiliki salinan dari PFT.

53
7.8 KEBIJAKAN PFT
Panitia harus menetapkan kebijakan untuk pengendalian obat rumah sakit.
Kebijakan tersebut harus dikaji secara berkalauntuk memastikan
kemutakhirannya. Beberapa kebijakan tersebut antara lain ;
1. Pengusulan obat baru.
Pengusulan obat baru harus menggunakan Formulir Permohonan untuk
Evaluasi
Status Formularium. Formulir ini dapat diperoleh dari IFRS. Formulir yang
telah diisi dapat diajukan oleh setiap anggota staf medik.
2. Kategori obat
Obat yang telah dievaluasi dan disetujui oleh PFT akan ditempatkan pada salah
satu kategoti berikut:
a. Obat formularium
Adalah obat yang telah tersedia secara komersial, yang
direkomendasikan oleh PFT guna untuk perawatan di rumah sakit.
b. Obat yang disetujui dengan syarat periode percobaan.
Adalah obat yang telah tersedia secara komersial, yang akan dievaluasi
oleh PFT selama periode 6 hingga 12 bulan sebelum pertimbangan akhir.
c. Obat formularium yang dikhususkan.
Adalah obat yang telah tersedia secara komersial, yang ditempatkan
untuk penggunaan kepada pasien yang di khususkan.
d. Obat investigasi
Obat yang tidak tersedia secara komersial yang tetapi telah disetujui
oleh pemerintah yang berwenang untuk penggunaan khusus peneliti utama
e. Obat yang tidak memenuhi kategori
Obat yang termasik tidak memenuhi kategori itu harus dianggap
sebagai obat non formularium dan tidak akan disediakan oleh rumah sakit.
Obat nonformularium hanya digunakan untuk kasus terbatas sehingga dapat

54
ditulis dalam Formulir Permohonan Obat Nonformularium oleh staf medik
senior.
f. Blanko resep.
Tanda tanga pada blanko resep atau order tidak diperkenankan.
g. Kewenangan dispensing
IFRS adalah satu satunya yang diberi wewenang untuk melakukan
dispensing sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
kebijakan serta prosedur rumah sakit.
h. Perwakilan perusahaan farmasi (PPF)
PFT bertanggungjawab untuk mengadakan ketentuan dan peraturan
yang menguasai kegiatan perwakilan perusahaan farmasi dalam rumah sakit.
i. Obat yang ditarik.
Penarikan obat dari peredaran dapat berasal dari manufaktur ,
pemerintah/ balai POM atau IFRS dan penarikan dapat bersifat umum pada
satu atau lebih nomor lot.
7.9 PERANAN KHUSUS PFT
1. Penghentian otomatis obat berbahaya
PFT harus mengembangkan ketentuan atau prosedur agar obat
berbahaya diberikan secara tepat dibawah kendali staf medik. Dibawah ini
contoh dua kebijakan, salah satunya dapat digunakan.
Semua order obat narkoti. Sedatif, hipnotik, antikoagulan dan antibiotik
yang diberikan secara oral dan parenteral harus secara otomatis dihentikan
setelah 48 jam, kecuali;
a.Order menyatakan suatu jumlah dosis yang tepat untuk dikonsumsi.
b.Suatu periode waktu yang tepat untuk pengobatan dinyatakan, atau
c.Dokter yang bertugas mengorder kembali obat tersebut.
Semua order untuk narkotik, sedatif, hipnotik, wajib ditulis kembali setelah 24
jam dan order tetap untuk semua obat harus berakhir pada pukul 10.00 pada
hari ketujuh, kecuali diperbaharui.

55
2. Daftar obat darurat.
Daftar obat darurat harus ada disetiap sisi, karena merupakan obat
yang sangat dibutuhkan, dan hendaknya apoteker atau perawat selalu
mengecek obat tersebut.
a. Program pemantauan dan pelaporan reaksi obat merugikan (ROM)
PFT bertanggung jawa atas reaksi obat merugikan dan berhak
untuk menghapusnya dari formularium dan mendokumentasikan kasus
ROM yang terjadi di rumah sakit.
b. Evaluasi penggunaan obat
Evaluasi penggunaan obat atau EPO dilakukan pada obat yang telah
diterima dalam formularium rumah sakit.
Panitia Farmasi dan Terapi adalah organisasi yang mewakili hubungan
komunikasi antara para staf medis dengan staf farmasi, sehingga anggotanya
terdiri dari dokter yang mewakili spesialisasi-spesialisasi yang ada di rumah
sakit dan apoteker wakil dari Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan
lainnya.

7.10 Tujuan
1. Menerbitkan kebijakan-kebijakan mengenai pemilihan obat, penggunaan
obat serta evaluasinya.
2. Melengkapi staf profesional di bidang kesehatan dengan pengetahuan
terbaru yang berhubungan dengan obat dan penggunaan obat sesuai dengan
kebutuhan. (merujuk pada SK Dirjen Yanmed nomor YM.00.03.2.3.951)
7.11 Organisasi dan Kegiatan
Susunan kepanitian Panitia Farmasi dan Terapi serta kegiatan yang dilakukan
bagi tiap rumah sakit dapat bervariasi sesuai dengan kondisi rumah sakit
setempat :
a. Panitia Farmasi dan Terapi harus sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga)
Dokter, Apoteker dan Perawat. Untuk Rumah Sakit yang besar tenaga

56
dokter bisa lebih dari 3 (tiga) orang yang mewakili semua staf medis
fungsional yang ada.
b. Ketua Panitia Farmasi dan Terapi dipilih dari dokter yang ada di dalam
kepanitiaan dan jika rumah sakit tersebut mempunyai ahli farmakologi
klinik, maka sebagai ketua adalah Farmakologi. Sekretarisnya adalah
Apoteker dari instalasi farmasi atau apoteker yang ditunjuk.
c. Panitia Farmasi dan Terapi harus mengadakan rapat secara teratur,
sedikitnya 2 (dua) bulan sekali dan untuk rumah sakit besar rapatnya
diadakan sebulan sekali. Rapat Panitia Farmasi dan Terapi dapat
mengundang pakar-pakar dari dalam maupun dari luar rumah sakit yang
dapat memberikan masukan bagi pengelolaan Panitia Farmasi dan Terapi.
d. Segala sesuatu yang berhubungan dengan rapat PFT (Panitia Farmasi dan
Terapi) diatur oleh sekretaris, termasuk persiapan dari hasil-hasil rapat.
e. Membina hubungan kerja dengan panitia di dalam rumah sakit yang
sasarannya berhubungan dengan penggunaan obat.

7.12 Fungsi dan Ruang Lingkup


a. Mengembangkan formularium di Rumah Sakit dan merevisinya. Pemilihan
obat untuk dimasukan dalam formularium harus didasarkan pada evaluasi
secara subjektif terhadap efek terapi, keamanan serta harga obat dan juga
harus meminimalkan duplikasi dalam tipe obat, kelompok dan produk obat
yang sama.
b. Panitia Farmasi dan Terapi harus mengevaluasi untuk menyetujui atau
menolak produk obat baru atau dosis obat yang diusulkan oleh anggota staf
medis.
c. Menetapkan pengelolaan obat yang digunakan di rumah sakit dan yang
termasuk dalam kategori khusus.

57
d. Membantu instalasi farmasi dalam mengembangkan tinjauan terhadap
kebijakan-kebijakan dan peraturanperaturan mengenai penggunaan obat di
rumah sakit sesuai peraturan yang berlaku secara lokal maupun nasional.
e. Melakukan tinjauan terhadap penggunaan obat di rumah sakit dengan
mengkaji medical record dibandingkan dengan standar diagnosa dan terapi.
Tinjauan ini dimaksudkan untuk meningkatkan secara terus menerus
penggunaan obat secara rasional.
f. Mengumpulkan dan meninjau laporan mengenai efek samping obat.
g. Menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang menyangkut obat kepada staf
medis dan perawat.
7.12 Kewajiban Panitia Farmasi dan Terapi
a. Memberikan rekomendasi pada Pimpinan rumah sakit untuk mencapai
budaya pengelolaan dan penggunaan obat secara rasional
b. Mengkoordinir pembuatan pedoman diagnosis dan terapi, formularium
rumah sakit, pedoman penggunaan antibiotika dan lain-lain
c. Melaksanakan pendidikan dalam bidang pengelolaan dan penggunaan obat
terhadap pihak-pihak yang terkait
d. Melaksanakan pengkajian pengelolaan dan penggunaan obat dan
memberikan umpan balik atas hasil pengkajian tersebut

7.13 Peran Apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi


Peran apoteker dalam panitia ini sangat strategis dan penting karena semua
kebijakan dan peraturan dalam mengelola dan menggunakan obat di seluruh unit
di rumah sakit ditentukan dalam panitia ini. Agar dapat mengemban tugasnya
secara baik dan benar, para apoteker harus secara mendasar dan mendalam
dibekali dengan ilmu-ilmu farmakologi, farmakologi klinik, farmako
epidemologi, dan farmako ekonomi disamping ilmu-ilmu lain yang sangat
dibutuhkan untuk memperlancar hubungan profesionalnya dengan para petugas
kesehatan lain di rumah sakit.

58
7.14 Tugas Apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi
a. Menjadi salah seorang anggota panitia (Wakil Ketua/Sekretaris).
b. Menetapkan jadwal pertemuan.
c. Mengajukan acara yang akan dibahas dalam pertemuan.
d. Menyiapkan dan memberikan semua informasi yang dibutuhkan untuk
pembahasan dalam pertemuan.
e. Mencatat semua hasil keputusan dalam pertemuan dan melaporkan pada
pimpinan rumah sakit.
f. Menyebarluaskan keputusan yang sudah disetujui oleh pimpinan kepada
seluruh pihak yang terkait.
g. Melaksanakan keputusan-keputusan yang sudah disepakati dalam
pertemuan.
h. Menunjang pembuatan pedoman diagnosis dan terapi, pedoman
penggunaan antibiotika dan pedoman penggunaan obat dalam kelas terapi
lain.
i. Membuat formularium rumah sakit berdasarkan hasil kesepakatan Panitia
Farmasi dan Terapi.
j. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan.
k. Melaksanakan pengkajian dan penggunaan obat.
l. Melaksanakan umpan balik hasil pengkajian pengelolaan dan penggunaan
obat pada pihak terkait.

59
BAB 8

60
ORGANISASI RUMAH SAKIT

8.1 Latar Belakang


Rumah sakit merupakan organisasi yang bertujuan memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat dalam rangka peningkatan derajat kesehatan
masyarakat dan pelayanan administrasi. Kegiatan pelayanan rumah sakit yang
diberikan kepada masyarakat dan pelayanan administrasi, antara lain kegiatan
promotif, kuratif, preventif, dan rehabilitatif (Shofari, 2002), dimana setiap
rumah sakit selalu berupaya memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik
kepada pasien. Untuk mencapai hal tersebut, maka pengambilan keputusan dalam
organisasi rumah sakit memerlukan informasi yang akurat, tepat waktu, dapat
dipercaya, masuk akal dan mudah dimengerti dalam berbagai keperluan
pengelolaan rumah sakit, dalam menghadapi era globalisasi yang akan memasuki
semua bidang termasuk bidang kesehatan, maka rumah sakit perlu
mempersiapkan pelayanan agar mampu bersaing dengan peningkatan mutu
pelayanan rumah sakit, khususnya pada mutu pelayanan rekam medis.
8.2 Pengertian Organisasi Manajemen Rumah Sakit
Organisasi secara etimologi berasal dari bahasa latin organizare, kemudian
(inggris) organize yang berarti membentuk suatu kebulatan dari bagian-bagian
yang berkaitan satu sama lainnya. Pengertian organisasi menurut Dimok
(1996:26), “Organisasi adalah perpaduan secara sistematika dari bagian-bagian

61
yang saling bergantung atau berkaitan untuk membentuk satu kesatuan yang bulat
melalui kewenangan, koordinasi dan pengawasan dalam rangka usaha untuk
mencapai tujuan yang telah ditentukan”.
Sedangkan pendapat tentang organisasi menurut Hermaya (1996:26),
“Organisasi adalah tempat atau wahana proses kegiatan kumpulan orang-orang
yang bekerja sama mempunyai fungsi dan wewenang untuk mengerjakan usaha
mencapai tujuan yang telah ditentukan”.
Jadi Organisasi rumah sakit adalah suatu organisasi yang di bangun untuk
mempermudah, mempercapat para masyarakat agar lebih efisien jika ingin pergi
ke rumah sakit, sehingga prosedur-prosedur yang ada disana semakin mudah
untuk di lakukan oleh para pasien atau konsumen-konsumen yang berada di
rumah sakit. Serta bukan hanya untuk para pasien saja tapi ini semua suatu
organisasi juga berguna untuk para instasi-instasi yang ada di dalam rumah sakit
tersebut sehingga mereka semua dapat bekerja dengan lebih mudah, cepat dalam
melayani pasien-pasien yang datang ke rumah sakit tersebut dan juga
mempermudah kerja mereka sendiri.
Jadi Manajemen rumah sakit adalah koordinasi antara berbagai sumber daya
(unsur manajemen) melalui proses perencanaan, pengorganisasian, kemampuan
pengendalian untuk mencapai tujuan rumah sakit seperti: Menyiapkan sumber
daya, mengevaluasi efektivitas, mengatur pemakaian pelayanan, efisiensi,
Kualitas.
Manajemen di Rumah Sakit haruslah dilaksanakan seperti “bebek merenangi
kolam,” tampak tenang di permukaan dan tetap aktif bergerak di bawah
permukaan (Wilan, 1990). Hal ini perlu dilakukan karena rumah sakit berhadapan
dengan orang khususnya orang sakit sehingga harus tampak tenang di satu pihak.
Di pihak lain, karena kompleksnya masalah yang dihadapi di rumah sakit, maka
para manajernya harus betul-betul aktif bergerak terus untuk mampu memberi
pelayanan yang terbaik.
8.2 Pengorganisasian Rumah Sakit

62
Dalam rangka mengembangkan secara lebih konsepsional organisasi rumah
sakit maka diperlukan adanya kejelasan-kejelasan yang memungkinkan pihak
Yayasan dan Direksi dapat berpertisipasi aktif dalam melaksanakannya dengan
batasan yang jelas.

Gambaran Umum Pengorganisasian Rumah Sakit


No Hal Penjelasan
1 Wewenang Merupakan penjabaran secara
Yayasan dan praktis fungsi Yayasan dan Direksi,
Direksi sehingga ada kesepakatan dalam
menjalankannya
2 Struktur Organisasi Merupakan pedoman organisasi
bagi Direksi dan menjalankan
tugasnya dan dilengkapi dengan
uraian tugas yang cukup lengkap
tetapi diberikan kesempatan untuk
mengembangkan kreatifitasnya
Table  1. Gambaran Umum Pengorganisasian Rumah Sakit

1. Wewenang Yayasan Dan Direksi


Yayasan dan Direksi memiliki fungsi masing-masing yang sifatnya
seperti berikut :
a. Memahami spesialisasi masing-masing

63
b.  Fungsi yang harus dilakukan secara bersama-sama
2. Fungsi Yayasan
a. Menentukan tujuan Rumah Sakit
b. Mengangkat dan memberhentikan Direksi
c. Menyetujui Kebijakan Umum Rumah Sakit
d.  Menyetujui rencana dan program umum
e. Menyetujui atau menolak keputusan penting
f. Mengevaluasi hasil kerja
g. Memberi saran operasional
h. Melakukan pendekatan agar pelayanan bemutu
i. Menjadi wali direksi
3. Fungsi Direksi
a. Membina iklim organisasi yang mampu menjawab tantangan dan
hambatan
b. Menyiapkan proposal kebijakan umum dan program rumah sakit
c. Mengantisipasi keinginan masyarakat
d. Menyiapkan proposal bagi yayasan agar mengerti laporan keuangan
e. Menyiapkan proposal untuk kebijakan masa dating
f. Menunjukan institusi dan kelompok kunci di luar Rumah Sakit yang
harus dibina dan didekati
g. Menciptakan organisasi yang mampu serta formal dan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat
h. Memimpin dalam keterkaitan berbagai sumber daya yang ada
4. Fungsi Spesialisasi

No Yayasan Direksi
1. Penetapan Misi Rumah Mengatur sumber daya
Sakit RS

64
2. Penetapan Tujuan Rumah
Sakit
Menjalankan fungsi
Penetapan Kebijakan manajemen
3.
Rumah Sakit
Melaksanakan
operasional
Rumah Sakit
Tabel 2. Fungsi Spesialisasi Yayasan dan Direksi Rumah Sakit

5. Wewenang Yayasan dan Direksi

No Fungsi Wewenang Yayasan Wewenang Direksi


1 Penetapan Menilai, Memahami dan
Misi RS memperbaiki, dan menjalankan misi
menetapkan misi Rumah Sakit
Rumah Sakit
2 Penetapan Menilai, Mengerti, membuat
Tujuan RS memperbaiki, upaya atau program
membuat dan untuk pencapaian
menetapkan tujuan tujuan
RS
3 Penetapan Mengevaluasi, Menyiapkan data,
Kebijakan membuat, memberi saran, dan
menetapkan menjalankan
kebijakan kebijakan
4 Mengatur Mengawasi dan Mengatur,
sumber daya mengevaluasi memanfaatkan
RS penggunaan sumber menambah, dan
daya mengurangi sumber

65
daya
5 Menjalankan Menerima laporan, Melaksanakan,
fungsi mengevaluasi perencanaan,
manajemen laporan, dan pengorganisasian,
memberi saran pada pelaksanaan,
pelaksana pengendalian dan
manajemen evaluasi yang sesuai
dengan tujuan RS
dan kebijakan yang
dibuat
6 Menjalankan Menerima laporan, Mengatur,
operasional melakukan observasi menjalankandan
dan memberi saran menghentikan
kegiatan operasional
sesuai,dengan
keharusan
Table 3. Wewenang Yayasan dan Direksi Rumah Sakit

6. Struktur Organisasi Rumah Sakit


Banyak struktur organisasi yang bisa dipilih, tentunya yang terbaik
adalah yang sesuai dengan kebutuhan. Secara umum pemenuhan kebutuhan
sangat tergantung dari :
a. Tujuan organisasi
b. Pelaksanaan
c. Keadaan rumah sakit
d.  Lingkungan rumah sakit

Struktur organisasi unit dan seksi setara Rumah Sakit

No Bidang Seksi Unit

66
1 Medis Pelayanan Medis 1.    Kamar Operasi,
Kamar Bersalin

2.    ICU

3.    Kamar Jenazah

4.    UGD

5.    Rawat Jalan

6.    Rawat Inap
2 Medis Penunjang Medis 1.    Pemeliharaan

2.    Catatan Medis

3.    Kantin

4.    Laundry

5.    Farmasi

6.    Gizi dan Dapur

7.    Laboratorium

8.    Radiologi
3 Umum Administrasi 1.    Keamanan

2.    Logistik

3.    Keuangan

4.    Kepegawaian

5.    TU

67
6.    Admission

7.    Kebersihan dan
Keindahan
4 Umum Pengembangan 1.    Sistem Informasi

2.    Peningkatan Program

3.    Penelitian

4.    Pelatihan

5.    Pemasaran

6.    Menjaga Mutu
Tabel 4. Struktur Organisasi unit dan seksi RS

Uraian tugas dari direksi dan jajarannya berbedoman kepada :

a. Uraian tugas hendaknya dibuat cukup lengkap


b. Memberi kesempatan untuk menjalankan kreatifitasnya sesuai situasi dan
kondisi
Pokok-pokok penting dalam uraian tugas meliputi kerjasama tentang
hal-hal seperti pada tabel berikut :

No Jabatan Pokok-Pokok Uraian Tugas


1 Direktur 1.    Menanggung jawab operasional Rumah
Sakit

2.    Pe’ncapaian tujuan Rumah Sakit

3.    Melaksanakan Manajemen Rumah Sakit


2 Kepala Bidang 1.    Tanggung Jawab operasional
medis/umum

68
2.    Pencapaian tujuan bidang

3.    Melaksanakan manajemen bidang


3 Seksi 1.    Melaksanakan tanggung jawab seksi

2.    Pencapaian tujuan seksi

3.    Melaksanakan manajemen seksi 


4 Pelaksana 1.    Melaksanakan tanggung jawab sesuai
pekerjaan dan profesi

2.    Mencapai tujuan yang ditugaskan


Tabel 5. Pokok-pokok Tugas Direksi dan Jajaranya

8.4 Rekam medis


Rekam medis mempunyai pengertian yang sangat luas tidak hanya sekedar
kegiatan pencatatan akan tetapi mempunyai pengertian sebagai satu sistem
penyelenggaraan suatu instalasi/unit kegiatan. Sedangkan kegiatan pencatatannya
sendiri merupakan salah satu bentuk yang tercantum di dalam uraian tugas (job
discription) pada unit instalansi rekam medis (Depkes RI, 2006). Rekam medis
diselenggarakan di berbagai unit diantaranya unit rawat jalan maupun unit rawat
inap. Adapun tempat penghasil dan pengolah data rekam medis terdiri dari
Tempat Pendaftaran Pasien Rawat Jalan (TPP RJ), Unit Rawat Jalan (URJ),
Tempat Pendaftaran Pasien Rawat Inap (TPPRI), Unit Rawat Inap (URI), Unit
Gawat Darurat (UGD), Instalansi Pemeriksaan Penunjang (IPP), Assembling,
Filling dan Indeksing serta Analising dan Reporting (Budi, 2011).
Sistem Informasi manajemen di rumah sakit bervariasi dari pencatatan dan
pelaporan secara manual sampai penggunaan jaringan komputer terpadu.
Rancangan sistem informasi manajemen rumah sakit berpangkal dari dua
kegiatan pokok pelayanan pasien, yakni pelayanan rawat jalan dan pelayanan
rawat inap. Informasi yang dihasilkan akan membantu dalam pengambilan

69
keputusan untuk menekan dan meningkatkan efektivitas atau kualitas
pelayanan,maka dari itu diperlukan perancangan sistem yang sesuai kebutuhan
rumah sakit untuk memperoleh informasi yang diharapkan yang sesuai dengan
kebutuhan serta ketentuan yang ada.

BAB 9

70
PERENCANAAN, PENGADAAN
DAN PENERIMAAN

9.1 Pengertian pengelolaan

71
Pengelolaan perbekalan farmasi atau sistem manajemen perbekalan
farmasi merupakan suatu siklus kegiatan yang dimulai dari perencanaan sampai
evaluasi yang saling terkait antara satu dengan yang lain. Pengelolaan
perbekalan farmasi harus dikelola secara efektif karena merupakan komponen
terbesar dalam pengeluaran rumah sakit (±40-50%) dan dana kebutuhan obat
rumah sakit tidak selalu sesuai dengan kebutuhan. Pengelolaan perbekalan
farmasi yang efektif dan efisien akan mendukung mutu pelayanan kesehatan di
rumah sakit. Keberhasilan pengelolaan perbekalan farmasi tergantung pada
kondisi, ketaatan, kebijakan, tugas pokok dan fungsi.

Tugas pokok pengelolaan perbekalan farmasi :

1. Mengelola perbekalan farmasi yang efektif dan efisien


2. Menerapkan farmakoekonomi dalam pelayanan
3. Meningkatkan kompetensi/kemampuan tenaga farmasi
4. Mewujudkan sistem informasi manajemen berdayaguna dan tepatguna
5. Melaksanakan pengendalian mutu pelayanan

Fungsi pengelolaan perbekalan farmasi :

1. Memilih perbekalan farmasi sesuai kebutuhan pelayanan rumah sakit


2. Merencanakan kebutuhan perbekalan farmasi secara optimal
3. Mengadakan perbekalan berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat
sesuai ketentuan yang berlaku
4. Memproduksi perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan rumah sakit
5. Menerima perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang
berlaku
6. Menyimpan perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan
kefarmasian

72
7. Mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit-unit pelayanan di rumahsakit
8. Melakukan pencatatan dan pelaporan persediaan farmasi di rumahsakit
9. Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap persediaan perbekalan farmasi di
rumah sakit.

9.2 Perencanaan

Perencanaan adalah seluruh proses pemilihan dan penentuan secara matang


tentang hal-hal yang akan dikerjakan di masa yang akan dating dalam rangka
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan perencanaan
perbekalan farmasi adalah untuk menetapkan jenis dan jumlah perbekalan
farmasi sesuai dengan pola penyakit dan kebutuhan pelayanan kesehatan di
rumah sakit.

Tahapan perencanaan kebutuhan perbekalan farmasi meliputi:

1. Pemilihan
Fungsi pemilihan adalah untuk menentukan apakah perbekalan farmasi benar-
benar diperlukan sesuai dengan jumlah pasien atau kunjungan dan pola
penyakit dirumah sakit.
Kriteria pemilihan kebutuhan obat yang baik meliputi :
a. Jenis obat yang dipilih seminimal mungkin dengan menghindari
kesamaan jenis
b. Hindari penggunaan obat kombinasi kecuali obat kombinasi
mempunyai efek yang lebih baik dibanding obat tunggal
c. Apabila jenis obat banyak, maka dipilih berdasarkan obat pilihan (drug
of choice) dari penyakit yang prevalensinya tinggi
2. Kompilasi penggunaan
Kompilasi penggunaan perbekalan farmasi berfungsi untuk mengetahui
penggunaan bulanan masing-masing jenis perbekalan farmasi di unit pelayanan
selama setahun dan sebagai data pembanding bagi stok optimum.

73
Kompilasi penggunaan perbekalan farmasi, memberikan informasi bahwa :
a. Jumlah penggunaan tiap jenis perbekalan farmasi pada masing-masing
unit pelayanan
b. Presentase penggunaan tiap jenis perbekalan farmasi terhadap total
penggunaan setahun seluruh unit pelayanan
c. Penggunaan rata-rata untuk setiap jenis perbekalan farmasi

3. Penghitungan kebutuhan
Penghitungan kebutuhan dapat dilakukan dengan beberapa metoda meliputi :
a. Metoda konsumsi
Metoda yang didasarkan pada data riil konsumsi perbekalan periode yang
lalu dengan berbagai penyesuaian dan koreksi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menghitung jumlah perbekalan
farmasi yang dibutuhkan adalah :
1. Pengumpulan dan pengolahan data
2. Analisa data untuk informasi dan evaluasi
3. Perhitungan perkiraan kebutuhan perbekalan farmasi
4. Penyesuaian jumlah kebutuhan perbekalan farmasi dan alokasi dana
Data yang diperlukan untuk menyusun perencanaan dengan metoda
konsumsi adalah:
1. Pemakaian tahun lalu
2. Stok on hand
3. Waktu tunggu
4. Harga obat dan alat kesehatan
5. Dana yang tersedia

Ada 9 langkah untuk menghitung perencanaan obat dengan metoda konsumsi


yaitu :

1. Menghitung Pemakaian Nyata pertahun

74
adalah jumlah obat yang dikeluarkan untuk jangka waktu 1 tahun
(datanya bisa didapat dari laporan bulanan atau tahunan)
Rumus :
Pemakaian = (Stock awal tahun + penerimaan) – (sisa stock akhir tahun -
jumlah obat yang hilang/rusak/exp.date)
2. Menghitung Pemakaian Rata-rata perbulan
Rumus :
Pemakainnyatapertahun
Pemakaian rata-rata 1 bulan =
Jumlahbulanselamaobatada

3. Menghitung Kekurangan Obat


merupakan jumlah obat yang diperlukan selama bulan yang kosong
Rumus :
Kekurangan obat = pemakaian rata-rata/bulan x jumlah bulan yang kosong
4. Menghitung Pemakaian Obat Sesungguhnya
Rumus :
Pemakaian obat sesungguhnya = Pemakaian nyata + kekurangan obat
5. Menghitung kebutuhan obat tahun yang akan datang
merupakan ramalan kebutuhan obat yang sudah mempertimbangkan
peningkatan jumlah pelanggan yang akan dilayani. Jumlah pelanggan
dihitung dengan persamaan regresi dari data peningkatan minimal dari
5 tahun sebelumnya.
Rumus :
Misalkan tren peningkatan kunjungan adalah A%, maka :
Kebutuhan obat yang akan datang=kebutuhan sesungguhnya+(kebutuhan sesungguhnya x A
%)

6. Menghitung kebutuhan Lead Time (Waktu tunggu)


Lead time adalah jangka waktu mulai dari perencanaan diajukan
sampai barang diterima.
Rumus :

75
Kebutuhan lead time = Pemakaian rata-rata/bulan x waktu tunggu (bulan)
7. Menentukan buffer stock
Buffer stock ditentukan dengan 2 cara:
1. Berdasarkan waktu tunggu

Waktu tunggu Stock Pengaman


1 bulan 2 minggu
2 bulan 4 minggu
3 bulan 5 minggu
4 bulan 6 minggu
6 bulan 8 minggu
8 bulan 9 minggu
12 bulan 12 Minggu

2. Berdasarkan sistem VEN

V : Vital / very essential => 20% stock kerja


(kelompok obat untuk memperpanjang hidup, untuk
mengatasi penyebab kematian ataupun pelayanan pokok
kesehatan => stock tidak boleh kosong)

E : Esensial => 10% stock kerja

(obat yang bekerja pada sumber penyakit, obat yang


digunakan paling banyak dalam pengobatan penyakit
terbanyak => kekosongan dapat ditolerir < 48 jam)

N : Non-Esensial => 0-5% stock kerja

(obat penunjang agar jadi lebih baik => kekosongan dapat


ditolerir > 48 jam)

3.Menghitung jumlah obat yang diprogramkan tahun yang akan datang

Rumus :

76
Jumlah obat yang diprogramkan = Kebutuhan obat tahun yang akan datang + lead time + buffer
stock

4. Menghitung jumlah obat yang akan dianggarkan


Rumus :
Jumlah obat yang dianggarkan = Jumlah obat yang diprogramkan – stock
akhir tahun

b. Metoda morbiditas/epidemiologi
Untuk menyusun perencanaan dengan metoda epidemiologi selain
membutuhkan data dengan perhitungan metoda konsumsi juga dibutuhkan
data-data berikut :
1. Pola penyakit
2. Standard terapi
3. Jumlah kunjungan

Perbandingan metoda konsumsi dan epidemiologi:

Konsumsi Morbiditas/Epidemiologi
 Pilihan pertama dalam  Lebih akurat dan mendekati
perencanaan dan kebutuhan sebenarnya
pengadaan  Pengobatan lebih rasional

77
 Lebih mudah dan cepat  Perhitungan lebih rumit
dalam perhitungan  Tidak dapat digunakan
 Kurang tepat dalam untuk semua penyakit
penentuan jenis dan  Data yang diperlukan lebih
jumlah banyak (kunjungan pasien,
 Mendukung sepuluh besar pola
ketidakrasionalan dalam penyakit, persentase
penggunaan dewasa dan anak)

Untuk Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi metoda yang


digunakan adalah metoda konsumsi. Metoda konsumsi memiliki kelemahan
yaitu sulitnya menentukan obat yang prioritas karena tidak adanya standard
obat yang seragam dan formularium rumah sakit yang tidak menentukan nama
paten obat yang diresepkan sehingga akan terjadi banyak permintaan untuk
satu jenis obat yang mengakibatkan seringnya terjadi ketidakefektifan obat.

5. Evaluasi perencanaan
Jumlah kebutuhan yang telah diperoleh pada perhitungan idealnya diikuti
dengan evaluasi.
Cara evaluasi yang dapat dilakukan antara lain :
a. Analisa nilai ABC untuk evaluasi aspek ekonomi
b. Pertimbangan kriteria VEN untuk menganalisa aspek medik/terapi
c. Kombinasi ABC dan VEN
d. Revisi daftar perbekalan farmasi

9.3 Pengadaan

Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang


telah direncanakan dan disetujui. Tujuan pengadaan adalah untuk mendapatkan
perbekalan farmasi dengan harga yang layak, dengan mutu yang baik,

78
pengiriman barang terjamin dan tepat waktu, proses berjalan lancar dan tidak
memerlukan tenaga serta waktu berlebihan.
Proses pengadaan ada 3 elemen penting yang harus diperhatikan:
a. Pengadaan yang dipilih, bila tidak teliti dapat menjadikan “biaya tinggi”
b. Penyusunan dan persyaratan kontrak kerja sangat penting untuk menjaga
agar pelaksanaan pengadaan terjamin mutu (misalnya persyaratan masa
kadaluarsa, sertifikat analisa/standar mutu, harus mempunyai Material Safety
Data Sheet (MSDS), untuk bahan berbahaya, khusus untuk alat kesehatan
harus mempunyai certificate of origin, waktu dan kelancaran bagi semua
pihak dan lain-lain.
c. Order pemesanan agar barang dapat sesuai maca, waktu dan tempat.
Beberapa jenis obat, bahan aktif, yang mempunyai masa kadaluarsa relatif
pendek harus diperhatikan waktu pengadaannya. Untuk itu, harus dihinari
pengadaan dalam jumlah besar.
Pengadaan perbekalan farmasi dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu :
1. Pembelian
Pembelian merupakan rangkaian proses pengadaan untuk mendapatkan
perbekalan farmasi. Ada 4 metoda pada proses pembelian :
a. Tender terbuka
Tender terbuka berlaku untuk seluruh rekanan yang terdaftar dan sesuai
dengan kriteria yang telah ditentukan. Pada penentuan harga, metoda ini
lebih menguntungkan, tapi memerlukan staf yang kuat, waktu yang lama
dan perhatian penuh.
b. Tender terbatas
Tender terbatas dikenal juga dengan lelang tertutup. Hanya dilakukan
pada rekanan tertentu yang sudah terdaftar dan mempunyai riwayat yang
baik. Harga masih dapat dikendalikan, tenaga dan beban kerja lebih
ringan bila dibandingkan dengan tender terbuka.
c. Pembelian dengan tawar menawar

79
Pembelian tawar menawar dilakukan bila item tidak penting dan tidak
banyak. Biasanya dilakukan pendekatan langsung untuk item tertentu.
d. Pembelian langsung
Pembelian langsung biasanya dilakukan untuk pembelian dalam jumlah
kecil dan perlu segera tersedia. Harga tertentu dan realtif lebih mahal.
2. Produksi/pembuatan sediaan farmasi
Produksi sediaan farmasi dirumah sakit merupakan kegiatan membuat,
mengubah bentuk dan pengemasan kembali sediaan farmasi steril atau non-
steril untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan dirumah sakit.
Kriteria perbekalan farmasi yang diproduksi dirumah sakit adalah:
a. Sediaan farmasi dengan formula khusus
b. Sediaan farmasi dengan mutu sesuai standard dengan harga lebih
murah
c. Sediaan farmasi dengan kemasan yang lebih kecil
d. Sediaan farmasi yang tidak tersedia dipasaran
e. Sediaan farmasi untuk penelitian
f. Sediaan nutrisi parenteral
g. Rekonstruksi sediaan obat kanker
h. Sediaan farmasi yang harus selalu dibuat baru

Jenis sediaan farmasi yang diproduksi :

a. Produksi steril

Kegiatan Sterilisasi alat kesehatan dan lainnya di RSSN, berada


dibawah taggung jawab instalasi farmasi. Di bagian ini lakukan sterilisasi
terhadap alat kesehatan, pembuatan aquadest, NaCI 0,9 % dengan
mengunakan peralatan yang menunjang pelaksanaannya. Untuk sterilisasi
digunakan autoklaf, untuk pembuatan aquadest digunakan alat destilasi,
sedangkan pembuatan NaCl 0,9 % dibuat dengan menggunakan larutan

80
aquadest. Kegiatan produksi dilakukan untuk obat yang diracik atau
recentus parantus. Kegiatan farmasi digudang meliputi perencanaan,
penerimaan penyimpanan, pendistribusian, pelaporan. Gudang juga berada
di bawah instalasi farmasi yang dikepalai oleh seorang Apoteker.

Persyaratan teknis untuk produksi steril:


a. Ruangan aseptis
b. Peralatan: contohnya Laminar air flow, autoclave, oven, alat pelindung
diri
c. SDM: petugas terlatih

Unit Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) Stroke Nasional


Bukittinggi memiliki empat sub-unit yang masing-masingnya dikepalai
oleh apoteker. Sub-unit yang dimaksud adalah :

1. Sterilisasi, produksi dan apotek rawat inap.


2. Apotek rawat jalan, terdiri dari apotek rawat jalan umum dan apotek
rawat jalan askes.
3. Logistik (gudang farmasi).
4. Farmasi klinis dan pendidikan yang menitikberatkan pada konseling,
pendidikan dan penyuluhan.
b. Produksi non-steril yaitu :
1. Pembuatan puyer
2. Pembuatan sirup (contoh: OBH, OBP)
3. Pengemasan kembali (contoh: alkohol, H2O2)
4. Pengenceran (contoh: antiseptik, desinfektan)
Persyaratan teknis produksi nonsteril:
a. Ruangan khusus untuk pembuatan
b. Peralatan: peracikan, pengemasan
c. SDM: petugas terlatih.

81
3. Sumbangan/dropping/hibah
Pada prinsipnya pengelolaan perbekalan farmasi dari hibah mengikuti kaidah
umum pengelolaan perbekalan farmasi regular.

9.4 Penerimaan

Penerimaan adalah kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah


diadakan sesuai dengan aturan kefarmasiaan, melalui pembelian langsung,
tender, konsinyasi atau sumbangan. Tujuan penerimaan adalah untuk menjamin
perbekalan farmasi yang diterima sesuai kontrak baik spesifikasi mutu, jumlah
maupun waktu kedatangan. Semua perbekalan farmasi yang diterima harus
diperiksa dan disesuaikan dengan spesifikasi pada order pembelian rumah sakit.
Penerimaan perbekalan farmasi harus dilakukan oleh petugas yang bertanggung
jawab. Hal yang perlu diperhatikan dalam penerimaan adalah sebagai berikut :
1. Harus mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS) untuk bahan
berbahaya
2. Khusus untuk alat kesehatan harus mempunyai certificate of origin

3. Sertifikat Analisa Produk

BAB 10

82
Central Sterile Supply Department
(CSSD)
10.1 Pengertian CSSD
Central Sterile Supply Department (CSSD) atau Instalasi Pusat Sterilisasi
merupakan unit pelayanan non struktural yang berfungsi memberikan pelayanan

83
sterilisasi yang sesuai standar/pedoman dan memenuhi kebutuhan barang steril di
rumah sakit. Instalasi Pusat Sterilisasi mempunyai fungsi menerima, memproses,
memproduksi, mensterilkan, menyimpan, serta mendistribusikan instrumen medis
yang telah disterilkan ke berbagai ruangan di rumah sakit untuk kepentingan
perawatan dan pengobatan pasien.
Sterilisasi adalah suatu proses pengelolaan alat atau bahan yang bertujuan
untuk menghancurkan semua bentuk kehidupan mikroba termasuk endospora dan
dapat dilakukan dengan proses kimia atau fisika. Sterilisasi sangat penting
dilakukan terutama untuk alat-alat bedah, terlebih lagi saat ini semakin
berkembangnya prosedur operasi maupun kompleksitas peralatan medik, maka
diperlukan proses sterilisasi yang tersentralisasi sehingga keseluruhan proses
menjadi lebih efesien,ekonomis dan keamanan pasien semakin terjamin.
Istilah untuk pusat sterilisasi bervariasi, mulai dari Central Sterile Supply
Department (CSSD), Central Service (CS), Central Supply (CS), Central
Processing Department (CPD) dan lain lain, namun kesemuanya mempunyai
fungsi utama yang sama yaitu menyiapkan alat-alat steril dan bersih untuk
keperluan perawatan pasien. Secara terperinci, fungsi dari pusat sterilisasi
adalah menerima, memproses, memproduksi, mensterilkan, menyimpan serta
mendistribusikan peralatan medis ke berbagai ruangan di rumah sakit
untuk kepentingan perawatan pasien. Central Sterilization Supply Department
(CSSD) atau Instalasi Pusat Pelayanan Sterilisasi merupakan satu unit/departemen
dari rumah sakit yang menyelenggarakan proses pencucian, pengemasan,
sterilisasi terhadap semua alat atau bahan yang dibutuhkan dalam kondisi
steril. Instalasi CSSD ini merupakan pusat pelayanan yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan alat/bahan steril bagi unit-unit yang membutuhkan sehingga
dapat mencegah dan mengurangi infeksi yang berasal dari rumah sakit itu sendiri.
Alur aktivitas fungsional CSSD dimulai dari pembilasan,
pembersihan/dekontaminasi, pengeringan, inspeksi dan pengemasan, memberi
label, sterilisasi, sampai proses distribusi.

84
Penanggung jawab CSSD ini adalah seorang apoteker. Berdirinya CSSD di
rumah sakit dilatarbelakangi oleh:
1. Besarnya angka kematian akibat infeksi nosokomial
2. Mikroorganisme mudah menyebar, mengkontaminasi benda dan
menginfeksi manusia di lingkungan rumah sakit.
3. Merupakan salah satu pendukung jaminan mutu pelayanan rumah sakit, maka
peran dan fungsi CSSD sangat penting.
10.2 Struktur Organisasi Instalasi Pusat Sterilisasi
Instalasi pusat sterilisasi dipimpin oleh seorang Kepala Instalasi
(dalam jabatan fungsional) dan bertanggung jawab langsung kepada Wakil
Direktur Penunjang Medik. Untuk rumah sakit swasta, struktur organisasi
dapat mengacu pada struktur organisasi pemerintah. Hal-hal yang perlu
dilaksanakan agar instalasi pusat sterilisai dapat berjalan sebagai mana
mestinya adalah perlunya pembagian pekerjaan dalam jabatan fungsional.
Struktur organisai pusat sterilisasi dapat dilihat pada Gambar dibawah.
Struktur tersebut merupakan struktur minimal yang dapat diubah sesuai dengan
kebutuhan dan beban kerja pada masing-masing rumah sakit.

85
Gambar 1. Skema Struktur Organisasi Instalasi Pusat Sterilisasi Secara Umum

10.3 Tugas Instalasi Pusat Sterilisasi


Adapun tugas CSSD di rumah sakit adalah :
1. Menyiapkan peralatan medis untuk perawatan pasien
2. Melakukan proses sterilisasi alat/bahan.
3. Mendistribusikan alat-alat yang dibutuhkan oleh ruangan perawatan, kamar
operasi maupun ruangan lainnya.
4. Memilih peralatan dan bahan yang aman dan efektif serta bermutu
5. Mempertahankan stok inventory yang memadai untuk keperluan perawatan
6. Mempertahankan standar yang ditetapkan
7. Mendokumentasikan setiap aktivitas pembersihan,desinfeksi maupun
sterilisasi sebagai bagian dari program upaya pengendalian mutu
8. Melakukan penelitian terhadap hasil sterilisasi dalam rangka pencegahan dan
pengendalian infeksi bersama dengan panitia pengendalian infeksi
nosokomial
9. Memberikan penyuluhan tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah
sterilisasi
10. Menyelenggarakan pendidikan dan pengembangan staf instalasi CSSD baik
yang bersifat intern dan ekstern
11. Mengevaluasi hasil sterilisasi
10.4 Metode Sterilisasi
Terdapat bermacam-macam metode sterilisasi, yaitu :
1. Sterilisasi panas kering
Digunakan untuk bahan yang bersifat termostabil, contoh : alat gelas,
sediaan farmasi. Untuk instrumen yang terbuat dari logam tidak dianjurkan
untuk distrerilisasi dengan cara ini. Waktu sterilisasi yang umum 160°C
selama 60-150 menit dan 170°C selama 20-30 menit
2. Sterilisasi dengan panas uap

86
Jenis sterilisasi ini paling banyak digunakan di rumah sakit karena :
a. Mudah pelaksanaannya
b. Diterapkan hampir 80% kebutuhan (instrumen bedah, linen, dll)
c. Biaya operasional rendah
d. Hasil sterilisasi kering
e. Waktu proses relatif pendek
Temperatur yang diperlukan pada sterilisasi jenis ini :

1) 130°C selama 2 menit


2) 121°C selama 15 menit
3) 116°C selama 30 menit
3. Sterilisasi dengan ultraviolet
Karena terdapat keterbatasan daya tembusnya, maka sterilisasi ini digunakan
untuk :
a. Sterilisasi udara (air hygiene)
b. Inaktivasi mikroorganisme pada permukaan bahan atau tersuspensi dalam
cairan
c. Untuk produk dalam komposisi yang tidak stabil yang sulit disterilisasi
dengan cara konvensional
Efek maksimum radiasi pada gelombang 265 nm. Sterilisasi dengan
ultraviolet masih dipakai dirumah sakit untuk tujuan mengurangi
kontaminasi dan dikontaminasi udara, contohnya pada ruang operasi
4. Sterilisasi dengan sinar pengion
Jenis sinar pengion yang digunakan adalah sinar gama dan sinar beta.
Digunakan untuk sterilisasi pada temperatur kamar. Kelemahan sterilisasi ini
adalah mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk proteksi petugas yang
bekerja pada lingkungan sinar pengion. Sterilisasi ini digunakan untuk
sterilisasi alat-alat medis seperti : syringe, benang bedah, serta bahan-bahan
yang terbuat dari plastik dan karet.

87
5. Sterilisasi dengan gas kimia
Jenis gas yang digunakan adalah etilen oksid dan formaldehid.
Keuntungan sterilisasi ini :
a. Digunakan untuk sterilisasi bahan yang bersifat termolabil (sterilisasi pada
temperatur rendah)
b. Kemampuan penetrasi dan absorbsi etilen oksid yang tinggi pada
beberapa jenis pembungkus (kertas, polietilen)
c. Digunakan untuk sterilisasi cateter, peralatan suntik plastik, dan sarung
tangan.
6. Serilisasi dengan filtrasi
Digunakan untuk mensterilkan udara atau bahan dalam bentuk cairan.
Contohnya adalah filter udara seperti HEPA (High Efficiency Particulated
Air) pada ruang operasi atau ruang isolasi tertentu untuk menghindari
terjadinya kontaminasi atau infeksi silang.
7. Sterilisasi dengan bahan kimia
Menggunakan jenis desinfektan tertentu yang bersifat high level
desinfectant seperti penggunaan glutaraldehid 2% untuk sterilisasi
endoskopik.

10.5 Ruangan Instalasi Pusat Sterilisasi


Pada prinsipnya, desain ruang pusat sterilisasi terdiri dari ruang bersih dan
ruang kotor yang dibuat sedemikian rupa untuk menghindari terjadinya
kontaminasi silang dari ruang kotor ke ruang bersih. Selain itu, pembagian
ruangan disesuaikan dengan alur kerja. Ruang pusat sterilisasi dibagi atas 5 ruang
yaitu :

1. Ruang dekontaminasi
Pada ruang ini, terjadi proses penerimaan barang kotor,
dekontaminasi dan pembersihan. Ruang dekontaminasi harus direncanakan,

88
dipelihara dan dikontrol untuk mendukung efisiensi proses dekontaminasi dan
untuk melindungi pekerja dari benda-benda yang dapat menyebabkan infeksi,
racun dan hal-hal berbahaya lainnya. Syarat-syarat ruang dekontaminasi
antara lain :
a. Ventilasi
1) Sirkulasi udara yang dilengkapi dengan filter
2) Pergantian udara 10 kali/jam
3) Tekanan udara negatif
4) Tidak dianjurkan menggunakan kipas angin
b. Suhu dan kelembaban
1) Suhu 18-22°C
2) Kelembaban antara 35-75%
2. Ruang pengemasan alat
Ruang pengemasan alat merupakan tempat pengemasan alat, bongkar
pasang alat, dan penyimpanan barang bersih.
3. Ruang Proccessing linen
Di ruang ini dilakukan pemeriksaan, pelipatan dan pengemasan
linen yang akan disterilisasi. Di ruang ini juga terdapat tempat tertutup
untuk menyimpan barang. Selain itu di ruangan ini juga dilakukan persiapan
untuk bahan seperti kasa, kapas, dan cotton swab.
4. Ruang sterilisasi
Di ruang ini dilakukan proses sterilisasi alat atau bahan. Untuk
sterilisasi etilen oksida, sebaiknya dibuatkan ruang tersendiri dan dilengkapi
dengan saluran pembuangan (exhaust).
5. Ruang penyimpanan barang steril
Syarat-syarat ruang penyimpanan barang steril antara lain :
a. Dekat dengan ruang sterilisasi
b. Suhu 18-22°C
c. Kelembaban 35-75%

89
d. Ventilasi menggunakan tekanan positif
e. Efisiensi partikulat 90-95% (untuk partikel berukuran 0,5 µm)
f. Jauh dari lalu lintas utama
g. Dinding terbuat dari bahan yang kuat, halus dan mudah dibersihkan
10.6 Alat dan Linen
1. Alat
Alat-alat Instalasi Pusat Sterilisasi disimpan di Ruang Pengemasan alat,
dilakukan proses pengemasan alat untuk alat bongkar pasang, maupun
pengemasan dan penyimpanan barang bersih. Pada ruangan ini, dianjurkan
ada tempat penyimpanan  barang tertutup.
a. Peralatan
Mesin sterilisasi harus diperiksa dan dibersihkan setiap hari,
terutama recording charts dan jarum penunjuk, gasket pintu, bagian
dalam chamber, dan permukaan luar lainnya.Pemeliharaan alat dapat
dilakukan oleh personel rumah sakit yang terlatih, produsen alat, atau
perusahaan pemberi jasa pemeliharaan yang berkualifikasi.
b. Kalibrasi Alat
Secara periodik, kalibrasi harus dilakukan sesuai dengan instruksi
manual dari produsen mesin. Beberapa contoh item yang harus dikalibrasi
adalah pengukur suhu dan tekanan, timer, dan elemen pencatat lainnya.
Kalibrasi ulang harus dilakukan bila komponen-komponen ini mengalami
perbaikan.Kalibrasi mesin sterilisasi dilakukan minimal sekali dalam
setahun oleh Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) Kemenkes
atau agen tunggal pemegang merek alat.
c. Alat Pelindung Diri
Instalasi pusat sterilisasi harus dilengkapi dengan alat pelindung diri
seperti apron lengan panjang yang tahan terhadap cairan atau karet yang
tahan terhaap cairan kimia heavy-duty, penutup kepala, masker high-
filtration, dan tight-fittinggoogle yang digunakan oleh staf khususnya

90
pada saat melakukan prosedur yang memungkinkan terjadinya percikan
atau kontaminasi cairan yang mengandung darah atau cairan tubuh
lainnya. 
2. Linen
Dalam melaksanankan tugas sehari-hari pusat sterilisasi selalu berhubungan
dengan:
a. Laundry
b. Instalasi pemeliharaan sarana
c. Intalasi farmasi
d. Sanitasi
e. Perlengkapan/logistic
f. Rawat inap, rawat jalan, IGD, OK, dll
Tatalaksana pelayanan penyediaan barang steril terdiri dari:

1) Perencanaan dan penerimaan barang:


a) Linen
b) Instrumen
c) Sarung tangan dan bahan habis pakai (kasa/pembalut dan kapas)
2) Pencucian
a) Linen, dilakukan di bagian laundry
b) Instrumen
c) Sarung tangan
3) Pengemasan dan pemberian tanda
a) Linen
b) Instrumen
c) Sarung tangan
4) Proses sterilisasi
a) Linen
b) Instrumen

91
c) Sarung tangan, bahan plastik, dan sebagainya.
5) Penyimpanan dan distribusi.
6) Pemantauan kualitas sterilisasi, yang meliputi:
a) Pemantauan proses sterilisasi : indikator fisika, kimia, dan biologi.
b) Pemantauan hasil sterilisasi: sterilisasi dengan tes mikrobiologi.
7) Pencatatan dan pelaporan.

92
BAB 11

93
PELAYANAN INFORMASI OBAT
(PIO)
11.1 Definisi PIO
Pelayanan Informasi Obat (PIO) didefinisikan sebagai kegiatan penyediaan
dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat,
komprehensif, serta terkini oleh apoteker kepada pasien, masyarakat maupun
pihak yang memerlukan. Unit ini dituntut untuk dapat menjadi sumber
terpercaya bagi para pengelola dan pengguna obat, sehingga mereka dapat
mengambil keputusan dengan lebih mantap (Juliantini dan Widayanti, 1996).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.


1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah
Sakit, Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan pelayanan yang
dilakukan oleh apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, tidak bias,
dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan
pasien.

Definisi pelayanan informasi obat adalah pengumpulan, pengkajian,


pengevaluasian, pengindeksan, pengorganisasian, penyimpanan, peringkasan,
pendistribusian, penyebaran serta penyampaian informasi tentang obat dalam
berbagai bentuk dan berbagai metode kepada pengguna nyata dan yang
mungkin (Siregar, 2004).

Adapun ciri-ciri pelayanan informasi obat meliputi:

1. Mandiri (bebas dari segala bentuik keterikatan).


2. Objektif (sesuai dengan kebutuhan).
3. Seimbang.

94
4. Ilmiah.
5. Berorientasi kepada pasien dan pro aktif.
11.2 Sumber-sumber Informasi
a.  Sumber Daya
1. Tenaga kesehatan : dokter, apoteker, dokter gigi, perawat, tenaga kesehatan
lain. Persyaratannya :
a. Mempunyai kemampuan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan
dengan mengikuti pendidikan pelatihan yang berkelanjutan.
b. Menunjukkan kompetensi profesional dalam penelusuran, penyeleksian dan
evaluasi sumber informasi,
c. Mengetahui tentang fasilitas perpustakaan di dalam dan di luar RS, metodelogi
penggunaan data elektronik.
d. Memiliki latar belakang pengetahuan tentang terapi obat.
e. Memiliki kemampuan berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan.
2. Pustaka: terdiri dari majalah ilmiah, buku teks, laporan penelitian dan
farmakope.
3. Sarana: fasilitas ruangan, peralatan, komputer, internet, dan perpustakaan.
4. Prasarana: industri farmasi, badan pom, pusat informasi obat, pendidikan tinggi
farmasi, organisasi profesi (dokter, apoteker, dan lain-lain).
11.3 Metode-metode PIO
Adapun metode-metode dari pio adalah seperti berikut:

1. Pio dilayani oleh apoteker selama 24 jam atau on call disesuaikan dengan
kondisi RS. 
2. Pio dilayani oleh apoteker pada jam kerja, sedang diluar jam kerja dilayani
oleh apoteker instalasi farmasi yang sedang tugas jaga. 
3. Pio dilayani oleh apoteker pada jam kerja, dan tidak ada pio diluar jam kerja.
4. Tidak ada petugas khusus, pio dilayani oleh semua apoteker instalasi farmasi,
baik pada jam kerja maupun di luar jam kerja. 

95
5. Tidak ada apoteker khusus, pio dilayani oleh semua apoteker instalasi farmasi
di jam kerja dan tidak ada pio di luar jam kerja.
11.4 Tujuan PIO
Adapun tujuan pelayanan informasi obat yaitu:

1. Menunjang ketersediaan dan penggunaan obat yang rasional, berorientasi


pada pasien, tenaga kesehatan, dan pihak lain.
2. Menyediakan dan memberikan informasi obat kepada pasien, tenaga
kesehatan, dan pihak lain.
3. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang
berhubungan dengan obat terutama bagi pft/kft (panitia/komite farmasi dan
terapi). (Anonim, 2006)
11.5 Ruang Lingkup PIO
1. Pelayanan meliputi: menjawab pertanyaan, menerbitkan buletin, membantu
unit lain dalam mendapat informasi obat, menyiapkan materi untuk
brosur/leaflet informasi obat, mendukung kegiatan Panitia/Komite Farmasi
dan Terapi dalam menyusun dan merevisi formularium.
2. Pendidikan (terutama pada RS yang berfungsi sebagai RS pendidikan)
meliputi: mengajar dan membimbing mahasiswa, memberi pendidikan pada
tenaga kesehatan dalam hal informasi obat, mengkoorninasikan program
Pendidikan berkelanjutan di bidang informasi obat, membuat/menyampaikan
makalah seminar/simposium.
3. Penelitian meliputi: melakukan penelitian evaluasi penggunaan obat (EPO),
melakukan penelitian penggunaan obat baru, melakukan penelitian lain yang
berkaitan dengan penggunaan obat, baik secara mendiri maupun bekerja sama
dengan pihak lain, melakukan kegiatan program jaminan mutu.
11.6 Sasaran PIO
Sasaran informasi obat yaitu:

1. Pasien dan atau keluarga pasien.

96
2. Tenaga kesehatan seperti dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, bidan, asisten
apoteker, dan lain-lain.
3. Pihak lain seperti manajemen, tim/kepanitiaan klinik, dan lain-lain. (Anonim,
2006)
Yang dimaksud dengan sasaran informasi obat adalah orang, lembaga,
kelompok orang, kepanitiaan, penerima informasi obat, seperti yang tertera
dibawah ini:

a. Dokter
Dalam proses penggunaan obat, pada tahap penetapan pilihan obat serta
regimennya untuk seorang pasien tertentu, dokter memerlukan informasi dari
apoteker  agar ia dapat membuat keputusan yang rasional. Informasi obat
diberikan langsung oleh apoteker, menjawab pertanyaan dokter melalui
telepon atau sewaktu apoteker menyertai tim medis dalam kunjungan ke ruang
perawatan pasiean atau dalam konferensi staf medis (siregar, 2004).

b. Perawat
Dalam tahap penyampaian atau distribusi obat kepada prt dalam
rangkaian proses penggunaan obat, apoteker memberikan informasi obat
tentang berbagai aspek oabt pasien, terutama tentang pemberian obat. Perawat
adalah profesional kesehatan yaang paling banyak berhubungan dengan
pasien karena itu, perawatlah yang pada umumnya yang pertama mengamati
reaksi obat merugikan atau mendengar keluhan mereka. Apoteker adalah yang
paling siap, berfungsi sebai sumber informasi bagi perawat. Informasi yang
dibutuhkan perawat pada umumnya harus praktis, seera, dan ringkas,
misalnya frekuensi pemberian dosis, metode pemberian obat, efek samping
yang mungkin, penyimpanan obat, inkompatibilitas campuran sediaan
intravena, dll (siregar, 2004).

c. Pasien

97
Informasi yang dibutuhkan pasien, pada umumnya adalah informasi
praktis dan kurang ilmiah dibandingkan dengan informasi yang dibutuhkan
profesional kesehatan. Informasi obat untuk prt diberikan apoteker sewaktu
menyertai kunjungan tim medik ke ruang pasien; sedangkan untuk pasien
rawat jalan, informasi diberikan sewaktu penyerahan obatnya. Informasi obat
untuk pasien pada umumya mencangkup cara penggunaan obat, jangka waktu
penggunaan, pengaruh makanan pada obat, penggunaan obat bebas dikaitkan
dengan resep obat, dan sebagainya (siregar, 2004).

d. Apoteker
Setiap apoteker suatu rumah sakit masing-msaing mempunyai tugas
atau fungsi tertentu, sesuai dengan pendalaman pengetahuan pada bidang
tertentu. Apoteker yang langsung berinteraksi dengan profesional kesehatan
dan pasien, seing menerima pertanyaan mengenai informasi obat dan
pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya dengan segera, diajukan kepada
sejawat apoteker yang lebih mendalami pengetahuan informasi obat.
Apoteker apotek dapat meminta bantuan informasi obat dari sejawat di
rumah sakit (siregar, 2004).

e. Kelompok, tim, kepanitiaan, dan peneliti


Selain kepada perorangan, apoteker juga memberikan informasi obat
kepada kelompok profesional kesehatan, misalnya mahasiswa, masyarakat,
peneliti, dan kepanitiaan yang berhubungan dengan obat. Kepanitiaan di
rumah sakit yang memerlukan informasi obat antara lain, panitia farmasi dan
terapi, panitia evaluasi penggunaan obat, panitia sistem pemantauan kesalahan
obat, panitia sistem pemantauan dan pelaporan reaksi obat merugikan, tim
pengkaji penggunaan oabt retrospektif, tim program pendidikan “in-service”
dan sebagainya (siregar, 2004).

98
11.7 Kategori PIO
Lingkup jenis pelayanan informasi obat disuatu rumah sakit, antara lain
seperti tertera dibawah ini:

1. Pelayanan informasi obat untuk menjawab pertanyaan.


Penyedia informasi obat berdasarkan permintaan, biasanya merupakan
salah satu pelayanan yang pertama dipertimbangkan. Pelayanan seperti ini
memungkinkan penanya dapat memperoleh informasi khusus yang
dibutuhkan tepat pada waktunya. Sumber informasi dapat dipusatkan dalam
suatu sentra informasi obat di instalasi farmasi rumah sakit.

2. Pelayanan informasi obat untuk evaluasi penggunaan obat.


Evaluasi penggunaaan obat adalah suatu program jaminan mutu
pengguna obat di suatu rumah sakit. Suatu program evaluasi penggunaan obat
memerlukan standar atau kriteria penggunaan obat yang digunakan sebagai
acuan dalam mengevaluasi ketepatan atau ketidak tepatan penggunaan obat.
Oleh karena itu, biasanya apoteker informasi obat memainkan peranan
penting dalam pengenbangan standar atau kriteria penggunaan obat.

3. Pelayanan informasi obat dalam studi obat investigasi.


Obat investigasi adalah obat yang dipertimbangkan untuk dipasarkan
secara komersial, tetapi belum disetujui oleh bpom untuk digunakan pada
manusia. Berbagai pendekatan untuk mengadakan pelayanan ini bergatung
pada berbagai sumber rumah sakit. Tanggung jawab untuk
mengkoordinasikan penambahan, pengembangan, dan penyebaran informasi
yang tepat untuk obat investigasi terletak pada suatu pelayanan informasi
obat.

4. Pelayanan informasi obat untuk mendukung kegiatan panitia farmasi dan


terapi.

99
Partisipasi aktif dalam panitia ini merupakan peranan instalasi farmasi
rumah sakit yang vital dan berpengaruh dalam proses penggunaan obat dalam
rumah sakit. Hal ini dapat disiapkan dengan memadai oleh suatu pelayanan
informasi obat.

5. Pelayanan informasi obat dalam bentuk publikasi.


Upaya mengkomunikasikan informasi tentang kebijakan penggunaan obat
dan perkembangan mutakhir dalam pengobatan yang mempengaruhi seleksi
obat adalah suatu komponen penting dari pelayanan informasi obat. Untuk
mencapai sasaran itu, bulletin farmasi atau kartu informasi yang berfokus
kepada suatu golongan obat, dapat dipublikasikan dan disebarkan kepada
professional kesehatan.

11.8 Langkah – Langkah pelayanan informasi obat


Langkah – Langkah sistematis pemberian informasi obat oleh petugas PIO :
a. Penerimaan permintaan informasi obat: mencatat data permintaan
informasi dan mengategorikan permasalahan aspek farmasetik
(indentifikasi obat, perhitungan farmasi, stabilitas dan toksisitas obat),
ketersediaan obat, harga obat, efek samping obat, dosis obat, interaksi
obat, farmakokinetik, farmakodinamik, aspek farmakoterapi dan
keracunan.
b. Mengumpulkan latar belakang masalah yang di tanyakan: menayakan
lebih dalam tentang karakteristik pasien dan menayakan apakah sudah di
usahakan mencari informasi sebelumnya.
c. Penelusuran sumber data
d. Formulasikan jawaban sesuai dengan permintaan
e. Pemantauan dan tindak lanjut
11.9 Proritas pelayanan informasi obat

100
Proritas harus diberikan kepada permintaan informasi obat yang paling
mempengaruhi secara langsung pada perawatan pasien. Proritas untuk
permintaan informasi obat di urutkan sebagai berikut :
a. Penaganan/pengobatan darurat pasien dalam situasi hidup atau mati.
b. Pengobatan pasien rawat tinggal dengan masalah terapi obat khusus.
c. Pengobatan pasien ambulatory dengan masalah terapi obat khusus.
d. Bantuan kepada staf professional Kesehatan untuk penyelesaian tanggung
jawab mereka.
e. Keperluan dari berbagai fungsi PFT
f. Berbagai proyek penelitian yang melibatkan penggunan obat.

11.11 Contoh Lembaran PIO


LEMBAR PELAYANAN INFORMASI OBAT

No: …… Tgl: ……… Waktu: ……… Metode: lisan/pertelp./tertulis


    1. Identitas Penanya
  Nama: ………………………… Status: …………………
  No. Telp: ……………………
  2.  Data pasien
   Umur: ………………… Berat: …………... kg  

   Jenis Kelamin: L/P

   Kehamilan: Ya/Tidak …………. minggu


   Menyusui: Ya/Tidak Umur bayi: ………..
  3.    Pertanyaan
   Uraian permohonan
......................................................................................
  Jenis permohonan :
ÿ Identifikasi obat ÿ Dosis ÿ Antiseptik ÿ

101
Interkasi obat ÿ Stabilita ÿ KontraIndika
ÿ Farmakokinetik/Farmakodinamik ÿ ESO
ÿ Keracunan ÿ Ketersediaan obat
ÿ Penggunaan Terapetik ÿ Harga obat
ÿ Cara pemakaian ÿ Lain-lain
   4.    Jawaban
......................................................................................
......................................................................................
   5.    Referensi
......................................................................................
......................................................................................
   6.    Penyampaian Jawaban : Segera dalam 24 jam, > 24 jam
   Apoteker yang menjawab: ………………………………………….
   Tgl: ………………………… Waktu: …………………….
Metode Jawaban: lisan/tertulis/pertelp

102
BAB 12

103
PEDOMAN PELAYANAN
INFORMASI OBAT DI RUMAH
SAKIT
12.1 PEDOMAN PELAYANAN INFORMASI OBAT DI RUMAH SAKIT

104
Pelayanan informasi obat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam
pelaksanaan pelayanan kefarmasian dirumah sakit. Tujuan umum dari
pedoman pelayanan informasi obat di rumah sakit yaitu tersedianya pedoman
untuk pelayanan informasi obat yang bermutu dan berkesinambungan dalam
rangka mendukung upaya penggunaan obat yang rasional di rumah sakit.
Tujuan khusus dari pedoman pelayanan informasi obat dirumah sakit, antara
lain :
1. Tersedianya acuan arangka pelayanan informasi obat di rumah sakit
2. Tersedianya landasan hokum dan operasional penyediaan dan pelayanan
informasi obat di rumah sakit
3. Terlaksananya penyediaan dan pelayanan informasi obat di rumah sakit
4. Terlaksananya pemenuhan kompetensi apoteker Indonesia dalam hal
pelayanan kefarmasian

Pedoman pelayanan informasi di rumah sakit dimaskudkan untuk dapat


dimanfaatkan oleh petugas kesehatan terkait provider, pasien dan
keluarganya, masyarakat umum, serta institusi yang memerlukan (Depkes RI,
2006)

12.2 KEGIATAN PELAYANAN INFORMASI OBAT

Menurut permenkes No.58 tahun 2014, kegaiatan pelayanan informasi obat


meliputi :
a) Menjawab pertanyaan
b) Menerbitkan buletib, leaflet, poster, newsletter
c) Menyediakan informasi bagi Tim Farmasi dan Terapi sehubung
dengan penyusunan Formularium Rumah Sakit
d) Bersama dengan Tim Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKSRS)
melakukan kegiatan penyulihan bagi pasien rawat jalan dan rawat
inap.

105
e) Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kefarmasin dan
tenaga kesehatan lainnya.
f) Melakukan penelitian.

Kegiatan PIO berupa penyediaan dan pemberian informasi obat yang


bersifat aktif atau pasif. Pelayanan bersifat aktif apabila apoteker
pelayanan informasi obat memberikan informasi obat dengan tidak
menunggu pertanyaan melainkan secara aktif memberikan informasi obat,
misalnya penerbitan bulletin, leaflet, brosur, seminar dan sebagainya.
Pelayanan bersifat pasif apabila apoteker pelayanan informasi obat
memberikan informasi obat sebagai jawaban atas pertanyaan yang
diterima (Anonim, 2004). Menjawab pertanyaan mengenai obat dan
penggunaannya merupakan kegiatan rutin suatu pelayanan informasi obat.
Pertanyaan yang masuk dapat disampaikan secara verbal (melalui telepon,
tatap muka) atau tertulis (surat melalui pos, faksimili atau e-mail).
Pertanyaan mengenai obat dapat bervariasi dari yang sederhana sampai
yang bersifat urgen dan kompleks yang membutuhkan penelusuran
literatur serta evaluasi secara seksama (Anonim, 2004). Faktor-faktor
komunikasi yang meliputi bahasa, pendengaran atau tingkat intelektual
merupakan faktor yang dapat menghambat efektivitas komunikasi.
Informasi yang perlu disampaikan adalah sebagai berikut :

1) Status Obat
2) Khasiat keamanan obat
3) Efek samping obat
4) Alasan mengapa obat tidak dapat dipergunakan untuk semua penyakit
(Graham, 1995).
Untuk mengukur tingkat keberhasilan penerapan pelayanan informasi
obat, indikator yang dapat digunakan antara lain :
a) Meningkatkan jumlah pertanyaan yang diajukan.

106
b) Menurunnya jumlah pertanyaan yang tidak dapat dijawab.
c) Meningkatnya kualitas kinerja pelayanan.
d) Meningkatnya jumlah produk yang dihasilkan (leflet, buletin,
ceramah).
e) Meningkatnya pertanyaan berdasarkan jenis pertanyaan dan tingkat
kesulitan.
f) Menurunnya keluhan atas pelayanan Informasi Obat (Anonim, 2004).

12.3 SENTRA INFORMASI OBAT

Pemilihan Jenis Informasi Walaupun sumber informasi cukup


lengkap/terpenuhi, tidak jarang dijumpai keraguan untuk memilih sumber
informasi yang paling tepat untuk memenuhi kebutuhan pada suatu waktu.
Untuk mempermudah penelusuran pustaka, pedoman di bawah dapat
digunakan.
1. Informasi mengenai obat:
a) Sifat-sifat farmakologik (dinamika dan kinetika obat),
b) Efek samping dan keamanan, khusus membahas efek samping, Untuk
kandungan suatu sediaan paten, kekuatan, bentuk sediaan, harga, dll.

2. Informasi mengenai pengobatan:


a) Obat pilihan dan alternatifnya untuk suatu penyakit beserta anjuran
pengaturan dosis.
b) Pemakaian obat pada kelompok-kelompok khusus (bayi, kehamilan,
gangguan fungsi hepar/ginjal, malnutrisi, dsb) dan monitoring kadar
terapi.untuk mencari data kinetik obat pada kondisi-kondisi pasien
tertentu, untuk menghitung dosis individual, dan lain-lain.

12.4 TUJUAN SENTRA INFORMASI OBAT

107
Menunjang ketersediaan dan penggunaan obat yang rasional, berorientasi
pada pasien, tenaga kesehatan, dan pihak lain.
Menyediakan dan memberikan informasi obat kepada pasien, tenaga
kesehatan, dan pihak lain. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-
kebijakan yang berhubungan dengan obat terutama bagi PFT/KFT
(Panitia/Komite Farmasi dan Terapi) (Anonim, 2006).
Kegiatan PIO berupa penyediaan dan pemberian informasi obat yang
bersifat aktif atau pasif. Pelayanan bersifat aktif apabila apoteker pelayanan
informasi obat memberikan informasi obat dengan tidak menunggu
pertanyaan melainkan secara aktif memberikan informasi obat, misalnya
penerbitan bulletin, leaflet, brosur, seminar dan sebagainya. Pelayanan
bersifat pasif apabila apoteker pelayanan informasi obat memberikan
informasi obat sebagai jawaban atas pertanyaan yang diterima (Anonim,
2004). Menjawab pertanyaan mengenai obat dan penggunaannya merupakan
kegiatan rutin suatu pelayanan informasi obat. Pertanyaan yang masuk dapat
disampaikan secara verbal (melalui telepon, tatap muka) atau tertulis (surat
melalui pos, faksimili atau e-mail). Pertanyaan mengenai obat dapat bervariasi
dari yang sederhana sampai yang bersifat urgen dan kompleks yang
membutuhkan penelusuran literatur serta evaluasi secara seksama (Anonim,
2004). Faktor-faktor komunikasi yang meliputi bahasa, pendengaran atau
tingkat intelektual merupakan faktor yang dapat menghambat efektivitas
komunikasi. Informasi yang perlu disampaikan adalah sebagai berikut :
1. Status Obat
2. Khasiat keamanan obat
3. Efek samping obat
4. Alasan mengapa obat tidak dapat dipergunakan untuk semua penyakit
(Graham, 1995).

108
Untuk mengukur tingkat keberhasilan penerapan pelayanan informasi
obat, indikator yang dapat digunakan antara lain :

1. Meningkatkan jumlah pertanyaan yang diajukan.


2. Menurunnya jumlah pertanyaan yang tidak dapat dijawab.
3. Meningkatnya kualitas kinerja pelayanan.
4. Meningkatnya jumlah produk yang dihasilkan (leflet, buletin,
ceramah).
5. Meningkatnya pertanyaan berdasarkan jenis pertanyaan dan
tingkat kesulitan.
6. Menurunnya keluhan atas pelayanan Informasi Obat (Anonim,
2004).

12.5 FUNGSI PIO

FUNGSI-FUNGSI PELAYANAN INFORMASI OBAT


Seluruh jawaban yang diberikan oleh Pelayanan Informasi Obat harus
didokumentasikan sebagai catatan dari kegiatan yang dilakukan maupun sebagai
informasi yang berguna bagi pertanyaan berikutnya dan evaluasi terhadap
kegiatan pelayanan informasi obat dan program jaminan mutu.
1. Umpan Balik
Permintaan informasi sebaiknya ditinda lanjuti baik secara langsung
maupun melalui mekanisme umpan balik. Hal ini dapat membantu dalam
menentukan hasil dan apakah informasi yang diberikan telah mengenai
sasaran. Informasi umpan balik penting sebagai ukuran jaminan mutu serta
dalam kaitan dengan tanggung jawab profesional.
2. Kerahasiaan Informasi
Informasi yang diberikan oleh industri farmasi termasuk data formulasi,
data efek samping atau data obat investigasi yang diberikan untuk
kenyamanan pasien harus bersifat rahasia. Informasi obat seperti ini hanya

109
digunakan untuk kondisi yang memungkinkan untuk dipublikasikan atau
tidak. Apoteker informasi obat mempunyai tanggung jawab untuk menyimpan
sumber informasi rahasia kepada penanya. Informasi yang berhubungan
dengan pasien harus dirahasiakan. Ketika pasien diberikan informasi khusus
lainnya sebagai tambahan informasi yang diperlukan pasien seperti literatur,
publikasi dan lain lain, identitas pasien harus disimpan. Identitas pasien harus
dirahasiakan dari pihak lain kecuali ada persetujuan dari pasien. Dan fungsi-
fungsi pelayanan informasi obat yang lainnya yaitu :
a) Mengkoordinasikan pemantauan dan pelayanan ESO.
b) Memberikan respon terhadap pertanyaan tentang obat
c) Memberikan masukan terhadap komite farmasi dan terapi di RS
d) Drug utilization review ( DUR ) / drug utilization review evaluation
(DUE)
e) Pelaporan efek samping obat ( ESO )
f) Konseling pasien
g) Pembuatan buletin / news leter
h) Edukasi
i) Riset danpenelitian

12.6 KEBUTUHAN PELAYANAN INFORMASI OBAT

Kebutuhan informasi bagi pasien, mereka (pasien) tidak tahu obat yang
mereka minum, kecuali bila dokter menjelaskan kepada mereka. Apoteker hanya
menyerahkan obatnya dalam wadah yang hanya tertulis nama pasien dan aturan
pakainya. Informasi yang lebih baik pada pasien akan menggugah minat
menaikkan kehendak pasien untuk berpartisipasi aktif dalam cara pengobatan
yang dapat dinilai sebagai mempercepat kesembuhan (Anief, 1997).

12.7 KOMUNIKASI DALAM INFORMASI OBAT

110
Informasi obat merupakan bagian dari suatu kegiatan konsultasi dimana
pasien dapat memperoleh informasi mengenai proses pengobatannya. Brosur,
etiket dari produsen obat merupakan suatu komunikasi verbal yang sangat
bermanfaat (Graham, 1995). Seringkali komunikasi menemui hambatan, sehingga
akan mempengaruhi keberhasilan suatu pengobatan. Kemungkinan penyebabnya
antara lain kesenjangan antara pemberi dan penerima informasi, baik dalam
penggunaan bahasa, cara penuturan ataupun cara pendekatan dan informasi yang
diberikan tidak diartikan secara benar atau tidak mengerti. Faktor yang dirasakan
cukup menghambat komunikasi adalah kondisi masyarakat yang percaya
berlebihan dalam mengkonsumsi obat dan mudah dipengaruhi oleh promosi obat.
Penyediaan informasi yang benar, obyektif dan lengkap akan mempengaruhi
masalah ketidakrasionalan penggunaan obat (Mulyono, 2002).

12.8 BULETIN OBAT

Buletin obat juga merupakan salah satu sumber informasi yang up to-date.
Buletin biasanya bersifat periodik dan berisi promosi terhadap pemakaian obat
dan pengobatan secara rasional. Banyak bulletin pengobatan yang tidak
disponsori oleh industri farmasi yang menyediakan penilaian obat secara khusus
dan memberikan rekomendasi untuk terapi yang didasarkan pada beberapa
aleternatif pengobatan. Umumnya disediakan secara cuma-cuma oleh badan-
badan yang berkecimpung di kegiatan tersebut, dan sangat dihargai
keberadaannya karena objektivitas informasi tersebut Informasinya objektif,
penilaian terhadap manfaat/keamanan obat tidak "biased" dan rekomendasi-
rekomendasinya praktis Contoh bulletin pengobatan yang tersedia.
12.9 EVALUASI KEGIATAN
Sebagai tindak lanjut terhadap pelayanan informasi obat dirumah sakit,
harus dilakukan pemantauan dan evaluasi kegiatan secara berkala. Evaluasi ini
digunakan untuk menilai/mengukur keberhasilan pelayanan informasi obat itu

111
sendiri dengan cara membandingkan tingkat keberhasilan sebelum dan sesudah
dilaksanakan pelayanan informasi obat.
Pemantauan dan evaluasi dilaksanakan dengan mengumpul- kan data dari
awal dan mendokumentasikan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, serta
jawaban dan pelayanan yang diberikan kemudian dibuat laporan tahunan.
Laporan ini dievaluasi dan berguna untuk memberikan masukan kepada
pimpinan dalam membuat kebijakan di waktu mendatang. Untuk mengukur
tingkat keberhasilan tersebut harus ada indikator yang digunakan. Indikator
tersebut bersifat dapat diukur dan valid (tidak cacat). Indikator keberhasilan
pelayanan informasi obat mengarah kepada pencapaian penggunaan obat
secara rasional di rumah sakit itu sendiri.

112
BAB 13

DRP

(DRUG RELATED PROBLEM)

113
13.1 Pendahuluan
DRP (Drug Related Problem) merupakan keadaan yang tidak
diinginkan pasien terkait dengan terapi obat serta hal-hal yang mengganggu
tercapainya hasil akhir yang sesuai dan dikehendaki untuk pasien. Tujuh
penggolongan DRp menurut Cipolle adalah penggunaan obat yang tidak
diperlukan, kebutuhan akan terapi obat tambahan, obat yang tidak efektif,
dosis terapi yang digunakan terlalu rendah, adverse drug reactoin, dosis
terapi yang trlalu tinggi, dan ketidakpatuhan. Hal-hal yang terkait dengan
DRP seharusnya dapat dicegah dan dikurangi keberadaannya melalui
pengenalan secara awal terhadap adanya DRP oleh seorang farmasis.
Pemberian informasi obat memiliki peranan penting dalam rangka
memperbaiki kualitas hidup pasien dan menyediakan pelayanan bermutu
bagi pasien. Kualitas hidup dan pelayanan bermutu dapat menurun akibat
adanya ketidakpatuhan terhadap program pengobatan. Penyebab
ketidakpatuhan tersebut salah satunya disebabkan kurangnya informasi
tentang obat. Selain itu, regimen pengoatan yang kompleks dan kesulitan
mengikuti regimen pengobatan yang diresepkan merupakan masalah yang
mengakibatkan ketidakpatuhan terhadap pengobatan. Selain maslah
kepatuhan, pasien juga dapat mengalami efek yang tidak diinginkan dari
penggunaan obat. Dengan diberikannya informasi obat kepada pasien maka
maslah terkait obat seperti penggunaan obat tanpa indikasi, indikasi yang
tidak terobati, dosis obat terlalu tinggi, dosis subterapi, serta interaksi obat
dapat dihindari.
Jenis informasi yang diberikan apoteker pada pasien yang mendapat
resep baru meliputi nama dan gambaran obat, tujuan pengobatan, cara dan
waktu penggunaan, saran ketaatan dan pemantauan sendiri, efek sam[ing
dan efek merugikan, tindakan pencegahan, kontraindikasi, dan interaksi,
petunjuk penyimpanan, informasi pengulangan resep dan
rencanapemantauan lanjutan. Selain itu, diskusi penutup juga diperlukan

114
untuk mengulang kembali dan menekankan hal-hal terpenting terkait
pemberian informasi mengenai obat.
13.2 Pengertian Drug Related Problem (DRP)
Drug Related Problems (DRPs) adalah kejadian yang tidak
diharapkan, berupa pengalaman pasien yang melibatkan atau diduga
melibatkan terapi obat dan pada kenyataannya atau potensial mengganggu
keberhasilan penyembuhan yang diharapkan. Drug Related Problem
merupakan maslah yang terkait obat dapat mempengaruhi morbiditas dan
mortalitas kualitas hidup pasien serta berdampak juga terhadap ekonomi
dan sosial pasien. Pharmaceuticaal care Network Europe mendefinisikan
masalah terkait obat (DPRs) adalah kejadian suatu kondisi terkait dengan
terapi obat yang secara nyata atau potensial mengganggu hasil klinik
kesehatan yang diinginkan.
13.3 Komponen primer dari Drug Related Problems:
1. Pasien mengalami keadaan yang tidak dikehendaki.
Pasien mengalami keluhan medis, gejala, diagnose penyakit kerusakan, cacat
atau sindrom dan dapat mengakibatkan gangguan psikologis, fisiologis,
sosial, bahkan kondisi ekonomi.
2. Ada hubungan antara keadaan yang tidak dikehendaki dengan terapi obat.
Sifat hubungan ini tergantung akan kekhususan Drug Related Problems
(DRPs). Hubungan yang biasanya terjadi antara keadaan yang tidak
dikehendaki dengan terapi obat adalah kejadiaan itu akibat dari terapi obat
atau kejadian itu membutuhkan terapi obat( Cipolle et al., 1998). Drug
Related Problems (DRPs) terdiri dari DRPs actual dan DRPs potensial.
DRPs actual adalah problem yang sedang terjadi berkaitan dengan terapi
obat yang sedang diberikan pada pasien. DRPs potensial adalah problem
yang diperkirakan akan terjadi yang berkaitan dengan terapi obat yang
sedang digunakan oleh pasien (Yunita et al., 2004).
13.4 Kategori umum Drug Related Problems (DRPs)

115
1. Membutuhkan obat tambahan.
Penyebabnya yaitu pasien membutuhkan obat tambahan misalnya untuk profil
aksi atau pramedikasi, memiliki penyakit kronik yang memerlukan
pengobatan kontinu, memerlukan terapi kombinasi untuk menghasilkan efek
sinergis atau potensiasi dan atau ada kondisi kesehatan baru yang memerlukan
terapi obat.
2. Menerima obat tanpa indikasi yang sesuai atau tidak perlu obat.
Hal ini dapat terjadi sebagai berikut: menggunakan obat tanpa indikasi yang
tepat, dapat membaik kondisinya dengan terapi non obat, minum beberapa
obat padahal hanya satu terapi obat yang diindikasikan atau minum obat untuk
mengobati efek samping.
3. Menerima obat yang salah.
Kasus yang mungkin terjadi adalah: obat tidak efektif, ketidaktepatan
pemilihan obat, alergi, adanya resiko kontraindikasi, resisten terhadap obat
yang diberikan, kombinasi obat yang tidak perlu dan atau obat bukan yang
paling aman.
4.Dosis terlalu besar.
Beberapa penyebabnya adalah dosis salah, frekuensi tidak tepat, dan jangka
waktu tidak tepat.
5. Dosis terlalu kecil
Penyebabnya antara lain: dosis terlalu kecil untuk menghasilkan respon yang
diinginkan, jangka waktu terlalu pendek, pemilihan obat, dosis, rute
pemberian, dan sediaan yang tidak tepat.
6. Pasien mengalami adverse drug reactions.
Penyebab umum untuk kategori ini: pasien menerima obat yang tidak aman,
pemakaian obat tidak tepat, interaksi dengan oba tlain, dosis dinaikkan atau
diturunkan terlalu cepat sehingga menyebabkan adverse drug reaction dan
atau pasien mengalami efek yang tak dikehendaki yang tidak diprediksi.

116
7. Pasien mengalami kondisi keadaan yang tidak diinginkan akibat tidak minum
obat secara benar (non compliance).
8. Pasien mengalami kondisi keadaan yang tidak diinginkan akibat tidak minum
obat secara benar (non compliance).
Beberapa penyebabnya adalah: obat yang dibutuhkan tidak ada, pasien tidak
mampu membeli, pasien tidak memahami instruksi, pasien memilih untuk tidak
mau minum obat karena alas an pribadi dan atau pasien lupa minum obat
(Cipolle et al., 1998).
Identifikasi dan pemecahan masalah pada Drug Related Problems (DRPs)
tergantung pada beberapa faktor. Faktor pertama adalah adanya semua data
esensial dan farmasis bertugas menentukan data apa yang dibutuhkan (Cipolle et
al., 1998).
13.5 Data yang penting mengenai pasien dapat digolongkan dalam tiga kategori
1. Karakter klinis dari penyakit atau kondisi pasien, meliputi: umur, seks, etnis,
ras, sejarah sosial, status kehamilan, status kekebalan, fungsi ginjal, hati dan
jantung, status nutrisi, serta harapan pasien.
2. Obat lain yang dikonsumsi pasien, berkaitan dengan terapi obat pada saat ini
dan masa lalu, alergi obat, profil toksisitas, adverse drug reaction, rute dan
cara pemberian obat, dan persepsi mengenai pengobatannya.
3. Penyakit, keluhan, gejala pasien meliputi masalah sakitnya pasien, keseriusan,
prognosa, kerusakan, cacat, persepsi pasien mengenai proses penyakitnya.
Data dapat diperoleh dari beberapa sumber misalnya pasien sendiri, orang
yang merawat pasien, keluarga pasien, medical record, profil pasien dari
farmasis, data laboratorium, dokter, perawat dan profesi kesehatan lainnya
(Cipolle et al., 1998).
Secara umum perhatian farmasis terhadap Drug Related Problems sebaiknya
diprioritaskan pada pasien geriatri,pasien pediatri, ibu hamil dan menyusui, serta
pasien yang mendapatkan obat dengan indeks terapi sempit(Yunita et al., 2004).

117
Farmasis mempunyai tanggung jawab untuk mengidentifikasi, mencegah
dan memecahkan Drug Related Problems (DRPs), walaupun hal tersebut tidak
selalu mudah dicapai. Faktor kepatuhan pasien ikut bertanggung jawab atas
kesembuhannya. Sebab itu farmasis juga harus dapat melakukan konseling,
edukasi dan informasi kepada pasien (Cipolle et al., 1998).
Masalah terkait obat dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas kualitas
hidup pasien serta berdampak juga terhadap ekonomi dan social pasien.
Pharmaceutical Care Network Europe mendefinisikan masalah terkait obat
(DRPs) adalah kejadian suatu kondisi terkait dengan terapi obat yang secara
nyata atau potensial mengganggu hasil klinis kesehatan yang diinginkan
(Pharmaceutical Care Network Europe., 2006).
13.6 Klasifikasi DRP (Drug Related Problem)
Pharmaceutical Care Network Europe (The PCNE Classification V5.01)
mengelompokkan masalah terkait obat sebagai berikut (Pharmaceutical Care
Network Europe., 2006) :
1. Reaksi obat yang tidak dikehendaki/ROTD (Adverse Drug Reaction/ADR)
Pasien mengalami reaksi obat yang tidak dikehendaki seperti efek samping
atau toksisitas.
2. Masalah pemilihan obat (Drug choice problem)
Masalah pemilihan obat di sini berarti pasien memperoleh atau akan
memperoleh obat yang salah (atau tidak memperoleh obat) untuk penyakit
dan kondisinya. Masalah pemilihan obat antara lain: obat diresepkan tapi
indikasi tidak jelas, bentuk sediaan tidak sesuai, kontraindikasi dengan obat
yang digunakan, obat tidak diresepkan untuk indikasi yang jelas.
3. Masalah pemberian dosis obat (Drug dosing problem)
Masalah pemberian dosis obat berarti pasien memperoleh dosis yang lebih
besar atau lebih kecil dar ipada yang dibutuhkannya.
4. Masalah pemberian/penggunaan obat (Drug use/administration problem)

118
Masalah pemberian/penggunaan obat berarti tidak memberikan/tidak
menggunakan obat sama sekali atau memberikan/menggunakan yang tidak
diresepkan.
5. Interaksi obat (Interaction)
Interaksi berarti terdapat interaksi obat-obat atau obat-makanan yang
bermanifestasi atau potensial.
6. Masalah lainnya (Others)
Masalah lainnya misalnya: pasien tidak puas dengan terapi, kesadaran yang
kurang mengenai kesehatan dan penyakit, keluhan yang tidak
jelas(memerlukan klarifikasi lebih lanjut), kegagalan terapi yang tidak
diketahui penyebabnya, perlu pemeriksaan laboratorium.
13.7 PERESEPAN OBAT YANG RASIONAL
Peresepan obat yang rasional sangat di dambakan berbagai pihak, baik
oleh dokter, apoteker, maupun pasien, sehingga diperoleh peresepan obat
yang efektif dan efisien (Mundariningsih, dkk., 2007). Salah satu indikator
keberhasilan peresepan obat rasional di rumah sakit antara lain persentase
penggunaan antibiotik, persentase penggunaan obat generik, dan persentase
penggunaan obat esensial (ketaatan penggunaan formularium) benar-benar
diterapkan sesuai aturan (Anonim, 2006).
Obat yang digunakan di rumah sakit umumnya adalah obat generik,
karena harga obat nama dagang lebih mahal antara 3-5 kali dari pada obat
generik. Penulisan resep di rumah sakit pemerintah selain mengacu pada
Formularium Rumah Sakit, juga mengacu pada Peraturan Menteri
Kesehatan nomor 085/Menkes/ Per/ I/ 1989 tentang kewajiban menuliskan
resep dan atau menggunakan obat generik di rumah sakit umum pemerintah
(Supardi, dkk., 2005)
13.8 PENGGUNAAN OBAT RASIONAL
Penggunaan obat rasional dalam pelayanan kesehatan di Indonesia
masih merupakan masalah. Penggunaan polifarmasi dimana seorang pasien

119
rata-rata mendapatkan 3,5 obat, lebih dari 50% menerima 4 atau lebih obat
untuk setiap lembar resepnya, penggunaan antibiotika yang berlebihan
( 43% ), waktu konsultasi yang singkat yang rata-rata berkisar hanya 3
menit saja serta miskinnya compliance pasien merupakan pola umum yang
terjadi pada penggunaan obat tidak rasional di Indonesia. Selain itu dari
penelitian lain didapatkan bahwa rata-rata jumlah obat untuk setiap kasus
pada anakanak di bawah 5 tahun yang terdiagnosa adalah 3,68 obat, pada
anak-anak lebih dari 5 tahun 3,58 obat, dimana satu dari 4 obat yang
dituliskan dalam resep adalah obat injeksi. Secara umum obat diberikan
untuk jangka waktu 3 hari termasuk juga antibiotika. Keadaan ini
menunjukkan bahwa antibiotika diberikan dengan dosis subterapeutika.
Penelitian lain menggambarkan betapa luasnya penggunaan obat yang
diresepkan secara tidak rasional termasuk penggunaan antibiotika yang
berlebihan di tingkat pelayanan kesehatan primer.Hal lain yang didapatkan
adalah 25-27% antibiotika yang diresepkan di rumah sakit pendidikan pada
negara-negara berkembang indikasinya tidak tepat, baik ditinjau dari
pemilihan antibiotika, dosis ataupun lamanya pemberian maupun dari
kombinasi antibiotika yang diberikanpun yang tidak sesuai.
Di negara berkembang, terapi dalam bentuk injeksipun dapat
merupakan salah satu contoh penggunaan obat yang tidak rasional. Suatu
penelitian menunjukkan bahwa pada beberapa negara, anak-anak pada usia
2 tahun telah menerima rata-rata 20 obat injeksi, dimana 5% merupakan
imunisasi dan sisanya 95 % merupakan injeksi yang diberikan dalam
kaitannya dengan terapi.5 Selain itu labih dari 50 % dari injeksi yang
diberikan tidaklah aman, dimana resiko penularan penyakit melalui darah
seperti HIV dan hepatitis B dan C menjadi meningkat.Hal ini menyebabkan
terjadinya ketidak efisienan dan tidak efektifnya anggaran untuk obat.
Indonesia mulai menerapkan konsep obat esensial pada tahun 1980 dan
konsep ini diimplementasikan pada sektor kesehatan masyarakat. Ke tidak

120
sesuaian, inefisiensi dan tidak efektifnya penggunaan obat banyak sekali
terjadi pada fasilitas kesehatan di negeara-negara berkembang.
Penggunaan obat tidak rasional yang sering terjadi sebagai akibat dari
tidak terpenuhinya resep yang diberikan oleh petugas kesehatan, pengobatan
sendiri yang menggunakan obat-obat yang harus menggunakan resep,
penggunaan yang berlebihan dan penggunaan antibiotika yang salah,
penggunaan obat injeksi yang berlebihan, penggunaan yang berlebih dari
obat-obatan yang relatif aman, penggunaan obat yang mahal dan tidak
terpenuhinya kebutuhan obat pada pasien tidak mampu. Obat esensial
diseleksi untuk memenuhi kebutuhan mayoritas penduduk untuk pelayanan
diagnostik, profilaktik, terapeutik dan rehabilitatif dengan menggunakan
kriteria risk-benefit ratio, cost effectiveness, kualitas, cara pemberian yang
praktis sesuai dengan keinginan, kebutuhan yang dapat diterima oleh pasien.
Banyak negara memiliki anggaran yang terbatas sehingga berdampak
pada terbatasnya alokasi dana yang diperuntukkan bagi sektor kesehatan
termasuk juga pengadaan obat.4 Oleh karena itu penting untuk melakukan
optimasi pengeluaran untuk pembelian obat melalui seleksi terhadap daftar
obat esensial dan melakukan promosi terhadap penggunaan obat rasional.
Optimasi dari penggunaan anggaran yang terbatas dan promosi penggunaan
obat rasional dilakukan untuk memperbaiki kualitas, meningkatkan akses
dan kewajaran dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Tantangan agar
petugas kesehatan dalam hal ini dokter untuk dapat memberikan resep yang
rasional tidak hanya pada keterbatasan pengetahuan saja karena hal tersebut
tidak cukup untuk mengubah perilaku. Program pelatihan haruslah disertai
dengan program lainnya antara lain supervisi, audit medik, dukungan
peraturan, insentif bagi yang menerapkan penggunaan obat yang rasional
serta pendidikan pada seluruh masyarakat.

121
\

BAB 14

122
PENGGUNAAN OBAT YANG
RASIONAL

14.1 Penggunaan Obat Yang Rasional (POR)


Penggunaan obat secara rasional (POR) atau rational use of medicine (RUM)
merupakan suatu kampanye yang disebarkan keseluruh dunia juga di Indonesia.
WHO menjelaskan bahwa definisi penggunaan obat yang rasional adalah
apabila pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam
dosis yang sesuai dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang sesuai dan
dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan masyarakat. Dengan
empat kata kunci yaitu kebutuhan klinis, dosis, waktu, dan biaya yang sesuai.
POR merupakan upaya intervensi untuk mencapai pengobatan yang efektif.
Penggunaan obat yang dapat dianalisa adalah penggunaan obat melalui
bantuan tenaga kesehatan maupun swamedikasi oleh pasien. Berikut ini kriteria
suatu obat dikatakan rasional menurut Peraturan Kementerian Kesehatan tahun
2011 adalah:
14.2 Tepat Diagnosis
Penggunaan obat harus berdasarkan penegakan diagnosis yang tepat.
Ketepatan diagnosis menjadi langkah awal dalam sebuah proses pngobatan
karena ketepatan pemilihan obat dan indikasi akan tergantung pada diagnosis
penyakit pasien. Contohnya pada pasien diare yang disebabkan amoebiasis
maka akan diberikan metronidazol. Jika dalam proses penegakan diagnosisnya,
penyebabnya bukan amoebiasis maka terapai tidak akan menggunakan
metronidazol.

123
Pada pengobatan oleh tenaga kesehatan, diagnosis merupakan wilayah kerja
dokter. Sedangkan pada swamedikasi oleh pasien, apoteker mempunyai peras
sebagai second opinion utnuk pasien yang telah memiliki soft diagnosis.

14.3 Tepat Indikasi


Pasien diberikan obat dengan indikasi yang benar sesuai diagnosa
dokter. Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya
diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya
dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.
14.4 Tepat Pemilihan Obat
Berdasarkan diagnosis yang tepat maka harus dilakukan pemilihan obat
yang tepat. Pemilihan obat yang tepat dapt ditimbang dari ketepatan kelas terapi
dan jenis obat yang sesuai dengan diagnosis. Selain ini, obat juga harus terbukti
manfaat dan keamanannya. Obat juga harus merupakan jenis yang paling
mudah didapatkan. Jenis obat yang digunakan pasien juga seharusnya
seminimal mungkin.
14.5 Tepat Dosis
Dosis obat digunakan harus sesuai range terapi obat tersebut. Obat
mempunyai karakteristik farmakodinamik maupun farmakokinetik yang
mempengaruhi kadar obat didalam darah dan efek terapi obat. Dosis juga harus
disesuaikan dengan kondisi pasien dasi segi usia, bobot badan, maupun kelainan
tertentu.

14.6 Tepat Pasien

Obat yang akan digunakan oleh pasien mempertimbangkan kondisi


individu yang bersangkutan. Riwayat alergi, adanya penyakit penyerta seperti
kelainan ginjal atau kerusakan hati, serta kondisi khusus misalnya, hamil,
laktasi, balita, dan lansia harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat

124
14.7 Tepat Cara dan Lama Pemberian
Cara pemberian yang tepat harus mempertimbangkan keamanan dan
kondisi pasien. Hal ini juga berpengaruh pada bentuk sediaan dan saat
pemberian obat. Misalnya pasien anak yang tidak mampu menelan tablet
paracetamol dapt diganti dengan sirup.
Lama pemberian meliputi frekuensi dan lama pembarian yang harus
sesuai karakteristik obat dan penyakit. Frekuensi pemberian akan berkaitan
dengan kadar obat dalam darah yang menghasilkan efek terapi. Contohnya
penggunaan antibiotik amoksisilin 500 mg dalam penggunaannya diberikan
tiga kali sehari selama tiga-5 hari akan membunuh bakteri patogen yang ada.
Agar terapi berhasil dan tidak terjadi resistensi maka frekuensi dan lama
pemberian harus tepat.
14.8 Tepat Harga
Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas atau untuk keadaan yang
sama sekali tidak memerlukan terapi obat merupakan pemborosan dan sangat
membebani pasien, termasuk peresepan obat yang mahal.
14.9 Tepat Informasi
Kejelasan informasi tentang obat yang harus diminum atau digunakan
pasien akan sangat mempengaruhi ketaatan pasien dan keberhasilan
pengobatan. Misalnya pada peresepan rifampisin harus diberi informasi bahwa
urine dapat berubah menjadi berwarna merah sehingga pasien tidak akan
berhenti minum obat walaupun urine nya berwarna merah.
14.10 Waspada Terhadap Efek Samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak
diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu
muka merah setelah pemberian atropin bukanalergi, tetapi efek samping
sehubungan vasodilatasi pembuluhdarah di wajah. Pemberian tetrasiklin tidak
boleh dilakukan pada anak kurangdari 12 tahun, karena menimbulkan
kelainan pada gigi dan tulang yang sedang tumbuh.

125
14.11 Tepat Tindak Lanjut (Follow-Up)
Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan
upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau
mengalami efek samping. Sebagai contoh, terapi dengan teofilin sering
memberikan gejala takikardi. Jika hal ini terjadi, maka dosis obat perlu
ditinjau ulang atau bisa saja obatnya diganti. Demikian pula dalam
penatalaksanaan syok anafi laksis, pemberian injeksi adrenalin yang kedua
perlu segera dilakukan, jika pada pemberian pertama respons sirkulasi
kardiovaskuler belum seperti yangdiharapkan.
14.12 Tepat Penyerahan Obat (dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah
obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Proses penyiapan dan penyerahan
harus dilakukan secara tepat, agar pasien mendapatkan obat sebagaimana
harusnya.

14.13 Penggunaan Obat Yang Tidak Rasional

Ciri-ciri Penggunaan Obat yang Tidak Rasional dapat dikategorikan sebagai


berikut:
a. Peresepan berlebih (overprescribing)
Yaitu jika memberikan obat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk
penyakit yang bersangkutan.Contoh:
1) Pemberian antibiotik pada ISPA non pneumonia (umumnya disebabkan
oleh virus)
2) Pemberian obat dengan dosis yang lebih besar dari pada yang dianjurkan.

126
3) Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan
penyakit tersebut.
4) Pemberian obat berlebihan memberi resiko lebih besar untuk timbulnya
efek yang tidak diinginkan seperti:
a) Interaksi
b) Efek Samping
c) Intoksikasi
b. Peresepan kurang (underprescribing)
Yaitu jika pemberian obat kurang dari yang seharusnya diperlukan,
baik dalam hal dosis, jumlah maupun lama pemberian. Tidak diresepkannya
obat yang diperlukan untuk penyakit yang diderita juga termasuk dalam
kategori ini. Contoh :
1) Pemberian antibiotik selama 3 hari untuk ISPA pneumonia.
2) Tidak memberikan oralit pada anak yang jelas menderita diare.
3) Tidak memberikan tablet Zn selama 10 hari pada balita yang diare.
c. Peresepan majemuk (multiple prescribing)
Yaitu jika memberikan beberapa obat untuk satu indikasi penyakit
yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari satu obat
untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat.
Contoh: Pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek berisi:
1) Amoksisilin
2) Parasetamol
3) Gliseril guaiakolat
4) Deksametason
5) CTM
6) Dan Luminal.
d. Peresepan salah (incorrect prescribing)
Mencakup pemberian obat untuk indikasi yang keliru, untuk kondisi
yang sebenarnya merupakan kontraindikasi pemberian obat, memberikan

127
kemungkinan resiko efek samping yang lebih besar, pemberian informasi
yang keliru mengenai obat yangdiberikan kepada pasien, dan sebagainya.

Contoh :

1) Pemberian antibiotik golongan kuinolon (misalnya siprofl oksasin & ofl


oksasin) untuk anak.
2) Meresepkan asam mefenamat untuk demam.bukannya parasetamol yang
lebih aman.
14.14 Upaya peningkatan obat yang rasional
a. Standard Operating Procedure (SOP) di unit Pelayanan Kesehatan
1) Anamnesis
2) Pemeriksaan
3) Penegakan Diagnosis
4) Pemilihan Intervensi Pengobatan
5) Penulisan Resep
6) Pemberian Informasi
7) Tindak Lanjut Pengobatan
b. Penggunaan Obat Yang Rasional Memenuhi kriteria :
1) Sesuai dengan Indikasi penyakit
2) Diberikan dengan dosis yang tepat
3) Interval waktu pemberian yang tepat
4) Lama Pemberian yang tepat
5) Obat yang diberikan harus efektif, dengan mutu terjamin, murah dan
aman.
c. Tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau haruslah mencakup:
1) Tepat Diagnosis

128
Contoh : Penyakit diare disertai lendir, darah serta gejala tenesmus
diagnosis amoehiasis → R / metronidazol
2) Tepat Indikasi
Contoh → Infeksi Bakteri → antibiotic
Misal : Pada infeksi saluran nafas, adanya Sputummucapuralen atau banyi
kurang dari 2 bulan, dengankecepatan respirasi > 60 x/menit.
3) Tepat Pemilihan Obat
Contoh : Demam untuk kasus Infeksi dan inflamasi →Parasetamol
(paling aman) , Sedangkan Asam mefenamat dan ibuprofen (anti
inflamasi non steroid)→demam yang terjadi akibat proses peradangan /
inflamasi
4) Tepat dosis, cara dan lama pemberian → pemberian dosis >>> untuk obat
yang bersifat narrow therapeuric margin (rentang terapi yang sempit (mis
: teofilin, digitalis, minoklosida) → berisiko timbulnya efek samping.
Sebaliknya dosis terlalu kecil tidak menjamin terapi yang diinginkan.
5) Kepatuhan pasien
d. Upaya meningkatkan Penggunaan Obat Yang Rasional dikelompokkan dalam
beberapa hal:
1) Upaya pendidikan (educational strategies)
2) Pendidikan selama masa kuliah (pre-service)
3) Sesudah menjalankan prkatek kepropesian (past-service)
4) Pendidikan past-service antara lain :
a. Pendidikan berkelanjutan (contining-medical education)
b. Informasi pengobatan (academic based detailing)
c. Seminar-seminar, buletin dan lain-lain
d. Sarana pendidikan yang dapat digunakan untuk intervensi seperti :
1. Materi cetak buletin, pedoman pengobatan
2. Pendidikan tatap muka (face to face education) : kuliah penyegaran,
seminar.

129
3. Media lain : televise, video dan lain-lain.
e. Informasi / sumber-sumber informasi
Upaya informasi antara lain:
1) Intervensi informasi bagi dokter. Informasi ilmiah → menunjang praktek
keprofesian bebas dari pengaruh promosi industry farmasi. –
2) Intervensi apoteker → mengenai obat
3) Intervensi informasi bagi pasien / masyarakat → mentaati upaya
pengobatan
Informasi yang disampaikan ke pasien antara lain :
1) Penyakit yang diderita
2) Jenis dan peran obat yang diberikan dalam proses penyembuhan.
3) Informasi mengenai cara, frekuensi, lama pemberian obat.
4) Kemungkinan resiko efek samping.
5) Cara penanggulangan efek samping.
6) Apa yang harus dilakukan, jika dalam periode tertentu belum memberikan
hasil yang diharapkan.
Informasi yang harus dilakukan, selain pengobatan yang diberikanseperti :
banyak minum bagi penderita demam, istirahat dan makan minum secukupnya
→ common cold.
Jangan memberikan injeksi bila :
1) Tanpa indikasi yang jelas
2) Tidak dapat menyediakan satu jarum untuk satu pasien
3) Tidak dapat menyediakan adrenalin dan cartison di samping obatsuntik
yang ada.
4) Tidak mengetahui cara penangaaanan syok anafilaksis.
f. Pedoman Pengobatan
1) Yaitu suatu perangkat ilmiah yang dapat digunakan sebagaipedoman
dalam melakukan pengobatan. Pedoman pengobatan hanyamemuat

130
pilihan utama dan alternatif yang telah terbukti memberikanmamfaat yang
maksimal bagi pasien dengan risiko yang minimal.
2) Pedoman pengobatan sangat diperlukan sebagai salah satu
pegangandalam pengambilan keputusan terapetika, karena
pedomanpengobatan pada dasarnya menganjurkan pilihan terapi utama
danaltrnartif yang sudah terbukti kemanfaatan (efficacy) dan
keamanannya (safety) untuk masing-masing kondisi penyakit
3) Dengan menggunakan pedoman pengobatan maka :
a) Pasien hanya akan menerima pilihan obat yang baik
(palingbermanfaat, aman, ekonomik dan rasional serta tersedia
setiapsaat diperlukan).
b) Pelaksanaan pengobatan mencerminkan standard keprofesianyang
tinggi.
c) Kesediaan setiap obat lebih terjamin.
d) Pelaksanaan program pengobatan lebih efisien.
e) Secara formal memberi pengamanan hukum bagi dokter.
g. Pemantauan dan Evaluasi Penggunaan Obat Yang Rasional
1) Tujuan Pemantauan Penggunaan Obat yang RasionalUntuk menilai
apakah kenyataan praktek penggunaan obatyang dilakukan telah sesuai
dengan pedoman yang disepakatiM
2) Manfaat Pemantauan :
a) Dengan pemantauan ini dapat dideteksi adanya
kemungkinanpemakaian obat yang berlebih (over prescribing),
kurang(under prescribing), boros (extravagant prescribing),
maupuntidak tepat incorrect prescribing).
b) Perencanaan obat.
3) Cara Melakukan Pemantauan Penggunaan Obat
Secara langsung → anamnesis → sampai penyerahan obat.
4) Apa yang Dipantau

131
a) Kecocokan antara gejala/tanda-tanda (symstoms/sings),diagnosis
dan pengobatan yang diberikan • Kesesuaian pengobatan yang
diberikan dengan pengobatan yang ada
b) Pemakaian obat tanpa indikasi yang jelas (antibiotic untuk ISPA
non peneumonia)
c) Praktek polyfarmasi
d) Ketepatan indikasi
e) Ketepatan jenis, jumlah, cara dan lama pemberian.
h. Monitoring dan Evaluasia.
Empat parameter utama yang akan dinilai dalam monitoring dan
evaluasi penggunaan obat yang rasional adalah :
1) Penggunaan standar pengobatan
2) Proses pengobatan (Penerapan SOP)
3) Ketepatan diasnostik
4) Ketepatan pemilihan intervensi pengobatan
Keempat parameter tersebut dijabarkan dalam indicator penggunaan obat :
1) Rata-rata jenis obat per kasus
2) Presentase penggunaan obat antibiotic
3) Presentase penggunaan injeksi.

132
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi Di Rumah
Sakit. Kemenkes RI : Jakarta

Anonim. 2006. Keputusan Direktur Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan
No. Hk. 00. Dj. Ii. 924 tentang Pembentukan Tim Penyusun Pedoman
Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas. DepKes RI: Jakarta

Anonim. 2006. Pedoman Pelayanan Informasi Obat Di Rumah Sakit. Dirjen


Pelayanan Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Depkes RI: Jakarta

Aditma, T.Y.(2010) manajemen administrasi rumah sakit. Edisi kedua.jakarta : UL


press

Afrika.(2019) . manajemen rumah sakit. Jakarta UL

Aditama, T. Y. 2006. Manajemen Administrasi RumahSakit. Jakarta: UI


Press.335 hal.

Agnes, W. P. 2016. Prediksi Kebutuhan Tempat Tidur Per Bangsal Menurut Standar
Efisiensi Barber Johnson Di Rumah Sakit Permata Bunda Purwodadi Tahun
2016-2020.[Skripsi]. Semarang. Fakultas Kesehatan. 86 hal.

Azwar, A. 1996. Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan Aplikasi Prinsip Lingkaran


Pemecahan Masalah. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 194 hal.

133
Adikoesoemo, Manajemen rumah sakit Jakarta : pustaka Sinar Harapan, 2003

Abdul Kadir, Pengenalan Sistem Informasi, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2003

Andri Kristanto, Perancangan Sistem Informasi dan Aplikasinya, Penerbit Gava


Media,

Anjarwati R. Evaluasi Kesesuaian Pengelolaan Obat pada Puskesmas dengan Standar


Pengelolaan yang ada di Puskesmas dengan Standar Pengelolaan Obat yang
ada di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2009, [Skripsi]; 2010.

Aslam, M., Tan, C.K.,Prayitno, A.,2003, Farmasi Klinis(Clinical Pharmacy) : Menuju


Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pasien, 321,PT. ElexMedia
Komputindo, kelompok Gramedia, Jakarta.

Badan POM RI., 2008, Information Obat Nasional Indonesia, Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta.

Depkes RI. (1999). Keputusan MenKes RI Nomor 1333/MENKES/SK/XII/1999 tentang


Standar Pelayanan Rumah Sakit.

Depkes RI. (2009). UU RI No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Jakarta: Depkes
RI.

Depkes RI., 2000, Informasi Obat Nasional Indonesia, Departemen Kesehatan


Republik Indonesia, Jakarta.

Depkes RI., 2006, Modul Pelatihan Penggunaan Obat Rasional, hal 23 – 46,
Departemen kesehatan RI, Jakarta.

Danim, S. 2003. Riset Keperawatan :Sejarah dan Metodologi. Jakarta : Buku

Kedokteran EGC. 297 hal.

134
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2001. Standar Manajemen Pelayanan

Keperawatan dan Kebidanan Di Sarana Kesehatan Cetakan ke-1. Jakarta. 21

hal.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002. Standar tenaga keperawatan di

rumah sakit. Jakarta: Direktorat Pelayanan Keperawatan Direktorat Jenderal

Pelayanan Medik.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pelayanan


Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2002. Pedoman Teknis Pengadaan Obat
Publik dan Perbekalan Kesehatan Untuk Pelayanan Kesehatan Dasar
(PKD), Jakarta.

Effendi, U. 2014. Asas Manajemen. Jakarta : Rajawali Pers. 251 hal.

Ernawati, 2010. Hubungan Tugas dan Fungsi (Tupoksi) Kepala Seksi dan Komite

Keperawatan dengan Efektivitas Pelayanan Keperawatan di RSUD Dr.

Soedarso Pontianak. [Tesis]. Jakarta. Fakultas Ilmu Keperawatan.

Universitas Indonesia.97 hal.

Greef, Judith A., komunikasi kesehatan dan perubahan perilaku. Djokjakarta: Gadjah

Herlambang & murwani (2016), cara mudah memahami manajemen kesehatan dan
rumah sakit. Jogjakarta

Hassan WE. 1986. Hospital Pharmacy, 5th editon, Lea dan Febger Philadelphina.

135
Hartono JP. Analisis Proses Perencanaan Kebutuhan Obat Publik Untuk Pelayanan

Kesehatan Dasar (PKD) di Puskesmas Se Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota

Tasikmalaya. FKM Undip. 2007.

Iwan Dwiprahasto, Penggunaan obat yang tidak rasional dan implikasinya dalam
sistem pelayanan kesehatan, Bagian Farmakologi & Terapi/Clinical Epidemiology &
Biostatistics Unit FK-UGM/RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta

Jogiyanto H.M., Akt., Ph.D., Analisis Analisis dan Desain Sistem Informasi,

Penerbit Andi, Yogyakarta, 2005.

Juliantini, e. Dan Widayanti, s. 1996. Pelayanan Informasi Obat Rumah Sakit Umum
Daerah dr.Soetomo. Prosiding Kongres Ilmiah XI ISFI: Jawa Tengah.

Kemenkes. Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah
Sakit.Jakarta, Kemenkes.2016.p23-24.

Kemenkes. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 tahun 2014


tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
Jakarta,Kemenkes.2016.p23-24

Kementerian Kesehatan RI. 2009. Undang-Undang Kesehatan Nomor 36, Jakarta.

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar


Pelayanan Rumah Sakit.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1197/Menkes/SK/X/2004


TentangStandar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit

Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/Menkes/SK/X/2002, Keputusan Menteri

136
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1197/menkes/sk/x/2004
Tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.

Keputusan direktur jenderal bina kefarmasian dan alat kesehatan tahun 2014, tentang
pedoman penerapan formularium nasional

Kast Freemont E. Rosenweig James E. (penerjemah Hasymi Ali). Organisasi dan

Manajemen. 4rd ed. Bumi Aksara. Jakarta 2004 : 685-728.

Manggala gatot. (2012) smart nusing : pengorganisasian rumah sakit

Muhammad, (2013). Hubungan kepemimpinan kepala ruang meneurut presepsi


pelaksaan diruang instalasi rawat inap

Notoatmojo, Soekidjo, Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta, 1997

Nst MNR. Analisis Perencanaan Obat di Puskesmas Padang Tinggi Padang


Sidempuan Tahun 2015. FKM USU. 2015.

Muninjaya, Gde AA, Manajemen Kesehatan,ed.2. Jakarta : EGC, 2004

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014 tentang


Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.

Peraturan menteri kesehatan RI nomor 28 tahun 2014, tentang pedoman pelaksanaan


program jaminan kesehatan nasional

Peraturan menteri kesehatan RI, no 72 tahun 2016, tentang standar pelayanan


kefarmasian di rumah sakit

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2014 tentang


Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.

137
Siregar, C.J.P., dan Amalia, L., Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan. Jakarta:
Penerbitan Buku Kedokteran EGC, 2004

Siregar., C., JP. dan Endang., S., 2006, Farmasi Klinik Teori dan Penerapan, hal: 91-
94, Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.

Sneha Ambwani,Dr, A K Mathur ,Dr, Rational Drug Use, Health Administrator Vol :
XIX Number 1: 5-7

Sarlin Djuna d. Djuna S, dkk. Studi Manajemen Pengelolaan Obat di Puskesmas

Labakkang Kabupaten Pangkep. FKM Universitas Hassanudin. 2013.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Witarto, Memahami Sistem Informasi, Penerbit Informatika, 2004.

138
139
140
141
142
143

Anda mungkin juga menyukai