Anda di halaman 1dari 12

TUGAS RINGKASAN MATERI HUKUM AGRARIA

“HUKUM AGRARIA NASIONAL”

DISUSUN OLEH :

NAMA : GUNTUR EKA WIGUNA

NIM : D1A020197

DOSEN PEMBIMBING : PROF. DR. H. ARBA,SH.,M.HUM

PROGRAM SARJANA ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MATARAM

2021
A. SEJARAH PENYUSUNAN UUPA
Sejak Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus Tahun 1945,
kemudian disusul dengan lahirnya UUD NRI Tahun 1945 tanggal 18 Agustus 1945
memberikan landasan bagi pemerintah untuk membentuk hukum agraria nasional yang dalam
Pasal 33 avat (3) yang menentukan: bumi, dan udara, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".
Atas dasar ketentuan ini, maka pemerintah Indonesia berusaha menjalankan aturan hukum
agraria nasional yang berdasarkan pada hukum asli bangsa Indonesia, yaitu Hukum Adat.
Dalam rngka pembentukan hukum agraria nasional ini, pemerintah panitia khusus yang
mengkaji dan membentuk hukum agraria nasional Adapun panitia-panitia tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Panitia Agraria Yogya
Panitia ini dibentuk dengan Penetapan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21
Mei 1948 Nomor 16, yang diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo (Kepala Bagian
Agraria Kementerian Dalam Neo yang berkedudukan di Yogyakarta, Panitia ini
beranggotakan:
Pejabat-pejabat dari berbagai Kementerian dan Jawatan, Anggota-anggota Badan
Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang mewakili organisasi-
organisasi tani dan daerah, Ahli-ahli hukum adat dan Wakil dari Serikat Buruh
Perkebunan
Panitia ini bertugas: Memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal
mengenai hukum tanah pada umumnya, merancang dasar-dasar tanah yang memuat
politik agraria negara Republik Indonesia, Merancang perubahan, tindakan, peraturan
lama, baik dari sudut legislatif maupun dari sudut praktik, dan Mengusulkan soal-soal
lain yang berhubungan dengan tanah Panitia ini mengusulkan beberapa pokok yang
merupakan dasar hukum agraria yang baru, yaitu:
a) Diadakan penyelidikan dahulu dalam peraturan-peraturan meniadakan asas
domein dan pengakuan hak ulayat;
b) Diadakannya peraturan yang memungkinkan adanya hak perorangan yang
kuat, yaitu hak milik yang dapat dibebani hak tanggungan;
c) Diadakan penyelidikan dahulu dalam peraturan-peraturan negara-negara lain,
terutama negara-negara tetangga;
d) Perlunya diadakan penetapan luas minimum tanah untuk meng- hindarkan
pauperisme petani kecil dan memberi tanah yang cukup untuk hidup yang
patut, sekalipun sederhana;
e) Perlunya ada penetapan luas maksimum;
f) Menganjurkan untuk menerima skema hak-hak atas tanah yang diusulkan oleh
Sarimin Reksodihardjo;
g) Perlunya diadakan registrasi tanah milik dan hak-hak menumpang yang
penting.
2. Panitia Agraria Jakarta
Panitia ini dibentuk pada tahun 1951 dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia
tanggal 19 Maret 1951 Nomor 36. Panitia ini diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo
dengan wakil ketua Sajarwo. Kemudian pada tahun 1953 jabatan ketua diganti oleh
Singgih Praptodiharjo. Tugas panitia ini sama dengan panitia sebelumnya. Panitia ini
merancang dan mengusulkan bahwa pada dasarnya tanah pertanian hanya
diperuntukkan petani dengan berbagai pembatasan sebagai berikut:
a) Pembatasan minimum pemilikan tanah pertanian minimal 2 hektar. Dengan
hukum adat seperti masalah hukum waris;
b) Penentuan batas maksimum pemilikan tanah seluas 25 hektar untuk satu
keluarga.
c) Untuk pertanian kecil diterima bangunan-bangunan hukum: hak milik, hak
usaha, hak sewa dan hak pakai.
d) Hak ulayat disetujui untuk diatur oleh atau atas kuasa undang- undang sesuai
dengan pokok-nokok negara.
3. Panitia Soewahjo
Pada tanggal 29 Maret 1955 dibentuk Kementerian Agraria Keputusan Presiden
Nomor 55 Tahun 1955. Pembentukan Kementerian Agraria ini dilakukan untuk
khusus menangani, mempercepat dan memperlancar pengurusan agraria dan
menyelesaikan persoalan-persoalan agraria yang muncul. Kementerian Agraria ini
bertugas mempersiapkan Undang-Undang Agraria Nasional. Namun karena Panitia
Agraria Jakarta tidak mampu menyelesaikan tugasnya untuk membuat rancangan 50
Hukum Agraria Indonesia dalam waktu yang singkat, panitia agraria dibubarkan,
Selanjutnya Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Nomor 1 Tahun
1956, tertanggal 14 Januari 1956 dengan merubah namanya kepanitiaan menjadi
"Panitia Negara Urusan Agraria" yang diketuai oleh Soewajyo Soemodilogo.
Anggota-anggotanya terdiri dari para pejabat dari berbagai Kementerian, seperti dari
Jawatan, Ahli Hukum, dan wakil organisasi tani. Tugas utama dari panitia ini adalah
mempersiapkan rencana Undang-Undang Pokok Agraria Nasional dan sedapat
mungkin selesai dalam waktu satu tahun.
Pokok-pokok penting isi Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria yang
dirumuskan oleh panitia ini adalah sebagai berikut:
a) Dihapuskan asas domein;
b) Asas domein verklaring diganti dengan hak kekuasaan negara atas dasar
ketentuan pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Dasar Sementara;
c) Dualisme hukum agraria dihapuskan;
d) Menentukan hak-hak atas tanah dan hak milik sebagai hak yang terkuat dan
berfungsi sosial;
e) Hak milik hanya boleh dipunyai oleh warganegara Indonesia;
f) Perlu diadakan penetapan maksimum dan minimum luas tanah yang boleh
menjadi milik seseorang atau badan hukum;
g) Tanah pertanian pada asasnya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh
pemiliknya;
h) Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah.
4. Rancangan Soenarjo
Rancangan ini merupakan perubahan dan penyempurnaan rancangan «Panitia
Soewahju», selanjutnya diajukan oleh Menteri Agraria kepada Dewan Menteri dalam
sidangnya ke 94 pada tanggal 1 April 1958 dan kemudian diajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat dengan Amanat Presiden tanggal 24 April 1958 no. 1307/HK.
Naskah rancangan dan memori penjelasannya dimúat dalam Majalah Agraria.
Rancangan inipun dalam sidang pleno ditunda, dan akhirnya ditarik kembali oleh
Kabinet.
5. Rancangan Sadjarwo
Dengan berlakunya kembali UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
maka Rancangan Soenarjo yang masih memakai UUDS ditarik kembali dengan surat
Pejabat Presiden tanggal 23 Mei 1960 no. 1532/HK/1960. Setelah disesuaikan dengan
UUD 1945 dan Manifesto politik Republik Indonesia dalam bentuk yang lebih
sempurna dan lengkap. maka diajukanlah Rancangan UUPA yang baru oleh Menteri
Agraria Soedjarwo. Dengan Amanat Presiden tanggal 1 Agustus 52 Hukum Agraria
Indonesia 1960 no. 2584/HK/60. Rancangan tersebut diajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong. Rancangan Soedjarwo dengan tegas
menggunakan Hukum Adat sebagai dasarnya. Kerangka dasar UUPA yang dibahas
oleh DPR-GR terdapat dalam pasal 1 ayat (2) dan pasal 2 ayat (1) dan pelaksanaan
hak menguasai negara.
Berdasarkan hak menguasai dari negara tersebut, dan dalam rangka Sosialisme
Indonesia, maka:
a) Negara berwenang untuk mengatur dan membuat rencana umum mengenai
penyediaan, peruntukan, penggunaan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya (Pasal 14 ayat (1));
b) Negara memberikan hak atas tanah kepada orang dan badan hukum dalam
bentuk dan jenis hak sebagai berikut (Pasal 4 dan Pasal 16);
c) Untuk Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah Hak Milik, Tanah
Hak Guna Usaha, Tanah Hak Guna Bangunan, dan Tanah Hak Pakai.
Pada tanggal 24 September 1960 rancangan UUPA ini disahkan oleh Presiden
Soekarno sebagai Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria yang dikenal dengan UUPA. UUPA bersifat nasional.
Kenasionalannya dapat dilihat dari sifatnya, yaitu sifat formal dan sifat materil.
Hukum Agraria Nasional merupakan reformasi dari hukum agrarian sebeliumnya.
Agrarian Reform meliputi: pembaruan hukum agraria, penghapusan hak-hak asing
dan konsensi-konsensi kolonial atas tanah, mengakhiri penghisapan feudal secara
berangsur-angsur, dll.
Program keempat diatas dikatakan sebagai Landreform dalam arti sempit.
B. HUKUM AGRARIA NASIONAL
1) Dasar Pembentukan Hukum Agraria Nasional
Hukum agraria nasional yang dikenal dengan UUPA dibentuk berdasarkan
ketentuan Pasal 33 avat (3) UUD 1945. Ketentuan tersebut dimaksudkan
dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana
diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945 Alinea ke IV yaitu negara
memajukan kesejahteraan umum. Untuk mewujudkan cita-cita dan kehendak
tersebut maka pemerintah negara Indonesia membentuk Undang- Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, pada
tanggal 24 september 1960.
2) Tujuan Pembentukan Hukum Agraria Nasional
Hukum agraria lama yang mengatur masalah bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam dalam wilayah negara Indonesia, dan lebih khusus mengatur
masalah tanah selama ini adalah hukum tanah barat bagi penduduk yang
tunduk kepada hukum Eropa dan hukum Adat bagi kaum bumi putra tidak
memberikan jaminan kepastian hukum dan hak bagi kaum Bumi Putera, untuk
itu maka pemerintah Indonesia melakukan kodifikasi unifikasi Hukum Agraria
yang berlaku di Indonesia dengan membentuk UUPA.
3) Sifat Kenasionalan Hukum Agraria
UUPA dikatakan hukum agraria nasional karena memenuhi dua syarat utama
yaitu:
a) syarat formal, yaitu dilihat dari aspek pembentukannya, bab UUPA
dibentuk oleh Presiden atas persetujuan DPR;
b) syarat materiil (dilihat dari isinya):
1. UUPA merupakan penjelmaan sila-sila Pancasila,yaitu sebagai
berikut.
a. Sila ke I tercermin dari Pasal 1 ayat (2).
b. Sila ke II tercermin dari Pasal 2 ayat (3), Pasal 4 ayat (1)
dan Pasal 6.
c. Sila ke III tercermin dalam Ketentuan Pasal 9 ayat (1).
d. Sila ke IV dan ke V tercermin dalam Ketentuan Pasal 9 ayat
(2).
2. UUPA sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat hukum Adat
yang menjadi dasar pembentukannya;
3. Tujuan yang terkandung dalam UUPA sesuai dengan tujuan
Bangsa Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea ke IV.
4) Dasar-Dasar Kenasionalan Hukum Agraria (UUPA)
Hukum Agraria (UUPA) adalah hukum nasional, dan dasar kenasionalan
hukum agraria tersebut tercermin dalam ketentuan-ketentuan pada Pasal
berikut:
a) Pasal 1 ayat (2);
b) Pasal 1 ayat (2);
c) Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (1);
d) Pasal 3;
e) Pasal 6;
f) Pasal 9 ayat (2).
5) Dasar-Dasar Kesatuan dan Kesederhanaan Hukum Agraria Nasional
Dalam Penjelasan Umum UUPA angka III dijelaskan bahwa hukum agraria
yang berlaku sebelum UUPA adalah bersifat "dualisme sehingga terjadi
perbedaan hak-hak atas tanah menurut hukum Adat dan hak- hak atas tanah
menurut hukum Barat yang berpokok pangkal pada ketentuan Buku II KUH
Perdata, UUPA secara sadar menghilangkan dualisme dan hendak
mengadakan kesatuan hukum sesuai dengan keinginan rakyat sebagai bangsa
yang satu dengan kepentingan perekonomian. Oleh karena rakyat Indonesia
tunduk kepada hukum Adat, maka hukum agraria yang baru akan didasarkan
pada ketentuan-ketentuan hukum adat sebagai hukum asli bangsa Indonesia.
Kepentingan masyarakat perkotaan dan kepen- tingan masyarakat pedesaan
juga diperhatikan dengan mengutamakan kepentingan golongan rakyat yang
ekonomi lemah.
6) Dasar-Dasar Kepastian Hukum dalam Hukum Agraria Nasional
Hukum agraria sebelum berlakunya UUPA tidak memberikan jaminan
kepastian hukum dan hak bagi Bangsa Indonesia yang berdasarkan hukum
Adat atas tanah. Oleh karena itu, dengan lahirnya hukum agraria nasional
memberikan jaminan kepastian hukum dan hak bagi Bangsa Indonesia.
Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat pada kepentingan serta
keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial dan ekonomi, dan
kemungkinan-kemungkinan dalam bidang personil dan peralatannya. Dengan
demikian penyelenggaraannya akan didahulukan di kota-kota kemudian
merambat ke seluruh wile Negara Indonesia. Pendaftaran tanah Rechts
Cadaster ini dalam upaya memberikan kepastian hukum. Kepastian hukum
dimaksud adalah meliputi kepastian hak atas tanahnya, kepastian subjek
haknya, kepastian objek haknya, dan kepastian hukum yang berlaku terhadap
hak atas tanah tersebut.
C. PERANAN HUKUM TANAH ADAT DALAM PEMBENTUKAN UUPA
Bangsa Indonesia menghendaki bahwa hukum agraria yang baru bersifat nasional,
yaitu hukum agraria yang berdasarkan nilai-nilai dasar bangsa Indonesia yang
tercermin di dalam sila-sila Pancasila yang bersumber dari nilai-nilai dasar yang
tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat asli bangsa Indonesia, yaitu
hukum adat. Oleh karena itu hukum adat mempunyai peranan penting dalam
pembentukan UUPA.
1. Hukum Adat sebagai Dasar Hukum Tanah Nasional
Tujuan terbentuk UUPA adalah menghapuskan adanya dualisme dan pluralisme
hukum agraria di Indonesia. UUPA merupakan hukum agraria nasional yang
didasarkan pada hukum adat sebagai hukum asli bangsa Indonesia. Pernyataan
bahwa hukum Adat dijadikan dasar pembaruan dan pembangunan Hukum Tanah
nasional terdapat di dalam Konsiderans UUPA sebagai berikut: Pernyataan yang
serupa juga terlihat dalam UUPA sebagai berikut: Penjelasan Umum angka III (1),
Pasal 5, Penjelasan Pasal 5, Penjelasan Pasal 16, Pasal 56 dan secara tidak
langsung juga dalam, Pasal 58.
2. Hubungan Antara Hukum Adat dengan Hukum Tanah Nasional
Dalam Konsiderans dinyatakan bahwa “perlu adanya hukum agraria nasional yang
berdasarkan atas hukum adat tentang tanah”. Dan selama peraturan-peraturan
tersebut belum ada, maka norma-norma Hukum Adat bersangkutan tetap berlaku
penuh. Pernyataan UUPA, bahwa Hukum Tanah Nasional kita ialah Hukum Adat,
menunjukan adanya hubungan fungsional antara Hukum Adat dengan Hukum
Tanah Nasional.
3. Hukum Adat sebagai Sumber Utama dalam Pembangunan Hukum Tanah
Nasional
Dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional, hukum Adat merupakan «sumber
utama» untuk memperoleh bahan-bahannya berupa konsepsi, asas-asas dan
lembaga-lembaga hukumnya, untuk dirumuskan menjadi norma-norma hukum
yang tertulis, yang disusun menurut sistim Hukum Adat. UUPA merupakan
hasilnya yang pertama.
Konsepsi yang mendasari Hukum Tanah Nasional adalah konsep- sinya Hukum
Adat, yaitu: komunalistik religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara
individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus
mengandung unsur kebersamaan. Sifat komunalistik religius dari konsepsi Hukum
Tanah Nasional ditunjukkan oleh Pasal 1 ayat yang menyatakan bahwa:"Seluruh
bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai Karunia Tuhan Yanh Maha
Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional. Dalam Hukum Tanah Adat mengenal adanya Tanah Ulayat
yang merupkan hak bersama dari para warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan. Dalam Hukum Tanah Nasional semua tanah dalam wilayah Negara
kita adalah tanah bersama rakyat Indonesia yang telah bersatu menjadi Bangsa
Indonesia.
4. Asas-Asas Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional
Asas-Asas Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional antara lain:
a) Asas religiusitas (Pasal 1 ayat (2));
b) Asas kebangsaan (Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 2 ayat (3));
c) Asas demokrasi (Pasal 9 ayat (2));
d) Asas kemasyarakatan, pemerataan dan keadilan sosial (6,7,10 ayat (1), 11,
dan 13);
e) Asas penggunaan dan pemeliharaan tanah secara berencana (pasal 14 dan
15);
f) Asas pemisahan horizontal tanah dengan bangunan dan tanaman yang ada
di atasnya.
5. Lembaga-Lembaga Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional
Lembaga-lembaga hukum yang dikenal dalam Hukum Adat umumnya adalah
lembaga-lembaga yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang
masih sederhana. Penyempurnaan dan penyesuaian tersebut tidak mengubah
hakikat serta tanpa menghilangkan sifat dan ciri kepribadian Indonesia lembaga-
lembaga hukum tersebut. Kemungkinannya, bahkan keharusannya dalam
Konsiderans/Ber pendapat dan Penjelasan Umum angka III dengan kata-kata:
disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dan negara yang
modern dan dalam hubungan dengan dunia Internasional.
Salah satu contoh lembaga hukum yang disesuaikan adalah lembaga jual beli
tanah mengalami modernisasi dan penyesuaian tanpa mengubah hakikat sebagai
perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran harga secara
tunai, serta sifat dan cirinya sebagai perbuatan riil dan terang. Nomor 10 Tahun
1961 tentang Pendaftaran Tanah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, mengubah cara pelaksanaan jual beli
yang terbatas pada lingkup personal dan wilayahnya, yang cukup dengan
dibuatkan akta jual beli oleh penjual dan pembeli dan diketahui oleh Kepala
Desa/Adat, menjadi perbuatan jual beli dengan dibuatkan akta jual beli oleh
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
6. Sistem Hak-Hak Penguasaan Atas Tanah dalam Hukum Adat
Dalam hukum adat terdapat hak penguasaan atas tanah yang tertinggi yang disebut
dengan "Hak Ulayat" yaitu hak persekutuan masyarakat hukum adat atas tanah
dalam suatu wilayah territotial atau wilayah geneologis. Hak ulayat ini
mengandung aspek keperdataan dan aspek publik. Aspek keperdataan yakni
bahwa di wilayah ulayat di samping hak-hak bersama masyarakat juga terdapat
hak-hak perseorangan, sedangkan aspek publik yakni bahwa hak ulayat adalah
hak kepunyaan bersama dari masyarakat hukum adat yang di dalamnya
mengandung hak-hak, kewajiban-kewajiban dan wewenang dari penguasa ada
untuk mengelola, mengatur atas tanah. Oleh karena itu, maka hukun adat
mengenal Hukum Tanah Perdata dan Hukum Tanah Publik Administrasi.
Dengan demikian maka terdapat hierarki hak penguasaan atas tanah dalam hukum
adat, yaitu:
o Hak ulayat masyarakat hukum adat yang mengandung aspek perdata dan
aspek publik;
o Hak kepala adat dan para tetua adat yang bersumber pada hak ulayat yang
mengandung aspek publik;
o Hak atas tanah sebagai hak individu yang bersumber dari hak ulayat yang
mengandung aspek hukum keperdataan.
Dalam Hukum Tanah Barat, hak penguasaan tanah yang tertinggi adalah “hak
eigendom” yakni hak kepemilikan atas tanah. Hak eigendom atas tanah ini baik
dimiliki oleh perorangan maupun dimiliki oleh negara, karena negara dalam
konsep hukum tanah barat juga subjek hak milik sebagaimana layaknya manusia.
Sedangkan dalam konsep hukum tanah Kerajaan di Indonesia mengenal konsep
“hukum tanah Feodal”, di mana hak penguasaan tanah yang tertinggi adalah “Hak
Milik Raja”. Dalam sistem hukum adat tidak dikenal adanya Lembaga Hak
Jaminan Atas Tanah. Hukum adat hanya mengenal adanya lembaga “Jonggolan”.
Dalam hubungan utang piutang di masyarakat Bali menge nal adanya
“Makantah”, dan dalam masyarakat Batak mengenal adanya “Tahan”.
7. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Hak Ulayat adalah serangkain wewenang dan kewajiban masyarakat hukum Adat
tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan ulayatnya, sebagai
"lebensraum" para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam,
termasuk tanah yang ada dalam wilayah tersebut. Adapun objek hak ulayat ini
adalah semua tanah yang terdapat dalam lingkungan masyarakat hukum Adat
yang bersangkutan. Sedangkan yang menjadi subjeknya adalah semua anggota
masyarakat hukum Adat yang bersangkutan. Orang dari luar masyarakat hukum
Adat tersebut boleh memanfaatkan tanah yang berada dalam wilayah ulayat itu
dengan seizin dari penguasa Adat setempat.Hak ulayat pada masyarakat hukum
Adat mempunyai kekuatan hukum ke dalam dan keluar.
a) Kekuatan hukum hak ulayat yang berlaku ke dalam yakni dimana masyarakat
hukum Adat setempat terikat oleh aturan-aturan dari penguasa adat. Tanah
dalam masyarakat ulayat dipergunakan untuk kesejahtraan bersama anggota
masyarakat hukum Adat yang bersangkutan. Masyarakat dapat menggunakan
tanah untuk kepentingan pribadi atas izin penguasa dan mereka diwajibkan
untuk memberikan suatu pembayaran dalam jumlah tertentu. Dengan
demikian dalam hak ulayat di samping hak bersama juga terdapat pula hak
perseorangan. Hubungan antara hak ulayat dengan hak perorangan dalam
konsep hukum adat adalah sebagai berikut.

1. Semakin banyak usaha seseorang atas tanah, makin erat hubungan dengan
tanah dan makin kuat haknya. Jika tanah tidak diusahakan (diterlantarkan),
maka haknya akan hilang.
2. Semakin kuat hak perorangan, hak ulayat melemah, sebaliknya semakin
melemah hak perorangan, semakin kuat hak ulayat. Yang demikian ini
menurut Imam Sudiyat dikenal dengan istilah "mulur mungkret".
b) Kekuatan hukum hak ulayat berlaku keluar adalah bahwa hak ulayat
dipertahankan dan dilaksanakan oleh penguasa masyarakat hukum adat yang
bersangkutan. Masyarakat dari luar wilayah hukum adat dilarang masuk di
lingkungan tanah wilayah hukum adat tersebut tanpa izin penguasa adat.
Boleh masuk dengan syarat membayar apa yang disebut "pengisi adat". Jika
orang luar masuk tanpa izin dianggap melakukan tindak pidana yang akan
dikenakan sanksi
D. SUMBER-SUMBER HUKUM AGRARIA NASIONAL
Hukum agraria nasional (UUPA) menentukan ada 2 (dua) bentuk sumber hukum
agraria nasional, yaitu:
1. Hukum agraria tertulis, yang dituangkan dalam bentuk peraturan
Perundang-undangan; dan
2. Hukum agraria tidak tertulis, berupa hukum Adat dan hukum
Kebiasaan baru yang bukan hukum Adat.
 Sumber-sumber hukum tertulis berupa:
 Undang-Undang Dasar 1945, khusus Pasal 33 ayat (3);
 Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960).
c) Peraturan-peraturan pelaksanaan UUPA;
d) Peraturan-peraturan yang bukan pelaksanaan UUPA, yang dikeluarkan
sesudah tanggal 24 September 1960 karena sesuatu masalah perlu diatur
(misalnya UU No. 51/Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah
Tanpa Izin yang Berhak atau kuasanya, LN 1960-158, TLN 2160.
e) Peraturan-peraturan yang lama yang untuk sementara waktu berlaku
berdasarkan ketentuan yang berlaku, berdasarkan ketentuan pasal-pasal
peradilan (Ini merupakan bagian hukum tanah pasif), bukan bagian dari
hukum tanah asai
 Sedangkan sumber-sumber hukum tidak tertulis:
a. Norma-norma hukum Adat yang sudah “disaneer” menurut Ketentuan Pasal 5, 56,
dan 58.
b. Hukum kebiasaan baru, termasuk yurisprudensi dan prakti administrasi sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya.
Hukum adat yang sudah "disaneer" adalah hukum adat yang sudah disaring
(Boedi Harsono) atau dibersihkan dari unsur-unsur yang bertentangan dengan
kepribadian bangsa Indonesia, bertentangan jiwa bangsa Indonesia, bertentangan
dengan peraturan perundang undangan yaitu UUPA.
E. KONSEPSI HUKUM AGRARIA NASIONAL (UUPA)
1. Sifat Komunalistik Religius
Hukum Adat merupakan sumber utama Hukum Tanah Nasional. Di samping
itu sifat religius konsepsi Hukum Tanah Nasional terlihat pada ketentuan Pasal
1 ayat (2). dari Hukum Tanah Nasional tercermin dalam
Konsiderans/Berpendapat dan dalam Pasal 5 UUPA. Dalam
Konsiderans/Berpendapat merupakan suatu peringatan bagi pembuat undang-
undang agar dalam pembentukan Hukum Tanah Nasional tidak mengabaikan
atau mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
2. Hak Bangsa Indonesia
Hak Bangsa atas tanah tercermin dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan (2).
Pasal 1 ayat (1): Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari
seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Pasal 1 ayat
(2): Seluruh bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia.sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air serta ruang angkasa bangsa Indonesia
dan merupakan kekayaan nasional. Selanjutnya di dalam Penjelasan Umum:
bumi, air dan ruang angkasa dalam wilayah Republik Indonesia yang
kemerdekaannya diperjuangkan oleh bangsa sebagai keseluruhan, menjadi hak
pula dari bangsa Indonesia, jadi tidak semata-mata menjadi hak dari para
pemilik saja. Demikian pula tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau -pulau,
tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang
bersangkutan. Dengan pengertian demikian maka hubungan bangsa Indonesia
dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan
Hak Ulayat, yang diangkat Pada tingkatan yang paling atas, yaitu tingkatan
yang mengenai seluruh wilayah Negara.
Konsepsi hak bangsa dalam Hukum Tanah Nasional merupakan hak
penguasaan atas tanah yang tertinggi. Ini berarti bahwa hak-hak Penguasaan
atas tanah yang lain, termasuk Hak Ulayat dan hak-hak Indvidual atas tanah
yang dimaksudkan oleh Penjelasan Umum, secara Langsung atau tidak
langsung, semuanya bersumber pada Hak Bangsa.
3. Hak Menguasai Negara
Hak menguasai Negara diatur dalam Pasal 2 UUPA yang menentukan Sebagai
berikut:
a) Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
dalam hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal.
b) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) Pasal ini
memberi wewenang untuk: Mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan,Persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan
ruang angkasaTersebut, Menentukan dan mengatur hubungan-
hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang
angkasa, dan Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
Antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang Mengenai
bumi, air, dan ruang angkasa.
1. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara Tersebut
pada ayat (2) pasal ini, digunakan untuk mencapai sebesar Besarnya
kemakmuran rakyat.
2. Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat
Dikuasakan kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat
Hukum Adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
4. Hak-Hak Perorangan atas Tanah
Menurut konsepsi UUPA, baik dalam lingkup Hak Ulayat maupun dalam
lingkup hak Bangsa dimungkinkan warganegara Indonesia. untuk memperoleh
hak-hak perorangan/individu atas tanah. Hal ini tercermin dalam ketentuan
Pasal 4 ayat (1) yang menentukan: Atas dasar hak menguasai dari Negara
sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2, ditentukan macam-macam hak atas
permukaan bumi sebagai, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada
dan dipunyai oleh orang orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang-orang lain serta badan-badan hukum.
5. Hubungan Hukum Agama dengan Hukum Tanah Nasional
Antara Hukum Agama dengan Hukum Tanah Nasional mempunyai hubungan
yang sangat erat. Hal ini tercermin dalam Konsideran/ Berpendapat dan
ketentuan Pasal 5 UUPA. Dalam konsideran/ber pendapat dinyatakan: " perlu
adanya Hukum Agraria Nasional yang berdasarkan atas hukum Adat tentang
tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai