Anda di halaman 1dari 82

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, anak

merupakan anugerah bagi setiap orang tua dan generasi penerus yang akan

menentukan masa depan bangsa. Setiap orang tua memiliki harapan yang

sangat besar, dapat memiliki seorang anak yang sehat dan sempurna

sehingga dapat dibanggakan dan didambakan untuk melanjutkan

keturunannya. Namun, kenyataanya banyak penyakit kronis yang dialami

oleh anak-anak seperti epilepsi, diabetes, cacat mental, cacat fisik, dan

hidrosefalus. Salah satu penyakit yang sering menyerang anak-anak yaitu

hidrosefalus. Hidrosefalus merupakan salah satu penyakit kelainan

kongenital yang paling sering terjadi pada anak-anak(Oktaviani,

Anggraini,Kusumaningsih 2017).

Mutaqqi mengungkapkan bahwa anak-anak dengan pengidap

hidrosefalus biasanya mengalami penurunan pada pencapaian tumbuh dan

kembang jika dibandingkan dengan perkembangan anak normal lainya. Hal

ini terjadi karena adanya penekanan pada otak akibat gangguan sirkulasi

cairan di kepala. Penurunan pencapaian tumbuh dan kembang ini dapat

menyebabkan perubahan secara permanen yang tentunya mempengaruhi

kualitas hidup seorang anak. Data statistik dari Hydrocephalus Association

1
sekitar 1–2 per 1.000 kelahiran bayi di Amerika lahir dengan penyakit

hidrosefalus. Hal itu tidak jauh berbeda dengan kejadian hidrosefalus di

Indonesia yang berkisaran antara 0,2–4 setiap 1.000 kelahiran anak dengan

penyakit hidrosefalus(Oktaviani, Anggraini,Kusumaningsih 2017).

Berdasarkan data di RSU dr. Soedarso Pontianak, terdapat kasus

hidrosefalus sebanyak 100 orang anak. Kejadian hidrosefalus ini juga banyak

terjadi di perkotaan. Angka kejadian kasus hidrosefalus di RSUP Fatmawati

Jakarta sebanyak 22 anak. Di Semarang terdapat 21 anak selama tahun 2014–

Januari 2016. Saat dihadapkan pada kondisi seorang anak yang mengalami

penyakit hidrosefalus, pada umumnya orang tua akan mengalami perasaan

takut, khawatir, marah, dan sedih bercampur syok. Kekhawatiran dan

perasaan sedih tersebut dapat terjadi karena ketidakmampuan seorang anak

dalam pencapaian fase pertumbuhan dan perkembangan, seperti tidak dapat

melakukan kontak sosial yang paling sederhana(Marijani, 2010). Saat orang

tua mengharapkan dapat mendengar suara dan celotehan dari anaknya, dapat

berkomunikasi dengan anaknya, serta melihat anak sehat seperti anak lainya,

anak tidak dapat melakukannya. Hal itu dapat membuat perasaan orang tua

merasa tidak berharga. Perasaan ini juga muncul akibat anak tidak merespons

stimulus yang diberikan(de Moura 2011).

Menurut World Health Organization (WHO) (2012) dan Ball (2012),

hidrosefalus adalah sebuah kondisi saat terjadi gangguan cairan serebrospinal

2
(CSF) yang diakibatkan reaksi tubuh terhadap keseimbangan produksi dan

reabsorpsi sehingga terjadi penumpukan di dalam kepala, menyebabkan

tekanan meningkat, dan tulang tengkorak berkembang menjadi lebih besar

dari ukuran normal sehingga membutuhkan perawatan dan pengobatan

khusus. Kelahiran bayi dengan kelainan kongenital menduduki urutan ketujuh

(4,2%) dari penyebab kematian bayi di Indonesia. Proses penerimaan orang

tua yang memiliki anak dengan penyakit hidrosefalus tidak begitu saja

langsung menerima, akan tetapi orang tua merasa kaget, stress, tidak merawat

anaknya dengan baik. Peran orang tua sangat penting pada pengasuhan

anaknya yang sakit hidrosefalus, orang tua harus memiliki kemampuan

komunikasi yang baik, tidak semua orang tua mengasuh anaknya yang sakit

menggunakan komunikasi yang baik, komunikasi verbal dan nonverbal

kepada anaknya, hal ini merupakan salah satu treatment non medis dan hal ini

sangat penting dilakukan orang tua ketika merawat anaknya yang sakit

hidrosefalus. Kasus ini merupakan salah satu masalah yang sering ditemui di

bidang bedah saraf, yaitu sekitar 40% hingga 50%(Oktaviani, Anggraini, and

Kusumaningsih 2017).

Untuk wilayah ASEAN jumlah penderita anak pengidap Hidrosefalus

di beberapa negara adalah sebagai berikut, di Singapura pada anak 0-9 th :

0,5%, Malaysia: anak 5-12 th 15%, India: anak 2-4 th 4%, di Indonesia

berdasarkan penelitian dari Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Indonesia

3
terdapat 3%. Berdasarkan pencatatan dan pelaporan yang diperoleh dari

catatan register dari ruangan perawatan IKA 1 RSPAD Gatot Soebroto dari

bulan Oktober-Desember tahun 2015 jumlah anak yang menderita dengan

gangguan serebral berjumlah 159 anak dan yang mengalami Hidrosefalus

berjumlah 69 anak dengan persentase 43,39%(“Program Studi D III

Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Perintis Padang Tahun 2018).

Prevalensi hidrosefalus di Indonesia mencapai 10 permil per tahun,

sumber lain menyebutkan insiden hidrosefalus berkisar 0,2-4 setiap 1000

kelahiran. Insidensi hidrosefalus kongenital adalah 0,5-1,8 pada tiap 1000

kelahiran dan 11-43% disebabkan oleh stenosis aquaductus serebri. Jumlah

tersebut tidak terlalu berpengaruh pada jenis kelamin, ras dan suku bangsa.

Hidrosefalus dapat terjadi pada semua usia. Hidrosefalus infantil, 46% terjadi

akibat abnormalitas perkembangan otak, 50% akibat perdarahan subarachnoid

dan meningitis, sedangkan kurang dari 4% akibat tumor fossa posterior(Scan

and Scan 2013).

Angka penderita hidrosefalus di kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa

Tenggara Timur, tergolong tinggi, hingga mencapai belasan kasus. Data

tersebut diambil berdasarkan penelusuran di beberapa kecamatan. Informasi

yang dihimpun menyebutkan, sebagian besar penderita telah meninggal.

Ditemui secara terpisah, dokter spesialis anak di RSUD Kefamenanu, Mervin

Tri Hadianto, mengatakan kasus hidrosefalus memang ada di kabupaten TTU,

4
tetapi data di RSUD tidak ada (Kompas Lifestyle, 2 ) Hitung > Tabel, vol. I,

2012.).

Data hidrosefalus untuk wilayah Manggarai sebagaimana di lansir oleh

matanews.net dan poskupang.com pada tahun 2020, anak yang memiliki

penyakit hidrosefalus ada 4 orang anak, dengan anak umur 3 bulan, 3 tahun, 7

tahun dan 17 bulan. Anak dengan umur 3 bulan dari Wongka, Satar Mese

Barat, anak dengan umur 4 tahun dari Borong Manggarai Timur, anak dengan

umur 7 tahun dari desa Nggorang Reo, anak dengan umur 17 bulan dari

Manggarai Timur. Anak yang mengalami penyakit hidrosefalus ini adalah 1

orang anak perempuan dan 3 orang anak laki-laki (Matanews.net).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa program studi

Pendidikan Profesi Nurse STIKes Maharani Malang, pengalaman orang tua

dalam meningkatkan kualitas hidup pada anak dengan hidrosefalus di

kecamatan Dau Kabupaten Malang terjawab dalam 5 tema, yaitu : orang tua

memantau dan membantu aktivitas fisik kegiatan anak, orang tua aktif dalam

memantau dan membantu pengobatan anak, orang tua memfasilitasi stimulasi

perkembangan anak, orang tua memantau interaksi hubungan sosial anak,

orang tua menjaga faktor lingkungan anak.

Berdasarkan fakta sebagaimana yang disebutkan pada uraian hasil

penelitian sebelumnya bahwa tahun 2021, prevalensi penyakit Hidrosefalus

untuk wilayah Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur sangat tinggi,

5
maka penulis tertarik melakukan kajian literatur tentang “Pengalaman Orang

Tua Terhadap Perawatan Anak Pengidap Hidrosefalus”.

B. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan

masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah, “bagaimana pengalaman

orang tua terhadap perawatan anak pengidap Hidrosefalus ?”.

C. Tujuan kajian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui pengalaman orang tua terhadap perawatan anak

pengidap hidrosefalus.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui pengalaman orang tua pada anak pengidap

hidrosefalus.

b. Untuk mengetahui perawatan anak pengidap hidrosefalus

D. Manfaat kajian

1. Secara teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat membentuk pengetahuan yang baru.

Selain itu, penelitian ini diharapkan menjadi kajian literatur untuk

menambah wacana baru dalam dunia akademis dan menjadi acuan bagi

penelitian gambaran pengalaman orang tua terhadap perawatan anak

6
pengidap hidrosefalus yang akan dilaksanakan oleh peneliti berikutnya

yang kemudian menjadikan teori lebih berkembang.

2. Manfaat praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian yang dilaksanakan ini, yaitu:

a. Bagi orang tua pasien hidrosefalus

Dapat memberikan informasi tentang penyakit hidrosefalus

yang digunakan dalam upaya menumbuhkan motivasi kesehatan pada

orang tua anak pengidap Hidrosefalus.

b. Bagi perawat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai

sumber data dan informasi mengenai pengalaman orang tua terhadap

perawatan anak pengidap Hidrosefalus.

c. Manfaat bagi Institusi

Kajian literatur ini dapat menambah dan memperkaya bacaan

bagi civitas akademika di prodi Sarjana Keperawatan Universitas

Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng.

d. Manfaat bagi peneliti

Kajian literatur ini dapat digunakan sebagai sumber informasi

dalam melakukan penelitian selanjutnya. Serta mengenal lebih jauh

tentang “Pengalaman Orang Tua Terhadap Perawatan Anak Pengidap

7
Hidrosefalus”. Dan juga peneliti mampu meningkatkan pengetahuan

metodologi kajian literatur.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Teori perilaku

a. Pengertian Perilaku(Rahmawati & Devy, 2018)

Menurut Bimo Walgito (2015), perilaku merupakan

manifestasi kehidupan psikis. Sebagaimana yang diketahui bahwa

perilaku atau aktivitas yang ada pada individu atau organisme itu tidak

timbul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dengan adanya

stimulus atau rangsang yang mengenai individu atau organisme

individu.

Disamping perilaku, manusia dikendalikan atau terkendali,

yang berarti bahwa perilaku itu dapat diatur oleh individu yang

bersangkutan, perilaku manusia merupakan perilaku yang terintegrasi

yang berarti bahwa keseluruhan keadaan individu atau manusia itu

terlibat dalam perilaku yang bersangkutan, bukan bagian demi bagian.

Perilaku merupakan perwujudan dari adanya kebutuhan

perilaku. Perilaku dikatakan wajar apabila ada penyesuaian diri yang

8
harus diselaraskan oleh peran manusia sebagai makhluk individu,

sosial dan berketuhanan. Apabila manusia dapat menyesuaikan diri

dengan baik, itulah yang disebut dengan bahagia. Ada beberapa hal

yang perlu dijadikan pedoman dalam penyesuaian diri yaitu :

a. Dapat memenuhi segala kebutuhan dengan tidak

menambah dan mengurangi.

b. Tidak mengganggu manusia lain dalam memenuhi

kebutuhannya.

c. Melaksanakan pertanggungjawaban secara sewajar-

wajarnya dengan sesama makhluk hidup.

Beberapa sarjana psikologi mendefinisikan manusia antara

lain: E. Cassirer mengatakan “manusia bukan dipelajari berdasarkan

kehidupan pribadi akan tetapi kehidupan sosial dan politiknya”

sedangkan menurut faham filsafat manusia adalah eksistensi. Manusia

tidak hanya ada atau berada di dunia, tetapi mengada. Ciri perilaku

yang membedakan dari makhluk-makhluk yang lain adalah kepekaan

sosial, kelangsungan perilaku, orientasi tugas, usaha dan perjuangan

serta keunikan.

Kepekaan sosial berarti kemampuan untuk menyesuaikan

perilaku dengan harapan dari pandangan orang lain. Manusia adalah

makhluk sosial yang harus hidup dengan orang lain dan selalu

9
memerlukan kerja sama dengan sesamanya. Misalnya perbuatan orang

akan berbeda-beda menghadapi situasi yang berbeda-beda, seperti:

lingkungan marah, senang diskusi, reaksi menghadapi hal tersebut

akan berbeda-beda.

Perilaku atau perbuatan manusia tidak terjadi secara sporadis

(timbul dan hilang saat-saat tertentu), tetapi selalu ada kelangsungan

kontinuitas antara satu perbuatan dengan perbuatan berikutnya.

Perilaku manusia tidak pernah berhenti pada suatu saat. Perbuatan

yang dulu merupakan persiapan perbuatan yang kemudian dan

perbuatan yang kemudian merupakan kelanjutan perbuatan

sebelumnya.

Tiap-tiap perilaku selalu mengarah pada suatu tugas tertentu.

Hal ini nampak jelas pada perbuatan-perbuatan belajar atau bekerja,

tetapi hal ini juga terdapat pada perilaku lain yang tampaknya tidak

ada tujuannya. Tiap-tiap manusia selalu mempunyai ciri-ciri, sifat-sifat

tersendiri yang membedakan diri dengan manusia lainnya. Tidak ada

dua manusia yang sama di dunia ini. Pengalaman-pengalaman masa

lalu dan aspirasi-aspirasinya untuk masa yang akan datang

menentukan perilaku di masa kini dan karena tiap orang mempunyai

pengalaman dan aspirasi yang berbeda-beda, maka perilaku di masa

kini pun berbeda-beda.

10
b. Faktor yang mempengaruhi perilaku(Suprihati and Wikan Utami

2015)

a) Keturunan

Keturunan diartikan sebagai pembawaan yang

merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Keturunan

sering disebut pula dengan pembawaan. Teori tentang

keturunan disampaikan oleh Gregor Mendel yang dikenal

dengan hipotesis genetika. Teori Mendel menyatakan bahwa:

1) Tiap sifat makhluk hidup dikendalikan oleh

faktor keturunan

2) Tiap pasangan merupakan penentu alternative

bagi keturunanya

3) Pada waktu pembentukan sel kelamin, pasangan

keturunan memisah dan menerima pasangan

faktor keturunan.

Dalam suatu percobaan perkawinan akan menghasilkan

generasi baru 50% dan 25,25, sesuai induknya. Pengaruh

faktor keturunan bagi perilaku diperlukan pengembangan pada

11
masa pertumbuhan. Dalam keturunan terdapat beberapa asas

yaitu :

1) Asas reproduksi yaitu kecakapan dari Ayah atau

Ibu tidak dapat diturunkan kepada anaknya

karena kecakapan merupakan hasil belajar tiap

individu.

2) Asas variasi yaitu penurunan sifat dari orang tua

pada keturunanya terdapat variasi baik kualitas

maupun kuantitas.

3) Asas regresi filial yaitu adanya penyusutan

sifat-sifat orang tua yang diturunkan kepada

anaknya.

4) Asas jenis menyilang yaitu apa yang diturunkan

kepada anak mempunyai sasaran menyilang. Ibu

akan menurunkan lebih banyak sifatnya pada

anak laki-laki dan ayah akan menurunkan lebih

banyak sifatnya pada anak perempuan.

5) Asas konformitas yaitu setiap invidu akan

menyerupai ciri-ciri yang diturunkan oleh

kelompok rasnya.

b). Lingkungan

12
Lingkungan sering disebut miliu, environment atau juga disebut

nurture. Lingkungan dalam pengertian psikologi adalah segala apa yang

berpengaruh pada diri individu dalam berperilaku. Lingkungan turut

berpengaruh terhadap perkembangan pembawaan dan kehidupan

manusia. Lingkungan dapat digolongkan:

1. Lingkungan manusia, yang termasuk ke dalam lingkungan

ini adalah keluarga, sekolah, dan masyarakat, termasuk

didalamnya kebudayaan, agama, taraf kehidupan dan

sebagainya.

2. Lingkungan benda, yaitu benda yang terdapat di sekitar

manusia yang turut memberi warna pada jiwa manusia

yang berada disekitarnya.

3. Lingkungan geografis, letak geografis turut mempengaruhi

corak kehidupan manusia. Masyarakat yang tinggal di

daerah pantai mempunyai keahlian, kegemaran dan

kebudayaan yang berbeda dengan manusia yang tinggal di

daerah yang gersang.

Lingkungan sosial manusia menerima, mempertahankan dan

melanjutkan warisan hasil ciptaan manusia sebelumnya. Hasil ciptaan

tersebut dinyatakan melalui lingkungan benda. Hasil ciptaan manusia

dapat juga dinyatakan dalam bentuk adat, tari-tarian. Ini memberi

13
warna pada jiwa manusia yang hidup di dalamnya. Lingkungan

sebagai faktor yang berpengaruh bagi pengembangan sifat dan

perilaku individu mulai mengalami dan mengecap alam dan

sekitarnya. Manusia tidak bisa melepaskan diri secara mutlak dari

pada pengaruh lingkungan oleh karena itu lingkungan selalu tersedia

disekitar kita.

Pengaruh lingkungan pada individu meliputi dua sasaran yaitu :

lingkungan membuat individu sebagai makhluk sosial dan lingkungan

membuat wajah budaya bagi individu. Dengan lingkungan dapat

mempengaruhi perilaku manusia sehingga kenyataannya akan

menuntut suatu keharusan sebagai makhluk sosial yang dalam keadaan

bergaul satu dengan lainnya. Terputusnya hubungan manusia dengan

masyarakat pada tahun-tahun pertama perkembangan akan mengubah

tabiat manusia sebagai manusia. Perubahan tabiat ini dalam arti

manusia tidak akan mampu bergaul dan berperilaku sesamanya.

Lingkungan dengan aneka ragam kekayaannya merupakan

sumber inspirasi dan daya cipta untuk diolah kekayaan budaya bagi

dirinya. Lingkungan sebagai wajah budaya bagi individu berarti pula

bahwa individu sendiri berperan sebagai pusat dari lingkungan

tersebut. Dengan individu menjadi pusat lingkungan maka dalam

14
berhadapan dengan lingkungan tersebut memungkinkan timbulnya

sebagai berikut:

1. Lingkungan sebagai alat individu: untuk kepentingan

individu, alat untuk kelangsungan hidup individu dan

alat untuk kepentingan dalam pergaulan sosial.

2. Lingkungan sebagai tantangan bagi individu:

Lingkungan berpengaruh untuk mengubah sifat dan

perilaku individu Karena lingkungan itu dapat

merupakan lawan atau tantangan bagi individu untuk

mengatasinya. Individu harus berusaha menaklukan

lingkungan sehingga menjadi jinak dan dapat

dikuasainya.

3. Lingkungan sebagai sesuatu yang harus diikuti. Sifat

manusia senantiasa ingin mengetahui sesuatu dan

mencoba sesuatu dalam batas-batas kemampuannya.

Lingkungan yang beraneka ragam senantiasa

memberikan rangsangan daya tarik kepada individu

untuk mengikutinya. Individu peka akan perubahan

lingkungan sehingga individu selalu berpartisipasi di

dalamnya.

4. Lingkungan objek penyesuain diri bagi individu.

Lingkungan mempengaruhi individu, sehingga ia

15
berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan

lingkungan tersebut. Usaha untuk menyesuaikan diri

terhadap lingkungan terdapat dua bentuk yaitu

autoplastis dan alloplastis. Penyesuaian diri dengan

cara allopastis berarti bahwa individu berusaha agar

lingkungan sesuai dengan dirinya sedangkan autoplastis

penyesuaian diri dimana individu berusaha agar dirinya

sesuai dengan keadaan lingkungan yang bersangkutan.

b) Pengaruh Keturunan Dan Lingkungan Terhadap Ciri-Ciri

Perilaku Individu

Individu adalah manusia sebagai kesatuan yang terbatas

yaitu manusia perseorangan, yang sering juga disebut orang.

Manusia waktu dilahirkan tidak dapat berdaya sama sekali,

dan dalam ketidakberdayaan memerlukan bantuan orang lain,

makin besar bayi tersebut makin berkembang sifat-sifat yang

menunjukkan perbedaan yang lain yang merupakan keunikan.

Selain keunikan ini ternyata dalam kehidupannya manusia

harus berusaha dan berjuang untuk mewujudkan apa yang

diinginkan atau dicita-citakan.

Pembawaan dan lingkungan mempunyai pengaruh pada

kehidupan manusia. Para sarjana psikologi menyebutkan hal

tersebut. Ada yang berpendapat perkembangan individu

16
semata-mata ditentukan oleh pembawaan dan lahir. Di lain

pihak ada pendapat bertentangan dengan aliran nativisme yang

mengemukakan bahwa perkembangan semata-mata tergantung

pada faktor lingkungan dan tidak mengakui adanya

pembawaan yang dibawa lahir.

Kedua aliran nada benarnya, baik faktor pembawaan

maupun faktor lingkungan keduanya ada pengaruh terhadap

perkembangan manusia. Yang tidak dapat diterima adalah

pembawaan atau faktor lingkungan jadi salah satu mutlak

menentukan perkembangan hidup manusia. William Stern

menengai kedua aliran di atas dengan teori konvergensi. Teori

tersebut mengemukakan bahwa faktor pembawaan dan faktor

lingkungan kedua-duanya turut menentukan perkembangan

seseorang. Artinya perilaku, kepribadian seseorang dibentuk

oleh kedua faktor tersebut.

c. Macam –Macam Perilaku Manusia(Suprihati and Wikan Utami 2015)

Perilaku manusia terdapat banyak macamnya, yaitu perilaku refleks,

perilaku refleks bersyarat dan perilaku yang mempunyai tujuan. Ada sejumlah

perilaku refleks yang dilakukan oleh manusia secara otomatik. Perilaku refleks

di luar lapangan kemampuan manusia serta terjadi tanpa dipikir atau keinginan.

Kadang-kadang terjadi tanpa disadari sama sekali seperti mengecilkan kelopak

17
mata. Secara umum perilaku refleks mempunyai tujuan menghindari ancaman

yang merusak keberadaan individu, sehingga individu dapat berperilaku dan

berkembang normal.

Perilaku refleks bersyarat adalah perilaku yang muncul karena adanya

rangsang tertentu. Reaksi ini wajar dan merupakan pembawaan manusia dan

biasa dipelajari atau di dapat dari pengalaman. Aliran behaviorisme berpendapat

bahwa manusia belajar atas dasar perilaku yang kompleks atas dasar satuan-

satuan masalah yang sederhana. Dengan demikian gerak refleks adalah kesatuan

kelakuan dan berdasarkan kelakuan itu tersusunya kelakuan manusia yang

kompleks dengan segala tingkatan. Apabila timbulnya perangsang berulang-

ulang maka perilaku refleks bersyarat akan lemah.

Perilaku yang mempunyai tujuan disebut perilaku naluri. Menurut

Spencer perilaku naluri adalah gerak refleks yang kompleks atau merupakan

rangkaian tahap-tahap yang banyak, masing-masing tahap merupakan refleks

yang sederhana. Akan tetapi pendapat ini dibantah, bahwa perilaku refleks tanpa

perasaan sedangkan perilaku naluri disertai dengan perasaan. Ada tiga gejala

yang menyertai perilaku bertujuan yaitu : pengenalan, perasaan atau emosi,

dorongan, keinginan atau motif.

d. Usaha-Usaha Memperbaiki Perilaku Negatif(Sena, Hanny, and Peni 2017)

Usaha yang dapat dilakukan untuk menanggulangi perilaku negatif seseorang

terutama bagi yang masih belum dewasa dapat dilakukan dengan :

18
1. Peningkatan peranan keluarga terhadap perkembangan dari kecil hingga

dewasa

2. Peningkatan status sosial ekonomi keluarga

3. Menjaga keutuhan keluarga

4. Mempertahankan sikap dan kebiasaan orang tua sesuai dengan norma yang

disepakati

5. Pendidikan keluarga yang disesuaikan dengan status anak: anak tunggal dan

anak tiri.

2. Hidrosefalus

a. Anatomi dan Fisiologis

19
1. Anatomi

Struktur anatomi yang berkaitan dengan hidrosefalus, yaitu

bangunan-bangunan dimana CSS berada.

Sistem ventrikel otak dan kanalis sentralis, antara lain:

1. Ventrikel lateralis, Ada dua, terletak di dalam hemisphere

telencephalon. Kedua ventrikel lateralis berhubungan

dengan ventrikel III (ventrikel tertius) melalui foramen

interventrikularis (Monro).

2. Ventrikel III (Ventrikel Tertius), terletak pada

diencephalon. Dinding lateralnya dibentuk oleh thalamus

dengan adhesio interthalamica dan hypothalamus. Recessus

20
opticus dan infundibularis menonjol ke anterior, dan

recessus supra pinealis dan recessus pinealis ke arah

kaudal. Ventrikel III berhubungan dengan ventrikel IV

melalui suatu lubang kecil, yaitu aquaductus Sylvii

(aquaductus cerebri).

3. Ventrikel IV (Ventrikel Quartus), membentuk ruang

berbentuk kubah diatas fossa rhomboidea antara

cerebellum dan medulla serta membentang sepanjang

recessus lateralis pada kedua sisi. Masing-masing recessus

berakhir pada foramen Luschka, muara lateral ventrikel IV.

Pada perlekatan vellum medulare anterior terdapat apertura

mediana Magendie.

4. Kanalis sentralis medula oblongata dan medula spinalis,

saluran sentral korda spinalis: saluran kecil yang

memanjang sepanjang korda spinalis, dilapisi sel-sel

ependimal. Diatas, melanjut ke dalam medula oblongata,

dimana ia membuka ke dalam ventrikel IV.

5. Ruang subarakhnoida, merupakan ruang yang terletak di

antara lapisan arachnoid dan piameter.

2. fisiologi cairan serebrospinalis

21
a. Pembentukan CSF

Normal CSF diproduksi + 0,35 ml / menit atau 500 ml / hari

dengan demikian CSF diperbaharui setiap 8 jam. Pada anak dengan

hidrosefalus, produksi CSF ternyata berkurang + 0, 30 / menit. CSF

dibentuk oleh PPA:

a) Plexus choroideus (yang merupakan bagian terbesar)

b) Parenchym otak

c) Arachnoid

b. Sirkulasi CSF

Melalui pemeriksaan radioisotop, ternyata CSF mengalir dari

tempat pembentuknya ke tempat absorpsinya. CSF mengalir dari II

ventrikel lateralis melalui sepasang foramen Monro ke dalam

ventrikel III, dari sini melalui aquaductus Sylvius menuju ventrikel

IV. Melalui satu pasang foramen Luscha CSF mengalir

cerebellopontine dan cisterna prepontin. Cairan yang keluar dari

22
foramen Magendie menuju cisterna magna. Dari sini mengalir ke

superior dalam rongga subarachnoid spinalis dan ke cranial

menuju cisterna infra tentorial. Melalui cisterna di supratentorial

dan kedua hemisfer cortex cerebri. Sirkulasi berakhir di sinus

Dramatis dimana terjadi absorbsi melalui villi arachnoid.

b. Pengertian Hidrosefalus

Hidrosefalus adalah pembesaran ventrikel otak sebagai akibat

peningkatan jumlah cairan serebrospinal (CSS) yang disebabkan oleh

ketidakseimbangan antara produksi, sirkulasi dan absorbsinya. Kondisi

ini juga bisa disebut sebagai gangguan hidrodinamik CSS. Kondisi

seperti cerebral atrofi juga mengakibatkan peningkatan abnormal CSS

dalam susunan saraf pusat (SSP). Dalam situasi ini, hilangnya jaringan

otak meninggalkan ruang kosong yang dipenuhi secara pasif dengan

CSS. Kondisi seperti itu bukan hasil dari gangguan hidrodinamik dan

dengan demikian tidak diklasifikasikan sebagai hidrosefalus.

Hidrosefalus adalah salah satu penyakit kongenital pada anak

yang menyebabkan gangguan pada fase tumbuh kembang. Anak

dengan hidrosefalus tentu membuat orang tua merasa khawatir dan

memberikan perhatian lebih. Kekhawatiran ini akan mempengaruhi

orang tua. Pengobatan dan perawatan yang panjang menambah beban

orang tua yang memiliki anak hidrosefalus.

23
Hidrosefalus adalah akumulasi cairan serebrospinal dalam

ventrikel serebral, ruang subarachnoid atau ruang subdural(Suriadi dan

Yuliani, 2001).

Hidrosefalus merupakan keadaan patologis otak yang

mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinalis tanpa atau pernah

dengan tekanan intrakranial yang meninggi sehingga terdapat

pelebaran ruangan tempat mengalirnya cairan

serebrospinal(Ngastiyah,2010).

Hidrosefalus merupakan sindrom klinis yang dicirikan dengan

dilatasi yang progresif pada sistem ventrikel cerebral dan kompresi

gabungan dari jaringan-jaringan serebral selama produksi CSF

berlangsung yang meningkatkan kecepatan absorbsi oleh vili

arachnoid. Akibat berlebihannya cairan serebrospinalis dan

meningkatnya tekanan intrakranial menyebabkan terjadinya peleburan

ruang-ruang tempat mengalirnya liquor(Mualim, 2010).

Hidrosefalus merupakan kondisi yang terjadi akibat

peningkatan produksi, kurangnya reabsorbsi, atau kurangnya aliran

keluar cairan serebrospinal (CSF) di dalam kubah kranial. Dengan

adanya aliran keluar yang terobstruksi, anak mengalami peningkatan

tekanan intrakranial dan diatasi sistem ventrikel secara proksimal

terhadap obstruksi. Kondisi tersebut menyebabkan dilatasi ventrikel

dan pembesaran lingkar kepala anak. Hidrosefalus berkaitan dengan

24
tumor, malformasi vaskuler, abses, kista, perdarahan, meningitis, dan

trauma.

Ada dua jenis hidrosefalus, yaitu:

1. Hidrosefalus terhubung, vili arachnoid terobstruksi yang

menyebabkan kurangnya reabsorbsi CSF.

2. Hidrosefalus tidak terhubung, aliran CSF terobstruksi di

dalam sistem ventrikel akibat adanya tumor atau

malformasi kongenital (Ns. Agelina Bhetsy 2013)

Secara umum hidrosefalus dapat didefinisikan sebagai suatu

gangguan pembentukan, aliran, maupun penyerapan dari cairan

serebrospinal sehingga terjadi kelebihan cairan serebrospinal pada

susunan saraf pusat, kondisi ini juga dapat diartikan sebagai gangguan

hidrodinamik cairan serebrospinal.

Jenis Hidrosefalus dapat diklasifikasikan menurut:

a. Waktu Pembentukan

1. Hidrosefalus kongenital, yaitu Hidrosefalus yang dialami sejak

dalam kandungan dan berlanjut setelah dilahirkan.

2. Hidrosefalus Akuisita, yaitu Hidrosefalus yang terjadi setelah

bayi dilahirkan atau terjadi karena faktor lain setelah bayi

dilahirkan(Harsono,2006).

b. Proses Terbentuknya Hidrosefalus

25
1. Hidrosefalus Akut, yaitu Hidrosefalus yang terjadi secara

mendadak yang diakibatkan oleh gangguan absorbsi CSS

(Cairan Serebrospinal).

2. Hidrosefalus Kronik, yaitu Hidrosefalus yang terjadi setelah

cairan CSS mengalami obstruksi beberapa

minggu(Anonim,2007).

3. Sirkulasi Cairan Serebrospinal

4. Communicating, yaitu kondisi Hidrosefalus dimana CSS masih

bisa keluar dari ventrikel namun alirannya tersumbat setelah

itu.

5. Non Communicating, yaitu kondisi Hidrosefalus dimana

sumbatan aliran CSS yang terjadi di salah satu atau lebih jalur

sempit yang menghubungkan ventrikel-ventrikel otak(Anonim,

2003).

c. Proses Penyakit

1. Acquired, yaitu Hidrosefalus yang disebabkan oleh infeksi

yang mengenai otak dan jaringan sekitarnya termasuk selaput

pembungkus otak (meninges).

2. Ex-Vacuo, yaitu kerusakan otak yang disebabkan oleh stroke

atau cedera traumatis yang mungkin menyebabkan

penyempitan jaringan otak atau atrophy(Anonim, 2010).

c. Klasifikasi

26
Hidrosefalus dapat dikelompokkan berdasarkan dua kriteria besar,

yaitu secara patologi dan secara etimologi. Hidrosefalus secara

Patologi dapat dikelompokkan sebagai, berikut:

a. Obstruktif (non-communicating), terjadi akibat penyumbatan

sirkulasi CSS yang disebabkan oleh kista, tumor, pendarahan,

infeksi, cacat bawaan dan paling umum, stenosis aqueductal atau

penyumbatan saluran otak.

b. Non-obstruktif (communicating), dapat disebabkan oleh gangguan

keseimbangan CSS, dan juga oleh komplikasi setelah infeksi atau

komplikasi hemoragik.

Hidrosefalus Etiologi dapat dikelompokkan sebagai, berikut:

a. Bawaan (congenital), sering terjadi pada neonatus atau

berkembang selama intra-uterin.

b. Diperoleh (acquired), disebabkan oleh perdarahan

subarachnoid, perdarahan intraventrikular, trauma, infeksi

(meningitis), tumor, komplikasi operasi atau trauma hebat di

kepala.

d. Etiologi

Pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan kecepatan absorpsi

yang normal akan menyebabkan terjadinya hidrosefalus, namun dalam

klinik sangat jarang terjadi, misalnya terlihat pelebaran ventrikel tanpa

penyumbatan pada adenomata pleksus koroidalis. Penyebab

27
penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada bayi dan anak

yaitu kelainan bawaan, infeksi, neoplasma dan perdarahan.

a. Kelainan bawaan

1. Stenosis Akuaduktus Sylvius, merupakan penyebab

terbanyak. 60%-90% kasus hidrosefalus terjadi pada bayi

dan anak-anak. Umumnya terlihat sejak lahir atau progresif

dengan cepat pada bulan-bulan pertama setelah lahir.

2. Spina bifida dan cranium bifida, berhubungan dengan

sindrom Arnold-Chiari akibat tertariknya medulla spinalis,

dengan medulla oblongata dan serebelum letaknya lebih

rendah dan menutupi foramen magnum sehingga terjadi

penyumbatan sebagian atau total.

3. Sindrom Dandy-Walker, atresia kongenital foramen

Luschka dan Magendi dengan akibat hidrosefalus

obstruktif dengan pelebaran sistem ventrikel, terutama

ventrikel IV yang dapat sedemikian besarnya hingga

merupakan suatu kista yang besar di daerah fossa posterior.

4. Kista arachnoid, dapat terjadi congenital maupun didapat

akibat trauma sekunder suatu hematoma.

5. Anomali pembuluh darah – akibat aneurisma arteri-vena

yang mengenai arteri cerebralis posterior dengan vena

28
Galeni atau sinus transversus dengan akibat obstruksi

akuaduktus.

b. Infeksi, timbul perlekatan meningitis sehingga terjadi obliterasi

ruang subarachnoid. Pelebaran ventrikel pada fase akut meningitis

purulenta terjadi bila aliran CSS terganggu oleh obstruksi mekanik

eksudat purulen di akuaduktus Sylvius atau sisterna basalis.

Pembesaran kepala dapat terjadi beberapa minggu sampai

beberapa bulan sesudah sembuh dari meningitisnya. Secara

patologis terlihat penebalan jaringan piameter dan arachnoid

sekitar sisterna basalis dan daerah lain. Pada meningitis serosa

tuberkulosa, perlekatan meningen terutama terdapat di daerah

basal sekitar sisterna kinematika dan interpedunkularis, sedangkan

pada meningitis purulenta lokasinya lebih tersebar.

c. Neoplasma, hidrosefalus oleh obstruksi mekanis yang dapat terjadi

di setiap tempat aliran CSS. Pada anak, kasus terbanyak yang

menyebabkan penyumbatan ventrikel IV dan akuaduktus Sylvius

bagian terakhir biasanya suatu glioma yang berasal dari serebelum,

sedangkan penyumbatan bagian depan ventrikel III biasanya

disebabkan suatu kraniofaringioma.

d. Perdarahan, sebelum dan sesudah lahir dalam otak dapat

menyebabkan fibrosis leptomeningen pada daerah basal otak,

29
selain penyumbatan yang terjadi akibat organisasi dari darah itu

sendiri.

e. Patofisiologi

Menurut teori, hidrosefalus terjadi akibat dari tiga mekanisme

yaitu; produksi cairan yang berlebihan, peningkatan resistensi aliran

cairan, peningkatan tekanan sinus venosa. Konsekuensi dari tiga

mekanisme adalah peningkatan tekanan intrakranial sebagai upaya

mempertahankan keseimbangan sekresi dan absorbsi. Mekanisme

terjadinya dilatasi ventrikel masih belum dipahami dengan jelas,

namun hal ini bukanlah hal yang sederhana sebagaimana akumulasi

akibat dari ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi.

Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel cukup rumit dan berlangsung

berbeda-beda tiap saat, selama perkembangan hidrosefalus.

Dilatasi ini terjadi sebagai akibat dari:

a. Kompensasi sistem serebrovaskular

b. Redistribusi dari liquor serebrospinal atau cairan ekstraseluler atau

keduanya dalam susunan sistem saraf pusat.

c. Perubahan mekanis dari otak (peningkatan elastisitas otak,

gangguan viskoelastisitas otak, kelainan turgor otak).

d. Efek tekanan denyut liquor serebrospinal (masih diperdebatkan)

e. Hilangnya jaringan otak

30
f. Pembesaran volume tengkorak (pada penderita muda) akibat

adanya regangan abnormal pada sutura cranial.

Produksi cairan yang berlebihan hampir semua disebabkan oleh

tumor pleksus khoroid (papiloma dan karsinoma). Adanya produksi

yang berlebihan akan menyebabkan tekanan intrakranial meningkat

dalam mempertahankan keseimbangan antara sekresi dan absorbsi

liquor, sehingga akhirnya ventrikel akan membesar. Adapun beberapa

laporan mengenai produksi liquor yang berlebihan tanpa adanya tumor

pada pleksus khoroid, di samping juga akibat hipervitaminosis.

Gangguan aliran liquor merupakan awal dari kebanyakan dari

kasus hidrosefalus. Peningkatan resistensi yang disebabkan oleh

gangguan aliran akan meningkatkan tekanan cairan secara

proporsional dalam upaya mempertahankan resorbsi yang seimbang.

Derajat peningkatan resistensi aliran cairan dan kecepatan

perkembangan gangguan hidrodinamik berpengaruh pada penampilan

klinis.

f. Penatalaksanaan

a. Terapi konservatif medikamentosa, untuk membatasi evolusi

hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi cairan dan pleksus

koroid (asetazolamid 100 mg/kgBB/hari; furosemid 1,2

mg/kgBB/hari) atau upaya meningkatkan resorpsinya (isorbid).

31
Terapi diatas hanya bersifat sementara sebelum dilakukan terapi

definitif diterapkan atau bila ada harapan kemungkinan pulihnya

gangguan hemodinamik tersebut; sebaliknya terapi ini tidak efektif

untuk pengobatan jangka panjang mengingat adanya resiko

terjadinya gangguan metabolik.

b. Ventriculoperitoneal shunting, Cara yang paling umum untuk

mengobati hidrosefalus. Dalam ventriculoperitoneal (VP)

shunting, tube dimasukkan melalui lubang kecil di tengkorak ke

dalam ruang (ventrikel) dari otak yang berisi cairan serebrospinal

(CSF). Tube ini terhubung ke tube lain yang berjalan di bawah

kulit sampai ke perut, di mana ia memasuki rongga perut (rongga

peritoneal). Shunt memungkinkan CSS mengalir keluar dari

ventrikel dan ke rongga perut di mana ia diserap. Biasanya, katup

dalam sistem membantu mengatur aliran cairan.

c. Terapi etiologi, Merupakan strategi penanganan terbaik; seperti

antara lain; pengontrolan kasus yang mengalami intoksikasi

vitamin A, reseksi radikal lesi massa yang mengganggu aliran

liquor, pembersihan sisa darah dalam liquor atau perbaikan suatu

malformasi. Pada beberapa kasus diharuskan untuk melakukan

terapi sementara terlebih dahulu sebelum diketahui secara pasti lesi

penyebab; atau masih memerlukan tindakan operasi shunting

32
karena kasus yang mempunyai etiologi multifaktor atau mengalami

gangguan aliran liquor sekunder.

Penanganan hidrosefalus juga dapat dibagi menjadi :

a. Penanganan sementara

Terapi konservatif medikamentosa ditujukan untuk

membatasi evolusi hidrosefalus melalui upaya mengurangi

sekresi cairan dari pleksus koroid atau upaya meningkatkan

resorpsinya.

b. Penanganan alternatif ( selain shunting )

Misalnya: pengontrolan kasus yang mengalami

intoksikasi vitamin A, reseksi radikal lesi massa yang

mengganggu aliran liquor atau perbaikan suatu malformasi.

Saat ini cara terbaik untuk melakukan perforasi dasar ventrikel

III adalah dengan teknik bedah endoskopik.

c. Operasi pemasangan “ pintas “ ( shunting )

Operasi pintas bertujuan membuat saluran baru antara

aliran liquor dengan kavitas drainase. Pada anak-anak lokasi

drainase yang terpilih adalah rongga peritoneum. Biasanya

cairan serebrospinalis didrainase dari ventrikel, namun kadang

ada hidrosefalus komunikans ada yang diduain rongga

subarachnoid lumbal. Ada 2 hal yang perlu diperhatikan pada

periode pasca operasi, yaitu pemeliharaan luka kulit terhadap

33
kontaminasi infeksi dan pemantauan. kelancaran dan fungsi

alat shunt yang dipasang. infeksi pada shunt meningkatkan

resiko akan kerusakan intelektual, lokulasi ventrikel dan

bahkan kematian.

g. Komplikasi

1. Peningkatan tekanan intrakranial

2. Kerusakan otak

3. Infeksi: septikemia, endokarditis, infeksi luka, nefritis, meningitis,

ventriculitis, abses otak.

4. Shunt tidak berfungsi dengan baik akibat obstruksi mekanik.

5. Hematoma subdural, peritonitis, abses abdomen, perforasi organ

dalam rongga abdomen, fistula, hernia, dan ileus.

6. Kematian

h. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan fisik:

1. Pengukuran lingkaran kepala secara berkala. Pengukuran ini

penting untuk melihat pembesaran kepala yang progresif atau

lebih dari normal

2. Transiluminasi

b. Pemeriksaan darah:

1. Tidak ada pemeriksaan darah khusus untuk hidrosefalus

c. Pemeriksaan cairan serebrospinal:

34
1. Analisa cairan serebrospinal pada hidrosefalus akibat

perdarahan atau meningitis untuk mengetahui kadar

protein dan menyingkirkan kemungkinan ada infeksi sisa.

2. Pemeriksaan radiologi:

1) X-foto kepala: tampak kranium yang membesar

atau sutura yang melebar.

2) USG kepala: dilakukan bila ubun-ubun besar

belum menutup.

3) CT Scan kepala: untuk mengetahui adanya

pelebaran ventrikel dan sekaligus mengevaluasi

struktur-struktur intraserebral lainnya(Apriyanto,

Agung, and Sari 2013).

3. Pengalaman orang tua terhadap anak pengidap hidrosefalus

a. Proses Penerimaan Orang Tua pada Anak Hydrocephalus

Aturan budaya membentuk pemahaman orang melakukannya

atau tidak mengungkapkan perasaan mereka (Hochschild, 2015).

Orang tua yang memiliki anak yang sakit hydrocephalus harus

mengelola emosinya ketika merawat anaknya yang sakit, agar tidak

berpengaruh pada kesembuhan sang anak. Ketiga informan

mendapatkan hal tidak menyenangkan dari luar, banyak tetangga,

35
orang lain yang melihat kondisi anaknya yang sakit banyak yang

mengejek, Semua hal yang tidak menyenangkan dari luar yang

mengganggu ketika mengasuh anaknya yang sakit, informan I, II, dan

III tidak mendengarkan perkataan orang lain, tidak memasukan ke

dalam hati, cuek saja dan tetap fokus merawat anaknya yang sakit

sampai sembuh.

Hal yang ketiga informan lakukan yaitu berdoa, meminta

kesembuhan untuk sang anak, bercerita kepada suami meminta

kekuatan, kesabaran agar bisa kuat merawat dengan baik anaknya

yang sakit sampai sembuh. Penerimaan diri merupakan kemampuan

individu untuk dapat memiliki suatu pandangan positif mengenai siapa

dirinya yang sebenarnya, dan hal ini tidak dapat muncul dengan

sendirinya, melainkan harus dikembangkan oleh individu(Germer).

Menurut Hurlock, penerimaan diri adalah seseorang yang

mampu menerima dirinya dan memiliki penilaian realistis dari

kelebihan-kelebihan yang ia miliki. Penerimaan diri sangat

berhubungan erat dengan penerimaan diri terhadap lingkungan

(Hurlock).

Penerimaan orang tua misalnya, suatu efek psikologis dan

perilaku dari orang tua pada anaknya seperti rasa sayang, kelekatan,

kepedulian, dukungan dan pengasuhan dimana orang tua tersebut bisa

36
merasakan dan mengekspresikan rasa sayang kepada anaknya

(Hurlock).

Orang tua yang memiliki anak sakit hydrocephalus pasti

memiliki perasaan sedih melihat anaknya yang dilahirkan sakit, tidak

dapat melakukan aktifitas seperti anak pada umumnya. Orang tua

harus mampu mewujudkan penerimaan diri dengan cara pemahaman

terhadap diri sendiri, memiliki harapan yang positif, memiliki

kepercayaan diri yang baik tidak menyerah dalam merawat kondisi

anaknya dengan memberikan kasih sayang, pengasuhan yang benar,

memberikan sentuhan, mengekspresikan rasa sayangnya, karena

dengan hal itu membantu anaknya yang sakit hydrocephalus dapat

sembuh.

Berdasarkan hasil penelitian ini proses penerimaan diri ketika

orang tua mempunyai anak yang sakit hydrocephalus, informan I

pernah merawat anaknya yang sakit sembarangan, awal mulanya

informan I menyerah, berputus asa mencari pengobatan tidak ada yang

tepat untuk menyembuhkan anaknya, kenapa ia mempunyai anak yang

tidak normal seperti anak yang lainnya. Anaknya dimandikan asal-

asalan, tidak memperhatikan kerapihan, kebersihan anaknya. Tetapi

informan I akhirnya diberikan pengertian oleh suaminya bahwa ia

harus menjaga, merawat sang anak dengan baik, karena anak adalah

titipan yang harus dirawat dengan baik, akhirnya informan I sadar dan

37
akhirnya mau merawat sang anak dengan baik dan benar walaupun

terkadang masih ada perasaan sedih melihat kondisi anaknya tetapi

dijalani saja oleh informan I, mertua informan juga menerima,

memperjuangkan apa saja untuk menyembuhkan cucunya. Informan

III pada awalnya ketika mengetahui anak yang baru dilahirkan terkena

penyakit hydrocephalus, langsung tidak menyangka, ingin berteriak,

ingin pingsan ketika melihat anaknya terkena penyakit hydrocephalus,

berputus asa melihat kondisi anaknya yang sakit hydrocephalus. Tetapi

tetap dikuatkan oleh suami hingga akhirnya informan III menerima

anaknya, merawat dengan baik dan memberikan kasih sayang yang

tulus hingga sampai sekarang anaknya sudah sembuh dari penyakitnya

itu semua berkat usaha informan III, kekuatan, kesabaran, yang

diberikan kepada sang anak.

b. Komunikasi Verbal dan Nonverbal dalam Pengasuhan Orang Tua

untuk Membangun Tautan Emosi pada Anak Hydrocephalus.

Teori Coordinated Management of Meaning berfokus pada diri

dan hubungannya dengan orang lain, serta mengkaji bagaimana

seorang individu memberikan makna pada sebuah pesan. Asumsi

pertama dari teori ini adalah, manusia hidup dalam komunikasi(West

dan Turner, 2008). Orang tua yang mengasuh anak sakit

hydrocephalus yang sebelumnya tidak menggunakan komunikasi

verbal dan nonverbal ketika pertama kali mengasuh anaknya yang

38
sakit, respon sang anak sedih di wajahnya, sering menangis, apalagi

ketika melihat ibunya sedih, menangis ketika merawat anaknya yang

sakit respon sang anak langsung panas, sakit dan kejang setiap malam

hal ini yang dialami informan II ketika menunjukan wajah sedih di

depan anaknya.

Hal ini menunjukan bahwa dengan tidak menggunakan

komunikasi verbal dan nonverbal ketika mengasuh anak yang sakit

hydrocephalus, memperburuk kondisi sang anak tidak membawa

kebahagiaan. Menjalin komunikasi dengan anak yang sakit

hydrocephalus bukan sesuatu yang mudah bagi orang lain sekitarnya,

khususnya juga orang tua di rumah. Pada hasil penelitian ini orang tua

yang memiliki anak sakit hydrocephalus, berusaha mencurahkan

segala tenaga, materi, memberikan kasih sayang yang tulus untuk

menyembuhkan anaknya. Pesan yang disampaikan oleh orang tua yang

memiliki anak sakit hydrocephalus baik verbal maupun nonverbal

sangat memiliki makna bagi anak yang sakit hydrocephalus.

Orang tua yang memiliki anak sakit hydrocephalus sering

mengajak anaknya berinteraksi seperti menyanyikan lagu, salaman,

pok ame-ame semua memiliki makna untuk membahagiakan sang

anak, respon yang diterima oleh orang tua yaitu melihat anaknya

tersenyum, tertawa bahagia, sehingga tidak merasakan kesakitan pada

dirinya. Orang tua juga selalu memberikan pelukan, belaian, mencium,

39
menggendong, menyanyikan lagu, komunikasi spiritual seperti

sholawatan, sering memutarkan dan membacakan lantunan sholawat

dan ayat suci, memutarkan suara adzan, respon sang anak yang sakit

hydrocephalus tenang, kalau menangis langsung terdiam ketika

mendengarkan ayat suci.

Menggunakan kata-kata yang baik, makna yang ada pada pesan

yang disampaikan oleh orang tua kepada anaknya yaitu melindungi,

menyayangi anaknya, membuat anaknya merasa nyaman ketika berada

di pelukannya. Respon yang ada pada sang anak yaitu tenang, nyaman,

tidak menangis ketika berada dipelukan orang tuanya. Komunikasi

verbal dan nonverbal memiliki peran yang penting terhadap

penyembuhan anak yang sakit hydrocephalus.

Komunikasi verbal dan nonverbal menjadi salah satu

alternative dimana mempunyai nilai treatment non medis untuk

kesembuhan anak yang sakit hydrocephalus, dimana orang tua

mengasuh anaknya yang sakit harus terus diajak berkomunikasi,

berinteraksi baik verbal maupun nonverbal. Komunikasi dalam

keluarga merupakan sesuatu yang harus dibina, sehingga anggota

keluarga merasakan ikatan yang dalam serta saling membutuhkan.

Komunikasi Keluarga adalah suatu pengorganisasian yang

menggunakan kata-kata, sikap tubuh (gesture), intonasi suara, tindakan

untuk menciptakan harapan image, ungkapan perasaan serta saling

40
membagi pengertian, Sumakul (Acta Diurna, 2015 : Volume IV.

No.4.).

Beberapa penelitian bahkan menjelaskan bahwa komunikasi

orang tua dengan anak memiliki pengaruh terhadap kemampuan

komunikasi anak. Berdasarkan hasil penelitian, komunikasi keluarga

(orang tua) sangat penting untuk penyembuhan dan pengasuhan anak

yang sakit hydrocephalus. Informan I, II, dan III dan suami sering

membahas mengenai kondisi, dan perkembangan anaknya yang sakit,

mencari pengobatan yang terbaik demi menyembuhkan anaknya.

Dukungan dari suami sangat dibutuhkan bagi ibu yang mengasuh anak

hydrocephalus, agar tidak menyerah, mendapatkan motivasi untuk

mengasuh anaknya dengan baik sampai sembuh(Komunikasi et al.

2017).

c. Koping Orang tua yang Positif

Tema koping orang tua yang positif ditemukan pada penelitian

ini. Kondisi anak yang sakit tentu saja memberikan dampak perubahan

pada keluarga. Merawat anak yang sakit kronis seperti hidrosefalus

tentu saja menimbulkan kecemasan dan stres terhadap orang tua.

Mekanisme koping sangat diperlukan untuk dapat mengatasi dampak

perubahan tersebut. Mekanisme koping orang tua merupakan respons

terhadap upaya menerima kondisi anak yang sakit.

41
Pada tema mekanisme koping orang tua, terdapat lima

subtema, yaitu belajar ikhlas, bersabar, bersyukur, abaikan diri, dan

pengharapan. Penggunaan mekanisme koping pada orang tua yang

memiliki anak dengan hidrosefalus sangat penting dan berguna untuk

beradaptasi dengan kondisi anak yang mengalami gangguan

perkembangan(Krstic, T. dan Oros, 2012).

Penelitian ini, saat merawat anak hidrosefalus, ditemukan

penggunaan respons positif, yaitu belajar ikhlas, bersabar, bersyukur

dengan menerima apa yang telah Tuhan berikan, tidak peduli rasa sakit

yang orang tua rasakan dengan mengabaikan diri dan pengharapan

kesembuhan anak serta mendapat dukungan dari orang lain.

Orang tua yang memiliki anak dengan hidrosefalus, jumlah

informan sebanyak 8 orang dengan rentang usia 18– 45 tahun dan usia

anak mulai dari 18 hari–4 tahun. Anak dalam penelitian ini didiagnosa

hidrosefalus saat di dalam kandungan dan setelah kelahiran; di dalam

kandungan, anak didiagnosa hidrosefalus saat usia kandungan 8–9

bulan dan saat kelahiran anak didiagnosa hidrosefalus saat usia 3

minggu–3 bulan setelah kelahiran. Anak hidrosefalus dalam keluarga

adalah anak bungsu dan anak tunggal. Berdasarkan tujuan penelitian,

diperoleh lima tema yang berkaitan dengan pengalaman orang tua

yang memiliki anak dengan hidrosefalus. Tema yang dihasilkan proses

berduka sesuai dengan pernyataan Kubler Ross. Pada penelitian

42
ditemukan tahapan yang sama, yaitu mengingkari, marah, tawar-

menawar, depresi, dan penerimaan. Serupa dengan hasil penelitian

yang dilakukan Koesoemo (2010), ditemukan bahwa ketika keluarga

mengetahui bahwa salah satu anggota keluarganya mengalami sakit

dengan kebutuhan khusus, keluarga mengalami proses berduka yang

mendalam, menetap, dan berkepanjangan melalui tahapan

penyangkalan, kemarahan, depresi, tawar-menawar, dan

penerimaan(Oktaviani, Anggraini, and Kusumaningsih 2017).

Pengalaman orang tua dalam meningkatkan kualitas hidup

pada anak dengan hidrosefalus di kecamatan Dau Kabupaten Malang

terjawab dalam 5 tema, yaitu :

1. Orang Tua Memantau dan Membantu Aktivitas Fisik

Kegiatan Anak

Dalam melewati setiap tahap-tahap perkembangan

anak, orang tua memiliki peran yang penting dimana orang

tua membantu anak dalam melakukan segala aktivitasnya,

sehingga anak dapat mencapai kemandirian untuk hidup

bermasyarakat. Keragaman individu dari anak hidrosefalus

membawa dampak pada kebutuhan anak secara beragam

pula. Anak dengan hidrosefalus diharapkan untuk dapat

hidup mandiri dan juga diharapkan tidak selalu bergantung

43
terhadap orang lain untuk melakukan segala kebutuhan

aktivitasnya. Kemandirian yang dimaksud yaitu agar anak

mampu untuk melakukan kegiatan dirinya dalam

kehidupan rutin setiap hari, seperti makan, minum, mandi,

dan lain-lain(Soepardi, 2013).

Menurut peneliti pada tema pertama ini dapat penulis

simpulkan bahwa, orang tua masih memantau segala

aktivitas yang dilakukan oleh An. S dalam segala

aktivitasnya, yakni mulai dari aktifitas mandiri, pola tidur,

pola makan dan pola toilettingnya. Orang tua yang lebih

berperan penting dalam memantau segala aktivitas kegiatan

An. S adalah ibunya. Disamping itu orang tua juga

memberikan bantuan minimal dalam kegiatan yang

dilakukan oleh An. S sehari-hari seperti halnya membantu

anak memakai pampers pada saat BAK. Hal ini

mencerminkan bahwa kegiatan An. S saat ini masih banyak

dalam hal pengawasan dari orang tua meskipun ada

beberapa kegiatan yang dilakukan anak tanpa pengawasan

orang tua.

2. Orang Tua Aktif dalam Memantau dan Membantu

Pengobatan Anak

44
Menurut Effendy salah satu fungsi pokok orang tua

adalah asuh. Peran asuh orang tua yakni menuju kebutuhan

pemeliharaan dan perawatan anak agar kesehatannya selalu

terpelihara, sehingga diharapkan menjadikan anak-anak

yang sehat baik fisik, mental, sosial dan spiritual. Dengan

mengetahui adanya fungsi pokok orang tua dalam keluarga,

maka segala sikap dan perilaku anggota keluarga terutama

pada anak hidrosefalus dapat diarahkan dan dikendalikan

oleh orang tua sesuai dengan harapannya. Orang tua dalam

melaksanakan perannya akan membantu anak untuk

mencapai derajat kesehatan yang terbaik bagi

anaknya(Istiani, 2013).

Menurut peneliti, salah satu tindakan orang tua dalam

melakukan operasi seperti pemasangan VP-Shunt pada

anak untuk membantu proses penyembuhan selama ini

sudah benar. Hal ini sejalan dengan jurnal penelitian yang

telah diterbitkan oleh Universitas Brawijaya, hasil

penelitiannya adalah Tindakan VP-Shunt berefek positif

pada perbaikan hidrosefalus kongenital. Rekate et al

melaporkan tindakan diversi CSS akan segera menurunkan

TIK dan distensi ventrikel, sehingga cerebral mantle akan

menebal(Farhad & Widodo, 2013).

45
Penelitian ini, orang tua telah melaksanakan kewajiban

untuk mengasuh anak dengan baik. Mengasuh anak yang

telah dilakukan orang tua dalam hal ini yaitu memberikan

perawatan kesehatan kepada An. S. Upaya pemenuhan

perawatan kesehatan yang diberikan orang tua dalam

penelitian ini yaitu dengan cara pengobatan medis,

pemberian terapi dan perawatan kesehatan anak pada saat

di rumah.

3. Orang Tua Memfasilitasi Stimulasi Perkembangan Anak

Pada dasarnya, anak dengan hidrosefalus membutuhkan

bimbingan untuk tetap bisa berbaur dengan masyarakat

pada umumnya karena mereka memiliki hak dan kewajiban

yang sama di lingkungan sosial. Untuk anak dengan

hidrosefalus ini dalam pola pengajarannya memiliki

perbedaan dalam perlakuannya. Untuk memenuhi

kebutuhan pendidikan, maka para anak penyandang

hidrosefalus memerlukan pendidikan khusus. Seorang anak

dengan keterlambatan perkembangannya teridentifikasi

pada tahap awal akan punya kesempatan yang lebih baik

untuk bisa mencapai kapasitasnya secara penuh(Susanto,

2011).

46
Dalam penelitian ini didapatkan data bahwa orang tua

berperan penuh dalam memberikan pendidikan kepada An.

S untuk mengatasi keterlambatan perkembangan

motoriknya. Hal yang dilakukan orang tua kepada An. S

dengan memberikan pendidikan sekolah di tempat yang

khusus atau non formal. Disekolah ini anak akan dibimbing

untuk melatih dan mengasah motorik kasar, motorik halus

dan sensoriknya.

Hal ini sejalan dengan jurnal penelitian Jauhari (2017),

hasil penelitiannya adalah pembentukan sekolah inklusif

adalah meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh

pengaruh penyakit. Sekolah inklusi juga memberi

kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk

mengatasi ketertinggalan dalam perkembangan motorik.

4. Orang Tua Memantau Interaksi Hubungan Sosial Anak

Menurut R. Covey, terdapat 4 prinsip peranan keluarga

atau orang tua. Salah satu prinsip peranan orang tua kepada

anaknya adalah mentoring. Prinsip mentoring yakni orang

tua mengajarkan kemampuan untuk menjalin atau

membangun hubungan, menanamkan kasih sayang kepada

orang lain, interaksi hubungan ke orang lain atau

47
pemberian perlindungan kepada orang lain secara

mendalam, jujur dan tanpa syarat(Istiani, 2013).

Dalam penelitian ini didapatkan data bahwa terdapat

beberapa interaksi sosial An. S dengan orang disekitar,

salah satunya interaksi dengan kakak kandungnya. Interaksi

An. S dengan kakak kandung tergolong kurang baik,

karena sifat/watak dari An. S ialah keras dan pengatur

sehingga sang kakak sering mengalah dan harus memahami

keadaan adik kandungnya yang mengidap hidrosefalus.

Kejadian ini membuat orang tua berinisiatif untuk

mengajarkan An. S berinteraksi secara baik dengan orang

lain, seperti dalam hal mengajarkan cara berkomunikasi

yang baik.

5. Orang Tua Menjaga Faktor Lingkungan Anak

Lingkungan sangat berpengaruh bagi perkembangan

karakter anak. Bila anak berada pada lingkungan yang baik

maka akan dapat memberikan pengaruh yang baik pula

bagi perkembangan karakter anak, dan begitu juga

sebaliknya lingkungan yang tidak baik juga dapat

memberikan pengaruh yang tidak baik bagi perkembangan

karakter anak. Sebagai orang tua harus pintar memilihkan

lingkungan yang baik bagi anak, karena akan menentukan

48
perkembangan karakter anak. Lingkungan ini dapat

dimisalkan seperti lingkungan tempat tinggal dan

lingkungan bermain anak(Nelson, 2012).

Dalam penelitian ini didapatkan data bahwa orang tua

senantiasa menjaga faktor lingkungan sekitar An. S yaitu

pada lingkungan di dalam rumah dan lingkungan di luar

rumah. Pada lingkungan di dalam rumah yang orang tua

lakukan adalah menjaga siklus udara dan pencahayaan,

mengamankan barang-barang yang beresiko, memberitahu

benda yang berbahaya dan senantiasa mengawasi anak

pada saat naik dan turun tangga. Selain itu pada lingkungan

di luar rumah orang tua juga melakukan pengawasan dalam

hal mengawasi cara berjalan di depan pagar, memberitahu

bila ada motor minggir dan berhenti, serta orang tua

senantiasa menghindari pemicu yang tidak nyaman pada

saat anak berada di luar rumah(Ns. Agelina Bhetsy 2013).

Ibu yang memiliki anak dengan kelainan hydrocephalus mengalami

stres yang ditunjukkan dengan perasaan shock, sedih, kecewa, dan malu saat

pertama kali mengetahui kondisi anaknya. Hal yang memicu munculnya stres

pada ibu adalah kondisi fisik anak, persepsi mereka terhadap pandangan orang

lain mengenai anak, serta permasalahan finansial untuk beberapa subjek.

49
Keempat subjek mencoba melakukan usaha dalam menghadapi situasi stres

tersebut (coping). Usaha-usaha yang dilakukan keempat subjek antara lain

mencari informasi sebanyak mungkin mengenai kelainan hydrocephalus dan

penanganan yang harus dilakukan, memberikan penanganan terbaik untuk

anak, dan beberapa subjek memilih untuk berhenti dari kegiatan di luar rumah

demi mengasuh anaknya. Selain melakukan tindakan sebagai usaha

menghadapi kondisi anak, keempat subjek juga berusaha untuk memodulasi

perasaan agar lebih tenang dan kuat dalam menerima kondisi anak, berpikir

positif terhadap situasi yang dihadapi, lebih banyak mendekatkan diri kepada

Tuhan, serta mencari dukungan secara emosi dengan melakukan sharing

dengan keluarga ataupun teman. Dukungan sosial merupakan faktor yang

paling berpengaruh dalam usaha subjek menghadapi kondisi anak dengan

kelainan hydrocephalus. Dukungan secara emosi yang diberikan keluarga dan

lingkungan membuat subjek lebih percaya diri dan optimis terhadap

perkembangan kondisi anak dengan kelainan hydrocephalus(Maharani 2014).

50
B. KERANGKA TEORI (sumber: maharani 2014, Apryanto,Sari and

Agung 2013).

Hidrosefalus pada anak Hal-hal yang terjadi:

1. Peningkatan tekanan
intrakranial
Penyebab hidrosefalus:
2. Kerusakan otak
1. kelainan bawaan 3. Infeksi: septikemia,
2. infeksi endokarditis, infeksiluka,
3. neoplasma nefritis, meningitis,
4. perdarahan ventrikulitis, abses otak.
4. Shunt tidak berfungsi
Pengalaman orang tua terhadap anak pengidap
dengan baik akibat
hidrosefalus:
obstruksi mekanik.
1. Proses Penerimaan Orang Tua pada Anak 5. Hematomi subdural,
Hydrocephalus peritonitis, adses
2. Komunikasi Verbal dan Nonverbal dalam abdomen, perporasi organ
Pengasuhan Orang Tua untuk Membangun dalam rongga abdomen,
Tautan Emosi pada Anak Hydrocephalus. fistula, hernia, dan ileus.
3. Koping Orang tua yang Positif 6. Kematian
4. Orang Tua Memantau dan Membantu Aktivitas
Fisik Kegiatan Anak
5. Orang Tua Aktif dalam Memantau dan
Membantu Pengobatan Anak
6. Orang Tua Memfasilitasi Stimulasi
Perkembangan Anak
7. Orang Tua Memantau Interaksi Hubungan
Sosial Anak
8. Orang Tua Menjaga Faktor Lingkungan51
Anak
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik kajian

literatur, yaitu penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi dan

data yang ada di perpustakaan seperti buku referensi, hasil penelitian

sebelumnya yang sejenis, artikel, catatan, serta berbagai jurnal yang berkaitan

dengan masalah atau penelitian yang akan dilakukan. Kegiatan dilakukan

secara sistematis untuk mengumpulkan, mengolah, dan mengumpulkan data

dengan menggunakan metode atau teknik tertentu guna mencari jawaban atas

permasalahan yang dihadapi(Sari 2020). Tujuan dari metode ini adalah untuk

membantu peneliti lebih memahami latar belakang dari penelitian yang

menjadi subjek topik yang dicari serta memahami kenapa dan bagaimana hasil

dari penelitian tersebut sehingga dapat menjadi acuan untuk penelitian baru

yang akan dilakukan, Okoli (2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

pengalaman orang tua terhadap perawatan anak pengidap hidrosefalus dengan

kajian literatur.

B. Tahapan sistematika literature review

Menurut Okoli (2015), penelitian yang menggunakan metode kajian

literatur ada beberapa tahapan yang dilakukan yaitu :

52
1. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat adanya pengalaman

orang tua terhadap perawatan anak pengidap hidrosefalus.

2. Pencarian data

Dalam penelitian sumber pustaka yang digunakan adalah jurnal yang

berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, sumber penyediaan jurnal

yang terkait. Adapun kata kunci pencarian mencakup kata hidrosefalus

dan pengalaman orang tua terhadap perawatan anak pengidap

hidrosefalus. Sumber penyediaan jurnal yang terkait yaitu menggunakan

Google Schoolar yang dapat diakses secara bebas ataupun tidak.

3. Screening

Kriteria inklusi yang digunakan dalam penelitian ini adalah jurnal

kesehatan dengan kata kunci anak hidrosefalus dan pengalaman orang tua

terhadap perawatan anak pengidap hidrosefalus, serta rentang tahun terbit

jurnal yang digunakan mulai dari tahun 2010-2020. Pemilihan jurnal yang

terkait dengan penelitian yaitu dengan metode Cross sectional. Data

diperoleh dari jurnal nasional dan internasional menggunakan Google

schoolar.

4. Penilaian kualitas

Penilaian kualitas pada metode kajian literatur yang dimaksud adalah

kriteria eksklusi yang dapat membatalkan data atau jurnal yang sudah

53
didapat untuk dianalisis lebih lanjut. Pada penelitian ini kriteria eksklusi

yang digunakan yakni jurnal penelitian dengan topik permasalahan tidak

adanya pengalaman orang tua terhadap perawatan anak pengidap

hidrosefalus, serta jurnal penelitian yang terbitnya sebelum tahun 2010.

5. Ekstrkasi data

Ekstraksi data dapat dilakukan jika semua data yang telah memenuhi

syarat telah diklasifikasikan untuk semua data yang ada. Setelah proses

screening dilakukan maka hasil dari ekstraksi data ini dapat diketahui

pasti dari jumlah awal data yang dimiliki berapa yang masih memenuhi

syarat untuk selanjutnya dianalisis lebih jauh.

6. Analisa data

Dalam penelitian ini setelah melewati tahapan screening sampai

dengan ekstraksi data maka analisa dapat dilakukan dengan

menggabungkan semua data yang memenuhi persyaratan inklusi

menggunakan teknik baik secara kuantitatif, kualitatif atau keduanya.

Pada penelitian ini peneliti akan menggunakan teknik analisa data yakni

secara kualitatif.

C. Populasi dan sampel

1. Populasi

Populasi yang digunakan oleh peneliti ini adalah jurnal nasional dan

jurnal internasional terindeks sinta yang telah melalui masa screening dan

masuk dalam kriteria inklusi yang telah ditetapkan yakni jurnal yang

54
berkaitan dengan pengalaman orang tua terhadap perawatan anak

pengidap hidrosefalus, serta dengan jurnal dalam rentang waktu 2010-

2020. Jumlah populasi dalam 6 jurnal yang ditelaah terdapat 205

populasi.

2. Sampel

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 6 jurnal

penelitian terkait, dengan beberapa kriteria sebagai berikut :

a. Kriteria inklusi

1) Jurnal nasional dan internasional yang membahas topik

pengalaman orang tua terhadap perawatan anak pengidap

hidrosefalus.

2) Tahun terbit jurnal dalam rentang waktu 2010-2020.

3) Jurnal yang diakses secara penuh (full text).

4) Penelitian non eksperimental

b. Kriteria eksklusi

1) Jurnal nasional atau internasional yang tidak membahas

pengalaman orang tua terhadap perawatan anak pengidap

hidrosefalus.

2) Tahun terbit jurnal dibawah tahun 2010

3) Jurnal tidak dalam bentuk full text.

55
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL

1. Karakteristik responden

Dalam penelitian kajian literatur ini, penulis berfokus menggunakan 6

artikel penelitian dimana artikel yang digunakan sesuai dengan kriteria

inklusi yaitu judul yang membahas tentang pengalaman orang tua terhadap

perawatan anak pengidap hidrosefalus dengan tahun terbit dalam rentang

waktu 2010-2020. Artikel penelitian yang digunakan dalam penelitian

kajian literatur adalah penelitian-penelitian yang bersifat Non eksperimental

dan metode korelasional atau metode untuk melihat hubungan antara

variabel dengan pendekatan Cross Sectional. Jumlah rata- rata responden

tertinggi yaitu 25 responden dan terendah 2 responden. Studi ini rata-rata

dilakukan di Indonesia dengan enam studi. Dari enam artikel penelitian

yang digunakan peneliti menemukan bahwa adanya pengalaman orang tua

terhadap perawatan anak pengidap hidrosefalus. Responden dalam

penelitian ini adalah orang tua yang berusia 18-45 tahun, 19-40 tahun, 38

tahun, dengan rata-rata usia anak 18 hari-4 tahun, 13-16 bulan, 6 tahun, 6

bulan-3 tahun. Karakteristik gender responden dalam penelitian yaitu orang

tua yang mempunyai anak dengan hidrosefalus dan sebagian besar tingkat

56
pendidikan di level sekolah dasar, menengah atas dan perguruan tinggi dan

ibu yang buta huruf. Karakteristik ekonomi di strata sosial ekonomi rendah.

2. Karakteristik Jurnal

Karakteristik jurnal dari penelitian kajian literatur ini adalah jurnal

yang mereview tentang orang tua yang memiliki anak pengidap

hidrosefalus dan rata-rata usia dari penderita hidrosefalus adalah anak-

anak.

Untuk penjelasan mengenai review jurnal, dapat dilihat pada tabel

berikut:

57
No Nama Judul jurnal Nama jurnal Metode analisis jurnal
Populasi dan Metode, desain Kelom Hasil penelitian
sampel penelitian dan uji pok
analisa data control
1 Mawar Pengalaman Jppni Populasi dalam Metode penelitian Berdasarkan hasil penelitian, pe
Oktavian orang tua vol.01/no.02/ penelitian ini kualitatif dengan memberikan gambaran dan pemaha
i, Lina yang agustus- sebanyak 75 analisis pendekatan pengalaman orangtua yang memiliki
Dewi memiliki november/20 penderita fenomenologi hidrosefalus. Berdasarkan hasil anali
Anggrain anak dengan 16 dengan Jumlah deskriptif dan lima tema yang mengungkapkan
i, hidrosefalus sampel dalam Teknik orangtua, antara lain proses berd
Chatarin penelitian ini pengambilan perawatan, koping orangtua, upaya k
a sebanyak 8 sampel dalam perubahan nilai.
Indriati, responden. penelitian ini ialah
Kusuma non-probability
ningsih sampling, yaitu
dengan cara
purposive
sampling.

2 Ayşe The International The population It was used the Mothers were more interested in pro

58
Gürol, Experienced Journal of in the study focus group experienced by themselves and their c
Yurdagül Problems of Caring were 15 parents methodology and near future and the physiological dim
Erdem, Mothers Sciences who had in-depth interviews disease. However, they were awa
Feyza Having May-August children with for qualitative children’s future, home-care and spec
Yazar Children with 2015 Volume hydrocephalus studies in the study. needs.
Taşbaşi. Hydrocephal 8 Issue 2 and the samples
us: A obtained were 9
Qualitative people
Study
3 Joanna Parents’ 2013 John Twenty-five A cross-sectional Parents can recognize illness symptom
Smith, experiences Wiley & parents interview-based of shunt malfunction and want to col
Francine of living with Sons Ltd participated in survey using health professionals about the manage
Cheater, a child with 1709 Health the interviews. qualitative methods child’s condition. Collaboration w
Hilary hydrocephalu Expectations, was undertaken. requires health professionals to liste
Bekker. s: a cross- 18, pp. Framework concerns and value their experiences
sectional approach
interview- underpinned data
based study analysis.

4 Mukham Pengalaman STIK Saint Sampel pada Penelitian ini Dalam penelitian ini, pengalaman ora

59
mad, orang tua Carolus, penelitian 2 menggunakan meningkatkan kualitas hidup pada an
Agus dalam 2019 orang metode kualitatif, hidrosefalus di kecamatan Dau Kabup
Sholi, meningkatka 01/No.02, responden. dengan pendekatan terjawab dalam 5 tema, yaitu : Orang t
Feriana n kualitas 137–144. case study atau dan membantu aktifitas fisik kegiatan
Ira hidup pada studi kasus. Uji tua aktif dalam memantau dan
Handian anak S analisa data analisis pengobatan anak, Orang tua memfasili
dengan data model Miles perkembangan anak, Orang tua mema
hidrosefalus and Huberman. hubungan sosial anak, Orang tua m
di kecamatan lingkungan anak.
dau
kabupaten
malang
5 Mawar Pengalaman Jppni Sampel dalam Penelitian ini Penelitian ini menghasilkan 5 tema
oktaviani orang tua vol.01/no.02/ penelitian menggunakan berduka, proses perawatan, mekan
yang agustus- sebanyak 8 metode kualitatif orang tua, upaya kesehatan, dan per
memiliki november/20 responden. dengan pendekatan Penelitian ini menyarankan
anak dengan 16 fenomenologi meminimalkan masalah orang tua ya
hidrosefalus deskriptif anak dengan hidrosefalus.
di wisma
kasih bunda

60
semarang
6 Racheal Care giver’s Faculty of The sampel in The Care givers were experiencing financ
kyarimpa experiences nursing and the study as phenomenological psychological problems, lack of socia
Muramu of having a health many as 8 descriptive study cultural constraints and stigma ass
zi, child with sciences, respondents. involved fifteen hydrocephalus. The care givers expe
Talbert hydrocephalu bishop stuart respondents who full of life changes and coping strateg
muhwezi s : a university - were purposively used both problem and emotion foc
phenomenolo mbarara, selected strategies to deal with the ch
gical study at uganda compassionate and responsive care w
ruharo by the participants.
mission
hospital

61
B. PEMBAHASAN

1. Pengalaman orang tua terhadap perawatan anak pengidap

hidrosefalus

Berdasarkan hasil penelitian dari 6 jurnal ditemukan bahwa terdapat

pengalaman orang tua terhadap perawatan anak pengidap hidrosefalus.

Pengalaman orang tua dalam hal merawat anak pengidap hidrosefalus

ditemukan dalam beberapa proses atau perilaku dari setiap orang tua

dengan bagaimana mereka merawat keadaan anak mereka.

1.1 Proses Penerimaan Orang Tua pada Anak Hydrocephalus

Orang tua yang memiliki anak yang sakit hydrocephalus harus

mengelola emosinya ketika merawat anaknya yang sakit, agar tidak

berpengaruh pada kesembuhan sang anak. Berdasarkan artikel dari

Rahmayani (2017), didapatkan bahwa ketiga informan mendapatkan

hal tidak menyenangkan dari luar, banyak tetangga, orang lain yang

melihat kondisi anaknya yang sakit dan banyak yang mengejek,

Semua hal yang tidak menyenangkan dari luar yang mengganggu

ketika mengasuh anaknya yang sakit, informan tidak mendengarkan

perkataan orang lain, tidak memasukan ke dalam hati, cuek saja dan

tetap fokus merawat anaknya yang sakit sampai sembuh. Hal yang

ketiga informan lakukan yaitu berdoa, meminta kesembuhan untuk

sang anak, bercerita kepada suami meminta kekuatan, kesabaran agar

bisa kuat merawat dengan baik anaknya yang sakit sampai

62
sembuh(Germer). Penelitian lain oleh Yunita (2014), menjelaskan

bahwa orang tua dapat terlihat dari kepasrahan kepada Tuhan

mengenai masalah yang dihadapi dan cenderung menghindari

lingkungan yang memberikan respons negatif terhadap anak (emotion-

focused coping). Semua informan juga mencari tahu mengenai

penyakit anak, melakukan pengobatan bagi anak, serta melakukan

perawatan (problem-focused coping). Dalam penelitian ini juga

ditemukan orang tua melakukan beberapa tahapan agar bisa menerima

keadaan anaknya yaitu mengikari, marah, tawar-menawar, depresi, dan

penerimaan. Penelitian ini juga didukung dari Maharani (2014),

menjelaskan bahwa usaha-usaha yang dilakukan keempat subjek

dalam menerima anak hidrosefalus antara lain mencari informasi

sebanyak mungkin mengenai kelainan hydrocephalus dan penanganan

yang harus dilakukan, memberikan penanganan terbaik untuk anak,

dan beberapa subjek memilih untuk berhenti dari kegiatan di luar

rumah demi mengasuh anaknya. Selain melakukan tindakan sebagai

usaha menghadapi kondisi anak, keempat subjek juga berusaha untuk

memodulasi perasaan agar lebih tenang dan kuat dalam menerima

kondisi anak, berpikir positif terhadap situasi yang dihadapi, lebih

banyak mendekatkan diri kepada Tuhan, serta mencari dukungan

secara emosi dengan melakukan sharing dengan keluarga ataupun

teman. Dukungan sosial merupakan faktor yang paling berpengaruh

63
dalam usaha subjek menghadapi kondisi anak dengan kelainan

hydrocephalus. Dukungan secara emosi yang diberikan keluarga dan

lingkungan membuat subjek lebih percaya diri dan optimis terhadap

perkembangan kondisi anak dengan kelainan hydrocephalus.

Penelitian dari Yunita (2019), menjelaskan bahwa proses penerimaan

dari beberapa sub tema antara lain: Orang tua memantau dan

membantu aktivitas fisik kegiatan anak, Orang tua aktif dalam

memantau dan membantu pengobatan anak, Orang tua memfasilitasi

stimulasi perkembangan anak, Orang tua memantau interaksi

hubungan sosial anak, Orang tua menjaga faktor lingkungan anak.

Peneliti berpendapat bahwa dalam hal merawat anak yang

pengidap hidrosefalus Orang tua harus mampu mewujudkan

penerimaan diri dengan cara pemahaman terhadap diri sendiri,

memiliki harapan yang positif, memiliki kepercayaan diri yang baik,

tidak menyerah dalam merawat kondisi anaknya dengan memberikan

kasih sayang, pengasuhan yang benar, memberikan sentuhan,

mengekspresikan rasa sayangnya, karena dengan hal itu membantu

anaknya yang sakit hidrosefalus merasa senang dan ada niat untuk

menerima keadaan. Orang tua juga harus menerima keadaan anaknya

agar anak tidak merasa minder dan adanya rasa percaya diri dalam diri

anak.

64
1.2 Komunikasi Verbal dan nonverbal dalam Pengasuhan Orang Tua

untuk Membangun Tautan Emosi pada Anak Hydrocephalus.

Orang tua yang mengasuh anak sakit hydrocephalus yang

sebelumnya tidak menggunakan komunikasi verbal ketika pertama kali

mengasuh anaknya yang sakit, respon sang anak sedih, sering

menangis, apalagi ketika melihat ibunya sedih, menangis ketika

merawat anaknya yang sakit dan respon sang anak langsung panas,

sakit dan kejang setiap malam. Hal ini yang dialami informan ketika

menunjukan wajah sedih di depan anaknya. Menjalin komunikasi

dengan anak yang sakit hydrocephalus bukan sesuatu yang mudah bagi

orang lain sekitarnya, khususnya juga orang tua di rumah. Berdasarkan

hasil penelitian ini, komunikasi keluarga (orang tua) sangat penting

untuk penyembuhan dan pengasuhan anak yang sakit hydrocephalus.

Informan sering membahas mengenai kondisi, dan perkembangan

anaknya yang sakit, mencari pengobatan yang terbaik demi

menyembuhkan anaknya. Dukungan dari suami sangat dibutuhkan

bagi ibu yang mengasuh anak hydrocephalus, agar tidak menyerah,

mendapatkan motivasi untuk mengasuh anaknya dengan baik sampai

sembuh. Orang tua yang memiliki anak sakit hydrocephalus sering

mengajak anaknya berinteraksi seperti menyanyikan lagu, salaman,

pok ame-ame semua memiliki makna untuk membahagiakan sang

anak, respon yang diterima oleh orang tua yaitu melihat anaknya

65
tersenyum, tertawa bahagia, sehingga tidak merasakan kesakitan pada

dirinya (Komunikasi et al. 2017).

Penelitian dari Maharani (2014), menjelaskan bahwa Ibu yang

memiliki anak dengan kelainan hydrocephalus mengalami stres yang

ditunjukkan dengan perasaan shock, sedih, kecewa, dan malu saat

pertama kali mengetahui kondisi anaknya. Hal yang memicu

munculnya stres pada ibu adalah kondisi fisik anak, persepsi mereka

terhadap pandangan orang lain mengenai anak, serta permasalahan

finansial untuk beberapa subjek. Keempat subjek mencoba melakukan

usaha dalam menghadapi situasi stres tersebut (coping). Usaha-usaha

yang dilakukan keempat subjek antara lain mencari informasi

sebanyak mungkin mengenai kelainan hydrocephalus dan penanganan

yang harus dilakukan, memberikan penanganan terbaik untuk anak,

dan beberapa subjek memilih untuk berhenti dari kegiatan di luar

rumah demi mengasuh anaknya. Selain melakukan tindakan sebagai

usaha menghadapi kondisi anak, keempat subjek juga berusaha untuk

memodulasi perasaan agar lebih tenang dan kuat dalam menerima

kondisi anak, berpikir positif terhadap situasi yang dihadapi, lebih

banyak mendekatkan diri kepada Tuhan, serta mencari dukungan

secara emosi dengan melakukan sharing dengan keluarga ataupun

teman. Dukungan sosial merupakan faktor yang paling berpengaruh

66
dalam usaha subjek menghadapi kondisi anak dengan kelainan

hydrocephalus. Dukungan secara emosi yang diberikan keluarga dan

lingkungan membuat subjek lebih percaya diri dan optimis terhadap

perkembangan kondisi anak dengan kelainan hydrocephalus.

Penelitian lain oleh Yunita (2019), menjelaskan bahwa Orang tua

memfasilitasi stimulasi perkembangan anak, Orang tua memantau

interaksi hubungan sosial anak.

Peneliti berpendapat bahwa komunikasi verbal sangat

diperlukan dalam mengasuh anak yang sakit hidrosefalus dalam hal

berinteraksi, agar sang anak terbiasa berkomunikasi dengan orang lain

di dalam rumah maupun di lingkungan sekitar. Komunikasi verbal

menjadi salah satu alternative dimana mempunyai nilai treatment non

medis untuk kesembuhan anak yang sakit hydrocephalus, dimana

orang tua mengasuh anaknya yang sakit harus terus diajak

berkomunikasi

3. Koping Orang tua yang Positif

Tema koping orang tua yang positif ditemukan pada penelitian

ini. Kondisi anak yang sakit tentu saja memberikan dampak perubahan

pada keluarga. Merawat anak yang sakit kronis seperti hidrosefalus

tentu saja menimbulkan kecemasan dan stres terhadap orang tua.

Mekanisme koping sangat diperlukan untuk dapat mengatasi dampak

perubahan tersebut. Mekanisme koping orang tua merupakan respons

67
terhadap upaya menerima kondisi anak yang sakit. Pada tema

mekanisme koping orang tua, terdapat lima subtema, yaitu belajar

ikhlas, bersabar, bersyukur, abaikan diri, dan pengharapan.

Penggunaan mekanisme koping pada orang tua yang memiliki anak

dengan hidrosefalus sangat penting dan berguna untuk beradaptasi

dengan kondisi anak yang mengalami gangguan perkembangan

(Krstic, T. dan Oros, 2012).

Penelitian lain dari Oktaviani et al (2017), menjelaskan bahwa

terdapat gambaran perilaku orang tua terhadap perawatan anak

pengidap hidrosefalus dimana penelitian ini memberikan gambaran

dan pemahaman tentang pengalaman orang tua yang memiliki anak

dengan hidrosefalus. Tema koping orang tua yang positif ditemukan

beberapa hal diantaranya: orang tua belajar ikhlas, bersabar, bersyukur

dengan menerima apa yang telah Tuhan berikan, tidak peduli rasa sakit

yang orang tua rasakan dengan mengabaikan diri, dan pengharapan

agar anak bisa sembuh dari sakit hidrosefalus serta mendapatkan

dukungan dari orang lain. Penelitian dari Yunita (2014), menjelaskan

bahwa dinamika coping stress keluarga dapat terlihat dari kepasrahan

kepada Tuhan mengenai masalah yang dihadapi dan cenderung

menghindari lingkungan yang memberikan respons negatif terhadap

anak (emotion-focused coping). Semua informan juga mencari tahu

68
mengenai penyakit anak, melakukan pengobatan bagi anak, serta

melakukan perawatan (problem-focused coping).

Peneliti berpendapat bahwa koping orang tua yang positif

sangat dibutuhkan saat merawat anak hidrosefalus, dengan

menggunakan respon yang positif, seperti belajar ikhlas, bersabar,

bersyukur dengan menerima apa yang telah Tuhan berikan dan tidak

peduli rasa sakit yang dialami orang tua dan mengharapkan

kesembuhan serta kebahagian bagi sang anak yang mengalami

hidrosefalus serta mendapatkan dukungan dari orang lain.

1.3 Orang Tua Memantau dan Membantu Aktivitas Fisik Kegiatan

Anak

Anak dengan hidrosefalus diharapkan untuk dapat hidup

mandiri dan juga diharapkan tidak selalu bergantung terhadap orang

lain untuk melakukan segala kebutuhan aktivitasnya. Kemandirian

yang dimaksud yaitu agar anak mampu untuk melakukan kegiatan

dirinya dalam kehidupan rutin setiap hari, seperti makan, minum,

mandi, dan lain-lain Soepardi (2013). Penelitian dari Yunita (2019),

menjelaskan bahwa dalam melewati setiap tahap-tahap perkembangan

anak, orang tua memiliki peran yang penting dimana orang tua

membantu anak dalam melakukan segala aktivitasnya, sehingga anak

dapat mencapai kemandirian untuk hidup bermasyarakat. Keragaman

69
individu dari anak hidrosefalus membawa dampak pada kebutuhan

anak secara beragam pula. Penelitian lain dari Maharani (2014),

menjelaskan bahwa usaha-usaha yang dilakukan orang tua dalam

membantu aktivitas fisik anak yaitu mencari informasi sebanyak

mungkin mengenai kelainan hydrocephalus dan penanganan yang

harus dilakukan, memberikan penanganan terbaik untuk anak, dan

beberapa subjek memilih untuk berhenti dari kegiatan di luar rumah

demi mengasuh anaknya.

Peneliti berpendapat bahwa pentingnya orang tua memantau

dan membantu aktivitas fisik kegiatan anak hidrosefalus, seperti

membantu anak saat makan, minum, BAK, BAB dan sebagainya.

Anak dengan hidrosefalus belum seutuhnya untuk melakukan aktivitas

sendiri sehingga pentingnya pantauan orang tua mereka dalam hal

aktivitas fisik. Orang tua yang mempunyai anak dengan hidrosefalus

harus mempunyai waktu dengan anak agar anak memiliki kemauan

untuk berbuat atau melakukan aktivitas fisik.

1.4 Orang Tua Aktif dalam Memantau dan Membantu Pengobatan

Anak

Penelitian dari Istiana (2013), menjelaskan bahwa Peran asuh

orang tua yakni menuju kebutuhan pemeliharaan dan perawatan anak

agar kesehatannya selalu terpelihara, sehingga diharapkan menjadikan

anak-anak yang sehat baik fisik, mental, sosial dan spiritual. Dengan

70
mengetahui adanya fungsi pokok orang tua dalam keluarga, maka

segala sikap dan perilaku anggota keluarga terutama pada anak

hidrosefalus dapat diarahkan dan dikendalikan oleh orang tua sesuai

dengan harapannya. Orang tua dalam melaksanakan perannya akan

membantu anak untuk mencapai derajat kesehatan yang terbaik bagi

anaknya. Penelitian dari Smith et al (2013), menjelaskan bahwa Orang

tua dalam membantu pengobatan anak dengan dapat mengenali gejala

penyakit yang menunjukkan malfungsi shunt dan ingin bekerja sama

dengan profesional kesehatan tentang pengelolaan kondisi anak

mereka. Kolaborasi dengan orang tua membutuhkan ahli kesehatan

untuk mendengarkan kekhawatiran orang tua dan menghargai

pengalaman mereka. Penelitian ini didukung oleh Maharani (2014)

mengatakan mencari informasi sebanyak mungkin mengenai kelainan

hydrocephalus dan penanganan yang harus dilakukan, memberikan

penanganan terbaik untuk anak. Penelitian lain dari Oktaviani et al

(2017), menjelaskan bahwa dalam hal ini orang tua memberikan

perawatan kesehatan terhadap anak mereka dengan cara pengobatan

medis, pemberian terapi dan perawatan kesehatan anak pada saat di

rumah. Penelitian dari Yunita (2019), menjelaskan bahwa pengalaman

orang tua dalam meningkatkan kualitas hidup pada anak “S” dengan

hidrosefalus di kecamatan Dau Kabupaten Malang terjawab dalam 5

71
tema, yaitu salah satunya Orang tua aktif dalam memantau dan

membantu pengobatan anak.

Peneliti berpendapat bahwa, memantau dan membantu

pengobatan anak dengan pengidap hidrosefalus sangat diperlukan

dimana anak hidrosefalus harus melakukan perawatan kesehatan

dengan cara memberikan pengobatan medis, pemberian terapi dan

orang tua membantu perawatan anak saat berada di rumah. Salah satu

pengobatan anak yang didapatkan dari orang tua adalah rasa perhatian

dan kasih sayang yang tulus terhadap anak walaupun dengan kondisi

anak dengan pengidap hidrosefalus. Orang tua dalam memantau

pengobatan anak dengan cara memberikan pengobatan yang sesuai

dengan kondisi anak mereka dan orang tua bekerja sama dengan tim

medis dalam pengobatan.

1.5 Orang Tua Memfasilitasi Stimulasi Perkembangan Anak

Pada dasarnya, anak dengan hidrosefalus membutuhkan

bimbingan untuk tetap bisa berbaur dengan masyarakat pada

umumnya karena mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama di

lingkungan sosial. Untuk anak dengan hidrosefalus ini dalam pola

pengajarannya memiliki perbedaan dalam perlakuannya. Untuk

memenuhi kebutuhan pendidikan, maka para anak penyandang

hidrosefalus memerlukan pendidikan khusus. Seorang anak dengan

keterlambatan perkembangannya teridentifikasi pada tahap awal akan

72
punya kesempatan yang lebih baik untuk bisa mencapai kapasitasnya

secara penuh Susanto (2011). Penelitian dari Gürol (2015),

menjelaskan bahwa dengan memfasilitasi stimulasi perkembangan

anak ibu lebih tertarik pada masalah yang akan dialami dirinya dan

anaknya dalam waktu dekat dan dimensi fisiologis penyakitnya.

Namun, mereka sadar akan masa depan anak-anak mereka, perawatan

di rumah, dan kebutuhan pendidikan khusus. Penelitian lain oleh

Maharani (2014), menjelaskan bahwa dukungan secara emosi yang

diberikan keluarga dan lingkungan membuat subjek lebih percaya diri

dan optimis terhadap perkembangan kondisi anak dengan kelainan

hydrocephalus. Penelitian dari Yunita (2019), menjelaskan bahwa

Orang tua berperan penuh dalam memberikan pendidikan kepada sang

anak untuk mengatasi keterlambatan perkembangan motorik. Hal yang

dilakukan orang tua kepada sang anak dengan memberikan pendidikan

disekolah di tempat yang khusus atau non formal. Di sekolah ini, anak

dibimbing untuk melatih dan mengasah motorik kasar, motorik halus

dan sensoriknya.

Peneliti berpendapat bahwa, anak dengan hidrosefalus sangat

penting mendapatkan pendidikan untuk mengembangkan stimulasi

dari anak. Orang tua sangat dibutuhkan untuk memberikan pendidikan

terhadap anak untuk mengatasi keterlambatan perkembangan motorik

73
kasar dan halus serta perkembangan sensorik. Walaupun anak tidak

mendapatkan pendidikan dari sekolah, orang tua wajib memfasilitasi

pendidikan anak di rumah dengan melatih cara bicara dan cara

membaca seperti yang dilakukan anak lain di sekolah.

1.6 Orang Tua Memantau Interaksi Hubungan Sosial Anak

Salah satu prinsip peranan orang tua kepada anaknya adalah

mentoring. Prinsip mentoring yakni orang tua mengajarkan

kemampuan untuk menjalin atau membangun hubungan, menanamkan

kasih sayang kepada orang lain, interaksi hubungan ke orang lain atau

pemberian perlindungan kepada orang lain secara mendalam, jujur dan

tanpa syarat Istiani (2013). Penelitian dari Yunita (2019), menjelaskan

bahwa pengalaman orang tua dalam meningkatkan kualitas hidup pada

anak hidrosefalus didapatkan bahwa anak hidrosefalus melakukan

interaksi dengan orang sekitarnya, salah satunya adalah kakak

kandungnya. Dalam hal ini, orang tua mempunyai inisiatif untuk

mengajarkan kepada anak hidrosefalus bagaimana cara berkomunikasi

yang baik terhadap orang lain. Penelitian lain oleh Maharani (2014),

menjelaskan bahwa mencari dukungan secara emosi dengan

melakukan sharing dengan keluarga ataupun teman, dan Dukungan

secara emosi yang diberikan keluarga dan lingkungan membuat subjek

74
lebih percaya diri dan optimis terhadap perkembangan kondisi anak

dengan kelainan hydrocephalus.

Peneliti berpendapat bahwa, pentingnya anak berinteraksi

dengan anak hidrosefalus agar anak hidrosefalus terbiasa

berkomunikasi dengan anak lainya. Berkomunikasi dengan sesama

anak lainya, penderita hidrosefalus sangat bersemangat dan penderita

juga merasa percaya diri akan keadaanya. Orang tua juga wajib

memantau interaksi hubungan sosial anak hidrosefalus agar anak yang

lain tidak meremehkan anaknya yang hidrosefalus.

1.7 Orang Tua Menjaga Faktor Lingkungan Anak

Lingkungan sangat berpengaruh bagi perkembangan karakter

anak. Bila anak berada pada lingkungan yang baik maka akan dapat

memberikan pengaruh yang baik pula bagi perkembangan karakter

anak, dan begitu juga sebaliknya lingkungan yang tidak baik juga

dapat memberikan pengaruh yang tidak baik bagi perkembangan

karakter anak. Sebagai orang tua harus pintar memilihkan lingkungan

yang baik bagi anak, karena akan menentukan perkembangan karakter

anak. Lingkungan ini dapat dimisalkan seperti lingkungan tempat

tinggal dan lingkungan bermain anak (Nelson, 2012).

Penelitian dari Maharani (2014), menjelaskan bahwa Ibu yang

memiliki anak dengan kelainan hydrocephalus menjaga faktor

lingkungan anak secara internal dengan melakukan usaha menghadapi

75
kondisi anak, berusaha untuk memodulasi perasaan agar lebih tenang

dan kuat dalam menerima kondisi anak, berpikir positif terhadap

situasi yang dihadapi, lebih banyak mendekatkan diri kepada Tuhan,

serta mencari dukungan secara emosi dengan melakukan sharing

dengan keluarga ataupun teman. Dukungan sosial merupakan faktor

yang paling berpengaruh dalam usaha subjek menghadapi kondisi

anak dengan kelainan hydrocephalus. Dukungan secara emosi yang

diberikan keluarga dan lingkungan membuat subjek lebih percaya diri

dan optimis terhadap perkembangan kondisi anak dengan kelainan

hidrosefalus. Di dalam rumah orang tua menjaga siklus udara,

pencahayaan, mengamankan barang-barang yang beresiko,

memberitahu benda yang berbahaya atau tajam serta mengawasi anak

saat naik dan turun tangga. Di luar rumah, orang tua mengawasi cara

berjalan di depan pagar, memberitahu bila ada motor untuk minggir

dan berhenti, serta menghindari pemicu yang membuat anak tidak

nyaman.

Peneliti berpendapat bahwa, orang tua senantiasa menjaga

faktor lingkungan anak yaitu pada lingkungan rumah dan di luar

rumah. Pada lingkungan rumah orang tua menjaga siklus udara,

pencahayaan, mengamankan barang-barang tajam, mengawasi anak

saat berjalan naik turun tangga dan saat berada di tempat licin. Selain

itu, pada lingkungan di luar rumah orang tua harus mengawasi cara

76
berjalan anak, membantu anak menyeberangi jika ada motor dan

mobil, menghindari pemicu yang membuat anak tidak nyaman saat

berada di luar rumah.

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil review 6 artikel sebagian besar yaitu 6 artikel

penelitian ditemukan menjelaskan tentang pengalaman orang tua terhadap

anak pengidap hidrosefalus. Berdasarkan hasil review dari 6 jurnal penelitian

menyimpulkan bahwa terdapat pengalaman orang tua terhadap perawatan

anak pengidap hidrosefalus. Pengalaman orang tua terhadap anak pengidap

hidrosefalus seperti proses penerimaan orang tua pada anak hidrosefalus,

komunikasi verbal dan nonverbal dalam Pengasuhan orang tua untuk

membangun tautan emosi pada anak hidrosefalus, koping orang tua yang

positif, orang tua memantau dan membantu aktivitas fisik kegiatan anak,

orang tua aktif dalam memantau dan membantu pengobatan anak, orang tua

memfasilitasi stimulasi perkembangan anak, orang tua memantau interaksi

hubungan sosial anak dan orang tua menjaga faktor lingkungan anak.

77
B. SARAN

1. Bagi orang tua dari anak pengidap hidrosefalus

Orang tua Penderita Hidrosefalus diharapkan untuk memperhatikan

beberapa pengalaman yang dapat membantu meningkatkan kesehatan dari

anak Hidrosefalus.

2. Bagi Unika Santu Paulus Ruteng khususnya bagi program studi

keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk menambah

ilmu pengetahuan atau informasi bagi mahasiswa keperawatan tentang

bagaimana pengalaman orang tua terhadap perawatan anak pengidap

hidrosefalus.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Penelitian ini diharapkan menjadi salah satu sumber informasi atau

bahan pustaka bagi peneliti selanjutnya dengan menggunakan metode dan

desain penelitian yang berbeda untuk melakukan penelitian tentang

pengalaman orang tua terhadap perawatan anak pengidap hidrosefalus.

78
DAFTAR PUSTAKA

Apriyanto, Rhonaz Putra Agung, and Fadillah Sari. (2013). “Hidrosefalus Pada

Anak.” Jmj

1: 61–67.

Argie, D., Zafrullah, M., Adam, A., Imron, A., Sobana, M., Sutiono, A. B., & Bedah,

I. (2014). Artikel Asli. 43(September), 43–47.

Gürol, A. (2015). The Experienced Problems of Mothers Having Children with

Hydrocephalus : A Qualitative Study. 8(2), 435–442.

Yunita Handayani, Erlyn Erawan : Dinamika coping stress keluarga dalam

menghadapi anak hidrosefalus. Hal. 1-12. 1–12. Journal of Islamic Economics

and Banking 2.

Komunikasi, Departemen Ilmu, Fakultas Ilmu, Sosial Dan, Ilmu Politik, and

Universitas

Diponegoro. 2017. “proses penerimaan dan pengasuhan orang tua" Disusun

79
Oleh : Sri Ageng Wirdhana.”

Latifah, Luluk, and Iskandar Ritonga. (2020). “Systematic Literature Review ( SLR ):

Kompetensi Sumber Insani Bagi Perkembangan Perbankan Syariah Di

Indonesia Daya.”

Lifestyle, Kompas. 2012. 2 ) Hitung > Tabel. Vol. I.

Lusiana, D. (2020). The Quality of Life of Hydrocephalus Children with Shunt

Implants : Literature Review. 7(1), 119–124.

Maharani, Wa Ode. 2014. “Stress Dan Coping Stress Ibu Yang Memiliki Anak

Dengan Kelainan Hydrocephalus” 03 (4): 67–71.

Marzali, Amri -. 2017. “Menulis Kajian Literatur.” Etnosia : Jurnal Etnografi

Indonesia 1 (2): 27. https://doi.org/10.31947/etnosia.v1i2.1613.

Moura, Ciro José Ribeiro de. 2011. “No Title p.” Phys. Rev. E 3 (10): 53.

Ns. Agelina Bhetsy, S.Kep, ed. 2013. 1 , 2 1. Vol. 3. jakarta:EGC,.

Okoli, Chitu. 2015. “A Guide to Conducting a Standalone Systematic Literature

Review.” Communications of the Association for Information Systems 37 (1):

879–910. https://doi.org/10.17705/1cais.03743.

Oktaviani, M., Anggraini, L. D., & Kusumaningsih, C. I. (2017). Pengalaman

Orangtua Yang Memiliki Anak Dengan Hidrosefalus. Jurnal Persatuan Perawat

Nasional Indonesia (JPPNI), 1(2), 137. https://doi.org/10.32419/jppni.v1i2.22

80
“Program Studi d Iii Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Perintis Padang

Tahun 2018.

Rahmawati, Chitra Diana, and Shrimarti Rukmini Devy. 2018. “Dukungan Sosial

Yang Mendorong Perilaku Pencegahan Seks Pranikah Pada Remaja Sma X Di

Kota Surabaya.” Jurnal PROMKES 4 (2): 129.

https://doi.org/10.20473/jpk.v4.i2.2016.129-139.

Rahmayani, Denisa Dwi, Prastiya Indra Gunawan, and Budi Utomo.( 2017). “Profil

Klinis Dan Faktor Risiko Hidrosefalus Komunikans Dan Non Komunikans Pada

Anak Di RSUD Dr. Soetomo.” Sari Pediatri 19 (1): 25.

https://doi.org/10.14238/sp19.1.2017.25-31.

Sari, Milya.(2020)."Penelitian Kepustakaan (Library Research) Dalam Penelitian

Pendidikan IPA 6 (1): 41–53.

Scan, C T, and C T Scan. (2013). “Gambaran Neuroimaging Hidrosefalus Pada

Anak,” 117–22.

Semiawan, Conny. R.( 2010). No Title. Jakarta: Grasindo.

Sena, Purwanza Wahyu, Rasni Hanny, and Juliningrum Perdani Peni. (2017).

“hubungan parental monitoring dengan perilaku seksual berisiko pada remaja

di desa puger kulon kecamatan puger kabupaten jember.” Pustaka Kesehatan 5

(1): 99–107.

81
Suprihati, and Wikan Utami.(2015.) “Analisis faktor ± faktor yang mempengaruhi

perilaku di kelurahan gonilan kabupaten sukoharjo Suprihati , Wikan Budi

Utami STIE AAS Surakarta pendahuluan latar Belakang Dewasa Ini Persaingan

Diantara Pengusaha Untuk Memperebutkan Pangsa Pasar Yang Tersedia.”

Jurnal Paradigma 13 (01).

https://kumparan.com/florespedia/kisah-artaliano-bayi-penderita-hidrosefalus-sejak-

lahir-di-manggarai

https://kupang.tribunnews.com/2020/11/17/yayasan-anis-berikan-kursi-bagi-

penderita-hidrosefalus-di-desa-nggorang-kabupaten-mabar

82

Anda mungkin juga menyukai