Anda di halaman 1dari 3

Abyan Farid Panjaitan R.

10

11191120000014

Filsafat Politik II

Ilmu Politik 4A

Demokrasi Deliberatif: Pemikiran Jurgen Habermas

Jurgen Habermas adalah salah satu filsuf Eropa kontemporer yang dikenal sebagai
penerus para teoritisi mazhab Frankfurt seperti Max Horkheimer, Theodore Wiesengrund
Adorno dan Herbet Marcuse. Pemikiran-pemikirannya cukup luas yang mana di dalamnya
terkandung pragmatisme. Hermeneutik, psikoanalisa, serta teori-teori sosial yang
revolusioner. Jurgen Habermas lahir di Dusseldorf, Jerman pada 18 Juni 1929 dan dibesarkan
di sebuah kawasan kecil Grummersbach (sebuah kota kecil yang dekat dengan daerah
Dusseldorf. Ayahnya adalah seorang pengusaha yang menjabat sebagai ketua kamar dagang
di Grummersbach (Anwar Nuris: 40).

Habermas mendalami ilmu-ilmu seperti filsafat, psikologi, ekonomi dan kesusastraan


ketika menempuh jalur pendidikan di beberapa tempat seperti Universitas Gottingen (1949-
1950), Universitas Zurich (1950-1951), dan juga tempat dimana ia mendapat gelar doktornya,
yakni Rheinschen-Friedrich-Wilhelms-Universitat, Bonn, pada tahun 1954. Saat itu ia
mengambil jurusan Filsafat dan lulus dengan disertasi Das Absolute und die Geschichte:
Vonder Zwiespaltigkeit in Schelling Denken (Yang Mutlak dan Sejarah: Dualitas dalam
Pemikiran Schelling). Pada umurnya yang ke 25 tahun, Jurgen Habermas bergabung di
Institut Fur Sozialforschung (Instutit Penelitian Sosial) di Frankfurt. Di lembaga inilah
seorang Jurgen Habermas menemukan identitas intelektualnya. Yang mana pada tahun
berikutnya, saat Habermas menjadi asisten dari Adorno, ia ikut aktif dalam proyek Teori
Kritis. Beberapa tahun kemudian, Habermas mendapatkan posisi sebagai Direktur Institut
Penelitian Sosial tersebut menggantikan Horkheimer. Setelah itu, Habermas sempat pindah
ke Stanberg, Bayern. Disana ia menjadi peneliti di Max-Planck Institut zut Eforschung der
Lebensbendingungen der Wissenschaftinchtechischen Welt dan kemudian kembali
mendapatkan posisi sebagai direktur disana (Nuris: 41).

Sebelum mencetuskan pemikirannya kepada demokrasi deliberatif, Habermas terlebih


dahulu berbicara soal komunikasi yang menurutnya adalah hubungan simetris atau timbal
balik antara dua pihak yang sama kedudukannya. Komunikasi ini hanya dapat terjadi apabila
kedua belah pihak saling mengakui kedudukannya dan saling percaya. Nah, demokrasi
deliberatif inilah yang menjadi ekspansi pemikiran Habermas tentang komunikasi, dimana
berbicara soal demokrasi deliberatif adalah berbicara soal komunikasi atau interaksi yang
terjalin antar pemerintah denngan rakyat dalam negara demokrasi untuk sinkronisasi
kebijakan melalui ruang publik atau yang biasa disebut oleh Habermas sebagai “diskursus
publik”. Yang mana bisa dikatakan bahwa teori Habermas mengenai komunikasi ini adalah
basis epistemik bagi teori demokrasi deliberatif.

Kata “deliberasi” beasal dari kata latin deliberatio yang artinya konsultasi, menimbang-
nimbang, atau musyawarah. Maka demokrasi bersifat deliberatif jika proses pembuatan suatu
kebijakan publik diuji dahulu lewat konsultasi langsung dengan pihak yang bersangkutan,
yaitu rakyat itu sendiri. Demokrasi deliberatif ini juga merupakan sintesis paling tidak dari
dua tradisi pemikiran tentang hukum negara dan demokrasi modern, yakni tradisi liberal
seperti John Locke dan tradisi republikan seperti Rosseau. Tradisi liberal memandang hukum
dan negara secara utilitaristik sebagai lembaga-lembaga yang diperlukan untuk menjamin
kebebasan warga masyarakatnya. Sedangkan tradisi republikan memandang hukum dan
negara sebagai ekspresi kehendak umum, yang dianggap kehendak suci rakyat. Negara dalam
republikanisme berhak menutut komitmen dan pengorbanan dari warga negaranya atau
rakyatnya. Maka dalam tradisi ini kita mengenai istilah seperti “mengabdikan diri pada
negara” dan semacamnya (Moh. Asy’ari Muthar: 55).

Sebagai sintesis dari kedua tradisi diatas, demokrasi deliberatif membawa nilai
bersama-sama mencari kebenaran yang berakar pada fakta, peduli pada kepentingan
masyarakat, dan tidak doktriner. Keberadannya ini menutupi cacat yang timbul dari
demokrasi liberal yang menempatkan sang peraih suara terbanyak dalam pemilu berhak
menentukan tindakan bersama. Dimana dalam demokrasi deliberatif partisipasi publik
menjadi lebih luas dengan menekankan proses uji kebijakan pemerintah terhadap
masyarakatnya. Dapat dikatakan bahwa demokrasi deliberatif ini menekankan aspek
rasionalitas dan komunikasi publik, sehingga kebijakan publik dapat diterima secara
intersubjektif oleh semua warga negara dan tidak menutup diri dari kritik dan revisi. Lebih
lanjut, Habermas memaparkan beberapa kondisi yang dapat mendorong terciptanya
komunikasi ideal dalam demokrasi deliberalif, yakni inklusif (tidak ada pihak spesial), bebas
paksaan, terbuka dan simetris. Proses inilah yang nantinya akan menentukan legitimasi
politiknya. Semakin rasional dan terbuka terhadap pengujian publik, maka akan semakin
legitimate hasilnya (Muthar: 56-58).

Daftar Rujukan

Nuris, Anwar. “Tindakan Komunikatif: Sekilas tentang Pemkiran Jurgen Habermas.” al-
Balaqh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol.1, No.1, Januari – Juni 2016, h. 40-66.
Muthar, Moh. Asy’ari. “Membaca Demokrasi Deliberatif Jurgen Habermas dalam Dinamika
Politik Indonesia.” Jurnal UIN Jakarta, h. 49-72.

Anda mungkin juga menyukai