Anda di halaman 1dari 7

Sakit Perut

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Diare adalah suatu gejala klinis dan gangguan saluran pencernaan (usus) yang ditandai
dengan bertambahnya frekuensi defekasi Iebih dan biasanya (berulang-ulang), disertai adanya
perubahan bentuk dan konsistensi dan faeses menjadi lembek atau cair. Di Indonesia penyakit
diare (mencret) masih merupakan masalah di bidang kesehatan terutama di daerah pedesaan.
Angka kesakitan penduduk sekitar 15–43% tiap tahun. Dari jumlah tersebut 60–80% diderita
oleh anak balita. Angka kematian yang disebabkan oleh diare mengalami penurunan dari
12,4% (1986) menjadi 7,5% (1992), dan urutan penyebab kematian karena infeksi menduduki
urutan ke-3 setelah penyakit tuberkulosis dan infeksi saluran nafas. Menurut daftar kunjungan
ke Puskesmas/Balai Pengobatan, angka kunjungan karena penyakit tersebut menduduki
urutan ke 3. Dan hasil survai penggunaan obat tradisional di Kalimantan Timur penyakit
diare termasuk yang sering dikeluhkan oleh masyarakat(1,2). Faktor penyebab terjadinya
diare antara lain infeksi kuman Penyebab diare, keadaan gizi, higiene dan sanitasi, sosial
budaya, musim, sosial ekonomi dan lain-lain. Masyarakat yang jauh dari pelayanan kesehatan
resmi sangat tergantung pada alam sekeliling bagi kesehatan termasuk menanggulangi diare.
Pengetahuan tentang diare dan penyakit yang berhubungan dengannya sangat diperlukan
bagi mahasiswa kedokteran. Oleh karena itu, pada skenario ini kita akan membahas tentang
diare, gastritis dan beberapa penyakit yang berhubungan dengannya.
Analisis Masalah
Wanita 30 tahun.
Diare 10 kali sehari, konsistensi encer, tanpa lendir dan darah, warna kuning berbau amis.
Nausea dan vomitus setian kali makan.
Badan lemah. Makan terasa pahit.
Kencing sedikit.
Riwayat penyakit dahulu :
Satu bulan yang lalu didiagnosa gastritis atau ulkus peptikum.
Gejalanya perut tidak enak, nyeri di epigastrium, nausea kadang-kadang vomitus. Nocturnal pain
positif.
Pemeriksaan fisik : Keadaan umum lemah, gizi cukup, kesadaran apatis. Tekanan darah 80/50 mmHg,
nadi 110x/menit, respirasi 28x/menit, pernafasan kussmaul. Suhu 37 0 C. Mata cekung, bibir kering.
Abdomen : epigastric tenderness positip, tugor perut menurun. Kedua tangan keriput.
Dari skenario di atas didapatkan masalah-masalah, yaitu :
Bagaimana patofisiologi, patogenesis, serta mekanisme dari keluhan-keluhan penderita?
Apa diagnosis penyakit diatas ?
Bagaimana hubungan antara riwayat penyakit dahulu dengan keluhannya saat ini?
Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan pasien?
Bagaimana penatalaksanaan pada kasus ini ?
Tujuan Penulisan
Mengetahui patofisiologi, patogenesis, serta mekanisme keluhan-keluhan pada gastritis
dan diare.
Mengetahui hubungan antara faktor resiko dengan gangguan pada gastritis dan diare.
Menentukan diagnosis secara sistematis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang.
Mengetahui cara pencegahan, terapi serta prognosis dari gangguan sistem pencernaan
pada kasus di atas.
Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan laporan ini adalah :
membentuk pola pikir mahasiswa menjadi terarah dan sistematik;
mahasiswa mampu menyusun tulisan ilmiah yang baik dan benar;
menambah pengetahuan mahasiswa tentang mekanisme penyakit pada sistem
kardiovaskuler; dan
menambah pengetahuan mahasiswa tentang terapi dan pencegahan penyakit pada
sistem kardiovaskuler.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DIARE
Istilah diare digunakan jika feses kehilangan konsistensi normalnya yang padat. Hal ini biasanya
berhubungan dengan peningkatan beratnya (pada laki-laki>235 g/hari dan perempuan>175g/hari)
dan frekuensinya (>2 perhari). Diare dapat memiliki banyak penyebab :
- Diare osmotic : terjadi akibat asupan sejumlah makanan yang sukar diserap bahkan dalam keadaan
normal atau pada malabsorbsi. Termasuk dalam kelompok pertama adalah sorbitol(ada dalam obat
bebas gula dan permen serte buah-buahan tertentu), fruktosa (jeruk, lemon, berbagai buah, madu),
garam magnesium (antasida, laktasif) serta anion yang sukar diserap seperti sulfat, fosfat atau sitrat.
Zat yang tidak diserap bersifat aktif secara osmotic pada usus halus sehingga menarik air ke dalam
lumen. Dan hal ini tergambarkan dalam beberapa percobaan. Misalnya, asupan zat yang tidak
diserap sebesar 150 mmol dalam 250 mL air akan memulai sekresi air secara osmitik di duodenum
sehingga volumenya meningkat hingga 750 mL.
Pada malabsorbsi karbohidrat, penurunan absorbsi Na di usus halus bagian atas menyebabkan
penyerapan air menjadi berkurang . Aktivitas osmotic dari karbohidrat yang tidak diserap juga
menyebabkan sekresi air. Akan tetapi, bakteri di dalam usus besar dapat memetabolisme
karbohidrat yang tidak diserap hingga sekitar 80 g/hari menjadi asam organic yang berguna untuk
menghasilkan energi, yang bersama-sama dengan air akan diserap di dalam kolon. Hanya gas yang
dihasilkan dalam jumlah besar yang akan memberikan bukti terjadinya malabsorbsi karbohidrat.
Namun, jika jumlah yang tidak diserap >80 g/hari atau bakteri usus dihancurkan oleh antibiotic ,
akan terjadi diare.
- Diare sekretorik : dalam pemahaman yang lebih sempit terjadi jika sekresi Cl di mukosa usus halus
diaktifkan. Di dalam sel mukosa , Cl secara sekunder aktif diperkaya oleh pembawa simport Na-K-2Cl
basolateral dan disekeresi melalui kanal Cl di dalam lumen. Kanal ini akan lebih sering membuka
ketika konsentrasi cAMP intrasel meningkat. cAMP dibentuk dalam jumlah yang lebih besar jika
terdapat misal laktasif dan toksin bakteri tertentu (kolera). Toksin kolera menyebabkan diare massif
(hingga 1000mL/jan) yang dapat secara cepat mengancam nyawa akibat kehilangan air, K dan HCO3.
Pembentukan VIP (vasoactive intestinal peptide) yang berlebihan oleh sel tumor pulau pancreas juga
menyebabkan tingginya kadar cAMP di mukosa usus sehingga mengakibatkan diare yang berlebihan
dan mengancam nyawa yang biasa disebut dengan kolera pankreatik.
Terdapat beberapa alasan mengapa diare terjadi setelah reaksi ileum dan sebagian kolon. Garam
empedu, yang normalnya diabsorbsi di ileum, akan mempercepat aliran yang melalui kolon(absorbsi
air menurun). Selain itu, garam empedu yang tidak diserap akan dehidroksilasi oleh bakteri dikolon.
Metabolit garam empedu yang terbentuk akan merangsang sekresi NaCl dan H 2O dikolon. Akhirnya,
juga terjadi kekurangan absorbsi aktif Na pada segmen usus yang direseksi.
GASTRITIS
Secara sederhana gastritis dapat dibedakanatas tiga tipe utama :
gastritis hemoragik dan erosif.
gastritis aktif kronis, non erosif.
gastritis atrofi (kelenjar fundus)
Gastritis hemoragik dan erosif dapat disebabkan beberapa hal, misalnya :
- Penggunaan obat AINS, memiliki efek perusakan mukosa yang bersifat lokal dan sistemik.
- Iskemia.
- Stres.
- Penyalahgunaan alkohol, zat kimia korosif.
- Trauma dan radiasi.
Gastritis tipe ini dapat secara cepat menyebabkan ulkus akut, dengan resiko perdarahan
lambung yang masif atau perforasi dinding lambung.
Gastritis aktif, non-erosif biasanya terbatas pada antrum. Pada beberapa dekade terakhir
penyebab penentunya telah semakin jelas, yaitu kolonisasi bakteri helocobacter pylory pada
antrum yang secara efektif dapat diobati dengan antibiotik. Kolonisasi helocobacter tidak
hanya mengurangi perlindungan mukosa, tetapi dapat juga merangsang lepasnya gastrin
antrum dan sekresi getah lambung di fundus, suatu kondisi yang membantu terjadinya ulkus
kronis.
Gastritis reaktif terjadi di sekeliling gastritis erosif, ulkus atau luka operasi. Gastritis reaktif
yang terjadi di sekeliling luka operasi, sebagian terjadi setelah dilakukan operasi di daerah
antrum atau pilorus akibat refluks enterogastrik, menyebabkan enzim dari pankreas dan usus
serta garam empedu menyerang mukosa lambung. Di sisi lain, getah usus yang alkalis akan
menetralkan pelepasan gastrin, dan keadaan ini juga merupakan media yang buruk bagi
helicobacter pylori sehingga pada gastritis reaktif kolonisasi helicobacter pylori akan
berkurang.
Gastritis atrofi (kelenjar fundus) paling sering terbatas di fundus, memiliki penyebab yang
sangat berbeda. Pada keadaan ini, getah lambung dan plasma biasanya mengandung
autoantibodi terhadap bagian atau produk sel parietal seperti lipoprotein mikrosom, reseptor
gastrin, karboanhidrase, H+/K+ ATPase dan faktor intrisik. Akibatnya, sel parietal menjadi
atrofi dan menyebabkan sekresi asam dan faktor intriksik menjadi sangat menurun. Antibodi
faktor intrinsik juga menghambat ikatan kobalamin dengan faktor intrinsik yang akhirnya
menyebabkan defisiensi kobalamin dengan anemia pernisiosa. Pada gastritis atrofi, gastrin
akan dilepaskan lebih banyak sebagai respon terhadap hal ini dan sel pembentuk gastrin
mengalami hipertrofi. Hiperplasia sel yang menyerupai enterokromafin(ECL) mungkin
terjadi akibat kadar gastrin yang tinggi. Sel ini mengangkut reseptor gastrin dan berperan
untuk menghasilkan histamin di dinding lambung. Hiperplasia sel ECL ini kadang-kadang
berkembang menjadi karsinoid. Akan tetapi bahaya utama pada gastritis atrofi adalah
metaplasia mukosa yang luas, merupakan keadaan prakanker shingga dapat menyebabkan
karsinoma lambung.
BAB III
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis, hasil pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada penderita
tersebut, kemungkinan penderita menderita gagal jantung kiri. Gagal jantung tersebut
disebabkan oleh hipertensi yang penderita derita. Tidak adanya peningkatan JVP,
hepatomegali, ascites, dan pembengkakan pada kedua kaki pada pemeriksaan fisik
menyingkirkan dugaan gagal jantung kanan. Selain itu, sesak napas penderita pada aktivitas
ringan dan mau tidur serta auskultasi paru didapatkan suara vesikuler menyingirkan dugaan
kelainan penderita akibat sistem pernapasan. Berikut ini adalah hasil analisis lebih lanjut
penulis terhadap kasus dalam skenario.
Pada penderita hipertensi, tahanan perifer sistemik menjadi lebih tinggi dari orang normal
akibat adanya vasokontriksi pembuluh darah. Itu berarti ventrikel kiri harus bekerja lebih
keras untuk melawan tahanan tersebut agar ejeksi darah maksimal sehingga suplai darah ke
semua jaringan tercapai sesuai kebutuhannya. Ventrikel kiri kemudian mengompensasi
keadaan tersebut dengan hipertrofi sel-sel otot jantung. Hipertrofi ventrikel kiri (left ventricle
hyperthropy, LVH) memungkinkan jantung berkontraksi lebih kuat dan mempertahankan
volume sekuncup walaupun terjadi tahanan terhadap ejeksi. Namun, lama kelamaan
mekanisme kompensasi tersebut tidak lagi mampu mengimbangi tekanan perifer yang tetap
tinggi. Kegagalan mekanisme kompensasi menyebabkan penurunan kontraktilitas ventrikel
kiri. Penurunan kontraktilitas ventrikel kiri akan diikuti oleh penurunan curah jantung yang
selanjutnya menyebabkan penurunan tekanan darah. Semua hal tersebut akan merangsang
mekanisme kompensasi neurohormonal seperti pengaktifan sistem saraf simpatis dan sistem
RAA (renin-angiotensin-aldosteron).
Pengaktifan sistem saraf simpatis akan meningkatkan kontraktilitas jantung hingga mendekati
normal. Hal itu terjadi karena saraf simpatis mengeluarkan neurotransmiter (norepinefrin-NE)
yang meningkatkan permeabilitas Ca2+ membran. Hal tersebut meningkatkan influks Ca2+ dan
memperkuat partisipasi Ca2+ dalam proses kontraksi sel. Selain itu, stimulasi simpatis juga
menyebabkan vasokontriksi perifer yang bertujuan mencegah penurunan tekanan darah lebih
lanjut. Di sisi lain, penurunan curah jantung menyebabkan penurunan perfusi jaringan organ
tubuh lainnya. Salah satunya adalah ginjal. Penurunan perfusi darah ke ginjal merangsang
ginjal untuk menurunkan filtrasi dan meningkatkan reabsorbsi. Peningkatan reabsorbsi inilah
yang menyebabkan kencing penderita berkurang dan peningkatan kadar serum ureum (65
mg/dl) di mana harga rujukannya sebesar 10-50 mg/dl. Walaupun terjadi penurunan filtrasi
glomerulus, dalam keadaan mantap stabil laju filtrasi kreatinin sama dengan laju ekskresinya.
Hal inilah yang menyebabkan kadar kreatinin serum penderita sebesar 1,4 mg/dl masih
mendekati batas normal (normal 0,6-1,3 mg/dl). Kedua hal di atas menunjukkan adanya
penurunan fungsi ginjal. Penurunan perfusi ginjal juga merangsang sel-sel juxtaglomerulus
untuk mensekresi renin. Kemudian renin menghidrolisis angiotensinogen menjadi
angiotensin I yang selanjutnya oleh angiotensin converting enzyme (ACE) akan diubah
menjadi angiotensin II. Angiotensin II kemudian ditangkap oleh reseptornya di pembuluh
darah (vascular ATR1) dan terjadi vasokontriksi. Bila angiotensin II diterima oleh reseptor
sel korteks adrenal (adrenal ATR1) maka korteks adrenal akan mensekresi aldosteron.
Aldosteron kemudian diikat oleh reseptornya di ginjal. Proses tersebut membuka ENaC
(epithelial Na Channel) yang menyebabkan peningkatan retensi Na+. Karena Na+ bersifat
retensi osmotik, peningkatan Na+ akan diikuti peningkatan H2O. Hasil akhir semua proses
tersebut adalah peningkatan aliran darah balik ke jantung akibat adanya peningkatan volume
intravaskuler.
Pada stadium awal gagal jantung, semua mekanisme kompensasi neurohormonal tersebut
memang bermanfaat. Akan tetapi, pada stadium lanjut, mekanisme tersebut justru semakin
memperparah gagal jantung yang terjadi dan dapat menyebabkan gagal jantung tak
terkompensasi. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Pertama, setelah terpajan dalam jangka
waktu yang lama, jantung menjadi kurang tanggap terhadap NE. Akhirnya kontraktilitas
jantung kembali menurun. Kedua, aktivitas simpatis dan RAA tetap terjadi. Akibatnya
vasokontriksi, retensi cairan, peningkatan preload, dan peningkatan afterload tetap terjadi.
Sel-sel ventrikel semakin terenggang dan kekuatan kontraksinya semakin menurun. Ventrikel
kiri semakin tidak mampu memompa darah ke sistemik. Darah menjadi terbendung di atrium
kiri menyebabkan hipertrofi atrium kiri (left atrium hyperthropy, LAH) sebagai mekanisme
kompensasi. Hipertrofi ventrikel akan menggeser letak musculus papillaris sehingga dapat
terjadi regurgitasi mitral fungsional (terdengar sebagai bising pansistolik di apex yang
menjalar ke lateral). Hal itu semakin memperberat kerja jantung dan penanda adanya
pembesaran jantung (kardiomegali) selain ditunjukkan oleh ictus cordis yang bergeser ke
lateral bawah dan batas jantung kiri bergeser ke lateral bawah serta foto thorax CTR 0,60.
Lama kelamaan akan terjadi kongesti di vena pulmonalis. Tekanan intravaskuler vena
pulmonalis yang semakin tinggi menyebabkan cairan terdorong keluar dan terjadilah edema
paru. Edema paru menyebabkan pasien sering merasa sesak napas saat beraktivitas ringan
dan berbaring sebagai kompensasi akibat lumen bronkus dan alveolus mengecil yang
menyebabkan pertukaran gas terganggu. Mungkin itu menjadi salah satu penyebab pasien
sukar tidur. Pada edema paru, alveolus yang tergenang cairan transudasi yang menimbulkan
suara ronki basah basal halus saat auskultasi. Di sisi lain, jaringan sistemik semakin
kekurangan O2 dan proses metabolisme pun berubah menjadi metabolisme anaerob.
Akibatnya terjadi peningkatan produksi asam laktat yang menyebabkan asidosis metabolik.
Selain itu, pada gagal jantung kiri asidosis metabolik disebabkan oleh oksigenasi arteri
berkurang dan peningkatan pembentukan asam di dalam darah akibat adanya penurunan
pertukaran O2 dan CO2 di dalam alveolus paru. Peningkatan ion hidrogen [H +] merangsang
kemoreseptor sentral sehingga terjadi hiperventilasi.
Pada pasien ditemukan adanya asidosis metabolik terkompensasi. Kondisi ini
menggambarkan adanya penurunan pH akibat penurunan kadar HCO3- dalam darah dan
terkompensasi oleh peningkatan ventilasi paru (hiperventilasi) yang akan menurunkan PCO2
dan penambahan bikobarbonat baru ke dalam cairan ekstraseluler oleh ginjal. Keadaan
hiperventilasi pada pasien dapat ditunjukkan oleh adanya respiration rate sebesar 32
kali/menit. Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien adalah pemberian venodilator
dan vasodilator untuk menurunkan preload dan afterload. Selain itu pasien juga perlu diberi
obat-obatan inotropik seperti digitalis untuk meningkatkan kontraktilitas jantung. Terapi non-
farmakologis pada penderita dapat dilakukan berupa mengurangi asupan lemak, garam sera
minuman alhokol, mengurangi atau menurunkan berat badan, latihan atau olah raga, dan
berhenti merokok.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pasien kemungkinan menderita gagal jantung kiri akut akibat hipertensi yang dideritanya.
Pasien mengalami kardiomegali dan penurunan fungsi ginjal akut.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan antara lain pemberian venodilator, vasodilator, dan
inotropik untuk menurunkan beban jantung dan meningkatkan kontraktilitas jantung.
Saran
Penderita sebaiknya melakukan terapi nonfarmakologis berupa mengurangi asupan
lemak, garam sera minuman alhokol, mengurangi atau menurunkan berat badan,
latihan atau olah raga, dan berhenti merokok untuk membantu penurunan tekanan
darah selain menggunakan terapi farmakologis.
Penderita sebaiknya melaksanakan terapi farmakologis dan non-farmakologis secara
teratur guna mengontrol tekanan darahnya.

Anda mungkin juga menyukai