Anda di halaman 1dari 30

STUDI KASUS PASIEN GERIATRI

 Data Pasien

Nama Pasien : A.H

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 78 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Pendidikan : SD

Tujuan assesment : Memastikan kondisi kesehatan

Obat-obatan yang dikonsumsi: Furosemid 1x1,

Adonemia 2x1,

Ambroxol 1x1,

obat antidiabetes peroral sesekali dikonsumsi,

injeksi insulin sesekali diberikan

Obat tanpa resep : Tidak ada

Obat tradisional : Jamu watukan

Efek samping yang dirasakan : Tidak ada

Alergi obat : Tidak ada

Hasil lab :

Nama pemeriksaan Hasil Rujukan


GDP 629 mg/dL <100
Kreatinin 1,1 mg/dL 0,7-1,2
Asam Urat 9,3 mg/dL 2,6-7,2
HDL 50 mg/dL >40
LDL 55 mg/dL <100
Trigliserida 81 mg/dL <150
Kolesterol 122 mg/dL <200
Albumin 3,3 mg/dL 3.5-4.5
SGOT 27 mg/dL <=40
SGPT 25 mg/dL <=41

Tekanan darah :

Berbaring Duduk Berdiri


130/70 mmHg 125/85 mmHg 120/90 mmHg

Gaya hidup : Merokok -


Alkohol -
Olahraga -
Diet -
Kopi -
 Diagnosis :

Dilihat dari data lab, pasien didiagnosa menderita diabetes melitus tipe
2 dan hiperurisemia dilihat dari GDP dan kadar asam urat diatas normal. Data
kadar albumin juga dapat didiagnosa hipoalbuminemia namun kekurangan
albumin ini sifatnya ringan karena hanya berbeda sedikit dengan batas normal.
Berdasarkan obat – obatan yang digunakan oleh pasien, maka pasien
didiagnosa mengalami hipertensi dengan tekanan darah pasien terkontrol.

 Patofisiologi :
1. Diabetes Melitus

Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang dapat disebabkan oleh


genetik atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta langerhans kelenjar
pankreas, atau disebabkan oleh kurangnya respon sel-sel tubuh terhadap insulin.
Hal ini ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang nantinya merusak
sistem tubuh khususnya pembuluh darah dan saraf. Diabetes Melitus
diklasifikasikan menjadi, “Insulin Dependent Diabetes Melitus” (IDDM) disebut
juga Diabetes Melitus tipe 1, dan “Non-Insulin-Dependent Diabetes Melitus”
(NIDDM) yang disebut juga Diabetes Melitus tipe 2 (Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik, 2005).

Tabel 1. Perbandingan Perbedaan DM tipe 1 dan 2

(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005)

a. Diabetes Melitus Tipe 1


Autoimun sel β pankreas : protein sel β berperan sebagai autoantigen atau
merubah dirinya menjadi antigen dalam tubuh. APC menangkap sinyal
dari antigen tersebut hingga memberikan kode ke sel T CD4+ dan
kemudian membuat sel T teraktivasi dan mengeluarkan antibodi melalui
cytotoksik CD8+ dan makrofag(yang teraktivasi oleh sel IL-2 dan
IFNgamma) yang akan membunuh antigen sel β tersebut. Antigen sel β
mengalami apoptosis dan rusak, sehingga akhirnya tidak ada insulin yang
terbentuk. Saat makan, tubuh mengalami peningkatan glukosa, asam
lemak, dan asam amino pada plasma. Pada tubuh seseorang yang terkena
DM tipe 1 insulin tidak diproduksi.
(Ozougwu, 2013)
Gambar I. Skema Diabetes Melitus Tipe 1
.
b. Diabetes Melitus Tipe 2
1) Resistensi Insulin
Reseptor insulin gagal merespon insulin secara normal.
Hiperinsulinemia mengakibatkan reseptor insulin melakukan self
regulation (menurunkan jumlah reseptor) sehingga mengakibatkan
penurunan respon reseptor, lebih lanjut mengakibatkan resistensi
insulin. Disisi lain hiperinsulinemia juga dapat mengakibatkan
desentisasi reseptor insulin, selain itu desentisasi juga dapat
disebabkan karena tidak adanya glukosa di jaringan sehingga lemak
dan protein dipecah untuk menjadi energi dimana reaksi ini
menghasilkan radikal bebas yang dapat menyebabkan reseptor insulin
tidak sensitif. Kejadian ini mengakibatkan retensi insulin. Obesitas
dapat mengakibatkan terjadinya resistensi insulin karena terjadi
peningkatan asam lemak bebas yang mengganggu penggunaan
glukosa pada jaringan otot (reseptor tertutup lemak).
2) Sel  pankreas kurang sensitif
Penurunan kemampuan sel β pankreas untuk mensekresi insulin
sebagai respon terhadap glukosa. Pada retensi insulin, terjadi
peningkatan produksi glukosa dan penurunan penggunaan glukosa
sehingga mengakibatkan peningkatan kadar gula darah. Pada tahap
ini, sel β pankreas mengalami adaptasi diri sehingga responnya untuk
mensekresi insulin menjadi kurang sensitif, yang akhirnya membawa
akibat pada defisiensi insulin.
3) Produksi glukosa hepatik yang berlebihan
Pada keadaan normal, insulin dan gukosa menghambat pemecahan
glikogen dan menurunkan glukosa produk hati. Pada penderita DM
tipe 2 terjadi peningkatan glukosa produk hati. Peningkatan produksi
glukosa hati juga berkaitan dengan meningkatnya glukoneogenesis
akibat peningkatan asam lemak bebas dan glukagon.
(Ozougwu, 2013)
2. Hiperurisemia
Pada manusia, asam urat merupakan produk akhir dari degradasi
purin. Pada kondisi normal, jumlah asam urat yang terakumulasi sekitar
1200 mg pada pria dan 600 mg pada wanita. Akumulasi yang belebihan
tersebut dapat dikarenakan over produksi atau under-eksresi asam urat.
a. Over-produksi Asam Urat
Asam urat dibentuk oleh purin, yang berasal dari tiga sumber yaitu:
makanan yang mengandung purin, perubahan asam nukleat jaringan
menjadi nukleotida purin, dan sistesis de novo dari basa purin. Pada
kondisi normal, asam urat dapat terakumulasi secara berlebihan jika
produksi asam urat tersebut berlebihan. Rata-rata produksi asam urat
manusia per harinya sekitar 600-800 mg. Modifikasi diet penting bagi
pasien dengan beberapa penyakit yang dapat meningkatkan gejala
hiperurisemia. Asam urat juga dapat diproduksi berlebihan sebagai
konsekuensi dari peningkatan gangguan dari jaringan asam nukleat dan
jumlah yang berlebihan dari sel turnover, penyakit myeloproliferative dan
lymphoproliferative, polycythemia, psoriasis, dan beberapa tipe anemia.
Penggunaan obat sitotoksik juga dapat menyebabkan overproduksi asam
urat. Dua enzim abnormal yang menyebabkan peningkatan produksi asam
urat digambarkan pada gambar II.

Gambar II. Mekanisme terbentuknya asam urat

Pertama adalah peningkatan aktifitas sintesis phosphoribosyl


pyrophosphate (PRPP) yang memicu peningkatan konsentrasi PRPP.
PRPP adalah kunci yang menentukan sintesis purin dan produksi asam
urat. Yang kedua adalah kekurangan hypoxanthine-guanine
phosphoribosyltransferase (HGPRT). HGPRT bertanggungjawab dalam
merubah guanin menjadi asam guanilic dan hipoxantin menjadi asam
inosinik. Kekurangan enzim HGPRT memicu peningkatan metabolisme
dari guanin dan hipoxantin menjadi asam urat. Ketiadaan HGPRT
menghasilkan Lesch-Nyhan syndrome ditandai dengan choreoathetosis,
spasticity, retardation mental, yang secara nyata meningkatkan asam urat
(Ernst et al., 2008)
b. Undereksresi Asam Urat
Sebagian besar pasien dengan gout mengalami penurunan fungsi
ginjal dalam ekskresi asam urat dengan alasan yang tidak diketahui.
Normalnya, asam urat tidak terakumulasi didalam tubuh. Sekitar 2-3
produksi asam urat setiap hari dieksresikan melalui urin. Eliminasi
dilakukan melalui saluran pencernaan setelah degradasi enzim oleh
bakteri. Penurunan asam urat melalui urin memicu hiperuresimia dan
meningkatkan endapan asam urat. Sebagian besar asam urat secara bebas
terfiltrasi melalui glomerulus. Konsentrasi asam urat muncul pada urin
ditentukan dengan transport multiple renal tubular dan menambah beban
filtrasi. Sekitar 90% hasil filtrasi asam urat direabsorbsi pada tubulus
proximal, dengan mekanisme transport aktif atau pasif. Faktor-faktor yang
dapat menurunkan klirens asam urat atau meningkatkan produksi asam
urat akan mengakibatkan peningkatan konsentrasi asam urat dalam serum
yaitu primary gout, diabetik ketoasidosis, gangguan mieloproliferatif,
anemia hemolitik kronik, obesitas, gagal jantung kongestif, gagal ginjal,
down syndrome, hiperparatiroid, hipoparatiroid, alkoholisme akut,
akromegali, hipotiroid, dan lain-lain. Obat-obat yang dapat menurunkan
klirens asam urat di ginjal melalui modifikasi beban yang disaring (filtered
load) atau salah satu proses transport tubular diantaranya diuretik, asam
nikotinat, salisilat (< 2 g/hari), etanol, pirazinamid, levodopa, etambutol,
obat sitotoksik, dan siklosporin (Ernst et al., 2008).

 Penatalaksanaan pengobatan
1. Diabetes Melitus
- Outcome : penurunan morbiditas dan mortalitas, peningkatan kualitas
hidup pasien
- Sasaran : glukosa darah
- Tujuan terapi :
a) mengontrol glukosa darah
b) mengurangi keparahan penyakit
c) membuat nyaman kehidupan pasien
d) mencegah timbulnya komplikasi, baik mikrovaskular maupun
makrovaskular
a. Terapi Non-Farmakologis
1) Diabetes Mellitus Tipe 1
a) Edukasi Diabetes
Anak-anak dan remaja dengan diabetes tipe 1 perlu memahami apa
itu diabetes dan bagaimana perawatannya termasuk terapi insulin, cara
menyuntikkan (injeksi), pemantauan glukosa darah dan komplikasi akut
seperti hipoglikemia. Edukasi lain yang dapat diberikan adalah
perencanaan makanan dan manajemen aktivitas sehari-hari.
b) Nutrisi
Pendidikan gizi bagi anak dan remaja merupakan proses
berkelanjutan yang perlu. Untuk mencapai hasil yang optimal pendidikan
gizi idealnya harus disampaikan oleh ahli gizi atau ahli diet yang memiliki
keahlian dan pengalaman dalam manajemen diabetes. Diskusikan diet dan
berikan saran diet dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain misalnya
obesitas, hipertensi, gangguan ginjal. Sarankan penderita untuk
berkonsultasi dengan ahli gizi.
c) Aktivitas fisik
Aktivitas fisik yang teratur merupakan komponen penting dari gaya
hidup sehat untuk semua anak dan remaja, termasuk mereka yang menderita
diabetes. Sarankan mengenai aktivitas fisik secara teratur untuk dapat
mengurangi resiko arteri dalam jangka menengah dan panjang. jika perlu
diskusikanlah regimen insulin atau asupan kalori selama melakukan
aktivitas fisik.
2) Diabetes Mellitus Tipe 2
a) Edukasi Diabetes
Edukasi diabetes merupakan penyediaan pengetahuan dan
keterampilan untuk penderita diabetes yang akan memberdayakan mereka
untuk melakukan perawatan diri dalam pengelolaan diabetes yang mereka
alami dan gangguan yang terkait. Edukasi merupakan salah satu pilar
manajemen diabetes yang penting bersama-sama dengan diet, aktivitas
fisik, dan farmakoterapi dalam meningkatkan outcome penderita.
b) Modifikasi diet
Modifikasi diet adalah salah satu pilar pengelolaan diabetes, dan
pemilihan makanan didasarkan pada prinsip makan yang sehat dalam
konteks sosial, budaya dan psikologis. Modifikasi diet dan peningkatan
aktivitas fisik harus menjadi langkah pertama dalam manajemen bagi
orang yang baru didiagnosis DM tipe 2.
Prinsip-prinsip pengelolaan diet diabetes melitus tipe 2:
 Semua anggota tim perawatan diabetes harus memiliki pengetahuan tentang
gizi untuk dapat mendidik penderita diabetes tentang tindakan diet.
 Konseling diet ini sebaiknya diberikan oleh ahli diet atau ahli gizi yang
memahami diabetes mellitus.
 Untuk mencapai berat badan ideal, diet yang sesuai harus disesuaikan dengan
aktivitas fisik.
 Pembatasan kalori harus moderat namun memberikan keseimbangan gizi.
 Setidaknya penderita harus makan tiga kali sehari, dan menghindari makanan
di pesta.
 Diet harus individual, berdasarkan pola makan tradisional, enak dan
terjangkau.
 Lemak hewani, garam, dan makanan yang disebut makanan diabetes harus
dihindari.
 Jumlah makanan harus diukur dalam volume menggunakan barang rumah
tangga yang tersedia seperti cangkir, atau menjadi dapat dihitung, seperti
jumlah buah atau irisan ubi atau roti.
 Alkohol harus dihindari.
 Pemanis yang tidak penting harus dihindari sebisa mungkin.
c) Aktivitas fisik
Aktivitas fisik merupakan salah satu hal penting dalam pencegahan
dan pengelolaan diabetes mellitus tipe 2. Aktivitas fisik yang teratur
meningkatkan kontrol metabolik, meningkatkan sensitivitas insulin,
meningkatkan kesehatan jantung, dan membantu penurunan berat badan dan
pemeliharaannya, serta memberikan rasa kesejahteraan.
b. Terapi Farmakologis

Gambar 3. Tempat Mekanisme Aksi Antidiabetik Oral

 Antidiabetik Oral
Sejumlah obat-obatan oral yang tersedia untuk mengobati DM
tipe 2 adalah:
a) Sulfonilurea
Sulfonilurea mengikat semua reseptor spesifik pada sel β,
sehingga terjadi penutupan kanal kalium. Akibatnya, kanal kalsium
terbuka, sehingga terjadi peningkatan kalsium sitoplastik yang
merangsang pelepasan insulin. Sulfonilurea dapat menurunkan 1,5-2%
hemoglobin A1C (HbA1C) dan menurunkan 60-70 mg/dL gula darah
puasa (Dipiro et al., 2008). Cara pemakaian sulfonilurea adalah 15-30
menit sebelum makan (PERKENI, 2011).
Pada pemakaian awal sulfonilurea dapat menyebabkan
hipoglikemia. Selain itu dapat menyebabkan peningkatan berat badan,
gangguan pencernaan, dan rash pada kulit. Gejala hipoglikemia terdiri
dari gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak keringat, gemetar, dan
rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran
menurun sampai koma). Kontraindikasi sulfonilurea adalah pasien
yang alergi terhadap golongan sulfa, pasien yang memiliki gangguan
hati atau fungsi ginjal pada orang tua karena risiko hipoglikemik akan
meningkat (PERKENI, 2011).
b) Glinid
Mekanisme kerja golongan glinid adalah meningkatkan sekresi
insulin. Golongan glinid terdiri dari 2 macam obat yaitu repaglinid
(derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat fenilalanin). Obat
tersebut dapat mengatasi hiperglikemia postprandial. Glinid dapat
menurunkan 0,5-1,5 % HbA1C. Cara pemakaian golongan glinid
adalah sesaat sebelum makan. Efek samping glinid adalah kenaikan
berat badan dan hipoglikemia (PERKENI, 2011).
c) Metformin (Biguanide)
Metformin tidak bekerja langsung pada sel β walaupun kadar
insulin rendah namun metformin dapat meningkatkan sensitivitas
insulin di hati dan jaringan perifer. Metformin dapat menurunkan 1,5-
2% HbA1C dan menurunkan kadar gula darah puasa sebesar 60-80
mg/dL (Dipiro et al., 2008). Cara pemakaian metformin adalah
sebelum/pada saat/sesudah makan (PERKENI, 2011).
Efek samping metformin adalah menyebabkan gangguan
gastrointestinal (GI) termasuk ketidaknyamanan pada perut, kembung,
dan diare. Pemakaian yang benar dapat mengurangi efek samping
(Dipiro et al., 2008). Kontraindikasi metformin adalah pasien yang
memiliki penyakit ginjal, hati, dan mereka yang minum alkohol
berlebihan (PERKENI, 2011).
d) Thiazolidinedion
Golongan thiazolidinedion (glitazon) memiliki mekanisme
meningkatkan sensitivitas insulin pada otot, hati, dan jaringan lemak.
Obat yang tergolong golongan thiazolidinedion adalah pioglitazon dan
rosiglitazon. Thiazolidinedion dapat menurunkan kadar HbA1C
sampai 1,5% dan menurunkan kadar gula darah puasa 60-70 mg/dL.
Onset thiazolidinedion lama, efek akan terlihat setelah 3-4 bulan
melakukan terapi (Dipiro et al., 2008). Cara pemakaian
thiazolidinedion adalah tidak tergantung jadwal makan (PERKENI,
2011).
Efek samping yang dapat muncul adalah hepatotoksik
idiosinkratik dan gangguan liver (Dipiro et al., 2008). Rosiglitazon
sudah ditarik dari peredaran karena efek sampingnya. Kontraindikasi
pada pasien gagal jantung kelas I-IV karena dapat menyebabkan
edema dan gangguan hati (PERKENI, 2011).
e) Inhibitor alpha-glukosidase
Inhibitor alpha-glukosidase (acarbose dan miglitol) dapat
menghambat enzim (maltase, isomaltase, sukrase, dan glukoamilase)
pada usus halus, menghambat pemecahan sukrosa dan karbohidrat
kompleks. Menurunkan kadar gula darah postprandial 40-50 mg/dL
namun tidak mengubah kadar gula puasa. Menurunkan kadar HbA1C
0,3-1% (Dipiro et al., 2008). Cara pemakaian Inhibitor alpha-
glukosidase adalah bersama makan suapan pertama (PERKENI,
2011).
Efek samping utama inhibitor alfa-glukosidase adalah gas
(kembung), diare, dan nyeri perut, mulai dengan dosis rendah dapat
meminimalkan efek samping. Obat tersebut biasanya diminum tiga
kali sehari, diminum pada saat menggigit pertama kali makanan. Efek
samping yang berat adalah kerusakan fungsi ginjal. Inhibitor alpha-
glukosidase dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit
inflamasi usus, obstruksi usus parsial, kecenderungan untuk obstruksi
usus, ulserasi usus, dan gangguan pencernaan lainnya (PERKENI,
2011).
f) Inhibitor Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-IV)
Penghambatan DPP-IV dapat mengurangi peningkatatan glukagon
postprandial dan menstimulasi sekresi insulin, selain itu agar GLP-I
(hormon perangsang sekresi insulin) tetap dalam konsentrasi tinggi
dalam bentuk aktif. DPP-IV inhibitor dapat menurunkan 0,7-1% HbA1C
(Dipiro et al., 2008). Cara pemakaian DPP-IV inhibitor adalah bersama
makan dan/atau sebelum makan. Efek samping yang paling utama adalah
hipoglikemik, sebah, dan muntah (PERKENI, 2011).
Tabel 2. Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral
Golongan Contoh Senyawa Mekanisme Kerja
Sulfonilurea Klorpropamid Merangsang sekresi insulin di
Glibenklamida kelenjar pankreas, sehingga
Glipizida hanya efektif pada penderita
Glikazida diabetes yang sel-sel β
Glimepirida pankreasnya masih berfungsi
Glikuidon dengan baik
Tolazalim
Tolbutamid
Biguanida Metformin Bekerja langsung pada hati
Fenformin (hepar),menghambat
Buformin glukoneogenesis di hati dan
meningkatkan penggunaan
glukosa di jaringan.
Meglitinid Repaglinid Bekerja dengan cara mengikat
reseptor sulfonilurea dan menutup
ATP-sensitive potassium chanel.
Tiazolidindion Rosiglitazone Meningkatkan kepekaan
Pioglitazone tubuh/sensitivitas terhadap insulin
di jaringan perifer. Berikatan
dengan PPARγ (peroxisome
proliferators activated receptor-
gamma) di otot, jaringan lemak,
dan hati untuk menurunkan
resistensi insulin
Penghambat enzim Akarbosa Menghambat kerja enzim
alfaglukosidase Miglitol alfaglukosidase yang mengubah
di/polisakarida menjadi
monosakarida, sehingga
memperlambat absorpsi glukosa
kedalam darah
 Insulin
Ketika pengobatan melalui pengaturan diet, dan usaha menurunkan berat
badan gagal untuk memperbaiki hiperglikemia, serta pemberian obat antidiabetik
oral dirasa kurang memuaskan, maka dapat diberikan terapi insulin. Terapi insulin
ini dapat diberikan kepada pasien yang mengalami DM tipe I maupun II, dimana
untuk DM tipe II insulin ini dikombinasikan dengan obat antidiabetik oral. Tipe
dan karakteristik sediaan insulin yang tersedia disajikan pada tabel 3.
Tabel 3. Tipe Sediaan Insulin dan Karakteristiknya

Sumber : National Clinical Guidelines for Management of Diabetes Mellitus

 Terapi Kombinasi Obat Antidiabetik Oral


Pada keadaan tertentu diperlukan terapi kombinasi dari beberapa obat
antidiabetik oral (ODA) atau ODA dengan insulin. Kombinasi yang umum adalah
antara golongan sulfonilurea dengan biguanida. Sulfonilurea akan mengawali
dengan merangsang sekresi pankreas yang memberikan kesempatan untuk
senyawa biguanida bekerja efektif. Kedua golongan obat antidiabetik oral ini
memiliki efek terhadap sensitivitas reseptor insulin, sehingga kombinasi keduanya
mempunyai efek saling menunjang. Pengalaman menunjukkan bahwa kombinasi
kedua golongan ini dapat efektif pada banyak penderita diabetes yang sebelumnya
tidak bermanfaat bila dipakai sendiri-sendiri.
 Terapi kombinasi obat antidiabetik oral dengan insulin
Telah dianjurkan pemberian insulin sebelum tidur sebagai suatu
tambahan terapi antidiabetes oral untuk pasien DM tipe II yang gagal
mendapatkan efek maksimal pada terapi oral. Regimen yang paling sering diuji
adalah pemberian insulin NPH sebelum tidur yang dikombinasi dengan terapi
sulfonylurea yang diberikan pada siang hari.

 Interaksi Obat
Obat atau senyawa-senyawa yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia
sewaktu pemberian obat antidiabetik oral golongan sulfonilurea antara lain:
insulin, alkohol, fenformin, sulfonamida, salisilat dosis besar, fenilbutazon,
oksifenbutazon, dikumarol, kloramfenikol, senyawa-senyawa penghambat MAO
(Mono Amin Oksigenase), guanetidin, steroida anabolik, fenfluramin, dan
klofibrat. Hormon pertumbuhan, hormon adrenal, tiroksin, estrogen, progestin dan
glukagon bekerja berlawanan dengan efek hipoglikemik insulin. Disamping itu,
beberapa jenis obat seperti guanetidin, kloramfenikol, tetrasiklin, salisilat,
fenilbutazon, dan lain-lain juga memiliki interaksi dengan insulin, sehingga
sebaiknya tidak diberikan bersamaan dengan pemberian insulin, paling tidak perlu
diperhatikan dan diatur saat dan dosis pemberiannya apabila terpaksa diberikan
pada periode yang sama.

2. Hiperurisemia (depkes, 2006)


Tujuan dari terapi adalah:
- menghentikan serangan akut,
- mencegah serangan kembali dari GA,
- mencegah komplikasi yang berkaitan dengan deposit kristal asam urat
kronis
a. Terapi non farmakologi
Terapi non‐obat merupakan strategi esensial dalam penanganan gout. Gout adalah
gangguan metabolik, yang dipengaruhi oleh diet, asupan alkohol, hiperlipidemia
dan berat badan. Intervensi seperti istirahat yang cukup, penggunaan kompres
dingin, modifikasi diet, mengurangi asupan alkohol dan menurunkan berat badan
pada pasien yang kelebihan berat badan terbukti efektif.
b. Terapi farmakologi
Terapi gout akut
 Konfirmasi diagnosis
 Awali terapi dengan NSAID dosis penuh (full dose) segera pada saat serangan,
kecuali jika kontraindikasi.
 Berikan colchicine jika NSAID tidak dapat diberikan. Gunakan dalam 24‐48
jam serangan akut. Gunakan colchicine dengan hati‐hati karena toksisk, dan
monitor respon.
 Jika serangan melibatkan 1‐2 sendi, berikan steroid intra‐artikular. Jika
penyakit parah atau NSAID/ colchicine tidak ditoleransi baik berikan steroid
sistemik. Hiperurisemia pada saat serangan akut jangan diterapi.

Terapi gout kronik

Pengobatan gout kronis membutuhkan waktu jangka panjang untuk mereduksi


serum urat sampai dibawah normal; Harus dijaga agar tidak terjadi serangan
serangan gout akut, mengurangi volume tofi, mencegah perusakan selanjutnya.
Obat ini dibagi menjadi 3 kategori :
• Urikostatik (xantin oksidase inhibitor) misalnya alopurinol
• Urikosurik misalnya benzbromaron, sulfinperazon, probenesid
• Urikolitik misalnya urat oksidase
Urikostatik (Xantin oxidase inhibitor)
Alopurinol adalah drug of choice untuk menurunkan urat dalam serum.
Alopurinol menghambat pembentukan asam urat. Risiko untuk menimbulkan
serangan gout akut pada awal pengobatan dapat dihindarkan dengan memakai
dosis awal yang rendah (50-100mg), dan ditingkatkan bila perlu. Dosis 50-600mg
sehari untuk mengurangi kadar urat.
Waspada:
- Banyak interaksi, terutama dengan antikoagulan oral, teofilin,
azatioprin.
- Efek samping utama : ruam (2%)
- Reaksi hipersensitif: (0.4%), meningkat bila dimakan bersama ampisilin
(20%), tiazid. Reaksi hipersensitif dapat mengakibatkan mortalitas.
- Karena ekskresi hanya lewat ginjal, hati-hati bagi yang mengalami
kerusakan ginjal, sebab itu dosis harus disesuaikan dengan creatinin
clearance.
Urikosurik

Obat urikosurik meningkatkan ekskresi urat di ginjal dengan menghambat


reabsorpsi pada proksimal tubule. Karena mekanisme ini ada kemungkinan terjadi
batu ginjal atau batu di saluran kemih. Untuk mencegah risiko ini dosis awal harus
rendah ditingkatkan perlahan-lahan, dan hidrasi yang cukup. Tidak boleh dipakai
pada kondisi overproduction atau nefrolitiasis ginjal. Obat ini ternyata dapat
dipakai untuk hiperurisemia yang disebabkan diuretik.
Probenesid dan sulfinpirazon* sebaiknya tidak dipakai untuk pasien dengan
kerusakan ginjal.
Urikolitik
Sebagai katalisator, urat oxidase merubah asam urat menjadi alantoin pada
binatang tingkat rendah. Manusia tidak memiliki enzim ini. Bila dipakai secara
parentral urikase* adalah penurun urat yang lebih cepat dibanding alopurinol. Urat
oxidase mencegah terbentuknya urat dan juga menguraikan asam urat yang telah
ada, tidak seperti alopurinol.
 Monitor kadar urat serum setiap 3‐6 bulan dan pada pasien yang simptomatis
terapi disesuaikan dengan kadar.
Gambar 4. Algoritma hiperurisemia (dipiro, 2008)

Berdasarkan data lab yang diperoleh yaitu pasien memiliki kadar gula
darah puasa lebih dari kadar normal 126mg/dl dan kadar asam urat pada serum
darah lebih dari kadar normal 6,8mg/dl, sehingga bisa disimpulkan besar
kemungkinan pasien mengalami diabetes type 2 dan hiperurisemia.
Tatalaksana pengobatan diabetes mellitus berdasarkan Pharmaceutical
Care untuk Diabetes Mellitus yang dikeluarkan oleh Direktorat BINFAR
Departemen Kesehatan RI tahun 2005 menyebutkan bahwa pada dasarnya ada dua
pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes yang pertama pendekatan tanpa obat
dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat. Dalam penatalaksanaan DM,
langkah pertama yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa
pengaturan diet dan olahraga. Apabila dengan langkah pertama ini tujuan
penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan dengan langkah
farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau
kombinasi keduanya.
1. Pengaturan pola makan
Pasien disarankan untuk melakukan pengaturan pola makan / diet.
Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan
memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Dalamsalah satu
penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar
HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter status DM), dan
setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan3-4 bulan tambahan
waktu harapan hidup. Namun dari data yang kami peroleh tidak ada disebutkan
berat bdan pasien, sehingga apabila berat badan pasien tidak overweight / obese
atau bisa dikatakan normal makan pasien cukup melakukan pengaturan pola
makan untuk menjaga berat badan tetap normal sehingga tidak memperburuk
kondisi pasien. Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan
diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang
dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik
sebagai berikut: Karbohidrat : 60-70% ; Protein : 10-15% ; dan Lemak : 20-25%.

2. Berolahraga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula
darah tetap normal. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal
dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Olahraga
yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval,
Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-
85% denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan dengan kemampuan dan
kondisi penderita. Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan
atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini
paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit per hari didahului dengan
pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga
akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam
tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa.
3. Terapi dengan obat
Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan olahraga)
belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, makaperlu
dilakukan langkah berikutnya berupa penatalaksanaan terapi obat, baik dalam
bentuk terapi obat hipoglikemik oral, terapi insulin, atau kombinasi keduanya.
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu
penanganan pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat
sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat
keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat
dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis
obat. Pemilihan dan penentuan rejimen hipoglikemik yang digunakan harus
mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi
kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi
yang ada.

4. Terapi kombinasi obat


Pada keadaan tertentu diperlukan terapi kombinasi dari beberapa OHO
(obat hipoglikemik oral) atau OHO dengan insulin. Kombinasi yang umum adalah
antara golongan sulfonilurea dengan biguanida. Sulfonilurea akan mengawali
dengan merangsang sekresi pankreas yang memberikan kesempatan untuk
senyawa biguanida bekerja efektif. Kedua golongan obat hipoglikemik oral ini
memiliki efek terhadap sensitivitas reseptor insulin, sehingga kombinasi keduanya
mempunyai efek saling menunjang. Pengalaman menunjukkan bahwa kombinasi
kedua golongan ini dapat efektif pada banyak penderita diabetes yang sebelumnya
tidak bermanfaat bila dipakai sendiri-sendiri. Hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam penggunaan obat Hipoglikemik oral:
a. Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan
secara bertahap.
b. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping
obat-obat tersebut.
c. Bila diberikan bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi
obat.
d. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah
menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal lagi, baru pertimbangkan
untuk beralih pada insulin.
Terapi dengan obat antihiperglikemia oral kombinasi baik secara terpisah
ataupun fixed dose combination dalam bentuk tablet tunggal, harus menggunakan
dua macam obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu
dapat terjadi sasaran kadar glukosa darah yang belum tercapai, sehingga perlu
diberikan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral dari kelompok yang berbeda
atau kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin. Pada pasien yang
disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai,
terapi dengan kombinasi tiga obat Anti hiperglikemia oral dapat menjadi pilihan.
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin yang banyak dipergunakan
adalah kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin basal (insulin kerja
menengah atau insulin kerja panjang), yang diberikan pada malam hari menjelang
tidur. Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa
darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja
menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan
evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan
harinya. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi
kombinasi insulin basal dan prandial, serta pemberian obat antihiperglikemia oral
dihentikan.
Tatalaksana pengobatan hiperurisemia berdasarkan Pharmaceutical Care
Untuk Pasien Penyakit Arthritis Rematik yang diterbitkan Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI tahun 2006 menyebutkan bahwa tujuan dari terapi gout
dan hiperurisemia adalah sebagai berikut: Menghentikan serangan akut,
Mencegah serangan kembali dari arthritis gout, dan Mencegah komplikasi yang
berkaitan dengan deposit kristal asam urat kronis di jaringan. Pada pasien
hiperuresimia biasanya manifestasinya disertai dengan radang sendi seperti gout.
Sehingga pengobatan yang dilakukan selain utuk mengurangi kadar asam urat
juga untuk mengurangi rasa nyeri sendi atau radang sendi yang mungkin saja
dialami oleh pasien.
Pada kasus pasien Tn. AH sebelumnya beliau mengkonsumsi obat
antidiabet per oral dan insulin injeksi yang tidak diketahui apa jenis dan nama
obatnya. Sesuai dengan referensi pasien dapat disarankan untuk menjalani terapi
non farmakologi dan terai farmakologi dengan obat antidiabetes peroral
kombinasi yang berbeda golongan / berbeda mekanisme kerjanya contohnya
golongan sulfonylurea dengan golongan biguanid serta bila kondisi kadar gula
pasien tidak juga terkontrol maka dapat dikombinasi dengan insulin basal.
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin basal
(insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang), yang diberikan pada malam
hari menjelang tidur. Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai
kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis
awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00,
kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah
puasa keesokan harinya. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah sepanjang
hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu
diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, serta pemberian obat
antihiperglikemia oral
dihentikan.
Pasien Tn. AH juga mengalami hiperuresemia dan belum mendapatkan
pengobatan dari dokter sehingga disarankan untuk mendapatkan terapi non
farmakologi dan terapi farmakologi untuk mengatasi gejala hiperuresemia seperti
obat-obatan antinyeri yang aman untuk pasien bila pasien mengalami
peradangan / nyeri sendi manifestasi dari kelebihan asam urat yang pasien alami,
bila serangan akut tersebut telah tertangani pasien dapat melanjutkan terapi
famakologi dengan obat penurun kadar asam urat seperti Allopurinol yang dalam
pengobatan awal bisa diberi allopurinol dengan dosis 100 mg dan ditingkatkan
bila perlu.
DRP
Jenis DRP Analisis Rekomendasi
1. Furosemid menjadi obat tanpa
indikasi apabila pasien tidak 1. Furosemid tidak perlu dikonsumsi
memiliki riwayat hipertensi ataupun 2. Cek Hb dan eritrosit pasien, apabila
Ada obat tanpa terdiagnosa mengalami edema oleh Hb atau eritrosit kurang dari normal
indikasi dokter maka adonemia dapat tetap dikonsumsi,
2. Adonemia untuk penambah darah namun apabila kadar Hb sudah normal,
mungkin menjadi obat tanpa indikasi maka hentikan penggunaan adonemia.
karena tidak ada data nilai Hb pasien.
Ada indikasi Hiperurisemia pasien belum
Berikan Allopurinol 100mg 1x1.
tanpa obat diberikan terapi pengobatan
Overdosis - -
1. Pasien diminta patuh mengkonsumsi
obat antidiabetes sesuai yang diresepkan
1. Penggunaan obat oral antidiabetes
dokter. Sebagai first line untuk
dan insulin masuk dalam underdosis
monoterapi obat antidiabetes oral adalah
karena pasien mengaku hanya sekali-
metformin. Metformin dapat diberikan
kali mengonsumsi obat-obat tersebut.
3x500mg dan dosis dapat ditingkatkan
Dilihat dari kadar gula darah pasien
hingga maksimum 2500mg/hari.
yang sangat besar, penggunaan obat
Apabila kadar glukosa darah masih
antidiabetes dengan dosis yang tepat
Underdosis tidak terkontrol maka diperlukan
sangatlah diperlukan
kombinasi obat antidiabetes oral lainnya
2. Penggunaan obat ambroxol 1x1
contohnya glibenklamid atau
merupakan dosis yang rendah, dosis
glimepiride. Tambahan insulin pun
untuk mencapai efektivitas yang baik
dapat dilakukan bila diperlukan.
adalah 3x1 per hari. Namun perlu
2. Naikkan dosis ambroxol 30mg
dilihat pula kondisi batuk dari
hingga 3x1 tab per hari, dan dikonsumsi
pasien.
bila perlu. Bila batuk sudah reda maka
konsumsi ambroxol dapat dihentikan.
Pemilihan obat
- -
yang tidak tepat
Adanya
- -
interaksi obat
Ketidakpatuhan
ada Edukasi pasien
minum obat
Memungkinkan terjadi efek samping.
Edukasikan terkait penanganan efek
Yang perlu diperhatikan adalah efek
Adanya efek samping. Apabila ada efek samping
samping lemas, pusing karena
samping yang membahayakan maka edukasikan
hipoglikemia. Efek samping lain
(ROTD) untuk segera menemui dokter atau
yang mungkin muncul mual, batuk,
apoteker.
nyeri perut.

 Usulan Terapi
Dilihat dari penggunaan obat yang telah diberikan pada pasien, maka
usulan terapi adalah:
1. Pada pemeriksaan laboratorium terlihat ada peningkatan nilai asam urat
yang menunjukkan terjadinya hiperurisemia. Hal ini perlu diterapi
dengan menggunakan allupurinol dan dimonitoring kadar asam urat.
2. Sebagai first line untuk monoterapi obat antidiabetes oral adalah
metformin. Metformin dapat diberikan 3x500mg dan dosis dapat
ditingkatkan hingga maksimum 2500mg/hari. Apabila kadar glukosa
darah masih tidak terkontrol maka diperlukan kombinasi obat
antidiabetes oral lainnya contohnya glibenklamid atau glimepiride.
Tambahan insulin pun dapat dilakukan bila diperlukan.
3. Adonemia dapat teteap digunakan apabila ada indikasi anemia pada
pasien dan dihentikan apabila tidak ada indikasi anemia pada pasien
(sebaiknya cek darah)
4. Penggunaan furosemid sebaiknya dihentikan. Perlu ditanyakan kepada
pasien apakah pasien memiliki riwayat hipertensi. Karena dari data
yang diterima, tekanan darah pasien tergolong normal. Apabila tidak
memiliki riwayat hipertensi, maka furosemid menjadi obat tanpa
indikasi, sedangkan apabila iya memerlukan pengobatan hipertensi.
Penatalaksanaan hipertensi pada pasien geriatri , obat yang
direkomendasikan adalah golongan Diuretik dan ACEI. Namun, karena
pada kasus ini kadar asam urat pasien sedikit tinggi, maka
direkomendasikan untuk menggunakan obat golongan ACEI (kaptopril)
untuk mengurangi kemungkinan elevasi level asam urat oleh obat
golongan diuretik.
5. Ambroxol dinaikkan dosisnya hingga 3x1 per hari. Ambroxol
dihentikan jika sudah tidak terjadi batuk berdahak.

Informasi Obat Kepada Pasien


1. Edukasi kepada pasien tentang nama obat, fungsi/indikasi, dan cara
pemakaian obat yang akan dikonsumsi.
a. Allopurinol 100mg
Cara pemakaian: 100mg perhari, 1 tablet setelah makan.
Indikasi: hiperurisemia (asam urat)
b. Ambroxol 30mg
Cara pemakaian: 3x1 tablet per hari
Indikasi: Batuk berdahak
c. Metformin 500mg
Cara pemakaian : 3x1 tablet perhari
Indikasi : Diabetes
d. Insulin
Cara pemakaian : sesuai anjuran dokter sebelumnya, injeksi subkutan
Indikasi : Diabetes
e. Adonemia
Cara pemakaian : Sesuai anjuran dokter 2x1
Indikasi : Anemia
2. Edukasikan pada pasien untuk menghentikan obat tradisional berupa jamu
watukan, karena dikhawatirkan terjadi interaksi antara obat dengan obat
tradisional yang dikonsumsi pasien.
3. Edukasikan kepada pasien terkait cara penggunaan obat insulin dengan
tepat. Demonstrasi penggunaan insulin dapat dilakukan pada pasien
maupun keluarga pasien bila diperlukan.
4. Berikan informasi kepada pasien terkait gejala-gejala yang biasa terjadi
pada penderita diabetes contohnya polifagia, polidipsia, dan poliuria.
Rekomendasikan kepada pasien untuk mengkonsumsi air putih yang cukup
dan kontrol pola makanan, sarankan untuk mengurangi konsumsi nasi
terlalu banyak, makan-makanan manis yang mengandung gula serta
anjurkan untuk konsumsi makanan kecil/snack di sela-sela agar tubuh
tidak lemas.
5. Edukasikan kepada pasien dan keluarga pasien agar mengkonsumsi obat
dengan patuh dan teratur, karena penyakit yang dimiliki pasien tidak bisa
sembuh dan progresifitas penyakit akan berkurang dengan adanya obat.
Keluarga pasien agar mengingatkan untuk mengkonsumsi obat.
6. Pasien diedukasikan tidak boleh lupa mengkonsumsi obat dan bosan dalam
hal mengkonsumsi obat karena hal tersebut dapat mempercepat
progresifitas penyakit.
7. Edukasikan kepada pasien untuk selalu kontrol ke dokter rutin.
8. Edukasikan kepada keluarga pasien untuk selalu memberikan dukungan
kepada pasien karena dukungan keluarga dapat meningkatkan kepatuhan
dan psikis pasien yang baik.
9. Edukasi tentang perawatan kaki pasien untuk mencegah terjadinya ulkus
atau neuropati perifer.
a. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan di air.
b. Periksa kaki setiap hari, dan dilaporkan pada dokter apabila kulit
terkeluapas, kemerahan, atau luka.
c. Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya.
d. Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan
mengoleskan krim pelembab ke kulit yang kering.
e. Potong kuku secara teratur.
f. Keringkan kaki, sela-sela jari kaki teratur setelah dari kamar mandi.
g. Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan lipatan
pada ujung-ujung jari kaki.
h. Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan hak
tinggi.
i. Jangan gunakan bantal atau botol berisi air panas/batu untuk kaki.
Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan di air.
10. Edukasikan pada pasien terkain pengaturan pola makan. Hindari makan-
makanan yang mengandung purin tinggi seperti kacang-kacangan,
makanan kaleng, dan seafood untuk perbaikan kondisi asam urat.

 FOLLOW UP DAN MONITORING


1. Monitoring pemeriksaan laboratorium pasien:
a. Glukosa darah puasa : target 80-120 mg/dL, dilakukan pemeriksaan
setiap pasien kontrol.
b. Glukosa post prandial: target < 140 mg/dL, dilakukan pemeriksaan setiap
pasien kontrol.
c. HbA1c : target < 7%, dilakukan pemeriksaan setiap 3
bulan.
d. Tekanan darah : target 130/80 mmHg, dilakukan pemeriksaan
setiap pasien kontrol.
e. Asam urat : target < 7 mg/dL, dilakukan pemeriksaan setiap
pasien kontrol. Modifikasi dosis Allopurinol dapat
ditetapkan sesuai hasil pemeriksaan asam urat
pasien.
f. Kadar albumin : Target 3,5-4,5. Pengecekan kadar albumin dapat
dilakukan pada saat pasien kontrol. Apabila kadar
albumin melonjak turun, dapat direkomendasikan
pemberian serum albumin kepada pasien.
2. Monitoring efek samping obat: Apabila ada keluhan pasien seperti lemas
dan pusing, perlu berhati-hati karena bisa saja terjadi hipoglikemia akibat
obat antidiabetes yang diberikan. Yang perlu diedukasi terkait hal ini adalah
penanganan efek samping yang terjadi, yaitu dengan meminum teh manis,
mengkonsumsi permen, serta mengatur pola makan yang sesuai sebagai
preventif dari efek samping obat antidiabetes.

3. Monitoring kepatuhan pasien dalam hal mengkonsumsi obat, melakukan


olah raga, dan diet makanan.

 SPESIFIKASI OBAT
DAFTAR PUSTAKA
Burns, M.A.C., B.G. Wells., T.L. Schwinghammer., P.M.Malone., J.M. Kolesar.,
J.C. Rotschafer and J.T. Dipiro. 2008. Pharmacotherapy: Principles and
Practice. USA: The McGraw-Hill Companies. P. 932-939.

DepKes, 2006. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Arthritis Rematik.


Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan. P. 66-80.

DepKes, 2005. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Diabetes Mellitus. Jakarta:


Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan.

Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., and Posey,
L. M., 2008, Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach, 7th edition,
McGrawHill, New York,

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005, Pharmaceutical care untuk
penyakit Diabetes Mellitus, Departemen Kesehatan RI : Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan http://binfar.kemkes.go.id/v2/wp-
content/uploads/2014/02/PCDM.pdf , diakses tanggal 12 November 2016.

Dr. dr. Fatimah Eliana, SpPD, KEMD, 2015, Penatalaksanaan DM sesuai


konsensus perkeni 2015, bagian penyakit dalam FK YARSI

Ernst, M.E., Clark, E.C., and Hawkins, D.W. 2008. Gout and Hyperuricemia.
2008. In: Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, A.G.,
Posey, L.M. editors. Pharmacotherapy: a Pathophysiologic Approach, 7th
ed. USA: McGraw-Hill Companies. P. 1539-1550.

Hawkins, D. W. and Rahn, D. W. 2005. Gout and Hyperuricemia. In: Dipiro, J.T.,
Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, A.G., Posey, L.M. editors.
Pharmacotherapy: a Pathophysiologic Approach, 6th ed. USA: McGraw-
Hill. P. 1705-1711.
Katzung,B.G.2004. Farmakologi Dasar & Klinik. Diterjemahkan oleh Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Edisi VIII.
Surabaya : Salemba Medika

National Diabetes Control Programme, 2010, National Clinical Guidelines For


Management Of Diabetes Mellitus, 11-19, Ministry of Public Health
and Sanitation Republic of Kenya, Nairobi.

Ozougwu, 2013, The Pathogenesis and pathophysiology of type 1 and type 2


Diabetes Mellitus, Journal of Physiology and Pathophysiology

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011, Konsensus Pengendalian dan


Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia, 1, 2, 6-8, 10, 11, 15,
20, 21-24, 29, 35, 45-46, 48-49, Jakarta.

Sukandar, E. Y., Andrajati, R., Sigit, J. I., Adnyana, I. K., Setiadi, A. P., dan
Kusnandar, 2008, ISO Farmakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai