Data Pasien
Usia : 78 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SD
Adonemia 2x1,
Ambroxol 1x1,
Hasil lab :
Tekanan darah :
Dilihat dari data lab, pasien didiagnosa menderita diabetes melitus tipe
2 dan hiperurisemia dilihat dari GDP dan kadar asam urat diatas normal. Data
kadar albumin juga dapat didiagnosa hipoalbuminemia namun kekurangan
albumin ini sifatnya ringan karena hanya berbeda sedikit dengan batas normal.
Berdasarkan obat – obatan yang digunakan oleh pasien, maka pasien
didiagnosa mengalami hipertensi dengan tekanan darah pasien terkontrol.
Patofisiologi :
1. Diabetes Melitus
Penatalaksanaan pengobatan
1. Diabetes Melitus
- Outcome : penurunan morbiditas dan mortalitas, peningkatan kualitas
hidup pasien
- Sasaran : glukosa darah
- Tujuan terapi :
a) mengontrol glukosa darah
b) mengurangi keparahan penyakit
c) membuat nyaman kehidupan pasien
d) mencegah timbulnya komplikasi, baik mikrovaskular maupun
makrovaskular
a. Terapi Non-Farmakologis
1) Diabetes Mellitus Tipe 1
a) Edukasi Diabetes
Anak-anak dan remaja dengan diabetes tipe 1 perlu memahami apa
itu diabetes dan bagaimana perawatannya termasuk terapi insulin, cara
menyuntikkan (injeksi), pemantauan glukosa darah dan komplikasi akut
seperti hipoglikemia. Edukasi lain yang dapat diberikan adalah
perencanaan makanan dan manajemen aktivitas sehari-hari.
b) Nutrisi
Pendidikan gizi bagi anak dan remaja merupakan proses
berkelanjutan yang perlu. Untuk mencapai hasil yang optimal pendidikan
gizi idealnya harus disampaikan oleh ahli gizi atau ahli diet yang memiliki
keahlian dan pengalaman dalam manajemen diabetes. Diskusikan diet dan
berikan saran diet dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain misalnya
obesitas, hipertensi, gangguan ginjal. Sarankan penderita untuk
berkonsultasi dengan ahli gizi.
c) Aktivitas fisik
Aktivitas fisik yang teratur merupakan komponen penting dari gaya
hidup sehat untuk semua anak dan remaja, termasuk mereka yang menderita
diabetes. Sarankan mengenai aktivitas fisik secara teratur untuk dapat
mengurangi resiko arteri dalam jangka menengah dan panjang. jika perlu
diskusikanlah regimen insulin atau asupan kalori selama melakukan
aktivitas fisik.
2) Diabetes Mellitus Tipe 2
a) Edukasi Diabetes
Edukasi diabetes merupakan penyediaan pengetahuan dan
keterampilan untuk penderita diabetes yang akan memberdayakan mereka
untuk melakukan perawatan diri dalam pengelolaan diabetes yang mereka
alami dan gangguan yang terkait. Edukasi merupakan salah satu pilar
manajemen diabetes yang penting bersama-sama dengan diet, aktivitas
fisik, dan farmakoterapi dalam meningkatkan outcome penderita.
b) Modifikasi diet
Modifikasi diet adalah salah satu pilar pengelolaan diabetes, dan
pemilihan makanan didasarkan pada prinsip makan yang sehat dalam
konteks sosial, budaya dan psikologis. Modifikasi diet dan peningkatan
aktivitas fisik harus menjadi langkah pertama dalam manajemen bagi
orang yang baru didiagnosis DM tipe 2.
Prinsip-prinsip pengelolaan diet diabetes melitus tipe 2:
Semua anggota tim perawatan diabetes harus memiliki pengetahuan tentang
gizi untuk dapat mendidik penderita diabetes tentang tindakan diet.
Konseling diet ini sebaiknya diberikan oleh ahli diet atau ahli gizi yang
memahami diabetes mellitus.
Untuk mencapai berat badan ideal, diet yang sesuai harus disesuaikan dengan
aktivitas fisik.
Pembatasan kalori harus moderat namun memberikan keseimbangan gizi.
Setidaknya penderita harus makan tiga kali sehari, dan menghindari makanan
di pesta.
Diet harus individual, berdasarkan pola makan tradisional, enak dan
terjangkau.
Lemak hewani, garam, dan makanan yang disebut makanan diabetes harus
dihindari.
Jumlah makanan harus diukur dalam volume menggunakan barang rumah
tangga yang tersedia seperti cangkir, atau menjadi dapat dihitung, seperti
jumlah buah atau irisan ubi atau roti.
Alkohol harus dihindari.
Pemanis yang tidak penting harus dihindari sebisa mungkin.
c) Aktivitas fisik
Aktivitas fisik merupakan salah satu hal penting dalam pencegahan
dan pengelolaan diabetes mellitus tipe 2. Aktivitas fisik yang teratur
meningkatkan kontrol metabolik, meningkatkan sensitivitas insulin,
meningkatkan kesehatan jantung, dan membantu penurunan berat badan dan
pemeliharaannya, serta memberikan rasa kesejahteraan.
b. Terapi Farmakologis
Antidiabetik Oral
Sejumlah obat-obatan oral yang tersedia untuk mengobati DM
tipe 2 adalah:
a) Sulfonilurea
Sulfonilurea mengikat semua reseptor spesifik pada sel β,
sehingga terjadi penutupan kanal kalium. Akibatnya, kanal kalsium
terbuka, sehingga terjadi peningkatan kalsium sitoplastik yang
merangsang pelepasan insulin. Sulfonilurea dapat menurunkan 1,5-2%
hemoglobin A1C (HbA1C) dan menurunkan 60-70 mg/dL gula darah
puasa (Dipiro et al., 2008). Cara pemakaian sulfonilurea adalah 15-30
menit sebelum makan (PERKENI, 2011).
Pada pemakaian awal sulfonilurea dapat menyebabkan
hipoglikemia. Selain itu dapat menyebabkan peningkatan berat badan,
gangguan pencernaan, dan rash pada kulit. Gejala hipoglikemia terdiri
dari gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak keringat, gemetar, dan
rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran
menurun sampai koma). Kontraindikasi sulfonilurea adalah pasien
yang alergi terhadap golongan sulfa, pasien yang memiliki gangguan
hati atau fungsi ginjal pada orang tua karena risiko hipoglikemik akan
meningkat (PERKENI, 2011).
b) Glinid
Mekanisme kerja golongan glinid adalah meningkatkan sekresi
insulin. Golongan glinid terdiri dari 2 macam obat yaitu repaglinid
(derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat fenilalanin). Obat
tersebut dapat mengatasi hiperglikemia postprandial. Glinid dapat
menurunkan 0,5-1,5 % HbA1C. Cara pemakaian golongan glinid
adalah sesaat sebelum makan. Efek samping glinid adalah kenaikan
berat badan dan hipoglikemia (PERKENI, 2011).
c) Metformin (Biguanide)
Metformin tidak bekerja langsung pada sel β walaupun kadar
insulin rendah namun metformin dapat meningkatkan sensitivitas
insulin di hati dan jaringan perifer. Metformin dapat menurunkan 1,5-
2% HbA1C dan menurunkan kadar gula darah puasa sebesar 60-80
mg/dL (Dipiro et al., 2008). Cara pemakaian metformin adalah
sebelum/pada saat/sesudah makan (PERKENI, 2011).
Efek samping metformin adalah menyebabkan gangguan
gastrointestinal (GI) termasuk ketidaknyamanan pada perut, kembung,
dan diare. Pemakaian yang benar dapat mengurangi efek samping
(Dipiro et al., 2008). Kontraindikasi metformin adalah pasien yang
memiliki penyakit ginjal, hati, dan mereka yang minum alkohol
berlebihan (PERKENI, 2011).
d) Thiazolidinedion
Golongan thiazolidinedion (glitazon) memiliki mekanisme
meningkatkan sensitivitas insulin pada otot, hati, dan jaringan lemak.
Obat yang tergolong golongan thiazolidinedion adalah pioglitazon dan
rosiglitazon. Thiazolidinedion dapat menurunkan kadar HbA1C
sampai 1,5% dan menurunkan kadar gula darah puasa 60-70 mg/dL.
Onset thiazolidinedion lama, efek akan terlihat setelah 3-4 bulan
melakukan terapi (Dipiro et al., 2008). Cara pemakaian
thiazolidinedion adalah tidak tergantung jadwal makan (PERKENI,
2011).
Efek samping yang dapat muncul adalah hepatotoksik
idiosinkratik dan gangguan liver (Dipiro et al., 2008). Rosiglitazon
sudah ditarik dari peredaran karena efek sampingnya. Kontraindikasi
pada pasien gagal jantung kelas I-IV karena dapat menyebabkan
edema dan gangguan hati (PERKENI, 2011).
e) Inhibitor alpha-glukosidase
Inhibitor alpha-glukosidase (acarbose dan miglitol) dapat
menghambat enzim (maltase, isomaltase, sukrase, dan glukoamilase)
pada usus halus, menghambat pemecahan sukrosa dan karbohidrat
kompleks. Menurunkan kadar gula darah postprandial 40-50 mg/dL
namun tidak mengubah kadar gula puasa. Menurunkan kadar HbA1C
0,3-1% (Dipiro et al., 2008). Cara pemakaian Inhibitor alpha-
glukosidase adalah bersama makan suapan pertama (PERKENI,
2011).
Efek samping utama inhibitor alfa-glukosidase adalah gas
(kembung), diare, dan nyeri perut, mulai dengan dosis rendah dapat
meminimalkan efek samping. Obat tersebut biasanya diminum tiga
kali sehari, diminum pada saat menggigit pertama kali makanan. Efek
samping yang berat adalah kerusakan fungsi ginjal. Inhibitor alpha-
glukosidase dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit
inflamasi usus, obstruksi usus parsial, kecenderungan untuk obstruksi
usus, ulserasi usus, dan gangguan pencernaan lainnya (PERKENI,
2011).
f) Inhibitor Dipeptidyl Peptidase-4 (DPP-IV)
Penghambatan DPP-IV dapat mengurangi peningkatatan glukagon
postprandial dan menstimulasi sekresi insulin, selain itu agar GLP-I
(hormon perangsang sekresi insulin) tetap dalam konsentrasi tinggi
dalam bentuk aktif. DPP-IV inhibitor dapat menurunkan 0,7-1% HbA1C
(Dipiro et al., 2008). Cara pemakaian DPP-IV inhibitor adalah bersama
makan dan/atau sebelum makan. Efek samping yang paling utama adalah
hipoglikemik, sebah, dan muntah (PERKENI, 2011).
Tabel 2. Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral
Golongan Contoh Senyawa Mekanisme Kerja
Sulfonilurea Klorpropamid Merangsang sekresi insulin di
Glibenklamida kelenjar pankreas, sehingga
Glipizida hanya efektif pada penderita
Glikazida diabetes yang sel-sel β
Glimepirida pankreasnya masih berfungsi
Glikuidon dengan baik
Tolazalim
Tolbutamid
Biguanida Metformin Bekerja langsung pada hati
Fenformin (hepar),menghambat
Buformin glukoneogenesis di hati dan
meningkatkan penggunaan
glukosa di jaringan.
Meglitinid Repaglinid Bekerja dengan cara mengikat
reseptor sulfonilurea dan menutup
ATP-sensitive potassium chanel.
Tiazolidindion Rosiglitazone Meningkatkan kepekaan
Pioglitazone tubuh/sensitivitas terhadap insulin
di jaringan perifer. Berikatan
dengan PPARγ (peroxisome
proliferators activated receptor-
gamma) di otot, jaringan lemak,
dan hati untuk menurunkan
resistensi insulin
Penghambat enzim Akarbosa Menghambat kerja enzim
alfaglukosidase Miglitol alfaglukosidase yang mengubah
di/polisakarida menjadi
monosakarida, sehingga
memperlambat absorpsi glukosa
kedalam darah
Insulin
Ketika pengobatan melalui pengaturan diet, dan usaha menurunkan berat
badan gagal untuk memperbaiki hiperglikemia, serta pemberian obat antidiabetik
oral dirasa kurang memuaskan, maka dapat diberikan terapi insulin. Terapi insulin
ini dapat diberikan kepada pasien yang mengalami DM tipe I maupun II, dimana
untuk DM tipe II insulin ini dikombinasikan dengan obat antidiabetik oral. Tipe
dan karakteristik sediaan insulin yang tersedia disajikan pada tabel 3.
Tabel 3. Tipe Sediaan Insulin dan Karakteristiknya
Interaksi Obat
Obat atau senyawa-senyawa yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia
sewaktu pemberian obat antidiabetik oral golongan sulfonilurea antara lain:
insulin, alkohol, fenformin, sulfonamida, salisilat dosis besar, fenilbutazon,
oksifenbutazon, dikumarol, kloramfenikol, senyawa-senyawa penghambat MAO
(Mono Amin Oksigenase), guanetidin, steroida anabolik, fenfluramin, dan
klofibrat. Hormon pertumbuhan, hormon adrenal, tiroksin, estrogen, progestin dan
glukagon bekerja berlawanan dengan efek hipoglikemik insulin. Disamping itu,
beberapa jenis obat seperti guanetidin, kloramfenikol, tetrasiklin, salisilat,
fenilbutazon, dan lain-lain juga memiliki interaksi dengan insulin, sehingga
sebaiknya tidak diberikan bersamaan dengan pemberian insulin, paling tidak perlu
diperhatikan dan diatur saat dan dosis pemberiannya apabila terpaksa diberikan
pada periode yang sama.
Berdasarkan data lab yang diperoleh yaitu pasien memiliki kadar gula
darah puasa lebih dari kadar normal 126mg/dl dan kadar asam urat pada serum
darah lebih dari kadar normal 6,8mg/dl, sehingga bisa disimpulkan besar
kemungkinan pasien mengalami diabetes type 2 dan hiperurisemia.
Tatalaksana pengobatan diabetes mellitus berdasarkan Pharmaceutical
Care untuk Diabetes Mellitus yang dikeluarkan oleh Direktorat BINFAR
Departemen Kesehatan RI tahun 2005 menyebutkan bahwa pada dasarnya ada dua
pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes yang pertama pendekatan tanpa obat
dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat. Dalam penatalaksanaan DM,
langkah pertama yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa
pengaturan diet dan olahraga. Apabila dengan langkah pertama ini tujuan
penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan dengan langkah
farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau
kombinasi keduanya.
1. Pengaturan pola makan
Pasien disarankan untuk melakukan pengaturan pola makan / diet.
Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi insulin dan
memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Dalamsalah satu
penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat mengurangi kadar
HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter status DM), dan
setiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan3-4 bulan tambahan
waktu harapan hidup. Namun dari data yang kami peroleh tidak ada disebutkan
berat bdan pasien, sehingga apabila berat badan pasien tidak overweight / obese
atau bisa dikatakan normal makan pasien cukup melakukan pengaturan pola
makan untuk menjaga berat badan tetap normal sehingga tidak memperburuk
kondisi pasien. Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan
diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang
dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik
sebagai berikut: Karbohidrat : 60-70% ; Protein : 10-15% ; dan Lemak : 20-25%.
2. Berolahraga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula
darah tetap normal. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal
dilakukan secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Olahraga
yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval,
Progressive, Endurance Training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-
85% denyut nadi maksimal (220-umur), disesuaikan dengan kemampuan dan
kondisi penderita. Beberapa contoh olah raga yang disarankan, antara lain jalan
atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya. Olahraga aerobik ini
paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit per hari didahului dengan
pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-10 menit. Olah raga
akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam
tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa.
3. Terapi dengan obat
Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan olahraga)
belum berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, makaperlu
dilakukan langkah berikutnya berupa penatalaksanaan terapi obat, baik dalam
bentuk terapi obat hipoglikemik oral, terapi insulin, atau kombinasi keduanya.
Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu
penanganan pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat
sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat
keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi hipoglikemik oral dapat
dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis
obat. Pemilihan dan penentuan rejimen hipoglikemik yang digunakan harus
mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi
kesehatan pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi
yang ada.
Usulan Terapi
Dilihat dari penggunaan obat yang telah diberikan pada pasien, maka
usulan terapi adalah:
1. Pada pemeriksaan laboratorium terlihat ada peningkatan nilai asam urat
yang menunjukkan terjadinya hiperurisemia. Hal ini perlu diterapi
dengan menggunakan allupurinol dan dimonitoring kadar asam urat.
2. Sebagai first line untuk monoterapi obat antidiabetes oral adalah
metformin. Metformin dapat diberikan 3x500mg dan dosis dapat
ditingkatkan hingga maksimum 2500mg/hari. Apabila kadar glukosa
darah masih tidak terkontrol maka diperlukan kombinasi obat
antidiabetes oral lainnya contohnya glibenklamid atau glimepiride.
Tambahan insulin pun dapat dilakukan bila diperlukan.
3. Adonemia dapat teteap digunakan apabila ada indikasi anemia pada
pasien dan dihentikan apabila tidak ada indikasi anemia pada pasien
(sebaiknya cek darah)
4. Penggunaan furosemid sebaiknya dihentikan. Perlu ditanyakan kepada
pasien apakah pasien memiliki riwayat hipertensi. Karena dari data
yang diterima, tekanan darah pasien tergolong normal. Apabila tidak
memiliki riwayat hipertensi, maka furosemid menjadi obat tanpa
indikasi, sedangkan apabila iya memerlukan pengobatan hipertensi.
Penatalaksanaan hipertensi pada pasien geriatri , obat yang
direkomendasikan adalah golongan Diuretik dan ACEI. Namun, karena
pada kasus ini kadar asam urat pasien sedikit tinggi, maka
direkomendasikan untuk menggunakan obat golongan ACEI (kaptopril)
untuk mengurangi kemungkinan elevasi level asam urat oleh obat
golongan diuretik.
5. Ambroxol dinaikkan dosisnya hingga 3x1 per hari. Ambroxol
dihentikan jika sudah tidak terjadi batuk berdahak.
SPESIFIKASI OBAT
DAFTAR PUSTAKA
Burns, M.A.C., B.G. Wells., T.L. Schwinghammer., P.M.Malone., J.M. Kolesar.,
J.C. Rotschafer and J.T. Dipiro. 2008. Pharmacotherapy: Principles and
Practice. USA: The McGraw-Hill Companies. P. 932-939.
Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., and Posey,
L. M., 2008, Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach, 7th edition,
McGrawHill, New York,
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005, Pharmaceutical care untuk
penyakit Diabetes Mellitus, Departemen Kesehatan RI : Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan http://binfar.kemkes.go.id/v2/wp-
content/uploads/2014/02/PCDM.pdf , diakses tanggal 12 November 2016.
Ernst, M.E., Clark, E.C., and Hawkins, D.W. 2008. Gout and Hyperuricemia.
2008. In: Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, A.G.,
Posey, L.M. editors. Pharmacotherapy: a Pathophysiologic Approach, 7th
ed. USA: McGraw-Hill Companies. P. 1539-1550.
Hawkins, D. W. and Rahn, D. W. 2005. Gout and Hyperuricemia. In: Dipiro, J.T.,
Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, A.G., Posey, L.M. editors.
Pharmacotherapy: a Pathophysiologic Approach, 6th ed. USA: McGraw-
Hill. P. 1705-1711.
Katzung,B.G.2004. Farmakologi Dasar & Klinik. Diterjemahkan oleh Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Edisi VIII.
Surabaya : Salemba Medika
Sukandar, E. Y., Andrajati, R., Sigit, J. I., Adnyana, I. K., Setiadi, A. P., dan
Kusnandar, 2008, ISO Farmakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta