LAPORAN PENDAHULUAN
PRAKTIK PRA PROFESI KEPERAWATAN JIWA
KOMUNITAS GANGGUAN PSIKOTIK
KASUS HALUSINASI
Disusun Oleh:
1. Muzaini 1130017154
DOSEN :
Syiddatul Buduri, S.Kep., Ns.,
M.Kep
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan pendahuluan dan asuhan keperawatan ini dibuat dan di susun sebagai bukti
bahwa mahasiswa di bawah ini telah mengikuti Praktikum Keperawatan Medikal Bedah (Pra-
Profesi)
Nama : Muzaini
NIM : 1130017154
Kompetensi : Keperawatan Jiwa (Pra-Profesi)
Waktu Pelaksanaan : 08 Juni – 17 Juni 2021
Muzaini
NIM : 1130017154
Mengetahui, Dosen
Pembimbing
Syiddatul Buduri,S.Kep.,Ns.,M.Kep
7
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan bagian yang integral dari kesehatan. Kesehatan jiwa
bukan sekedar terbebas dari gangguan jiwa, akan tetapi merupakan suatu hal yang di
butuhkan oleh semua orang. Kesehatan jiwa adalah perasaan sehat dan bahagia serta
mampu mengatasi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagai mana adanya. Serta
mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain (Kemenkes, 2013).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana klien mengalami perubahan
sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan,
perabaaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada
(Damaiyanti, 2012).Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien memberi
persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata.
Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal tidak ada orang yang berbicara
(Kusumawati & Hartono, 2012).
Dampak yang dirasakan oleh keluarga dengan adanya anggota keluarga mengalami
halusinasi adalah tingginya beban ekonomi, beban emosi keluarga, stress terhadap
perilaku pasien yang terganggu, gangguan dalam melaksanakan kegiatan rumah tangga
sehari-hari dan keterbatasan melakukan aktifitas. Beban sosial ekonomi diantaranya
adalah gangguan dalam hubungan keluarga , keterbatasan melakukan aktifitas sosial,
pekerjaan, dan hobi , kesulitan finansial, dan dampak negatif terhadap kesehatan fisik
keluarga. Beban psikologis menggambarkan reaksi psikologis seperti perasaan kehilangan,
sedih, cemas dan malu terhadap masyarakat sekitar, stress menghadapi gangguan perilaku
dan frustasi akibat perubahan pola interaksi dalam keluarga (Ngadiran, 2010).
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas dan sebagai tugas untuk
memahami keperawatan jiwa tentang maraknya kejadian halusinasi, maka perlu
kiranya untuk membahas masalah gangguan jiwa dengan halusinasi menggunakan Asuhan
Keperawatan Jiwa dengan diagnose keperawatan Halusinasi.
8
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk mengetahui dan
memahami teori dan asuhan keperawatan jiwa dengan halusinasi
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui dan Memahami Masalah Halusinasi
Halusinasi
9
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Halusinasi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa di mana klien mengalami
perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebetulnya
tidak ada (Damaiyanti, 2012).Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia
dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia
luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara padahal
tidak ada orang yang berbicara (Kusumawati & Hartono, 2012).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana pasien mengalami
perubahan sensori persepsi, seperti merasakan sensasi palsu berupa suara,
penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan, klien merasakan stimulus yang
sebetulnya tidak ada (Muhith, 2011).Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan
persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu
penerapan panca indra tanda ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang
dialami suatu persepsi melaluipanca indra tanpa stimullus eksteren : persepsi
palsu(Prabowo, 2014).
B. Proses Terjadinya Halusinasi
Proses terjadinya halusinasi dijelaskan dengan menggunakan konsep stress
adaptasi Stuart yang meliputi stressor dari faktor predisposisi dan presipitasi.
a. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi halusinasi terdiri dari
1) Faktor Biologis :
Adanya riwayat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa (herediter),
riwayat penyakit atau trauma kepala, dan riwayat penggunaan narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lain (NAPZA).
2) Faktor Psikologis
10
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan
memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan
usha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu
hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien
dan tak jarang akan mengotrol semua perilaku klien.
h. Dimensi sosial
Klien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan comforting, klien
menganggap bahwa hidup bersosialisasi dialam nyata sangat membahayakan. Klien
asyik dengan dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk
memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak
didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan kontrol oleh individu tersebut,
sehingga jika perintah halusinasiberupa ancaman, dirinya atau orang lain individu
cenderung keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interkasi yang
menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan klien
tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan
halusinasi tidak berlangsung.
i. Dimensi spiritual
Secara spiritualklien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas, tidak
bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk
menyucikan diri, irama sirkardiannya terganggu(Damaiyanti, 2012).
C. Rentang Respon Neurobiologis
Persepsi mengacu pada identifikasi dan interprestasi awal dari suatu stimulus
berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indra. Respon neurobiologis sepanjang
rentang sehat sakit berkisar dari adaptif pikiran logis, persepsi akurat, emosi konsisten,
dan perilaku sesuai sampai dengan respon maladaptif yang meliputi delusi, halusinasi, dan
isolasi sosial.
a. Respon adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma sosial budaya yang
berlaku. Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu
masalah akan dapat memecahkan masalah tersebut.
Respon adaptif :
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul dari pengalaman
ahli
4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam batas kewajaran
5) Hubungan social adalah proses suatu interaksi dengan orang lain dan lingkungan
b. Respon psikososial
Meliputi :
1) Proses pikir terganggu adalah proses pikir yang menimbulkan gangguan.
2) Ilusi adalah miss interprestasi atau penilaian yang salah tentang penerapan yang
benar-benar terjadi (objek nyata) karena rangsangan panca indra
3) Emosi berlebih atau berkurang
4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas kewajaran
5) Menarik diri adalah percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain.
c. Respon maladaptif
Respon maladaptive adalah respon individu dalam menyelesaikan masalah yang
menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan lingkungan, ada pun respon
maladaptive antara lain :
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh dipertahankan walaupun
tidak diyakinioleh orang lain dan bertentangan dengan kenyataan sosial
2) Halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah atau persepsi eksternal yang
tidak realita atau tidak ada.
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul dari hati.Perilaku
tidak terorganisirmerupakan sesuatu yang tidak teratur.
4) Isolasi sosisal adalah kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan diterima
sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu kecelakaan yang negative
mengancam (Damaiyanti,2012).
Rentang respon dapat digambarkan sebagai berikut:
13
D. Tahapan Halusinasi
Halusinasi yang dialami pasien memiliki tahapan sebagai berikut
a. Tahap I :
Halusinasi bersifat menyenangkan, tingkat ansietas pasien sedang.Pada tahap
ini halusinasi secara umum menyenangkan.
Karakteristik :
Karakteristik tahap ini ditandai dengan adanya perasaan bersalah dalam diri
pasien dan timbul perasaan takut.Pada tahap ini pasien mencoba menenangkan
pikiran untuk mengurangi ansietas.Individu mengetahui bahwa pikiran dan
sensori yang dialaminya dapat dikendalikan dan bisa diatasi (non psikotik).
Perilaku yang teramati:
1) Menyeringai / tertawa yang tidak sesuai
2) Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara
3) Respon verbal yang lambat
4) Diam dan dipenuhi oleh sesuatu yang mengasyikan.
b. Tahap II
Halusinasi bersifat menyalahkan, pasien mengalami ansietas tingkat berat dan
halusinasi bersifat menjijikkan untuk pasien.
Karakteristik :
Pengalaman sensori yang dialami pasien bersifat menjijikkan dan menakutkan,
pasien yang mengalami halusinasi mulai merasa kehilangan kendali, pasien
berusaha untuk menjauhkan dirinya dari sumber yang dipersepsikan, pasien
merasa malu karena pengalaman sensorinya dan menarik diri dari orang lain
(nonpsikotik).
14
Karakteristik :
Pengalaman sensori menakutkan jika individu tidak mengikuti perintah
halusinasinya. Halusinasi bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari apabila
tidak diintervensi (psikotik).
1) Perilaku menyerang - teror seperti panik.
2) Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain.
3) Amuk, agitasi dan menarik diri.
4) Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang komplek .
5) Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang.
15
E. Jenis Halusinasi
F. Penatalaksanaan
Menurut Keliat (2014) dalam Pambayun (2015), tindakan keperawatan untuk
membantu klien mengatasi halusinasinya dimulai dengan membina hubungan saling
percaya dengan klien. Hubungan saling percaya sangat penting dijalin sebelum
mengintervensi klien lebih lanjut. Pertama-tama klien harus difasilitasi untuk merasa
nyaman menceritakan pengalaman aneh halusinasinya agar informasi tentang halusinasi
yang dialami oleh klien dapat diceritakan secara konprehensif. Untuk itu perawat harus
memperkenalkan diri, membuat kontrak asuhan dengan klien bahwa keberadaan perawat
adalah betul-betul untuk membantu klien. Perawat juga harus sabar, memperlihatkan
penerimaan yang tulus, dan aktif mendengar ungkapan klien saat menceritakan
halusinasinya. Hindarkan menyalahkan klien atau menertawakan klien walaupun
pengalaman halusinasi yang diceritakan aneh dan menggelikan bagi perawat. Perawat
harus bisa mengendalikan diri agar tetap terapeutik.
Setelah hubungan saling percaya terjalin, intervensi keperawatan selanjutnya
adalah membantu klien mengenali halusinasinya (tentang isi halusinasi, waktu,
frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi, dan
perasaan klien saat halusinasi muncul). Setelah klien menyadari bahwa halusinasi yang
dialaminya adalah masalah yang harus diatasi, maka selanjutnya klien perlu dilatih
bagaimana cara yang bisa dilakukan dan terbukti efektif mengatasi halusinasi. Proses
ini dimulai dengan mengkaji pengalaman klien mengatasi halusinasi. Bila ada beberapa
usaha yang klien lakukan untuk mengatasi halusinasi, perawat perlu mendiskusikan
17
efektifitas cara tersebut. Apabila cara tersebut efektif, bisa diterapkan, sementara jika cara
yang dilakukan tidak efektif perawat dapat membantu dengan cara-cara baru.
Menurut Keliat (2014), ada beberapa cara yang bisa dilatihkan kepada klien untuk
mengontrol halusinasi, meliputi :
1. Menghardik halusinasi.
1) Biologis
Stressor biologis yang berhubungan dengan respon neurobiologis
maladaptif adalah gangguan dalam komunikasi dan putaran umpan balik
otak dan abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak, yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi
stimulus.
2) Lingkungan
Ambang toleransi terhadap stres yang ditentukan secara biologis
berinteraksi dengan stresor lingkungan untuk menentukan terjadinya
gangguan prilaku.
3) Stres sosial / budaya
Stres dan kecemasan akan meningkat apabila terjadi penurunan stabilitas
keluarga, terpisahnya dengan orang terpenting atau disingkirkan dari
kelompok.
4) Faktor psikologik
Intensitas kecemasan yang ekstrem dan memanjang disertai terbatasnya
kemampuan mengatasi masalah dapat menimbulkan perkembangan gangguan
sensori persepsi halusinasi.
5) Mekanisme koping
Menurut Stuart (2013) perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi pasien
dari pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respons
neurobiologis maladaptif meliputi : regresi, berhunbungan dengan
masalah proses informasi dan upaya untuk mengatasi ansietas, yang
menyisakan sedikit energi untuk aktivitas sehari-hari. Proyeksi, sebagai upaya
untuk menejlaskan kerancuan persepsi dan menarik diri.
6) Sumber koping
Menurut Stuart (2013) sumber koping individual harus dikaji dengan
pemahaman tentang pengaruh gangguan otak pada perilaku. Orang tua harus
secara aktif mendidik anak–anak dan dewasa muda tentang keterampilan
koping karena mereka biasanya tidak hanya belajar dari pengamatan.
Disumber keluarga dapat pengetahuan tentang penyakit, finensial yang
cukup, faktor ketersediaan waktu dan tenaga serta kemampuan untuk
memberikan dukungan secara berkesinambungan.
20
7) Perilaku halusinasi
Menurut Towsend (2016), batasan karakteristik halusinasi yaitu bicara
teratawa sendiri, bersikap seperti memdengar sesuatu, berhenti bicara
ditengah – tengah kalimat untuk mendengar sesuatu, disorientasi,
pembicaraan kacau dan merusak diri sendiri, orang lain serta lingkungan.
H Diagnosa Keperawatan
Menurut NANDA (2017) diagnosa keperawatan utama pada klien dengan
prilaku halusinasi adalah Gangguan sensori persepsi: Halusinasi (pendengaran,
penglihatan, pengecapan, perabaan dan penciuman). Sedangkan diagnosa keperawatan
terkait lainnya adalah Isolasi social dan Resiko menciderai diri sendiri, lingkungan dan
orang lain.
I Tindakan Keperawatan
Tindakan keperawatan yang diberikan pada klien tidak hanya berfokus pada
masalah halusinasi sebagai diagnose penyerta lain. Hal ini dikarenakan tindakan
yang dilakukan saling berkontribusi terhadap tujuan akhir yang akan dicapai. Rencana
tindakan keperawatan pada klien dengan diagnose gangguan persepsi sensori
halusinasi meliputi pemberian tindakan keperawatan berupa terapi generalis
individu yaitu (Kanine, E., 2012) :
1. Mengontrol halusinasi dengan cara menghardik,
2. Patuh minum obat secara teratur.
3. Melatih bercakap-cakap dengan orang lain,
4. Menyusun jadwal kegiatan dan dengan aktifitas
5. Terapi kelompok terkait terapi aktifitas kelompok stimulasi persepsi halusinasi.
Rencana tindakan pada keluarga (Keliat, dkk. 2014) adalah
J. Pelaksanaan Keperawatan
Implementasi disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan. Pada situasi
nyata sering pelaksanaan jauh berbeda dengan rencana, hal ini terjadi karena
perawat belum terbiasa menggunakan rencana tertulis dalam melaksanakan tindakan
keperawatan (Dalami, 2009). Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang
sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi dengan singkat apakah rencana
tindakan masih sesuai dan dibutuhkan klien sesuai dengan kondisinya (here and
now). Perawat juga menilai diri sendiri, apakah kemampuan interpersonal,
intelektual, tekhnikal sesuai dengan tindakan yang akan dilaksanakan, dinilai
kembali apakah aman bagi klien. Setelah semuanya tidak ada hambatan maka
tindakan keperawatan boleh dilaksanakan.
Adapun pelaksanaan tindakan keperawatan jiwa dilakukan berdasarkan
Strategi Pelaksanaan (SP) yang sesuai dengan masing-masing masalah utama.
Pada masalah gangguan sensori persepsi: halusinasi pendengaran, terdapat 2 jenis SP,
yaitu SP Klien dan SP Keluarga.
SP klien terbagi menjadi SP 1 (membina hubungan saling percaya,
mengidentifikasi halusinasi “jenis, isi, waktu, frekuensi, situasi, perasaan dan respon
halusinasi”, mengajarkan cara menghardik, memasukan cara menghardik ke dalam
jadwal; SP 2 (mengevaluasi SP 1, mengajarkan cara minum obat secara teratur,
memasukan ke dalam jadwal); SP 3 (mengevaluasi SP 1 dan SP 2, menganjurkan
klien untuk mencari teman bicara); SP 4 (mengevaluasi SP 1, SP 2, dan SP 3,
melakukan kegiatan terjadwal).
SP keluarga terbagi menjadi SP 1 (membina hubungan saling percaya,
mendiskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien,
menjelaskan pengertian, tanda dan gejala helusinasi, jenis halusinasi yang dialami
klien beserta proses terjadinya, menjelaskan cara merawat pasien halusinasi); SP 2
(melatih keluarga mempraktekan cara merawat pasien dengan halusinasi, melatih
keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien halusinasi); SP 3
(membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat
(discharge planing), menjelaskan follow up pasien setelah pulang).
22
Muhith,A.(2015). PendidikanKeperawatanJiwa(TeoridanAplikasi).Yogyakarta:
Andi.
Stuart, G.W., & Laraia, M.T (2009).Principle and practice of psyciatric nursin9th
ed. St Louis : Mosby year book
Dalami, E., Rochimah, N., Suryati, K. R., & Lestari, W. (2009). Asuhan keperawatan klien
dengan gangguan jiwa.
Keliat, B.A & Akemat. (2015). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta : EGC.