Qur’an
Sumber: islammedia.id
Perlu kita ketahui juga pengertian dari at-Taqdim dan at-Takhir ini. Kata taqdim
berasal dari kata qadama yang berarti mendahului atau menyegerakan. Sedangkan
takhir berakar dari kata akhara. Kemudian membentuk antonim berupa kata takhir
yang berarti penundaan, penangguhan, dan perlambatan. Taqdim dan Takhir yang
dimaksudkan dalam kaidah ini adalah mendahulukan atau mengakhirkan satu lafaz
atau ayat yang satu dari satu lafaz atau ayat yang lain. Atau memposisikan suatu
lafaz sebelum posisinya yang asli, atau sesudahnya untuk memperlihatkan
kekhususan, keutamaan, dan urgensi dari lafaz tersebut.
Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa kaidah taqdim dan takhir adalah suatu
dasar atau patokan untuk mengetahui keadaan suatu lafaz atau ayat yang
didahulukan atau diakhirkan dengan bertujuan untuk menyingkap rahasia
kekhususan dan keutamaan dari suatu lafaz maupun ayat sesuai maksud dan
tujuannya.
Pertama, mendahulukan penyebutan pada satu lafaz atau pada satu ayat bukan
berarti lebih terjadi dalam realitas dan hukumnya. Kaidah ini butuh penjelasan
karena bentuk-bentuk taqdim dan takhir dalam al-Qur’an mempunyai beberapa arti.
Sebagai contoh atas kaidah ini, kita lihat firman Allah Q.S. al-Fatihah ayat 5:
Artinya: Hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu lah kami
memohon pertolongan.
Coba kita amati ayat berikut ini. Kenapa lafaz iyyaka na’budu lebih didahulukan
daripada iyyaka nasta’in? Dalam hal ini, kita bisa mengetahui maknanya secara
jelas dengan menggunakan kaidah ini. Kalimat iyyaka na’budu didahulukan
daripada iyyaka nasta’in karena ibadah adalah tugas dan kewajiban.
Sedangkan isti’anah (pertolongan) adalah hak.
Perlu kita ketahui bahwa, kata “ibadah”, menurut al-Isfahani, mengandung dua
pengertian. Yaitu puncak keterhinaan atau puncak penghambaan dan melaksanakan
perintah dan menjauhi larangan. Dalam penjelasan yang lain dinyatakan, bahwa
term ‘abada ya’budu mengandung tiga makna. Yaitu totalitas, kepasrahan,
ketertundukan/kepatuhan dan keterhinaan.
Term ‘abada itu harus disandarkan kepada Allah Swt. Karena tidak ada yang lebih
berhak untuk disandarkan selain dari pada-Nya. Dalam hal inilah kita sebagai
manusia sudah semestinya untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah Swt.
Kedua, kebiasaan orang Arab tidak akan mendahulukan suatu kata kecuali apa yang
telah menjadi perhatiannya. Penjelasan dari kaidah ini yakni pada ungkapan yang
menyatakan bahwa sebab-sebab suatu perkataan didahulukan oleh karena kemuliaan,
keagungan atau apa yang menjadi perhatian padanya.
Salah satu contoh ayat dari kaidah yang kedua ini adalah firman Allah Q.S. al-
Baqarah ayat 43 yang artinya:
Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang
rukuk.
Kedua kaidah ini jika dikaitkan dengan al-Qur’an, maka dapat dipahami bahwa
keharmonisan dan keteraturan yang timbul dalam kata-kata dan susunan kalimat
dalam al-Qur’an selalu ada dalam setiap lafal dan ayatnya, baik yang didahulukan
maupun yang diakhirkan. Dan maknanya yang mendalam dapat diketahui melalui
kajian takdim dan takhir.
Kedelepan, menunjukkan yang lebih banyak. Seperti mendahulukan orang kafir dari
orang mukmin. Kesembilan, meninggikan (meningkat dari yang lebih rendah kepada
yang lebih tinggi). Kesepuluh, merendah dari yang lebih tinggi kepada yang lebih
rendah.
Kesepuluh sebab ini mengandung hikmah bahwa sesuatu yang didahulukan lebih
penting untuk dijelaskan dan untuk diperhatikan. Sekaligus merupakan pembuktian
bahwa bahasa al-Qur’an sangat tinggi nilai keindahannya. Bahwa sampai kapanpun
al-Qur’an akan tetap survive, autentik, baik aspek bahasa maupun nilai-nilai yang
terkandung didalamnya.