Anda di halaman 1dari 4

Kaidah Taqdim dan Takhir Dalam Al-

Qur’an

Agustus 30, 2020404 Views7 Min ReadPosted byolehMuhammad Awaluddin Al Kirom

Sumber: islammedia.id

Di antara keunikan al-Qur’an adalah keindahan bahasanya yang mengandung unsur-


unsur kesusastraan yang tinggi. Sehingga tak satu pun yang dapat menandinginya.
Dalam menafsirkan al-Qur’an, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh
seorang mufassir. Di antaranya adalah memiliki pengetahuan bahasa Arab dan
kaidah-kaidah penafsiran. Salah satu unsur kaidah penafsiran al-Qur’an adalah
kaidah: taqdim dan akhir.
Pengertian Taqdim dan Takhir
Kaidah taqdim  dan takhir adalah salah satu uslub balaghah dan merupakan bagian
pembahasan ilmu ma’ani. Di dalam ilmu qawaid at-Tafsir, kaidah al-
Taqdim dan at-Takhir merupakan salah satu kaidah yang wajib diketahui. Terutama
bagi mereka yang hendak menafsirkan al-Qur’an.

Perlu kita ketahui juga pengertian dari  at-Taqdim dan at-Takhir  ini. Kata taqdim
berasal dari kata qadama  yang berarti mendahului atau menyegerakan. Sedangkan
takhir berakar dari kata akhara. Kemudian membentuk antonim berupa kata takhir
yang berarti penundaan, penangguhan, dan perlambatan.  Taqdim dan Takhir yang
dimaksudkan dalam kaidah ini adalah mendahulukan atau mengakhirkan satu lafaz
atau ayat yang satu dari satu lafaz atau ayat yang lain. Atau memposisikan suatu
lafaz sebelum posisinya yang asli, atau sesudahnya untuk memperlihatkan
kekhususan, keutamaan, dan urgensi dari lafaz tersebut.

Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa kaidah taqdim   dan takhir adalah suatu
dasar atau patokan untuk mengetahui keadaan suatu lafaz atau ayat yang
didahulukan atau diakhirkan dengan bertujuan untuk menyingkap rahasia
kekhususan dan keutamaan dari suatu lafaz maupun ayat sesuai maksud dan
tujuannya.

Kaidah Taqdim  dan Takhir


Adapun kaidah-kaidah taqdim dan takhir itu ada dua:

Pertama, mendahulukan penyebutan pada satu lafaz atau pada satu ayat bukan
berarti lebih terjadi dalam realitas dan hukumnya. Kaidah ini butuh penjelasan
karena bentuk-bentuk taqdim dan takhir dalam al-Qur’an mempunyai beberapa arti.

Kadang redaksi ayat didahulukan karena beberapa alasan. Misalnya karena


realitanya memang terdahulu, atau didahulukan karena mengandung makna
kemuliaan atau terkadang didahulukan karena sulitnya untuk dijelaskan ( musykil)
dan setelah dikaji dengan pendekatan  taqdim dan takhir maka maknanya menjadi
jelas.

Sebagai contoh atas kaidah ini, kita lihat firman Allah Q.S. al-Fatihah ayat 5:

Artinya: Hanya kepada-Mu lah kami menyembah dan hanya kepada-Mu lah kami
memohon pertolongan.

Coba kita amati ayat berikut ini. Kenapa lafaz  iyyaka na’budu lebih didahulukan
daripada iyyaka nasta’in? Dalam hal ini, kita bisa mengetahui maknanya secara
jelas dengan menggunakan kaidah ini. Kalimat  iyyaka na’budu didahulukan
daripada iyyaka nasta’in karena ibadah adalah tugas dan kewajiban.
Sedangkan  isti’anah (pertolongan) adalah hak.
Perlu kita ketahui bahwa, kata “ibadah”, menurut al-Isfahani, mengandung dua
pengertian. Yaitu puncak keterhinaan atau puncak penghambaan dan melaksanakan
perintah dan menjauhi larangan. Dalam penjelasan yang lain dinyatakan, bahwa
term ‘abada ya’budu  mengandung tiga makna. Yaitu totalitas, kepasrahan,
ketertundukan/kepatuhan dan keterhinaan.

Term ‘abada  itu harus disandarkan kepada Allah Swt. Karena tidak ada yang lebih
berhak untuk disandarkan selain dari pada-Nya. Dalam hal inilah kita sebagai
manusia sudah semestinya untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah Swt.

Karena itu, sangatlah tepat meletakkan term  na’budu lebih dahulukan dari


pada nasta’in. Karena melaksanakan tugas dan kewajiban harus lebih didahulukan
dari pada menuntut hak.

Kedua, kebiasaan orang Arab tidak akan mendahulukan suatu kata kecuali apa yang
telah menjadi perhatiannya. Penjelasan dari kaidah ini yakni pada ungkapan yang
menyatakan bahwa sebab-sebab suatu perkataan didahulukan oleh karena kemuliaan,
keagungan atau apa yang menjadi perhatian padanya.

Salah satu contoh ayat dari kaidah yang kedua ini adalah firman Allah Q.S. al-
Baqarah ayat 43 yang artinya:

Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang
rukuk.

Pada ayat di atas mengandung taqdim dan takhir, di mana kata


shalat didahulukan  pengucapannya karena lebih diprioritaskan. M. Quraish Shihab
menjelaskan dalam kitab tafsirnya al-Misbah, bahwa dua kewajiban pokok itu
merupakan pertanda hubungan harmonis. Shalat merupakan hubungan harmonis
secara vertikal (antara manusia dengan Allah), dan zakat merupakan hubungan
harmonis secara horizontal (hubungan sesama manusia). Keduanya sama pentingnya
akan tetapi shalat tentunya lebih didahulukan.

Kedua kaidah ini jika dikaitkan dengan al-Qur’an, maka dapat dipahami bahwa
keharmonisan dan keteraturan yang timbul dalam kata-kata dan susunan kalimat
dalam al-Qur’an selalu ada dalam setiap lafal dan ayatnya, baik yang didahulukan
maupun yang diakhirkan. Dan maknanya yang mendalam dapat diketahui melalui
kajian takdim dan takhir.

Sebab-Sebab Taqdim dan Takhir


Adapun sebab-sebab taqdim dan takhir menurut al-‘Allamah Syamsu al-Din Ibn al-
Soig yang dijelaskan dalam kitabnya  al-Muqaddimah fi Sir al-Fad al-
Muqaddamah sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Suyuti dalam  al-Itqon fi
‘ulumil Qur’an adalah;
Pertama, at-Tabarruk seperti mendahulukan nama Allah pada hal-hal yang
penting. Kedua, at-Ta’dzim, yakni kalimat yang mengandung
pengagungan. Ketiga, at-Tasyrif (pemuliaan) seperti penyebutan laki-laki sebelum
wanita.

Keempat, al-Munasabah (persesuaian), yaitu berupa penyesuaian terhadap yang


lebih dahulu disebutkan dalam konteks pembicaraan.  Kelima, mendorong untuk
mengerjakannya dan mewanti-wanti untuk tidak meremehkannya, seperti
penyebutan wasiat terlebih dahulu sebelum hutang.

Keenam, keterdahuluan yaitu bisa berupa keterdahuluan masa. Seperti penyebutan


malam sebelum siang, kegelapan sebelum cahaya, penyebutan malaikat sebelum
manusia, atau penyebutan mengantuk sebelum tidur.

Ketujuh, syababiyyah (menunjukkan sebab). Misalnya mendahulukan sifat ‘alimnya


Allah dari pada sifat bijaksananya, mendahulukan tobat dari mensucikan diri karena
tobat merupakan penyucian diri.

Kedelepan, menunjukkan yang lebih banyak. Seperti mendahulukan orang kafir dari
orang mukmin. Kesembilan, meninggikan (meningkat dari yang lebih rendah kepada
yang lebih tinggi). Kesepuluh, merendah dari yang lebih tinggi kepada yang lebih
rendah.

Kesepuluh sebab ini mengandung hikmah bahwa sesuatu yang didahulukan lebih
penting untuk dijelaskan dan untuk diperhatikan. Sekaligus merupakan pembuktian
bahwa bahasa al-Qur’an   sangat tinggi nilai keindahannya. Bahwa sampai kapanpun
al-Qur’an akan tetap survive, autentik, baik aspek bahasa maupun nilai-nilai yang
terkandung didalamnya.

Anda mungkin juga menyukai